NILAI MORAL SHUDANSHUGI DAN MUNCULNYA FENOMENA

advertisement
NILAI MORAL SHUDANSHUGI DAN MUNCULNYA FENOMENA
IJIME
Ekayani Tobing
Staf Pengajar Bahasa Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA Jakarta
[email protected]
Abstrak
Fenomena ijime merupakan hal yang menarik dikaji. Munculnya gejala ini salah
satunya diakibatkan karena kuatnya ikatan solidaritas masayarakat Jepang pada kelompoknya
atau dikenal dengan nakama ishiki. Ijime merupakan kasus tindak kekerasan yang dilakukan
bukan secara individual, melainkan secara kelompok.
Kata kunci: ijime, shudanshugi, solidaritas
Abstract
Ijime phenomenon is a subject that is interesting to study. The occurance of this
phenomenon is caused among other by a strong solidarity cohesiveness in the Japanese society
for its group which is called "nakama ishiki". Ijime is a case of violence act committed not by
individual but corporately by a group.
Key words: ijime, shudanshugi, solidarity
Pendahuluan
Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya tidak dapat
mengelakan dirinya dari berbagai masalah sosial karena masalah-masalah
sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai
akibat dari hubungan-hubungan yang terjalin dengan sesama manusia lain dan
sebagai akibat dari tingkah lakunya. Nisbet dalam Parsudi Suparlan
menjelaskan bahwa yang membedakan masalah-masalah sosial dari masalahmasalah lainnya adalah bahwa masalah-masalah sosial selalu ada kaitannya
yang dekat dengan nilai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta selalu ada
kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia dan dengan konteks-konteks
normatif dalam hubungan-hubungan manusia itu terwujud.i
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
69
Ijime merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam
masayarakat Jepang, khususnya di antara remaja Jepang, yang salah satu
dampaknya karena kuatnya ikatan nilai-nilai moral di Jepang, antara lain nilai
shudan shugi ‘
paham kelompok’
dan amae ‘
nilai ketergantungan’
kepada
kelompoknya yang mengatur interaksi antaranggota yang tidak terlepas dalam
kaidah
kesadarannya
sebagai anggota
kelompok
masyarakat
Jepang.
Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang hidup dalam kelompok.
Kontak dan interaksi yang dilakukan seseorang untuk saling mengisi dalam
setiap kegiatan oleh masyarakat Jepang menghasilkan suatu perasaan
kebersamaan yang kolektif atau yang disebut dalam bahasa Jepang dengan
? ? ? ? ? ? ? ?
shudan shugi ( ? ? ? ? ). Kepercayaan yang sama, perasaan yang sama, dan
tingkah laku yang sama telah mempersatukan orang-orang Jepang dalam
masyarakatnya. Apa yang dianggap baik oleh anggota yang satu, maka akan
dianggap baik pula oleh anggota yang lainny. Sebaliknya, apa yang dianggap
buruk oleh anggota yang satu, maka akan dianggap buruk pula oleh anggota
yang lain. Berarti dapat dikatakan bahwa segala tindakan kebersamaan yang
terjadi dari hasil aksi dan reaksi dari anggota kelompok dan adanya
kebersamaan yang kolektif dalam masyarakat Jepang menunjukkan satu
? ? ? ? ?
? ? ?
perasaan solidaritas. Shudan shugi ( ? ? ? ? ) adalah suatu ideologi
kebersamaan atau paham berkelompok orang Jepang yang terbentuk dengan
kokoh di antara para anggota kelompok karena adanya ikatan emosional, yang
? ? ? ? ? ?
disebut dengan nakama ishiki (? ? ? ? ), yaitu kesadaran berkelompok.ii
Masyarakat
Jepang
sering
disebut
?
masyarakat
yang
selalu
? ? ?
mementingkan dan sangat mengutamakan Ba (? ) dibandingkan Shikaku (? ?
?
), atau atribut individu.iii Ba (? ) dapat diartikan sebagai kelompok, lembaga,
70
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
institusi, tempat dan sebagainya yang mengacu pada kerangka diri individu
terkait dan bernaung, berlindung atau berada, serta menjunjung kesamaan atau
homogenitas. Mereka sangat menghargai keserasian dan harmoni dalam
kelompoknya. Keanggotaan seseorang dalam masyarakat Jepang di dalam ba (
?
? ) adalah kelompok, tidak diikat dengan kontrak, tetapi secara tidak langsung
dengan eksistensi, interaksi, dan partisipasi aktif dalam kelompok. Mereka
menganggap kelompok sebagai suatu kesatuan yang mutlak (keabsolutan).
