Uploaded by asiyahelsa

2. BAB I-4 SINKOP ACC

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinkop adalah kehilangan kesadaran sementara akibat hipoperfusi serebral
global transien dikarakteristikkan dengan onset cepat, durasi yang pendek, dan
pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran dikarenakan penurunan aliran darah
ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi pada batang otak dan tidak
membutuhkan terapi listrik atau kimia untuk kembali normal.
Kebanyakan orang pernah jatuh dalam suatu keadaan pingsan.
Penyebabnya adalah panas disertai dehidrasi, tekanan emosi, posisi tubuh yang
naik mendadak seperti dari jongkok ke berdiri, sakit perut, berdiri terlalu lama,
kehilangan darah, batuk-batuk, nyeri saat buang air kecil, pengobatan tertentu,
merosotnya kadar gula darah (hipoglikemi) dan gangguan jantung (Saubers
2011).
Di Amerika diperkirakan 3% dari kunjungan pasien digawat darurat
disebabkan oleh sinkop dan merupakan 6% alasan seorang datang kerumah
sakit. Angka frekuensi dalam 3 tahun diperkirakan 34%. Sinkop sering terjadi
pada orang dewasa, insiden sinkop menngkat dengan meningkatnya umur.
Hamilton mendapatkan sinkop sering pada umur 15-19 tahun, lebih sering pada
wanita daripada laki-laki, sedangkan pada penelitian Framingham mendapatkan
kejadian sinkop 3% pada laki-laki dan 3,5% pada wanita, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan wanita. Penelitian Framingham di Amerika Serikat tentang
kejadian singkop dari tahun 1971-1998 (selama 17 tahun) pada 7.814 individu,
bahwa insiden singkop pertama kali terjadi 6,2/1.000 orang pertahun. Singkop
yang paling sering terjadi adalah singkop vasovagal (21,1%), singkop kardiac
(9,5%) dan 36,6% singkop yang tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan
dieropa dan jepang kejadian sinkop adalah 1-3,5%. Singkop vaskular
merupakan penyebab sinkop yang terbanyak, kemudian diikuti oleh sinkop
kardiac (Alimurdianis, 2010).
1
Pemicu umum untuk sinkop dalam beberapa posisi penurunan frekuensi
berdiri adalah rasa sakit (12,77%) bau (10,64%), ketakutan (8,51%) , dan
melihat darah (4,26%). Sementara di terlentang dan posisi duduk, bau (50%)
dan 18,75%, masing-masing), dan rasa sakit (16,67% dan 12,50%, masingmasing) adalah pemicu umum. Sinkop situasional terlihat pada berdiri (17,12%)
dan posisi duduk (4,5%). Micturation (16,22%) adalah pemicu umum di antara
berbagai penyebab sinkop situasional, sedangkan batuk (12,50%), tertawa
(6,25%), dan buang air besar (6,25%) yang ditemui dalam posisi duduk. Pemicu
lain seperti gerakan kepala, kurang tidur, melihat darah, keracunan alkohol,
angkat berat, membaca, konsentrasi, gelisah, bermain, dan membersihkan
telinga yang jarang, berdiri terlalu lama (35,59%) adalah keadaan umum,
mendahului episode syncopal , terutama sambil berdiri dalam antrian
dikeramaian, terutama di musim panas (Khadilkar, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang didapatkan rumasan masalah Bagaimana Penanganan dan
Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan pada Pasien Sinkop ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Mahsiswa dapat mengetahui konsep teori sinkop dan menanganannya.
1.3.2
Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui konsep sinkop
b. Mahasiswa mampu mengetahui analisa PICO VIA sinkop
c. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada pasien sinkop
1.4 Manfaat
Manfaat dari segi teoritis Mahasiswa mengetahui konsep teori sinkop dan dari
segi praktik Mahasiswa dapat melakukan penanganan khususnya pada pasien
sinkop dengan hipoglikemi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sinkop
2.1.1 Definisi Sinkop
Sinkop (pingsan) adalah suatu kehilangan kesadaran sesaat akibat
hipoperfusi serebral global yang di tandai dengan onset yang cepat, jangka
waktu pendek, dan recovery penuh secara spontan (Setyohadi, 2015).
