Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Dalam teori pengkajian fiksi, istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku ceritanya. Penokohan juga mencakup masalah siapa tokoh utama cerita, berapa jumlah tokoh cerita, serta bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita. Sedangkan watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, serta lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Sedangkan menurut Joner dalam Nurgiyantoro, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. (2007, hal.165) Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta perilaku tokoh (Nurgiyantoro, 2007, hal.198). Berbagai teknik dalam penggambaran teknik dramatik antara lain: 1. Teknik Percakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. (hal.201) 2. Teknik Tingkah Laku Teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat non-verbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifatsifat kediriannya. (hal.203) 11 3. Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. (hal.204) Nurgiyantoro (2007, hal.177) juga mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh dalam sebuah kisah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Contohnya adalah seandainya pembedaan antara tokoh utama dan tokoh lainnya tak sama dilihat dari segi peranan atau tingkat penting atau tidaknya tokoh tersebut dalam sebuah cerita, ada tokoh yang penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebuah cerita dan dia disebut sebagai “tokoh utama”. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun sebagai korban suatu kejadian. Karena tokoh utama banyak diceritakan dan berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang lain, maka tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot dari sebuah cerita secara keseluruhan. 2.2 Teori Psikologi Penokohan Endraswara (2008, hal.183) menerangkan bahwa karya sastra, tampaknya telah mampu merekam gejala kejiwaan yang terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh analis atau pembaca, ataupun peneliti sastra dengan syarat bahwa mereka memiliki teori-teori psikologi yang memadai dalam usaha bedah investigasi. 12 2.3 Teori Psikologi Menurut Gunarsa (2006, hal.3), psikologi adalah ilmu atau pengetahuan yang mempelajari jiwa, dan jiwa sebagai dasar dari tingkah laku. Jiwa dapat dilihat dari tingkah laku. Chaplin dalam Walgito (2003, hal.202) menjelaskan perasaan termasuk gejala jiwa yang dimiliki oleh semua orang. Perasaan dan emosi biasanya disifatkan sebagai suatu keadaan (state) dari diri organisme atau individu pada suatu waktu. Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. (Goleman, 1996, hal.411). Chaplin dalam Safaria (2009, hal.12-13) menambahkan, emosi pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi. Kedua teori tersebut, juga sesuai dengan teori emosi central Canon yang mengungkapkan bahwa gejala-gejala kejasmanian merupakan akibat dari emosi, misalnya menangis karena merasa sedih. (Martin, 2003, hal.99-100). Notoatmojo dalam Suparyanto (2010, para.1) merumuskan bahwa perilaku terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Setiyorini (2008, hal.34-35) menambahkan, perilaku dapat diartikan sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan responsi terhadap situasi di luar subjek tersebut. Berdasarkan bentuk operasionalnya, perilaku dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar 13 2. Perilaku dalam bentuk sikap, yakni tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subyek 3. Perilaku dalam bentuk