DISKUSI KASUS PENURUNAN KESADARAN DISUSUN OLEH: Kelompok H Ade Ilyas Mukmin 0906487682 Andhika Mangalaputra 0906507785 Danny Darmawan 0906507923 Davrina Rianda 0906507936 Rineke Twistixa 0906508466 Sheli Azalea 0906508516 Yashinta 0906640021 Narasumber: dr. Em Yunir, SpPD MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2013 BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn.Z Usia : 55 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Pekerjaan : Supir Pendidikan : SD Status : Sudah menikah Alamat : Jakarta Rekam Medis : 3862921 Tanggal berkunjung : 4 November 2013 II. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan anamnesis dengan istri pasien. Keluhan Utama Pingsan sejak 7 jam SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengaku dibawa ke RSCM karena pingsan 7 jam SMRS. Pingsan terjadi selama 10 menit, terjadi sebanyak 1x, pasien bangun sendiri setelah pingsan. Pasien awalnya merasa lemas saat bangun pagi (12 jam SMRS). Pasien makan roti dan the manis, keluhan membaik. Tidak terdapat riwayat kejang/pingsan sebelumnya. Pasien mengaku malam sebelumnya meminum obat untuk Diabetes Melitus (DM), yaitu glibenklamid. Sebelum minum obat, pasien hanya makan satu sendok nasi (kurang dari jumlah makan biasanya). Pasien didiagnosis DM 1 tahun SMRS dan rutin konsumsi metformin 1 x 500 mg, glibenclamid 2 x 5mg dari dokter. Saat itu, pasien merasakan banyak makan, banyak minum, banyak buang air kecil. Pasien tidak ada merasa baal di tangan dan kaki. Pasien tidak ada kelemahan sesisi badan. Pasien tidak ada kejang. Pasien tidak ada demam, riwayat trauma kepala sebelumnya. Sesak napas dirasakan 1 hari setelah di rumah sakit. Pasien kadang batuk tidak berdahak. Tidak ada mual dan muntah. Tekanan darah pasien tinggi sejak 7 bulan SMRS. Pasien minum amlodipin 1 kali sehari. Pasien dikatakan sakit jantung ddan ginjal sejak 1 tahun yang lalu. Berobat rutin di RS budi asih. Pasien pernah dirawat 4 hari di RSP untuk tranfusi darah 5 bulan SMRS. Sejak 2 tahun yang lalu mata kiri pasien buram, dikatakan katarak. Pasien berobat rutin di RSCM Kirana. Mata kanan pasien buram 1 tahun yang lalu, kedua mata pasien saat ini tidak dapat melihat, hanya bisa membedakan gelap terang. Saat ini pasien masih lemas, sadar dapat diajak bicara, tidak ada pingsan kembali selama perawatan. Pasien telah dilakukan hemodialisis inisiasi. Nafsu makan pasien saat ini masih kurang. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada alergi, TBC, hepatitis, dan penyakit ginjal sebelumnya. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada alergi, asma, DM, dan Hipertensi. Riwayat Sosial Pasien bekerja di pasar malam. Riwayat merokok 12 batang per hari 1,5 tahun yang lalu berhenti. Riwayat minum alkohol, NAPZA, dan free sex tidak ada. III. PEMERIKSAAN FISIS (Pemeriksaan fisis dilakukan pada 28 Oktober 2013) Kesadaran : Compos mentis Tekanan darah : 130/70 mmHg Nadi : 84 kali/menit Suhu : 36,7oC Pernapasan : 20 kali/menit Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Keadaan gizi : Overweight (23,4 kg/m2) Tinggi badan : 160 cm Berat badan : 60 kg Kulit : sawo matang, kering terutama di ekstremitas bawah Kepala : normocephal Rambut : tersebar merata, tidak mudah dicabut Mata : visus, light perception +/+, shadow -/+ Telinga : daun telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus negatif, nyeri tekan mastoid negatif. Hidung : Septum deviasi negatif. Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis. Gigi dan Mulut : Oral Hygiene baik Leher : trakea di tengah, KGB tidak membesar, JVP 5-2 cmH2O Jantung : - Inpeksi: simetris statis dan dinamis - Palpasi: vokal fremitus kanan sama dengan kiri - Perkusi: Sonor/Sonor - Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Abdomen: - Inspeksi: datar, lemas - Palpasi: hepatomegali dan splenomegali tidak ada - Perkusi: shifting dullness negatif - Auskultasi: Bising usus positif 3 kali/menit Ekstremitas: akral hangat, CRT<2 detik, pitting edema -/- IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Jenis Pemeriksaan 22 Oktober Nilai Rujukan Satuan 2013 DPL Hemoglobin 7,2 12,0 – 14,0 g/dL Hematokrit 21 40 – 48 % Eritrosit 2,51 4,5 – 5,5 10^6/µL MCV/VER 83,7 80,0 – 95,0 fL MCH/HER 20,7 27,0 – 31,0 pg MCHC/KHER 34,3 32,0 – 36,0 g/dL Leukosit 14.000 5.000 – 10.000 /µL Trombosit 200.000 150.000 – /µL 400.000 Diff count Basofil 0,7 0–1 % Eosinofil 1,2 1–3 % Netrofil 63,7 50 – 70 % Limfosit 22 20 – 40 % Monosit 9,6 2–8 % Hemostasis 22 Oktober 2013 Nilai Rujukan Satuan Pasien 12 9,8 – 12,6 Detik Kontrol 10,6 Jenis Pemeriksaan Masa protrombin (PT) Detik APTT Pasien 36,3 Kontrol 30,0 31,0 – 47,0 Detik Detik Kimia Klinik 22 Oktober 2013 Nilai Rujukan Satuan SGOT (AST) 64 <33 U/L SGPT (ALT) 90 <50 U/L Albumin 3,54 3,4–4,8 g/dL Trigliserida 160 <150 mg/dL Kolesterol Total 138 120–200 mg/dL Kolesterol HDL 30 >=40 mg/dL Kolesterol LDL 79 <100 mg/dL Jenis Pemeriksaan Elektrolit 22 Oktober Jenis Nilai Rujukan Satuan Pemeriksaan 2013 Natrium 138 132 – 147 mEq/L Kalium 3,76 3,3 – 5,40 mEq/L Klorida 98,7 94 – 111 mEq/L 22 Oktober Nilai Rujukan Satuan Analisis Gas Darah Jenis 2013 Pemeriksaan pH 7,424 7,35 – 7,45 mEq/L PCO2 37,9 35 - 46 mEq/L HCO3 25 21 - 25 mEq/L Imunoserologi 24 Oktober Jenis 2013 Pemeriksaan Anti HIV Non reaktif Anti HCV Non reaktif HBsAg Non reaktif Pemeriksaan Penunjang Lain EKG Sinus aritmia, QRS rate 130 bpm, p wave tidak ada, QRS 0,04 detik, ST-T changes negatif, LVH negatif, RVH negatif, BBB negatif. Foto Thorax AP - Kardiomegali - Infiltrat (-) USG abdomen Korteks ginjal menipis V. RINGKASAN Pasien laki-laki, 55 tahun, datang dengan keluhan pingsan sejak 7 jam SMRS, selama 10 menit, jumlah 1x. Pada malam sebelumnya, pasien meminum obat DM (metformin 1 x 500 mg dan glibenklamid 2 x 5 mg) dengan sebelumnya hanya makan satu sendok nasi. Pasien memiliki riwayat DM sejak 1 tahun lalu berobat teratur dengan metformin 1 x 500 mg dan glibenklamid 2 x 5 mg. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 7 bulan SMRS, berobat teratur dengan amlodipin. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan gizi overweight, light perception +/+, dan shadow test -/+. Pada pemeriksaan lab didapatkanHb 6,2 g/dL, hematokrit 17,4%, eritrosit 2,01x106/uL, eosinofil 3,9%, limfosit 13,7%, monosit 13,7%. Pada pemeriksaan toraks didapatkan kardiomegali. Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan korteks ginjal menipis. VI. DAFTAR MASALAH Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, maka daftar masalah pada pasien tersebut adalah : 1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemi, nefropati, katarak imatur 2. CKD stage 5 post inisiasi HD dengan anemia 3. Hipertensi grade I,terkontrol, dengan HHD VII. PENGKAJIAN MASALAH 1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, riwayat hipoglikemia, nefropati, katarak imatur Atas dasar: Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan utama pasien berupa pingsan sejak 7 jam SMRS. Pasien telah didiagnosis DM sejak 1 tahun SMRS dan rutin konsumsi metformin dan glibenklamid. Pada malam sebelumnya, pasien meminum glibenklamid namun hanya makan satu sendok nasi sebelum minum obat. Pingsan pada pasien diduga akibat kondisi hipoglikemia pada pasien. Pasien juga mengeluhkan adanya mata buram, berobat rutin di RSCM Kirana, dnegan diagnosis katarak. Komplikasi lain diabetes yang ditemukan adalah gangguan ginjal pada pasien. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi pasien overweight (IMT 23,4 kg/m2), light perception +/+, dan shadow test -/+. Pada pemeriksan laboratorium, didapatkan kadar ureum 139, kreatinin 16,3, GDS 113 mEq/L, dan HbA1C 3,87 mEq/L. Pada USG ginjal, didapatkan korteks ginjal menipis. Dipikirkan pada pasien terjadi DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, neuropati, nefropati, dan katarak imatur. Rencana diagnostik: GDS ulang per 24 jam, Ur/Cr ulang per 24 jam Rencana terapi: Diet DM 1890 kkal/hari, tatalaksana untuk ginjal sesuai dengan tatalaksana untuk masalah CKD Rencana edukasi: Memberikan edukasi mengenai pentingnya makan dengan porsi cukup sebelum meminum obat, agar tidak terjadi penurunan kesadaran kembali. 2. Chronic Kidney Disease Stage V Atas dasar: - Anamnesis: penyakit ginjal sejak 1 tahun yang lalu - Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 16,3, ureum 139, eGFR 3,1. - USG abdomen terdapat korteks ginjal menipis. Penyebab: dipikirkan komplikasi dari diabetes mellitus yang diketahui dialaminya sejak 1 tahun SMRS. Hipertensi dapat menjadi faktor yang memperberat terjadinya penyakit ginjal kronik. Rencana tata laksana: hemodialisis inisiasi, gizi seimbang kalori 30-35 kkal/kgBB/hari, dan tranfusi Packed Red Cell (PRC) target Hb 7 g/dL. 3. Hipertensi Grade I, terkontrol, dengan Hypertensive Heart Disease Atas dasar: Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 7 bulan SMRS, berobat rutin di RS Budi Asih dengan amlodipin 1x/hari. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah pasien 130/70 mmHg. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan kardimegali tanpa kelainan pada EKG. Dipikirkan pada pasien terjadi hipertensi essensial, terkontrol, dengan HHD. Rencana diagnostik: pemantauan tekanan darah Rencana terapi: amlodipin 1 x 10 mg Rencana edukasi: Konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga teratur paska perawatan, minum obat secara teratur. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.1 Derajat terendah kesadaran adalah koma, yaitu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi dengan kuat. Secara klinis, derajat kesadaran dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis. Gambar 1. Algoritma Penurunan Kesadaran2 Secara kualitatif, kesadaran dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu: 1. Kompos Mentis: sensorik utuh sepenuhnya dengan orientasi waktu, tampat, dan orang baik dan dapat berkomunikasi penuh. 2. Somnolen: jika distimulasi normal, pasien dapat sadar, namun akan kembali tertidur jika stimulus dihilangkan. Fungsi sensorik adekuat saat bangun. 3. Stupor/Sopor: Pasien tertidur, namun dapat terbangun dengan stimulus lebih kuat. Pasien dapat terbangun spontan, namun respon sensorik berkabut. Pasien masih dapat bergerak spontan dan dapat mengikuti beberapa perintah sederhana. 4. Koma dangkal: Pasien tidak merespon dengan stimulus verbal. Gerakan hanya muncul jika distimulus dengan nyeri. Pada pasien, refleks kornea dan pupil utuh. Pasien bernapas adekuat. 5. Koma dalam: Pada pasien, tidak terdapat gerakan atau siklus bangun secara spontan. Refleks negatif. Nafas terganggu dan tidak ada usaha untuk bernapas. A. ANATOMI KESADARAN1 Keadaan sadar ditentukan oleh dua komponen utama, yaitu formasio retikularis dan hemisfer serebral. Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain, dan talamus yang diproteksikan Korteks ke serebri korteks serebri. menentukan isi kesadaran. Sistem ini disebut dengan ascending reticular activating system (ARAS). Gambar 2. Anatomi Kesadaran1 B. ETIOLOGI GANGGUAN KESADARAN1,3 Gangguan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, yaitu: 1. Proses Difus dan Multifokal (Metabolik) a. Hipo/hiperglikemia b. Hepatic failure c. Renal failure d. Toksin (alkohol, obat-obatan) e. Infeksi f. Konkusio 2. Lesi Supratentorial a. Hemoragik : Ekstradural, subdural, intraserebral b. Infark : Emboli, trombotik c. Tumor : Primer, sekunder, abses 3. Lesi Infratentorial a. Hemoragik : Serebral, pontin b. Infark : Batang otak c. Tumor : Serebelum d. Abses : Serebelum Gambar 3. Etiologi Gangguan Kesadaran3 C. SINKOP2,4 Sinkop didefinisikan sebagai kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan. Hilangnya kesadaran ini dapat dipicu akibat penurunan aliran darah ke sistem ARAS dan membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektrik. Gambar 4. Patofisiologi Sinkop2 Penyebab sinkop dibagi menjadi enam kelompok utama: 1. Vaskular Penyebab vaskular untuk sinkop dapat berupa kelainan yang memicu kurangnya aliran darah ke otak. Hal ini termasuk kelainan anatomik (subclavian steal syndrome), ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia, dan induksi obat-obatan), dan refleks (hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, situasional, dan sinkop glossofaringeal). Hipotensi ortostatik Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit. Penurunan besar volume ke daerah abdomen dan ekstremitas bawah secara tiba-tiba akibat posisi berdiri menyebabkan penurunan volume darah balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Akibatnya, terjadi penurunan stimulasi pada aorta, karotis, dan baroreseptor kardiopulmonal yang akan berlanjut pada peningkatan refleks simpatis. Gejala yang dapat dirasakan yaitu kepala terasa ringan hingga sinkop. Terdapat pula obat-obatan yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, yaitu diuretik, alkohol, penghambat ACE, dan lain sebagainya. Sinkop yang dimediasi persarafan Beberapa sindrom yang berkaitan dengan sinkop termediasi refleks adalah hipersensitivitas sinus karotis, sinkop glossofaringeal, situasinal, serta sensitif terhadap adenosin. Refleks yang umumnya muncul akibat hipersensitivitas sinus karotis dan hipotensi dapat menyebabkan peningkatan aktivitas vagal dan umpan balik pada simpatis perifer. Akibatnya, terjadi bradikardia, vasodilatasi, dan akhirnya terjadi hipotensi yang berujung pada presinkop atau sinkop. 2. Kardiak Pasien dengan sinkop yang disebabkan oleh penyebab kardiak memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak mempunyai dasar kelainan jantung. Aritmia Berkaitan dengan aritmia jantung, sinkop dapat terjadi akibat takiaritmia ventrikular maupun supraventrikular, bradiaritmia (sick sinus syndrome dan AV blok), takikardia ventrikel, maupun takikardia supraventrikular. Atrial fibrilasi dengan respon ventrikel yang sangat cepat melalui jalur aksesori juga dapat memicu sinkop. Struktur Anatomi Jantung Kelainan anatomi jantung dapat memicu sinkop karena pengaruhnya terhadap curah jantung. Kelainan yang dimaksud mencakup stenosis valvular, disfungsi katup protesa atau trombosis, kardiomiopati hipertrofik, emboli paru, hipertensi pulmonal, tamponade jantung, dan anomali arteri koroner. Pada pasien dengan usia lanjut, sinkop dapat menjadi gejala dari infark miokard akut. 3. Neurologik-serebrovaskular Penyebab neurologik dapat berupa migrain, kejang, malformasi Arnold-Chiari, dan Transient Ischemic Attack. Kelainan neurologik yang terjadi sering menyerupai sinkop, seperti adanya gangguan kesadaran atau hilangnya ingatan seseorang. Kondisi ini dapat disebabkan oleh iskemi serebral sementara, migrain pada arteri basiler, epilepsi lobus temporal, kejang atonik, dan serangan kejang umum. Pada kondisi nyeri hebat, seperti neuralgia trigeminal atau glosofaringeal, hilangnya kesadaran dapat disebabkan oleh sinkop vasovagal. 