PERILAKU BERKESENIAN : KAJIAN DALAM ANALISIS GENDER Udi Utomo ∗ Abstrak Pendahuluan Peran laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dengan menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan nature (alami) dan pendekatan nurture (budaya). Dalam berbagai konteks budaya perbedaan secara alami (biologis) seringkali mendasari diferensiasi peran (division of labor) yang ada, akibatnya sering terjadi ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa kasus, ketidakseimbangan tersebut memunculkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan. Sedangkan secara nurture (gender) perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat terkait dengan berbagai pandangan serta nilai-nilai budaya masyarakat yang ada. Fakta tersebut dalam konteks kesenian tercermin melalui berbagai wujud karya seni, penokohan, proses pengajaran, proses pertunjukan, karir, dan pelabelan instrumen musik dan lain-lain. Kata kunci : Perilaku, kesenian, gender. Perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dapat dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan nature (alami) dan pendekatan nurture (budaya). Dalam teori nature perbedaan antara keduanya didasarkan atas perbedaan jenis kelamin (sex) yang dalam hal ini mengandung pengertian sebagai penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin berdasarkan aspek biologis yang secara permanen tidak mengalami perubahan atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat). Sedangkan dalam teori nurture perbedaan lebih dikaitkan dengan diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan berdasarkan faktor budaya, yang dalam hal ini dikenal dengan istilah gender. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara alami (biologis) dalam berbagai konteks budaya seringkali mendasari diferensiasi peran (division of labor) yang ada. Akibatnya terjadilah ketidakseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa kasus, ketidakseimbangan tersebut memunculkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan. ∗ Penulis adalah dosen dan Magister Ilmu-Ilmu Sosial pada Jurusan Pendidikan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang Laki-laki dengan cirri-ciri biologisnya serta sifat-sifatnya senantiasa diidentikkan dengan orientasi instrumental, yakni aktif, penonjolan diri, pelindung, dan pemimpin. Sedangkan wanita dengan ciri-ciri biologisnya diidentikkan dengan sifat feminine yang berkaitan dengan orientasi emosional seperti pasif, berkorban untuk keperluan orang lain, tergantung, pemberi cinta, dan pengasuh. Dari perbedaan pandangan itu pula akhirnya tercipta celah penyekat yang memisahkan antara peran perempuan yang mendominasi wilayah domestik, dengan peran laki-laki yang mendominasi wilayah publik. Sebagai bukti di kalangan masyarakat Barat saja sejak awal abad ke-20, perbedaan tersebut telah mempengaruhi berbagai kebijakan sosial dan politik. Antara lain seperti perbedaan kesempatan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan serta perbedaan dalam memberikan suara pada pemilihan umum. Kuatnya pengaruh budaya patriarki yang membedakan antara kekuasaan lakilaki dengan perempuan yang didasarkan pada peran gender tradisional dalam berbagi konteks budaya masih tetap melingkupi berbagai aspek kehidupan yang ada. Sebagai contoh dalam masyarakat kita meskipun gerakan emansipasi telah mampu menjadi lokomotif penggerak masuknya peran perempuan ke berbagai sektor publik (pendidikan, ekonomi, industri dan lain-lain) namun, kenyataan yang ada masih memperlihatkan bahwa di antara mereka banyak yang hanya terlibat pada bidang-bidang yang merupakan kepanjangan dari peran gender tradisional. Kekuatan pengaruh budaya patriarki dan berbagai perilaku stereotype gender juga terjadi pada bidang kesenian. Berkaitan dengan hal tersebut tulisan ini akan memaparkan berbagai contoh temuan yang menjelaskan adanya barbagi fakta sosial yang berkaitan dengan permasalahan gender dan perilaku berkesenian dalam berbagai konteks budaya. Dalam teori nature perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan atas Laki-laki dan Perempuan dalam Teori Natrure dan Nurture perbedaan jenis kelamin (sex) yang dalam hal ini mengandung pengertian sebagai penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin berdasarkan aspek biologis (nature) yang secara permanen tidak mengalami perubahan atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat) (Fakih 1997:9). Perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sudah mulai diungkap secara ilmiah oleh Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man. Menurut pendapatnya pria berbeda dengan wanita dalam hal ukuran fisik, kekuatan tubuh, pemikiran dan lain-lain. Pendapat tersebut selanjutnya diikuti pula oleh beberapa ilmuwan berikutnya antara lain seperti Hardaker (1882) yang dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa wanita mempunyai kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki, namun demikian dalam hal intuisi dan dan persepsi sebaliknya. Selaras dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut selanjutnya Edward Torndike (1914) berpendapat bahwa walaupun anak laki-laki dan perempuan diberikan lingkungan yang sama, pada akhirnya tetap akan menghasilkan perbedaan kemampuan mental dan aktivitas di antara keduanya. Dari beberapa pendapat tersebut akhirnya dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis seperti misalnya fisik dan otot pria yang rata-rata lebih besar dari pada wanita serta adanya perbedaan hormon pada laki-laki dan perempuan diyakini mempengaruhi perbedaan tingkah laku atau peran di antara keduanya (Megawangi 1999:95-97). Berlainan dengan teori nature, sebaliknya dalam pandangan teori nurture diferensiasi peran (division of labor) antara laki-laki dan perempuan lebih dipengaruhi oleh budaya. Dalam kaitan ini dikenal dengan adanya konsep gender, yakni sebuah konsep yang menjelaskan mengenai perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan yang ada bukan merupakan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan dan di konstruksi oleh manusia melalui proses sosial dan kultur yang panjang (Fakih 1997: 9-10). Berkaitan dengan teori nurture, misalnya sebelum adanya teknologi alat-alat kontrasepsi, perempuan mempunyai tugas utama melahirkan, menyusui, dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pengasuhan anak serta pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan di sekitar rumah. Keadaan tersebut telah menjadi institusi di mana division of labor menjadi suatu norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini wanita berperan sebagai figure ekspresif (peran domestik), sedangkan laki-laki sebagai figure instrumental yang bertugas melindungi keluarga, serta mencari nafkah keluar rumah (peran publik). Pada saat mulai ditemukannya teknologi modern, seperti alat-alat kontrasepsi dan susu botol pengganti ASI, pembagian kerja tersebut akhirnya berubah. Kaum perempuan mulai dapat mengatur jumlah anak yang dilahirkan serta tidak perlu menyusui lagi sehingga waktunya tidak habis untuk urusan pengasuhan anak. Kendala biologis yang semula menghambat mereka untuk berkiprah di sektor-sektor yang semula di dominasi oleh kaum pria akhirnya menjadi hilang (Megawangi 1999:95-100). Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa peran gender tradisional perempuan seperti harus tinggal di rumah, memasak, merawat anak, mengatur rumah tangga, dan lain-lain merupakan sebuah budaya atau tradisi yang dapat berubah karena perkembangan teknologi. Gender dalam Perilaku Berkesenian Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan secara nurture (gender) dalam konteks perilaku berkesenian dalam sebuah masyarakat tentu saja terkait dengan berbagai pandangan serta nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Dari beberapa temuan diperoleh informasi bahwa perbedaan peran gender yang ada tercermin melalui berbagai wujud karya seni, penokohan, proses pengajaran, proses pertunjukan, karir, pelabelan instrumentasi dan lain-lain. Dalam bidang seni rupa dapat diambil contoh misalnya, pada jaman Renaissance para pelukis