1 Kekerasan seksual pada anak

advertisement
1
Kekerasan seksual pada anak (KSA) adalah aktivitas seksual pada anak
yang dilakukan dengan atau tanpa paksaan (Finkelhor, Hammer & Sedlak, 2008;
Kenny & Wurtele, 2008) atau ancaman oleh orang dewasa atau teman sebayanya
(Shaul & Audage, 2007). Aktivitas seksual tersebut meliputi perilaku baik kontak
maupun non kontak (Bebbington, Jonas, Brugha, Meltzer, Jenkins, Cooper, King
& McManus, 2011; Vivolo, Holland, Teten & Holt, 2010). KSA kontak seperti
meraba bagian pribadi anak (payudara, alat kelamin, dan pantat), penetrasi,
pencabulan, pemerkosaan atau memaksa anak untuk memegang bagian pribadi
pelaku (Finkelhor, et al, 2008; Kenny & Wurtele, 2008). Sedangkan KSA non
kontak meliputi memperlihatkan anak gambar porno atau daerah kelamin, dan
mendorong anak untuk berperilaku secara seksual (Vermont, 2010). Adapun
batasan usia anak menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 35 Tahun
2014 yang merupakan revisi dari UU. No.23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak adalah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut Liputan6.com (2014), berdasarkan data yang dikumpulkan dan
dianalisa oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak,
tercatat 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak dan hampir separuh kasus
tersebut merupakan kasus KSA. Persentase setiap tahun untuk angka KSA pun
semakin meningkat. Pada tahun 2012, sebanyak 2.637 kasus dengan 41%
merupakan kasus KSA, lalu pada tahun 2013 jumlah kekerasan pada anak
memang menurun, tapi persentase untuk KSA melonjak, 60% dari kasus yang
terjadi. Data terakhir yang dimiliki Komnas Anak, pada Januari – Juni 2014
2
terdapat 1.039 kasus dengan jumlah korban sebanyak 1.896 anak yang didominasi
60% di antaranya dalam kasus KSA.
KSA tidak hanya menimpa anak yang normal namun juga menimpa anak
yang memiliki kebutuhan khusus seperti anak dengan disabilitas intelektual atau
seringkali dikenal dengan istilah retardasi mental (Niehaus, Kruger, & Schmitz,
2013). Menurut American Association on Intellectual and Developmental
Disabilities (AAIDD) disabilitas intelektual adalah suatu disabilitas yang terjadi
sebelum usia 18 tahun, dengan karakteristik adanya keterbatasan baik pada fungsi
intelektual maupun perilaku adaptif (Hallahan, Kauffman, & Pullen, 2012).
AAIDD (2002) menjelaskan bahwa keterbatasan perilaku adaptif yang dimaksud
meliputi tiga keterampilan yakni, (1) keterampilan konseptual (bahasa, konsep
tentang uang, waktu, angka, dan self direction), (2) keterampilan sosial
(keterampilan interpersonal, tanggung jawab sosial, self esteem, pemecahan
masalah sosial, dan kemampuan untuk mengikuti atau menaati aturan), (3)
keterampilan praktis (aktivitas merawat diri sehari-hari, keterampilan bekerja,
menggunakan uang, menggunakan telepon, bepergian menggunakan alat
transportasi).
Anak dengan retardasi mental lebih berisiko untuk menjadi korban KSA
dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya (Akbas¸ Turla, Karabekirog˘lu,
Pazvantog˘lu, Keskin, Bo¨ke, 2009; Bottoms, Nysse, Harris & Tyda 2003;
Herkowitz, Lamb & Horowitz, 2007; Kim, Y, 2010; Levy & Packman, 2004;
Morano, 2001; Wilson, 2008). Hal ini mengakibatkan kejahatan seksual yang
lebih serius kepada korbannya, terutama anak yang memiliki kecatatan lebih parah
3
(Pedgrift, 2009). Menurut USA REPORT, The American Academy of Pediatrics
& The development of Justice mengungkapkan bahwa telah terjadi kekerasan
seksual pada anak berkebutuhan khusus 2 kali lebih tinggi daripada yang terjadi
pada anak biasa. Hasil penelitian lainnya juga mencatat bahwa ancaman kekerasan
seksual pada anak berkebutuhan khusus empat kali lebih tinggi dibandingkan
dengan anak normal (Morano, 2001; Sullivan & Knutson, 2000; Usman, 2013).
