Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Persahabatan Secara Umum Ada pepatah dalam bahasa Inggris berbunyi, “A friend in need is a friend indeed”, yang mengandung makna bahwa seorang sahabat akan hadir di saat-saat yang dibutuhkan untuk saling membantu dan berbagi satu sama lain. Seorang sahabat juga akan memberikan pujian dan penghargaan atas keberhasilan sahabatnya dan saling menguatkan serta saling menyemangati di setiap kegagalan yang dihadapi sahabatnya. Seorang sahabat senantiasa mencurahkan isi hati dan pemikirannya serta akan selalu setia berdiri di pihak sahabatnya (Berndt, 2002, hal.7). Sudo (2011, hal.88) mengutip definisi sahabat dari tiga kamus besar bahasa Jepang berikut ini. Secara umum, sahabat menunjuk pada teman akrab yang dapat dipercaya; teman yang berhubungan baik dengan diri kita (menurut kamus Jepang Kojien), teman yang saling memaafkan; teman yang paling akrab (menurut kamus Jepang Daijisen), teman yang saling mempercayai; teman yang berhubungan paling baik dengan diri kita (menurut kamus Jepang Daijirin). Menurut Sudo (2011, hal.88), berdasarkan ketiga definisi di atas, sahabat menunjuk pada teman yang secara khusus bergaul secara akrab dengan diri kita di antara teman-teman lain yang kita miliki dan dipahami sebagai suatu sosok yang hadir untuk dapat dipercayai secara mendalam dan menyeluruh serta saling memaafkan satu sama lain. Dengan adanya kehadiran seorang sahabat, manusia dapat mengetahui kegembiraan dari sikap saling pengertian dengan orang lain dan dapat melepaskan diri dari perasaan kesepian. 11 Menurut Desmita (2009, hal.227), salah satu karakteristik dari pola hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya adalah munculnya keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab atau yang dalam kajian psikologi pertemanan disebut dengan istilah friendship (persahabatan). Jadi, persahabatan lebih dari sekedar pertemanan biasa. Menurut Santrock (2008), “di awal masa remaja, para remaja umumnya lebih memilih untuk memiliki persahabatan dalam jumlah lebih sedikit yang lebih mendalam dan lebih akrab daripada anak-anak di usia yang lebih muda” (hal.434). Menurut Dariyo (2004, hal.127-128), persahabatan merupakan hubungan emosional antara dua individu atau lebih, baik antara sejenis maupun berbeda jenis kelamin, yang didasari saling pengertian, menghargai, mempercayai antara satu dan yang lainnya. Hal yang membuat mereka mengadakan hubungan yang akrab adalah unsur komitmen, yaitu tekad untuk mempertahankan ikatan emosional itu. Menurut Craighead & Nemeroff (2004, hal.381), persahabatan adalah hubungan yang penting dalam semua kebudayaan dan sepanjang rentang kehidupan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) hubungan dyadic; (2) adanya unsur perhatian dan kepedulian (afeksi) yang saling berbalasan (hubungan timbal-balik); (3) bersifat sukarela; (4) bersifat egalitarian; (5) sebagai kawan dalam melakukan kegiatan bersama-sama. Persahabatan memiliki fungsi antara lain: menyediakan sumber dukungan dan kesempatan bagi individu untuk penyingkapan diri dan keakraban. Menurut Gea, dkk (2005, hal.194), hubungan kedekatan satu sama lain tentu jauh lebih terasa lagi dalam hubungan yang disebut persahabatan. Seorang sahabat adalah mitra untuk mengerjakan sesuatu dan menghabiskan waktu bersama-sama, juga 12 tempat berpaling di saat kita membutuhkan bantuan dan kepada siapa kita ingin berbagi beban dan kesuksesan. Seorang sahabat adalah seseorang yang tertawa dan menangis bersama kita, kadang juga menjadi tempat minta nasehat dan dukungan fisik, serta sebagai curahan isi hati. Semuanya itu terjadi karena kepercayaan satu sama lain sudah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa. Perasaan menyatu atau senasib sepenanggungan dengan sahabat karib, hubungan keakraban yang sedemikian mengental antara mereka, tidak jarang melebihi