BAB 3 ELEMEN-ELEMEN TEATER K arena teater cenderung merupakan cakupan semua jenis seni pertunjukan, maka semua elemen seni pertunjukan adalah juga elemen teater. Hanya saja karena penekanannya pada lakon, laku, karakter, peristiwa dan belakangan pada visualisasi, membuat harga masing-masing elemen itu mendapat tempat tersendiri pada teater. Jadi semua pakem dan estetika yang ada pada seluruh cabang seni pertunjukan yang lain, juga berlaku pada teater dan dapat diaplikasikan pada teater. Hanya saja gradasinya yang berbeda-beda. Di samping itu, karena teater sendiri sudah mulai berkembang luas dalam berbagai jenis, aliran, bentuk, dan bahkan ideologi, maka bentuk-bentuk penekanannya juga akan lain. Fungsi psikologi dalam teater realis yang mengutamakan karakter menjadi sangat penting. Tetapi pada teater-teater lain seperti teater ab­surd, teater tubuh atau teater raga dan juga teater seni rupa, fungsi psikologi sama sekali tidak terpakai. Yang diutamakan adalah tubuh, tenaga dan emosi namun tidak terkait dengan kejiwaan. Apa yang disebut motivasi di dalam sebuah akting realis, tidak lagi menjadi perhatian yang utama pada teater visual. Kalaupun ada, motivasi 88 — TEATER yang berfungsi sebagai penggerak dan yang mengarahkan laku itu, tidak lagi dicari pada sebab-akibat dan unsur kejiwaan, tetapi kepada rupa yang hendak dicapai. Posisi aktor bukan lagi sebagai seorang primadona, karena yang terpenting adalah rupa. Seperti di dalam lukisan abstrak, bentuk tidak lagi penting, cat adalah cat, warna hanyalah warna. Teater bukan hendak meniru, tapi lebih pada membangun sebuah imajinasi pada penonton. Karena tujuan teater sudah berbeda-beda, maka arti sebuah elemen dan pengertian mengenai elemen-elemen itu sendiri pun pada masingmasing teater sudah ada perbedaan. Barangkali yang masih sama-sama dipertahankan adalah teater sebagai narasi atau teater sebagai ekspresi. Beberapa peraturan yang sudah menjadi umum berlaku pada seni pertunjukan, juga tak selamanya menjadi peraturan umum dalam teater. Penonton, misalnya dalam seni pertunjukan adalah pihak yang tidak boleh disentuh, tetapi teater justru menembus batas itu dengan apa yang disebut anti teater. 3.1 Ruang dan Waktu Di dalam batasan Aristoteles, teater memiliki satu kesatuan tempat, waktu dan peristiwa. Batasan tersebut kini bukan saja tidak diperhatikan lagi, tetapi hanya menjadi sebuah referensi saja. Itulah yang membedakan antara teater dan kehidupan sehari-hari. Teater adalah penceritaan sebuah kisah yang panjang tetapi dilakukan pada satu kesatuan dalam sebuah tempat, ruang dan waktu. Itulah sebabnya sebuah cerita yang sebenarnya berlangsung selama bertahun-tahun, digulirkan hanya dalam waktu beberapa jam. Semuanya dipadatkan, singkat, disatukan dan dipertunjukkan dalam satu tempat, waktu dan ruang. Pementasan menjadi sangat praktis. Penulis lakon harus menjadi seorang yang lihai dalam meracik, menjalin sedemikian rupa kisah-kisah panjang itu untuk menjadi sebuah tontonan dengan durasi terbatas. Keahlian tersebut membedakan ia dengan pengarang biasa. Karena hanya orang yang memiliki kepekaan teater yang akan dapat menyingkat kisahkisah panjang tanpa kehilangan pesonanya. Kini teater hampir-hampir tidak punya batasan lagi. Seakan-akan semuanya terbuka. Kemajuan teknologi, penemuan idiom-idiom teater yang baru, atau penggalian-penggalian idiom dari tradisi, termasuk perkembangan daya apresiasi penonton dalam mengikuti pencapaianpencapaian dalam seni pertunjukan, menyebabkan batasan-batasan yang ELEMEN-ELEMEN TEATER — 89 semula dianggap sebagai pakem, sudah dianggap kedaluwarsa dan tidak difungsikan lagi. Layar misalnya, memiliki sejarah tersendiri sebelum menjadi bagian dari sebuah pertunjukan. Layar atau tirai di