Setiap individu harus menyesuaikan diri dengan kelompok, yang akhirnya
menimbulkan rasa keterkaitan dan ketergantungan antara individu yang satu
dan lainnya. Karena itu, untuk menjaga rasa kebersamaan dalam kelompok
dibutuhkan interaksi yang konstan atau terus menerus di antara para
anggotanya. Karena hidup berkelompok, seseorang sadar akan keterlibatannya
dalam suatu masyarakat, juga terhadap kewajiban-kewajiban yang mengikat
dan komitmen terhadap kelompoknya yang menjadi dasar untuk membentuk
suatu kesatuan sosial yang disebut masyarakat dan dalam bahasa Jepang
? ? ? ?
disebut dengan shakai (? ? ). Masyarakat adalah sekelompok orang yang
mempunyai identitas sendiri, yang membedakan kelompok yang satu dengan
yang lain, dan hidup di dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri.
Kelompok ini, baik dalam jumlah sedikit (sempit) maupun banyak (luas),
mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan
menganggap dirinya berbeda dengan yang lain. Mereka memiliki pola tingkah
laku yang menyangkut semua aspek dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang harus
dipatuhi bersama, yang dalam batas kesatuan tersebut bersifat khas, dan
berkesinambungan sehingga menjadi sebuah adat-istiadat.
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
Perangkat-
71
perangkat dan pranata-pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam arti yang seluas-luasnya.
Penganiayaan atau dalam bahasa Jepang disebut dengan ijime (? ? ? )
merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Jepang dan
ini merupakan salah satu masalah dari sekian banyak masalah yang dialami
oleh sebagian orang Jepang yang akan terus berlangsung entah sampai kapan.
Koran-koran di Jepang memberitakan banyaknya kejadian mengenai anak-anak
yang mengakhiri hidupnya sendiri karena perlakuan ijime (? ? ? ). Seperti
dalam berbagai pesan tertulis yang berisi “
Tidak ada lagi hardikan”
atau
“
Berhentilah menghardik saya”
yang ditulis oleh anak-anak korban ijime (? ?
? ) sebelum mereka mengakhiri hidup dengan meloncat dari gedung
bertingkat. Anak-anak ini merupakan contoh dari sekian banyak siswa-siswa
sekolah korban Ijime (? ? ? ) yang tidak dapat diungkapkan kepada orang
lain, bahkan orang terdekatnya sendiri, yaitu orang tuanya, mengenai semua
siksaan yang diterimanya dari teman-teman sebayanya. iv
? ? ? ? ? ? ? ?
Shudan Shugi ( ? ? ? ? ) Kehidupan Kolektif atau Kebersamaan dalam
Masyarakat Jepang
Kontak dan interaksi yang dilakukan seseorang untuk saling mengisi
dalam setiap kegiatan oleh masyarakat Jepang menghasilkan suatu perasaan
? ? ? ? ? ? ? ?
kebersamaan yang kolektif atau disebut juga dengan shudan shugi ( ? ? ? ?
). Kepercayaan yang sama, perasaan yang sama dan tingkah laku yang sama
telah mempersatukan orang-orang Jepang dalam masyarakatnya. Apa yang
dianggap baik oleh anggota yang satu, maka akan dianggap baik pula oleh
anggota yang lainnya. Begitupun sebaliknya, apa yang dianggap buruk oleh
72
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
anggota yang satu, maka akan dianggap buruk pula oleh anggota yang lain.
Berarti dapat dikatakan bahwa segala tindakan kebersamaan yang terjadi dari
hasil aksi dan reaksi dari anggota kelompok dan adanya kebersamaan yang
kolektif dalam masyarakat Jepang menunjukkan satu perasaan solidaritas.
? ? ? ? ? ? ? ?
Shudan shugi ( ? ? ? ? ) adalah suatu ideologi kebersamaan atau paham
berkelompok orang Jepang yang terbentuk dengan kokoh di antara para
anggota kelompok karena adanya ikatan emosional yang disebut dengan
? ? ? ? ? ?
nakama ishiki (? ? ? ? ), yaitu kesadaran berkelompok.
Masyarakat
Jepang
juga
merupakan
?
masyarakat
yang
selalu
? ? ?
mementingkan dan sangat mengutamakan Ba (? ) dibandingkan Shikaku (? ?
?
), atau atribut individu.v Ba (? ) dapat diartikan sebagai kelompok, lembaga,
institusi, tempat dan sebagainya yang mengacu pada kerangka diri individu
terkait dan bernaung, berlindung atau berada, serta menjunjung kesamaan atau
homogenitas. Mereka sangat menghargai keserasian dan harmoni dalam
kelompoknya. Keanggotaan seseorang dalam masyarakat Jepang di dalam ba (
?
? ) adalah kelompok, tidak diikat dengan kontrak, tetapi secara tidak langsung
dengan eksistensi, interaksi, dan partisipasi aktif dalam kelompok. Mereka
menganggap kelompok sebagai suatu kesatuan yang mutlak (keabsolutan),
setiap individu harus menyesuaikan diri dengan kelompok, yang akhirnya
menimbulkan rasa keterkaitan dan ketergantungan antara individu yang satu
dengan yang lainnya. Karena itu, untuk menjaga rasa kebersamaan dalam
kelompok, dibutuhkan interaksi yang konstan atau terus menerus di antara para
anggotanya. Karena dalam berkehidupan kelompok, seseorang sadar akan
keterlibatannya dalam suatu masyarakat, juga terhadap kewajiban-kewajiban
yang mengikat dan komitmen terhadap kelompoknya yang menjadi dasar untuk
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
73
membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut masyarakat dan dalam bahasa
? ? ? ?
