BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak adalah generasi muda yang digadang-gadang sebagai penerus
perjuangan bangsa di masa depan. Berbagai harapan dan mimpi bangsa
disematkan kepadanya. Oleh sebab itu, mendapatkan pelayanan untuk hidup,
tumbuh kembang dan perlindungan yang layak dari lingkungan tempat tinggal,
menjadi hak mereka dalam upaya mewujudkan harapan tersebut. Namun,
merebaknya pemberitaan kasus kekerasan seksual pada anak saat ini, seolah
membuat harapan-harapan itu sirna. Sederet kasus yang tertulis dan terdengar
tidak hanya menorehkan luka bagi korban dan keluarga korban saja, melainkan
juga masyarakat yang turut mendengarnya.
Berbagai persoalan sosial, ekonomi bahkan psikologi dituding sebagai
latar pelaku dalam tindakannya tersebut. Hanya dengan bermodalkan kesempatan
tanpa mengenal siapa, dimana dan kapan, pelaku dapat bertindak untuk memenuhi
hasratnya itu. Seringkali korban adalah keponakan, cucu bahkan anak yang
notabene masih memiliki aliran darah dengan keluarga. Tidak jarang pula kasus
ini terjadi di rumah, sekolah atau bahkan lingkungan bermain anak yang
seharusnya memberikan kenyamanan dan mendukung tumbuh kembang anak.
Artikel Muhammad Teja (2015) yang berjudul Perlindungan Terhadap
Anak Angkat, info singkat kesejahteraan sosial mengatakan bahwa pelaku
penelantaran dan kekerasan terhadap anak sebagian besar terjadi di wilayah
1
domestik oleh orang terdekat mereka sendiri, baik lingkungan keluarga atau
lingkungan tempat dimana ia tinggal. Sama halnya dengan tulisan Deshinta D.
Ariani MA, dalam analisis harian Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Oktober 2015
dengan judul Anak dalam ‗Sick Society‘ yang menganalisis kejadian kasus
Engeline dan Eneng. Ia mengatakan bahwa kasus kekerasan yang terjadi pada
Engeline dan Eneng membuktikan bahwa kekerasan terjadi di lingkungan privat
dan pelakunya adalah orang-orang terdekat. Dipaparkan pula oleh Dimas Ariyanto
dalam jogja.solopos.com pada tanggal 5 Mei 2014, selaku sekretaris Yayasan
Lembaga Perlindungan Anak (YLPA) DIY bahwa lokasi kekerasan seksual pada
anak mayoritas di rumah dan di sekolah, artinya bahwa lagi-lagi pelakunya adalah
orang terdekat dan dikenal oleh anak.
Berbagai kasus kekerasan seksual anak mulai dari sodomi, pencabulan
sampai dengan kasus pemerkosaan anak di bawah umur, baik di lingkungan
bermain, rumah ataupun sekolah sampai saat ini tidak berhenti melintas di telinga.
Persoalan ini semakin mendapat perhatian tatkala bentuk dan motifnya semakin
beragam, bahkan sampai pada keterlibatan anak yang tidak hanya menjadi korban,
melainkan juga menjadi pelaku dari kekerasan tersebut. Contohnya saja kasus
hello kity yang melibatkan siswi di salah satu sekolah menengah atas di
Yogyakarta sebagai pelaku juga sekaligus korban. Persoalan ini berhasil mencuri
perhatian publik dan membuka mata masyarakat untuk lebih memperhatikan
lingkungan anak.
Kekerasan seksual anak bak fenomena gunung es yang kian lama
jumlahnya kian bertambah. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa
2
frekuensi kekerasan anak Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya dan
didominasi oleh kasus kekerasan seksual anak.
Grafik 1.1 Data Nasional Kekerasan Terhadap Anak
Sumber : Komnas Perlindungan Anak/L-, tahun 2015
Grafik yang termuat dalam www.mediaindonesia.com pada tanggal 12 Juni 2015
di atas, memperlihatkan bahwa tahun 2011 data menunjukkan terdapat 2.426
kasus kekerasan anak dengan 58 persennya adalah kasus kejahatan seksual.
Kemudian meningkat di tahun 2012 sebanyak 2.637 kasus dengan 62 persen kasus
kejahatan seksual, tahun 2013 sebanyak 3.339 kasus dengan 52 persen kasus
kejahatan seksual. Di tahun 2014 angka kekerasan anak sempat mengalami
penurunan menjadi 2.750 kasus dengan prosentase kasus kejahatan seksual 58
persen dan terakhir per Mei 2015 sudah tercatat sebanyak 339 kasus dengan 50
persennya kasus kejahatan seksual pada anak. Sungguh sangat ironi tentunya
melihat fenomena kekerasan, utamanya kekerasan seksual pada anak di tengah
geliat persiapan Indonesia menuju masa emasnya.
3
Yogyakarta sebagai kota pelajar yang kabupaten dan kotanya telah
dinobatkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) menjadi kota layak anak sejak tahun 2011, ternyata juga menyimpan
banyak kasus kekerasan anak. Dalam jogja.tribunnews.com ketua Lembaga
Perlindungan Anak (LPA) DIY, Sari Murti mengungkapkan, dari awal tahun 2015
hingga Bulan September, tercatat ada sebanyak 70 kasus kekerasan pada anak
yang didominasi adalah kasus kekerasan seksual. Di Kota Yogyakarta sendiri
yang telah menyandang kota layak anak kategori madya ini, berdasarkan data
yang dihimpun oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP)
Kota Yogyakarta pada paruh pertama tahun 2015 sudah terdapat 90 kasus
kekerasan pada anak. Jumlah tersebut menunjukkan peningkatan dari tahun-tahun
sebelumnya yakni 103 di tahun 2013 dan 142 di tahun 2014.
Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi, kasus kekerasan seksual
pada anak dirasa layak mendapat perhatian khusus oleh seluruh elemen
masyarakat, khususnya mereka yang konsen dalam perlindungan anak. Pasalnya,
anak yang menagalami kekerasan seksual akan mengalami tiga bentuk kekerasan
sekaligus yakni fisik, psikis dan seksualnya. Secara psikologis, dampak bagi anak
yang pernah menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami traumatis yang
berkepanjangan sehingga mengganggu komunikasi dan sosialisasinya di usia
tumbuh kembangnya. Penderitaan bagi korban kekerasan seksual pada anak tidak
hanya berhenti sampai di situ, fenomena anak melahirkan anak, bagi anak-anak
yang menjadi korban sampai mengandung atau hamil, beban hidup mereka
menjadi bertambah. Disamping harus melindungi dirinya ia juga harus melindungi
4
anak yang ada dalam kandungannya. Sungguh suatu hal yang sangat
memprihatinkan.
Berbagai upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak, telah dilakukan.
Mulai dari tingkat nasional bahkan sampai diturunkan hingga regional. Diawali
dari instruksi presiden no 5 tahun 2014 tentang gerakan nasional anti kejahatan
seksual, program Kota atau Kabupaten Layak Anak, bahkan pembentukan
Kampung Ramah Anak di setiap RW di wilayah Kota Yogyakarta. Namun,
tampaknya upaya pencegahan ini tidak mudah untuk dilakukan. Mengingat seiring
dilakukannya upaya pencegahan kekerasan seksual anak, justeru cenderung stabil
bahkan meningkat. Hal ini menjadi perhatian menarik bagi peneliti untuk
mengamati jalannya proses pencegahan yang dilakukan khususnya dalam
keluarga oleh orang tua.
