BAB 2 REWIEW SSK DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN SANITASI 2.1. Profil Kabupaten Belu a. Kondisi Geografis Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Propinsi NTT, yang terletak di daratan Timor. Posisi geografis Kabupaten Belu dalam daratan Timor Propinsi NTT adalah di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Sedangkan dalam posisi astronomis, wilayah Kabupaten Belu terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23” BT dan 08º 56’ 30” LS – 09º 47’ 30” LS. Kabupaten Belu secara geografis meliputi wilayah dengan-batas-batas sebagai berikut: : • Sebelah utara : berbatasan dengan Selat Ombai • Sebelah selatan : berbatasan dengan Kabupaten Malaka • Sebelah timur : berbatasan dengan wilayah RDTL • Sebelah barat : berbatasan dengan wilayah Kabupaten TTU b. Kondisi Fisik Kondisi fisik dasar wilayah Kabupaten Belu antara lain meliputi ; Kondisi Air tanah (hidrologi) Hidrologi terdiri atas ketersediaan air hujan, ketersediaan air sungai, ketersediaan mata air, ketersediaan tampungan air. Ketersediaan Air Hujan Air hujan juga biasa digunakan masyarakat Belu apabila kekurangan air, tetapi penggunaan air hujan sekarang sudah jarang digunakan apalagi frekuensi hujan yang turun juga sangat jarang sehingga penggunaan air hujan hanya di lakukan oleh beberapa orang saja. Selain itu penggunaan air hujan juga sering digunakan untuk menyiram tanaman dan lain-lain. Penggunaan air hujan hanya terdapat di desa-desa terpencil yang kekurangan air sedangkan untuk di kota-kota besar tidak terdapat penggunaan air hujan. Ketersediaan Air Sungai Aliran sungai yang besar biasanya mengalir sepanjang tahun, tetapi ada juga sungai yang kering pada musim kemarau. Hal ini terjadi karena fluktuasi curah hujan yang sangat kontras antar bulan dan dipengaruhi juga oleh kondisi geologi serta morfologi wilayah.Terdapat 8 sungai di wilayah Kabupaten Belu yaitu : 1. Kecamatan Tasifeto Barat : a. Sungai Motabuik dengan panjang 41 Km; b. Sungai Luradik dengan panjang 10 Km. 2. Kecamatan Tasifeto Timur : a. Sungai Baukama dengan panjang 45 Km; b. Sungai Baukoek dengan panjang 10 Km; c. Sungai Motamoru dengan panjang 15 Km. 3. Kecamatan Lamaknen : a. Sungai Weluli dengan panjang 18 Km; b. Sungai Malibaka dengan panjang 50 Km. 4. Kecamatan Kota Atambua : a. Sungai Talau dengan panjang 50 Km. Sungai-sungai seperti yang disebutkan di atas ada yang sudah dan digunakan untuk irigasi namun sebagian diantaranya masih bersifat irigasi non teknis. Kondisi umum Iklim dan Curah Hujan Secara Klimatologi daerah Kabupaten Belu berada pada temperatur rata-rata 24-34°C beriklim tropis, umumnya berubah–ubah tiap setengah tahun berganti dari musim kemarau dan musim penghujan dengan musim kemarau yang lebih dominan. Hal tersebut bisa dilihat dari data hari hujan dan curah hujan yang rendah. Musim hujan yang sangat singkat dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei. Letak geografis yang lebih dekat dengan Australia dibanding Asia, membuat Kabupaten Belu memiliki curah hujan yang rendah. Adapun curah hujan rata-rata per kecamatan di Kabupaten Belu sebagai berikut: <1000 mm/tahun meliputi wilayah Kecamatan Raimanuk, dan Kakuluk Mesak. Antara 1000 – 1500 mm/tahun meliputi wilayah kecamatan Lamaknen dan Raihat. Antara 2000 – 3000 mm/tahun meliputi wilayah kecamatan Kota Atambua, Tasifeto Barat, sebagian wilayah kecamatan Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur. Temperatur di Kabupaten Belu berkisar suhu rata-rata 27,6º dengan interval 21,5º 33,7º C. Temperatur terendah 21,5º yang terjadi pada bulan Agustus dengan temperatur tertinggi 33,7º yang terjadi pada bulan Nopember. c. Kondisi Topografi Keadaan topografi Kabupaten Belu bervariasi antara ketinggian 0 sampai dengan +1500 m.dpal (meter di atas permukaan air laut). Variasi ketinggian rendah (0-150 m.dpal) mendominasi sebagian kecil wilayah di bagian utara. Sementara pada bagian tengah wilayah ini terdiri dari area dengan dataran sedang (200-500 m.dpal). Dataran tinggi di Kabupaten Belu ini hanya menempati kawasan pada bagian timur yang berbatasan langsung dengan RDTL. Zona-zona dataran rendah di bagian selatan sebagian besar digunakan sebagai areal pertanian dan kawasan cagar alam hutan mangrove. Bentuk topografi wilayah Kabupaten Belu merupakan daerah datar berbukit-bukit hingga pegunungan dengan sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Sungai–sungai yang ada di Kabupaten Belu mengalir dari bagian selatan dan bermuara di Selat Ombai dan Laut Timor. Keadaan topografi Kabupaten Belu dapat dikelompokan atas beberapa kelompok berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut yaitu sebagai berikut: Ketinggian 0-230 m.dpl seluas 98,349 Ha Ketinggian 230-500 m.dpl seluas 95,958 Ha Ketinggian 500-750 m.dpl seluas 30,710 Ha Ketinggian 750-1000 m.dpl seluas 17,240 Ha Ketinggian 1000-1600 m.dpl seluas 2,30 Ha Pada umumnya kemiringan lahan wilayah Kabupaten Belu didominasi kemiringannya antara 0 – 15 %. Kemiringan lahan < 45 % yang termasuk kategori terjal sekitar 2.84 % dari luas Kabupaten Belu berada pada Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Tasifeto Timur dan sedikit di bagian Kecamatan Kakuluk Mesak. Keadaan kemiringan lahan wilayah Kabupaten Belu akan dikelompokkan menjadi 5 kelas dengan masing-masing lokasi sebagai berikut: Daerah dengan kemiringan lereng 0-8 %, yang merupakan dataran landai, terdapat di pesisir pantai selatan dan di bagian barat dan sekitar kecamatan Kota Atambua, Atambua Selatan dan Atambua Barat. Daerah kemiringan lereng 8-15%, merupakan daerah datar yang terdapat pada Kecamatan Tasifeto Barat. Daerah dengan kemiringan lereng 15-25%, yaitu daerah landai atau bergelombang yang meliputi daerah lembah yang terletak diantara pegunungan, terdapat di Kecamatan Raihat, Lasiolat, Lamaknen Selatan, dan bagian timur Kecamatan Tasifeto Barat. Daerah dengan kemiringan lereng 25-40%, yaitu daerah yang bergelombang dan berbukit terdapat di bagian utara Kabupaten Belu terutama di Kecamatan Tasifeto Timur, kemudian di bagian tengah kabupaten terdapat di Kecamatan Raimanuk. Daerah dengan kemiringan lereng di atas 40%, terdapat di bagian utara kecamatan Tasifeto Barat, sebagian Kecamatan Nanaet Duabesi, dan sebagian kecil di Kecamatan Kakuluk Mesak. d. Kondisi Administratif Secara administratif, Kabupaten Belu saat ini pasca mekarnya Kabupaten Malaka hanya yang memiliki luas wilayah mencapai 1.284,94 km2, terbagi atas 12 kecamatan serta 81 Desa/Kelurahan (69 Desa dan 12 Kelurahan) dengan luas wilayah per kecamatan sebagai berikut : Kecamatan Kota Atambua terdiri dari 4 Kelurahan dengan luas wilayah 24,90 Km2; Kecamatan Atambua Selatan terdiri dari 4 Kelurahan dengan luas wilayah 15,73 Km2; Kecamatan Atambua Barat terdiri dari 4 Kelurahan dengan luas wilayah 15,55 Km2; Kecamatan Kakuluk Mesak terdiri dari 6 Desa dengan luas wilayah 187,54 Km2; Kecamatan Tasifeto Timur terdiri dari 12 Desa dengan luas wilayah 211,37 Km2; Kecamatan Tasifeto Barat terdiri dari 8 Desa dengan luas wilayah 224,19 Km2; Kecamatan Lasiolat terdiri dari 7 Desa dengan luas wilayah 64,48 Km2; Kecamatan Raihat terdiri dari 6 Desa dengan luas wilayah 87,20 Km2; Kecamatan Lamaknen terdiri dari 9 Desa dengan luas wilayah 105,90 Km2; Kecamatan Lamaknen Selatan terdiri dari 8 Desa dengan luas wilayah 108,41 Km2; Kecamatan Nanaet Duabesi terdiri dari 4 Desa dengan luas wilayah 60,25 Km2; Kecamatan Raimanuk terdiri dari 9 Desa dengan luas wilayah 179,42 Km2; Kecamatan dengan wilayah terluas adalah Kecamatan Tasifeto Barat dengan luas wilayah 224,19 km2 atau 17,45% dari luas wilayah Kabupaten Belu saat ini. Sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Atambua Barat dengan luas wilayah 15,55 km2 atau 1,21% dari luas wilayah Kabupaten Belu. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada peta 2.2 2.1.1. Kependudukan Penduduk adalah orang atau sekelompok orang yang tinggal/berdomisili di suatu tempat atau di wilayah tertentu. Adapun yang dimaksud dengan penduduk Kabupaten Belu adalah orang atau kelompok orang yang tinggal menetap di wilayah Kabupaten Belu. Berdasarkan publikasi dari Dokumen Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Belu, menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Belu pada akhir tahun 2012 berjumlah 193.478 jiwa atau 44.191 KK. Untuk jelasnya tentang jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Belu, dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang dirinci menurut Kecamatan. Tabel 2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2012 No. A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kecamatan B KOTA ATAMBUA ATAMBUA SELATAN ATAMBUA BARAT KAKULUK MESAK TASIFETO TIMUR TASIFETO BARAT LASIOLAT RAIHAT LAMAKNEN LAMAKNEN SELATAN NANAET DUBESI RAIMANUK Luas Terbangun (Ha) C Cari google Total Rata2 Sumber : Buku Putih Sanitasi Bab. 2 Penduduk Tahun 2012 Jumlah Kepadatan (Jiwa) (Jiwa/Ha) D E 28.541 23.129 21.851 18.657 21693 22.767 6.292 12.206 11.461 7.646 4.209 15.026 1146 1470 1405 99 103 102 98 140 108 71 70 84 193.478 4.896 148 Keterangan F Perkotaan Perkotaan Perkotaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Perdesaan Dari uraian tabel diatas, diketahui bahwa kecamatan yang jumlah penduduknya tertinggi pada tahun 2012 ada di Kecamatan Kota Atambua yaitu berjumlah 28.541 Jiwa atau 5.779 KK, dan kecamatan yang jumlah penduduknya terendah ada pada Kecamatan Nanaet Dubesi yaitu berjumlah 4.209 Jiwa atau 1027 KK. Kecamatan yang angka kepadatan penduduknya tertinggi ada pada kecamatan Atambua Selatan yaitu 1.470 jiwa / Ha dan angka kepadatan penduduk terendah ada pada kecamatan Nanaet Dubesi yaitu 70 jiwa/Ha. Jumlah penduduk pada suatu wilayah atau tempat pasti berubah seiring berjalannya waktu. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kelahiran, kematian dan migrasi. Dalam upaya perencanaan peningkatan kesejahteraan masyarakat diperlukan data terkait jumlah penduduk di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk dalam penyusunan laporan ini direncanakan untuk jangka waktu 5 tahun ke depan yaitu tahun 2014-2018. Untuk mengetahui jumlah penduduk di masa mendatang, dapat diproyeksikan pada tabel dibawah ini. Tabel 2.2. Proyeksi Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Belu No. A 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jumlah Penduduk 2012 B C KOTA ATAMBUA 28.541 ATAMBUA SELATAN 23.129 ATAMBUA BARAT 21.851 KAKULUK MESAK 18.657 TASIFETO TIMUR 21.693 TASIFETO BARAT 22.767 LASIOLAT 6.292 RAIHAT 12.206 LAMAKNEN 11.461 LAMAKNEN SELATAN 7.646 NANAET DUBESI 4.209 RAIMANUK 15.026 193.478 Sumber: Buku Putih Sanitasi Bab. 2. Kecamatan Pertumbuhan Jumlah Penduduk (Jiwa) 2014 D 2015 2016 2017 2018 E F G H I 28.466 24.842 24.526 20.285 22.801 22.947 6.077 13.767 12.119 7.338 4.177 20.767 28.907 25.536 25.070 21.005 23.173 23.094 6.082 13.891 12.229 7.389 4.214 22.541 29.348 26.237 25.637 21.751 23.550 23.242 6.088 14.014 12.339 7.439 4.251 24.466 29.789 26.944 26.229 22.523 23.934 23.391 6.094 14.137 12.449 7.489 4.288 26.555 30.230 27.658 26.845 23.322 24.324 23.540 6.099 14.261 12.559 7.540 4.325 28.823 203.291 213.131 218.362 223.822 229.526 2.1.2. Area Beresiko Area berisiko ditentukan berdasarkan tingkat resiko sanitasi yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan data primer, dengan berdasarkan hasil penilaian oleh SKPD dan hasil studi EHRA. Penentuan area berisiko berdasarkan data sekunder yaitu kegiatan menilai dan memetakan tingkat risiko sebuah area (kelurahan/desa), berdasarkan data yang telah tersedia di SKPD mengenai ketersediaan layanan fasilitas air bersih, sanitasi dan data umum, meliputi Sambungan Rumah dan Hidran Umum (PDAM/BPAM/HIPPAM); jumlah jamban; nama kelurahan, jumlah RT & RW, jumlah populasi, luas administratif, luas terbangun; Jumlah KK miskin; serta bila data tersedia, luas genangan. Penentuan area berisiko berdasarkan Penilaian SKPD diberikan berdasarkan pengamatan, pengetahuan praktis dan keahlian profesi yang dimiliki individu anggota pokja kota/kabupaten. Adapun penentuan area berisiko berdasarkan hasil studi EHRA adalah kegiatan menilai dan memetakan tingkat resiko berdasarkan: kondisi sumber air; pencemaran karena air limbah domestik; pengelolaan persampahan di tingkat rumah tangga; kondisi drainase; aspek perilaku (cuci tangan pakai sabun, higiene jamban, penangan air minum, buang air besar sembarangan). Area ‘beresiko sangat tinggi’ adalah kelurahan/desa yang dianggap memiliki resiko kesehatan lingkungan yang sangat tinggi karena buruknya kondisi sanitasi. Berdasarkan informasi yang tersedia, kelurahan/desa memiliki potensi resiko terhadap kesehatan. Proses penentuan area berisiko dimulai dengan analisis data sekunder, diikuti dengan penilaian SKPD dan analisis berdasarkan hasil studi EHRA. Penentuan area berisiko dilakukan bersama-sama seluruh anggota Pokja berdasarkan hasil dari ketiga data tersebut. Untuk jelasnya tentang area beresiko sanitasi di Kabupaten Belu, dapat dilihat pada tabel dan peta di bawah ini: Tabel 2.3. Area Beresiko Sanitasi (Hasil agreeed skor area beresiko) No. 1. Desa/Kecamatan Kelurahan Tenukiik 3. 4. 5. 6. Kec. Atambua Selatan Kelurahan Rinbesi 8. 9. Sangat Tinggi Perkotaan Sangat Tinggi Perkotaan Tinggi Perkotaan Kelurahan Lidak Kec. Atambua Barat Kelurahan Berdao Tinggi Perkotaan Kelurahan Tulamalae Sangat Tinggi Perkotaan Kelurahan Beirafu Sangat Tinggi Perkotaan Kec. Kakuluk Mesak Desa Kenebibi Desa Fatuketi Kec.Tasifeto Timur Desa Manleten Desa Tulakadi Desa Sadi Desa Fatubaa Desa Bauho Desa Tialai Desa Halimodok Desa Silawan Kec. Tasifeto Barat Desa Naitimu 7. Perkotaan/ Pedesaan Kebutuhan Penanganan/ Penyebab Utama Resiko Kec. Kota Atambua Kelurahan Kota Atambua 2. Tingkat Resiko Desa Naekasa Kec. Raihat Desa Tohe Kec. Lamaknen Desa Fulur Kec. Nanaet Dubesi Desa Fohoeka Sumber: BPS & Hasil review POKJA Sangat Tinggi Perkotaan Persampahan dan Air Limbah Persampahan dan Air Limbah, Persampahan dan Air Limbah Persampahan Persampahan dan Air Limbah Persampahan dan Air Limbah Persampahan dan Air Limbah Tinggi Pedesaan Sangat Tinggi Pedesaan PHBS PHBS Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Pedesaan Pedesaan Pedesaan Pedesaan Pedesaan Pedesaan Pedesaan Pedesaan PHBS PHBS PHBS PHBS PHBS PHBS PHBS PHBS Sangat Tinggi Pedesaan Sangat Tinggi Pedesaan Air Limbah dan Persampahan PHBS Tinggi Pedesaan PHBS Tinggi Pedesaan PHBS Tinggi Pedesaan PHBS Dari tabel diatas diketahui bahwa Area Beresiko Sanitasi di Kabupaten Belu terdapat pada 9 Kecamatan yang terdiri dari 7 Kelurahan dan 15 Desa. Dari tabel diatas, juga diketahui bahwa daerah yang menyandang status resiko sanitasi sangat tinggi terdapat pada 10 Desa/Kelurahan dan daerah yang menyandang status tingkat resiko sanitasi tinggi terdapat pada 12 Desa/Kelurahan. Selain tabel diatas, tentang area beresiko