Jatuh pingsan adalah hilangnya kesadaran dan kontrol otot untuk
sesaat, yaitu beberapa detik sampai beberapa menit yang mengakibatkan
seseorang jatuh secara mendadak (Saubers, 2011).
2.1.2 Etiologi Sinkop
Menurut Thygerson (2011), sinkop dapat dipicu dari beberapa faktor seperti
berikut :
a. Dehidrasi
b. Berdiri terlalu lama
c. Posisi tubuh naik secara mendadak seperti dari jongkok lalu berdiri
d. Tekanan emosi
e. Kehilangan darah
f. Batuk-batuk
g. Hipoglikemia
h. Sakit perut
i. Gangguan pada jantung
Menurut Dewanto dkk (2009), Sinkop juga dapat dibagi menurut
etiologinya, yaitu :
a. Neutrally mediated syncopal syindrome, sinkop vasovagal, sinkop sinus
karotis, sinkop situasional (sinkop karena adanya perdarahan akut,
sinkop akibat batuk, bersin).
3
b. Disfungsi otonom, syndrome disfungsi otonom primer (disfungsi
otonom murni, atropi sistem multiple, penyakit perkinson dengan
disfungsi otonom).
c. Sinkop akibat aritmia jantung : disfungsi nodus SA, gangguan konduksi
atrioventrikular
d. Penyakit structural jantung atau kardio pulmoner.
e. Serebrovaskuler (subclavian steal syndrome).
2.1.3 Manifestasi klinis sinkop
Menurut Sukanta (2011), gejala ringan yang sering terjadi pada penderita
sinkop adalah sebagai berikut :
a. Kelelahan yang menyeluruh
b. Sakit kepala atau pusing
c. Mata berkunang-kunang
d. Haus
e. Nafas sesak dan pendek
2.1.4 Jenis-jenis Sinkop
Menurut Iskandar (2011), jenis-jenis sinkop adalah sebagai berikut :
a. Sinkop biasa
Sinkop jenis ini biasanya terjadi pada mereka yang berdiri lama di bawah
terik matahari, kekurangan asupan makanan, tidak sarapan pagi terlebih
dahulu, atau pada orang-orang tua yang berdiri sesudah berbaring lama di
tempat tidur. Pingsan ini juga dapat terjadi karena penyakit anemia (kurang
darah), kelelahan, tekanan darah rendah (hipotensi), ketakutan terhadap
sesuatu, atau tidak tahan melihat darah.
b. Sinkop karena panas (Heat Exhaustion)
Sinkop jenis ini terjadi pada mereka yang sehat, namun karena bekerja atau
berkegiatan di tempat yang sangat panas sehingga pingsan. Biasanya
korban mula-mula merasakan jantung yang berdebar-debar, mual, muntah,
4
sakit kepala, kemudian pingsan. Keringat yang bercucuran pada orang
pingsan diudara yang sangat panas merupakan petunjuk yang akurat.
c. Sinkop karena sengatan terik matahari (Heat Stroke)
Sinkop karena sengatan terik matahari merupakan keadaan yang lebih
berat dari pingsan karena heat exhaustion. Sengatan terik matahari terjadi
karena kontak langsung dengan matahari dalam jangka waktu yang lama,
tubuh bereaksi dengan mengeluarkan keringat banyak dalam waktu yang
cukup lama sehingga menyebabkan kelenjar keringat kelelahan dan tidak
mampu mengeluarkan keringat lagi. Hal ini berdampak panas yang
mengenai tubuh tidak dihambat oleh pengeluaran keringat yang telah
berkurang sehingga terjadi psinkop.
d. Sinkop karena kencing manis (Diabetes Mellitus)
Penderita penyakit kencing manis dapat mengalami sinkop karena dosis
insulin yang diberikan berlebihan sehingga glukosa sangat rendah. Dengan
demikian pasokan glukosa ke otak rendah atau karena zat keton dalam
darah sangat tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya para penderita kencing
manis selalu memberikan keterangan bahwa dirinya menderita diabetes.
