Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Psikologi Gangguan Kepribadian Kepribadian dapat didefinisikan sebagai gabungan emosi dan tingkah laku yang membuat individu memiliki karakteristik tertentu untuk menghadapi kehidupan seharihari. Kepribadian individu relatif stabil dan memungkinkan orang lain untuk memprediksi pola pikir atau tindakan yang akan diambilnya. Dan latar belakang kepribadian seseorang dapat terganggu oleh berbagai faktor eksternal dan internal, gangguan yang timbul dari faktor lingkungan yang buruk atau dari truma masa lalu dapat membuat kepribadian seseorang terganggu secara fisik maupun mental. Gangguan kepribadian merupakan salah satu bagian dalam ilmu psikologi, studi mengenai psikologi abnormal atau menyimpang menghadapkan seseorang pada berbagai perilaku, pikiran, dan perasaan yang tidak biasa terjadi atau tidak normal. Pengertian gangguan kepribadian menurut Larsen (2005: 173) adalah sebagai berikut : Personality disorder is an enduring pattern of experience and behaviour that differs greatly from the expectations of the individual’s culture. Traits are patterns of experiencing, thinking about, and interacting with oneself and the world. Traits are observerd in a wide range of social and personal situations. A personality disorder is usually manifest in more than one of the following areas : in how people think, in how they feel, in how they get along with others, or in their ability to control their own behaviour. The pattern is rigid and is displayed across a variety of situations, leading to distress or problems in important areas in life, such as at work or in relationships. Terjemahan : Gangguan kepribadian adalah suatu bentuk perilaku kebiasaan yang sangat jauh berbeda dengan kebiasaan seseorang pada umumnya. Perbedaan bentuk karakter penderita gangguan kepribadian dapat dilihat dari cara mereka memandang sesuatu, cara mereka berpikir, dan cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Karakter penderita gangguan kepribadian tercermin dalam banyak aspek di 9 kehidupan sosial maupun kehidupan kepribadian penderitanya. Gangguan kepribadian biasanya muncul dalam salah satu aspek berikut: dalam bagaimana mereka berpikir, dalam bagaimana mereka merasakan sesuatu, dalam bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain dan dalam kemampuan mereka mengendalikan kebiasaan mereka. Bentuknya jelas dan terlihat di sepanjang situasi yang berbeda-beda, yang menyebabkan stress dan banyak permasalahan dalam aspek penting kehidupan, seperti dalam pekerjaan dan hubungan antar sesama. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku lama (biasanya sejak masa kanak-kanak). Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta menganggu fungsi kehidupannya sehari-hari misalnya dalam relasi sosial dan pekerjaan. Dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan kecemasan, depresi, dan obsesif-kompulsif, individu dengan gangguan kepribadian lebih tidak menyadari masalah mereka. Biasanya mereka menolak unutk mendapatkan pertolongan dari terapis dan menolak atau menyangkal bahwa dirinya memiliki suatu masalah , Widury (2007: 142). Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang tercabikcabik. Emosi dan perasaan mereka rusak karena mereka merasa ditolak oleh keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses perkembangan jiwa remaja tersebut, Kuntjoro (2006:32). Dalam hal ini, gangguan kepribadian dalam diri seseorang juga merupakan cikalbakal yang membuahkan perilaku-perilaku menyimpang pada penderita, dengan kata lain keduanya saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Seseorang yang menderita gangguan kepribadian akan mudah sekali mengekspresikan emosi terdalamnya, bergantung pada tipe gangguan kepribadian yang dideritanya. 10 Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), Widury (2007:143) gangguan kepribadian dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu : 3. Gangguan kepribadian schizoid Secara umum individu pada gangguan ini memiliki masalah seumur hidup mereka, terutama berkaitan dengan kehidupannya dalam berelasi dengan orang lain. 4. Gangguan kepribadian border-line Individu pada gangguan ini umumnya mengarah kepada gangguan depresi yang dilatarbelakangi trauma atau berbagai bentuk penolakkan. 