tindakaan yang sudah konkrit, berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, antara lain keinginan, berpikir, keyakinan, reaksi, dan sikap. (Setiyorini, 2008, hal.36). Berdasarkan kaitan psikologi dan jiwa, Gunarsa (2006, hal.3) menambahkan, kalau kita berusaha meneliti mengenai “apa” jiwa itu tentunya kita akan sampai pada berbagai konsep filsafat maupun konsep agama. Psikologi dan agama mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Sebelum psikologi Barat berkembang pada abad 19, agama menjadi reference pokok dalam menafsirkan maupun sebagai solusi persoalan kejiwaan. (Subandi, 2005, hal.7) Dockett, et al (2003) menjelaskan hubungan agama Buddha dan ilmu psikologi : In the midst of all this diversity, Western psychology has also “discovered” Buddhism, and Western psychologist and psychotherapists have been intrigued by the evident power of Buddhist practice to transform individual lives as the following passage, composed more than a quarter century ago, shows. There is much psychology dan learn from Buddhist philosophy and practice. (hal.42-43) Terjemahan : Di tengah-tengah semua keragaman ini, psikologi Barat sudah “menemukan” Buddhisme. Psikologi serta psikoterapi Barat juga tertarik dengan kekuatan nyata dari praktik Buddhis yang sudah membuktikan dapat mengubah kehidupan individu sejak lebih dari seperempat abad yang lalu. Sekarang ini, bidang psikologi banyak belajar dari filsafat dan praktik Buddha. (hal.42-43) Selain itu, Dockett, et al menambahkan : The great power of Buddhism for many psychologists is that it is so completely and powerfully true. There is no meaningful distinction between you and me. Age, gender, skin color, infirmity, flags of nations – none of these constructs are for you a different world than the one inhabit. Our tears are the same, our fears, our hopes, and our mind are the same. (hal.17) 14 Terjemahan : Kekuatan agama Buddha untuk banyak psikolog sangat lengkap dan benar. Tidak membedakan antara Anda dan Saya, usia, jenis kelamin, warna kulit, kelemahan, bendera negara – Tidak ada sari satu pun hal itu yang menempatkan Anda di dunia yang lain. Air mata kita sama, ketakutan, harapan, dan pikiran kita sama. (hal.17) Lebih lanjut Dockett, et al menjelaskan salah satu sekte agama Buddha yang berkembang di Jepang pada abad ke-13, Nichiren Shoshu, juga memiliki peran dalam bidang psikologi : At its core, Nichiren Buddhism is a teaching of psychological empowerment. Practitioners learn self-control, self-responsibility, and self-change. Trough an empowering philosophy, and practice, member learn that they can achieve enlightenment in this life time just as they are; that they have within themselves the power to transform everyday suffering into happiness. (hal.37) Terjemahan : Pada intinya, Buddha sekte Nichiren adalah ajaran dari pemberdayaan psikologis. Praktisi belajar mengendalikan diri, tanggung jawab, dan perubahan diri. Melalui sebuah filosofi, anggota belajar bahwa mereka dapat mencapai kesadaran dalam kehidupan kali ini, dan memiliki kekuatan dari diri sendiri untuk mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. (hal.37) 2.4 Konsep Sepuluh Dunia「十界」Agama Buddha Nichiren Shoshu Seperti yang tertulis dalam buku pembelajaran konsep kejiwaan Agama Buddha Nichiren Shoshu di Indonesia yang berjudul Ichinen Sanzen (2010, hal.9-10), pada dasarnya jiwalah yang menentukan bahagia atau tidaknya kehidupan seseorang. Jiwa sering sekali berubah, penuh dengan gejolak berbagai perasaan. Perasaan