sanitasi di kabupaten Belu dapat dilihat pula pada gambar/peta di bawah ini: Peta 1.1. Area Beresiko Sanitasi 2.1.3. Keuangan Daerah Jumlah total pendapatan dalam APBD Kabupaten Belu dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2013 ini diperkirakan sejumlah Rp. 366.210.292.863,Untuk memproyeksikan besaran pendanaan sanitasi di Kabupaten Belu, dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.4. Proyeksi Besaran Pendanaan Sanitasi No Uraian 2014 Proyeksi Besaran Pendanaan Sanitasi (Rp. Juta) 2015 2016 2017 2018 Jumlah 1 Perkiraan Belanja Langsung 4.771.487.000,- 5.010.061.350,- 5.260.564.417,- 5.523.592.638,- 5.799.772.270,- 26.365.477.676,- 2 Perkiraan APBD Murni untuk Sanitasi 2.387.246.000,- 2.522.530.800,- 2.666.172.090,- 2.818.746.919,- 2.980.877.112,- 13.375.572.922,- 3 Perkiraan 11.051.262.500,Komitmen 2.000.000.000,- 2.100.000.000,- 2.205.000.000,- 2.315.250.000,- 2.431.012.500,Pendanaan Sanitasi APBD Kab. Belu Prosentase Komitmen terhadap Belanja Langsung Sumber : Bab II SSK, 2.2. Air Limbah Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Jenis limbah yang dihasilkan dari tempat asalnya beranekaragam, ada limbah yang dihasilkan oleh pabrik/industri maupun jenis usaha/atau kegiatan seperti (tempe/tahu, cuci cetak foto, perbengkelan, rumah makan) dan hasil aktivitas rumah tangga. Pada lingkungan wilayah perkotaan, permasalahan penanganan limbah domestik maupun limbah industri (publik dan usaha) masih belum optimal, karena keterbatasan sumberdaya, sarana dan prasarana pendukung. Di wilayah kota Atambua saat ini, limbah cair yang perlu ditangani berada pada kelurahan Rinbesi (belakang toko pelita), Kelurahan Beirafu (pasar baru dan sekitarnya), Kelurahan Bardao (jembatan atau kali mangga dua) dan Kelurahan Tenukiik. 2.2.1. Permasalahan Air Limbah Permasalahan Air Limbah diuraikan secara singkat dalam bentuk tabel, data secara umum diambilkan dari data Buku Putih sanitasi (BPS) dan dengan laporan hasil studi-studi utamanya EHRA untuk melengkapinya, dimana uraian permasalahan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu dari sisi: a) Sistim sanitasi (sesuai Diagram Sistim Sanitasi /DSS) dan b) Aspek lain disamping pengembangan sarana prasarana (seperti dari aspek Pendanaan, Kelembagaan, Peraturan dan perundangan, serta Peran Masyarakat/ swasta dll). Identifikasi dan klassifikasi terkait permasalahan ini dapat mengacu ke dokumen Kebijakan dan Strategi Nasional. Secara umum kesepakatan “Permasalahan Air Limbah” ini akan dikaitkan dengan “Sasaran” yang akan dicapai (sub bab 2.5 dibawah) dan akan menjadi dasar penyiapan Prioritas pembangunan air limbah (sub Tabel 2.5 : Tabel 2.5. Permasalahan Air Limbah A. Sistem Air Limbah Permukiman: 1. Aspek Pengembangan Sarana dan Prasarana; User Interface Keterangan: Jumlah Penduduk Kabupaten Belu pada tahun 2012: 193.478 jiwa atau 43.506 KK Kesimpulan: Berdasarkan hasil Study EHRA yang dilakukan di Kabupaten Belu terhadap 1000 responden pada 4 cluster, dengan pertanyaan “kemana tempat penyaluran akhir tinja?” maka diketahi bahwa: - 66,7% respnden menjawab ke tangki septik 0,6% responden menjawab ke pipa sewer 10,2% responden menjawab cubluk/lubang tanah 0,6% responden menjawab langsung ke drainase 0,1% responden menjawab ke kolam/sawah 0,1% responden menjawab ke kekbun/tanah lapang, dan 21,7% responden menjawab tidak tahu. Pengumpulan & Penampungan / Pengolahan awal Pengangkutan / Pengaliran; Pengolahan Akhir Terpusat Daur Ulang / Pembuangan Akhir Perencanaan Teknis B. Lain – Lain: 2. Aspek Pendanaan Keterangan: Berdasarkan identifikasi melalui study EHRA; Secara umum di Kabupaten Belu; Kepemilikan Tangki Septik Suspek Aman sebesar 60% / 116.087 jiwa penduduk (26.104 KK) Penyaluran akhir tinja dengan menggunakan tangki septik yang tidak aman sebesar 40% / 77.391 jiwa penduduk (17.402 KK) Belum adanya IPAL Komunal, belum ada armada sedot tinja serta IPLT yang belum berfungsi Belum adanya sistem dan cakupan pelayanan yang terpusat (off site) Belum dilakukan Belum ada data base terkait sanitasi - Anggaran sanitasi terbatas/sangat minim Belum tertariknya sektor swasta untuk melakukan Investasi Belum optimalnya penggalian pendanaan dari masyarakat 3. Aspek Kelembagaan 4. Aspek Peraturan Perundangan dan Penengakan Hukum; 5. Aspek Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha / Swasta; Belum adanya Lembaga Pemerintah/Perusahaan daerah/swasta yang mengelola layanan ini serta tenaga ahli/profesional yang mampu menangani layanan ini belum adanya regulasi yang mengatur tentang layanan dan pengelolaan air limbah domestik - Minimnya sektor usaha/swasta yg berkecimpung penuh dalam bidang pengelolaan limbah domestik - Minimnya tingkat kesadaran masy. Terhadap kebersihan lingkungan. - Masyarakat tidak merasa bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan sekitar. - Peningkatan pencemaran lingkungan dan polusi udara. - Minimnya sarana pengolahan air limbah 6. Aspek Komunikasi PMJK - Masyarakat tidak merasa bertanggung jawab terhadap kebersihan lingkungan sekitar. - Peningkatan pencemaran lingkungan dan polusi udara. - Minimnya sarana pengolahan air limbah. - Kurangnya sosialisasi secara khusus baik teknis dan nonteknis terkait masalah pengelolaan limbah cair di Kabupaten 2.2.2. Sasaran Pembangunan Air Limbah Tabel 2.6. Tujuan dan Sasaran Air Limbah Domestik Air Limbah Permukiman Tujuan: Mengubah perilaku masyarakat untuk memiliki jamban sehat yang terhubung tangki septik Sasaran : 1. Menurunnya pencemaran isi tangki septik dari 100% menjadi 56% pada tahun 2018 2. Meningkatkan prosentase jumlah kepemilikan tangki septik dari 66,7% menjadi 97,8% pada akhir tahun 2018 3. Tersedianya IPAL medis di RSUD dan PUSKESMAS pada tahun 2018 4. Tersedianya saluran pembuangan air limbah (SPAL) untuk industri kecil menengah dan pasar pada tahun 2018 Tujuan: Memastikan ketersediaan alokasi dana operasional sistem pengolahan air limbah 5. Meningkatkan anggaran Anggaran Rutin APBD untuk pembangunan air limbah sebesar 1.5% pada tiap tahunnya Bab III SSK Tabel 2.7. Rencana Pengembangan Jangka Menengah Air Limbah Domestik Kabupaten Belu Cakupan Tahun No. Sistem Layanan Ket. 2014 2015 2016 2017 2018 Eksisting (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) A. Sistem On-Site 1. Individual (tangki 100% septik) 2. Komunal (MCK, 30% 32,5% 36,5% 42% 50% 60% MCK++, tangki septik) 3. Cubluk dan 50% 45% 40% 35% 25% 20% sejenisnya B. Sistem Off-site 1. Skala Kota 5% 10% 15% 20% 25% 40% 2. Skala Kawasan 2% 2,5% 3,5% 5% C. BABS 52,8% 45,5% 34,3% 15% 7,5% 0% D. Lumpur Tinja ke 1% 3% 6% 8% 10% IPLT (m3/bln) E. IPAL Industri 0,1% 0,1% 0,5% 0,7% 0,9% 1% Sumber: Bab II SSK dan POKJA 2.2.3. Prioritas Pembangunan Air Limbah .Tabel 2.8. Prioritas Program dan Kegiatan Air Limbah No Program (1) 1. 2. 3. 4. (2) Arisan Jamban Pembangunan MCK ++ Pembangunan Jamban Individual IPAL Komunal / Septic Tank Komunal IPLT IPAL Indusri Menengah dan Pasar serta Tangki Penampung Air Limbah untuk Industri Kecil 5. 6. Sumber: Bab IV SSK dan POKJA Penerima Manfaat 25 % (3) 2 3 4 4 3 4 Score (dan bobot) Permasalahan Persepsi Mendesak Pokja 25 % 25 % (4) (5) 2 1 2 3 4 4 3 4 2 3 3 4 ProPoor 25 % (6) 4 4 4 4 2 3 Score Urutan Total Prioritas (7) 2,3 3 4 3,8 (8) 3 1 1 2 2,5 3,5 2 2 2.3. Persampahan Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis. Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaurulangan, atau pembuangan dari material sampah. Hal ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Praktik pengelolaan sampah berbeda-beda antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri. Pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di area perkotaan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani oleh perusahaan pengolah sampah. 2.3.1. Permasalahan Persampahan Masalah kebersihan di Kabupaten Belu pada beberapa tahun terakhir ini telah mendapat perhatian Pemerintah. Kebersihan dan keindahan tidak bisa terlepas, masing-masing saling berkaitan. Kebersihan jalan utama, kolektor dan tersedianya Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) adalah wajib. Dengan jumlah timbulan sampah secara keseluruhan yang berasal dari sumber sampah di perkotaan Atambua Tahun 2012 adalah sebesar 886,69 m3/hari, sedangkan yang terangkut 74,80 m3/hari maka saat ini pengelolaan persampahan masih menjadi permasalahan utama di kota Atambua serta desa-desa sekitarnya. Tabel 2.9. Permasalhan Persampahan A. Sistem Persampahan: 1. Aspek Pengembangan Sarana dan Prasarana; User Interface Secara umum di Kabupaten Belu kebanyakan belum melakukan pengelolaan terhadap sampah, dari hasil studi EHRA yang dilakukan 85% tidak melakukan pengelolaan dan hanya 15% yang telah melakukan pengelolaan terhadap sampah. Gambar 3.7a. Grafik Pengelolaan Sampah Setempat Sedangkan bila dikaitkan dengan pengelolaan sampah rumah tangga, maka untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini: Gambar 3.7b. Grafik Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Produksi sampah di Kabupaten Belu 2,5 liter/hari/orang Timbulan sampah wilayah perkotaan per hari = 886,69 m3 Keterangan: 0,3% responden menjawab bahwa Dikumpulkan oleh kolektor iformal yang mendaur ulang, 6,1% responden menjawab bahwa dikumpulkan dan dibuang ke TPS, 62,2% responden mejawab dibakar, - 1,0% responden menjawab dibuang ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah, - 6,8% responden menjawab dibuang ke sungai, kali, laut / danau, - 1,2% responden menjawab dibiarkan sampai membusuk, - 18,6% responden menjawab dibuang ke lahan kosong/ kebun/ hutan da dibiarkan membusuk, dan - 0,6% responden masuk pada kategori jawaban lain-lain Pengumpulan setempat Pengelolaan sampah yang dilakukan masyarakat masih sangat terbatas pada pengumpulan dari rumah tangga ke TPS terdekat. Selanjutnya pengangkutan dari TPS menuju ke TPA dilakukan oleh petugas Dinas PU dan Perumahan. Penampungan Sementara (TPS); Hingga saat ini, Kabupaten Belu memiliki 69 Tempat Penampungan Sementara (TPS) dengan kapasitas 1m3, 7 buah container dengan kapasitas 6 m3 yang tersebar di 10 Kelurahan dan 2 Desa Pengangkutan; Ditinjau dari ketersediaan armada pendukung, kabupaten Belu melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan memiliki alat angkut berupa : Dumpt Truck Dump truck yang dimiliki oleh Dinas PU adalah sebanyak 3 Unit dengan kapasitas 7,4148 m3. Kinerja dari dump truck adalah sampah yang sudah terkumpul dipindahkan ke dalam bak truk, kemudian langsung diangkut menuju TPA. Biasanya dump truck ini digunakan untuk sistem pengumpulan individual maupun komunal yang langsung karena tidak memerlukan proses pemindahan (Transfer Depo). Selain itu dump truck selama ini dioperasikan sebagai kendaraan penunjang di setiap rayon untuk mengangkut sampah insidentil, terutama yang diluar TPS dan depo, seperti untuk mengangkut sampah hasil penyapuan jalan, dan untuk sampah pengerukan saluran, dan lainnya yang tidak terkumpul dengan sistem container Arm Roll. Arm Roll Truk umumnya digunakan untuk pengangkutan sampah di TPS yang dilengkapi dengan container. Sampah yang terkumpul di TPS dikumpulkan dan dimasukkan langsung ke container. Pemindahan sampah dari wadah komunal ke kendaraan pengangkut sampah (container arm roll) menggunakan sekop, cangkul, garpu, dan keranjang sampah kemudian diangkut menuju TPA. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan arm roll truck di TPS adalah ketepatan waktu pengumpulan sampah, karena umumnya pola pengumpulan dengan container di Kota Atambua Kabupaten Belu adalah sistem container tetap. Jumlah armada Arm Roll adalah sebanyak 2 Unit dengan kapasitas per unit adalah 6,2883m3. Motor Sampah. Motor sampah merupakan jenis kendaraan pengangkut sampah yang digunakan untuk mengangkut sampah dari TPS yang terdekat. Motor sampah yang dimiliki oleh inas PU Kabupaten Belu adalah sepeda motor 3 roda. 5 unit ………………… (500 kg) (semi) Pengolahan Akhir Terpusat Hingga saat ini belum ada pemilihan sampah. Masyarakat berperan dalam pengelolaan sampah dengan mengurus dan berkontribusi melalui pembayaran retribusi. Tabel 3.20b. No. (1) 1 a. b. c. 2 a. b. c. 3 4 5 6 a. b. c. 7 a. b. c. 8 9 a. b. c. 10 a. b. c.11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Daur Ulang / Tempat Pemrosesan Akhir; Perencanaan; Struktur & Besarnya Tarif Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan Sumber Sampah (2) Rumah Tinggal Permanen Semi Permanen Darurat Toko / Pertokoan, Kios : Toko Besar / Pertokoan Toko Besar Kios Industri Kantor Swasta, Instansi Pemerintah Grosir Hotel, Wisma, Penginapan : Hotel Besar Hotel Sedang Hotel Kecil, Wisma / Penginapan Rumah Sewa : Rumah Sewa permanen besar Rumah Sewa permanen sedang / kecil Rumah Sewa semi permanen / darurat Perusahaan Kayu / Penggergajian Kayu Bengkel : Bengkel besar Bengkel sedang Bengkel kecil / tambahan Restoran /Rumah makan/Depot Makan/Warung : Restoran / Rumah makan Depot Makan / Warung Warung Sederhana Apotik Swasta Rumah Sakit Pemerintah tipe C + Apotik Rumah Sakit Pemerintah tipe D + Apotik Rumah Sakit Swasta + Apotik Meubel Kayu, Rotan, Bambu Percetakan/Penerbitan, Sablon Salon / Pangkas rambut Tempat Penggilingan Padi / Jagung Sekolah (SD/SMTP/SLTA) Asrama-asrama Pedagang/penjual tetap daging dan ikan di pasar Tarif (3) Rp. 15.000,-/bln Rp. 10.000,-/bln Rp. 5.000,-/bln Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. 100.000,-/bln 60.000,-/bln 30.000,-/bln 30.000,-/bln 25.000,-/bln 50.000,-/bln Rp. 80.000,-/bln Rp. 50.000,-/bln Rp. 30.000,-/bln Rp. Rp. Rp. Rp. 30.000,-/bln 20.000,-/bln 15.000,-/bln 100.000,-/bln Rp. 50.000,-/bln Rp. 30.000,-/bln Rp. 15.000,-/bln Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. Rp. 75.000,-/bln 50.000,-/bln 30.000,-/bln 30.000,-/bln 150.000,-/bln 75.000,-/bln 150.000,-/bln 30.000,-/bln 25.000,-/bln 20.000,-/bln 20.000,-/bln 25.000,-/bln 30.000,-/bln 20.000,-/bln Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh masyarakat terbatas pada pengumpulan dan pengangkutan oleh masyarakat lingkungan RT/RW setempat ke TPS terdekat dan selanjutnya diangkut oleh petugas Dinas PU dan Perumahan menuju ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). TPA yang dimiliki kabupaten belu 1 bh yan berlokasi di ……… a. Belum optimalnya TPA dikarenakan masih kurangnya sarana dan prasarana pendukung TPA di Kabupaten Belu b. permasalahan bidang persampahan yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan peralatan alat angkut yang dimiliki dan jumlah personil yang kurang sehingga masyarakat banyak yang belum menikmati layanan sampah. B. Lain – Lain: 1. Aspek Kelembagaan 2. Aspek Pendanaan; 3. 