4. Psikogenik Sinkop akibat psikogenik dapat ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab organik lainnya. Diperlukan anamnesis yang cermat untuk menggali penyebab psikogenik pada kasus sinkop. 5. Metabolik Gangguan metabolik yang tersering yang menyebabkan sinkop adalah hipoglikemia, hipoksia, dan hiperventilasi. Sinkop akibat hipoglikemia didefinisikan sebagai hilangnya kesadaran yang berhubungan dengan kadar gula darah di bawah 40 mg/dl, dan disertai gejala tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan hiperadrenergik, dan rasa lapar. Perlu dipastikan bahwa sinkop akibat hipoglikemia ini berbeda dengan sinkop pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan hipotensi. Hipoadrenalism yang menyebab sekresi kortisol tidak adekuat menjadi penyebab penting episode sinkop yang dapat diobati. 6. Tidak diketahui penyebabnya D. DIAGNOSIS I. Anamnesis2,4 Pada anamnesis, perlu digali hal-hal di bawah ini. 1. Keadaan sebelum serangan Posisi Aktivitas yang dilakukan Faktor predisposisi (tempat ramai, panas, berdiri waktu lama, dll) dan faktor yang memberatkan (ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher, dll) 2. Keadaan saat terjadinya serangan Mual, muntah, rasa tidak enak di perut Rasa dingin Berkeringat Aura Nyeri pada leher/bahu Penglihatan kabur 3. Serangan yang terjadi Cara orang tersebut jatuh Warna kulit Lamanya hilang kesadaran Jenis pernapasan Pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonus, otomatisasi) Lama kejadian Jarak antar serangan Lidah tergigit 4. Latar belakang Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung aritmogenik kongenital, atau pingsan Riwayat penyakit jantung sebelumnya Riwayat kelainan neurologis Gangguan metabolik Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan, antiaritmia, diuretika) Keterangan mengenai berulangnya sinkop II. Pemeriksaan Khusus Pada Penurunan Kesadaran1 1. Glasgow Coma Scale (GCS) GCS adalah skala untuk mengukur tingkat kesadaran secara kuantitatif didasarkan pada penilaian mata, motorik, dan verbal. Penilaian pada mata poin maksimalnya adalah 4, motorik poin maksimalnya adalah 6, dan verbal poin maksimalnya adalah 5. Skor GCS dibagi menjadi ringan, moderat, dan berat. Skala ringan berkisar antara 13 sampai 15, skala sedang berkisar antara 9 sampai 12, dan berat berkisar antara 3 sampai 9. 2. Ukuran pupil - Pupil yang sama ukuran dan reaktif Penurunan kesadaran dapat diakibatkan oleh penyebab metabolik dan toksik. - Tidak sama ukuran Pupil yang berdilatasi dan terfikasasi bisa diakibatkan oleh paralisis okulomotor ketiga. Jika pupil membesar berhubungan dengan paralisis saraf kranial tiga yang mempersarafi otot ekstra okular. Sindrom horner dapat terjadi akibat dari oklusi dan deseksi karotis. - Abnormalitas pupil bilateral Jika terdapat abnormalitas pada kedua pupil, hal ini dapat disebabkan oleh lesi pinpoint pada pontin. Jika terjadi fiksasi bilateral dan dilatasi (7 sampai 10 mm), kemungkinan terdapat kerusakan subtotal sampai ke medulla atau post anoksia segera atau hipotermia. Posisi pertengahan (4 sampai 6 mm) dan terfiksasi, kemungkinan besar diakibatkan oleh lesi luas di otak tengah. 