5 TINJAUAN PUSTAKA Peran Keluarga Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999). Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu mengacu pada: 1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda. 2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency). 3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarganya. Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi 6 keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain: 1. Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. 2. Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. 5. Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Keluarga mempunyai berbagai fungsi peran yang menetukan kualitas kehidupan baik kehidupan individu, keluarga, bahkan kehidupan sosial (kemasyarakatan). Fungsi keluarga dapat dibagi menjadi fungsi ekspresif dan instrumental. Fungsi ekspresif keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosi dan perkembangan, termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak. Sementara itu, fungsi instrumental berkaitan dengan manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga (Sunarti, 2004). Salah satu teori yang digunakan dalam menjelaskan fungsi keluarga adalah teori AGIL (Adaptation, Goal, Attainment, Integration, dan Latency). 7 Berdasarkan teori AGIL bahwa empat masalah fungsional utama dalam keberlangsungan sistem yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem yang berada pada tingkatan sistem kepribadian, sosial, dan budaya. Keluarga sebagai unit sosial terkecil merupakan tulang punggung pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut yang selanjutnya menentukan keberlangsungan serta keseimbangan sistem sosial yang lebih luas (Sunarti 2001). 1. Fungsi Adaptasi. Fungsi ini mengacu pada perolehan sumberdaya atau fasilitas yang cukup dari lingkungan luar sistem dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem. Adaptasi adalah suatu pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi. 2. Fungsi pencapaian tujuan. Setiap keluarga mempunyai tujuan atau rencana yang akan dicapai (output), dengan syarat adanya sumberdaya keluarga (input) baik materi, energi, dan informasi. Dengan demikian keluarga dapat mencapai tujuannya, dan dapat menjalankan menjalankan fungsi-fungsi keluarga dengan menggunakan sumberdaya keluarga, maka perlu adanya proses (throughput) yang harus ditempuh (Deacon & Firebaught 1988). 3. Fungsi integrasi. Fungsi ini mengacu pada pemeliharaan ikatan dan solidaritas. Elemen tersebut digunakan untuk mengontrol, memelihara subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem. 4. Fungsi pemeliharaan sistem. Fungsi ini mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem, melibatkan dua masalah saling berkaitan yaitu pola pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan. Teori Sistem (Ecological Framework) Teori ini didasarkan pada konsep ekologi yang melihat bahwa manusia adalah bagian dari sitem lingkungan dimana ia hidup dan tinggal. Teori ini menekankan bahwa setiap sistem terdiri atas unsur-unsur. Unsur dalam sistem bersifat saling terhubung satu sama lain dan saling mempengaruhi, dimana perubahan pada satu elemen akan berpengaruh pada elemen lainnya di dalam 8 sistem yang sama. Sementara itu, sistem terdiri atas unsur input, proses dan output. Lebih lanjut disebutkan bahwa input merupakan unsur yang terdiri dari sumberdaya, nilai, tuntutan, tujuan, sedangkan proses terdiri atas perencanaan dan pelaksanaan. Sementara itu output terdiri atas pencapaian tujuan, kepuasaan, dan kesejahteraan (Deacon & Firebaught 1988). Bronfenbrenner memberikan penekanan bahwa seorang anak adalah bagian yang akan dipengaruhi secara langsung dan tidak langsung oleh sistem lingkungan mikro, messo, exo, dan makro diseputar kehidupan anak. Peran Ibu dalam Pengasuhan Rutter (1984) dalam Karyadi (1985) mengemukakan bahwa supaya anak dapat tumbuh dan berkembang dengan normal, dibutuhkan kualitas dan kuantitas pengasuhan ibu. Ada beberapa ciri yang diperlukan untuk melakukan pengasuhan