Keluarga memiliki fungsi-fungsi tertentu, salah satunya adalah fungsi
proteksi. Fungsi proteksi keluarga bertujuan untuk melindungi anggotanya dari
segala bentuk gangguan yang dapat mengancam kesejahteraan hidupnya. Fungsi
proteksi ini pada umumnya diberikan oleh orang tua kepada anak yang rentan
mengalami gangguan. Hal ini dikarenakan referensi akan pengalaman hidupnya
belum sebanyak yang dimiliki oleh rata-rata orang dewasa. Itulah sebabnya dalam
tumbuh kembangnya anak berhak memperoleh pendampingan dari orang dewasa
terutama dari lingkungan paling dekat yakni orang tua. Orang tua memiliki
kewajiban untuk tahu bagaimana perkembangan anak, saat anak masih di dalam
kandungan, lahir sampai mereka beranjak dewasa.
Namun seiring dengan perubahan waktu, fungsi proteksi pada keluarga ini
juga turut mengalami perkembangan. Orang tua tidak lagi menempatkan fungsi
5
proteksi anak ini menjadi suatu hal yang utama. Posisi ini digantikan oleh fungsi
ekonomi yang kemudian berimplikasi pada peran perlindungan terhadap anak.
Tuntutan kehidupan yang tinggi menjadi alasan orang tua baik ayah maupun ibu
untuk bekerja. Implikasinya tidak jarang anak berada di rumah sendiri atau
bahkan orang tua menitipkan anak kepada saudara baik paman, tante, kakek
neneknya atau asisten rumah tangga dengan bermodalkan kepercayaan. Pada
kenyataannya hal ini justeru tidak dapat menjamin keselamatan anak.
Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap kekerasan seksual yang bisa
saja menimpa anak kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun, dianggap membuat
orang tua tidak berfikir panjang dalam menitipkan anak. Sehingga tidak
memikirkan bekal yang harus dibawa anak saat dititipkan untuk menghindari
adanya kekerasan seksual. Terlebih lingkungan mereka dekat dengan lingkungan
yang rentan terhadap kekerasan seksual anak. Tentu bukan menjadi hal yang
mustahil jika akan terkena dampaknya pula. Hidup berdampingan dengan
lingkungan yang dinyatakan rentan kekerasan seksual anak menjadi alarm bagi
orang tua di wilayah tersanding untuk menaikkan status kewaspadaannya terhadap
suatu kasus yang terjadi pada lingkungan yang rentan. Terutama melakukan
pencegahan agar terhindar dari kasus tersebut.
Prenggan adalah suatu wilayah yang letaknya berada di pinggir Kota
Yogyakarta tepatnya di Kecamatan Kotagede. Wilayahnya diapit oleh dua
kelurahan yakni Rejowinangun dan Purbayan. Menurut Bareskrim Polsek
Kotagede, kedua kelurahan tersebut memiliki riwayat kasus kekerasan seksual
anak dalam beberapa tahun terakhir, namun hal tersebut tidak mempengaruhi
Prenggan masuk dalam wilayah yang rentan kekerasan seksual anak. Kelurahan
6
Prenggan merupakan salah satu wilayah yang bersih dari kasus kekerasan seksual
anak selama tahun 2010-2015 seperti penuturan Bareskrim Polsek Kotagede.
Prenggan merupakan wilayah dengan penduduk yang berpendidikan ratarata menengah ke atas, sehingga masyarakatnya dinilai lebih terbuka dengan
persoalan yang muncul. Selain itu Prenggan juga dikenal dengan sebuah
perkampungan yang agamis dimana agama digunakan sebagai latar dalam suatau
penyelesaiam masalah sosial yang terjadi. Termasuk dengan persoalan kekerasan
seksual anak yang muncul di wilayah. Berdasarkan background wilayah tersebut
peneliti tertarik untuk melihat keterkaitan antara tingkat pendidikan orang tua
dengan bersihnya angka kekerasan seksual anak di wilayah ini. Oleh sebab itu
peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh dan perbedaan tingkat
pendidikan orang tua dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual anak,
sehingga Prenggan dapat terjaga dari kasus kekerasan seksual anak. Hal ini
sekaligus mendorong peneliti untuk melihat respon dan strategi orang tua di
wilayah ini dalam menyikapi terjadinya kekerasan seksual anak.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.
Seberapa besar hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan orang
tua terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual anak dalam keluarga di
Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta?
2.
Bagaimana respon dan strategi orang tua terhadap kekerasan seksual anak di
Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede Yogyakarta?
7
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :
1.
Mengetahui besar hubungan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan
orang tua tentang kekerasan seksual anak terhadap tindakan pencegahan
kekerasan seksual pada anak yang dilakukan.
2.
Mengetahui respon orang tua terhadap kekerasan seksual anak dan strategi
dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual anak serta pada level
mana tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak telah dilakukan.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini antara lain :
1.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan
pemetaan lebih lanjut mengenai peran keluarga dalam melakukan tindakan
preventif kekerasan seksual pada anak
2.
Bagi instansi pemerhati anak, penelitian ini dapat menjadi rujukan sejauh
apa masyarakat utamanya orang tua telah berkontribusi melakukan
pencegahan kekerasan seksual pada anak.
3.
Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan kekerasan seksual
anak, khususnya pada orang tua yang tinggal di Kelurahan Prenggan
Kecamatan Kotagede
4.
Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian
mengenai relasi antara anak, orang tua dan masyarakat dalam melakukan
tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak.
8
1.5
Tinjauan Pustaka
1.5.1
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan sering dijadikan sebagai tolok ukur dalam
melakukan penilaian terhadap kehidupan seseorang. Menurut UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, pengertian pandidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi
dirinya
pengendalian
untuk
diri,
memiliki
kepribadian,
kekuatan
kecerdasan,
spiritual
akhlak
keagamaan,
mulia,
serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh A. Tresna Sastrawijaya
(Arifah:2015)
adalah
mencakup
kesiapan
jabatan,
ketrampilan
memecahkan masalah, penggunaan waktu senggang secara membangun,
dan sebagainya karena tiap siswa mempunyai harapan yang berbeda-beda.
Menurut Emile Durkheim (1858-1917) memandang bahwa
pendidikan adalah sebagai “social thing”. Seperti yang tercatat dalam
buku Sosiologi Pendidikan, Durkheim mengatakan bahwa masyarakat
secara keseluruhan dan lingkungan sosial yang ada didalamnya merupakan
sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Ia
mengatakan bahwa suatu masyarakat bisa bertahan hidup jika dan hanya
jika ada suatu tingkat homogenitas yang memedai bagi warganya. Kondisi
tersebut dapat diperoleh melalui penanaman pemahaman sejak anak-anak
melalui pendidikan keanekaragaman.
9
Banyak orang mengatakan semakin tinggi seseorang maka semakin
tinggi pula khasanah ilmu yang ia miliki. Hal ini dikarenakan semakin
banyak informasi yang ia peroleh dan semakin beragam pula sumbernya.
