BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak rentan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak rentan menjadi korban kekerasan seksual karena memiliki karakteristik
adanya kelemahan secara fisik, mental, dan pengetahuan. Kelemahan inilah yang
kemudian memunculkan sisi ketergantungan cukup tinggi terutama pada orang
dewasa di sekitarnya. Ironisnya kasus kekerasan seksual sulit diidentifikasi karena
kebanyakan justru berstatus sosial sebagai orang baik secara umum, seperti guru,
pengasuh, bahkan pihak keluarga dekat korban sendiri atau orang yang tampak
dekat dan baik dengan anak. Ketidaktahuan anak tentang perlakuan yang benar
terhadap area pribadi tubuhnya dapat berdampak anak tidak tahu menjadi korban
kekerasan seksual.
Kekerasan seksual pada anak (KSA) dapat didefinisikan sebagai suatu tipe
penganiyaan yang melibatkan anak dalam kegiatan seksual untuk memberikan
kepuasan seksual atau keuntungan finansial. Bentuk kekerasan seksual dapat
berupa kontak fisik antara pelaku dan korban (Kenny et al., 2012). KSA dapat
mengakibatkan adanya gejala fisik dan gangguan mental dari korban, seperti
putus asa, penyakit psikosomatis, depresi, kecemasan, usaha bunuh diri dan
prestasi akademik yang buruk (Çeçen-eroğul et al., 2013). Kekerasan seksual
yang terjadi pada anak-anak dapat berdampak pada perkembangan anak
selanjutnya. Perawat sebagai tenaga kesehatan berperan untuk melakukan asuhan
keperawatan secara komprehensif kepada anak korban kekerasan seksual serta
bertanggung jawab dalam kampanye pencegahan kekerasan seksual pada anak
1
2
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan KSA. Perawat memiliki peranan
sebagai perawat pendidik atau agen perubahan dalam rangka pencegahan primer
kejadian KSA pada berbagai komunitas dan sasaran. Keterlibatan perawat dapat
memudahkan perwujudan perlindungan anak baik secara fisik atau psikis
sehingga tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal.
Kekerasan seksual pada anak (KSA) dapat terjadi pada semua tahap
perkembangan anak, tidak memandang jenis kelamin, ras ataupun status sosial
ekonomi tertentu. Menurut pasal 15 butir f UU No 35 Tahun 2014 disebutkan
bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan terhadap kejahatan seksual
Oleh karena itu menjadi hal yang penting adanya upaya tindakan pencegahan
terjadinya kekerasan seksual pada anak. Upaya pencegahan kekerasan seksual
bisa dilakukan dengan permainan, pembelajaran, pertunjukkan boneka, drama
atau kelompok diskusi (Müller et al., 2014).
Edukasi pencegahan kekerasan seksual dapat diberikan sedini mungkin mulai
dari usia prasekolah. Anak usia prasekolah memiliki penyesuaian sejumlah besar
informasi dalam waktu singkat kehidupannya. Penanaman informasi yang tepat
dapat bermanfaat dalam prinsip dan pandangan hidup anak pada tahap
perkembangan selanjutnya (Perry et al., 2014). Para pemerkosa yang
diwawancara Van Dam (2001) cit Indriati (2014) mengatakan bahwa anak-anak
yang telah mendapat edukasi untuk berteriak “tidak atau jangan” ketika orang
dewasa akan melakukan kejahatan seksual terhadapnya merupakan target yang
buruk untuk diperkosa. Hal ini karena anak akan lapor kepada orang tuanya, dan
membuat mereka tertangkap.
3
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan sejak Januari
hingga Oktober 2014, tercatat 784 kasus kekerasan seksual anak. Itu artinya ratarata 129 anak menjadi korban kekerasan seksual setiap bulannya, dan 20% anak
menjadi korban pornografi. Sedangkan menurut Polri, mencatat ada 697 kasus
kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi pada separuh tahun 2014 (Setyawan,
2014). Hasil wawancara dengan salah satu penyidik Satuan Reskrim Polres
Karanganyar, pada tahun 2013 terdapat 24 anak yang dilaporkan sebagai korban
kekerasan seksual dan pada tahun 2014 sebanyak 22 anak. Menurut penyidik
angka yang tertera bukan merupakan angka sebenarnya mengingat kasus
kekerasan seksual masih menjadi hal yang tabu dan aib keluarga yang perlu
ditutupi. Karena alasan damai dan malu, laporan juga tidak diselesaikan sampai
persidangan sehingga pelaku tidak mendapat hukuman yang sesuai perundangan.
