Siswa Rizali - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
Catatan kegagalan program stabilisasi moneter
Indonesia
Oleh: Siswa Rizali (Pengamat perbankan)
Bisnis Indonesia : 27 September 2001
JAKARTA: Nilai tukar rupiah kembali jatuh menembus Rp9500 per US$ dan inflasi tetap
mengancam stabilitas moneter. Sedangkan Bank Indonesia mempertahankan tingkat
bunga SBI, meskipun otoritas moneter negara lain-seperti Federal Reserve of US, Bank
Sentral Jepang, dan Bank Sentral Eropa-sudah menurunkan suku bunga untuk
mengantisipasi ancaman resesi global sebagai dampak kehancuran WTC.
Di setiap saat terjadi peningkatan ketidakstabilan moneter, pejabat pemerintah selalu
menemukan alasan bahwa semua itu di luar kendali otoritas moneter, yaitu BI. Di lain
pihak, para pelaku pasar cenderung menyalahkan BI karena bank sentral dipandang
melaksanakan kebijakan uang ketat (tight money policy) dengan cara menaikkan suku
bunga SBI. Kenaikan suku bunga SBI selanjutnya akan berdampak negatif terhadap
kegiatan produksi nasional, sedangkan stabilitas moneter-baik nilai tukar maupun inflasi tak tercipta.
Salah Indikator
Dalam menganalisa kondisi moneter, para komentator dan ekonom Indonesia terpaku pada
perkembangan suku bunga nominal SBI. Suku bunga nominal adalah suku bunga yang
terjadi dari hasil interaksi permintaan dan penawaran dana di pasar uang. Bila suku bunga
nominal tinggi, maka disimpulkan BI sedang menjalankan TMP.
Sebaliknya, bila suku bunga nominal rendah, maka BI dianggap menerapkan 'kebijakan
uang longgar' (loose money policy). Padahal, suku bunga nominal tidak bisa digunakan
sebagai indikator kebijakan moneter.
Friedman (1968), setelah menjelaskan interaksi antara variabel suku bunga, jumlah uang
beredar dan inflasi, menyimpulkan "...they explain why interest rates are such a
misleading indicator of whether monetary policy is 'tight' or 'easy'." Friedman menegaskan
"it is better to look at the rate of the change in the quantity of money" untuk mengukur
situasi kebijakan moneter. Milton Friedman adalah seorang ekonom dari faham moneteris
yang meraih hadiah nobel ekonomi ditahun 1976.
Memang benar di negara maju, instrumen kebijakan moneter adalah suku bunga. Presiden
Federal Reserve Bank of Philadelphia Anthony Santomero menyatakan "...monetary
policy today is an interest rate policy." Namun, selanjutnya Santomero menjelaskan
bahwa kebijakan suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga riil jangka panjang.
Dalam kalimat Santomero kebijakan moneter "...is essentially an exercise in assessing
where we have set the real (interest) rate relative to that long - run equilibrium path." Suku
bunga riil didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi dengan ekspektasi inflasi.
Singkatnya, ada dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengukur situasi
kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar (khususnya uang primer, M0) dan suku
bunga riil. Sedangkan suku bunga nominal hampir tidak mempunyai makna yang berarti
dalam analisa kebijakan moneter, bahkan bisa menyesatkan.
Evaluasi kebijakan
Sesuai penjelasan di atas, untuk mengevaluasi program stabilisasi moneter Indonesia sejak
tahun 1998, penulis akan menggunakan indikator pertumbuhan jumlah uang primer (M0)
dan suku bunga riil SBI. Target pertumbuhan M0 dalam program stabilisasi moneter ala
IMF hanya berkisar 8%-10% per tahun. Sedangkan BI di tahun 1997, 1998, 1999, dan
2000 melakukan ekspansi M0 masing-masing sebesar 34%, 63%, 35%, dan 23%.
Pada akhir Agustus 2001, pertumbuhan M0 tahunan mencapai 22%, atau dua kali lipat
target pertumbuhan M0 versi BI yang 11% untuk tahun 2001. Data pertumbuhan M0
jelas-jelas memperlihatkan bahwa BI tidak pernah melaksanakan kebijakan TMP ala IMF.
Khusus untuk tahun 1998, ternyata M0 tumbuh sangat cepat, mendahului kenaikan suku
bunga nominal SBI. Pertumbuhan M0 mencapai puncaknya pada bulan AgustusNovember 1998 yang rata-rata berkisar 115% per tahun.