ibu dengan cukup baik, diantaranya (1) hubungan kasih sayang, (2) kelekatan atau keeratan hubungan, (3) hubungan yang tidak terputus (4) interaksi yang memberikan rangsangan. Dari ciri-ciri tersebut kasih sayang merupakan unsur yang penting dalam hubungan yang terjalin antara keluarga. Hurlock (1999) mengatakan bahwa rasa aman, pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis, kasih sayang, pola perilaku yang disetujui, bimbingan dan bantuan dalam mempelajari berbagai kecakapan yang sangat dibutuhkan anak, pertama diperoleh dari keluarga. Pengasuhan anak mencakup seluruh bentuk interaksi antara orangtua dengan anak untuk perkembangan seluruh potensi anak yaitu fisik, akal, mental, rohani, dan moral. Menurut Myers (1992) pada kenyataanya pemberian pengasuhan tergantung pada ketersediaan sumberdaya, pendidikan, pengetahuan, kondisi kesehatan pengasuh, alokasi waktu, dukungan sosial dan sumberdaya ekonomi yang dimiliki keluarga. Pada umumnya di negara-negara berkembang, pelaku utama pengasuhan bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu. Akan tetapi pada keluarga tipe extended family, nenek, bibi, ayah dan anggota keluarga lainnya bahkan tetangga di sekitar keluarga tersebut pun membeikan kontribusi dalam pengasuhan anak. Hasil penelitian Rogers dan Youssef (1988) dalam Masithah (2002) menunjukan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam keluarga tersebut misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Praktek pemberian pengasuhan yang sangat memadai sangat penting tidak hanya bagi daya tahan anak tetapi juga untuk mengoptimalkan perkembangan fisik dan 9 mental anak serta baiknya kondisi kesehatan anak. Pengasuhan juga memberikan kontribusi bagi kesejahteraan dan kebahagiaan serta kualitas hidup yang baik bagi anak secara keseluruhan. Karakteristik Keluarga Keluarga adalahi unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan dan hubungan darah serta tinggal dalam satu rumah dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai tujuan yang sama (Guhardja, Hartoyo, Puspitawati, Hastuti 1992). Keluarga mempunyai peran penting dalam pembentukan sumberdaya manusia. Hal ini karena tempat pertama bagi manusia untuk berinteraksi dimulai dari keluarga. Oleh karena itu, maka sudah selayaknya keluarga dijadikan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar jumlah anggota keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak, karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Menurut Cahyaningsih (1999) diacu dalam Akmal (2004), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtua. Menurut Sa’diyyah (1998) semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Sukarni 1994). Usia Orangtua Usia orangtua terutama ibu yang relatif masih muda, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak. Umumnya mereka mengasuh dan merawat anak berdasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Ibu yang masih muda cenderung untuk mendahulukan dan memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih 10 berumur cenderung menerima perannya sepenuh hati sebagai ibu, sehingga berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak. (Hurlock 1999). Pendidikan orangtua Hastuti (2007) mengemukakan bahwa pendidikan dapat membentuk kematangan berfikir seseorang, baik pendidikan formal maupun non formal, pegalaman berorganisasi, akses kepada buku dan media massa yang dapat membentuk kematangan berfikir seseorang yang akan membentuk perilakunya saat berinteraksi dengan anak. Tingkat pendidikan yang dicapai oleh orangtua akan menentukan cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, serta kepribadiannya. Rendahnya pendidikan orangtua menyebabkan orangtua tidak dapat mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam pengasuhan anak (Engel et al. 1997). Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2004) di Kabupaten Indramayu memperlihatkan perbedaan cara pengasuhan yang diberikan keluarga nelayan berpendidikan rendah dengan yang berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi memiliki alokasi waktu yang relatif lebih banyak dengan anak dan berinteraksi lebih sering. Pengeluaran Keluarga Pengeluaran keluarga diasumsikan mampu menggambarkan kemampuan ekonomi dari keluarga, sehingga tinggi rendahnya pengeluaran dapat memberi petunjuk akan tingginya rendahnya ekonomi dari suatu keluarga (Anonim 1993). Keadaan ekonomi adalah salah satu faktor penting yang akan berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Dengan keadaan ekonomi yang baik, sebuah keluarga tidak perlu lagi merasa bermasalah dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Gunarsa & Gunarsa (1995) menyatakan bahwa orangtua dengan pendapatan yang cukup tinggi mempunyai waktu yang lebih banyak untuk memperhatikan dan membimbing perkembangan anaknya. Sebaliknya keluarga dengan tingkat ekonomi rendah akan kurang memperhatikan perkembangan anak, tidak ada pengahargaan dan pujian terhadap perbuatan baik anak serta kurangnya pelatihan dan pemahaman nilainilai moral. 11 Pekerjaan Orangtua Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja diluar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumahtangga. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Karakteristik Anak Umur Menurut Hurlock (1999) umur anak akan mempengaruhi alokasi waktu ibu untuk pengasuhan. Pada anak dibawah umur dua tahun perhatian dan kasih sayang ibu lebih banyak tercurah kepada anak tersebut karena anak belum mandiri dan masih sangat membutuhkan bantuan ibu sebagai pengasuh utama. Anak dengan umur diatas dua tahun akan semakin mandiri dan mempunyai jaringan sosial lebih luas sehingga ketergantungan dengan sosok pengasuh utama yaitu ibu akan mulai berkurang. Menurut Sa’diyyah (1998) bahwa umur anak berpengaruh negatif terhadap jumlah waktu ibu untuk anaknya. Semakin besar umur anak semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk mereka. Keadaan ini dapat dimengerti karena semakin besar anak, ketergantungan terhadap pengasuhnya akan semakin berkurang. Anak yang lebih kecil memerlukan bimbingan dan pengawasan yang lebih banyak dari pengasuhnya. Karena ibu sebagai pengasuh utama, maka semakin muda usia anak semakin banyak waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Jenis Kelamin Ada tiga alasan mengapa jenis kelamin individu penting bagi perkembangan selama hidupnya. Pertama, setiap tahun anak-anak mengalami peningkatan takanan budaya dari para orang tua, guru, kelompok sebaya mereka dan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan pola-pola sikap dan perilaku yang dipandang sesuai bagi kelompok jenis kelamin mereka. Kedua, pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu. Di rumah, di sekolah dan di dalam kelompok bermain, anak-anak belajar apa yang dianggap pantas untuk jenis kelamin mereka. Ketiga adalah sikap orang tua mereka dan anggota keluarga penting lainnya terhadap individu sehubungan dengan jenis kelamin, mereka seperti anak laki-laki lebih diharapkan daripada anak wanita (Hurlock 1999). 12 Beban Kerja Ibu Konsep yang sudah umum dalam masyarakat Indonesia tradisional menyatakan bahwa peran yang paling wajar bagi wanita adalah peran menjadi ibu atau isteri di lingkungan rumah tangga dan apabila pada masa sekarang ini, mereka bekerja di luar rumah tangga dan menghasilkan uang semata-mata itu karena terpaksa akibat dari tekanan ekonomi (Mudzhar et al. 2001). Sajogyo (1981) diacu dalam Rezeki (2006) mengungkapkan bahwa dalam keluarga dan rumah tangga, wanita pada dasarnya seringkali berperan ganda. Hal ini dicerminkan pertama-tama oleh perannya sebagai ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan rumah tangga (memasak, mengasuh anak dan sebagainya), suatu pekerjaan produktif yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, karena pekerjaan itu memungkinkan anggota keluarga lainnya untuk mendapatkan penghasilan secara langsung. Lestari (1984) diacu dalam Rezeki (2006) menyatakan hal yang serupa yaitu terdapat beberapa penelitian mengenai keluarga inti yang pernah dilakukan bahwa dalam