jiwa yang beraneka ragam tersebut dapat dikelompokkan menjadi sepuluh macam. Pengelompokkan perasaan jiwa menjadi sepuluh macam disebut sebagai Sepuluh Dunia. Queen dalam bukunya yang berjudul Engaged Buddhism in the West (1995) menerangkan lebih lanjut tentang kejiwaan atau psikologis Agama Buddha Nichiren Shoshu : 15 Nichiren accepts the Tendai concept of the Ten World (Jikkai), according to which there are at least ten states of mind always present in the personality of every human. Everybody is dominated by one of these ten psychological states. (hal.368) Terjemahan : Nichiren menerima konsep Sepuluh Dunia (Jikkai) dari Tendai, yang menjelaskan bahwa kepribadian seseorang paling tidak memiliki sepuluh keadaan jiwa. Setiap orang didominasi oleh satu dari sepuluh keadaan psikologis itu. (hal.368) Bikkhu Tertinggi sekte Nichiren Shoshu ke-26, Nichikan Shonin dalam buku Rokkanshou Kogi 1 (1991) menjelaskan mengenai Sepuluh Dunia: 十界とは地獄、餓鬼、畜生、修羅、人、天、声聞、縁覚、菩薩、仏の十を いうが、それらはあくまでわれわれの一念の状態、境涯をさすものであり、 われわれの一念を離れてどこか別のところに存在するものではない (hal.109) Terjemahan : Sepuluh Dunia yaitu, Neraka, Kelaparan, Kebinatangan, Kemarahan, Manusia, Surga, Sravaka, Pratekyabuddha, Boddhisatva, Buddha, namun, sepuluh hal itu merupakan bermacam-macam keadaan sekejap perasaan jiwa (Ichinen) yang terdapat di dalam jiwa masing-masing. Sepuluh Dunia tidak terlepas dari perasaan jiwa masing-masing dan tidak terdapat di tempat lain (hal.109) Selain itu, berdasarkan keterangan dalam majalah pembelajaran umat Nichiren Shoshu Indonesia, Samantabadra terbitan 2 Febuari 2012, edisi 217, (hal.35) mengenai Sepuluh Dunia, Nichiren Daishonin membabarkan bahwa baik yang berperasaan maupun yang tidak berperasaan mengandung kedua Hukum Sebab Akibat (Sepuluh Dunia) Sepuluh Aspek (Samantabadra, 217 : 35). Persis setiap makhluk hidup menyimpan potensi untuk berdiam di dunia mana pun dari Sepuluh Dunia, begitu pula lingkungannya. (Ikeda, 2011, hal.199) Berikut ini penjelasan tiap Dunia yang terdapat dalam konsep Sepuluh Dunia : 16 2.4.1 Dunia Neraka / Jigokukai (地獄界) Neraka adalah kenyataan yang paling menyedihkan. Dalam keadaan ini, hidup terasa menyakitkan dan apapun yang terlihat hanya mendatangkan kesengsaraan. (Ikeda, 2011, hal.152-153). Nichikan (1991) menjelaskan: “悩み苦しみに支配され た重苦しい悲惨な生命の状態を総称して地獄界という” (hal.111). Artinya : “Keadaan jiwa yang kacau, terikat oleh penderitaan dan kesedihan yang amat berat disebut sebagai Dunia Neraka”. Menurut teori emosi James-Lange dikatakan bahwa menangis itu karena sedih. (Nurhidayah, 2011, hal.4). Berdasarkan penjelasan dalam buku pembelajaran konsep kejiwaan Agama Buddha Nichiren Shoshu di Indonesia yang berjudul Ichinen Sanzen (2010, hal.19), sebenarnya yang dimaksud dengan neraka adalah perasaan jiwa kita sendiri. Dengan demikian jelas, jiwa neraka yang paling menderita sebenarnya terdapat di dalam jiwa kita sendiri. 2.4.2 Dunia Kelaparan / Gakikai (餓鬼界) Kelaparan merupakan kondisi yang dikuasai oleh hawa nafsu yang tak ada habisnya – nafsu akan makanan, laba, kesenangan, kekuasaan, pengakuan, atau ketenaran. Dalam keadaan ini, seseorang tidak pernah benar-benar merasa puas. (Ikeda, 2011, hal.154-156). Nichikan dalam buku Rokkanshou Kogi (1991) menguatkan pendapat di atas: 餓鬼とは欲望に支配された貪りの状態をいう。