Jika ia mendapat suntikan insulin, perlu juga disebutkan dosis dan jenis
insulin yang diberikansehingga apabila pingsan di jalan para penolong
dapat segera mengetahui penyebabnya. Gejala kelebihan zat keton: akan
terlihat kondisi penderita sangat sakit, kulit kering, dan kemerahan.
Penderita haus, tidak merasa lapar, napas bau aseton, serta napasnya dalam
dan cepat. Gejala kelebihan insulin: penderita terlihat lemah dan pucat.
Tidak haus namun merasa sangat lapar. Biasanya napas tidak bau aseton
dan napasnya normal/tidak cepat.
e. Sinkop karena keracunan
Tindakan perawatannya adalah Bersihkan saluran pernapasan korban dari
lender, kotoran atau muntahan.
f. Sinkop karena minuman keras
Minuman keras misalnya yang beralkohol tinggi dapat membuat seseorang
jadi mabuk. Bahkan, jika mabuk berat dapat menyebabkan pingsan.
5
g. Sinkop karena perdarahan otak
Pingsan jenis ini biasanya karena tekanan darah mendadak tinggi dan
menyebabkan pembuluh darah otak pecah yang disebut stroke perdarahan.
Gejalanya adalah sakit kepala, mual, muntah, dan pingsan/koma.
2.1.5 Anamnesis
Menurut Dewanto dkk (2009), anamnesis sinkop meliputi episode
sinkop yang mencakup: faktor pencetus, aktivitas sebelum terjadinya sinkop,
posisi pasien saat serangan sinkop misalnya berdiri, duduk, atau tidur, karena
dapat
membantu
membedakan
apakah
sinkop
kardiogenik
atau
nonkardiogenik. Klinisi juga sebaiknya mengumpulkan informasi mengenai
gejala-gejala sebelum timbulnya sinkop, yaitu : rasa ingin pingsan, kepala
terasa ringan, vertigo, kelemahan, diaphoresis, perasaan tidak nyaman di
perut, mual, penglihatan kabur, pucat, dan parestesia sering terjadi sebelum
sinkop. Sepertiga dari pasien (terutama lansia) hanya menampilkan sedikit
gejala prodromal, bahkan ada yang tidak mengalaminya. Pada kasus-kasus
demikian biasanya diikuti oleh trauma fisik, misalnya terjatuh. Riwayat
penggunaan obat juga harus diteliti dengan seksama, terutama obat-obat yang
sering dihubungkan dengan penyebab sinkop, antara lain:
a. Obat-obatan yang menurunkan tekanan darah
b. Obat-obatan yang mempengaruhi kesadaran
c. Obat-obatan yang mempengaruhi curah jantung
d. Obat-obatan yang memperpanjang interval QT
2.1.6 Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang
Menurut Dewanto dkk (2009), pemeriksaan fisik dan penunjang
untuk korban sinkop adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan jantung yang lengkap dan menyeluruh dapat memberikan
gambaran mengenai penyebab sinkop
b. Tanda-tanda vital
6
c. Pemeriksaan neurologis sebagai barometer perbaikan ataupun perburukan
gejala. Status mental biasanya normal
d. Identifikasi trauma
e. Beberapa pemeriksaan bedside dapat membantu menunjukkan sumber
sinkop
f. Pemeriksaan EKG 12 sadapan
7
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SINKOP
3.1 Kasus
Klien Ny. S Umur 59 Tahun dengan hipoglikemia pada pasien diabetes
mellitus di instalasi gawat darurat dengan keluhan utama yaitu klien dalam
keadaan pingsan. Alasan klien masuk Instalasi Gawat Darurat, Keluarga
mengatakan kemarin klien bersama dengan suami bertamasya, sehingga klien
kecapekan dan keluarga juga mengatakan bahwa sejak kemarin sore sebelum
magrib sekitar jam 17.45 klien sudah terlihat lemas dan klien tampak pucat.