5. Gangguan kepribadian avoidant Individu dengan gangguan kepribadian ini memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial tetapi berbeda dengan gangguan kepribadian skizoid yang memang ingin sendirian. Dalam bagian ini, penulis akan berusaha menjabarkan satu persatu kelompok klasifikasi gangguan kepribadian yang masih menjadi satu kesatuan dalam ilmu psikologi, berikut epidemiologi, diagnosis, banding, dan prognosis untuk setiap gangguan : 2.1.1 Gangguan Kepribadian Schizoid (Schizoid Personality Disorder) Individu dengan gangguan kepribadian schizoid, penderita gangguan ini biasanya menampilkan perilaku atau pola menarik diri dan biasanya telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Mereka merasa tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain, 11 cenderung introvert, dan afek mereka pun terbatas. Individu dengan gangguan ini seringkali dilihat oleh orang lain sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dan penyendiri. Biasa dalam kebanyakkan kasus, individu dengan gangguan kepribadian schizoid biasanya memberikan tampilan bahwa mereka “dingin” dan penyendiri, Fausiah (2007:146). Mereka pun sangat sedikit terlibat dengan kejadian sehari-hari dan tidak menaruh perhatian pada orang lain. Hal ini terjadi karena mereka memiliki kebutuhan yang sangat rendah untuk berhubungan secara emosional dengan orang lain. Penderita gangguan ini pun memiliki kecenderungan untuk hidup hanya dalam zona nyaman (comfort zone) bersama orang-orang tertentu. Awal munculnya gangguan ini biasanya timbul pada masa kanak-kanak awal dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama tetapi belum tentu seumur hidup mereka, simtom utama gangguan kepribadian schizoid ialah tidak tertarik kepada orang-orang lain atau hubungan sosial. Orang yang mengalami gangguan kepribadian ini juga memperlihatkan emosi yang sangat sedikit, dan dengan demikian mereka kelihatannya menjauhkan diri, tanpa humor, emosinya tumpul, Semiun (2006:20). Individu dengan gangguan ini memiliki kecenderungan menjadi penderita schizofrenia, namun tidak dapat dipastikan persentase kemungkinannya karena mereka tidak mengalami kehilangan kesadaran secara permanen. Penderita pada gangguan ini adalah orang yang menyendiri, tidak mampu memasuki hubungan-hubungan antar pribadi yang hangat. Mereka menghindari kontak langsung dengan kehidupan, dan mencari kompensasi dan kepuasan dalam fantasi-fantasi tentang kejayaan dan kekuasaan yang besar, Semiun (2006:20). Gangguan ini juga memiliki kemiripan dengan gangguan 12 antisocial, namun bedanya pada penderita schizoid ia tidak menarik diri secara ekstrim dengan mengucilkan dirinya sama sekali dari lingkungannya. 2.1.2 Gangguan Kepribadian Border-line (Border-line Personality Disorder) Gangguan ini berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan psikotik dengan gejala-gejala afek, mood, tingkah laku dan self-image tidak stabil yang sangat berat dalam tingkah laku, emosi, identitas, dan hubungan-hubungan antarpribadi, Semiun (2006:22). Penderita ini biasanya ditandai dengan mood yang selalu berubah-ubah, pada suatu waktu ia dapat begitu banyak memberikan pendapat (secara positif), lalu mendadak tampak depresi, kemudian di waktu yang lain tiba-tiba dia mengeluh tentang perasaannya. Individu ini juga tidak tahan atau tidak dapat hidup apabila berada sendirian, emosi marahnya berdaya kuat dan bersifat destruktif sehingga dalam tekanan keadaan tertentu, menyakiti diri sendiri adalah cara untuk mengekspresikan kesepian dan keputusasaan dalam jiwanya, Gunadi (2002:253). Pada umumnya orang dengan kepribadian borderline dibesarkan oleh orangtua yang kurang memberikan kehangatan kasih sayang yang berkesinambungan, mereka hanya menerima perintah yang bersifat otoriter dan hal ini yang menyebabkan ketika mereka memiliki relasi dengan orang lain, mereka akan cenderung menuntut sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan yaitu pengertian dan kasih sayang yang porsinya tidak wajar. Secara umum dapat dijelaskan bahwa individu dengan gangguan kepribadian borderline menampilkan perasaan kesepian yang kronis, impulsifitas, self-abuse tindakan menyakiti diri sendiri seperti memotong urat nadi sendiri, meminum racun, hingga percobaan bunuh diri yang manipulatif dan sangat menuntut keterlibatan dari 13 orang-orang terdekatnya, Widury (2007:155). Perbedaan antara gangguan kepribadian borderline dan skizofrenia adalah, pada individu borderline tidak memiliki episode psikotik yang berkepanjangan dan tidak mengalami gangguan berpikir. Menghiraukan banyak orang tetapi memiliki kecenderungan untuk berbicara hanya dengan orang tertentu, seperti keluarga, atau pribadi yang memiliki pengaruh terhadap apa yang dialaminya, Fausiah (2007:151). Walaupun penampilan luarnya tampak positif, namun apabila menelusuri riwayat kehidupannya, biasanya dipenuhi dengan perilaku berbohong, membolos, kabur dari rumah, mencuri, menjahili, berkelahi, pemakaian obat-obatan dan lainnya yang biasanya telah dimulai sejak masa kanak-kanak. Gangguan ini tidak dapat disamakan dengan gangguan keterbelakangan mental schizofrenia, karena pada gangguan ini penderita tidak mengalami delusi atau kehilangan kesadaran secara permanen. 2.1.3 Gangguan Kepribadian Avoidant (Avoidant Personality Disorder) Penderita gangguan kepribadian avoidant ini sangat sensitif terhadap penolakkan, sehingga akhirnya yang tampak adalah tingkah laku menarik diri. Karena mereka berpikir tentang penolakkan, maka individu-individu ini menghindari hubungan dengan orang-orang lain kecuali kalau ada jaminan bahwa mereka akan diterima tanpa dicela, Semiun (2006:25). Mereka sebenarnya sangat ingin berelasi dengan orang lain dan membutuhkan kehangatan serta perlindungan, namun mereka malu. Biasanya mereka memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya diri. Mereka selalu berusaha untuk mencari orang dimana mereka dapat bergantung dan biasanya hubungan 14 di antara mereka terganggu oleh kebutuhan individu ini untuk selalu dekat dengan teman mereka. Kerap kali dalam relasi sosial mereka memiliki keterbatasan untuk mengatakan bahwa yang mereka inginkan hanyalah untuk mendapatkan sebuah bentuk penerimaan sederhana, mereka juga banyak mendapatkan penyiksaan baik secara fisik dan mental karena mereka tidak dapat membela diri sendiri, Fausiah (2007:130). Mereka menginginkan keakraban dan penerimaan dari orang lain, tetapi mereka menghindari hubungan yang dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan tersebut karena kebutuhan mereka yang kuat untuk mempertahankan diri terhadap penolakkan. Dengan kata lain, penghindaran adalah suatu pertahanan dan bila mereka tidak berusaha berteman dengan orang lain, maka mereka tidak akan mengalami risiko ditolak, Semiun (2006:25). Bentuk self-acceptance sangat dibutuhkan pada individu-individu yang menderita gangguan kepribadian avoidant. Penderita gangguan ini pun rentan terkena major depressive disorder apabila individu kehilangan seseorang tempatnya bergantung. Dan apabila dukungan sosial tersebut menghilang ataupun tidak sesuai dengan harapan, mereka dapat mengalami kecemasan, dan juga kemarahan. Individu biasanya memiliki sejarah fobia sosial atau malahan menjadi fobia sosial dalam perjalanan gangguannya. 2.1.4 Teori Kecemasan Menurut Sigmund Freud Kecemasan dalam Sigmund Freud dalam Semiun (2006:26) adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak 15 menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan. Kecemasan berfungsi mekanisme yang melndungi ego, karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan yang afektif disebut traumatik. Ia menjadikan individu dalam keadaan tak berdaya. Model neurologis awalnya tentang “Project for Scientific Pschylogy”, Freud dalam Semiun (2006:33), mengemukakan gagasan bahwa kecemasan disebabkan oleh perasaan tidak berdaya yang luar biasa. 