diskusi kasus penurunan kesadaran

advertisement
DISKUSI KASUS
PENURUNAN KESADARAN
DISUSUN OLEH:
Kelompok H
Ade Ilyas Mukmin
0906487682
Andhika Mangalaputra 0906507785
Danny Darmawan
0906507923
Davrina Rianda
0906507936
Rineke Twistixa
0906508466
Sheli Azalea
0906508516
Yashinta
0906640021
Narasumber:
dr. Em Yunir, SpPD
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
DESEMBER 2013
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn.Z
Usia
: 55 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Supir
Pendidikan
: SD
Status
: Sudah menikah
Alamat
: Jakarta
Rekam Medis
: 3862921
Tanggal berkunjung
: 4 November 2013
II.
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan anamnesis dengan istri
pasien.
Keluhan Utama
Pingsan sejak 7 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengaku dibawa ke RSCM karena pingsan 7 jam SMRS. Pingsan terjadi
selama 10 menit, terjadi sebanyak 1x, pasien bangun sendiri setelah pingsan. Pasien awalnya
merasa lemas saat bangun pagi (12 jam SMRS). Pasien makan roti dan the manis, keluhan
membaik. Tidak terdapat riwayat kejang/pingsan sebelumnya. Pasien mengaku malam
sebelumnya meminum obat untuk Diabetes Melitus (DM), yaitu glibenklamid. Sebelum
minum obat, pasien hanya makan satu sendok nasi (kurang dari jumlah makan biasanya).
Pasien didiagnosis DM 1 tahun SMRS dan rutin konsumsi metformin 1 x 500 mg,
glibenclamid 2 x 5mg dari dokter. Saat itu, pasien merasakan banyak makan, banyak minum,
banyak buang air kecil. Pasien tidak ada merasa baal di tangan dan kaki. Pasien tidak ada
kelemahan sesisi badan. Pasien tidak ada kejang. Pasien tidak ada demam, riwayat trauma
kepala sebelumnya. Sesak napas dirasakan 1 hari setelah di rumah sakit. Pasien kadang batuk
tidak berdahak. Tidak ada mual dan muntah. Tekanan darah pasien tinggi sejak 7 bulan
SMRS. Pasien minum amlodipin 1 kali sehari. Pasien dikatakan sakit jantung ddan ginjal
sejak 1 tahun yang lalu. Berobat rutin di RS budi asih. Pasien pernah dirawat 4 hari di RSP
untuk tranfusi darah 5 bulan SMRS. Sejak 2 tahun yang lalu mata kiri pasien buram,
dikatakan katarak. Pasien berobat rutin di RSCM Kirana. Mata kanan pasien buram 1 tahun
yang lalu, kedua mata pasien saat ini tidak dapat melihat, hanya bisa membedakan gelap
terang.
Saat ini pasien masih lemas, sadar dapat diajak bicara, tidak ada pingsan kembali
selama perawatan. Pasien telah dilakukan hemodialisis inisiasi. Nafsu makan pasien saat ini
masih kurang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada alergi, TBC, hepatitis, dan penyakit ginjal sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada alergi, asma, DM, dan Hipertensi.
Riwayat Sosial
Pasien bekerja di pasar malam. Riwayat merokok 12 batang per hari 1,5 tahun yang lalu
berhenti. Riwayat minum alkohol, NAPZA, dan free sex tidak ada.
III. PEMERIKSAAN FISIS
(Pemeriksaan fisis dilakukan pada 28 Oktober 2013)
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 130/70 mmHg
Nadi
: 84 kali/menit
Suhu
: 36,7oC
Pernapasan
: 20 kali/menit
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Keadaan gizi
: Overweight (23,4 kg/m2)
Tinggi badan
: 160 cm
Berat badan
: 60 kg
Kulit
: sawo matang, kering terutama di ekstremitas bawah
Kepala
: normocephal
Rambut
: tersebar merata, tidak mudah dicabut
Mata
: visus, light perception +/+, shadow -/+
Telinga
: daun telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus negatif, nyeri
tekan mastoid negatif.
Hidung
: Septum deviasi negatif.
Tenggorok
: Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis.
Gigi dan Mulut
: Oral Hygiene baik
Leher
: trakea di tengah, KGB tidak membesar, JVP 5-2 cmH2O
Jantung
:
-
Inpeksi: simetris statis dan dinamis
-
Palpasi: vokal fremitus kanan sama dengan kiri
-
Perkusi: Sonor/Sonor
-
Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
Abdomen:
-
Inspeksi: datar, lemas
-
Palpasi: hepatomegali dan splenomegali tidak ada
-
Perkusi: shifting dullness negatif
-
Auskultasi: Bising usus positif 3 kali/menit
Ekstremitas: akral hangat, CRT<2 detik, pitting edema -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
Jenis
Pemeriksaan
22 Oktober
Nilai Rujukan