Keluarga mengatakan sekitar 15 menit sebelum masuk Rumah Sakit klien
pingsan. Klien terlihat terbaring lemas, klien tampak pucat, akral dingin, klien
tampak berkeringat, ketika bernafas terlihat retraksi dinding dada dan pola
nafas klien tampak reguler dengan Respiratory Rate (RR) 28x/menit. Keluarga
mengatakan klien terakhir makan adalah tadi malam dan hari ini klien belum
sarapan. Klien mengatakan kepala terasa pusing, pusing terasa senut- senut
dengan skala 6, klien mengatakan pusing sering muncul, pusing terasa berat
ketika klien beraktivitas. dan ekspresi wajah klien tampak tegang dan klien
tampak memegangi kepala. Riwayat penyakit dahulu keluarga mengatakan
mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 6 tahun yang lalu,
keluarga juga mengatakan kalau klien sebelumnya pernah dirawat di Rumah
Sakit, kali ini merupakan ketiga kalinya klien dirawat di Rumah Sakit, terakhir
klien dirawat di Rumah Sakit yaitu awal bulan Juni 2018 karena glukosa darah
klien yang tinggi. Hasil pemeriksaan sekarang yaitu, TD : 120/80 mmHg, S :
35 x/m ( akral teraba dingin), Nadi : 55 x/m ( teraba lemah ), RR: 28 x/m (
menggunakan otot aksesoris), klien tampak pucat, berkeringat, GCS: E2V3M2,
dan GDS : 37mg/dl.
8
3.2 Pengkajian
3.2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 59 Tahun
3.2.2 Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien dalam keadaan pingsan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluarga mengatakan sekitar 15 menit sebelum masuk Rumah Sakit klien
pingsan. Klien terlihat terbaring lemas, klien tampak pucat, akral dingin,
klien tampak berkeringat, ketika bernafas terlihat retraksi dinding dada dan
pola nafas klien tampak reguler dengan Respiratory Rate (RR) 28x/menit.
Keluarga mengatakan klien terakhir makan adalah tadi malam dan hari ini
klien belum sarapan. Klien mengatakan kepala terasa pusing, pusing terasa
senut- senut dengan skala 6, klien mengatakan pusing sering muncul,
pusing terasa berat ketika klien beraktivitas. dan ekspresi wajah klien
tampak tegang dan klien tampak memegangi kepala.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan mempunyai riwayat penyakit diabetes mellitus sejak
6 tahun yang lalu, keluarga juga mengatakan kalau klien sebelumnya
pernah dirawat di Rumah Sakit, kali ini merupakan ketiga kalinya klien
dirawat di Rumah Sakit, terakhir klien dirawat di Rumah Sakit yaitu awal
bulan Juni 2018 karena glukosa darah klien yang tinggi.
3.2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadadaan umum : Somnolen, pucat, dan lemah
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
RR
: 28 x/menit
Suhu : 35 oC
GDS
: 37 mg/dl
GCS
9
: 65 x/menit
: E2V3M2
3.2.4 Analisa Data
No
1.
Symtom
Penurunan
DS :
Keluarga
Etiologi
mengatakan produksi
Problem
Penurunan
kadar
energi glukosa darah
sekitar 15 menit sebelum metabolik
masuk Rumah Sakit klien
pingsan
DO :
a. Px tampak pucat
b. Px tampak lemas
c. Akral teraba dingin
d. TD : 120/80 mmHg
e. Nadi: 65 x/menit
f. RR : 28 x/menit
g. Suhu: 35 oC
h. GDS: 37 mg/dl
i. GCS: E2V3M2
3.3 Diagnosa Keperawatan
Penurunan kadar glukosa darah b.d penurunan produksi energi metabolik.