2.2 Teori Psikologi Remaja Di banyak negara, anak yang dijadikan sebagai objek dan diperlakukan dengan sewenang-wenang masih terjadi sampai sekarang. Sampai abad ke 19, anak masih dianggap sebagai ‘tanah liat’ yang dapat dibentuk sesuka hati orang tua. G.R, Adams dalam Youth Psychology (2003:96) menyatakan bahwa di negaranegara Barat bahwa konsep tentang anak-anak sebagai suatu hal yang berbeda dari orang dewasa, belum dikenal sampai dengan abad pertengahan. Begitu anak dapat berfungsi sendiri tanpa bantuan orang tua, sering dijadikan hanya sebagai objek. Jika ada kesulitan ekonomi, anak dijual, atau dimasukkan ke rumah miskin. Bahkan, secara langsung atau tidak dibunuh. Masa remaja adalah masa yang pasti dialami oleh setiap orang. Pada tahapan ini seorang remaja adalah orang yang sangat peka terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya secara biologis maupun dengan sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Remaja sebagaimana manusia lain adalah makhluk monodualis, yang berarti 16 selain sebagai makhluk individu mereka juga makhluk sosial yang mau tidak mau membutuhkan orang lain, yang juga dipengaruhi oleh keadaan sosial yang ada di sekelilingnya. Hal ini disebabkan karena usia remaja sangat rentan terhadap lingkungan sosialnya, dalam pengertian yang sederhana adalah mereka mudah terbawa arus pergaulan. Minimnya perhatian dari orang tua, ditambah dengan berbagai macam bentuk penolakkan dalam lingkungan sosial akan secara langsung berdampak kepada kondisi kejiwaan seorang remaja, yang notabene menjadikannya seseorang yang cenderung melakukan tindakan brutal atau perilaku menyimpang kelak. Perilaku menyimpang lahir dari berbagai macam pola asuh, remaja yang dididik secara ‘militer’ oleh orang tuanya akan mendambakan kebebasan yang tidak pernah didapatnya ketika remaja. Perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency), adalah tindakan seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman, Petronio (1990:497). Konsep ini menjelaskan secara gamblang bahwa remaja yang mendapatkan pola didik yang benar pun tidak menjamin bahwa ia dapat tumbuh dewasa menjadi pribadi yang siap untuk bersatu dalam masyarakat luas. Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi disebabkan remaja berada dibawah tekanan sosial, dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu. Sehingga mereka mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyesuaian diri terhadap pola perilaku dan lingkungan sosial yang baru, Grebb (1994:127). 17 Remaja di berbagai belahan dunia juga memiliki keunikkan tersendiri, oleh karena berbagai faktor yang mempengaruhi mental dan pola pikir mereka di tempat mereka tumbuh dewasa. Khususnya para remaja di Jepang yang terkenal dengan berbagai fenomena hidup yang khas, masyarakat yang homogen membuat anak muda Jepang juga memiliki ciri-ciri yang hampir sama seperti kebanyakkan anak muda lainnya. Dalam プロの仕事術 (2005:60), anak muda diartikan sebagai berikut : 若者というのは往々にして、経験が朝育成に自己主張だけは一人前 ですから、聞いているほうがかちんと来ることだってあります。 Terjemahan : Anak muda biasanya kurang memiliki pengalaman, tetapi bertingkah seperti tahu segalanya. Orang yang mendengarnya bisa menjadi jengkel. Dalam kehidupan sehari-hari, memahami orang lain bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan, bahkan untuk perilaku yang sederhana atau biasa-biasa saja. Seperti yang diterangkan di atas remaja Jepang secara umum digambarkan sebagai tipikal pribadi yang kurang berpengalaman, di lain sisi mereka juga sangat ingin mencoba berbagai hal baru yang belum mereka ketahui resikonya, dari pernyataan diatas juga tergambar bahwa mereka cenderung bertindak menurut apa yang mereka anggap benar. Tidak heran bahwa pemberontakkan akan sangat mungkin terjadi di rumah, ataupun di sekolah. Berbagai bentuk kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya. 18 2.3 Konsep Ijime Ijime mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan waktu. Dilihat dari segi makna, secara makna leksikal kata ijime termasuk jenis kata benda dalam bahasa Jepang yang berasal dari kata kerja ijimeru yang berarti “mengusik”, “menggoda”, “mempermainkan”, atau “menganiaya”, dan juga “menyakiti” secara mental atau fisik orang lain terutama menyusahkan seseorang yang lemah kedudukannya, tanpa alasan yang wajar untuk menikmati rasa puas, Overina (2006:52). Dalam Gakken Japanese Dictionary (2002) ijimeru adalah 「弱いものを苦しめ る」 yang berarti menyiksa sesuatu yang lemah, dan ijime berarti: いじめること。