Satuan
2013
DPL
Hemoglobin
7,2
12,0 – 14,0
g/dL
Hematokrit
21
40 – 48
%
Eritrosit
2,51
4,5 – 5,5
10^6/µL
MCV/VER
83,7
80,0 – 95,0
fL
MCH/HER
20,7
27,0 – 31,0
pg
MCHC/KHER
34,3
32,0 – 36,0
g/dL
Leukosit
14.000
5.000 – 10.000
/µL
Trombosit
200.000
150.000 –
/µL
400.000
Diff count
Basofil
0,7
0–1
%
Eosinofil
1,2
1–3
%
Netrofil
63,7
50 – 70
%
Limfosit
22
20 – 40
%
Monosit
9,6
2–8
%
Hemostasis
22 Oktober 2013
Nilai Rujukan
Satuan
Pasien
12
9,8 – 12,6
Detik
Kontrol
10,6
Jenis Pemeriksaan
Masa protrombin (PT)
Detik
APTT
Pasien
36,3
Kontrol
30,0
31,0 – 47,0
Detik
Detik
Kimia Klinik
22 Oktober 2013
Nilai Rujukan
Satuan
SGOT (AST)
64
<33
U/L
SGPT (ALT)
90
<50
U/L
Albumin
3,54
3,4–4,8
g/dL
Trigliserida
160
<150
mg/dL
Kolesterol Total
138
120–200
mg/dL
Kolesterol HDL
30
>=40
mg/dL
Kolesterol LDL
79
<100
mg/dL
Jenis Pemeriksaan
Elektrolit
22 Oktober
Jenis
Nilai Rujukan
Satuan
Pemeriksaan
2013
Natrium
138
132 – 147
mEq/L
Kalium
3,76
3,3 – 5,40
mEq/L
Klorida
98,7
94 – 111
mEq/L
22 Oktober
Nilai Rujukan
Satuan
Analisis Gas Darah
Jenis
2013
Pemeriksaan
pH
7,424
7,35 – 7,45
mEq/L
PCO2
37,9
35 - 46
mEq/L
HCO3
25
21 - 25
mEq/L
Imunoserologi
24 Oktober
Jenis
2013
Pemeriksaan
Anti HIV
Non reaktif
Anti HCV
Non reaktif
HBsAg
Non reaktif
Pemeriksaan Penunjang Lain
EKG
Sinus aritmia, QRS rate 130 bpm, p wave tidak ada, QRS 0,04 detik, ST-T changes negatif,
LVH negatif, RVH negatif, BBB negatif.
Foto Thorax AP
-
Kardiomegali
-
Infiltrat (-)
USG abdomen
Korteks ginjal menipis
V.
RINGKASAN
Pasien laki-laki, 55 tahun, datang dengan keluhan pingsan sejak 7 jam SMRS, selama
10 menit, jumlah 1x. Pada malam sebelumnya, pasien meminum obat DM (metformin 1 x
500 mg dan glibenklamid 2 x 5 mg) dengan sebelumnya hanya makan satu sendok nasi.
Pasien memiliki riwayat DM sejak 1 tahun lalu berobat teratur dengan metformin 1 x 500
mg dan glibenklamid 2 x 5 mg. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 7 bulan SMRS,
berobat teratur dengan amlodipin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan gizi overweight, light perception +/+, dan
shadow test -/+. Pada pemeriksaan lab didapatkanHb 6,2 g/dL, hematokrit 17,4%,
eritrosit 2,01x106/uL, eosinofil 3,9%, limfosit 13,7%, monosit 13,7%. Pada pemeriksaan
toraks didapatkan kardiomegali. Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan korteks
ginjal menipis.
VI. DAFTAR MASALAH
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang, maka daftar masalah pada
pasien tersebut adalah :
1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemi, nefropati,
katarak imatur
2. CKD stage 5 post inisiasi HD dengan anemia
3. Hipertensi grade I,terkontrol, dengan HHD
VII.
PENGKAJIAN MASALAH
1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, riwayat hipoglikemia, nefropati, katarak
imatur
Atas dasar: Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan utama pasien berupa pingsan
sejak 7 jam SMRS. Pasien telah didiagnosis DM sejak 1 tahun SMRS dan rutin
konsumsi metformin dan glibenklamid. Pada malam sebelumnya, pasien meminum
glibenklamid namun hanya makan satu sendok nasi sebelum minum obat. Pingsan
pada pasien diduga akibat kondisi hipoglikemia pada pasien. Pasien juga mengeluhkan
adanya mata buram, berobat rutin di RSCM Kirana, dnegan diagnosis katarak.
Komplikasi lain diabetes yang ditemukan adalah gangguan ginjal pada pasien. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi pasien overweight (IMT 23,4 kg/m2), light
perception +/+, dan shadow test -/+. Pada pemeriksan laboratorium, didapatkan kadar
ureum 139, kreatinin 16,3, GDS 113 mEq/L, dan HbA1C 3,87 mEq/L. Pada USG
ginjal, didapatkan korteks ginjal menipis.
Dipikirkan pada pasien terjadi DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan
riwayat hipoglikemia, neuropati, nefropati, dan katarak imatur.
Rencana diagnostik: GDS ulang per 24 jam, Ur/Cr ulang per 24 jam
Rencana terapi: Diet DM 1890 kkal/hari, tatalaksana untuk ginjal sesuai dengan
tatalaksana untuk masalah CKD
Rencana edukasi: Memberikan edukasi mengenai pentingnya makan dengan porsi
cukup sebelum meminum obat, agar tidak terjadi penurunan kesadaran kembali.
2. Chronic Kidney Disease Stage V