Menurut Rovanita (dalam Usman, 2013) berdasarkan sebuah penelitian, hampir
17% anak berkebutuhan khusus laki-laki dan 25% anak berkebutuhan khusus
perempuan menjadi korban kekerasan sebelum berusia 18 tahun.
Anak dengan retardasi mental mengalami kesulitan untuk memberitahu
orang lain tentang KSA yang dialaminya (Finkelhor, et al, 2008; Hershkowitz,
Lam, & Horowitz, 2007). Menurut Reynold (Akbas, et al, 2009) individu dengan
retardasi mental seringkali mengalami kesulitan untuk menghentikan KSA karena
beberapa hal, misalnya hambatan dalam memahami apa yang sedang terjadi
selama kejadian tersebut berlangsung, adanya paksaan dari pelaku atau memiliki
ketergantungan terhadap pelaku kekerasan. Selain itu, kurangnya pengetahuan
tentang seksualitas yang memadai menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
anak dengan retardasi mental rentan terhadap KSA (Ballan, 2002; Levy &
Packman, 2004).
Di Indonesia angka kejadian KSA pada anak dengan retardasi mental
belum diketahui dengan pasti. Data statistik tidak dapat menunjukkan insidensi
kejadian KSA pada anak dengan retardasi mental. Kasus tersebut menunjukkan
fenomena gunung es (iceberg phenomenon), di mana kasus yang tampak
4
sesungguhnya hanya puncak dari masalah yang lebih besar, yang justru tidak
terlihat.
Pengalaman KSA memberikan dampak negatif bagi perkembangan dan
masa depan anak. Baik anak normal maupun anak dengan retardasi mental yang
mengalami KSA menunjukkan masalah dalam emosi dan perilakunya (Akbas et
al, 2009; Dube, Anda, Whitfield, Brown, Felitti, Dong & Giles, 2005, Freyd,
Putnam, Lyon, Becker-Blease, Chelt, Siegel, & Pezdek, 2005). Korban KSA
biasanya mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi (Akbas, et al, 2009;
Freyd, et al, 2005), posttraumatic stress disorder, dan depresi (Freyd, et al, 2005;
Gaskill & Perry, 2012).
Kekerasan seksual juga berdampak pada perilaku anak seperti menarik
diri, menurunnya prestasi belajar, bunuh diri, perilaku seksual yang menyimpang
(Johnson, 2004), menyakiti binatang, keengganan untuk berpisah dari sosok lekat,
tidak mudah percaya dengan orang lain, agresif dan melarikan diri (Cruise, 2004).
Beberapa dampak kekerasan seksual pada anak secara fisik seperti rasa sakit saat
buang air besar maupun kecil dan luka pada daerah kemaluan, pendarahan pada
daerah kemaluan (Johnson, 2004), kehamilan, kesulitan tidur, menyakiti diri
sendiri, enuresis, encopresis (Cruise, 2004). Meskipun demikian, tidak semua
kasus kekerasan seksual berdampak secara fisik pada anak (Johnson, 2004).
Selain itu, Whitaker dkk (dalam Cashmore & Shackel, 2013) menyatakan bahwa
sebagian besar pelaku KSA adalah orang yang pernah mengalami KSA di masa
lalunya. Hal ini menunjukkan bahwa KSA yang di alami pada masa kanak-kanak
5
dapat mempengaruhi korban untuk menjadi pelaku KSA di masa yang akan
datang.
Pelaku KSA sebagian besar adalah orang-orang yang dikenal oleh anak
(Akbas, et al, 2009; Finkelhor, Ormrod, & Turner, 2005; Finkelhor, et al, 2008;
Freyd, et al, 2005; Friedman, 2010; Morano, 2001). Hasil penelitian menemukan
bahwa 3% pelaku KSA berasal dari anggota keluarga, 12% merupakan orang
asing dan 85% dilakukan oleh teman dan orang yang dikenal yang sebagian besar
dari mereka juga berada di bawah usia 18 tahun (Finkelhor, et al, 2005). Hal
tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbas, et al (2009) yang
menyatakan bahwa 97 – 99 % pelaku KSA pada anak dengan retardasi mental
adalah orang yang dikenal dan dipercaya anak tersebut, dan hampir dari
setengahnya adalah anggota keluarga korban.