atas panggung yang dapat diangkat atau diturunkan, dapat menjadi sebuah tanda dimulai dan ditutupnya sebuah babak atau pertunjukan. Layar memiliki fungsi yang penting sebagai setting untuk ilusi sebuah peristiwa pada suatu tempat dan waktu yang berbeda. Karena itu panggung selalu menganggap layar adalah bagian kelengkapan dari pertunjukan. Tetapi kini, layar tidak difungsikan lagi sebagaimana biasanya. Bahkan ada yang ditanggalkan sama sekali, meskipun masih ada yang terus mempertahankannya sebagai bagian yang penting untuk memisahkan tempat, waktu, dan peristiwa. Pembagian babak, set dekor, properti dan sebagainya, dulu keber­ada­ an­nya dianggap sebagai suatu kemajuan, lalu berubah menjadi keharusan. Karena hal-hal itu akan lebih membangkitkan empati, serta mendekatkan kepada sebuah kenyataan. Tetapi kini empati, keyakinan dan pendekatan pada kenyataan telah dilakukan dengan cara yang berbeda. Tidak lagi secara fisikal tetapi dalam bentuk spiritual. Seorang yang ingin menokohkan seorang tuan putri, tak perlu lagi me­makai mahkota cukup dengan meyakini dirinya sebagai seorang tuan putri. Kostum yang dipakai pun bukan lagi menjadi hambatan dalam sebuah pementasan. Hal itu bisa terjadi, karena penonton perlahan-lahan terlatih dengan idiom-idiom pengucapan dalam teater yang baru. Dulu set dekor membantu imajinasi penonton dalam memindahkan peristiwa ke tempat yang lain. Tetapi karena tuntutan kepraktisan, set dekor diganti dengan fungsi lampu. Set diubah dengan cara penataan cahaya, cahaya menjadi ”lukisan” dan posisi penempatan boks serta level yang sederhana dan praktis untuk mengubah suasana. Akibatnya, kalau ada pertunjukan yang bersusah-payah menyuguhkan set yang komplit, apresiasi penonton yang sudah berkembang, akan menganggap itu kuno. Waktu, di dalam teater juga sudah mengalami distorsi. Drama se­ ja­rah yang dahulu dipertunjukkan dengan cara mengembalikan ingatan penonton ke masa lalu, kini menjadi terbalik dengan menjadikan masa lalu sebagai masa kini. Misalnya cerita Malin Kundang atau Siti Nurbaya tidak lagi dimainkan sebagai sebuah cerita masa lampau tetapi diubah menjadi sebuah cerita masa kini. Bengkel Teater memainkan karya Shakespeare Hamlet dan Machbet sebagai sebuah ketoprak. Teguh Karya dengan Teater Populer menampilkan Machbet dengan kostum Batak. 90 — TEATER a c b d e Gbr. 3-01 a-e: Panggung pertunjukan dilihat dari sisi layar dan background bermacam-macam. (a) Pemanggungan drama-tari dengan suatu bentuk abstrak (gulungan kain yang digantung) sebagai latar belakang panggung, (b) Pertunjukan drama realis di Bandung: latar hitam polos paling banyak dipergunakan dalam pemanggunggan sekarang, (c) Pertunjukan janger di Banyuwangi menggunakan layar-depan dan backdrop (layar belakang) bergambar yang diganti-ganti sesuai dengan adegannya, (d) pertunjukan di gedung pusat perbelanjaan, yang ditata dengan latar-belakang nama lembaga atau forum yang mengadakannya, (e) Panggung sendratari Ramayana di Prambanan yang permanen, dan terbuka, pemain musik menjadi bagian dari latar belakangnya. ELEMEN-ELEMEN TEATER — 91 3.2 Tubuh dan Gerak Tubuh adalah bagian yang sangat penting dalam teater. Dengan tubuhlah se­orang pemain berekspresi dan berkomunikasi lewat suara. Dengan demikian tubuh menjadi alat yang utama. Di dalam drama radio, gerakan tubuh tidak nampak, tetapi lewat suaranya, pendengar dapat membayangkan bagaimana gaya dan bentuk tubuh si pelaku. Bahkan seringkali tanpa melihat sosoknya, bentuk tubuh itu akan semakin jelas di dalam penangkapan pendengar. Melukiskan orang cantik misalnya. Dalam sebuah drama radio, imajinasi masing-masing pendengar akan menciptakan kecantikan yang berbeda-beda, namun semuanya akan setuju bahwa tokoh itu cantik meskipun belum