3.4 Intervensi Keperawatan
a. Penurunan kadar glukosa darah b.d penurunan produksi energi metabolik.
1. Kretetia hasil :
Setelah dilakaukan asuhan keperawatan pasien diharapkan glokosa
darah pasien kembali normal dan pasien tampak rileks.
Intervensi :
10
a) Kaji keadaan umum pasien
b) Anjurkan keluarga memberikan air gula kepada pasien
c) Kolaborasi tim medis dalam pemberian cairan infus dextrose 40%
20 tpm/IV.
3.5 Jurnal 1
Judul
: Nonpharmacologic Treatments Alone are Enough to Prevent the
Neurally Mediated Syncope: A 3 Years Follow‑up Study.
Penulis
: Bahar Dehghan, Mohammad Reza Sabri, Marjan Mansourian.
Publikasi : 2019 International Journal of Preventive Medicine
Abstrack :
Background: Recurrences are common in neurally mediated syncope. The aim
of this study is the evaluation of the effectiveness of nonpharmacologic
treatments alone in preventing of syncope relapse. Methods: 70 patients (age
5–20 years) with neurally mediated syncope were enrolled. Thirty patients
received pharmacologic therapies along with nonpharmacological methods,
and 40 patients received just nonpharmacological treatments then followed
them for 36 months. The incidences of different outcomes were analyzed with
descriptive statistics using percentages. Results: The recurrence rate of syncope
was significantly higher in pharmacological group than in nonpharmacological
group in each period of the follow‑up (P < 0.001). Conclusions:
Nonpharmacologic treatment is very effective in the prevention of syncope
relapses and can be a substitute for pharmacologic drugs in the initiation of
treatment and if done correctly.A
NO
1
Kreteria
P
Jawab
Ya
Keterangan
Pada beberapa penyakit yang memiliki gejala sinkop sehingga
dapat membuat pasien cedera, untuk mencegah hal tersebut
terjadi dilakukan terapi non farmakologis dan farmakologis
untuk mencegah sinkop. Cara nonfarmakologi dengan
11
pelatihan miring, pasien dilatih untuk meningkatkan asupan air
dan garam setiap hari dan melakukan sedangkan farmakologis
dengan obat vagolitik, agen penghambat beta, fludrokortison,
inhibitor reuptake serotonin, agonis alfa, dan midodrine.
2
I
Ya
Dalam kelompok farmakologis 19 pasien menerima atenolol (1
mg / kg / 24 jam) dan 11 pasien menerima fludrocortisone (0,1
mg / hari). metode nonfarmakologis termasuk pendidikan dan
jaminan mengenai sifat dari kondisi, kesadaran, dan
kemungkinan penghindaran pemicu (misalnya, lingkungan
yang panas, ramai, dan penipisan volume), memiliki diet yang
sesuai dengan menambahkan garam dan air, pengenalan awal
gejala prodromal, dan melakukan manuver untuk membatalkan
episode (misalnya, posisi terlentang, manuver counterpressure
fisik), dan pelatihan miring. Untuk latihan miring didampingi
setidaknya satu anggota keluarga, pasien diperintahkan untuk
berdiri dengan kaki berjarak 15 cm dari dinding dan bersandar
dengan punggung atas menghadap dinding. Selama 1 minggu,
pasien dilakukan latihan ini selama 2 menit setiap hari tanpa
gerak apapun, tes terus 4 menit berdiri setiap hari selama 2
minggu, dan itu meningkat 2 menit setiap minggu sampai
pasien bisa berdiri 15-20 menit terus menerus dan tidak ada
gejala sinkop terjadi.