Menurut Finkelhor (1986) terdapat empat kondisi yang harus terpenuhi
untuk terjadinya KSA, yaitu : 1) adanya motivasi dari pelaku; 2) kemampuan
pelaku untuk mengatasi halangan internal; 3) kesempatan bagi pelaku untuk
mengatasi halangan eksternalnya; 4) adanya keyakinan dari pelaku bahwa anak
hanya memberikan sedikit perlawanan terhadap kekerasan seksual yang
dilakukan. Oleh karena itu, usaha prevensi KSA dapat difokuskan pada
memunculkan halangan eksternal atau penolakan terhadap kekerasan seksual yang
akan terjadi.
Salah satu bentuk memunculkan halangan eksternal terhadap kekerasan
seksual adalah dengan membekali anak kemampuan menjaga diri. Kemampuan
menjaga diri tersebut dapat dimulai dengan mengenalkan anak anggota tubuh
6
yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh orang lain. Anak juga diajarkan
untuk berani berkata “tidak” saat ada orang lain yang menyentuh bagian pribadi
tubuh anak, memperlihatkan gambar porno atau mempertontonkan bagian tubuh
pelaku kepada anak. Saat anak memahami bagian pribadi tubuhnya, maka anak
tidak akan membiarkan sembarang orang untuk melihat dan menyentuh bagian
pribadi tubuhnya. Anak juga dapat berkata “tidak” saat ada orang yang
memperlihatkan gambar porno atau mencoba memperlihatkan bagian pribadi
tubuhnya ke anak. Kemampuan menjaga diri yang dimiliki anak inilah yang
menjadikan halangan eksternal bagi pelaku KSA untuk melakukan tindakan KSA.
Penelitian terkait upaya prevensi KSA pada anak dengan retardasi mental
masih terbatas. Penelitian yang ada lebih banyak menfokuskan upaya prevensi
KSA pada tataran sekolah, di mana guru berperan sebagai agen prevensi KSA
(Wahida, 2014). Orangtua, sebagai lingkungan terdekat anak memiliki peran yang
sangat penting dan berpotensi memberikan perlindungan dari KSA (Martin &
Luke, 2010). Orangtua memiliki peranan dalam mengajarkan anak keterampilan
menjaga diri dari KSA. Penelitian yang dilakukan oleh Wurtele, Kast, & Melzer
(1992) membandingkan orangtua dan guru sebagai instruktur program
keselamatan dari KSA untuk anak prasekolah. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa anak yang diajarkan oleh orangtuanya lebih baik dalam
mengenali sentuhan baik dan sentuhan buruk, serta dalam menguasai
keterampilan perlindungan diri dibandingkan dengan yang diajarkan oleh guru.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa orangtua dapat menjadi pendidik
yang efektif dalam mengajarkan prevensi KSA.
7
Penelitian ini menggunakan ibu sebagai subjek penelitian. Hal ini
dikarenakan, berdasarkan hasil penelitian, dibandingkan dengan ayah, ibu
cenderung lebih aktif terlibat dalam program prevensi KSA (Wurtele & Kenny,
2010). Ibu juga lebih terbuka dalam mengkomunikasikan tentang seksualitas
daripada ayah (Burgess, Dzigielewski, & Green, 2005; Chen, Dunne, & Han,
2007; King & Lorusso, 1997; Pick & Palos, 1995). Selain itu, ibu merupakan
lingkungan terdekat anak dan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang
anak, sehingga melatih ibu agar dapat menjadi agen prevensi KSA merupakan
tindakan yang tepat (Eggen & Kauchak, 2010).
Pada kenyataannya, ibu tidak cukup mempersiapkan anak mereka untuk
dapat mencegah KSA yang mengancamnya. Hal ini dikarenakan pengetahuan
yang dimiliki ibu tentang KSA masih kurang memadai. Berdasarkan survey awal
yang peneliti lakukan di SLB X di kota Yogyakarta, pada bulan Desember 2014
menunjukkan hasil bahwa 8 dari 19 orang responden atau 42,11% menjawab
bahwa KSA adalah suatu hal yang tidak menyenangkan. Hal ini terlihat dari
jawaban responden sebagai berikut:
Perbuatan yang tidak menyenangkan dan dampaknya seumur hidup
(R2). Menakutkan karena ada di mana-mana (R9). Suatu perbuatan
yang keji, menjijikkan, tidak bermartabat, tidak berperikemanusiaan
dan melanggar HAM karena itu pelakunya harus dihukum seberatberatnya (R19).