Jepang disebut dengan (? ? ).
? ? ? ?
Masyarakat ( ? ? ) adalah sekelompok orang yang mempunyai
identitas sendiri, yang membedakan kelompok yang satu dengan yang lain dan
hidup di dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini,
baik dalam jumlah sedikit (sempit) maupun banyak (luas), mempunyai
perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap
dirinya berbeda dengan yang lain. Mereka memiliki pola tingkah laku yang
menyangkut semua aspek dalam kehidupan bermasyarakat, seperti normanorma, ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
bersama,
yang
dalam
batas
kesatuan
tersebut
bersifat
berkesinambungan sehingga menjadi sebuah adat-istiadat.
khas,
dan
Perangkat-
perangkat dan pranata-pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi
kebutuhan kelompok dalam arti yang seluas-luasnya.
Sementara itu, kesatuan sosial disebut sebagai kesatuan hidup setempat
yang merupakan kesatuan yang tidak hanya semata-mata ada karena ikatan
kekerabatan, tetapi juga tempat kehidupan. Mereka mempunyai wilayah dan
perasaan kesatuan kelompok dengan memiliki ciri-ciri yang berbeda dari
kelompok lain. Ciri-ciri tersebut, antara lain,
1. interaksi antarwarga dalam bentuk pergaulan antar pribadi (individu);
2. adat istiadat, norma-norma, hukum, serta aturan-aturan yang mengatur
semua pola tingkah laku warga;
3. kontinuitas dalam waktu;
4. rasa identitas yang kuat yang mengikat semua warga.vi
74
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
Nakane Chie seorang ahli antropologi Jepang juga mengembangkan
suatu insightful model sebagai identitas diri orang Jepang. Dia mengatakan
seperti berikut.
“
Self-identity orang Jepang adalah individu yang berpusat pada
suatu lingkaran dan di dalam lingkaran itu, anggota saling
berhubungan (terikat) dalam kelompok tersebut. Interaksi datang
dari tempat masing-masing lingkaran individu bertemu individu lain
di dalam lingkaran hubungan, hal ini dapat dilihat sebagai
kebutuhan akan pengenalan formal dalam semua tingkatan
vii
masyarakat Jepang.”
Orang Jepang dapat mengenal dirinya apabila berada dalam lingkungan
kelompoknya Di dalam kelompok masyarakat sebagai individu dapat
mengekspresikan emosinya sehingga sebagai anggota suatu kelompok ikatan
satu dengan yang lain sangat kuat. Selanjutnya, Nakane Chie juga
menggambarkan model identitas diri orang Jepang sebagai berikut.
Gambar 1
Bagi masyarakat Jepang, frekuensi pertemuan dianggap sebagai ukuran
kedekatan dalm suatu hubungan. Dalam berinteraksi sosial, kedekatan
merupakan cara terjadinya komunikasi, seperti yang diuraikan oleh Nakane.
“
In Japanese society frequent meeting with friends and acquaintance is general
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
75
norm…
.The frequency of meeting is regarded as measure of the closeness and
firmness of relationship”
.viii
Dalam masyarakat Jepang pertemuan secara teratur dengan teman dan
kenalan merupakan suatu norma umum. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan
dalam berbagai kegiatan ini dengan jumlah frekuensi pertemuan, dan hal ini
yang dianggap sebagai kedekatan suatu hubungan.
Interaksi yang terjadi dalam masyarakat Jepang dibedakan antara uchi (
? ) yang berarti dalam dan soto (? ) yang berarti luar. “
Uchi is where one is
taken care of, where one receives support and encouragement and where one
owescentral commiyment and effort. It is where one comes from and where
one return”
.ix
Uchi merupakan wadah bagi seseorang untuk diperhatikan, menerima
dukungan, dan dorongan serta tempat seseorang memiliki komitmen utama.
Uchi juga dapat diartikan sebagai tempat seseorang berasal dan ke mana
seseorang
kembali. Uchi ( ? ) merupakan hubungan yang terjadi antara
seseorang dan orang lain pada tempat yang sama, yaitu tempat mereka menjadi
anggota dalam satu kelompok yang sama. Uchi (? ) seseorang dapat berupa
keluarga, lingkungan teman atau kerja, atau negara.
Dalam Uchi ( ? )
seseorang akan merasa leluasa untuk menampilkan Honne (? ? ), tetapi Uchi (
? ) dapat berkembang berdasarkan situasi dan kondisi yang perubahannya
dapat terjadi kapan saja (setiap saat), artinya dalam waktu yang sama mungkin
uchi (? ) akan berubah menjadi soto (? ). Hal ini disadari (dipahami) betul
oleh anggota masyarakat Jepang.