4. Aspek Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha / Swasta; Aspek Peraturan Perundangan dan Penegakan hukum Dinas masih berfungsi sebagai operator dan regulator - pembiayaan pengelolaan persampahan yang didanai dari APBD rata-rata masih berada dibawah 5 % dari total APBD - Minimnya kesadaran masyarakat untuk membayar tarif/retribusi persampahan Belum ada sektor usaha/swasta yang berkecimpung penuh dalam dunia pengelolaan persampahan Belum adanya aturan tentang Kewajiban dan sanksi bagi masyarakat untuk mengurangi sampah, menyediakan tempat sampah di hunian rumah, dan membuang ke TPS Belum adanya Kewajiban dan sanksi bagi kantor / unit usaha di kawasan komersial / fasilitas social / fasilitas umum untuk mengurangi sampah, menyediakan tempat sampah, dan membuang ke TPS 2.3.2. Sasaran Pembangunan Persampahan Tabel 2.10. Tujuan dan Sasaran Pengembangan Persampahan Domestik Persampahan Tujuan: Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengolahan sampah melalui 3R serta pelayanan pengelolaan sampah Sasaran: 1. Peningkatan pengelolaan sampah sejak di sumbernya dari 0% menjadi 35% pada tahun 2018 2. Menurunnya jumlah masyarakat yang melakukan pembakaran sampah menjadi 20% pada tahun 2018 3. Peningkatan cakupan layanan sampah dari 12% menjadi 80% pada tahun 2018 4. Tersedianya 1 insinerator di RSUD dan insinerator mini di seluruh PUSKESMAS pada tahun 2018. 5. Penambahan jumlah sarana TPS serta rehabilitasi TPS yang tidak memadai Hal 20, bab III SSK Tabel 2.11. Rencana Pengembangan Jangka Menengah Persampahan No. Sistem (a) A. (b) Penanganan Langsung (direct) Kawasan Komersial Kawasan Permukiman Kota 1. 2. Cakupan Layanan Eksisting (c) 100% Tahun 2014 2015 2016 2017 2018 (d) 100% (e) 100% (f) 100% (g) 100% (h) 100% 25% 75% 30% 76% 35% 77% 40% 78% 45% 79% 50% 80% Ket. (i) B. 1. 2. C. Penanganan Tidak Langsung (indirect) Skala Kota Skala Wilayah Penanganan Berbasis Masyarakat Pengolahan dengan sistem 3R oleh masyarakat perkotaan Sumber: Bab II SSK 35% 36% 37% 38% 39% 40% 35% 0% 50% 39% 1% 52% 38% 2% 54% 37% 3% 56% 36% 4% 58% 35% 5% 60% 50% 52% 54% 56% 58% 60% 2.3.3. Prioritas Pembangunan Persampahan No Program (1) 1 (2) Pengadaan Jembatan Timbang Penyuluhan dan Kampanye pengurangan sampah dari sumbernya. Pengadaan Arm Roll Pengadaan Container 3 Buah Pengadaan Motor Roda 3, 3 Unit 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pengadaan Tong Sampah Drum 100 buah Pelatihan 3R bagi aparat pengelola persampahan Sumur Pantau Review Mast erplan Persampahan Skala Studi Kelayakan Pengelolaan Limbah Padat Medis Score (dan bobot) Penerima Permasalahan Persepsi Manfaat Mendesak Pokja % % % (3) (4) (5) ProPoor % (6) Score Total Urutan Prioritas (7) (8) 4 4 4 2 3,5 2 4 4 4 2 3,5 1 4 4 4 2 3,5 1 4 4 4 2 3,5 2 4 4 4 2 3,5 1 4 4 4 2 3,5 1 4 4 4 2 3,5 2 4 4 4 2 3,5 1 4 4 4 2 3,5 2 4 4 4 2 3,5 2 Tabel 2.12. Prioritas Implementasi Program dan Kegiatan Persampahan Domestik Sumber: Bab IV SSK 2.4. Drainase Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan kompenen penting dalam perencanaan khususnya infrastruktur perkotaan. Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan sanitasi, dimana drainase merupakan salah satu cara pembuangan kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penanggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut. Drainase itu sendiri biasanya berinteraksi secara langsung dengan sistem jaringan jalan dan sistem guna lahan, dimana sebagai satu kesatuan dari sistem aktivitas social – ekonomi dalam suatu kawasan. Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat. 2.4.1. Permasalahan Drainase Dalam sistem pengelolaan jaringan drainase perkotaan dan pedesaan perlu perhatian yang serius, sebab secara umum topografi wilayah Kabupaten Belu di dataran tinggi, sehingga perlunya sistem yang bagus agar tidak terjadi luapan akibat bertemunya beberapa saluran. Selain itu sistem pembagian wewenang penanganan drainase antar bidang dalam SKPD Dinas PU dan Perumahan diharapkan dapat terintegrasisecara baik sehingga pembangunan dan penataan drainase dapat terwujud secara baik. Secara umum kondisi drainase lingkungan di Kabupaten Belu masih terbuka dan sebagian kecil yang tertutup, tetapi untuk saluran sekundernya mulai tahun 2012 telah dibangun dengan konstruksi tertutup melalui sumber dana Dana Alokasi Khusus. Kondisi Drainase lingkungannya sebagian besar telah banyak mengalami penurunan kualitas seperti terjadinya penyumbatan dan tidak berfungsinya manhole. Apabila terjadi peningkatan intensitas curah hujan maka pada beberapa ruas jalan terjadi genangan air yang cukup tinggi sehingga keadaan ini mengkhawatirkan penduduk dan pengguna jalan serta juga banyak mengakibatkan kemacetan arus lalu lintas Tabel 2.13. Permasalahan Drainase A. Sistem Drainase: Aspek pengembangan sarana & prasarana User Interface bab 3 bps Sistem drainase makro Kabupaten Belu pada umumnya memanfaatkan sungai sebagai saluran pembuangan akhir.Kabupaten Belu dilalui beberapa sungai besar yang berfungsi sebagai saluran pembuangan akhir. Khususnya wilayah Kota Atambua dan sekitarnya, dilalui oleh sungai Talau yang menjadi muara akhir pembuangan drainase dari beberapa sungai kecil (kali) lainnya. Cakupan pelayanan sistem drainase di Kabupaten Belu meliputi saluran drainase primer, saluran sekunder dan saluran tersier. Saluran sekunder berfungsi untuk menampung beberapa saluran pembuang tersier serta daerah sekitarnya dimana air hujan dialirkan ke saluran Primer/sungai. Saluran pada system jaringan existing, dibuat dengan sistem tertutup sehingga dapat difungsikan sebagai trotoar dengan konstruksi permanen dan pada umumnya dalam kondisi baik.Saluran ini menerima limpasan air hujan lokal dan limbah perkotaan. Akan tetapi hampir seluruh saluran tersier yang ada pada jalan-jalan lingkungan maupun saluran tersier lingkungan dan perumahan dalam kondisi tersumbat, atau mengalami penyumbatan akibat endapan lumpur dan timbunan sampah serta limbah cair yang tidak pernah dibersihkan tetapi dibiarkan begitu saja menunggu limpasan banjir pada musim penghujan untuk diteruskan ke saluran sekunder yang selanjutnya akan bermuara ke saluran primer/sungai atau kali-kali kecil. Penampungan / Pengolahan awal: kebiasaan dari masyarakat yang membuang sampah pada saluran drainase yang dapat menyumbat aliran air dan berdampak pada pengurangan kapasitas saluran saluran drainase yang digunakan sebagai sarana buangan limbah jamban (tinja) manusia/ hewan/ industri kecil, khususnya pada daerah-daerah sepanjang sempadan sungai. Pengangkutan / Pengaliran; Berdasarkan titik sampling studi Ehra tidak ditemukan titk genangan Ditemukan bahwa di lokasi terdapat 26 titik rawan genangan air. Sekitar 12 % Porsi belanja fisik sub sektor drainase masih 0,1 % Prosentase panjang saluran drainase yang berfungsi baik 42,5 %. Akses masyarakat terhadap sarana drainase masih 20%. Data lain berdsarkan hasil EHRA ……… (Tahun ……) Dokumen Perencanaan B. Lain – Lain: Sudah adanya Master Plan Drainase 1. Aspek Pendanaan Secara umum anggaran pembangunan saluran drainase bersumber pada APBD yang berkisar dibawah 5 % sehingga perlu adanya inovasi sumber dana untuk pembangunan saluran drainase kedepan 2. Aspek Kelembagaan diperlukan peraturan daerah yang mengatur tentang pembagian peran dalam penanganan drainase oleh unsur Pemerintah Daerah, Swasta maupun Masyarakat 3. Aspek Peraturan Perundangan dan Penengakan Hukum; 4. Aspek Peran serta Masyarakat dan Dunia Usaha / Swasta; Tidak ada 5. Aspek Komunikasi PMJK Partisipasi dunia usaha dalam penyedia layanan pengelolaan drainase yang ada di Kabupaten Belu sampai dengan saat ini masih belum ada. Upaya pelibatan laki-laki