Pendidikan seks berbasis sekolah terbukti mampu menurunkan risiko
terjadinya kekerasan seksual pada anak dan tidak mengakibatkan kelainan
perilaku seksual pada masa dewasa anak tersebut (Leitenberg et al., 2000). Hal ini
sesuai dengan penelitian Çeçen-eroğu tahun 2013 bahwa program psikoedukasi
berbasis sekolah untuk pencegahan KSA terbukti efektif dapat memampukan anak
dengan pengetahuan, keahlian dan dukungan untuk proteksi diri. Hasil penelitian
Sung et al., 2013 menjelaskan bahwa program pendidikan perawatan kesehatan
seksual kepada mahasiswa perawat dapat meningkatkan pengetahuan, efikasi dan
kenyamanan mahasiswa perawat dalam memberikan perawatan kesehatan seksual
pasien. Perawat dapat berperan dalam program pencegahan KSA berbasis sekolah
4
dengan merencanakan atau memberikan edukasi kepada guru atau anak yang
melibatkan beberapa pihak.
Guru memegang peran penting dalam program pencegahan KSA di sekolah.
Tetapi tidak semua guru memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah. Penelitian Zhang et al.,
2015 menjelaskan bahwa guru di China belum memiliki bekal pengetahuan yang
kuat dan pelatihan dianggap sebagai sarana signifikan dalam meningkatkan
pengetahuan dan peran guru dalam pencegahan KSA.
Hasil studi pendahuluan dengan Kanit Bimas Polres Karanganyar
mengatakan bahwa KSA membawa dampak yang luar biasa bagi korban. Di
Karanganyar sendiri KSA memiliki jumlah yang cukup mengkhawatirkan. Pernah
dalam satu minggu terdapat dua kasus kekerasan seksual pada anak Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang terjadi di kecamatan Colomadu dan Gondangrejo.
Bukan hanya anak SMP, ada kasus yang melibatkan anak Sekolah Dasar (SD)
bahkan Taman Kanak-kanak (TK). Oleh karena itu tindakan preventif pada usia
dini sangat diperlukan.
Bimas Polres Karanganyar memiliki program preventif terjadinya KSA
dengan sasaran berbagai pihak seperti sekolah, himpunan guru, ataupun organisasi
kemasyarakatan. Tetapi program tersebut belum menjangkau semua wilayah
kabupaten Karanganyar. Hasil wawancara dengan praktisi pemerhati pendidikan
anak usia dini didapatkan hasil bahwa pendidikan tentang pencegahan kekerasan
seksual penting dilakukan. Media yang digunakan bisa menggunakan audiovisual
tetapi tergantung dari fasilitas yang ada di sekolah. Guru harus memberikan
5
pendidikan seks manakala orang tua belum berperan secara maksimal baik secara
komunikasi dan pengetahuan.