Suatu kesepakatan akan terjadi apabila dua pihak yang berkomunikasi
mempunyai pikiran dan perasaan yang sama. Bagi orang Jepang mengenal
satu sama lain merupakan tindakan memberikan suatu perasaan atau pengertian
76
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
kebebasan atau keselamatan. Mereka takut apabila berbeda dari individu yang
lainnya. Mereka akan lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya. Bagi
orang Jepang hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompoknya.
Oleh karena itu, mereka sebagai anggota kelompok akan senantiasa menjaga
diri agar diakui dan diterima dan berusaha menjaga loyalitasnya bagi
kelompoknya.
Begitu pun dalam masyarakat anak, khususnya bagi seorang anak di
Jepang, seorang teman atau kelompok berteman memberikan harapan dan
kehidupan di dalam masyarakat anaknya. Hal ini akan terlihat dengan jelas
dalam sebuah hubungan seorang anak dengan temannya di sekolah. Apabila
hubungan dengan temannya tersebut berjalan dengan baik, ia akan merasa
senang pergi ke sekolah. Sebaliknya, jika hubungan pertemanannya tidak
berjalan dengan baik, anak tersebut akan menolak untuk pergi ke sekolah, yang
? ? ? ? ? ? ?
dalam bahasa Jepang disebut tokokyohi (? ? ? ? ). Apabila seorang anak
sudah mulai masuk masa sekolah, di situlah akan terlihat kemampuan anak
tersebut dalam membentuk dirinya di dalam lingkungan berkawan dan
berkelompok.
Penekanan hidup berkelompok dalam masyarakat Jepang ini secara
otomatis telah memengaruhi seluruh gaya hubungan antarpribadi individu di
Jepang, termasuk dalam hubungan pertemanan dalam kelompok bermain anak.
Kelompok anak adalah bagian masyarakat yang mempunyai identitas sendiri,
yang dikumpulkan berdasarkan umur dan berbagai kondisi sosial yang hampir
sama melalui kehidupan di rumah, kehidupan bermain dengan teman, serta
kegiatan-kegiatan di sekolah sesuai dengan tingkat perkembangan anak itu
sendiri walaupun anak itu belum mengerti apa yang disebut dengan masyarakat
dalam arti sesungguhnya. Dalam setiap kegiatan yang diikutinya, anak-anak
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
77
? ? ?
dengan sendirinya membentuk kelompok berteman atau nakama shudan (? ?
? ? ? ? ?
? ? ).
Shimizu Yoshihiro, seorang ahli pendidikan Jepang dari Universitas
? ? ? ? ? ? ? ?
Tokyo, menjelaskan mengenai konsep Nakama Shudan (? ? ? ? ), sebagai
berikut.
? ? ? ? ? ? ? ?
“
Yang dimaksud dengan Nakama Shudan ( ? ? ? ? ) adalah
kelompok anak-anak yaitu mulai dari masa kanak-kanak sampai
pada masa remaja yang mulai melepaskan diri dari perlindungan,
pengawasan dan perhatian orang dewasa. Misalnya adanya
kelompok teman bermain (PlayGroup) pada masa kanak-kanak,
kelompok teman berkelompok (Gang) pada masa remaja dan
kelompok sebaya (Peer Group) pada masa puber”
.x
Berikut ini adalah gambar tabel yang menyatakan bahwa hubungan
seorang anak dengan kelompok bermainnya (teman-temannya).
Gambar 2
Kapan seorang anak merasa ‘
Hidup’
di lingkungannya?
Di Kelas
Di Klub
Aktivitas
Sangat
Cukup
Kadang-
Tidak
Sama Sekali
Baik
Baik
Kadang
Begitu
Tidak
5.2
9.7
33.6
35.9
15.6
20.8
22.5
27.2
16.1
13.4
36.1
31.4
24.2
5.5
2.8
27.7
24.6
25.8
13.8
8.1
Saat
Bersama
Teman
Di Rumah
78
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
Source: Monograph vol.54 edited by Educational Research Center, Benesse Corporation
? ? ?
Di dalam nakama shudan ( ? ?
? ? ? ? ?
? ?
),
masyarakat
lebih
mengharapkan adanya rasa solidaritas dan tindakan kebersamaan di dalam
? ? ? ? ? ? ? ?
kelompok. Oleh karena itu, di dalam nakama shudan (? ? ? ? ) anak-anak
berusaha agar dapat ikut serta melakukan kegiatan yang bersifat kelompok
dalam bentuk apa saja meskipun harus mematikan rasa keinginan (pribadi)
mereka sendiri.
Konsep Solidaritas
Rasa solidaritas adalah daya yang ditimbulkan oleh kepercayaan atau
perasaan yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat yang sama dalam
pergaulan hidup merekaxi. Perasaan solidaritas dibutuhkan dalam kehidupan
berkelompok. Ada dua tipe solidaritas sosial dalam kehidupan masyarakat.
1.