Orang yang berpendidikan tinggi dianggap akan mampu menyerap banyak
hal baru yang ada di wilayah. Secara logika mereka juga cenderung mudah
adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada dan membaca resiko serta
siap menghadapi segala permasalahan yang timbul dari adanya perubahan
tersebut.
1.5.2
Kekerasan Seksual Anak
Anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun ke bawah termasuk
yang ada dalam kandungan1. Sementara kekerasan menurut Barker adalah
suatu tindakan melukai yang berulang-ulang, baik secara fisik maupun
emosional kepada anak yang seharusnya dilindungi dan tergantung,
melalui desakan hasrat, hukuman badan, yang tidak terkendali, degradasi
dan cemoohan permanen. Child abuse atau kekerasan anak menurut
Richard J. Galles merupakan suatu perbuatan yang disengaja yang
menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik
maupun emosional. Terdapat beberapa macam bentuk kekerasan pada
anak, diantaranya kekerasan fisik, psikis, seksual dan kekerasan ekonomi.
Dari keempat jenis kekerasan, kekerasan seksual pada anak dinilai lebih
berbahaya dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya. Hal ini
mengingat anak yang menjadi korban kekerasan seksual juga mengalami
1
Pengertian menurut UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002
10
kekerasan fisik ataupun psikis sekaligus. Oleh sebab itu kajian mengenai
kekerasan seksual pada anak sering dijadikan sebagai topik khusus dalam
pembahasan kekerasan pada anak.
Suzanne Sgroi dalam Handbook of Clinical Intervention in Sexual
Abuse (1985) mengartikan kekerasan seksual sebagai suatu tindakan
seksual yang dikenakan pada seorang anak yang tidak memiliki emosi,
kematangan, dan perkembangan kognitif. Sama halnya dengan Bagong
Suyanto yang mendefinisikan kekerasan seksual anak yakni segala
tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk
melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis
serta meninggalkan orang –termasuk mereka yang tergolong masih berusia
anak-anak- setelah melakukan hubungan seksual.
Kekerasan Seksual Anak (KSA) dalam Child Sexual Abuse Fact
Sheet For Parents juga didefinisikan sebagai interaksi antara anak dengan
orang dewasa dimana anak sebagai stimulus seksual oleh pelaku
(Annisa:2015). Ada pula Putnam (2003) yang mendefinisakan KSA
merupakan segala aktivitas seksual yang melibatkan anak. Disamping itu
pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomer 68 tahun
2014 menyatakan bahwa KSA merupakan pelibatan anak dalam kegiatan
seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu
memberi persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual
antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk
memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Mengacu pada definisi yang
diberikan oleh peraturan menteri kesehatan tersebut ditambah dengan
11
beberapa penegasan penelitian ini merumuskan bahwa secara operasional
kekerasan seksual anak adalah perilaku orang dewasa yang memaksa anak
usia 1-18 tahun untuk terlibat pada kegiatan seksual, baik dalam bentuk
visual maupun fisik secara langsung.
Terdapat beberapa bentuk kekerasan seksual pada anak yang ditulis
dalam sebuah penelitian karya Annisa (2015) dikatakan dalam sebuah
publikasi penelitian yang dilakukan Council of The Baltic Sea States untuk
program Risktaking Behavior Empowerment Through Research anf
Training milik UNI Eropa mengklasifikasikan KSA Sebagai berikut :
1) Kontak Seksual
(i) Penetrasi
Perilaku seksual yang melibatkan penetrasi baik melalui mulut,
penis, vulva, maupun anus anak. Media yang digunakan dapat
berupa tangan, jari, atau benda lain. Perilaku ini dapat dilakukan oleh
orang yang lebih dewasa kepada anak, atau anak kepada anak (Leeb
dkk, 2008)
(ii) Sentuhan-non penetrasi
Sentuhan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung
terhadap alat genital, anus, paha, dada dan bokong
2) Sexual Solicitation
Pembicaraan atau pemberian informasi pribadi mengenai seks baik
diinginkan maupaun tidak diinginkan oleh anak yang dilakukan oleh
orang dewasa. Hal ini termasuk ke dalam KSA karena dampak negatif
yang mungkin terjadi. Pembicaraan topik seksual dengan anak yang tidak
12
diinginkan berupa usaha-usaha yang dilakukan agar anak mau
membagikan informasi pribadi atau melakukan kegiatan seksual. Sexual
solicitation
seringkali
dianggap
tidak
mengganggu
oleh
yang
bersangkutan
3) Child Abuse Images
Merupakan istilah yang digunakan untuk pornografi anak yang
tersembunyi (Taylor & Quayle, 2006). Kekerasan jenis ini biasa
dilakukan oleh individu yang menggunakan gambar-gambar pornografi
anak dengan menatasnamakan advokasi dengan tujuan lain secara
implisit (Jones & Skogrand, 2005)
4) Pornografi Anak
Pornografi anak merupakan materi pornografi yang secara visual
menggambarkan anak di bawah umur terlibat dalam perliaku seksua, atau
gambar yang secara jelas mewakili anak melakukan hubungan seksual
5) KSA Online dan Offline
KSA Online melibatkan media baik internet, telepon, handphone,
televisi, dan sebagainya. Sedangkan offline bermakna dilakukan
komunikasi tatao wajah
6) Online Sex
Ketka seseorang atau kelompok individu melakukan stimulasi seksual
dengan bertukar pesan, gambar, atau video yang melibatkan anak
(Doring, 2009)
7) Pedofilia
13
Dalam PPDGJ, pedofilia diartikan sebagai preferensi seksual terhadap
anak-anak, biasanya pra-pubertas atau awal masa pubertas baik laki-laki
maupun perempuan (Maslim, 2001)
8) Self Generated Content
Self-konten merupakan pengalaman seksual yang dimediasi oleh
informasi dan teknologi terutama mengacu pada gambar atau video.
Pelaku biasanya meyakinkan anak agar anak mau menerima gambar
pelaku telanjang atau dalam beberapa kasus mastrubasi. Foto-foto
tersebut sering digunakan untuk membujuk anak melakukan kontak
seksual tanpa menyakiti, offline seks, atau dibayar untuk melakukan
aktivitas seksual lainnya.
9) Sexting
Mengacu pada penggunaan ponsel dan kamera untuk memproduksi dan
mendistribusikan gambar diri dalam seksual dengan cara tidak disengaja
atau berbahaya yang dilakukan kepada anak oleh orang dewasa.
10) Visual pornografi Anak
Fantasi visual pornografi anak dalam bentuk kartun atau gambar
(Ost,2010) dengan fokus terutama pada genital anak atau daerah anus.
Fantasi tersebut dapat digambarkan dalam bentuk :
a. Hubungan seksual atau oral seks dengan atau dihadapan anak
b. Tindakan mastrubasi oleh, dari, melibatkan atau dihadapan anak
c. Tindakan yang melibatkan penetrasi vagina atau anus anak
d. Tindakan penetrasi di hadapan anak
14
e. Fantasi mengenai anak melakukan hubungan seksual atau oral seks
dengan binatang
f. Fantasi mengenai hubungan seksual atau oral seks dengan binatang
baik hidup atau mati atau imajiner) yang dilakukan orang lain di
hadapan anak
11) Web Cam Sex
Bentuk sex online dimana maka terlibat dalam perilaku seksual melalui
kamera yang terhubung ke komputer dan bisa saling melihat satu sama
lain.