dan perempuan dalam pembersihan saluran drainase lingkungan di Kabupaten Belu dilakukan melalui kegiatan kerja bakti lingkungan 2.4.2. Sasaran Pembangunan Drainase Pengembangan sub sektor drainase di Kabupaten Belu dalam jangka pendek-menengah diarahkan pada upaya penanganan area-area yang sering mengalami genangan. Sebagaimana yang termuat dalam Buku Putih Sanitasi, masih terdapat sekitar 42,5% dari luas kab. Belu yang mengalami genangan dan perlu mendapat prioritas penanganan, Selain itu, juga masih terdapat beberapa titik yang rawan terhadap genangan terutama pada saat musim hujan, sehingga secara keseluruhan area-area di Kabupaten Belu yang memiliki potensi terjadi genangan perlu ditangani. Dari Rp. 18.205.000.000,- pengalokasian anggaran untuk drainase, sebesar 24,33% direncanakan bersumber dari dana APBD Kabupaten, yakni pada tahap perencanaan pembangunan saluran drainase / gorong-gorong, dengan penanggung jawab SKPD Dinas Pekerjaan Umum. Tabel 2.14. Resume tujuan dan sasaran utama pembangunan drainase Drainase Tujuan : Tersedia dan terpeliharanya sarana drainase yang melibatkan masyarakat dalam pemeliharaannya Sasaran: 1. Tersedianya dokumen masterplan drainase dan dokumen perencanaan lainya 2. Tidak ada lagi drainase lingkungan yang berfungsi sebagai TPS serta terprogramnya kegiatan swakelola dan pemeliharaan drainase oleh masyarakat 3. Peningkatan cakupan basis data genangan dari 12% menjadi 100% pada tahun 2018 4. Meningkatnya prosentase panjang saluran drainase yang berfungsi baik dari 5. 42,5% menjadi 60,51% atau 44.165 jiwa pada akhir tahun 2018 Berkurangnya luas genangan sebesar 161,351 Ha pada tahun 2018,dilokasi Kecamatan Atambua,Atambua Barat dan Atambua Selatan Tabel 2.15. Rencana Pengembangan Jangka Menengah Drainase No. Sistem (a) A. B. C. (b) - Cakupan Layanan Fungsi Drainase Luas Genangan D. Penanganan berbasis masyarakat Cakupan Layanan Eksisting (c) 42,5% 67% 50 Ha Tahun (d) 46% 67,5% 45 Ha (e) 50,5% 68% 40 Ha 2000 m 1500 m 2500 m 2014 2015 2016 2017 2018 (f) 55% 69% 35 Ha 2500 m (g) 59,5% 71% 30 Ha (h) 60,51% 73% 25 Ha 2500 m 1500 m Ket. (i) Sumber: Bab II SSK 2.4.3. Prioritas Pembangunan Drainase Tabel 2.16. Prioritas Implementasi Program dan Kegiatan Drainase No Program (1) (2) 1. Review Masterplan Sistem Drainase 2. Pembangunan Saluran Drainase Primer 3. Rehabilitasi Saluran Drainase Primer 4. Pembangunan Saluran Drainase Sekunder 5. Rehabilitasi Saluran Drainase Sekunder 6. Pembangunan Saluran Drainase Tersier 7. Rehabilitasi Saluran Drainase Tersier 8. Pengerukan sedimen saluran drainase 9. Penyusunan Perda drainase Score (dan bobot) Penerima Permasalahan Persepsi Manfaat Mendesak Pokja 25% 25% 25% (3) (4) (5) ProPoor 25% (6) Score Total Urutan Prioritas (7) (8) 4 4 4 4 4.00 1 4 4 4 2 3.50 1 3 4 4 3 3.50 1 2 2 3 2 2.25 1 3 3 3 2 2.75 1 2 3 3 4 3.00 1 2 2 3 3 2.50 2 2 2 3 2 2.25 2 2 2 2 1 1.75 3 Sumber: Bab IV SSK 2.5. PHBS terkait Sanitasi PHBS adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. PHS juga adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang yang mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. Untuk meningkatkan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku serta kemandirian perorangan, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi maslah kesehatan agar dapat hidup bersih dan sehat. 2.5.1. Permasalahan PHBS terkait Sanitasi Tabel 2.17. Permasalahan mendesak PHBS terkait sanitasi User Interface Dari hasil studi EHRA yang dilaksanakan pada desa/kelurahan di Kabupaten Belu yang menjadi perwakilan wilayah klaster diperoleh informasi bahwa 52,8% dari responden yang diwawancarai masih melakukan praktek buang air besar sembarangan (BABS). Berdasarkan studi EHRA yang dilakukan di Kabupaten Belu ternyata perilaku responden dalam CTPS pada 5+1 waktu penting masih sangat rendah yakni hanya 6% yang melakukan kebiasaan tersebut. Data berdasarkan hasil Studi EHRA 2012: Masih rendahnya kesadaran sebagian kecil masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat didukung dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan tempat tinggal. Masih banyaknya kasus penyakit berbasis lingkungan tersebut yang diakibatkan oleh kondisi sanitasi yang kurang baik dan pola hidup masyarakat yang kurang sehat, seperti yang ditunjukkan pada perilaku dibawah ini: 1. Buang Air Besar Sembarangan (BABS) 2. Buang sampah sembarangan 3. Masih rendahnya kesadaran pola cuci tangan pakai sabun (CTPS), 4. Kebersihan Jamban 5. Perilaku pada penyimpanan dan penanganan air. Pendanaan 1. Minimnya pendanaan untuk PHBS sehingga belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh ke masyarakat . 2. Peluang pendanaan oleh pihak swasta perlu dioptimalkan dengan menyusun rencana strategi pengembangan kesehatan lingkungan masyarakat . Komunikasi 1. Keberadaan posyandu menjadi peluang peningkatan pemahaman masyarakat dalam melakukan pola hidup bersih dan sehat. 2. Peran media massa sebagai penyebar informasi pola hidup bersih dan sehat harus dioptimalkan. 3. Peran tokoh agama dalam penyebaran informasi PHBS harus lebih di tingkatkan. 4. Lemahnya kepedulian masyarakat dan pengambil kebijakan terhadap program-program yang bersifat preventif dan promotif (pencegahan dan promosi). 5. Kegiatan Promosi Kesehatan dan Sanitasi di Sekolah dilakukan melalui penyebaran pamflet dan poster-poster kesehatan sekolah, selain itu adanya lomba karya ilmiah sekolah di bidang sanitasi dan yang secara reguler juga telah berjalan sebagai media promosi kesehatan di sekolah bagi para siswa adalah melalui mata pelajaran sekolah yaitu Pendidikan Jasmani (Penjas). Keterlibatan 1. Peran pihak swasta dalam rangka penerapan PHBS di lingkungan kerja masing-masing harus dioptimalkan. Pelaku Bisnis 2. Belum adanya dukungan dari perusahaan penghasil produk pembersih pada penerapan PHBS di Kabupaten Belu. Pemberdayaan 1. Kurang pahamnya masyarakat dalam melakukan PHBS mengakibatkan masih tingginya penderita penyakit-penyakit akibat kondisi lingkungan yang Masyarakat, kurang sehat. Aspek Jender dan 2. Masyarakat membutuhkan informasi tentang pola hidup bersih dan sehat. Kemiskinan 3. Belum memaksimalkan pengarusutamaan gender/kesetaraan gender dalam perencanaan program. 4. Belum memaksimalkan penganggaran dan program yang pro poor. Teknis 1. Puskesmas telah melaksanakan program PHBS di tingkat masyarakat melalui posyandu dan juga bekerjasama dengan pihak sekolah terutama Pelaksanaan kepada siswa Sekolah Dasar. PHBS 2. Dinas Kesehatan setiap tahun melaksanakan kegiatan evaluasi dan penyuluhan tentang pola hidup bersih dan sehat. 3. Hanya sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Belu yang memahami pentingnya cuci tangan pakai sabun (Hasil Studi EHRA 2012). 4. Sosialisasi pola hidup bersih dan sehat serta cuci tangan pakai sabun perlu ditingkatkan. 