Solidaritas Mekanikal
Solidaritas yang didukung oleh rasa kepercayaan yang sama, perasaan
yang sama, dan tingkah laku yang sama yang mempersatukan satu
individu dengan masyarakat. Sifat dasar masyarakat dalam solidaritas
mekanikal cenderung memiliki rasa kesukuan dan jelas terlihat pada
masyarakat yang tidak berkembang. Masyarakat pada solidaritas
mekanikal ini, memiliki batas daerah teritorial yang dibagi menurut
hubungan keluarga.xii
Pada solidaritas mekanikal, hubungan individu yang satu dengan yang
lain saling terikat secara terisolasi satu sama lainnya dan pelaksanaan
kerjanya sesuai dengan pelaksanaan kerja sebelumnya. Apabila ada
anggota yang melanggar ketentuan sosial yang berlaku atau dianggap
tidak dapat memuaskan kepentingan bersama, ia akan dikenakan
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
79
hukuman yang dianggap seimbang dengan pelanggaran yang dibuatnya.
Hukumannya berupa represif, yaitu hukuman yang diberikan atas
pelanggaran yang dianggap sebagai kejahatan. Dengan kata lain, hukum
dalam solidaritas mekanikal lebih menuju ke pemberian sanksi dan
penindasan.
2.
Solidaritas Organikal
Solidaritas dihasilkan oleh adanya pembagian kerja. Tiap-tiap individu
memiliki ruang kerja sendiri sehingga menimbulkan perbedaanperbedaan antara individu yang satu dan yang lain. Sifat yang paling
mendasar di sini adalah menempatkan kembali atau memperbaiki hal
yang sudah dikerjakan oleh masyarakat itu. Kegiatan individu
bergantung pada masyarakatnya karena ia bergantung pada bagian yang
mengaturnya. xiii Hal yang membedakan solidaritas organikal dengan
solidaritas mekanikal adalah dasar-dasar esensial di dalam pelaksanaan
kerja masyarakat modern. Semakin modern suatu masyarakat, semakin
menonjol perbedaan sosialnya sehingga solidaritas organikal ini bersifat
seperti sebuah perjanjian. Jika ada anggota yang melanggar ketentuanketentuan, hukuman yang diberikan lebih bersifat non-represif dan
lebih bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. xiv
Durkheim menjelaskan konsep mengenai kebersamaan yaitu pola-pola
kepercayaan dan tingkah laku yang dibentuk oleh kolektivitas. Di dalam
kebersamaan, tindakan-tindakan yang dilakukan kolektivitas akan bertahan
lebih lama daripada tindakan-tindakan yang dilakukan individual yang
dilakukan oleh seorang individu di dalam suatu kelompok. Untuk membentuk
suatu kesatuan sosial, setiap anak akan dipaksa untuk bertindak dengan caracara tertentu secara konsisten hingga membentuk suatu keteraturan tingkah
laku dan wewenang. Keteraturan tingkah laku ini di sebut dengan moral.
80
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
Seorang anak dianggap sudah sah (diakui) menjadi anggota dalam
masyarakatnya setelah anak tersebut berusia tujuh tahun. Pada usia itu mereka
mulai mengadakan hubungan sosial dengan teman-temannya yang seusia
? ? ?
dengan membuat kelompok di luar kelompok keluarga (? ? ).
Nakamaishiki sebagai Bagian dari Shudanishugi ‘
Kesadaran Hidup
? ?
Berkelompok’
dan sebagai Salah Satu Pemicu Munculnya Ijime (? ? )
Nojuu Shinsaku dari Pusat Penelitian Bimbingan Kehidupan Anak-anak
di Jepang menjelaskan bahwa sikap anak-anak di sekolah Jepang memiliki
kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan dalam bentuk kebersamaan
yang kolektif dalam mencapai suatu tujuan tertentu karena mereka merasa
mempunyai motif kegiatan dan tujuan yang sama, yang timbul karena begitu
kuatnya rasa solidaritas dan kebersamaan yang timbul di dalam diri anak-anak
tersebut. xv Namun, mereka juga cenderung memiliki perilaku menyimpang
yang disebabkan tekanan dan tuntutan dari lingkungan sekitar tempat siswasiswa sekolah tersebut tumbuh, yang juga dilakukan dalam bentuk
kebersamaan yang kolektif. Perilaku menyimpang ini merupakan perwujudan
protes terhadap lingkungan sekitar dan orang-orang dekat, dengan cara
melampiaskan rasa ketidaksukaan, ketidakpuasan, juga keletihan dan
kejenuhan yang dirasakan dengan melakukan tindakan yang disebut dengan
ijime (? ? ? ).
Ijime ‘
penganiayaan’
merupakan salah satu dari sekian banyak masalah
sosial yang dialami oleh masyarakat Jepang yang terus berlangsung sampai
sekarang. Koran-koran di Jepang memberitakan banyaknya kejadian mengenai
anak-anak yang mengakhiri hidupnya sendiri karena perlakuan ijime (? ? ? ).