3. Tanda rangsang meningeal - Kaku kuduk Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan jika terdapat trauma servikal. Pasien harus berbaring dan pemeriksa menempatkan tangan di belakang kepala pasien. Kemudian, merotasikan kepala ke depan sambil merasakan adanya kekakuan atau tidak. Pemeriksaan ini juga bisa sembari melihat adanya tanda bruzinski 1 yang ditandai dengan fleksi kaki. Kaku kuduk positif menandakan adanya iritasi meningen yang dapat diakibatkan oleh bakteri, virus, perdarahan subaraknoid, dan karsinoma meningeal. - Bruzinski I Saat kepala digerakan sampai ke dada, bruzinski I akan positif bila kedua ekstremitas bawah fleksi. - Kernig sign Pasien berbaring di tempat tidur, kemudian kaki ditekuk di bagian panggul dengan lutut fleksi. Setelah itu, dilakukan ekstensi dari lutut. Normalnya akan dilakukan tanpa kesulitan, bila terdapat kesulitan mungkin terjadi akibat iritasi meningeal, harus dibandingkan untuk mengetahui unilateral atau bilateral. Jika unilateral kemungkinan diakibatkan oleh HNP. - Bruzinski II Pasien berbaring di tempat tidur, dilakukan fleksi pada kaki di panggul dengan lutut fleksi, jika bruzinski II postif akan terjadi fleksi kaki kontralateral. - Lasegue sign Ekstremitas bawah diangkat ke atas membentuk huruf L, jika lasegue positif ekstremitas tidak dapat diangkat lebih dari 70o. E. PENDEKATAN KLINIS1 Resusitasi menggunakan ABC neurologi, yaitu NABCDEFGHI. N adalah neck yang berarti mengamankan leher pasien jangan sampai terdapat cedera servikal. A adalah airway yang berarti saluran pernapasan. B adalah breathing yang dievaluasi dengan look, feel, dan listen. Circulation adalah adanya denyut nadi atau tidak. D adalah diabetes drug, obat diabetes perlu dipikirkan untuk menghasilkan hipoglikemi. E adalah epilepsy yang biasanya ditandai dengan kejang dan riwayat kejang sebelumnya. F adalah fever yang berarti demam yang menandakan adanya infeksi. Infeksi pada intraserebral dapat mengakibatkan penurunan kesadaran. Selanjutnya yang harus dievaluasi adalah GCS sebagai skala kuantitatif kesadaran. H adalah kemungkinan adanya herniasi pada otak yang menekan batang otak dan mengakibatkan penurunan kesadaran, bisa diakibatkan stroke, trauma, dan sebagainya. Yang terakhir adalah I atau investigate yang mengartikan perlunya investigasi lebih lanjut. BAB III PEMBAHASAN MASALAH 1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati, katarak imatur Pasien datang dengan keluhan utama berupa pingsan sejak 7 jam SMRS. Sebagai tahap awal, perlu dibedakan apakah pingsan yang dimaksud pasien adalah benar-benar sinkop. Berdasarkan anamnesis, didapatkan gambaran pingsan yang dimaksud pasien masuk kriteria transien lost of consciousness (T-LOC) non traumatik: Hilang kesadaran Terjadi secara transien Onset muncul cepat Durasi cepat (10 menit) Bangun secara spontan (spontaneus recovery) Tidak terdapat trauma Dengan adanya deskripsi T-LOC di atas, maka diagnosis banding yang diajukan adalah sinkop, kejang, maupun psikogenik. Pada pasien tidak terdapat kejang dan aura yang mendahuluinya, hilang kesadaran sepenuhnya saat pingsan, muncul pada usia lanjut, dan tidak terdapat aura dan tidak terdapat riwayat kejang sebelumnya. Karena itu, diagnosis kejang dapat disingkirkan pada pasien. Diagnosis psikogenik dijadikan diagnosis akhir apabila kemungkinan penyebab organik sudah berhasil disingkirkan. Pada pasien, terdapat riwayat makan hanya 1 sendok sebelum minum obat DM golongan sulfonilurea. Kondisi ini diduga memicu hipoglikemia hingga menyebabkan terjadinya sinkop pada pasien. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat satu-persatu kita singkirkan penyebab terjadinya sinkop pada pasien. Sinkop dapat disebabkan oleh vaskular, kardiak, psikogenik, neurologik-serebrovaskular, metabolik, dan psikogenik. Pada pasien, didapatkan tekanan darah 130/70 dengan EKG normal yang menandakan kemungkinan sinkop akibat vaskular dan kardiak lebih kecil. Penyebab neurologik-serebrovaskular dapat disingkirkan setelah diketahui bahwa pada pasien tidak ditemukan adanya kelemahan sesisi dan kejang. Kemungkinan terbesar adalah terjadinya sinkop akibat metabolik. Hal ini disebabkan adanya riwayat penggunaan obat hipoglikemik oral tanpa disertai dengan asupan makan yang adekuat, sehingga terjadilah kondisi hipoglikemi pada pasien. Setelah dilakukan pengecekan gula darah sewaktu, didapatkan GDS 113 mEq/L. Pada pasien terdapat riwayat diabetes mellitus sejak 1 tahun SMRS. Kontrol gula darah dengan mengonsumsi obat metformin 1 x 500 mg dan glibenklamid 2 x 5 mg. Gula darah tertinggi pada pasien 325. Gejala klasik pada pasien adalah polidipsi, poliuri, polifagi. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan IMT 23,4 kg/m2 sehingga dikategorikan sebagai berat badan berlebih. Pasien berobat rutin di RSCM Kirana untuk katarak dengan hasil shadow test +/-. Pasien juga telah didiagnosis mengalami gangguan ginjal dengan ureum saat ini 139 dan kreatinin 16,3 (eGFR: 3,1). Oleh karena itu, pada pasien ditegakkan diabetes mellitus tipe II, overweight, tidak terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati, dan katarak imatur. Pada pasien direncakan untuk pemeriksaan GDS ulang per 24 jam, pemeriksaan ureum dan kreatinin ulang. Pasien ditatalaksana dnegan diet DM 1890 kkal/hari. Pada pasien, juga diberikan edukasi mengenai pentingnya makan dengan porsi cukup sebelum meminum obat diabetes melitus agar tidak terjadi kondisi hipoglikemia. Pasien juga diedukasi mengenai komplikasi lain yang dapat muncul pada diabetes mellitus, seperti gangguan jantung, luka susah sembuh, baal, dan lain sebagainya. 1. Chronic Kidney Disease Stage V Penyakit ginjal kronik stage V ditegakan atas dasar pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sejak 1 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 16,3, ureum 139, sehingga eGFR 3,1 (<15 dan telah dilakukan hemodialisis inisiasi). Dari hasil USG abdomen terdapat korteks ginjal menipis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 3,5 dan ureum 81. Dilakukan perhitungan LFG dengan rumus Kockcroft-Gault5: *Pada perempuan dikalikan 0,85 didapatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 14,9 ml/menit/1,732 m2. Pasien memenuhi kriteria diagnosis penyakit ginjal kronik, yaitu11: 1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerular, manifestasinya adalah kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging); 2. Laju filtrasi glomerular kurang dari 60 mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Laju filtrasi glomerular pada pasien <15 ml/menit/1,732 m2 sehingga pasien digolongkan dalam kerusakan ginjal stadium 5. Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit5 Penyebab dipikirkan komplikasi dari diabetes mellitus yang diketahui dialaminya sejak 1 tahun SMRS. Hipertensi dapat menjadi faktor yang memperberat terjadinya penyakit ginjal kronik. Pada pasien sudah dilakukan hemodialisis inisiasi. Rencana tata laksana akan dilakukan hemodialisis rutin pada pasien sebagai terapi pengganti ginjal. Untuk nutrisi pada pasien, biasanya terjadi kekurangan zat gizi protein pada pasien dengan hemodialisis, untuk itu perlu dipantau kebutuhan gizi pasien agar seimbang. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari. Pasien juga mengalami anemia sebagai komplikasi dari penyakit ginjal kronik. Anemia yang terjadi akibat dari berkurangnya eritropoietin yang diproduksi di ginjal sehingga sumsum tulang belakang berkurang pula produksi sel darah merahnya. Anemia pada pasien ini perlu dilakukan tranfusi karena kurang dari 7 (6,2 g/dL). Target tranfusinya adalah Hb mencapai 7 g/dL. 2. Hipertensi Grade I belum terkontrol Dari anamnesis, didapatkan riwayat hipertensi pada pasien sejak 7 bulan SMRS. Pasien juga sudah menjalani pengobatan untuk hipertensi di RS Budi Asih dengan konsumsi amlodipin, suatu golongan calcium channel blocker, secara teratur. Saat dilakukan pemeriksaan tanda vital, didapatkan tekanan darah pasien 130/70 mmHg. Saat dilakukan pemeriksaan rontgen toraks, didapatkan pembesaran jantung tanpa disertai kelainan EKG. Atas dasar inilah, pasien didiagnosis mengalami hipertensi grade I yang sudah terkontrol, dnegan HHD. Kami juga menduga, hipertensi ini berkaitan pula dengan penyakit ginjal kronik yang diderita oleh pasien. Hipertensi dapat memperberat kondisi penyakit ginjal kronik, maupun sebaliknya. Karena pada pasien, pengobatan monoterapi dengan amlodipin sudah dapat mengontrol tekanan darah, maka kami melanjutkan penatalaksanaan dengan amlodipin 1 x 10 mg pada pasien. Tabel 13 . Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC 75 Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, maka dilakukan pula penanganan untuk penyakit ginjal selain dari penanganan untuk hipertensinya itu sendiri. Kami menyarakan obat antihipertensi ditambahkan dengan captopril yang merupakan golongan ACE-Inhibitor. Captopril diberikan untuk mengurangi proteinuria pada kondisi CKD. Pada pasien ini, disarankan pula untuk kontrol rutin paska perawatan untuk tekanan darah pasien, konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga aerobik secara teratur, dan minum obat rutin. Gambar 4. Algoritma Penanganan Hipertensi Grade I Berdasarkan NICE6 II. KESIMPULAN UMUM Pasien laki-laki,usia 55 tahun, datang dengan pingsan 7 jam SMRS, didiagnosis dengan DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati, katarak imatur, penyakit ginjal kronik stadium V post HD dengan anemia, dan hipertensi grade I belum terkontrol. Pada pasien diberikan amlodipin 1 x 10 mg, diet DM 1890 kkal/hari, tranfusi PRC dan dilakukan hemodialisis inisiasi . Pasien diedukasi konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga teratur paska perawatan, minum obat secara teratur, pentingnya makan dengan porsi cukup sebelum meminum obat, agar tidak terjadi penurunan kesadaran kembali. III. PROGNOSIS Ad vitam : bonam Ad functionam : dubia Ad sanactionam : dubia ad malam DAFTAR PUSTAKA 1. Rasyid A. Gangguan kesadaran [slide kuliah]. Departemen Neurologi FKUI-RSCM; kuliah diberikan pada 2010. 2. Guidelines for the diagnosis and management of syncope (version 2009). European Heart Journal. 2009; 30: 2631-71. 3. Brignole M. Diagnosis and treatment of syncope. Heart. 2007; 93: 130-6. 4. Rasjidi K, Nasution SA. Sinkop. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2009. h.164-9. 5. 1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17thed. New York: The McGraw – Hill Companies, 2008. [e-book] 6. U.S Department of Health and Human Services. The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication: August 2004. 7. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension. Newcastle: NHS Evidence; 2011.