2.5.2. Sasaran PHBS terkait Sanitasi Tanel 2.18. Tujuan dan Sasaran PHBS terkait Sanitasi PHBS Tujuan: Mengubah perilaku masyarakat untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat secara mandiri agar mengurangi angka kesakitan berbasis lingkungan Sasaran: 1. Meningkatkan praktik CTPS di masyarakat dari 4,5% menjadi 50% pada tahun 2018 2. Menurunnya angka BABs dari 52,88% menjadi bebas BABs di tahun 2018 3. Menurunnya angka kesakitan ISPA Sumber; Bab III SSK 2.5.3. Prioritas PHBS terkait Sanitasi Tabel 2.19. Prioritas Implementasi Program dan Kegiatan PHBS terkait Sanitasi No Program (1) (2) Pemicuan dan Pendampingan STBM Road Show Penyuluhan tentang PHBS (CTPS, stop BABS dan Membuang sampah pada tempatnya) di sekolah-sekolah, Pondok Pesantren, Perkantoran, Permukiman dan ditempat-tempat umum Penyuluhan dan kampanye Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) meliputi CTPS, Stop BABS dan Membuang sampah pada tempatnya melalui siaran radio atau TV lokal. Lomba K3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban) Pembangunan sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS) di tempattempat umum (terminal, pasar, alunalun dan stasiun), dan TPM (Tempat Pengelolaan Makanan) 1 2 3 4 5 Sumber: Bab IV SSK Score (dan bobot) Score Penerima Permasalahan Persepsi ProManfaat Mendesak Pokja Poor Total % % % % (3) (4) (5) (6) (7) Urutan Prioritas (8) 4 4 4 4 4.00 1 4 4 3 4 3.75 1 3 4 3 3 3.25 1 4 2 3 3 3.00 1 3 2 3 3 2.75 2 2.6. Review Kerangka Kerja Logis Tabel 2.20. Kerangka Kerja Logis Air Limbah Domestik Permasalahan Mendesak 1. Belum ada data base terkait sanitasi 2. Kondisi Geografis wilayah 3. Belum adanya peraturan mengenai sanitasi 4. Anggaran sanitasi terbatas/sangat minim 5. Perilaku BABs masyarakat masih tinggi, baik itu di sungai, pekarangan, hutan, jamban cemplung serta sebagian besar jamban yg tidak kedap (septik tank) 6. Sarana prasarana kurang, serta rusak 7. Terbatasnya sumber air bersih di perdesaan 8. Program sanitasi (air limbah) belum menjadi prioritas pembangunan seperti sub sektor lain atau infrastruktur Tujuan Sasaran Mengubah perilaku 1. Penurunan pencemaran buangan masyarakat untuk isi tangki septik dari memiliki jamban sehat 100% menjadi 56% yang terhubung tangki 2. Peningkatan jumlah septik kepemilikan tangki septik dari 66,7% menjadi 97,8% 3. Belum adanya IPAL medis di RSUD dan PUSKESMAS sehingga terjadi pencemaran lingkungan 4. Belum adanya sistem pengelolaan air limbah untuk industri kecil menengah dan pasar yang kebanyakan menimbulkan pencemaran lingkungan Strategi - Mengikuti Program PPSP serta melaksanakan program dan kegiatan telah dibuat - Membuat Perda tentang standarisasi tangki septik yang memenuhi syarat - Sosialisasi di tingkat desa dan kelurahan serta publikasi melalui media massa dan radio tentang penggunaan tangki septik yang memenuhi syarat. - Advokasi kepada pengambil keputusan tentang penggunaan tangki septik yang memenuhi syarat - Membuat arisan jamban dan tangki septik di lingkungan masyarakat. - Penguatan kapasitas SDM untuk sistem pengelolaan air limbah dari SKPD terkait - Penguatan kelembagaan dan peningkatan kapasitas personil pengelolaan air limbah domestik, melalui fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan pengelola air limbah permukiman di tingkat masyarakat maupun di tingkat Pemda, peningkatan koordinasi dan kerjasama antar lembaga serta mendorong a. Program Pembuatan 1. Master Plan Air Limbah (Skala Kabupaten) 2. 3. b. Infrastruktur Air 1. Limbah Sistem Setempat dan 2. Sistem Komunal 3. 4. 5. 6. c. Infrastruktur Limbah Cair Medis Rumah Sakit (Kota 1. 2. Kegiatan Review Masterplan Sistem Air Limbah Skala Kabupaten Penyusunan Outline plan Sistem Air Limbah Skala Kabupaten Pembuatan Studi Kelayakan untuk urgensi dan pengadaan sistem Air Limbah Melakukan Arisan Jamban Melakukan Pembangunan MCK ++ Pengadan Jamban Individual Melakukan Pembangunan IPAL Komunal / Tangki Septik Komunal Pembangunan IPLT SPAL dan Tangki Penampung Air Limbah untuk Industri Kecil Menengah dan Pasa Studi Kelayakan Sistem Pengelolaan Limbah Cair Medis Rumah Sakit Preliminary Design - - - - peningkatan kemauan politik (political will) para pemangku kepentingan untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi terhadap pengelolaan air limbah domestik; Menyiapkan data yang mendukung urgensi adanya pengelolaan air limbah di Kabupaten Belu Membuat Perda tentang retribusi dan sanksi larangan pembuangan limbah tinja selain ke tempat pengolahan yang ditentukan. Menjalin kemitraan antara pengusaha sedot tinja yang sudah ada dengan pihak pemodal. Menyusun PERDA yang mewajibkan pembangunan minimal satu IPAL medis dalam satu rumah sakit dan setiap puskemas Mengambil peluang alternatif pendanaan non-APBD untuk pengadaan IPAL medis. Melakukan pelatihan dan pendampingan untuk operasional IPAL medis Menyusun Perda yang berkaitan dengan pengelolaan limbah industri kecil menengah dan pasar Sosialisasi dan pendampingan untuk mengubah perilaku pegiat industri kecil menengah serta pedagang di pasar dalam Atambua) Sistem Pengelolaan Limbah Cair Medis Rumah Sakit 3. Studi AMDAL/ UKL UPL Sistem Pengelolaan Limbah Cair Medis Rumah Sakit 4. Pembebasan Lahan/Tanah 5. Perencanaan Detail (DED) Sistem Pengelolaan Limbah Cair Medis Rumah Sakit 6. Sosialisasi Pembangunan Sistem Pengelolaan Limbah Cair Medis Rumah Sakit 7. ). Pembentukan Unit Pengelola Sistim Pengolah Limbah Medis Rumah Saki 8. Pelatihan Pengelolaan Sistem Pengolah Limbah Cair Medis Rumah Sakit 9. Pembangunan Sistem Pengolah Limbah Cair Medis Rumah Sakit 10. Supervisi Pembangunan Sistem Pengolah Limbah Cair Medis Rumah Sakit 11. Pembangunan Sistem Perpipaan Dari Tiap Unit Layanan Rumah Sakit ke IPAL Medis Memastikan ketersediaan alokasi dana operasional sistem pengolahan air limbah Meningkatkan alokasi anggaran dalam APBD, Mencari sumber pembiayaan APBN dan APBD Prov mengelola limbahnya. - Membangun SPAL untuk industri kecil menengah dan pasar - Membuat MoU antara pihak eksekutif, legislatif dan Pemda Prov. Tentang pembentukan kelembagaan yang menangani pengelolaan Air Limbah - Memastikan RKPD dari SKPD atau lembaga terkait menuangkan kegiatan-kegiatan yang telah di susun dalam SSK Kabupaten Belu. - Menjaga komitmen pihak swasta/LSM yang sudah berpartisipasi selama ini - Meningkatkan partisipasi swasta melalui kegiatan CSR 12. Supervisi Pembangunan Sistem Perpipaan Dari Tiap Unit Layanan Rumah Sakit ke IPAL Medis 13. Operasi dan Pemeliharaan Sistem Pengolah Air Limbah Terpusat termasuk perpipaan Tabel 2.21. Kerangka Kerja Logis Persampahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. Permasalahan Mendesak Belum mempunyai TPA dengan system sanitary landfill. Program sanitasi belum menjadi prioritas pembangunan seperti infrastruktur Belum ada peraturan mengenai persampahan Pembiayaan tentang persampahan masih terbatas Perilaku masyarakat terutama di wilayah pantura masih belum optimal Belum ada sektor usaha/swasta yang berkecimpung penuh dalam dunia pengelolaan persampahan Tujuan Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengolahan sampah melalui 3R serta pelayanan pengelolaan sampah - - - Sasaran Peningkatan pengelolaan sampah sejak di sumber dari 0% menjadi 35% Menurunnya jumlah masyarakat yang melakukan pembakaran sampah menjadi 20% Peningkatan cakupan layanan sampah dari 12% menjadi 80% Strategi - Melakukan sosialiasi a. kepada masyarakat agar mau berlangganan layanan sampah. - Peningkatan kapasitas pelayanan sampah - Melakukan sosialisasi dan kampanye tentang bahaya pembakaran sampah kepada masyarakat Kab. Belu - Penyiapan sarana pendukung pengolahan sampah skala rumah tangga - Pendampingan pengolahan sampah skala rumah tangga - Memberikan insentif b. kepada masyarakat yang melakukan praktik 3R - Menyusun PERDA yang mewajibkan pembangunan minimal satu insenerator dalam satu rumah sakit dan satu insenerator mini untuk setiap puskemas. - Mengambil peluang alternatif pendanaan untuk pengadaan Program Pengembangan Kebijakan dan Kinerja Pengelolaan Persampahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pengelolaan Sampah dari Sumbernya. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kegiatan Reiew Masterplan persampahan skala kabupaten Penyusunan SOP Pengelolaan Persampahan Penyusunan Rencana Usaha (Business Plan) Persampahan Penyusunan Kebijakan Kerjasama pengelolaan persampahan Kerjasama pengelolaan persampahan Fasilitasi kerjasama dengan dunia usaha/lembaga Promosi penggunaan produk daur ulang sampah Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan persampahan skala kota Penyuluhan tentang Persampahan kpd masya. & kel. Masya. Kampanye pengurangan sampah dari sumbernya Kampanye tatacara dan gerakan pemilihan sampah dari sumbernya Pengadaan Tempat Sampah Terpilah untuk Rumah Tangga. Pengadaan Tempat Sampah terpilah ditempat umum/jalan Pembentukan Pokmas baru ditingkat RT/RW tentang pengolahan sampah - - Tersedianya 1 insinerator di RSUD dan insinerator mini di seluruh PUSKESMAS pada tahun 2018. Penambahan jumlah sarana TPS serta rehabilitasi TPS yang tidak memadai insinerator sampah medis. - Melakukan pelatihan dan pendampingan untuk operasional insinerator. - Menyusun PERDA yang mewajibkan pembangunan minimal satu insinerator dalam satu rumah sakit dan satu insinerator mini untuk setiap puskemas. - Mengambil peluang alternatif pendanaan untuk pengadaan insinerator sampah medis. - Melakukan pelatihan dan pendampingan untuk operasional insinerator. - Merevitalisasi dan c. menambah jumlah TPS - Melakukan sosialisasi tentang manfaat dan penggunaan TPS dengan benar (tidak membakar d. sampah di dalam TPS) e. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Pengelolaan Sampah dari Stasiun Antara sampai TPA Pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Infrastruktur Insinerator untuk Rumah Sakit dan PUSKESMAS. 1. 2. 1. Pembentukan kader warga peduli lingkungan di setiap kelurahan Pelatihan 3R bagi aparat pengelola persampahan Pelatihan Pengolahan sampah 3R bagi kader desa dan RT/RW Pengadaan keranjang sampah komposter (TAKAKURA) Pengadaan Stimulan KSM Komposting Pengadaan Gerobak Sampah berseka Pengadaan Gerobak Sampah bermotor bersekat Pengadaan Mobil Pick Up Sampah Pengadaan Insentif Bagi Masyarakat yang Melakukan 3R Pembangunan TPS Pengadaan Alat angkut stasiun Antara dan TPA Tabel 2.22. Kerangka Kerja Logis Drainase Permasalahan Mendesak 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penurunan kinerja saluran drainase karena kerusakan dan sedimentasi. Adanya masalah genangan yang disebabkan penurunan kapasitas penampang saluran akibat sedimentasi dan sampah. Masih lemahnya koordinasi dalam pembagian kewenangan dalam pengelolaan sarana dan prasarana drainase antar instansi yang terkait. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sarana dan prasarana drainase. Alokasi dana yang cukup minim untuk pengelolaan sarana dan prasarana drainase Belum adanya Penyusunan Perda Drainase Tujuan Sasaran Tersedia dan terpeliharanya sarana drainase yang melibatkan masyarakat dalam pemeliharaannya - - Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kabupaten untuk Tersedianya alokasi anggaran rutin untuk perawatan drainase dari APBD serta dukungan pendanaan dari luar APBD Strategi - - Tidak ada lagi drainase lingkungan yang berfungsi sebagai TPS serta, terprogramnya kegiatan swakelola dan pemeliharaan drainase oleh masyarakat Peningkatan cakupan basis data genangan dari 12% menjadi 100% - Kurang terpeliharanya drainase dan berkurangnya tingkat genangan Program Mengusulkan alternatif a. pendanaan dari pusat dengan mempersiapkan sharing budget Mengusulkan secara tetap ke dalam RKA APBD dari SKPD terkait untuk pembiayaan pemeliharaan drainase Revitalisasi tupoksi di b. Dinas PU & Perumahan untuk pemeliharaan drainase yang berbasiskan masyarakat Melakukan Sosialisasi, kampanye dan pendampingan mengenai pemeliharaan drainase ke masyarakat - Meningkatnya akses layanan drainase bagi masyarakat di lingkungannya - Kegiatan Pembuatan Master Plan Drainase (Kec. Kota Atambua, Kec. Atambua Selatan dan Kec. Atambua Barat) - Pembangunan Saluran dan GorongGorong Drainase Primer, Drainase Seknder, dan Drainase Tersier/ lingkungan (Kota Atambua, Tenukiik, Manumutin, Fatubenao, Manuaman, Rinbesi, Lidak, Fatukbot, Berdao, Tulamalae, Umanen, Beirafu) Peningkatan sarana dan prasarana sistem pembangunan saluran drainase - - - - - Review Master Plan Drainase Penyusunan Data Base Sistem Drainase Kota/Kawasan Pembangunan Saluran Drainase Primer, Sekunder dan Tersier/ lingkungan Rehabilitasi Saluran Drainase Primer, Sekunder dan Tresier/ lingkungan Pemeliharaan Saluran Drainase Primer, Sekunder, dan Tersier/ lingkungan Pembangunan saluran drainase induk/primer Operasional dan pemeliharaan saluran drainase pengendalian kawasan resapan di daerah hulu sungai. Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air. Tabel 2.23. Kerangka Kerja Logis PHBS Permasalahan Mendesak Tujuan Mengubah perilaku 1. Sebagian besar masyarakat untuk masyarakat belum melakukan cuci tangan menerapkan pola hidup pakai sabun terutama bersih dan sehat secara mandiri agar mengurangi pada 5 waktu penting. angka kesakitan penyakit 2. Masih sangat berbasis lingkungan Sasaran Strategi Peningkatan praktik CTPS di masyarakat dari 4,5% menjadi 50% pada tahun 2018 - Sosialisasi/penyuluhan pada masyarakat tentang pentingnya CTPS - Meningkatkan promosi CTPS melalui media cetak, radio dan televisi lokal - Memasukkan peraturan mengenai kewajiban kepada setiap pengelola tempat umum untuk menyediakan sarana CTPS sebagai persyaratan pengajuan izin atau rekomendasi usaha. rendahnya pemahaman tentang PHBS di masyarakat perdesaan. 3. Masih tingginya angka BABs di masyarakat perdesaan Program a. Kegiatan Peningkatan Kesadaran Masyarakat untuk ber-PHBS - Sosialisasi/penyuluhan pada masyarakat desa dan masyarakat sekolah (PAUD, TK, & SD) tentang pentingnya CTPS. Pelatihan bagi guru UKS Sekolah Dasar tentang PHBS - Memasukkan pendidikan Penurunan angka BABS dari 52,88% menjadi bebas BABS di tahun 2018 tentang CTPS ke dalam kurikulum sekolah dasar - Advokasi kepada pengambil b. keputusan tingkat kecamatan dan desa tentang STBM - Menambah sarana dan prasarana air bersih untuk mendukung peningkatan sarana sanitasi (jamban sehat). - Memasukkan pendidikan tentang dampak buruk BABs ke dalam kurikuluom sekolah dasar. Pengembangan Lingkungan Sehat : (desa Fatuketi, Tulakadi, Bauho, Halimodok, Naekasa, Kenebibi, Silawan, Sadi, Manleten, Fatubaa, Tialai, Tohe, Fulur, Fohoeka) 1. Melakukan Fokus Group Diskusi (FGD) tentang Lingkungan Sehat bagi masyarakat pedesaan. 2. Melakukan pemicuan STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). 3. Melakukan dampingan kepada puskesmas untuk pembentukan desa/kelurahan binaan bebas BABs 4. Kegiatan studi EHRA di 56 Desa dan Kelurahan yang belum disurvei dalam Buku Putih Sanitasi 2013. Menurunkan angka kesakitan ISPA dan malaria - Melakukan program-program kesehatan yang bersifat preventif - Kampanye publik mengenai pencegahan penyakit ISPA dan malaria. c. d. e. Penyediaan Sarana Fisik untuk mendukung PHBS Peningkatan peran serta masyarakat dalam PHBS Sanitasi Sekolah - - Pembangunan Sarana Air bersih dan Sanitasi di lingkungan Sekolah baik itu PAUD, TK, SD, SMP Pembangunan Jamban/ Toilet, Pembangunan sarana CTPS, Penyediaan sarana pembuangan sampah (Tong sampah dan TPS u/ Sekolah