物質的欲求のため満足を知 らぬありさま、また時間に追われて少しも心の落ち着く余裕がないという のもそうである (hal.111) 17 Terjemahan : Kelaparan merupakan keadaan tamak atau serakah yang terikat atau dikendalikan oleh segala macam keinginan. Keadaan yang tidak pernah puas demi hasrat atau keinginan akan materi, seperti dikejar oleh waktu, tidak bisa merasakan ketenangan dalam hati sedikitpun (hal.111) Nichiren dalam Ikeda (2011, hal.154-156) menambahkan penjelasan di atas bahwa dunia Kelaparan ditandai dengan keserakahan. Mereka yang berada dalam dunia Kelaparan, menderita dan menyakiti orang lain. 2.4.3 Dunia Kebinatangan / Chikushokukai (畜生界) Kebinatangan adalah kondisi yang digerakkan oleh naluri. Manusia dalam keadaan ini takut kepada yang kuat, tetapi membenci dan memangsa yang lebih lemah daripada dirinya sendiri. Nichiren dalam Ikeda (2011, hal.156-157) menjelaskan bahwa dunia Kebinatangan ditandai dengan kebodohan. Boleh dikatakan bahwa mereka yang berada dalam keadaan ini, walaupun manusia, sudah kehilangan kemanusiaan mereka. Lebih lanjut tentang Dunia Kebinatangan, Nichikan (1991) menjelaskan: 魚や鳥や獣のような境涯をいう。すなわちその本質は、理性がなく、論理、 道徳をわきまえず、ただその時々の本能的欲求に送って生活していく生命 である。また、強いものにはへつらい、弱いものには威張るような生命状 態である (hal.112) Terjemahan : Dikatakan sebagai keadaan dasar jiwa yang menyerupai ikan, burung, atau jenis binatang lainnya. Dalam realita atau kenyataannya, merupakan jiwa yang tidak memiliki akal budi, logika, tidak mengerti moral, menjalani kehidupan terkadang hanya dengan mengikuti naluri saja. Selain itu, menyanjung dan menjilat orang yang lebih kuat namun sombong terhadap yang lemah (hal.112) 18 Nichiren menerangkan dalam buku Ichinen Sanzen (2010, hal.25), bahwa kebodohan yang dimaksud di sini tidak mempunyai arti yang sama dengan istilah “bodoh” di dalam masyarakat. Kebodohan yang dimaksud di sini adalah terseret untuk memenuhi keinginan nafsu nalurinya semata tanpa dapat mempertimbangkan hal-hal lainnya. 2.4.4 Dunia Asura / Kemarahan / Shurakai (修羅界) Nichiren menjelaskan (2010, hal.28-32), keadaan Dunia Kemarahan (Asura) ini dapat kita lihat pada diri orang yang mudah sekali meledak marahnya karena hal-hal yang sangat remeh. Pada waktu kemarahan menguasai dirinya ia merasa sangat besar, sehingga mampu menghancurkan segala sesuatu. Lebih lanjut Nichikan (1991) menambahkan: 修羅とは怒りや闘争の生命状態をいう。これは、修羅界になると急に自分 が大きくなったように感じ、逆にほかのものが小さくなったように感じて、 おごり高ぶる生命の状態ういったものである。気の小さい人間がカッとな って人を殺したり、家を焼き払ったりする (hal. 112-113) Terjemahan : Asura merupakan keadaan jiwa yang marah dan suka perkelahian atau pertempuran. Saat perasaan jiwa terdapat di dunia kemarahan (Asura), seketika merasa bahwa diri sendiri menjadi lebih besar, sebaliknya merasa orang lain menjadi lebih kecil atau lemah, keadaan jiwa yang congkak atau sombong. Manusia yang hatinya sempit, saat berada di dunia kemarahan (Asura), dapat membunuh atau membakar rumah orang lain (hal. 112-113) Ledakan emosi dunia Asura, seperti marah, benci, tidak senang, dan iri hati yang kesemuanya bersumber pada egoisme, bersifat menentang dan mengandung kekuatan merusak kehidupan orang atau makhluk lain. Jiwa dunia Asura berpusat pada egoisme, penuh dengan kesombongan. 19 2.4.5 Dunia Manusia / Jinkai (人界) Nichiren dalam buku Ichinen Sanzen (2010, hal.33) menjelaskan, “Tenang adalah Manusia”. Tenang berarti keadaan jiwa tanpa gejolak. Dunia manusia adalah perasaan jiwa yang sewajarnya sebagai seorang manusia. Mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat mengatasi penderitaan apapun, dan keinginan hawa nafsu untuk membuka hidup baru, memiliki kasih sayang yang merupakan perasaan jiwa seorang manusia. Menurut Epikuros, filsuf zaman Yunani-Romawi, ketenangan jiwa berarti tidak mengalami stres, melainkan ketentraman batin ibarat berada di tepi pantai yang tenang, tidak dicengkram oleh rasa takut dan gelisah