集団で特定の個人に精神的、肉体的苦痛を長期にわたり与 え続けること。 Terjemahan: Hal perbuatan menyiksa. Seseorang yang telah ditetapkan dalam sebuah kelompok disiksa baik secara mental maupun fisik secara terus menerus. Ijime berbeda dengan perkelahian karena perkelahian tidak berlanjut terus menerus sedangkan ijime dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini juga disebutkan oleh Nojuu (1989:13) dibawah ini: 「いじめ」と言うのは「けんか」と異なり、なんらかの形で優位にある者 が、相手に一方的に加える攻撃です。強い立場にある者が弱い立場の者に 対して肉体的、精神的に圧迫し、相手が苦しんだりいやがつたりする様子 を見て、喜ぶところにその特徴が選ります。自分より劣っているものに対 して一方的に加える攻撃がいじめであり、喧嘩のようにー過性ではなく、 長期間に亘っておこなわれるところに特徴があります Terjemahan: Ijime merupakan suatu tindakan serangan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang lebih unggul dan ijime berbeda dengan perkelahian. Pihak yang kuat melakukan tindak penindasan terhadap pihak yang lebih lemah baik pada fisik maupun mental, dan juga ia senang melihat pihak yang lemah menderita atau kesal. Ijime adalah memberi serangan secara sepihak terhadap orang yang lebih rendah atau lemah 19 dari dirinya, namun tidak seperti perkelahian, ijime memiliki ciri khusus yaitu terjadi dalam waktu yang berkepanjangan. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nojuu, tindakan ijime bisa berbuah perkelahian yang dapat merugikan fisik atau menimbulkan korban, juga dapat cenderung mengarah kepada tindak kriminal. Karena sebenarnya tindak ijime hanya sebatas perlakuan yang tidak wajar terhadap seseorang yang memiliki sikap atau kebiasaan yang berbeda dari kelompoknya, perlakuan itu namun lama kelamaan menjadi berkelanjutan. Tindakan ’membuli’ ini juga memiliki banyak bentuk, klasifikasi bentuk ijime ini juga memiliki ciri khusus dalam setiap bentuknya yaitu yang dibagi menjadi 2 bentuk dasar ijime yaitu Ijime yang beralasan dan Ijime yang tidak beralasan yang dibagi lagi ke bentuk yang lebih kecil. Berdasarkan bentuknya , Minoru (1992:61) membagi Shuudan ijime menjadi 8 bentuk antara lain : 1. Zannin na ijime (残忍な苛め) Sasaran ijime ini biasanya pada fisik dan mental seseorang dan dilakukan di depan kelompoknya (teman-teman sekelas) oleh kelompok ijimekko. Biasanya korban dari zannin na ijime ini pasti akan mengalami cidera. 2. Inshitsu na ijime (陰湿な苛め) Ini adalah ijime yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tujuannya adalah agar tidak terlihat atau ketahuan oleh anggota kelompok maupun yang bukan kelompoknya bahwa dialah pelaku dari tindak ijime ini dan biasanya sifat dari tindak ijime ini sangat kejam dan dalam waktu yang berkelanjutan. Perlakuan ini dilakukan kepada ijimerarekko yang menurutnya memiliki kondisi yang berbeda dengan 20 kelompok yang ada. Maksudnya kelompok yang ada dalam hal ini adalah teman sekelas maupun kelompok bermainnya. 3. Tsukai passiri no ijime (使いぱっしりの苛め) Tsukai passiri sendiri memiliki arti ”pesuruh”. Umumnya tindak ijime ini dilakukan secara tersembunyi dan biasanya tidak hanya dilakukan dalam bentuk perintah dan juga dengan kata-kata kasar namun juga dengan tindakan yang menyakitkan seperti pemaksaan untuk melakukan sesuatu. 4. Baikin ijime (バイ菌苛め) Baikin berarti kuman atau bakteri. Ijime yang dilakukan oleh ijimekko karena mereka menganggap ijimerarekko membawa kuman atau virus pada mereka atau teman sekelasnya. 5. Fuzake no ijime (ふざけの苛め) Disebut fuzake karena ijime ini dilakukan dalam bentuk sebuah permainan kelompok. Biasanya korbannya adalah anak yang sama dalam setiap permainan dan permainan ini akan terus berlanjut sampai selesai. 6. Mushisuru ijime (無視する苛め) Disebut mushisuru karena mereka mengabaikan dan tidak memperdulikan temannya. Namun ijime ini tidak dibarengi dengan penyerangan fisik karena mereka mengabaikan keberadaan ijimekko serta mereka akan mengeluarkan ejekan dan sindiran-sindiran pada dirinya. 7. Hikosei no ijime (非行性の苛め) 21 Ijime ini sudah menjurus kearah tindak kriminal yaitu pemerasan. Ijime ini termasuk dalam tindak kenakalan karena bentuk ijime ini juga berupa penyerangan terhadap fisik. 