Selain itu, sebanyak 15,79% responden juga mengatakan bahwa KSA
adalah suatu bentuk kekerasan terhadap anak dan menganggap tindakan tersebut
tidak wajar seperti terlihat dari jawaban responden di bawah ini:
Banyak kekerasan yang dialami oleh anak bahkan yang masih di
bawah umur atau balita dengan ditawari imbalan atau ancaman bila
8
mengadu, pelaku menganggap perbuatannya itu tidak membuat korban
menuntut pelaku (R11). Kekerasan yang dilakukan oleh segelintir
orang yang tidak bertanggung jawab (R12). Anak di bawah umur yang
diperlakukan tidak wajar (R13). Kekerasan seksual pada anak yang
saya tahu kurangnya komunikasi dengan orangtua dan perhatian (R6).
Bahkan 7 dari 19 responden menjawab bahwa mereka tidak mengetahui
apa sebenarnya KSA tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman ibu
tentang KSA masih terbatas mengenai dampak dari KSA saja.
Hasil survey awal juga menunjukkan bahwa ibu mengalami kebingungan
bagaimana cara mengajarkan anak agar terhindar dari KSA. Keterbatasan yang
dimiliki anak menjadi salah satu kendala sehingga agar terhindar dari KSA ibu
memberikan pengawasan yang ketat dan selalu menemani anak setiap saat. Hal ini
terlihat dari jawaban yang diberikan oleh ibu
Supaya anak terhindar dari KSA ya selalu dinasehati dan diawasi
(R4). Anaknya gak paham-pahan jadi ya mesti diawasi ketat biar tidak
kena (R5). Gak tau mau ngajarin apa soalnya penalaran anak kurang
sehingga daya tangkapnya tidak langsung bisa diterima (R9).
Kurangnya pengetahuan serta keterampilan dalam melakukan prevensi
KSA menyebabkan ibu kurang dapat menjalankan perannya secara efektif dalam
memberikan pengetahuan prevensi KSA kepada anak (Chen & Chen, 2005). Ibu
menjadi terlalu melindungi dan selalu mengawasi anak dengan ketat. Ibu
menganggap bahwa dengan selalu berada di sisi anak, maka anak akan terhindar
dari KSA. Hal ini juga terlihat dari hasil survey awal penelitian yang
menunjukkan bahwa 15,79% responden menganggap bahwa anak-anak mereka
tidak rentan terhadap KSA karena anak-anak masih berada dalam pengawasan
orangtua. Pada kenyataannya KSA dapat terjadi kapanpun dan di mana pun tidak
terkecuali saat anak berada di sisi ibu. Bahkan sebagian besar pelaku KSA pada
9
anak dengan retardasi mental adalah orang yang dikenal dan hampir setengahnya
merupakan anggota keluarga korban (Akbas, et al, 2009). Oleh karena itu, penting
untuk mengajarkan anak keterampilan menjaga diri dari KSA.
Penelitian yang dilakukan oleh Johnston (2010) menunjukkan bahwa
model pendekatan perilaku efektif untuk mengajarkan anak dengan retardasi
mental keterampilan menjaga diri. Dasar-dasar keterampilan mengajar tersebut
mengacu pada teknik mengajar behavioristic yaitu behavior skill training yang
terdiri dari empat aspek yaitu modeling, instruction, rehearsal, dan feedback
(Miltenberger, 2008). Pada tahap modeling, anak diberikan contoh oleh model
bagaimana cara menjaga diri dari kekerasan seksual. Dalam memberikan contoh,
haruslah sesuatu yang kongkret. Model (ibu) dapat menggunakan alat bantu
berupa media visual sehingga lebih memudahkan anak dalam memahami perilaku
yang dicontohkan. Kemudian tahap instruction, anak diberikan petunjuk tentang
bagaimana seharusnya sebuah perilaku dilakukan. Petunjuk yang diberikan
haruslah spesifik sehingga mudah difahami anak. Pada tahap rehearsal anak
diberikan kesempatan untuk mempraktikkan apa yang telah dicontohkan dan
ditunjukkan oleh model. Kemudian pada tahap terakhir adalah feedback atau
pemberian umpan balik. Setelah anak mempraktikkan apa yang telah dicontohkan
oleh model, maka segala respon yang ditunjukkan anak haruslah diapresiasi.
Model dapat memberikan pujian pada respon yang tepat dan dapat mengoreksi
pada respon yang kurang tepat.