dalam bentuk apapun. (Tjahjadi, 2004, hal.84) Nichikan (1991) menambahkan penjelasan mengenai Dunia Manusia yaitu: “人界 とは、「平かなる人なり」とあるように、平々凡々とした静穏な境涯であ る” (hal.113). Artinya : “Dunia manusia merupakan “orang yang tenang”, keadaan jiwa yang stabil, tenang, dan tentram.” Ikeda yang diterjemahkan oleh Meda Satrio (2011, hal.159-160) menjelaskan dalam Kemanusiaan, bukan fakta kelahiran kita yang menjadikan kita manusia, melainkan apabila kita hanya melakukan upaya gigih untuk bertindak selaras dengan lingkungan dan orang lain 2.4.6 Dunia Surga / Tenkai (天界) Keadaan Surga ditandai dengan kegembiraan atau kepuasan yang luar biasa yang kita alami bila, misalnya, memperoleh sesuatu yang sudah lama kita dambakan, atau ketika penderitaan yang sudah berlangsung lama akhirnya terangkat. Meskipun luar biasa, kegembiraan dalam keadaan ini berumur pendek dan sangat rentan terhadap 20 pengaruh dari luar. (Ikeda, 2011, hal.161). Nichikan (1991) menguatkan pendapat di atas: 天界とは、喜びの生命をいう。欲しいものが手に入ったとき、自分の思い 通りに事がはこんだときである。しかし天界の喜びは一時的で長続きせず、 やがって時がたつにつれて消えてしまうことが特徴である (hal.113) Terjemahan : Jiwa yang bahagia dikatakan sebagai Dunia Surga. Saat mendapatkan benda yang diinginkan, atau saat suatu hal berjalan sesuai dengan pemikiran sendiri. Namun, kebahagiaan dalam Dunia Surga memiliki kelemahan yaitu tidak dapat bertahan lama, tak lama kemudian akan hilang seiring berlalunya waktu (hal.113) Sehubungan dengan kegembiraan, Kusumawardani (2012, para1) menerangkan bahwa senyum merupakan ekspresi wajah yang biasanya menggambarkan perasaan senang dan gembira. 2.4.7 Dunia Sravaka / Shoumonkai (声聞界) Nichiren menjelaskan (2010, hal.50), Sravaka berarti mempelajari ilmu pengetahuan atau pun pengalaman hidup yang diperoleh para pendahulu dengan segala jerih payahnya; orang yang ingin memperkaya segi-segi kemanusiaannya, dan selalu menyerap kata-kata orang arif atau cara berpikirnya ke dalam diri sendiri. Untuk menimbulkan suasana jiwa Sravaka, diperlukan rasa ingin tahu, mau mengerti dalam mencari tahu pengalaman dan pengetahuan orang lain, serta melaksanakan dan menyerapnya ke dalam diri sendiri. Nichikan (1991) menjelaskan: “声聞とは如来の声教を聞くという意味であり、 空理を語ることを目的とした。現在においては、読書したり、思索したり、 勉強したりすること” (hal.114). Artinya : “Sravaka berarti mendengar pengajaran 21 Buddha, berbicara mengenai teori. Pada zaman sekarang seperti menulis dan membaca, berspekulasi, dan belajar”. Definisi Dunia Sravaka juga didukung oleh Slameto (2011, hal.54-72) yang menjelaskan bahwa faktor internal mempengaruhi dalam proses belajar individu salah satunya adalah faktor psikologis. Dalam faktor psikologis salah satu yang berpengaruh adalah minat. Djemari (hal.14) memberi penjelasan tentang minat dalam definisi operasional yakni keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek. 2.4.8 Dunia Pratekyabuddha / Engakukai (縁覚界) Nichiren (2010, hal.50) menerangkan bahwa Pratekyabuddha adalah suasana jiwa yang mencapai suatu kesadaran dengan jodoh atau perantara segala gejala kejiwaan dan alam. Gejala apapun, baik gejala jiwa maupun gerakkan alam semesta, bulan yang bersinar di langit, semuanya dapat menjadi jodoh untuk memperoleh kesadaran. Melalui jodoh-jodoh itu ia berfikir, merasa ragu, dan bersusah payah merenungkannya, dan kemudian mendapat kesadaran. Lebih lanjut Nichikan (1991) menambahkan tentang Dunia Pratekyabuddha: 縁覚とは一人で空理を語る者言う。