Setelah mengalami bentuk kekerasan seksual fisik biasanya
muncul tanda-tanda yang muncul dari anak dan dapat diamati.
Berdasarkan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesa nomor 68 tahn 2013, korban KSA memiliki ciri-ciri fisik
sebagai berikut :
1. Memar dan luka pada bagian tubuh seperti lengan atas, paha.,
bokong, pipi, genital
2. Patah tulang pada anak usia dibawah 3 tahun atau adanya dislokasi
sendi
3. Luka bakar, seperti bekas sundutan rokok atau benda panas lainnya
yang khas di paha, tangan, kaki atau bokong
4. Cedera atau bercak kebotokan pada kepala, seperti bekas
pendarahan akibat tertariknya rambut
5. Adanya tanda-tanda perlawanan seperti pakaian robek, bercak
darah pada pakaian dalam, gigitan atau cakaran.
15
Selain ciri fisik, ciri lainnya dapat diamati secara melalui
perubahan mental korban KSA.Ciri-ciri secara mental juga dialami oleh
korban KSA, diantaranya :
1. Ketakutan berlebihan yang diekspresikan melalui kata-kata, keluhan,
maupun tingkah laku akan hal-hal berikut :
a. Takut akan reaksi keluarga dan teman
b. Takut orang lain tidak mempercayai
c. Takut diperiksa dokter pria
d. Takut melaporkan kejadian
e. Takut terhadap pelaku
f. Takut ditinggal sendiri
2. Reaksi Emosional
a. Shock
b. Rasa tidak percaya
c. Marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau bingung, histeris
d. Insomnia, hilang nafsu makan dan mimpi buruk
3. Siaga berlebihan
4. Panik
5. Berduka terus menerus
Ciri-ciri atau tanda yang telah disebutkan merupakan tanda nyata
yang paling dini dan dalam jangka pendek dapat ditemukan dan segera
ditangani. Namun, dalam jangka panjang anak yang megalami kekerasan
16
seksual akan menerima banyak dampak negatif dalam hidupnya. Pertama
secara fisik bisa terjadi kehamilan usia dini, munculnya penyakit menular
seksual dan gangguan reproduksi lain pada anak. Kedua secara psikis
terjadi permasalahan dengan tingkat percaya diri dalam bergaul dan
cenderung ada rasa berbeda dari temannya. Ketiga secara sosial akan ada
labelling dari masyarakat juga tidak diterimanya anak di lingkungan
sekolah yang berakibat buruk pada masa depannya.
1.5.3
Pencegahan Kekerasan Seksual Anak
Belum banyak studi ataupun kajian yang membahas bagaimana
upaya pencegahan kekerasan seksual dalam keluarga ini dilkukan. Namun
sebuah artikel karya Deborah A. Daro (1994) yang berjudul Prevention of
Child Sexual Abuse dipandang cukup relevan dalam penelitian ini.
Karyanya dilatar belakangi oleh banyak orang yang menganggap masalah
kekerasan dan penganiayaan anak yang mempertimbangkan waktu
kejadian yang lama, menyimpulkan bahwa pencegahan kekerasan
merupakan prioritas penting. Banyak dari program pemerintah federal
kemudian memperhatikannya, misalnya dengan melakukan pendanaan
pada pengobatan korban. Jika dibandingkan dengan kasus kekerasan fisik
pemerintah terlihat sudah lebih siap mulai dari advokasi pengobatan dan
pencegahan yang sering bekerja bersama-sama. Namun hal ini belum
terlihat pada kekerasan seksual pada anak.
17
Dalam tulisannya Deborah melihat bahwa pencegahan kekerasan
seksual anak dapat diartikan sebagai suatu proses dari mengubah potensi
perilaku, potensi korban dan linkungan dimana keduanya eksis.
Pencegahan tidak hanya berlaku bagi individu yang berpotensi sebagai
korban maupun pelaku, namun juga bagi mereka yang pernah menjadi
korban maupun pelaku. Pencegahan bisa terjadi pada satu dari tiga
tingkatan:
a. Pencegahan primer, menargetkan pelayanan kepada masyarakat
umum dengan tujuan menghentikan kejadian apapun
b. Pencegahan sekunder, menargetkan pelayanan kepada kelompok
resiko tinggi agar lanjutan penyebaran dari masalah, dan
c. Pencegahan tersier, menargetkan layanan pada pelaku atau korban
dikenal dengan maksud mencegah insiden baru.
Secara historis, pencegahan kekerasan fisik dan penolakannya,
telah berkembang pada semua tiga tingkatan. Namun, pencegahan akan
kekerasan seskual lebih menargetkan potensial korban daripada potensial
pelaku dan penekanan pada pencegahan primer daripada pencegahan
sekunder atau tersier. Tidak seperti usaha untuk mengubah kebiasan
dewasa dalam kasus kekerasasn fisik atau penolakan, pencegahan
kekerasan seksual sebagian besar difokuskan pada mengubah kebiasaan
anak-anak, melalui kelompok berdasarkan instruksi anak-anak pada
bagaiamana melindungi mereka sendiri dari atau respon untuk serangan
atau kekerasan seksual.
18
Tingkatan upaya pencegahan yang ditulis oleh Debora (1994) juga
tertulis di dalam ringkasan kajian perlindungan oleh UNICEF Indonesia.
Dalam kajian tersebut dikatakan bahwa rangkaian pelayanan perlindungan
anak di tingkat masyarakat dimulai dari layanan pencegahan primer dan
sekunder sampai layanan penanganan tersier. Layanan pencegahan primer
bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat secara menyeluruh
dalam pengasuhan anak dan memastikan keselamatan mereka. Layanan ini
meliputi
kegiatan-kegiatan
yang
mengubah
sikap
dan
perilaku,
memperkuat keterampilan orangtua, dan menyadarkan masyarakat tentang
dampak yang tidak diinginkan dari kekerasan terhadap anak.
Layanan pencegahan sekunder atau layanan intervensi dini
difokuskan pada keluarga dan anak-anak yang beresiko, dilakukan dengan
mengubah keadaan sebelum perilaku kekerasan menimbulkan dampak
buruk secara nyata terhadap anak-anak, misalnya melalui konseling dan
mediasi keluarga serta pemberdayaan ekonomi. Intervensi tersier
menangani situasi dimana anak sudah dalam keadaan krisis sebagai akibat
kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, penelantaran, atau tindakantindakan buruk lainnya. Oleh karena itu, intervensi ini bertujuan untuk
membebaskan anak-anak dari dampak buruk atau, jika dianggap layak,
melakukan pengawasan terstruktur dan memberikanlayanan dukungan.