Hal ini sependapat dengan salah satu pengawas gugus Wijaya Kusuma
Kecamatan Jaten, bahwa guru akan lebih diperhatikan oleh siswa karena jika
orang tua yang memberikan terkadang tidak diperhatikan, dan jika orang asing
anak akan takut dan menangis. Tetapi masih saja ada guru yang enggan
memberikan pendidikan seks khususnya pencegahan KSA mengingat guru merasa
tidak nyaman berdiskusi mengenai seks kepada anak. Guru merasa bingung
bagaiman cara menyampaikan topik pendidikan seks kepada anak, padahal anak
usia prasekolah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
Kreatifitas guru dalam menyusun media dan menyampaikan kepada anak
memegang peran penting dalam keberhasilan edukasi pada tema pencegahan
KSA. Walaupun pencegahan kekerasan seksual tidak ada dalam kurikulum TK
tetapi bahasan mengenai pengenalan dan perlindungan diri termasuk dalam
kemampuan sosial emosional yang harus dicapai anak. Selama ini belum pernah
ada pelatihan di Gugus Wijaya Kusuma kecamatan Jaten
Studi pendahuluan yang dilakukan di salah satu KB/TK gugus Wijaya
Kusuma Kecamatan Jaten didapatkan data bahwa 3 dari 8 anak siswa laki-laki
menyebut alat kelamin dengan sebutan burung dan 4 orang menyebut “titit” serta
satu orang diam saja ketika ditanya. Dua orang tua yang ditanya mengatakan tidak
apa-apa anak diberikan pendidikan seks tetapi orang tua bingung bagaimana
menyampaikannya. Dua dari 10 guru merasa tidak nyaman dengan istilah penis
atau vagina. Satu guru mengatakan baru ada 1 guru di sekolahnya yang pernah
6
mengikuti seminar mengenai pendidikan seks pada anak. Sepuluh guru yang
ditanya peneliti menyatakan penting memberikan pendidikan seks pada anak
didik. Satu guru menyatakan hanya memberikan penjelasan mengenai empat hal
yang tidak boleh dipegang orang lain yang disampaikan dengan ceramah dan
itupun tidak rutin serta tanpa media.
Hasil observasi selama 4 hari di salah satu KB gugus Wijaya Kusuma tidak
ditemukan adanya ceramah mengenai 4 area dari tubuh anak yang tidak boleh
disentuh. Salah satu guru mengatakan belum ada media yang digunakan dan
menurut guru tersebut akan baik jika dilakukan edukasi dengan bercerita yang
disertai gambar-gambar. Tujuh dari 10 guru mengatakan sedikit ragu
menyampaikan materi pencegahan kekerasan seksual pada anak karena bingung
cara menjelaskan mengingat anak masih kecil dan adanya anggapan tabu.
Hal yang terjadi pada guru KB/TK tersebut adalah kurangnya efikasi
(kepercayaan diri) guru sehingga menurunkan motivasi untuk memberikan
edukasi pencegahan kekerasan seksual kepada anak didik. Efikasi guru
berdampak pada motivasi guru dalam mengajar termasuk pada topik-topik baru,
peningkatan pencapaian siswa dalam proses pembelajaran dan kepuasan guru
terhadap pekerjaan (Zamri & Razak, 2012). Bandura (1997) cit Dellinger et al.,
2008 mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan diri seseorang dalam
kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan program atau tindakan yang
untuk mendapatkan pencapaian tertentu atau keyakinan pribadi seseorang untuk
melakukan suatu tugas tertentu yang berkualitas Sumber efikasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah persuasi verbal yang berasal dari pemberian
7
pengetahuan tentang KSA, pemberian ketrampilan mengajarkan proteksi diri pada
siswa melalui pengalaman sebelumnya fasilitator yang berkompeten dan
pengalaman keberhasilan /kegagalan individu saat simulasi ketrampilan
mengajarkan proteksi diri.
Pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mencegah KSA dapat dilatih
melalui program pencegahan primer. Program ini berisi tentang pengetahun KSA,
peran guru sebagai agen dan ketrampilan mengajarkan proteksi dini terhadap KSA
kepada siswa. Hasil penelitian Islawati, 2014 menunjukkan bahwa program “Jari
Peri” mampu meningkatkan efikasi guru dalam mengajarkan pencegahan KSA.
Program “Jari Peri” adalah program psikoedukasi yang diberikan kepada guru
untuk dapat mengajarkan perlindungan diri kepada anak.
Berdasarkan paparan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan dan efikasi guru mengajarkan
pencegahan KSA usia prasekolah. Peneliti memilih melakukan penelitian di
Gugus Wijaya Kusuma yang berada di wilayah Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar karena belum pernah terselenggara pelatihan kepada guru dalam
mengajarkan pencegahan KSA usia prasekolah. Gugus Wijaya Kusuma
merupakan gugus yang berprestasi pada tingkat kecamatan Jaten dan kabupaten
Karanganyar. Gugus Wijaya Kusuma beranggotakan KB/TK ‘Aisyiyah 3 Ngringo
memiliki 12 guru, TK Pertiwi Sroyo 1 memiliki 3 orang guru, TK Pertiwi Sroyo 2
memiliki 3 guru, TK ‘Aisyiyah 1 Sroyo memiliki 4 guru, TK ‘Aisyiyah 2 Sroyo
dengan guru berjumlah 4 orang, TK ‘Aisyiyah 3 Sroyo memiliki 4 guru dan KB
Nuri Kids memiliki 15 guru. Gugus Wijaya Kusuma Kecamatan Jaten memiliki
8
potensi untuk berkembang dengan adanya dukungan fasilitas dari sekolah atau
orang tua murid.