8. Nidandate ijime (にだんだて苛め) Ijime ini dilakukan oleh tsuppari group pada salah seorang anggota kelompok atau beberapa anggota kelompok sendiri. Mereka membuat kelompok baru dan mereka pun mulai melakukan tindak ijime lagi pada salah seorang anggota atau sebagian kecil anggotanya sebagai tindak balasan atas apa yang pernah dialaminya. Tetapi dalam penulisan ini, penulis hanya akan menghubungkan dua dari 8 bentukbentuk ijime yang tertera diatas yaitu, Zannin na ijime (残忍な苛め) dan Inshitsu na ijime (陰湿な苛め) 2.4 Teknik Montase Istilah montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotongmotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Alat mendasar dalam perfilman adalah teknik montase, dalam teknik tersebut teknik montase mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpah-tindih satu dan lainnya, Minderop (2005:150). Terdapat beragam teknik yang terdapat dalam prinsip montase, salah satunya digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik tersebut digunakan dalam penyajian eja-cakap kedalaman karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul di dalamnya terkadang tidak selalu berada 22 dalam urutan logis. Kebingungan dan kekesalan yang mungkin timbul dalam diri pembaca dapat merasakan kekacauan dalam diri tokoh. Teknik montase juga dapat menyajikan kesibukan latar, misalnya hiruk pikuk kota besar atau suatu kekalutan misalnya kekalutan pikiran, atau aneka tugas seorang tokoh secara simultan dan dinamis. Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya. Fungsi utama teknik montase yakni untuk menggambarkan dua kehidupan tokoh dalam suatu kisahan, yaitu kehidupan jasmani dan rohani. Agar pembaca dapat memahami dengan baik setiap situasi yang diputus atau disambung pada situasi tertentu, pembaca harus kembali menelusuri alur untuk kembali ke latar dan memposisikan diri pembaca pada keadaan yang sebenarnya. 2.5 Teori Penokohan Dalam sebuah karya sastra baik tertulis maupun visual terdapat berbagai macam unsur yang mendukung terbentuknya sebuah karya yang baik. Contohnya dalam sebuah karya sastra berbentuk cerita baik yang tertulis seperti novel, maupun yang dimainkan oleh para aktor, agar dapat dinikmati dengan baik diperlukannya unsur-unsur seperti plot, latar, dan salah satunya adalah tokoh. Istilah ”penokohan” berarti perwatakan daripada tokoh yang sedang dimainkan oleh orang-orang dalam sebuah cerita yang juga seperti dijelaskan Nugriyantoro (2002: 165), penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan mengandung dua aspek yaitu isi dan bentuk. Karena itu penokohan memiliki pengertian yang lebih luas daripada tokoh dan perwatakan. Hal ini disebabkan penokohan sekaligus mencakup siapa tokoh cerita, 23 bagaimana perwatakannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada para penikmatnya. Dalam kasus kepribadian tokoh, pemaknaan dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non verbal). 1. Metode verbal (dialog dan percakapan) Nugriyantoro (2002: 201) menjelaskan bahwa percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita dimaksudkan untuk menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak semua percakapan menunjukkan sikap tokoh, namun percakapan yang efektif dan baik adalah percakapan yang menunjukkan sifat atau watak dari tokoh pelakunya. Fenanie (2000: 90) mengatakan dengan adanya dialog-dialog yang dikemukakan pengarang, pembaca dapat mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas, pemikiran, dan watak tokohnya. 2. Metode non verbal (deskripsi perbuatan) Metode non verbal menggambarkan watak atau karakter tokoh cerita dengan cara mendeskripsi tindak tanduk atau perbuatan yang dilakukan oleh tokoh cerita. Mido (1994: 28) juga menjelaskan bahwa non verbal merupakan cara penyampaian informasi tanpa menggunakan bahasa, dan cara penyampaian ini sampai kepada kita melalui saluran yang terlihat, termasuk perilaku ekspresi, seperti ekspresi wajah, isyarat, postur, dan penampilan. Selain itu, metode ini adalah metode yang paling efektif untuk menunjukkan unsur-unsur karakter seorang tokoh. 24