Seperti dalam berbagai pesan tertulis yang berisi “
tidak ada lagi hardikan”
atau
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
81
“
berhentilah menghardik saya”
yang ditulis oleh anak-anak korban ijime (? ?
? ) sebelum mereka mengakhiri hidup dengan meloncat dari gedung
bertingkat. Anak-anak ini merupakan contoh dari sekian banyak siswa sekolah
korban Ijime ( ? ? ? ) yang tidak dapat diungkapkan kepada orang lain,
bahkan orang terdekatnya sendiri, yaitu orangtua, mengenai semua siksaan
yang diterima dari teman-teman sebayanya. Nojuu menjelaskan bahw yang
dimaksud dengan ijime (? ? ) sangatlah berbeda dengan yang disebut dengan
perkelahian karena tindakan ini merupakan suatu perbuatan seseorang yang
mempunyai kekuatan dalam beberapa bentuk untuk dapat melakukan
penyerangan searah terhadap siapa yang menjadi lawannya. Orang yang berada
dalam posisi kuat menyerang orang yang berada dalam posisi lemah, baik
secara fisik maupun mental. Orang yang melakukan perbuatan ini pun merasa
sangat senang apabila melihat lawannya menderita atau menjadi kesal. Ijime (
? ? ? ) juga memiliki ciri bahwa tindakan ini tidak akan berakhir dalam satu
kali perbuatan saja, seperti halnya dalam suatu perkelahian, tetapi dilakukan
dalam masa yang panjang dan dilakukan secara berulang-ulang. xvi
Sebuah perkelahian biasanya dilakukan oleh satu orang melawan satu
orang. Namun, dalam ijime ( ? ? ? ) satu atau sekelompok besar orang
melawan sekelompok kecil atau beberapa orang melawan satu orang. Ijime (?
? ? ) juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan kejam yang meliputi
penganiayaan, pemerasan, penyangkalan, pencemohan, dan pengolok-olokan
yang terkadang, bahkan, mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Ijime (? ? ? ) sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Ijime (? ?
? ) dapat ditemui atau ada di dalam segala lapisan masyarakat. Walaupun
dikatakan bukan suatu perbuatan yang baik, sebenarnya dalam dunia anak,
ijime (? ? ? ) merupakan proses evaluasi kehidupan dalam bermasyarakat.
82
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
Maksudnya, ada kalanya seorang anak di-ijime (? ? ? ) dan ada kalanya pula
anak tersebut yang melakukan ijime (? ? ? ) kepada temannya.
Kalau diibaratkan sebagai sebuah warna, segala perbuatan yang baik
digambarkan dengan putih, perbuatan yang buruk digambarkan dengan hitam.
Ijime (? ? ? ) digambarkan dengan abu-abu. Namun, karena telah meluasnya
perilaku mengenai ijime ( ? ? ? ) ini, lama-kelamaan ijime ( ? ? ? )
cenderung dikelompokkan sebagai suatu perbuatan yang buruk.
Melalui ijime (? ? ? ) seorang anak belajar menyesuaikan diri dalam
masyarakat anak. Misalnya, dengan cara berkelahi seorang anak ingin
menunjukkan apa yang ada di dalam dirinya dan apa yang ia inginkan
sebenarnya. Anak-anak sekolah ini melakukan ijime ( ? ? ? ) untuk
mendapatkan rasa memiliki atau popularitas di antara rekan-rekannya,
memelihara kepemimpinan kelompok, dan memengaruhi anak lain dengan
ancaman agar bertindak atau berhubungan dengan mereka yang bertujuan
untuk memuaskan diri pelaku ijime (? ? ? ). Kebanyakan tindakan ijime (?
? ? ) di sekolah merupakan suatu bentuk teror psikologis sehingga membuat
anak yang menjadi korban mengalami stres atau depresi.
Mengenai psikologi anak, Durkheim mengatakan bahwa keadaan jiwa
anak-anak adalah alat untuk mengembangkan keyakinan, kebiasaan, keinginan
dan lain-lain. Dalam hubungan ini, seorang pendidik harus mampu memahami
kebutuhan
anak
dalam
setiap
tingkatan
umur.
Apa
kekuatan
dan
kekurangannya, dan sejauh mana kemampuan yang dimiliki anak tersebut.
Masa kanak-kanak, seharusnya si anak diberi kesempatan untuk “
bermain? ?
main”
(? ? ), mengejar kesenangan untuk berbuat. Dalam arti, “
anak-anak
harus diberikan kesempatan umtuk mengembangkan keaktifannya secara
bebas”
. Namun, si anak juga harus diajarkan pula bagaimana menumbuhkan
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
83
kemampuan pengendalian diri, sehingga ia juga dapat bersikap disiplin.
Dengan kata lain, Durkheim berpendapat bahwa seorang pendidik mempunyai
tugas dan kemampuan untuk “
mendidik anak agar mereka mendapatkan
keserasian dengan lingkungan sekitarnya”
. xvii Sifat alamiah manusia selalu
mempunyai keinginan dan kecenderungan untuk berbuat baik dan ini perlu
dikendalikan atau disalurkan oleh pendidik sejak awal pendidikan anak.