Mekanisme pencegahan dianggap lebih dibandingkan tepat dibandingkan
intervensi tersier atau reaktif. Selain itu, ditemukan pula dalam tulisan
karya Widyaiswara Madya, dalam website resmi Kementerian Sosial
19
Republik Indonesia (Kemensos RI) yang menuliskan hal-hal praktis upaya
pencegahan kekerasan seksual pada anak dalam keluarga. Adapun hal-hal
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ajarkan anak mengenal bagian tubuh sentisifnya (mulut, leher, dada,
daerah selangkangan, pantat)
2. Ajarkan anak untuk mengatakan ―tidak‖ atau ―jangan‖ atau ―lari‖
ketika ada orang lain yang ingin menyentuh bagian tubuh sensitif
3. Pastikan jalur yang dilalui anak (keluar rumah) aman
4. Pastikan anak selalu dalam pengawasan orangtua termasuk dalam
kegiatan online /internet
5. Pastikan anak bersama orang yang dikenal dan dipercaya
6. Ajarkan anak untuk tidak menerima pemberian apapun dari orang
yang tidak dikenal
7. Pastikan rumah aman dari bahan pornografi
8. Berikan kontak yang bisa dihubungi dalam situasi apapun
1.5.4
Pengasuhan Anak dalam Pencegahan Kekerasan Seksual
Membahas mengenai upaya pencegahan kekerasan seksual anak
dalam keluarga tentu tidak lepas dari peranan orang tua sebagai aktor utama
pelaksananya. Gadeyne, Ghesquiere dan Onghena (Mensah, dkk, 2013)
melihat bahwa orang tua merupakan faktor penentu paling penting yang
mempengaruhi anak. Cara orang tua mengasuh anak akan menentukan
perkembangan kepribadian dan cara anak berinteraksi di lingkungan
20
sosialnya. Anak cenderung mengikuti apa yang akan diajarkan orang tua dan
kemudian digunakan sebagai bekal mereka untuk kemudian berhubungan
dengan orang lain di luar lingkungan keluarga. Selain itu, orang tua juga
memainkan peranan penting dalam melakukan sosialisasi di lingkungan
pertama anak yakni keluarga. Hughes, Kroehler & Zanden (Mensah, dkk,
2013) mengatakan bahwa melalui sosialisasi ini diharapkan mampu
memberikan pengaruh penting dalam perkembangan emosional, kognitif dan
sosial anak.
Pada dasarnya pengasuhan atau perawatan anak bertujuan untuk
mempertahankan
kehidupan
fisik
dan
meningkatkan
kesehatannya,
memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan
tahapan
perkembangannya
dan
mendorong
peningkatan
kemampuan
berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budanya (Suprihatin, 2004).
Pengasuhan anak dapat dikatakan sebagai suatu ketrampilan yang dimiliki
oleh orang tua dan tidak dipelajari melalui pendidikan formal. Suprihatin
(2014) mengatakan bahwa kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsi
pengasuhan melalui proses trial and eror dan mempelajari melalui orang tua
lain atau orang tua terdahulu. Menurut Wong (Suprihatin, 2001) melihat
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan orang tua dalam
melakukan pengasuhan. Adapun faktor—faktor tersebut, antara lain usia
orang tua, keterlibatan orang tua, pendidikan orang tua, pengalaman
sebelumnya dalam mengasuh anak, stress orang tua (berkaitan dengan beban
yang sedang dihadapi keluarga, bisa persoalan ekonomi, dapat pula kondisi
anak), dan hubungan suami dan istri.
21
Pengasuhan pada anak juga bergantung pada pendekatan ekologi.
Salah satu yang menjadi sorotan dari pendekatan ini adalah pengaruh kuat
dari interaksi sosial yang terjadi antara anggota masyarakat (Jack,2016). Hal
ini menunjukkan bahwa metode pengasuhan orang tua dapat terjadi
perubahan bergantung pada perkembangan ataupu persoalan yang dijumpai
oleh masyarakat. Dalam hal ini misalnya maraknya kasus kekerasan seksual
pada anak di lingkungan cenderung akan membuat orang tua yang tadinya
permisif dapat menjadi lebih protektif dalam melakukan perlindungan
terhadap anak. Perubahan metode pengasuhan ini dapat terjadi akibat respon
dari maraknya kasus kekerasan seksual pada anak.
Kehidupan masyarakat modern yang dekat dengan teknologi juga
turut menuntut orang tua untuk lebih adaptif dalam melakukan pengasuhan
terhadap anak. Perkembangan teknologi yang begitu pesat dan juga secara
cepat masuk dalam kehidupan bahkan hingga kebutuhan anak membuat orang
tua harus ekstra dalam menjalankan fungsi proteksinya. Pasalnya informasi
yang dihadirkan teknologi tidak dapat secara langsung menyaring hal-hal
yang tepat untuk kemudian dikonsumsi oleh anak. Sehingga seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya, teknologi dapat memunculkan bentukbentuk secara visual kekerasan seksual anak. Salah satu hal yang dapat
mencegah ketergantungan anak dengan perangat teknologi melalui peran
pengasuhan digital oleh orang tua sebagai bentuk adaptif orang tua di era
modern ini.
Digital parenting atau pengasuhan digital adalah memberikan
batasan yang jelas kepada anak tentang hal-hal yang boleh maupun yang tidak
22
boleh dilakukan pada saat menggunakan perangkat digital (Palupi, 2015).
Terdapat beberapa prinsip dalam digital parenting, antara lain :
1. Yang terpenting bukan ―apa‖ jenisnya tetapi kapan memerlukannya
a.
Dengan melihat waktu yang tepat untuk memberikannya yaitu
dengan melihat usia dan kematangan anak
b. Membuat peraturan yang disetujui anak tentang penggunaan
perangkat digital sebelum membelikan kepada anak
2. Kualitas lebih penting daripada kuantitas
a. Orang tua dapat melakukan pengamatan dan dialog dengan anak
b. Orang tua dapat menyuruh anak untuk membuat catatan dalam hal
anak menggunakan internet yang tidak ada hubungannya dengan
tugas sekolah
c. Membuat jadwal untuk menentukan menggunakan internet dan
gunakan timer untuk mengingatkan waktunya serta anak harus
membuat komitmen diri jam berapa harus mematikan gadget
3. Menentukan sangsi jika anak melanggar janjinya
a.
Membuat sangsi terhadap peraturan yang dibuat bersama antar
orang tua dan anak.
b. Konsisten dalam menerapkan sangsi terhadap anak.
4. Menjelaskan alasan tentang diterapkannya peraturan
a.
Menjelaskan pada anak tentang makna digital, social media dan
dampak dari perangkat digital.
b.
Usia anak berbeda dalam pendekatannya terkait dengan media
digital.
23
5. Berbagi pengalaman tentang perangkat digital dengan anak
a. Mengawasi
anak
secara
rutin
dengan
suasana
yang
menyenangkan.
b. Orang tua berteman dengan anak di social media.
c.
Menjelaskan fitur yang boleh diakses dan yang tidak boleh
diakses oleh anak. (Palupi, 2015)
Adanya konsep pengasuhan digital ini merupakan sebuah metode
penhasuhan yang dapat menjadi salah satu wujud pencegahan kekerasan
seksual anak melalui perantara teknologi. Konsep ini menegaskan bahwa
hidup di era modern dan digital lebih baik untuk menghadapinya bukan unruk
menghindarinya (Shin, 2014). Artinya penggunaan internet oleh anak
bukanlah suatu hal yang harus dilarang bagi orang tua melainkan adanya
pembatasan penggunaan oleh orang tua, sehingga teknologi dapat
dimanfaatkan sebagai mana mestinya oleh anak dan menghindari anak terjadi
kekerasan seksual anak.