keluarga dan rumah tangga wanita pada dasarnya sering berperan ganda. Hal ini dicerminkan pertama oleh perannya sebagai ibu rumah tangga dan yang kedua adalah sebagai pencari nafkah. Meskipun ada ibu yang berperan sebagai pekerja untuk mencari tambahan penghasilan, seorang ibu tetap dituntut untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik di tengah keluarganya Perbedaan pekerjaan rumah tangga (pekerjaan domestik) dan pekerjaan di luar rumah tangga (pekerjaan produktif) tampak jelas dalam hal ekonomi. Perbedannya yaitu pada pekerjaan rumah tangga tidak memiliki nilai ekonomi bagi anggota keluarga sedangkan untuk pekerjaan di luar rumah tangga yaitu sebaliknya (Guhardja et al. 1992). Mangkuprawira (1985) membagi waktu ibu secara umum pada enam kegiatan yaitu: 1. waktu rumah tangga, semua waktu yang digunakan untuk kegiatan rumah tangga yang tidak bernilai ekonomis seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak dan mengasuh anak 2. waktu mencari nafkah, yaitu semua waktu yang digunakan untuk menambah penghasilan keluarga 3. waktu sosial, yaitu waktu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti gotong royong, menjenguk orang sakit, mengunjungi tetangga, mendatangi pengajian dan arisan 13 4. waktu pendidikan, yaitu semua waktu yang digunakan ibu untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu 5. waktu pribadi, yaitu waktu yang digunakan untuk kepentingan pribadi seperti makan, minum, sholat, membaca Al-Qur’an dan tidur 6. waktu luang, yaitu sisa dari waktu diatas. Mangkuprawira (1985) melakukan penelitian dan mendapatkan hasil bahwa rata-rata waktu ibu di pedesaan untuk rumah tangga sebesar 5,6 jam perhari, mencari nafkah 2,3 jam perhari, sosial 1,3 jam perhari pendidikan sebesar 0,2 jam per hari, waktu luang 4,6 jam per hari dan sisanya untuk kegiatan pribadi. Menurut Walker dan Woods (1976) yang diacu Guhardja et al. (1992) mengemukakan bahwa aktivitas pekerjaan rumah tangga menurut jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi enam pekerjaan, yaitu: 1. Berbelanja bahan makanan dan memasak makanan maupun minuman 2. Menyiapkan makanan dan keperluannya termasuk mencuci peralatan makan dan minum 3. Membersihkan dan memelihara rumah dan perlengkapannya termasuk peralatan rumah tangga dan prasarana lainnya yang ada dalam rumah tangga 4. Mencuci pakaian dan perlengkapannya 5. Menyediakan air untuk mandi dan cuci anggota rumah tangga 6. Mengasuh dan merawat serta mendidik anak Yulianis et al. (2003) membagi beban kerja menjadi dua, yaitu beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif. Dari hasil penelitian Yulianis et al. (2003) di Kota Bogor bahwa ibu dari keluarga miskin memiliki beban kerja yang tergolong sedang menurut persepsi ibu, karena memiliki tenaga yang membantu baik dari anak, suami, saudara maupun ibu atau ibu mertua. Dukungan Sosial Manusia sebagai individu dalam kehidupannya dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut kepentingan terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni keluarga (suami atau isteri) saudara atau masyarakat (tetangga) dimana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam menjalani kehidupannya, juga 14 bagi keluarga dalam menjalani kehidupan perkawinaanya bagi pelaksanaan pengasuhan anak. Dukungan sosial diartikan sebagai pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula (Tati 2004). Selain itu semakin baik dukungan sosial yang diberikan kepada ibu maka cenderung semakin baik pengasuhan anak yang dilakukan. Demikian juga yang dikemukakan oleh Sarafino (1996) dalam Tati (2004) bahwa adanya perhatian yang baik dari keluarga atau tetangga serta kondisi lingkungan yang ramah, secara emosional ibu mempunyai hubungan baik dengan tetangga dan keluarga, saling berbagi pengalaman dalam pengasuhan anak, keadaan ini akan meningkatkan kualitas pengasuhan anak mereka. Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996) dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari: • Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan perhatian. Menurut Witty et al. (1992) diacu dalam Conger et al. (1994), individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga menimbulkan rasa aman dan percaya. • Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak. • Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain. 15 • Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang kenyataan, nasehat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan (Felton & Berry 1992 diacu dalam Conger et al.1994). Alokasi Waktu Pengasuhan Waktu merupakan sumberdaya selain sumberdaya manusia dan materi, yang digunakan oleh keluarga untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Waktu dapat dikelola sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo & Hastuti 1992). Penelitian Sa’diyyah (1998) membagi alokasi waktu pengasuhan anak menjadi lima kegiatan, antara lain: (1) memberi makan contoh, (2) keluar bersama contoh, (3) bermain bersama contoh, (4) mengerjakan pekerjaan rumah dengan contoh, (5) tidur bersama contoh. Hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu untuk pengasuhan 12,63 jam per hari atau sekitar 52,63 persen dari total waktu ibu dalam sehari. Sebagian besar dari waktu pengasuhan sehari tersebut 5,09 jam dialokasikan untuk menidurkan anak atau tidur bersama anak, selanjutnya 3,05 jam untuk mengerjakan rumah sambil mengasuh anak, 2,23 jam menemani anak bermain, 1,2 jam keluar rumah dengan anak, dan 1,06 jam adalah untuk memberi makan kepada anak. Penelitian Meirita (2000) membagi alokasi waktu pengasuhan menjadi empat kegiatan, antara lain (1) keluar rumah dengan contoh, (2) memberi makan contoh, (3) memandikan contoh, (4) bermain contoh. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu untuk pengasuhan 5,7 jam per hari, sebagian besar dari waktu pengasuhan sehari tersebut 2,59 jam dialokasikan untuk bermain dengan contoh. Selanjutnya 1,39 jam untuk keluar rumah dengan contoh, 1,2 jam memberi makan contoh, dan 0,48 jam adalah untuk memandikan contoh. Adapun penelitian Yulianis et al. (2003) membagi alokasi waktu pengasuhan menjadi enam kegiatan, antara lain: (1) keluar rumah dengan contoh, (2) mengerjakan pekerjaan rumah dengan contoh, (3) menidurkan contoh, (4) memandikan contoh, (5) memberi makan contoh, (6) bermain dengan contoh. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa rata-rata alokasi waktu ibu untuk pengasuhan 4.66 jam per hari untuk ibu yang bekerja dan 6,24 jam untuk 16 ibu yang tidak bekerja. Sebagian besar dari waktu pengasuhan sehari tersebut 2,43 jam (ibu tidak bekerja) dan 1,53 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk bermain dengan contoh. Selanjutnya 1,01 jam (ibu tidak bekerja) dan 0.89 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk keluar memberi makan contoh, 1,12 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,54 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk tidur bersama, contoh, 0,75 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,67 jam (ibu bekerja) dialokasikan memandikan contoh, 0,66 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,71 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk keluar rumah dengan contoh, 0,27 jam (ibu tidak bekerja) dan 0,32 jam (ibu bekerja) dialokasikan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan contoh. Navera dalam Mangkuprawira (1985) mengemukakan determinan waktu ibu dipengaruhi oleh besar keluarga, pendapatan keluarga, pendidikan orangtua, kekayaan rumah tangga dan usia anak. Apabila pendapatan tidak memadai bertambahnya anggota keluarga menyebabkan bertambah besar waktu ibu untuk mencari nafkah, begitu juga semakin tinggi pendidikan orangtua mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan ilmunya dalam pekerjaan di luar rumah. Makin banyak aset rumah tangga makin efektif waktu ibu di rumah sehingga berkesempatan untuk menggunakan waktu luangnya untuk bekerja. Makin kecil usia anak makin banyak waktu ibu bersama anak karena anak belum mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan sosok ibu.