biasanya lebih suka menggambar tubuh pria telanjang, karena ada anggapan yang kuat bahwa tubuh perempuan pada jaman itu dianggap inferior. Sedangkan sebaliknya mulai abad ke-17 lukisan tubuh perempuan mulai digemari. Tubuh perempuan di kalangan pelukis digambarkan sebagai dewi Venus yang melambangkan kecantikan, serta merupakan obyek cinta yang ideal, meskipun hal ini dari sudut pandang laki-laki. Dalam Venus Coelestis, perempuan digambarkan dalam romantisme, sedangkan dalam Venus Naturalis perempuan digambarkan sebagai obyek seksual laki-laki (Hidajadi 2000 : 9-10). Dalam bidang seni tari, masalah stereotype gender sebagai contoh antara lain dapat dilihat pada penokohan tari gaya Surakarta. Meskipun Arjuna adalah tokoh laki-laki, namun pada praktiknya diperankan oleh perempuan dengan tujuan untuk menampilkan karakter halus yang dimiliki oleh Arjuna (Nakagawa 2000:85-86). Sedangkan dalam bidang seni musik, masalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan secara nurture (gender ) antara lain diungkapkan oleh Alevardo Valdes dan Jeffrey A. Halley (1993:148-167).. Melalui penelitiannya mengenai masalah gender dalam budaya musik Conjunto Meksiko Amerika ditemukan bahwa, perilaku berkesenian khususnya dalam proses pengajaran musik (proses magang), pergelaran musik, dan karir sangatlah dipengaruhi oleh identitas etnis dan kelas. Dalam konteks kesenian ini, patriarki sebagai sebuah sistem mendudukkan wanita lebih rendah di bawah pria pada basis jenis kelamin. Hubungan antar gender yang terjadi sebagaimana yang berlaku dalam budaya etnis masyarakat Meksiko Amerika, sesuai dengan kondisi identitas etnis dan kelasnya. Berkaitan dengan temuan tersebut, Kenneth M.George (dalam Nakagawa, 2000: 84-85) juga mencoba menjelaskan hubungan antara musik dengan jenis kelamin dalam konteks upacara di dalam masyarakat Mappurondo, Bukit Tinggi Sulawesi selatan. Dinyatakan, bahwa meskipun perbedaan jenis kelamin dalam pembagian peran gender tidak begitu jelas jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari, namun pada saat upacara justru sebaliknya. Perbedaan itu terlihat dengan adanya nyanyian-nyanyian tertentu yang ternyata hanya boleh dimainkan oleh sekelompok laki-laki atau perempuannya saja. Perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan juga terlihat dalam perilaku berkesenian di kalangan masyarakat Jawa dan Bali, antara lain terlihat dalam hal permainan instrumen gamelan. Instrumen gamelan hingga saat ini dapat dikatakan lebih dekat dengan dunia laki-laki, meskipun kenyataannya terdapat juga kelompok-kelompok kesenian gamelan “ ibu-ibu” (dalam tanda petik). Perempuan dan laki-laki sulit berkumpul bersama untuk membentuk kelompok gamelan dengan jumlah anggota yang seimbang. Istilah laki-laki dan perempuan dalam konteks kesenian gamelan ternyata juga muncul dalam pelabelan instrumen. Dalam gamelan Bali dikenal adanya kendang wadon (perempuan) dan kendang lanang (laki-laki), selain itu gangsa Bali juga terdiri atas satu pasang lanang dan satu pasang wadon. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam perangkat gamelan Jawa khususnya pada instrumen bonang juga terdapat perbedaan istilah yang terkait dengan jenis kelamin. Instrumen bonang Jawa bagiannya terdiri atas dua baris, barisan atas yang bernada tinggi disebut dengan bonang lanang (laki-laki), sedang pada baris bawah yang bernada rendah disebut bonang wadon (perempuan). Selain uraian di atas melalui penelitian “Musik Klasik dan Penggemarnya” (2000) penulis mendapatkan data yang menarik bahwa di kalangan peserta kursus musik pada salah satu tempat kursus di Kota Semarang ternyata ada kecenderungan pemilihan jenis kursus yang mencerminkan adanya pengaruh stereotype gender. Jenis-jenis kursus musik seperti gitar dan drum 90 % pesertanya adalah laki-laki. Sedangkan keyboard, vokal, dan biola 75 % pesertanya adalah perempuan. Untuk instrumen piano, jumlah peserta perempuannya bahkan mencapai 90 %. Fenomena ketidakseimbangan perbandingan jenis kelamin tersebut ternyata juga terlihat di Jurusan