kedekatan hubungan antara saudara kandung sendiri. Tidak jarang seorang sahabat rela mengorbankan apa saja, bahkan dirinya sendiri, demi sahabatnya. Persahabatan memang memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan manusia. “Dalam persahabatan, seorang sahabat akan memperlakukan sahabatnya sama pentingnya dengan dirinya sendiri” (Sudo, 2012, hal.144). Kita membutuhkan kehadiran teman-teman yang cukup dekat dengan kita, yang mau membantu dan mendukung kemajuan kita. Persahabatan merupakan tempat yang aman bagi kita, tempat bernaungnya segala rahasia terdalam dan kelemahan terparah kita, yang tidak akan pernah digunakan untuk menyerang kita. Kehadiran sahabat kita rasakan, baik dalam suka maupun duka, maupun kehadiran yang jauh lebih berarti adalah ketika kita sedang mengalami kesulitan. Sahabat menjadi orang pertama tempat kita berbagi beban, orang kepada siapa kita dapat berharap sesuatu yang kita perlukan. Sahabat tidak akan mengecewakan kita sebagaimana kita juga tak akan mengecewakan sahabat. Persahabatan di masa remaja jauh lebih berarti daripada yang terjalin pada tahapan usia lainnya. Para sahabat akan mendampingi kita melewati begitu banyak peristiwa penting dalam hidup kita. Sahabat adalah bagian dari hidup kita (Gea, dkk., 2005, hal.197). 13 Apabila persahabatan yang dibangun sejak masa remaja dapat dipertahankan sampai mereka mencapai dewasa, persahabatan akan membuat kedekatan emosional antar individu menganggap temannya bukan lagi sebagai sahabat, melainkan saudara sendiri. Hubungan ini berarti makin mendalam, lebih dari sekedar teman (Dariyo, 2004, hal.130). Lebih lanjut, Damon (dalam Dariyo, 2004, hal.128-130), membagi tiga tahap perkembangan persahabatan sebagai berikut. a. Persahabatan sebagai Teman dalam Kegiatan Bermain (Friendship as Handy Playmate) Anak-anak awal (early childhood) usia 4-7 tahun, biasanya memerlukan teman untuk melakukan kegiatan bermain. Di sini persahabatan terjadi karena adanya persamaan kepentingan (kebutuhan) bahwa masing-masing individu memerlukan teman bermain. Masing-masing individu dapat bertemu dan saling bertukar atau meminjamkan alat permainan, lalu mereka bermain bersama atau bermain sendiri-sendiri dalam waktu yang sama. Jenis persahabatan ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama (temporer) apabila masing-masing anak tidak dapat memenuhi kebutuhan temannya atau terjadi konflik karena adanya kecurangan yang dilakukan seorang anak, misalnya mengambil dan memiliki barang mainan dari temannya. b. Persahabatan sebagai Upaya untuk Saling Membantu dan Saling Mempercayai antara Satu dan yang Lain (Friendship as Mutual Trust and Assistance) Anak-anak tengah (middle childhood) usia 8-10 tahun mempunyai konsep persahabatan yang lebih mendalam dibandingkan dengan anak-anak awal 14 (anak prasekolah). Mereka mengatakan bahwa persahabatan terjadi karena masing-masing anak memiliki rasa percaya dan dapat memberi bantuan kepada anak yang membutuhkannya. c. Persahabatan sebagai Suatu Kehidupan Relasi yang Diwarnai dengan Keakraban dan Kesetiaan (Friendship as Intimacy and Loyalty) Menurut Damon, jenis persahabatan ini berlangsung pada individu yang berusia antara 11-15 tahun. Anak remaja beranggapan bahwa unsur keakraban ataupun kesetiaan merupakan hal yang sangat penting guna membangun dan mempertahankan persahabatan. Seorang remaja yang bersahabat dengan remaja lain, biasanya memperlihatkan keakraban, hangat, terbuka, dan komunikatif. Mereka bersedia mencurahkan perasaan, pengalaman, atau pemikiran kepada yang lainnya karena masing-masing percaya bahwa temannya dapat menyimpan rahasia pengalaman tersebut dan tidak mungkin melakukan pengkhianatan terhadap yang lain. Kail & Cavanaugh (2004, hal.278) menyatakan bahwa teman tidak hanya berperan sebagai kawan bermain; mereka adalah sumber informasi penting di mana anak-anak