Atas dasar:
-
Anamnesis: penyakit ginjal sejak 1 tahun yang lalu
-
Pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 16,3, ureum 139, eGFR 3,1.
-
USG abdomen terdapat korteks ginjal menipis.
Penyebab: dipikirkan komplikasi dari diabetes mellitus yang diketahui dialaminya
sejak 1 tahun SMRS. Hipertensi dapat menjadi faktor yang memperberat terjadinya
penyakit ginjal kronik.
Rencana
tata
laksana:
hemodialisis
inisiasi,
gizi
seimbang
kalori
30-35
kkal/kgBB/hari, dan tranfusi Packed Red Cell (PRC) target Hb 7 g/dL.
3. Hipertensi Grade I, terkontrol, dengan Hypertensive Heart Disease
Atas dasar: Berdasarkan anamnesis, pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 7 bulan
SMRS, berobat rutin di RS Budi Asih dengan amlodipin 1x/hari. Pada pemeriksaan
fisik, didapatkan tekanan darah pasien 130/70 mmHg. Pada pemeriksaan foto toraks
didapatkan kardimegali tanpa kelainan pada EKG.
Dipikirkan pada pasien terjadi hipertensi essensial, terkontrol, dengan HHD.
Rencana diagnostik: pemantauan tekanan darah
Rencana terapi: amlodipin 1 x 10 mg
Rencana edukasi: Konsumsi rendah lemak dan rendah garam, olahraga teratur paska
perawatan, minum obat secara teratur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.1 Derajat terendah
kesadaran adalah koma, yaitu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan
meskipun distimulasi dengan kuat. Secara klinis, derajat kesadaran dapat ditentukan dengan
pemeriksaan klinis.
Gambar 1. Algoritma Penurunan Kesadaran2
Secara kualitatif, kesadaran dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu:
1. Kompos Mentis: sensorik utuh sepenuhnya dengan orientasi waktu, tampat, dan orang
baik dan dapat berkomunikasi penuh.
2. Somnolen: jika distimulasi normal, pasien dapat sadar, namun akan kembali tertidur
jika stimulus dihilangkan. Fungsi sensorik adekuat saat bangun.
3. Stupor/Sopor: Pasien tertidur, namun dapat terbangun dengan stimulus lebih kuat.
Pasien dapat terbangun spontan, namun respon sensorik berkabut. Pasien masih dapat
bergerak spontan dan dapat mengikuti beberapa perintah sederhana.
4. Koma dangkal: Pasien tidak merespon dengan stimulus verbal. Gerakan hanya
muncul jika distimulus dengan nyeri. Pada pasien, refleks kornea dan pupil utuh.
Pasien bernapas adekuat.
5. Koma dalam: Pada pasien, tidak terdapat gerakan atau siklus bangun secara spontan.
Refleks negatif. Nafas terganggu dan tidak ada usaha untuk bernapas.
A. ANATOMI KESADARAN1
Keadaan sadar ditentukan oleh
dua komponen utama, yaitu formasio
retikularis dan hemisfer serebral.
Formasio retikularis terletak di rostral
midpons, midbrain, dan talamus yang
diproteksikan
Korteks
ke
serebri
korteks
serebri.
menentukan
isi
kesadaran. Sistem ini disebut dengan
ascending reticular activating system
(ARAS).
Gambar 2. Anatomi Kesadaran1
B. ETIOLOGI GANGGUAN KESADARAN1,3
Gangguan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, yaitu:
1. Proses Difus dan Multifokal (Metabolik)
a. Hipo/hiperglikemia
b. Hepatic failure
c. Renal failure
d. Toksin (alkohol, obat-obatan)
e. Infeksi
f. Konkusio
2. Lesi Supratentorial
a. Hemoragik
: Ekstradural, subdural, intraserebral
b. Infark
: Emboli, trombotik
c. Tumor
: Primer, sekunder, abses
3. Lesi Infratentorial
a. Hemoragik
: Serebral, pontin
b. Infark
: Batang otak
c. Tumor
: Serebelum
d. Abses
: Serebelum
Gambar 3. Etiologi Gangguan Kesadaran3
C. SINKOP2,4
Sinkop
didefinisikan
sebagai
kehilangan kesadaran dan kekuatan
postural
tubuh
yang
tiba-tiba
dan
bersifat sementara, dengan konsekuensi
terjadi pemulihan spontan. Hilangnya
kesadaran
ini
dapat
dipicu
akibat
penurunan aliran darah ke sistem ARAS
dan
membaik
tanpa
membutuhkan
terapi kimiawi maupun elektrik.
Gambar 4. Patofisiologi Sinkop2
Penyebab sinkop dibagi menjadi enam kelompok utama:
1. Vaskular
Penyebab vaskular untuk sinkop dapat berupa kelainan yang memicu kurangnya
aliran darah ke otak. Hal ini termasuk kelainan anatomik (subclavian steal syndrome),
ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia, dan induksi obat-obatan), dan
refleks (hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, situasional,
dan sinkop glossofaringeal).