声聞と似ているが、声聞の場合はすで に誰かが説いたことを学んでそれを理解すると言う語りであるのに対し、 縁覚の場合は縁にふれることによって自ら悟りを得るものである (hal.115) Terjemahan : Orang yang mengemukakan teori dasar tanpa bantuan orang lain, disebut Pratekyabuddha. Mirip dengan Sravaka, namun Sravaka mengerti dengan belajar dari penjelasan orang lain, berbeda dengan Pratekyabuddha yang mendapat pemahaman melalui jodoh luar (hal.115) 22 Kesadaran adalah keinsafan; keadaan mengerti; hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran dalam bentuk lain adalah pemahaman atau pengetahuan seseorang tentang dirinya dan keberadaan dirinya. (Suharso et al., 2005, hal.366). 2.4.9 Dunia Boddhisatva / Bosatsukai (菩薩界) Nichikan (1991) memberikan penjelasan mengenai kondisi jiwa Dunia Boddhisatva menurut pandangan Agama Buddha Nichiren Shoshu, yakni: 菩薩とは一応は自己の徳性を発揮して他人のため社会のために尽くす状態 をいう。本化の菩薩は三大秘法の南無妙法蓮華経によって、一切の民衆を 生命の墺低より救い大利益を与えていく行為である (hal.115-116) Terjemahan : Boddhisatva merupakan kondisi yang mendedikasikan diri untuk orang lain atau masyarakat serta menunjukkan moralitas diri sendiri. Tindakan Boddhisatva dalam Dunia Buddha yang berdasarkan Nanmyouhourenge-kyou (inti hakikat dari hukum alam semesta) dari Sandaihiho, dasar perasaan jiwanya selalu memberikan manfaat bagi orang lain (hal.115-116) Boddhisatva merupakan keadaan welas asih dan perilaku altruistis, mengabdikan diri untuk membantu orang lain bahkan dengan mengorbankan hidup. (Ikeda, 2011, hal.164). Mengenai makna “altruistis”, Charr (2004) mengemukakan: “The altruistic motive is distinct from egoistic motives which may also energise helpful behavior” (hal.193). Artinya : “Motif dalam sikap altruistis bertolak belakang dengan motif egoistis, dimana pada sikap altruistis terdapat perilaku menolong tanpa pamrih”. Selain itu ditambahkan oleh Widyarini (2009, hal.87) yang mengatakan bahwa altruisme memerlukan pengorbanan. 23 2.4.10 Dunia Buddha (仏界) Kebuddhaan merupakan keadaan dengan welas asih yang tidak berhingga dan keberanian yang tanpa batas. Kebuddhaan bukanlah keadaan yang bersih dari penderitaan dan ketidaksempurnaan manusia biasa. Mewujudkan Kebuddhaan bukan berarti kita menjadi makhluk istimewa. (Ikeda, 2011, hal.165). Nichikan (1991) lebih lanjut menerangkan : 仏界とは、生命の永遠性を悟り、宇宙即我、我即宇宙の境涯に立って、一 切を見て誤りなく、無限の生命力を持って人生を生きていく状態である。 それは、永遠の生命観に立つが故に時間的に変化を受けることなく、宇宙 即我のゆえに空間的に左右されることもない、絶対的幸福境涯である (hal.116) Terjemahan : Dunia Buddha menyadari keadaan jiwa yang kekal abadi, dan juga alam semesta adalah diri sendiri, diri sendiri adalah alam semesta, segalanya tidak terlihat salah, serta memiliki kekuatan hidup yang tak terbatas. Keadaan jiwa Dunia Buddha karena berpendirian bahwa jiwa kekal abadi, maka tidak terpengaruh oleh unsur “waktu” dan melalui pandangan bahwa alam semesta merupakan diri sendiri, tidak terbatas oleh “ruang”. Dengan demikian, Dunia Buddha merupakan keadaan jiwa yang bahagia secara mutlak (hal.116) Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perwujudan kondisi jiwa Dunia Buddha dapat dialami oleh semua manusia. Hal ini didukung oleh penjelasan Nichiren (2010, hal.67) bahwa seorang Buddha tidak lain daripada seorang manusia yang paling manusiawi. 2.5 Konsep Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup (十界互具) Berdasarkan penjelasan dalam Ichinen Sanzen (2010, hal.71-73), Jikkai Gogu 「十界互具」 atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup adalah gerakan Sepuluh Dunia di dalam jiwa secara aktif. Jiwa tidak pernah statis, selalu bergerak dan berpindah dari satu perasaan ke perasaan lain. 24 Dasar teori Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup adalah gerakan Sepuluh Dunia. Apabila satu Dunia nyata, maka Dunia lainnya tetap ada di dalam jiwa secara sunyata (tidak tampak). Nichikan (1991), menjelaskan tentang Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup: 十界互具は、地獄界から仏界までのそれぞれにまた十界を具しているので ある。