belajar dari teman-teman mereka dan dapat beralih pada mereka untuk meminta dukungan pada saat-saat sulit dan stres. Persahabatan adalah salah satu cara penting di mana teman-teman sebaya mempengaruhi perkembangan anak-anak. Sullivan (dalam Santrock, 2003, hal.230) beranggapan bahwa peran yang dimainkan oleh hubungan persahabatan pada proses sosialisasi kemampuan sosial adalah sebagai sumber dukungan yang penting. Sullivan menggambarkan bagaimana teman remaja saling mendukung harga diri masing-masing. Seseorang dapat 15 mengungkapkan rasa ketidakamanan dan ketakutan mereka kepada temannya tanpa merasa malu. Teman juga bertindak sebagai orang kepercayaan yang penting yang menolong remaja melewati berbagai situasi yang menjengkelkan (seperti kesulitan dengan orang tua atau putus pada hubungan romantis) dengan menyediakan baik dukungan emosi dan nasihat yang memberikan informasi (Savin-Williams & Berndt, 1990). Sebagai tambahan, teman dapat menjadi rekan kerja yang aktif dalam membangun kesadaran atas identitasnya. Dalam berbagai percakapan yang tak terbilang, teman bertindak sebagai papan pengeras suara pada saat remaja menggali masalah-masalah mulai dari rencana masa depan hingga sikap seseorang terhadap berbagai masalah. Santrock (2003, hal.230) menyatakan bahwa, dalam konteks persahabatan, keakraban dapat diartikan secara luas meliputi segala sesuatu dalam persahabatan yang membuat hubungan terlihat lebih dekat atau mendalam. Keakraban dalam persahabatan (intimacy in friendship) secara sempit diartikan sebagai pengungkapan diri atau membagi pemikiran-pemikiran pribadi. Pengetahuan yang mendalam dan pribadi tentang teman juga digunakan sebagai ukuran keakraban (Selman, 1980; Sullivan, 1953). Keakraban ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan afek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka. (Desmita, 2009, hal.227) “Timbulnya keakraban dalam hubungan persahabatan remaja berarti bahwa teman juga hadir sebagai sumber dukungan sosial dan emosional” (Kail & Cavanaugh, 2004, hal.276). 16 Ketika para remaja muda ditanyakan apa yang mereka inginkan dari seorang teman atau bagaimana mereka dapat mengetahui seseorang merupakan sahabat mereka, mereka sering mengatakan bahwa sahabat akan membagi masalah dengan mereka, memahami mereka, dan mendengarkan mereka pada saat mereka berbicara tentang pemikiran dan perasaan mereka sendiri (Santrock, 2003, hal.230). “Karena para remaja berbagi mengenai pemikiran dan perasaan pribadi mereka, teman dapat menyediakan dukungan selama masa-masa sulit dan stress” (Kail & Cavanaugh, 2004, hal.277). 2.2 Teori Persahabatan Menurut Okada Tsutomu Okada (2010, hal.90-92) menyatakan pemikirannya mengenai teori hubungan persahabatan khususnya persahabatan pada masa remaja. Persahabatan mengalami perkembangan pada masa remaja, seperti tampak pada kutipan di bawah ini. Kutipan: 青年期には友人間での親密さが増大し、個人的な悩みを打ち明けるな どの、深い友人関係が求められるようになる(詫摩ほか、1989)。 Terjemahan: Pada masa remaja, dituntut hubungan persahabatan yang mendalam, ditandai dengan meningkatnya keakraban (intimacy) di antara teman dan dapat berbagi keluh kesah atau menceritakan masalah-masalahnya yang bersifat pribadi (Takuma, dkk., 1989). Selain keakraban (intimacy), persahabatan pada masa remaja memiliki unsur lain seperti, rasa percaya (mutual trust) dan rasa simpati (sympathy), seperti tampak pada kutipan berikut ini. 17 Kutipan: ビューラー(Buhler、1921、1967)も、青年期においては、友人に対 して特別な感情をもった相互信頼に基づいた感情をもつようになる と述べている。またシュプランガー(Spranger、1924)も、青年期に おいては同姓のなかに青年自身が望む理想的性質を見出し、相手に 対して絶対的な同情(sympathy)を求め、友人を実際以上に理想化し てみるとしている。 Terjemahan: Buhler (1921, 1967) juga menyatakan bahwa pada masa remaja, mereka memiliki perasaan saling percaya satu sama lain (mutual trust). Spranger (1924) pun menyatakan bahwa pada masa remaja, di tengah persahabatan dengan sesama jenis, seseorang menuntut rasa simpati (sympathy) dan mencoba menjadikan orang lain untuk memiliki sifat yang diharapkan olehnya (agar orang lain dapat menjadi seperti yang diharapkannya). 