Hipotensi ortostatik
Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik 20
mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3
menit. Penurunan besar volume ke daerah abdomen dan ekstremitas bawah
secara tiba-tiba akibat posisi berdiri menyebabkan penurunan volume darah
balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Akibatnya, terjadi penurunan stimulasi
pada aorta, karotis, dan baroreseptor kardiopulmonal yang akan berlanjut pada
peningkatan refleks simpatis. Gejala yang dapat dirasakan yaitu kepala terasa
ringan hingga sinkop. Terdapat pula obat-obatan yang dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik, yaitu diuretik, alkohol, penghambat ACE, dan lain
sebagainya.

Sinkop yang dimediasi persarafan
Beberapa sindrom yang berkaitan dengan sinkop termediasi refleks adalah
hipersensitivitas sinus karotis, sinkop glossofaringeal, situasinal, serta sensitif
terhadap adenosin. Refleks yang umumnya muncul akibat hipersensitivitas
sinus karotis dan hipotensi dapat menyebabkan peningkatan aktivitas vagal
dan umpan balik pada simpatis perifer. Akibatnya, terjadi bradikardia,
vasodilatasi, dan akhirnya terjadi hipotensi yang berujung pada presinkop atau
sinkop.
2. Kardiak
Pasien dengan sinkop yang disebabkan oleh penyebab kardiak memiliki risiko
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak mempunyai dasar kelainan
jantung.

Aritmia
Berkaitan dengan aritmia jantung, sinkop dapat terjadi akibat takiaritmia
ventrikular maupun supraventrikular, bradiaritmia (sick sinus syndrome dan
AV blok), takikardia ventrikel, maupun takikardia supraventrikular. Atrial
fibrilasi dengan respon ventrikel yang sangat cepat melalui jalur aksesori juga
dapat memicu sinkop.