Sejalan dengan perkembangan anak, lama kelamaan ia akan dapat
membedakan tingkah laku yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan yang
dilakukan oleh orang lain. Ia juga akan lebih mengerti kedudukan dan perasaan
orang lain dan akhirnya dapat melepaskan diri dari sifat individu yang
berlebihan dan sifat kekanak-kanakan, terutama, apabila telah memasuki masa
? ? ? ? ?
yang disebut shishunki (? ? ? ), yaitu masa usia anak sekolah yang mulai
mengalami perubahan fisik sehingga dapat dikategorikan ke dalam kelompok
menjelang usia dewasa. Biasanya anak-anak yang sudah mencapai usia sekitar
? ? ? ? ?
? ? ? ? ?
12 dapat dikatakan shishunki (? ? ? ).xviii Pada masa shishunki (? ? ? ) ini
anak akan lebih bisa melihat secara objektif terhadap hubungan yang ada di
dalam dirinya dengan apa yang ada pada diri orang lain. Dengan lambat laun ia
dapat membentuk pribadinya sendiri.
? ? ? ? ?
Dalam ijime (? ? ? ) ada sikap yang menunjukkan dochokeiko ( ? ?
? ? ? ?
? ? ), yaitu kebersamaan dalam melakukan suatu tindakan atau perbuatan atau
? ? ? ? ? ? ? ? ?
yang dikenal dengan dochokodo ( ? ? ? ? ), yaitu perbuatan bersama-sama.
? ? ? ? ? ? ? ? ?
Dochokeiko ( ? ? ? ? ) adalah kecenderungan yang bersifat menyerang atau
merusak barang atau fisik orang lain yang muncul di dalam kelompok kelas
oleh seluruh anak di dalam kelas itu yang secara bersama-sama melakukan
84
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
tindakan penyerangan.
Di dalam lingkungan anak-anak yang melakukan
penyerangan tersebut tanpa sadar terlihat ada semacam persaingan di antara
mereka, bahwa siapa yang semakin dapat melakukan tindakan yang lebih
? ? ? ? ? ? ? ? ?
kejam dialah yang paling hebat. Dochokeiko ( ? ? ? ? ) ini membentuk suatu
keadaan yang terlihat seperti semacam loyalitas kelompok dalam melakukan
penyerangan yang dilakukan oleh siapa pun dengan berbagai cara terhadap
orang yang mempunyai sikap lain di dalam kelompok itu”
.xix
Bagi para psikolog Jepang, salah satu aspek dalam kasus ijime (? ? ? )
yang paling menonjol dan sangat tidak masuk akal adalah kenyataan para siswa
yang melakukan ijime ( ? ? ? ) cenderung tidak merasa berdosa tentang
tindakan kejam yang dilakukan. Pada umumnya, banyak siswa yang sering
menyaksikan ijime ( ? ? ? ) justru tidak melakukan apa pun untuk
menghentikan peristiwa tersebut dan mereka lebih memilih untuk tidak terlibat.
Seperti yang terjadi pada satu peristiwa seorang siswa SMP (
? ? ? ? ? ? ?
? ? ? ) meninggal karena diijime (? ? ? ). Para pelaku tindakan ijime (? ?
? ) tidak peduli dan tidak menunjukkan perasaan bersalah terhadap kejadian
tersebut. Akibat seringnya kasus seperti ini telah dilakukan penelitian
mengenai ada atau tidaknya kasus ijime (? ? ? ) di kalangan siswa SD (
? ? ? ? ? ? ?
? ? ? ? ? ? ?
? ? ? ? ? ? ? ?
? ? ? ), SMP (? ? ? ) dan SMA (? ? ? ? ) dan respon terhadap pelaku
? ? ? ? ? ? ?
ijime (? ? ? ) dengan meneliti 2000 orang anak SMP (? ? ? ) yang ada di
seluruh Jepang. Hasilnya menyatakan bahwa terdapat sejumlah siswa-sekolah
acuh tidak acuh terhadap masalah ijime (? ? ? ) yang terjadi di lingkungan
mereka, serta ada juga siswa yang tidak memihak (menyetujui) tindakan ijime (
? ? ? ) dan tidak membawa hal tersebut ke dalam kelompok berteman
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
85
? ? ? ? ? ? ? ?
(nakama shudan ? ? ? ? ), tetapi mereka juga tidak bertindak apa pun
apabila melihat peristiwa ijime ( ? ? ? ) karena tidak ingin terlibat atau
dilibatkan.
Simpulan
Nilai budaya Jepang sangat berperan dalam kehidupan masyarakatnya.