2.3 Fungsi Persahabatan Menurut Gottman dan Parker (1987) yang dikutip Santrock (dalam Dariyo, 2004, hal.130-131) menyatakan bahwa ada enam fungsi persahabatan berikut ini. a. Pertemanan (companionship). Persahabatan akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menjalankan fungsi sebagai teman bagi individu lain ketika sama-sama melakukan suatu aktivitas. Sebagai teman, berarti seseorang harus menyediakan dan mengorbankan diri dari segi waktu, tenaga, dan mungkin biaya secara sukarela demi kebaikan bersama. b. Stimulasi kompetensi (stimulation). Pada dasarnya, persahabatan akan memberikan rangsangan seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya karena memperoleh kesempatan dalam situasi sosial. Artinya, melalui persahabatan, seseorang memperoleh informasi yang menarik, penting, dan memacu potensi, bakat ataupun minat agar berkembang dengan baik. c. Dukungan fisik (physical support). Dengan kehadiran fisik seseorang atau beberapa teman, akan menumbuhkan perasaan berarti (berharga) bagi seseorang 18 yang sedang menghadapi suatu masalah. Kehadiran secara fisik menunjukkan kerelaan untuk menyediakan waktu, tenaga ataupun pertolongan yang dapat membangkitkan semangat hidup. Itulah sebabnya orang yang sakit memerlukan perhatian dan kasih sayang dari teman atau sahabat walaupun sudah ditunggui atau dijenguk sanak saudaranya. d. Dukungan ego (ego support). Walaupun dianggap sebagai seorang ahli, adakalanya seseorang akan merasa stres, down, atau tidak bersemangat ketika sedang menghadapi suatu permasalahan yang cukup berat. Seolah-olah keahliannya tidak berarti apa-apa ketika menghadapi masalah tersebut. Oleh karena itu, persahabatan menyediakan perhatian dan dukungan ego bagi seseorang. Apa yang dihadapi seseorang juga dirasakan, dipikirkan, dan ditanggung oleh orang lain (sahabatnya). Dengan perhatian tersebut, akhirnya dan biasanya, seseorang memiliki kekuatan moral dan semangat hidup untuk dapat mengatasi masalahnya dengan sebaik-baiknya. Bahkan ada pula, dengan perhatian sedikit, seseorang menjadi giat dan termotivasi untuk segera menuntaskan masalah tersebut. e. Perbandingan sosial (social comparison). Persahabatan menyediakan kesempatan secara terbuka untuk mengungkapkan ekspresi kapasitas, kompetensi, minat, bakat, dan keahlian seseorang. Dalam konteks interaksi sosial persahabatan, seseorang ingin diterima, dihargai, diakui, dan dipercayai sebagai seseorang yang kompeten. Akan tetapi, dalam persahabatan tersebut, masing-masing juga tidak akan mencela kelemahan-kelemahan orang lain. Justru dengan demikian, seseorang akan membandingkan dirinya dengan orang lain. Artinya, orang lain sebagai cermin bagi seseorang, apakah dirinya memiliki kemampuan yang lebih 19 atau kurang kalau dibandingkan dengan orang lain. Bila seseorang menyadari kekurangan, ia akan dapat belajar dan meningkatkan diri supaya menyamai atau lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Dengan demikian, persahabatan memberi stimulasi yang positif bagi pengembangan pribadi seseorang. f. Intimasi/afeksi (intimacy/affection). Tanda persahabatan yang sejati adalah adanya ketulusan, kehangatan, dan keakraban antara satu dan yang lain. Masingmasing individu, tidak ada maksud ataupun niat untuk mengkhianati orang lain karena mereka saling percaya, menghargai, dan menghormati keberadaan orang lain. Baik ketika bersama maupun ketika sendiri, masing-masing individu yang bersahabat merasakan kedekatan, kepercayaan, dan penerimaan dalam kelompok sosial. Walaupun ada perbedaan-perbedaan pemikiran, sikap ataupun perilaku, perbedaan itu menjadi dasar untuk merasa saling membutuhkan dukungan emosional dan dukungan sosial supaya tetap terjalin keakraban, kehangatan, dan keintiman. 