Struktur Anatomi Jantung
Kelainan anatomi jantung dapat memicu sinkop karena pengaruhnya terhadap
curah jantung. Kelainan yang dimaksud mencakup stenosis valvular, disfungsi
katup protesa atau trombosis, kardiomiopati hipertrofik, emboli paru,
hipertensi pulmonal, tamponade jantung, dan anomali arteri koroner. Pada
pasien dengan usia lanjut, sinkop dapat menjadi gejala dari infark miokard
akut.
3. Neurologik-serebrovaskular
Penyebab neurologik dapat berupa migrain, kejang, malformasi Arnold-Chiari, dan
Transient Ischemic Attack. Kelainan neurologik yang terjadi sering menyerupai
sinkop, seperti adanya gangguan kesadaran atau hilangnya ingatan seseorang. Kondisi
ini dapat disebabkan oleh iskemi serebral sementara, migrain pada arteri basiler,
epilepsi lobus temporal, kejang atonik, dan serangan kejang umum. Pada kondisi
nyeri hebat, seperti neuralgia trigeminal atau glosofaringeal, hilangnya kesadaran
dapat disebabkan oleh sinkop vasovagal.
4. Psikogenik
Sinkop akibat psikogenik dapat ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab organik
lainnya. Diperlukan anamnesis yang cermat untuk menggali penyebab psikogenik
pada kasus sinkop.
5. Metabolik
Gangguan metabolik yang tersering yang menyebabkan sinkop adalah hipoglikemia,
hipoksia, dan hiperventilasi. Sinkop akibat hipoglikemia didefinisikan sebagai
hilangnya kesadaran yang berhubungan dengan kadar gula darah di bawah 40 mg/dl,
dan disertai gejala tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan hiperadrenergik, dan rasa
lapar. Perlu dipastikan bahwa sinkop akibat hipoglikemia ini berbeda dengan sinkop
pada keadaan lain yang tidak berhubungan dengan hipotensi. Hipoadrenalism yang
menyebab sekresi kortisol tidak adekuat menjadi penyebab penting episode sinkop
yang dapat diobati.
6. Tidak diketahui penyebabnya
D. DIAGNOSIS
I. Anamnesis2,4
Pada anamnesis, perlu digali hal-hal di bawah ini.
1. Keadaan sebelum serangan

Posisi

Aktivitas yang dilakukan

Faktor predisposisi (tempat ramai, panas, berdiri waktu lama, dll) dan faktor
yang memberatkan (ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher, dll)
2. Keadaan saat terjadinya serangan

Mual, muntah, rasa tidak enak di perut

Rasa dingin

Berkeringat

Aura

Nyeri pada leher/bahu

Penglihatan kabur
3. Serangan yang terjadi

Cara orang tersebut jatuh

Warna kulit

Lamanya hilang kesadaran

Jenis pernapasan

Pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonus, otomatisasi)

Lama kejadian

Jarak antar serangan

Lidah tergigit
4. Latar belakang

Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung aritmogenik
kongenital, atau pingsan

Riwayat penyakit jantung sebelumnya

Riwayat kelainan neurologis

Gangguan metabolik

Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan, antiaritmia, diuretika)