melihat wujud aslinya. Dalam kenyataan, seorang pemain wanita cantik yang bermain sebagai sosok wanita cantik belum tentu dianggap cantik oleh penonton yang memiliki selera berbeda. Contoh yang lain lagi dalam sebuah adegan yang seram. Peran hantu di dalam drama radio bisa lebih menakutkan daripada akting hantu di atas pentas. Imajinasi yang dibangun pendengar menolong peran hantu itu menjadi hantu yang paling seram. Dengan begitu sebenarnya ada dua tubuh yang dapat dipakai da­ lam pementasan: tubuh pemain sebenarnya, dan tubuh pemain yang ada di dalam pikiran penonton. Seorang pemain yang dianggap berhasil, ada­lah pemain yang mampu mempergunakan kedua tubuh itu dalam mengekspresikan peran yang dibawakannya. Untuk mencapai tingkatan itu, seorang pemain di samping me­ma­ hami kelemahan dan kekuatan tubuhnya, juga harus “mengasah” tubuhnya untuk dapat mempergunakan dan “mengolah” secara leluasa “kedua” tubuh tersebut. Ia harus melatih kebugaran, stamina dan plastisitas tu­ buh­nya. Gerakan tubuhnya harus mampu mewakili/menggambarkan sebuah pembicaraan. Dengan demikian maka bahasa geraknya akan kaya, terampil dan efektif. Melakukan senam, latihan pernafasan, menari bahkan ilmu bela diri akan membantu seorang pemain untuk memanfaatkan tubuhnya dengan maksimal. Di samping itu ia juga harus mengolah rasa, agar hubungan saraf-saraf di seluruh tubuhnya selaras dengan gerak batinnya. Selain itu seorang pemain harus tekun melatih kepekaan dan kemampuan daya ingat, mampu berkonsentrasi, melakukan pengamatan dalam aspek sosial juga aspek budaya, mampu berimajinasi serta berekspresi. Bila rasa dan raga sudah klop, pemain akan dengan mudahnya mengeskpresikan diri orang lain melalui dirinya sendiri. Gerak-gerik panggung, isyarat-isyarat tangan yang disebut gesture, 92 — TEATER langkah, mimik muka, lirikan mata, gerakan mulut dan sebagainya semua berbeda bila di atas panggung dan di dalam kenyataan. Gerakan seorang pemain di atas panggung harus meyakinkan dan dapat ditangkap maknanya oleh semua penonton, karena ada jarak dengan penonton. Posisi tempat duduk penonton juga dapat membuat sudut pandang penonton berbeda sehingga seorang pemain harus dapat memproyeksikan semua gerakan aktingnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan porsinya, tepat, dan pas, tidak kurang (under acting) dan tidak berlebihan (over acting). Di dalam teater tubuh, tubuh merupakan sebuah alat untuk memproyeksikan tujuan, tubuh bergerak dan menjadi alur cerita itu sendiri. Dalam hal ini tubuh seorang pemain harus mampu untuk menggambarkan bukan hanya gerak sehari-hari, tetapi juga mampu membahasakan dan menerjemahkan apa yang semula hanya bisa diutarakan dengan kata-kata. Berbeda dengan penari yang sudah mengikuti suatu koreografi tertentu dan yang sudah terpola, tubuh seorang pemain dalam teater bergerak dan bertindak penuh dengan improvisasi. Sebagai alat berekspresi, bahasa tubuh bisa lebih afdol dalam me­ nyampaikan emosi dan melakukan berbagai ekspresi rasa. Dengan gerakan tubuh, seorang pemain dapat melukiskan bahwa ia sedang bahagia, sedih, menyerah, putus asa dan sebagainya lebih dari apa yang bisa diutarakan dengan kata-kata. Karena kemampuan tubuh itu luar biasa, teater bukan hanya meru­ pakan rimba dalam kata-kata tetapi juga rimba dalam bahasa tubuh. Untuk itu seorang pemain harus benar-benar memahami dan kemudian melatih tubuhnya untuk dapat menjadi sebuah bahasa. Bukan hanya bahasanya sendiri, tetapi bahasa yang dikenal dan dimengerti oleh penonton. Untuk melukiskan orang yang sedang merasa pusing sudah biasa dilakukan dengan cara memegang kepala. Kalau cara seperti itu dilakukan lagi dalam sebuah akting, akan menjadi klise. Seorang pemain sebaiknya mencari jalan lain bagaimana