B. Rumusan Masalah
Beragam kejadian KSA serta dampak negatif pada berbagai tahapan usia anak
dan adanya anggapan tabu orang tua mendorong edukasi pencegahan kekerasan
seksual berbasis sekolah. Guru belum memiliki kepercayaan diri dan keterbatasan
pengetahuan menjadikan hambatan pencegahan KSA di sekolah. Belum
tersedianya program pelatihan pencegahan KSA bagi guru di gugus Wijaya
Kusuma Kecamatan Jaten menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan rumusan masalah: “ Apakah ada pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan
dan efikasi guru mengajar pencegahan KSA pada anak usia prasekolah di Gugus
Wijaya Kusuma Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar?”
C. Tujuan
1.
Tujuan Umum
Menganalisis pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan dan efikasi
guru
mengajarkan pencegahan KSA usia prasekolah di gugus Wijaya Kusuma
Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar.
2.
Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik guru (usia dan lama bekerja) di gugus
Wijaya Kusuma Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar.
b. Mendeskripsikan perbedaan pengetahuan dan efikasi guru mengajarkan
pencegahan KSA usia prasekolah sebelum diberikan intervensi pada
9
kelompok kontrol dan eksperimen di gugus Wijaya Kusuma Kecamatan
Jaten Kabupaten Karanganyar.
c. Mendeskripsikan perbedaan pengetahuan dan efikasi guru mengajarkan
pencegahan KSA setelah diberikan intervensi pada kelompok kontrol dan
eksperimen di gugus Wijaya Kusuma Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar.
d. Mengidentifikasi perbedaan selisih pengetahuan dan efikasi guru pada
kelompok eksperimen dan kontrol sebelum dan setelah diberikan
intervensi di gugus Wijaya Kusuma Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar.
D. Manfaat Penelitian
1.
Penelitian keperawatan
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan keilmuan
selanjutnya mengenai model pencegahan kekerasan seksual pada anak usia
prasekolah.
2.
Sekolah
Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan guru untuk dapat memberikan
pendidikan pencegahan kekerasan seksual berbasis sekolah pada anak usia
prasekolah.
3.
Orang tua
Penelitian ini bermanfaat untuk informasi awal dan penguatan peran orang
tua dalam mengajarkan perlindungan diri khususnya pencegahan KSA pada
10
anak usia prasekolah sehingga didapatkan informasi yang sesuai dan sama
antara orang tua dan anak.
E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian menampilkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya dan memiliki kemiripan dengan penelitian ini.
Tabel 1. Keaslian Penelitian
No
Peneliti,
judul
Metode
penelitian
Hasil
penelitian
Persamaan
Perbedaan
1
Islawati,
2014
Program “jari
peri” untuk
meningkatka
n efikasi guru
SD dalam
mengajarkan
prevensi
kekerasan
seksual anak
Penelitian
kuantitatif
dengan
rancangan The
Untreated
Control Group
Design
with
Dependent
Pretest
and
Posttest.
Program
ini
efektif
meningkatkan
efikasi guru SD
dalam mengajar
pencegahan
kekerasan
seksual
pada
anak
Sampel penelitian ini
adalah guru KB/TK
sedangkan penelitian
Islawati menggunakan
sampel guru SD.
Penelitian
ini
menggunakan variabel
dependen
berupa
pengetahuan
dan
efikasi guru sedangkan
penelitian
Islawati
hanya efikasi guru.