Keterangan mengenai berulangnya sinkop
II. Pemeriksaan Khusus Pada Penurunan Kesadaran1
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS adalah skala untuk mengukur tingkat kesadaran secara kuantitatif didasarkan
pada penilaian mata, motorik, dan verbal. Penilaian pada mata poin maksimalnya
adalah 4, motorik poin maksimalnya adalah 6, dan verbal poin maksimalnya adalah 5.
Skor GCS dibagi menjadi ringan, moderat, dan berat. Skala ringan berkisar antara 13
sampai 15, skala sedang berkisar antara 9 sampai 12, dan berat berkisar antara 3
sampai 9.
2. Ukuran pupil
-
Pupil yang sama ukuran dan reaktif
Penurunan kesadaran dapat diakibatkan oleh penyebab metabolik dan toksik.
-
Tidak sama ukuran
Pupil yang berdilatasi dan terfikasasi bisa diakibatkan oleh paralisis okulomotor
ketiga. Jika pupil membesar berhubungan dengan paralisis saraf kranial tiga yang
mempersarafi otot ekstra okular. Sindrom horner dapat terjadi akibat dari oklusi dan
deseksi karotis.
-
Abnormalitas pupil bilateral
Jika terdapat abnormalitas pada kedua pupil, hal ini dapat disebabkan oleh lesi
pinpoint pada pontin. Jika terjadi fiksasi bilateral dan dilatasi (7 sampai 10 mm),
kemungkinan terdapat kerusakan subtotal sampai ke medulla atau post anoksia segera
atau hipotermia. Posisi pertengahan (4 sampai 6 mm) dan terfiksasi, kemungkinan
besar diakibatkan oleh lesi luas di otak tengah.
3. Tanda rangsang meningeal
-
Kaku kuduk
Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan jika terdapat trauma servikal. Pasien harus
berbaring dan pemeriksa menempatkan tangan di belakang kepala pasien. Kemudian,
merotasikan kepala ke depan sambil merasakan adanya kekakuan atau tidak.
Pemeriksaan ini juga bisa sembari melihat adanya tanda bruzinski 1 yang ditandai
dengan fleksi kaki. Kaku kuduk positif menandakan adanya iritasi meningen yang
dapat diakibatkan oleh bakteri, virus, perdarahan subaraknoid, dan karsinoma
meningeal.
-
Bruzinski I
Saat kepala digerakan sampai ke dada, bruzinski I akan positif bila kedua ekstremitas
bawah fleksi.
-
Kernig sign
Pasien berbaring di tempat tidur, kemudian kaki ditekuk di bagian panggul dengan
lutut fleksi. Setelah itu, dilakukan ekstensi dari lutut. Normalnya akan dilakukan tanpa
kesulitan, bila terdapat kesulitan mungkin terjadi akibat iritasi meningeal, harus
dibandingkan untuk mengetahui unilateral atau bilateral. Jika unilateral kemungkinan
diakibatkan oleh HNP.
-
Bruzinski II
Pasien berbaring di tempat tidur, dilakukan fleksi pada kaki di panggul dengan lutut
fleksi, jika bruzinski II postif akan terjadi fleksi kaki kontralateral.
-
Lasegue sign
Ekstremitas bawah diangkat ke atas membentuk huruf L, jika lasegue positif
ekstremitas tidak dapat diangkat lebih dari 70o.
E. PENDEKATAN KLINIS1
Resusitasi menggunakan ABC neurologi, yaitu NABCDEFGHI. N adalah neck yang
berarti mengamankan leher pasien jangan sampai terdapat cedera servikal. A adalah
airway yang berarti saluran pernapasan. B adalah breathing yang dievaluasi dengan look,
feel, dan listen. Circulation adalah adanya denyut nadi atau tidak. D adalah diabetes drug,
obat diabetes perlu dipikirkan untuk menghasilkan hipoglikemi. E adalah epilepsy yang
biasanya ditandai dengan kejang dan riwayat kejang sebelumnya. F adalah fever yang
berarti demam yang menandakan adanya infeksi. Infeksi pada intraserebral dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran. Selanjutnya yang harus dievaluasi adalah GCS
sebagai skala kuantitatif kesadaran. H adalah kemungkinan adanya herniasi pada otak
yang menekan batang otak dan mengakibatkan penurunan kesadaran, bisa diakibatkan
stroke, trauma, dan sebagainya. Yang terakhir adalah I atau investigate yang mengartikan
perlunya investigasi lebih lanjut.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
1. DM tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati,
katarak imatur
Pasien datang dengan keluhan utama berupa pingsan sejak 7 jam SMRS. Sebagai
tahap awal, perlu dibedakan apakah pingsan yang dimaksud pasien adalah benar-benar
sinkop. Berdasarkan anamnesis, didapatkan gambaran pingsan yang dimaksud pasien masuk
kriteria transien lost of consciousness (T-LOC) non traumatik:

Hilang kesadaran

Terjadi secara transien

Onset muncul cepat

Durasi cepat (10 menit)

Bangun secara spontan (spontaneus recovery)