Nilai budaya Jepang mengatur masyarakat Jepang dalm berinteraksi. Keluarga
sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Jepang merupakan tempat awal
bagi anak-anak Jepang belajar mengenal dan bersosialisasi dengan nilai-nilai
budaya Jepang yang didasari oleh nilai nakama ishiki, yaitu kesadaran diri dari
bagian kelompok dan tidak pernah menonjolkan keberadaan ego dalam
kelompok itu. Kesadaran hidup berkelompok yang disebut dengan nakama ishi
mulai dipelajari dan diwujudkan oleh anak-anak Jepang sejak mereka bergaul
dalam kelompok keluarga sampai kepada kelompok yang lebih besar, yaitu
kelompok pertemanan sekolah.
Pembentukan moral anak sekolah dapat dilihat dalam situasi di dalam
kelas karena kelas adalah suatu kelompok masyarakat kecil, dan tidak ada
seorang pun anggota kelompok kecil ini akan bertindak sendiri-sendiri. Di
dalam kelas pun banyak hal yang dapat dipelihara bersama. Hal ini
menumbuhkan rasa solidaritas anak, seperti memiliki ide bersama, perasaan
bersama, dan tanggung jawab bersama di antara anak-anak tersebut.
Munculnya fenomena ijime (? ? ? ) dalam masyarakat merupakan
tindakan yang dilakukan oleh anak ketika mereka belajar untuk menyesuaikan
diri. Ada banyak hal yang dilakukan anak dalam kasus ijime (? ? ? ), salah
satunya dilakukan dengan cara berkelahi. Seorang anak ingin menunjukkan apa
yang ada di dalam dir sendiri dan apa yang diinginkan sebenarnya. Anak-anak
86
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
sekolah ini melakukan ijime (? ? ? ) untuk mendapatkan rasa memiliki atau
popularitas di antara rekan-rekannya, memelihara kepemimpinan kelompok,
dan memengaruhi anak lain dengan ancaman untuk bertindak atau
berhubungan dengan mereka yang bertujuan untuk memuaskan diri pelaku
ijime (? ? ? ) terhadap pencarian ‘
kekuasaan relasional’
.
i
Nisbet dalam Parsudi Suparlan, Manusia Indonesia, Individu Keluarga dan
Masyarakat: Masalah-masalahSosial dan Ilmu Sosial Dasar,Jakarta, Rineka
Cipta 1986,hal 62
ii
Hamaguchi, Enshu &Kumon Shunbei,Nihonteki Shudan Shugi, Tokyo,1994,
16
iii
Nakane Chie, Japanese Society, Tokyo, Minami Shoten,1970, hal. 70.
iv
Nojuu, Shinsaku, Kodomo to Ijime, Tokyo: Otsuki Shoten, 1989, hal. 44.
v
Nakane Chie, Japanese Society, Tokyo:Minami Shoten,1970, hal. 70.
vi
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, 1996, 120-121.
vii
Nakane Chie, The Price of Tradition,Tokyo: Minami Shoten,1993, hal 77
viii
Chie, Japanese Society, 140-141.
ix
Merry White, Japanese Overseas: Can They Go Home Again, New Jersey,
1992, hal 7
x
Yoshihiro Shimizu, Kodomo no Shitsuke To Gakko Seikatsu, Tokyo:Daigaku
Shuppan, 1989, hal. 40
xi
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat, trans. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
Jakarta: Erlangga, 1989 114.
xii
Emile Durkheim, His Life and Work, ed. Steven Kes, 1st (Stanford
University Press, 1985) 149.
Nilai Moral ShudanShugi dan Munculnya Feomena Ijme (Ekayani Tobing)
87
xiii
Durkheim 153.
Durkheim, Sosiologi Dan Filsafat, 1988, 12-14.
xv
Nojuu Shinsaku, Kodomo to Ijime, Tokyo: Otsuki Shoten, 1989, hal. 44.
xvi
Shinsaku, 50.
xvii
Emile Durkheim, Pendidikan Moral, Jakarta: PT Gramedia 1986, hal.150171
xviii
Shimizu, Op. Cit., hal. 828
xix
Nojuu, 62.
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Chie , Nakane, Japanese Society, Tokyo, Minami Shoten,1970
Chie, Nakane, The Price of Tradition, Tokyo: Minami Shoten,1993
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, ed. Anthony Giddens, Cambridge
University Press, 1986
Emile Durkheim, Sosiologi dan Filsafat, trans. Soedjono Dirdjosisworo, S.H.
Jakarta: Erlangga, 1989
Enshu, Hamaguchi, Kumon Shunbei, Nihonteki Shudan Shugi, Tokyo,1994
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, 1996
Nisbet dalam Parsudi Suparlan, Manusia Indonesia, Individu Keluarga dan
Masyarakat: Masalah-masalahSosial dan Ilmu Sosial Dasar, Jakarta,
Rineka Cipta 1986
Shinsaku, Nojuu, Kodomo to Ijime, Tokyo: Otsuki Shoten, 1989
Shimizu, Yoshihiro, Kodomo no Shitsuke To Gakko Seikatsu, Tokyo:Daigaku
Shuppan, 1989
White, Merry , Japanese Overseas: Can They Go Home Again, New Jersey,
1992.
88
LINGUA Vol.9 No.1, Maret 69—
88
Download