Setelah M0 tumbuh dengan cepat, baru suku bunga nominal SBI menyusul naik mencapai
70% sepanjang Juli-September 1998. Meskipun suku bunga nominal SBI sangat tinggi,
sejalan dengan meningkatnya inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang, suku bunga
riil turun drastis dan menjadi negatif sepanjang tahun 1998 sampai awal 1999. Suku bunga
riil mencapai titik terendah, minus 30%, pada Desember 1998. Pertumbuhan uang yang
tinggi dan suku bunga riil negatif ini mengindikasikan kebijakan uang yang sangat longgar
(excessively loose monetary policy).
Pada tahun 1991, pelaksanaan kebijakan uang ketat ditandai oleh kenaikan suku bunga
nominal dan penurunan pertumbuhan uang beredar menjadi sekitar 5% per tahun.
Sedangkan suku bunga riil SBI naik mendekati 10%. Mencermati perkembangan
sepanjang tahun 1998, dapat diperkirakan bahwa kenaikan suku bunga SBI lebih
merupakan respon endogenus BI untuk mengantisipasi kenaikan inflasi akibat ekspansi
M0 yang sangat berlebihan.
Dalam kondisi seperti ini, suku bunga SBI tidak bisa menjadi indikator kebijakan uang
ketat, meskipun suku bunga SBI pada saat itu sempat hampir 3 kali lipat suku bunga SBI
pada awal 1991.
Sumber utama pertumbuhan M0 tersebut adalah peningkatan klaim bersih BI terhadap
sektor pemerintah, yang digunakan untuk membiayai progam restrukturisasi perbankan
dan pembiayaan defisit anggaran. Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI) memang
menjadi komponen utama ekspansi moneter pada masa itu. Bahkan BLBI disinyalir telah
digunakan untuk melakukan serangan spekulasi terhadap rupiah yang semakin
memperburuk stabilitas moneter.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa selama ini Indonesia tidak menerapkan program
stabilisasi ala IMF atau TMP. Bahkan sebaliknya, BI menerapkan kebijakan moneter yang
sangat longgar.
Baru setelah BI berhasil mengerem pertumbuhan BLBI di pertengahan 1999, pertumbuhan
uang melambat. Bahkan pada semester kedua 1999, pertumbuhan M0 tahunan rata-rata
hanya sekitar 13%, mendekati target yang ditetapkan IMF.
Keberhasilan pengendalian BLBI membuka peluang untuk penurunan suku bunga SBI
tanpa menimbulkan dampak negatif pada tingkat harga dan nilai tukar rupiah. Kebijakan
TMP tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan mantan Presiden Habibie dalam
memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu.
Ini lah paradoks kebijakan moneter. Bank sentral bisa menurunkan suku bunga nominal
bila melaksanakan kebijakan penawaran uang yang konsisten dengan pertumbuhan potensi
ekonomi, meskipun pada awalnya kebijakan tersebut cenderung menaikkan suku bunga
nominal.
Bila BI konsisten mengendalikan jumlah uang beredar sehingga inflasi menurun, suku
bunga nominal juga akan turun ke tingkat yang rendah. Dengan terbentuknya kredibilitas
BI dalam mengendalikan inflasi, suku bunga akan stabil pada tingkat yang rendah.
Kambing Hitam
Bila BI menerapkan kebijakan moneter yang sangat ekspansif, khususnya di tahun 1998,
lalu mengapa para ekonom dan pendapat popular umumnya menyatakan yang sebaliknya,
bahwa telah terjadi kegagalan penerapan TMP?
Ada dua kemungkinan. Pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan, para ekonom yang
menganalisa kondisi moneter pada saat itu telah menggunakan indikator yang salah, yaitu
suku bunga nominal, untuk mengukur situasi kebijakan moneter.
Kedua, para elit penguasa memerlukan kambing hitam untuk disalahkan atas kegagalan
program stabilisasi moneter yang dijalankan BI.
Dengan dukungan para pengamat dan ekonom, elit penguasa tersebut melakukan
propaganda menyalahkan lembaga asing yang bisa digambarkan sebagai 'kolonialisme
baru' (neo-colonialism). Jadilah seakan-akan IMF yang bertanggung jawab atas berbagai
kegagalan program kebijakan stabilisasi moneter ala BI.
Yang harus disadari BI lah yang harus bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan
moneter. Dan BI selama ini selalu tidak memenuhi target kebijakan moneter yang
ditetapkan dalam kesepakatan bersama Indonesia dan IMF.
Mengkambinghitamkan IMF tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia. Indonesia
sebenarnya memang tidak memerlukan IMF untuk menjalankan program stabilisasi
moneter, asal BI mempunyai program yang jelas dan secara konsisten menjalankan
program tersebut. Faktanya, program moneter dan disiplin yang tidak kita punyai.
Download