Tidak terdapat trauma
Dengan adanya deskripsi T-LOC di atas, maka diagnosis banding yang diajukan adalah
sinkop, kejang, maupun psikogenik. Pada pasien tidak terdapat kejang dan aura yang
mendahuluinya, hilang kesadaran sepenuhnya saat pingsan, muncul pada usia lanjut, dan
tidak terdapat aura dan tidak terdapat riwayat kejang sebelumnya. Karena itu, diagnosis
kejang dapat disingkirkan pada pasien. Diagnosis psikogenik dijadikan diagnosis akhir
apabila kemungkinan penyebab organik sudah berhasil disingkirkan. Pada pasien, terdapat
riwayat makan hanya 1 sendok sebelum minum obat DM golongan sulfonilurea. Kondisi ini
diduga memicu hipoglikemia hingga menyebabkan terjadinya sinkop pada pasien.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat
satu-persatu kita singkirkan penyebab terjadinya sinkop pada pasien. Sinkop dapat
disebabkan oleh vaskular, kardiak, psikogenik, neurologik-serebrovaskular, metabolik, dan
psikogenik. Pada pasien, didapatkan tekanan darah 130/70 dengan EKG normal yang
menandakan kemungkinan sinkop akibat vaskular dan kardiak lebih kecil. Penyebab
neurologik-serebrovaskular dapat disingkirkan setelah diketahui bahwa pada pasien tidak
ditemukan adanya kelemahan sesisi dan kejang. Kemungkinan terbesar adalah terjadinya
sinkop akibat metabolik. Hal ini disebabkan adanya riwayat penggunaan obat hipoglikemik
oral tanpa disertai dengan asupan makan yang adekuat, sehingga terjadilah kondisi
hipoglikemi pada pasien. Setelah dilakukan pengecekan gula darah sewaktu, didapatkan GDS
113 mEq/L.
Pada pasien terdapat riwayat diabetes mellitus sejak 1 tahun SMRS. Kontrol gula darah
dengan mengonsumsi obat metformin 1 x 500 mg dan glibenklamid 2 x 5 mg. Gula darah
tertinggi pada pasien 325. Gejala klasik pada pasien adalah polidipsi, poliuri, polifagi.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan IMT 23,4 kg/m2 sehingga dikategorikan sebagai
berat badan berlebih. Pasien berobat rutin di RSCM Kirana untuk katarak dengan hasil
shadow test +/-. Pasien juga telah didiagnosis mengalami gangguan ginjal dengan ureum saat
ini 139 dan kreatinin 16,3 (eGFR: 3,1). Oleh karena itu, pada pasien ditegakkan diabetes
mellitus tipe II, overweight, tidak terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati, dan
katarak imatur.
Pada pasien direncakan untuk pemeriksaan GDS ulang per 24 jam, pemeriksaan ureum dan
kreatinin ulang. Pasien ditatalaksana dnegan diet DM 1890 kkal/hari. Pada pasien, juga
diberikan edukasi mengenai pentingnya makan dengan porsi cukup sebelum meminum obat
diabetes melitus agar tidak terjadi kondisi hipoglikemia. Pasien juga diedukasi mengenai
komplikasi lain yang dapat muncul pada diabetes mellitus, seperti gangguan jantung, luka
susah sembuh, baal, dan lain sebagainya.
1.
Chronic Kidney Disease Stage V
Penyakit ginjal kronik stage V ditegakan atas dasar pada anamnesis terdapat penyakit
ginjal sejak 1 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
kreatinin 16,3, ureum 139, sehingga eGFR 3,1 (<15 dan telah dilakukan hemodialisis
inisiasi). Dari hasil USG abdomen terdapat korteks ginjal menipis.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil kreatinin 3,5 dan ureum 81. Dilakukan
perhitungan LFG dengan rumus Kockcroft-Gault5:
*Pada perempuan dikalikan 0,85
didapatkan laju filtrasi glomerulus sebesar 14,9 ml/menit/1,732 m2.
Pasien memenuhi kriteria diagnosis penyakit ginjal kronik, yaitu11:
1.
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerular, manifestasinya adalah kelainan patologis dan
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging);
2.
Laju filtrasi glomerular kurang dari 60 mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.
Laju filtrasi glomerular pada pasien <15 ml/menit/1,732 m2 sehingga pasien
digolongkan dalam kerusakan ginjal stadium 5.
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit5
Penyebab dipikirkan komplikasi dari diabetes mellitus yang diketahui dialaminya
sejak 1 tahun SMRS. Hipertensi dapat menjadi faktor yang memperberat terjadinya