cara untuk membahasakan pusing itu dengan tubuhnya. Misalnya ia hanya berdiam diri sementara orang lain bergerak, atau dia bergerak-gerak terus sementara orang lain diam. Walaupun tanpa memegang kepalanya sama sekali, penonton akan segera tahu kalau tokoh tersebut ada masalah. Kalau penonton sudah mengerti sampai demikian jauh, dengan memainkan lagi satu informasi kecil, maka penonton akan paham orang itu lebih dari pusing. Tubuh manusia pada hakekatnya sama, tetapi pada kenyataannya berbeda. Setiap tubuh memiliki kekurangan dan kelebihan. Bagi se­ orang pemain yang memiliki kelebihan-kelebihan, dia harus membuat kelebihannya itu dapat difungsikan semaksimal mungkin, tidak tercecer ELEMEN-ELEMEN TEATER — 93 dan juga tidak mubazir atau terobral. Sedangkan bagi seorang pemain yang memiliki kelemahan dia harus dapat memanfaatkan kelemahan tersebut menjadi sebuah kelebihan. Untuk mencapai semua itu diperlukan latihan-latihan, juga pe­ngarahan seorang sutradara. Seorang sutradara yang baik, paham bagaimana menempatkan posisi seorang pemain dengan tepat. Namun pemain sendiri juga adalah sutradara di dalam dirinya sendiri yang harus dapat mengolah dirinya, sehingga mampu mengangkat perannya lebih lebih cemerlang dan berkualitas. a d g b e c f Gbr. 3-02 a-g: Olah tubuh merupakan latihan sangat penting bagi pemain teater, agar tubuh mampu ”berbicara” sesuai dengan bahasa-tubuhnya sendiri, sehingga gerak-gerak yang mucul ketika pertunjukan terasa pas, wajar, tidak berlebihan maupun berkekurangan: (a) latihan gerak dari suatu workshop teater; (b-c) Suprapto Suryodarmo (berlutut, berbaring) dari Surakarta melatih tubuh untuk bisa mengikuti getaran ruang-waktu; (d-g) ekspresi tubuh dari dua aktor seni tradisional banjet dari Jawa Barat. 94 — TEATER 3.3 Suara Di dalam teater suara yang disebut dengan istilah vokal, sama pentingnya dengan tubuh. Suara adalah bagian dari tubuh makna, selain tubuh seorang pemain. Sebagai bagian dari tubuh makna, suara tidak ubahnya seperti tubuh, dapat dilatih, diolah, dan dibentuk untuk mendapat kualitas yang diinginkan. Hal ini sudah diuraikan di atas. Suara, dapat diumpamakan de­ ngan rimba yang penuh dengan kemungkinan, tetapi baru dapat diper­guna­ kan apabila pemain mencari dan menemukan kekuatan suaranya sendiri. Dengan usaha yang tekun dan latihan-latihan yang terus-menerus, seperti juga tubuh, kebugaran, keterampilan dan kemampuan, suara dapat dibentuk lalu diolah dan diatur disesuaikan dengan kebutuhan. Orang yang sebelumnya tidak bisa menyanyi, dapat dilatih untuk menyanyi, meskipun tidak untuk menjadi seorang penyanyi. Suara-suara palsu, hasil tiruan atau kebiasaan di dalam berbicara, akan dapat diubah atau dihapuskan. Bila dilatih secara teratur, pita suara dapat dikembangkan sehingga mencapai kemampuan maksimalnya. Tinggi rendah suara, besar-kecil, cepat lambat, kemampuan melafal­ kan kata dengan baik, serta semua masalah-masalah teknis, adalah urusan pelatihan. Bila mulut terlatih untuk dibuka dan terbiasa mengucap dengan sempurna, maka dalam keadaan yang bagaimanapun, kata-kata tetap akan terdengar baik. Dalam kemarahan, waktu berbicara sangat cepat, atau saat menangis, kata-kata yang diucapkan masih akan terdengar dengan baik. Itu dapat menjelaskan juga bahwa suara itu bisa menjadi kembar, yaitu suara yang terdengar dan suara yang didengar oleh penonton. Se­orang pemain harus mampu mengatur gerakan mulut dengan benar untuk memperoleh kualitas suara yang bagus. Bila cara seorang pemain dalam menggerakkan mulutnya sudah tepat, maka kualitas suara yang dihasilkannya dapat menyaingi bunyi-bunyian lain, namun akan tetap sampai pada penonton. Ini bisa terjadi karena imajinasi penonton sendiri sudah bergerak dalam menciptakan suara