Pendidikan Sendratasik FBS UNNES tempat penulis mengajar. Dari data mahasiswa yang ada menunjukkan bahwa pada Program Studi Pendidikan Seni Tari lebih didominasi oleh mahasiswa perempuan, sedangkan sebaliknya pada Program Studi Pendidikan Seni Musik lebih didominasi oleh mahasiswa laki-laki. Pada setiap angkatan jumlah mahasiswa Pendidikan Seni Tari rata-rata mencapai 90 % dari jumlah mahasiswa, sedangkan pada Program Studi Seni Musik mahasiswa laki-lakinya mencapai 80 %. Dari data-data di atas tampaknya perlu dikaji lebih mendalam lagi adanya berbagai fakta sosial di balik perilaku berkesenian. Baik menyangkut masalah keterkaitan antara permasalahan gender dengan proses pemilihan minat studi seni di kalangan masyarakat kita, atau perilaku-perilaku berkesenian lainnya. Untuk mengkaji permasalahan tersebut, antara lain dapat dilakukan dengan menempatkan fakta sosial (fait social) sebagai pokok kajiannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Emile Durkheim bahwa fakta sosial tersebut menyangkut tentang berbagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu namun mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu. Cara pandang tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk memahami keterkaitan antara aspek-aspek sosial dan budaya dengan diferensiasi peran laki-laki dan perempuan yang terjadi dalam perilaku berkesenian. Dalam usaha memahami proses konstruksi peran laki-laki dan perempuan (gender) dalam berbagai perilaku tersebut dapat digunakan teori konstruksi sosial (pembentukan realitas secara sosial), yakni sebuah teori yang berpandangan bahwa realitas sosial itu pada dasarnya bermaknan ganda. Dalam teori tersebut, Peter Berger mengakui adanya realitas obyektif sebagai bagian penting dalam proses pembentukan realitas sosial, akan tetapi makna terhadap realitas yang ada tetap berasal dari dan oleh hubungan subyektif individu dengan dunia obyektif itu sendiri (Poloma 1984:305). Apabila digambarkan dalam suatu model, proses konstruksi peran gender dalam perilaku berkesenian tersebut adalah sebagai berikut : REALITAS OBYEKTIF Berbagai perilaku, sikap, pandangan, dan pemberian makna terhadap diferensiasi peran laki-laki dan perempuan berdasarkan nurture (gender) INDIVIDU INDIVIDU INDIVIDU Realitas Realitas Realitas Subyektif Subyektif Subyektif REALITAS BARU REALITAS OBYEKTIF Penutup Pengaruh budaya patriarki yang membedakan antara peran laki-laki dengan perempuan yang didasarkan pada peran gender tradisional dalam berbagi konteks budaya masih tetap melingkupi berbagai aspek kehidupan termasuk di dalamnya bidang kesenian. Perbedaan tersebut terkait dengan berbagai pandangan serta nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Dari beberapa temuan diperoleh informasi bahwa perbedaan peran gender terjadi dalam berbagai perilaku berkesenian baik seni rupa, seni tari, maupun seni musik. Perbedaan peran dan status tersebut tercermin melalui berbagai wujud karya seni, penokohan, proses pengajaran, proses pertunjukan, karir, pelabelan instrumentasi dan lain-lain. Untuk mengkaji lebih dalam lagi berbagai perilaku berkesenian tersebut antara lain dapat dilakukan dengan menempatkan fakta sosial (fait social) sebagai pokok kajiannya. Sedangkan untuk memahami proses konstruksi peran laki-laki dan perempuan (gender) yang ada dapat digunakan teori konstruksi sosial (pembentukan realitas secara sosial). DaftarPustaka Fakih, M. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hidajadi, M. 2000. “Tubuh: Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya”. Jurnal Perempuan Edisi 15. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan. Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung : Mizan Pustaka. Nakagawa, Shin, 2000. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Utomo, U. 2000. “Musik Klasik dan Penggemarnya”. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. Valdez, A, dan Halley, J.A. 1996. “Gender in the Cultural of Mexican American Conjunto Music”. Dalam Gender & Society, Vol. 10, No. 2/ April 1996, hal. 148 – 167.