1.5.5
Kerangka Pemikiran
Tingkat pendidikan adalah modal bagi sesorang untuk memperoleh
banyak informasi tentang kekerasan seksual pada anak. Semakin banyak
informasi yang didapat maka akan semakin kaya pula pengetahuan terkait
kekerasan seksual pada anak. Adanya pengetahuan orang tua akan kekerasan
seksual yang terjadi membuat mereka tidak ingin anaknya menjadi korban
24
dari kekerasan seksual anak oleh sebab itu mereka melakukan beberapa hal
yang dapat mencegah terjadi kekerasan seksual pada anaknya
Penelitian ini melengkapi beberapa penelitian-penelitian sebelumnya
terkait pencegahan kekerasan seksual pada anak. Level pencegahan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah pada tataran keluarga khususnya orang
tua dimana peneliti mempertimbangkan aspek tingkat pendidikan dan
pengetahuan orang tua dalam melakukan pencegahan KSA ini. Beberapa
penelitian sebelumnya yang ditemukan sebagian besar tentang pencegahan
kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh suatu instansi dan analisis
umum tentang pencegahan.
Salah satu hasil penelitian yang pernah mengangkat topik pencegahan
kekerasan seksual anak adalah Prinea Romantika, dalam tugas akhirnya
dengan judul Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Oleh
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di
Kabupaten Wonogiri. Penelitian dilatar belakangi oleh adanya kekerasan
seksual terhadap anak yang terus berlanjut dengan intensitas yang terus
meningkat dan motif yang beragam. Meningkatnya kasus kekerasan seksual
ini kemudian direspon oleh Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap anak, yang didalamnya juga
mengatur upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.
Penelitian Prinea berfokus pada faktor penyebab terjadinya kekerasan
seksual terhadap anak di Kabupaten Wonogiri, dan bagaimana upaya
(P2TP2A) dalam mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Pendekatan
25
yang digunakan pada karya Prinea ini adalah yuridis empiris dengan mengacu
pada peraturan menteri di atas dan dilakukan dengan motede field research
dan penelitian kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa
faktor utama penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak di
Kabupaten Wonogiri adalah kurangnya pendidikan agama yang kuat pada
anak, kurangnya perhatian orang tua karena ditinggal merantau, kurangnya
kepedulian masyarakat bertetangga, kurangnya pendidikan seks pada anak
sesuai dengan usianya, kemiskinan dan pengangguran, pergaulan bebas dan
gaya hidup, hilangnya karakter dan budaya bangsa serta globalisasi.
Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa upaya pencegahan
kekerasan seksual terhadap anak yang dilaksanakan oleh P2TP2A wonogiri
yaitu dengan terlaksananya advokasi dalam penguatan sosialisasi-sosialisasi
ke berbagai elemen masyarakat, pencegahan melalui Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) pun sudah terlaksana dengan menggunakan media berupa
pamflet, stiker, pin, poster, pemasangan baliho, juga siaran radio sesuai
dengan anjuran Peraturan Menteri No 2 Tahun 2010.
Selain itu sebuah penelitian psikologi tentang efikasi mengajarkan
pencegahan kekerasan seksual anak juga terlihat mencoba memasukkan
pengetahuan sebagai background untuk melihat pengaruhnya terhadap
motivasi tindakan. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Annisa Fitria
dalam studinya bahwa pengetahuan akan pencegahan kekerasan seksual pada
anak ternyata berpengaruh terhadap efikasi mengajar guru tentang
pencegahan kekerasan seksual anak. Hal ini yang kemudian mendasari
peneliti untuk mengetahui pula hubungan pengetahuan dengan tindakan
26
pencegahan yang dilakukan orang tua. Penelitian Debora A. Daro juga
menjadi landasan dari penelitian ini dimana ia mengatakan bahwa
pencegahan kekerasan fisik dan penolakannya telah berkembang pada semua
elemen masyarakat. Namun untuk kasus pencegahan kekerasan seksual hanya
menargetkan potensial korban sebagai penekanan pada pencegahan primer,
sehingga masih kurangnya sentuhan pada potensial pelaku yang bisa saja dari
keluarga, guru dan orang-orang terdekat dengan anak. Oleh sabab itu menjadi
tantangan tersendiri untuk melihat bagaimana orang tua melakukan
pencegahan karena mereka juga berhubungan dekat dengan potensial korban
namun bisa juga dekat dengan potensial pelaku.
1.6 Kerangka Teori
1.6.1
DBO Theory Peter Hedstrom
Setiap individu dalam melakukan tindakan memiliki dorongan yang
membuatnya melakukakan tindakan tersebut. Dorangan-dorangan ini bisa dari
dalam
dirinya
maupun
dari
lingkungan.
Peter
Hedstrom
mencoba
mengkerangkai hal-hal apa saja yang kiranya membuat seorang aktor
melakukan aksinya. Menurutnya konsep aksi secara garis besar mencoba
menjalaskan hal-hal yang melatarbelakangi tindakan seorang aktor sosial.
Berdasarkan definisinya, tindakan sosial lebih dipahami sebagai suatu
perbuatan, perilaku ataupun aksi yang dilakukan oleh manusia yang berperan
sebagai aktor sosial yang berorientasi pada tujuan tertentu. DBO sendiri
mencoba menjelaskan mengenai faktor-faktor pendorong tindakan sosial
seorang aktor yang dilakukan secara sengaja atau telah direncanakan
27
sebelumnya. Artinya tindakan tersebut telah dipikirkan, dipersiapkan dan
memilki tujuan yang jelas. DBO merupakan akronim dari Desire, Belief and
Opportunites. Ketiga hal tersebut menjadi hal-hal yang membuat sesorang
melakukan tindakan seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini :
Bagan 1.1 Core components of DBO Theory
Sumber : Peter Hedstrom. Dissecting the Social On the Principles of Analytical
Sociology, p.39
Gambar di atas menunjukkan bahwa aksi dari setiap individu (actor i)
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu Desire, Belief dan Opportunites. Desire adalah
keinginan atau kehendak para aktor, beliefs adalah preposisi mengenai
keyakinan yang dipegang secara benar oleh para aktor, dan Opportunities
adalah preposisi menu bagi alternatif tindakan yang tersedia yang akan dipilih
oleh para aktor.