一瞬の生命をとってみれば、やはり十界のうちのどれか一つにしか ないのである。しかし、生命が十界のうちのどれか一つの状態にあっても、 その状態は固定化されてしまうのではなく、縁にふれれば、すぐにパッと 他の状態に移行していくことを説き明かしているのである (hal.118) Terjemahan : Jikkai Gogu atau Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup terdiri dari Sepuluh Dunia, yaitu Dunia Neraka hingga Dunia Buddha. Bila melihat sekejap perasaan jiwa yang sedang timbul, memang dari Sepuluh Dunia hanya satu yang tampak. Namun, meskipun dalam jiwa hanya terlihat satu keadaan dari Sepuluh Dunia, keadaan itu tidak akan stabil, bila bertemu jodoh lain, dalam sekejap langsung akan berpindah ke dunia yang lain (hal.118) Selain itu, Ikeda (2011, hal.168) menambahkan bahwa kondisi hidup tidaklah tetap berada dalam satu dari kesepuluh kondisi, tetapi pada saat manapun bisa mewujudkan kondisi manapun. Selanjutnya, Ikeda juga menjelaskan bahwa, saling memiliki, atau saling cakup, berarti bahwa tiap-tiap dunia dari Sepuluh Dunia meliputi semua dunia lainnya di dalam dirinya sendiri. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Ichinen Sanzen (2010) : Sembilan Dunia mencakup Dunia Buddha dan Dunia Buddha juga mencakup Sembilan Dunia. Hubungan seperti itu terjadi karena adanya Hukum Sepuluh Dunia yang Saling Mencakupi. Demikian pula dengan Dunia lainnya, atau dengan perkataan lain, Sembilan dunia yang didasari Dunia Kelaparan, Sembilan dunia yang didasari Dunia Kebinatangan, Sembilan dunia yang didasari Dunia Boddhisatva. Dengan demikian, masing-masing dunia dari Sepuluh Dunia mencakup Sembilan dunia lainnya (hal.74) Oleh karena itu kondisi hidup tidaklah tetap berada di dalam salah satu dari kesepuluh kondisi, tetapi pada saat manapun bisa mewujudkan kondisi yang mana 25 pun. (Ikeda, 2011, hal.168). Selain itu, konsep Sepuluh Dunia yang Saling Mencakup menjelaskan bahwa tidak hanya bersikap pasrah menerima jodoh Dunia Neraka. Meski terlibat dalam suasana yang buruk apapun, hendaknya dapat menegakkan inisiatif manusia yang sesungguhnya. (Nichiren dalam Ichinen Sanzen, 2010, hal.87) 2.6 Teori Montase Menurut Humprey dalam Octavia (2009, hal.24-25), metode paling mendasar dalam sinema adalah teknik montase. Istilah montase berasal dari perfilman yang berarti memilah-milah, memotong-motong, serta menyambung-nyambung sebuah pengambilan gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Alat mendasar dalam perfilman adalah teknik montase yang diantaranya mencakup alat pengawasan seperti berikut ini : “A basic device for the cinema is that of montage. Among the secondary devices are such controls as “multiple-view”, “slow-ups”, “fade-outs”, “cutting”, “close-ups”, “panorama”, and “flash-backs” (hal.25). Artinya : “Alat mendasar dalam sebuah sinema adalah montase. Dan alat yang kedua mengambil alih kontrol seperti : “multiple-view”, “slow-ups”, “fadeouts”, “cutting”, “close-ups”, “panorama”, and “flash-backs”. Menurut Humprey, teknik montase dalam perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan gambar secara cepat atau mendadak dan gambar yang tumpang tindih antara gambar yang satu dengan gambar yang lainnya atau dengan suara disekitar gambar tersebut. Teknik ini kerap digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik montase dapat pula menyajikan kesibukan latar (seperti hiruk-piruk kota besar) atau suatu kekalutan 26 (seperti kekalutan pikiran) atau aneka tugas tokoh (secara simultan dan dinamis). (Minderop, 2005, hal.153) 27