2.4 Teori Penokohan Nurgiyantoro (2002, hal.164) membedakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, karakter dan karakterisasi dalam sebuah fiksi. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968, hal.33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang 20 jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002, hal.165). Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2002, hal.166). Menurut Siswanto (2008, hal.142-145), tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh tersebut disebut penokohan (Aminuddin, 1984, hal.85). Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002, hal.167). Siswanto (2008, hal.143) menyatakan bahwa, ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas (a) tokoh (utama), (b) tokoh sekunder (tokoh bawahan), (c) tokoh komplementer (tambahan) (Sudjiman, 1988, hal.17-20; Sukada, 1987, hal.160; Aminuddin, 1984, hal.85-87). Sementara Nurgiyantoro (2002, hal.176-177) menyatakan bahwa, dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar 21 cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character). Boulton (dalam Aminuddin, 1984, hal.85) mengungkapkan bahwa cara sastrawan menggambarkan atau memunculkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Tokoh-tokoh cerita sebagaimana dikemukakan di atas, tak akan begitu saja sertamerta hadir kepada pembaca. Mereka memerlukan “sarana” yang memungkinkan kehadirannya. Masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja, melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Nurgiyantoro (2002, hal.195-211) menjelaskan pula mengenai teknik pelukisan tokoh, sebagai berikut. a. Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Percakapan yang baik, efektif, lebih fungsional adalah percakapan yang menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelakunya. b. Teknik Tingkah Laku Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan 22 tingkah laku dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. c. Teknik Pikiran dan Perasaan Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang sering dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya juga. d. Teknik Arus Kesadaran Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. e. Teknik Reaksi Tokoh Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap atau tingkah laku orang lain, dan sebagainya yang berupa “rangsang” dari luar diri tokoh yang bersangkutan. Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. f. Teknik Reaksi Tokoh Lain Reaksi tokoh-tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaian kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang lain dalam sebuah karya. g. Teknik Pelukisan Latar Suasana latar sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. 23 h. Teknik Pelukisan Fisik Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Siswanto (2008, hal.145) juga menyatakan, ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain (Aminuddin, 1984, hal.87-88). 2.5 Teknik Montase Menurut Humprey (1954), metode paling mendasar dalam sinema adalah teknik montase. Istilah montase berasal dari perfilman yang berarti memilah-milah, memotong-memotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan (Minderop, 2005, hal.162). Teknik montase di bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan gambar yang mendadak atau gambar yang tumpang tindih satu dan lainnya (Minderop, 2005, hal.151). 24 Teknik ini kerap digunakan untuk menciptakan suasana melalui serangkaian impresi dan observasi yang diatur secara tepat. Teknik montase dapat pula menyajikan kesibukan latar (misalnya hiruk pikuk kota besar) atau suatu kekalutan (misalnya kekalutan pikiran) atau aneka tugas seorang tokoh (secara simultan dan dinamis). Melalui teknik ini dapat direkam sikap kaotis (kekacauan) yang menguasai kehidupan kota besar yang dirasakan oleh penghuninya (Minderop, 2005, hal.152153). 25