2
Wahida, D
2014
Program
“Jari
Peri”
Untuk
Meningkatka
n
Keterampilan
Dan Efikasi
Mengajar
Prevensi
Kekerasan
Seksual Pada
Anak
Penelitian
kuantitatif
dengan
rancangan The
Untreated
Control Group
Design
with
Dependent
Pretest
and
Posttest.
3
Zhang, et al.,
2015
Preventing
Child Sexual
Penelitian
kuantitatif.
Analisa data
dengan
chi
Program
jari
peri
meningkatkan
ketrampilan
guru
mengajarkan
prevensi KSA
tetapi
tidak
berpengaruh
terhadap efikasi
guru SLB di
Yogyakarta
dalam
mengajrakan
prevensi KSA
Guru
belum
memiliki bekal
pengetahuan
yang kuat tetapi
Desain
penelitian
kuantitatif
dengan
adanya pre test dan
post
test
yang
melibatkan kelompok
kontrol.
Adanya
variabel
dependent yang sama
yakni efikasi guru serta
adanya
program
pelatihan
dengan
disertai modul kepada
kelompok eksperimen.
Hasil penelitian samasama
menyatakan
adanya
pengaruh
positif terhadap efikasi
guru setelah diberikan
program psikoedukasi.
Desain
penelitian
kuantitatif
dengan
adanya pre test dan
post
test
yang
melibatkan kelompok
kontrol.
Adanya
variabel
dependent yang sama
yakni efikasi guru serta
adanya
program
pelatihan
dengan
disertai modul kepada
kelompok eksperimen.
Sampel
penelitian
merupakan guru usia
prasekolah. Kuesioner
pengetahuan penelitian
Sampel penelitian ini
adalah guru KB/TK
sedangkan penelitian
Wahida, D (2014)
menggunakan sampel
guru SLB.
Penelitian
ini
menggunakan variabel
dependen
berupa
pengetahuan
dan
efikasi guru sedangkan
penelitian
Wahida
adalah ketrampilan dan
efikasi
mengajar
prevensi KSA
Desain
penelitian
Zhang (2015) adalah
kroseksional sedangkan
penelitian ini kuasi
11
4
Abuse Early:
Preschool
Teachers’
Knowledge,
Attitudes, and
Their
Training
Education in
China
square,
independent t
test
dan
ANOVA.
memiliki sikap
yang
positif
terhadap
pelatihan.
Pelatihan
dianggap sarana
signifikan
dalam
meningkatkan
pengetahuan
dan peran guru
dalam
pencegahan
KSA.
ini
merupakan
modifikasi
dari
penelitian
Zhang
(2015).
Sung et al.,
2013
Effectiveness
of the sexual
healthcare
education in
nursing
students'
knowledge,
attitude, and
self-efficacy
on
sexual
healthcare
Kuasi
eksperimen
dengan
pre
dan post test.
Terdapat
kelompok
kontrol
dan
intervensi
Edukasi
perawatan
kesehatan
seksual terbukti
meningkatkan
pengetahuan
mahasiswa
keperawatan
dan bermanfaat
untuk eksplorasi
nilai
diri
terhadap
kesehatan
seksual pasien
Desain
penelitian
sama-sama
menggunakan
kuasi
eksperimen dengan pre
dan post test serta
adanya
kelompok
kontrol.
eksperimen pre dan
post
test
dengan
kelompok
kontrol.Tujuan
penelitian
dari
penelitian
Zhang
adalah
mengkaji
pengetahuan,
sikap
guru prasekolah dan
pelatihan
terkait
pencegahan KSA di
Beijing,
sedangkan
penelitian ini bertujuan
menganalisis pengaruh
pelatihan
terhadap
pengetahuan
dan
efikasi
guru
mengajarkan
pencegahan KSA usia
prasekolah di gugus
Wijaya
Kusuma
Kecamatan Jaten.
Sampel penelitian ini
adalah guru TK dan
guru KB sedangkan
pada penelitian Sung
(2013)
adalah
mahasiswa
keperawatan. Variabel
independen penelitian
ini adalah pengetahuan
dan
efikasi
guru
mengajarkan
pencegahan
KSA,
sedangkan penelitian
Sung
(2013)
pengetahuan, sikap dan
efikasi diri terhadap
perawatan
kesehatan
seksual
Download