melalui gerak mulut dari pemain. Begitu juga ketika pemain membelakangi penonton dan mengatakan sesuatu, bahasa gerak tubuh akan dapat membantu menyampaikan apa yang dikatakannya. Jadi masalah yang harus dimahirkan oleh pemain, adalah bagaimana melatih sebuah sinkronisasi yang baik antara bahasa tubuh dan vokal. Bila kerjasama ini sudah dapat terpadu, seorang pemain akan dengan mudah menyampaikan semua hal yang ingin dilakukannya dalam setiap kondisi. baik ataupun buruk. Latihan-latihan untuk mencapai kualitas vokal yang baik dapat ditempuh dengan berbagai cara. Tehnik untuk melatih vokal ada ber­ ELEMEN-ELEMEN TEATER — 95 macam-macam, tapi yang perlu dicermati adalah tehnik pelatihan vokal secara tradisional dan yang modern. Pelatihan vokal secara tradisional bertujuan untuk memperoleh jenis vokal yang berat, dalam dan berisi sehingga memiliki daya pukau. Tetapi karena teater tradisional adalah teater yang cenderung pada stilisasi, maka vokal yang dibentuk cenderung jenis vokal yang teateral. Olah vokal dalam teater modern lebih dikonsentrasikan dalam mene­ mukan suara yang mantap, dengan basis yang realis. Latihan dilakukan bukan untuk pencapaian kualitas suara yang dapat menaklukkan ruangan di tempat terbuka, melainkan untuk mencari jenis suara yang faham dan sesuai dengan ruang yang sudah didandani atau diset. Dengan bantuan teknologi, suara dapat dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga agenda untuk latihan vokal jadi lebih singkat yang membuat sedikit perubahan dalam waktu. Dasar-dasar tertentu dari sebuah teknik pelatihan vokal hampir sama. Semuanya bermula dari pernafasan. Ada pernafasan perut, per­ nafasan dada dan sebagainya. Semua teknik pembelajaran untuk melatih vokal dapat dipakai, dan dimanfaatkan, tetapi jangan sampai menjadi sebuah tujuan yang utama. Karena kalau latihan-latihan itu berubah posisi menjadi yang utama, maka segi kewajarannya akan hilang. Suara memang bagus, tetapi yang melihat dan mendengar akan merasa kehilangan halhal yang wajar. Tujuan dari olah vokal, seperti juga olah tubuh, adalah untuk mem­ buat suara mampu ”menggigit,” memukau dan mempesona penonton dalam sebuah pertunjukan. Untuk itu berbagai daya-upaya yang cocok akan dicari dan digunakan untuk melengkapi kebutuhan yang sedang dihadapi, serta dapat dimanfaatkan. Gbr.3-03: Latihan suara bertujuan untuk mampu memproduksi kualitas maksimal seperti yang diharapkan: artikulasi, timber, keraslembutnya, dll. Karena suara tak terlepas dari gerak, keduanya harus saling mendukung. 96 — TEATER a b c Gbr. 3-04a,b: Pertunjukan teater umumnya menyatukan gerak vokal, maupun bunyi-bunyian lain, seperti (a) pertunjukan operet oleh pelajar di Bandung dan (b) Tari saman dari Aceh, (c) Teater-instalasi dengan main angklung dari para siswa Madrasah Aliyah Negeri di Cipasung, Tasikmalaya. 3.4 Rasa dan Jiwa Di samping tubuh dan suara, yang menjadi alat utama bagi seorang pemain adalah rasa dan juga jiwa. Betapa pun sempurnanya raga dan suara, apabila rasa dan jiwa tidak terolah secara benar, tidak akan mungkin melahirkan pemain yang baik Seorang pemain yang mampu mengolah rasa, berarti juga bisa be­ bas melepaskan diri dari ikatan sebuah rasa. Ia dapat memisahkan antara rasanya secara pribadi dengan rasa peran yang dimainkannya. Apabila ia mampu menghidupkan dua jenis rasa itu di dalam dirinya, ia tidak ubahnya seperti seorang dalang yang dapat memainkan peran apa saja. Bah­kan bukan hanya satu, tapi berbagai peran dapat dimainkannya secara berbarengan. ELEMEN-ELEMEN TEATER — 97 Dalang adalah seorang aktor yang komplit. Ia dapat memainkan seluruh peran yang ada di dalam lakon dengan hanya sendirian. Dari peran yang satu ia berpindah ke peran yang lain, tanpa melupakan apa yang