Namun penjelasan DBO teori tentang tindakan tidak berhenti sampai
disitu. Hedstrom melihat bahwa ketiga komponen yang mempengaruhi
tindakan seorang aktor tersebut tidak sepenuhnya murni mendorong individu
melakukan aksi. Ada dorongan lain yang kemudian menjadi polutan
28
munculnya desire, belief dan opportunities tersebut. Menurut Hedstrom ketiga
hal tersebut dapat muncul karena adanya pengaruh tindakan dari aktor lain
melalui ineteraksi sosial. Adapun penjelasan selanjutnya dapat dibantu
menggunakan bagan dibawah ini :
Bagan 1.2 Dyadic Interaction antara aktor i dan aktor j berdasasrkan
DBO teori
Sumber : Peter Hedstrom. Dissecting the Social On the Principles of
Analytical Sociology, p.44
Dalam bagan di atas, Hedstrom mencoba menjelaskan bagaimana aksi
atau tindakan aktor lain dapat mempengaruhi aktor lain. Relasi ini dikenal oleh
Hedstrom dengan sebutan dyadic interaction. Tindakan yang dilakukan oleh
aktor j tidak serta merta secara langsung dapat mempengaruhi tindakan dari
aktor j. Hal tersebut membutuhkan mediator-mediator yang berasal dari dalam
individu itu sendiri. Sehingga desire, belief dan opportunities ini berperan
sebagai mediator dari pengaruh tindakan dari aktor j ke aktor i. Tindakan aktor
i akan terpengaruh oleh tindakan dari aktor j ketika desire dan beliefs aktor i
telah dipengaruhi oleh tindakan aktor i, dimana kemudian opportunities yang
dimiliki oleh aktor j juga turut terpengaruh.
29
1.6.2
Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual Anak dalam Teori DBO
Tindakan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan
oleh orang tua adalah sebuah tindakan yang dimakusdkan agar anak terhindar
dari kekerasan seksual. Dalam melakukan tindakan pencegahan kekerasan
seksual anak tersebut, orang tua juga didasari oleh dorongan-dorongan tertentu
sama halnya dengan yang diutaran Peter Hedstrom. Orang tua dalam
melakukan tindakannya memiliki keinginan agar anaknya tidak menjadi korban
ataupun pelaku dari kekerasan seksual. Selain itu orang tua juga meyakini
bahwa tindakan kekerasan seksual adalah sesuatu hal yang tidak benar dan
menyalahi norma yang berlaku di masyarakat. Kemudian peluang orang tua
untuk melakukan tindakan pencegahan juga turut mendorong dilakukannya
tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak.
Namun, keinginan, keyakinan dan peluang ini tidak murni tumbuh di
kalangan orang tua ketika tidak ada kejadian-kejadian kekerasan seksual yang
muncul di beberapa pemberitaan. Selain itu dorongan itu semakin kuat tatkala
ada aktor yang berperan dalam menambahkan wacana bahwa upaya
pencegahan kekerasan seksual tersebut dapat dilakukan di dalam keluarga.
Aktor tersebut menjadi polutan dengan memberi pengatahuan baru kepada
orang tua yang kemudian membuat orang tua ingin dan yakin untuk melakukan
tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak tersebut. Adapun kerangka
berfikir tersebut dapat diterangkan menggunakan gambar berikut :
30
Bagan 1.3 Kerangka Pemikiran
Informasi tentang kasus
kekerasan seksual pada anak
Penerimaan Informasi oleh
orang tua (Pengetahuan)
Muncul Keyakinan pada orang
tua bahwa KSA tidak boleh
terjadi
Muncul keinginan agar anak
terhindar dari KSA
Adanya Peluang untuk
melakukan pencegahan
kekerasan seksual pada anak
melalui keluarga
Muncul kesadaran orang tua
Melakukan Tindakan
Pencegahan Kekerasan
Seksual pada Anak
Sumber : Peneliti, 2016
Keterangan :
: Bekerja bersama dan beriringan
: Bagian Proses
: Mempengaruhi/ Memicu terjadinya
: Output/ Hasil Akhir
31
1.6.3
Mekanisme Sosial untuk Tindakan Penceagahan KSA
Selain konsep DBO, Hedstrom sebelumnya juga telah mengembangkan
konsep mekanisme sosial. Mekanisme sosial menurut Hedstorm (1998) adalah
wujud konstelasi entitas yang melakukan aksi atau tindakan dan saling terkait
satu sama lain. Dimana tindakan-tindakan tersebut secara teratur berlangsung
dan bermuara kepada suatu hasil atau tujuan bersama. Konstelasi yang
dimaksud di sini adalah model integrasi yang mampu menjaga secara bersama
keberadaan entitas dan aktivtas. Adapun entitas dan aktivitas berasal dari aktor,
aksi atau tindakan dan juga interaksi serta output yang mereka bawa hingga
kemudian menjadi suatu fenomena sosial.
Dalam mekanisme sosial, seorang aktor melakukan tindakan-tindakan
individu. Tindakan tersebut terinteraksikan dengan aktor lain dan kemudian
menjadi sebuah kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas yang sama
dengan membawa suatu output. Begitu seterusnya hingga muncul beberapa
kumpulan aktor dalam entitas tertentu dengan output masing-masing. Namun
dalam suatu mekanisme sosial, output-output tersebut merujuk pada satu tujuan
yang sama meskipun dilakukan dengan cara masing-masing.
Merujuk pada konsep mekanisme sosial tersebut maka, dapat dilihat
bahwa tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak juga merupakan
suatu fenomena yang dapat terjadi melalui adanya mekanisme sosial. Dimana
di dalamnya terdapat berbagai aktor yang juga melakukan strategi-strategi
dengan cara berbeda dalam menyikapi kasus kekerasan seksual anak tersebut.
Namun sebenarnya strategi yang dilakukan tersebut saling berkaitan satu sama
lain dalam suatu mekanisme pencegahan kekerasan seksual anak.
32
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix methode) dengan
strategi eksplanatoris sekuensial (Creswell:2010), dimana penelitian yang
dilakukan lebih condong pada proses penelitian kuantitatif. Pada tahap pertama
dilakukan pengumpulan dan analisis data kuantitatif yang kemudian diikuti oleh
pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua dari hasil awal
kuantitatif. Metode Kuantitatif digunakan untuk menjelaskan hubungan antara
tingkat pendidikan dengan tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak
dalam keluarga. Kemudian dilakukan pengumpulan dan analisis data kualitatif.
Data kualitatif digunakan sebagai pelengkap sekaligus memberi warna pada datadata kuantitatif yang tidak terbaca atau tidak sginifikan.
1.7.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Prenggan Kecamatan Kotagede
Yogyakarta. Prenggan memiliki 13 RW dengan jumlah penduduk menurut
data hasil konsolidasi database kependudukan oleh Ditjen Kependudukan
Pencatatan Sipil Kemendagri yang diolah bagian kependudukan biro tata
pemerintahan setda DIY, penduduk Kelurahan Prenggan pada semester I
tahun 2015 adalah 10.907. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada adanya
kemudahan akses bagi peneliti untuk melakukan penelitiannya mengingat
lokasi penelitian merupakan daerah tempat tinggal peneliti.
Selain itu Prenggan menjadi salah satu daerah yang sedang dijadikan
pilot project sebagai kampung kejujuran oleh KPK dan kampung ramah anak
oleh KPMP Kota Yogyakarta. Hal ini menunjukkan adanya keterbukaan
33
masyarakat dalam menerima intervensi pemerintah pada proses pembangunan
dan juga diasumsikan banyak menerima informasi salah satunya tentang
kejadian kekerasan seksual anak. Penelitian dilaksanakan mulai pada Bulan
Januari 2016 sampai dengan Maret 2016
1.7.2 Populasi, Sampel dan Unit Analisis
Populasi dari penelitian ini adalah mereka yang menjadi orang tua dan
memiliki anak usia 0-18 tahun serta tinggal di Kelurahan Prenggan
Kecamatan Kotagede Yogyakarta. Berdasarkan data Kelurahan Prenggan
tahun 2012, terdapat 1079 kepala keluarga yang memiliki anak usia 0-18
tahun. Sedangkan berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Penctatan
Sipil Kota Yogyakarta terdapat 1943 kepala keluarga yang didalamnya ada
anggota anak usia 1-18 tahun. Sampel yang diambil adalah orang tua yang
tinggal di daerah terebut dengan unit analisanya individu. Artinya baik ayah
maupun ibu memiliki hak untuk menjadi responden dalam penelitian ini
selama masih memiliki anak 0-18 tahun tanpa memperhatikan usia yang
dimiliki oleh orang tua tersebut.