penyakit ginjal kronik. Pada pasien sudah dilakukan hemodialisis inisiasi. Rencana
tata laksana akan dilakukan hemodialisis rutin pada pasien sebagai terapi pengganti
ginjal. Untuk nutrisi pada pasien, biasanya terjadi kekurangan zat gizi protein pada
pasien dengan hemodialisis, untuk itu perlu dipantau kebutuhan gizi pasien agar
seimbang. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.
Pasien juga
mengalami anemia sebagai komplikasi dari penyakit ginjal kronik. Anemia yang
terjadi akibat dari berkurangnya eritropoietin yang diproduksi di ginjal sehingga
sumsum tulang belakang berkurang pula produksi sel darah merahnya. Anemia pada
pasien ini perlu dilakukan tranfusi karena kurang dari 7 (6,2 g/dL). Target tranfusinya
adalah Hb mencapai 7 g/dL.
2.
Hipertensi Grade I belum terkontrol
Dari anamnesis, didapatkan riwayat hipertensi pada pasien sejak 7 bulan SMRS. Pasien
juga sudah menjalani pengobatan untuk hipertensi di RS Budi Asih dengan konsumsi
amlodipin, suatu golongan calcium channel blocker, secara teratur. Saat dilakukan
pemeriksaan tanda vital, didapatkan tekanan darah pasien 130/70 mmHg. Saat dilakukan
pemeriksaan rontgen toraks, didapatkan pembesaran jantung tanpa disertai kelainan EKG.
Atas dasar inilah, pasien didiagnosis mengalami hipertensi grade I yang sudah terkontrol,
dnegan HHD. Kami juga menduga, hipertensi ini berkaitan pula dengan penyakit ginjal
kronik yang diderita oleh pasien. Hipertensi dapat memperberat kondisi penyakit ginjal
kronik, maupun sebaliknya. Karena pada pasien, pengobatan monoterapi dengan amlodipin
sudah dapat mengontrol tekanan darah, maka kami melanjutkan penatalaksanaan dengan
amlodipin 1 x 10 mg pada pasien.
Tabel 13 . Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC 75
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, maka dilakukan pula penanganan untuk
penyakit ginjal selain dari penanganan untuk hipertensinya itu sendiri. Kami menyarakan
obat antihipertensi ditambahkan dengan captopril yang merupakan golongan ACE-Inhibitor.
Captopril diberikan untuk mengurangi proteinuria pada kondisi CKD. Pada pasien ini,
disarankan pula untuk kontrol rutin paska perawatan untuk tekanan darah pasien, konsumsi
rendah lemak dan rendah garam, olahraga aerobik secara teratur, dan minum obat rutin.
Gambar 4. Algoritma Penanganan Hipertensi Grade I Berdasarkan NICE6
II. KESIMPULAN UMUM
Pasien laki-laki,usia 55 tahun, datang dengan pingsan 7 jam SMRS, didiagnosis dengan DM
tipe 2, overweight, GD belum terkontrol, dengan riwayat hipoglikemia, nefropati, katarak
imatur, penyakit ginjal kronik stadium V post HD dengan anemia, dan hipertensi grade I
belum terkontrol. Pada pasien diberikan amlodipin 1 x 10 mg, diet DM 1890 kkal/hari,
tranfusi PRC dan dilakukan hemodialisis inisiasi . Pasien diedukasi konsumsi rendah lemak
dan rendah garam, olahraga teratur paska perawatan, minum obat secara teratur, pentingnya
makan dengan porsi cukup sebelum meminum obat, agar tidak terjadi penurunan kesadaran
kembali.
III. PROGNOSIS
Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: dubia
Ad sanactionam
: dubia ad malam
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasyid A. Gangguan kesadaran [slide kuliah]. Departemen Neurologi FKUI-RSCM;
kuliah diberikan pada 2010.
2. Guidelines for the diagnosis and management of syncope (version 2009). European
Heart Journal. 2009; 30: 2631-71.
3. Brignole M. Diagnosis and treatment of syncope. Heart. 2007; 93: 130-6.
4. Rasjidi K, Nasution SA. Sinkop. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2009. h.164-9.
5. 1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Harrison’s principles of internal medicine. 17thed. New York: The McGraw – Hill
Companies, 2008. [e-book]
6. U.S Department of Health and Human Services. The Seventh Report of The Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure. NIH Publication: August 2004.
7. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension. Newcastle: NHS
Evidence; 2011.
Download