sudah dilakukannya pada peran sebelumnya. Sehingga kalau ia kem­bali kepada peran sebelumnya ia tetap dapat membuat peran itu berkesinambungan. Kedahsyatan seorang dalang adalah apabila ia mampu untuk meng­ giring pikiran dan rasa penonton seakan-akan mereka sedang menghadapi percakapan dengan banyak orang. Penonton bisa dibuat lupa bahwa seluruh percakapan itu hanya diucapkan oleh satu mulut saja. Citra dalang ini sebenarnya ada pada setiap pemain. Hanya saja kalau dalang hanya mempergunakan suaranya, maka seorang pemain dapat mempergunakan tubuh dan suaranya. Dan bila dalang memainkan semua peran, pemain hanya memainkan satu peran. Semua itu dapat terjadi karena kekuatan rasa. Dengan rasa itu pula, seorang pemain meskipun sedang masuk ke dalam sebuah peran, ia tetap mampu berada dalam posisi mengendalian diri. Bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia dengan cepat bisa tanggap dan melakukan improvisasi sehingga semuanya dapat berjalan kembali dengan normal. Rasa juga akan membuat seorang pemain berbeda dengan orang yang kerasukan atau kemasukan. Dengan rasa, seorang pemain tetap selalu di bawah kontrol, di bawah kendali benang merah yang telah ditetapkan sutradara. Rasa berubah-ubah, tetapi citra rasa itu menetap sebagai pengalam­ an, pengetahuan dan kekayaan batin. Semakin matang seorang pemain, semakin tajam rasanya membangun wirasa. Apabila ia sudah matang, dengan sangat mudah, seperti seorang dalang, ia akan mampu bermain dengan karakter apa pun yang menjadi tugasnya. Semuanya itu mungkin tidak terjadi dengan sendirinya, bila jiwa dari pemain tidak diperhatikan pertumbuhannya. Mengolah rasa, ke­ mung­kinan besar akan mempengaruhi jiwa. Jiwa seseorang yang sedang bertumbuh dapat dikuasai oleh rasa-rasa tertentu, sehingga pemain di dalam prosesnya menjadi seorang “dalang” dapat berhenti pada satu pen­ capaian. Apabila di sana ia merasa sudah sangat nyaman, maka dia akan menghentikan usahanya dalam membangun tingkat kemaksimalan wirasa yang dimilikinya. Seorang pemain dapat berhenti berkembang. Ia menjadi klise pa­da dirinya sendiri. Ia menjadi stereotip. Kadangkala, kehidupan di luar panggung juga akan sangat mempengaruhinya, sehingga apa yang dimainkannya di atas panggung dan yang dilakukannya dalam ke­ 98 — TEATER hidupannya sehari-hari akan membentuk (membangun) sebuah gaya yang sama. Pemain seperti ini tidak akan pernah menjadi seorang ”dalang,” tetapi dia akan menjadi spesialis. Menjadi seorang penjahat, orang culas, atau jadi orang alim dan sebagainya. Seorang pemain dengan demikian, di samping mengembangkan dan menyelaraskan rasanya agar dapat selalu kreatif, ia juga harus memupuk perkembangan jiwanya. Itu dapat dilakukan dengan membuka diri, belajar, menganalisis, dan bisa menyimpulkan serta banyak bertanya. Dan yang terpenting, dapat memisahkan dengan jelas kehidupan di atas panggung dan kehidupannya sehari-hari sebagai masyarakat sosial. Seorang pemain yang sehat jiwanya, selaras rasanya, serta terolah tubuh dan suaranya, bisa diibaratkan hanya tinggal menunggu peran yang baik. Dan bila dia menemukan seorang sutradara yang tepat maka dia juga bisa dibentuk menjadi seorang pemain yang hebat. Gbr. 3-05: Dalang wayang harus mampu mentransformasikan rasa dan jiwa pada wayangwayangnya untuk bisa ”hidup.”. a b c Gbr. 3-06 a,b,c: Seorang pemain teater menghidupkan perannya melalui kesatuan ekspresi seluruh tubuh, sehingga yang ”ilusif” menjadi ”nyata,” yang ”pura-pura” menjadi ”benar,” baik untuk ungkapan yang keras maupun yang lembut. (a) seorang pemeran lucugalak dalam pertunjukan banjet, (b) penyanyi-penutur dalam kesenian tarawangsa dari Cibalong, Jawa Barat.dengan penuh rasa dan jiwa, (c) adegan dari pertunjukan teater Mandiri di Jakarta