1.7.3 Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling dalam
pengambilan sampling. Peneliti menggunakan teknik stratisfied random
sampling dikarenakan peneliti ingin melihat level tindakan yang dilakukan
dengan mempertimbangan tingkat pendidikan responden. Langkah yang
dilakukan oleh peneliti adalah mencari data sekunder terkait tingkat
34
pendidikan mayoritas penduduk melalui kelurahan dan juga data dari Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta untuk orang tua yang
bertempat tinggal di kelurahan Prenggan. Kemudian dilanjutkan dengan
penentuan 4 RW dengan pertimbangan jumlah orang tua terbanyak. Setelah
mendapatkan beberapa wilayah tersebut baru kemudian peneliti memilih
responden secara random dari RW tersebut dengan mempertimbangkan
jumlah perwakilan tiap tingkat pendidikan.
Mengingat keterbatasan waktu, biaya dan akses peneliti, maka diambil
beberapa sampel dalam penelitian ini. Sedangkan untuk meentukan jumlah
sampel yang dipilih peneliti menggunakan Elementary Social Statistic dengan
rumus
= 96 sampel
Keterangan :
n
: Jumlah sampel
Q
2
: Jumlah populasi
Z
: Kepastian benar yang diinginkan
P
: Proporsi Populasi
T
: Prosentase toleransi ketidak telitian yang masih dapat ditolerir
Selama proses pengumpulan data, peneliti memperoleh 110 responden.
Namun, setelah dilakukan cleaning hanya terdapat 100 kuisioner yang dapat
dijadikan sebagai data yang kemudian diolah dan dianalisis.
35
1.7.4 Definisi Operasional
Tabel 1.1 Penjelasan Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan
Skala yang digunakan dalam penelitian
Variabel
Definisi
Indikator
Penelitian
Operasional
Variabel Bebas (Variabel dasar)
Tingkat
Pendidikan
Memilih jenis
Pendidikan
terakhir yang
pendidikan
ditempuh oleh pada kuisioner
orang tua
sesuai dengan
menurut
data BPS yakni
indikator BPS :
dengan jenjang 1. Tidak
terendah ialah
tamat SD
tidak tamat SD
2. Tamat SD
dan tertinggi
3. SMP
yakni
4. SMA
perguruan
5. PT
tinggi
Variabel Intervening
Pengetahuan Pemahaman
tentang
orang tua
kekerasan
tentang
seksual anak kekerasan
seksual anak
dan kasus
kekerasan
seksual yang
terjadi di
linglungan
sosial.
Variabel Terikat
Tindakan
Proses orang
pencegahan
tua melakukan
Hasil UKur
Skala
Hasil ukur dari
tingkat
pendidikan ini
dikategorikan
kedalam 2
kategori
pendidikan :
1. Pendidikan
Dasar (Tidak
tamat SD,
tamat SD,
SMP)
2. Pendidikan
Menengah ke
Atas (SMA
dan PT)
Ordinal
Untuk
mengukur
pemahaman
tersebut dapat
melalui hal-hal
berikut :
1. Bentukbentuk
KSA
2. Dampak
KSA
3. Bagian
tubuh anak
yang rawan
KSA
4. Tandatanda anak
terkena
KSA
Hasil data
dikategorikan
menjadi beberapa
tingkat
pengetahuan :
1. Sangat
Rendah
2. Rendah
3. Sedang
4. Tinggi
5. Sangat
Tinggi
Interval
Untuk
mengukur
Hasil yang
didapat terbagi
Ordinal
36
kekeraasan
seksual anak
atau tidak
melakukan
tindakab guna
mengendalikan terjadinya
kekerasan
seksual oada
anak
pencegahan
dalam dua
dilihat dari :
kategori yakni :
1. Kemam1. Orang tua
puan orang
sudah
tua
melakukan
menjelaskpencegahan
an tentang
2. Orang tua
kasus
belum
kekera-san
melakukan
seksual
pencegahan
pada anak
2. Interaksi
orang tua
dan anak
3. Keterlibatan dalam
kegiatan
sosialisasi
Sumber : Data Primer, 2016
Bagan 1.4 Hubungan Antar Variabel
X1
y
X2
Keterangan
: Berhubungan
X1
: Tingkat Pendidikan Orang tua
X2
: Pengetahuan Orang Tua tentang Kekerasan Seksual pada Anak
Y
: Tindakan Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak
37
1.7.5 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini mengguanakan beberapa metode pengumpulan data.
1.
Pengumpulan data sekunder dilakukan peneliti dengan cara
mengumpulkan data sensus penduduk di Kelurahan Prenggan
untuk melihat jumlah keluarga yang memiliki anak usia 0-18 tahun
sebagai calon responden
2.
Studi pustaka peneliti lakukan untuk mencari referensi-referensi
yang relevan dan dapat digunakan dalam penelitian ini. Studi
pustaka dilakukan dengan cara mencari jurnal atau panduan
UNICEF, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, dan Kementrian Sosial, juga mencari riset-riset yang ada
sebelumnya.
3.
Observasi. Observasi dilakukan untuk mengamati kondisi wilayah
RW untuk menentukan lokasi penelitian. Peneliti melakukan
observasi dalam mengamati kondisi lingkungan sosial di wilayah
Prenggan, khususnya terkait kegiatan-kegiatan sosial warga
masyarakat.
4.
Wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner
dan interview guide. Wawancara dengan menggunakan kuisioner
dilakukan kepada orang tua yang menjadi responden untuk
mendapatkan data statistik.
38
1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
statistik deskriptif dan statistik inferensial. Peneliti menggunakan statistik
deskriptif untuk menggambarkan upaya pencegahan kekerasan seksual pada
anak oleh orang tua dalam beberapa aspek seperti usia atau jenis kelamin
orang tua di Kelurahan Prenggan Kotagede Yogyakarta. Serta memberikan
gambaran seberapa besar hubungan antara varriabel-variabel tersebut
terhadap tindakan pencegahan kekerasan seksual pada anak. Alat yang
digunakan dalam menganalisis data dengan menggunakan IBM SPSS
Statistic 22 menggunakan uji chi square.
Untuk memperkaya pengkajian data peneliti melakukan analisis terhadap
hasil wawancara dengan menggunakan analisis data kualitatif Miles dan
Huberman. Adapun teknik analisis tersebut yakni melakukan pereduksian
data, penyajian data kemudian menarik kesimpulan. Data kualitatif digunakan
sebagai pelengkap dari data kuantitatif yang telah dianalisis sebelumnya
sehingga memperkaya kajian yang ada.
39
Download