“Ibu Jari” adalah sebuah pelatihan untuk mengajar prevensi kekerasan
seksual pada anak. “Ibu Jari” sendiri merupakan singkatan dari ibu ajari anak
10
mandiri. Kata mandiri sendiri merupakan akronim dari mampu menjaga diri,
sehingga pelatihan “Ibu Jari” merupakan akronim dari ibu ajari anak mampu
menjaga diri. Pelatihan ini disusun dengan tujuan untuk mengembangkan
keterampilan ibu dalam mengajar anak “mandiri”. Keterampilan mengajar ini
merujuk pada keterampilan mengajar behavioristic yang terdiri dari empat
tahapan yaitu modeling, instruction, rehearsal, dan feedback (Miltenberger,
2008). Adapun tindakan prevensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
tindakan prevensi primer, di mana kasus KSA belum terjadi dan tindakan diambil
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mencegah KSA
(Skarbek, Hanh & Parrish, 2009). Modul pelatihan “Ibu Jari” berisi materi terkait
pencegahan KSA yaitu; 1) Pengetahuan KSA, 2) Retardasi mental sebagai faktor
risiko, 3) Pentingnya pendidikan perlindungan diri, dan 4) Keterampilan mengajar
prevensi KSA.
Melalui pelatihan “Ibu Jari”, ibu sebagai agen prevensi KSA diberikan
pengetahuan dan keterampilan dalam mengajarkan anak prevensi KSA. Salah satu
keterampilan yang dapat ibu ajarkan adalah keterampilan mandiri (mampu
menjaga diri). Ibu perlu diberikan pendidikan mengenai prevensi KSA karena
secara logis ibu merupakan salah seorang yang anak mintai pertolongan, sehingga
melatih ibu dapat menjadi tindakan yang tepat dalam melakukan prevensi KSA.
Tiga keuntungan yang didapat dalam melatih ibu sebagai agen prevensi KSA.
Pertama, jika ibu belajar untuk mendidik anaknya, maka informasi dari orang
yang dipercaya dapat lebih efektif dibandingkan informasi dari orang lain. Kedua,
jika ibu belajar untuk mengenali tanda-tanda KSA, maka ibu lebih mudah untuk
11
mengidentifikasi kejadian tersebut. Ketiga, ibu dapat belajar untuk lebih proaktif
dalam mengungkap KSA (Finkelhor, 1986).
Proses pembelajaran dalam psikoedukasi pelatihan yang digunakan dalam
penelitian ini didasarkan atas teori pembelajaran observasional. Proses
pembelajaran observasional terdiri dari empat proses utama, yaitu proses atensi
(attentional processes), retensi (retention processes), produksi (production
processes), dan motivasi (motivational processes) (Bandura, 1986). Proses atensi
berkaitan dengan eksplorasi dan persepsi terhadap aktivitas yang ditunjukkan oleh
model. Proses retensi, terkait dengan proses dimana informasi yang telah
didapatkan oleh pembelajar diingat kembali. Proses berikutnya adalah proses
produksi, yaitu pembelajar menunjukkan perilaku atau tindakan berdasarkan hasil
amatan, sesuai dengan konsep yang dipahami dan carannya sendiri. Proses yang
terakhir adalah proses motivasi, yaitu proses yang melibatkan penguatan positif
terhadap perilaku yang telah ditunjukkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan validasi modul
pelatihan “Ibu Jari” dalam meningkatkan keterampilan ibu dalam mengajar anak
“mandiri”. Hipotesis dalam penelitian ini adalah bahwa pelatihan “Ibu Jari” valid
untuk meningkatkan keterampilan ibu dalam mengajar anak “mandiri”.
Manfaat penelitian ini secara praktis adalah untuk menghasilkan modul
yang secara efektif dapat membantu ibu untuk meningkatkan keterampilannya
dalam mengajar anak mampu menjaga diri dari KSA. Adapun alur berpikir dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
12
Kasus KSA di Indonesia setiap tahun
meningkat, tak terkecuali pada anak
berkebutuhan khusus
Dampak Kasus KSA
Dampak Fisik
Luka atau pendarahan
pada daerah kemaluan
korban
Dampak Emosi
Trauma, mudah
marah, cemas,
perasaan bersalah
Dampak Perilaku
Agresif, menarik
diri, menunjukkan
perilaku seksual
yang menyimpang
Memberikan dampak negatif bagi
perkembangan dan masa depan anak
Upaya Prevensi KSA
Prevensi melalui Ibu sebagai orang
terdekat dan pendidik pertama bagi
anak
Keterampilan Ibu dalam mengajarkan
anak kemampuan menjaga diri dari
KSA masih kurang
Modul “Ibu Jari” untuk Meningkatkan
Keterampilan Ibu dalam Mengajar Anak
“Mandiri”
Gambar 1. Bagan alur berpikir penelitian
Download