3
C
Ya
Dari 30 pasien di Ph.G, 19 menerima atenolol. Empat belas
pasien dapat menghentikan terapi mereka karena tidak
memiliki serangan sinkop berulang dalam periode pengobatan
mereka. Tiga pasien memiliki episode sinkop berulang atas 1
tahun dan presinkop selama 2 tahun pengobatan dan masih di
atenolol. Dalam dua pasien serangan sinkop tidak dikontrol
dengan atenolol, dan pengobatan berubah menjadi hidroklorida
midodrine setelah 1 tahun terapi. Sinkop mereka sekarang
12
terkendali dengan terapi midodrine. Di antara 11 pasien yang
diambil fludrocortisone, dua pasien memiliki episode sinkop
selama 1 tahun dengan presinkop selama 2 tahun terapi dan
masih melanjutkan terapi mereka, dan dalam 1 lagi pasien, obat
berubah menjadi midodrine setelah 1 tahun terapi. Pasien
NPh.G tidak menerima obat dari 40 pasien, tiga pasien tidak
mengikuti diet mereka, dan delapan pasien tidak melanjutkan
pelatihan kemiringan di rumah mereka, pada 3 bulan pertama.
Semua pasien mengikuti diet mereka setelah 6 bulan, tetapi
empat subjek tidak melanjutkan pelatihan kemiringan di rumah
mereka. Di akhir studi, mereka semua mengikuti diet dan
latihan memiringkan. Semua pasien dididik untuk melanjutkan
diet dan latihan memiringkan untuk waktu yang lama.
perbandingan kekambuhan sinkop pada kedua kelompok
selama 3 tahun follow-up. Dalam NPh.G , tujuh pasien
memiliki episode sinkop, dan empat memiliki gejala presinkop
pada 3 bulan pertama pengobatan. Dari tujuh pasien dengan
sinkop, lima tidak melakukan pelatihan kemiringan, dua orang
lainnya telah melakukannya. Dari empat subjek yang memiliki
presyncope, tiga tidak melakukan latihan tilt, tetapi satu telah
melakukannya. Pasien, yang tidak mengikuti diet atau latihan
memiringkan, memiliki lebih banyak gejala vertigo, pusing,
dan kelelahan. Setelah 6 bulan, satu pasien memiliki 3 episode
sinkop yang serangannya dipicu dengan situasi penuh tekanan
dan tidak mengikuti pelatihan miringnya juga. Satu pasien
mengalami episode tes head-up tilt table negatif setelah
intervensi), dengan presyncope, dan satu pasien mengalami
vertigo episodik walaupun terjadi peningkatan konsumsi
oksigen puncak yang signifikan. Mereka telah melakukan
pelatihan dan diet mereka. Pada akhir kami kelompok kontrol
tidak menunjukkan studi yang signifikan secara statistik.
13
4
O
Ya
Hasil penelitian masalah sinkop dapat teratasi dengan teapi
farmakologis
dan
nonfarmakologis
nonfarmakologis.
lebih efektif dari
Pengobatan
pada pengobatan
farmakologis dalam pencegahan sinkop dan dapat digantikan
untuk medis pengobatan nonfarmakologi,
No
1
Kreteria
Validitas Seleksi
Jawab
Keterangan
Ya
Penelitian ini menggunakan dianalisis dengan
statistik deskriptif menggunakan persentase.
Analisis statistik dilakukan dengan uji Chisquare, dan P <0,05 dianggap signifikan secara
statistik. Data dianalisis menggunakan IBM
SPSS Statistics versi 22.0.
2
Importancy
Ya
Penelitian ini penting bagi dunia kesehatan dan
berkonstribusi besar dalam penatalaksanaan
kekambuhan sinkop , hasil yang didapatkan
periode
sinkop
berkurang
dan
dengan
farmakologis dan nonfarmakologis, tetapi non
farmakologis lebih efektif.
3
Applicability
Ya
Penelitian
nonfarmakologis
ini
perlu
diterapkan karena tidak memerlukan biaya dan
mudah dilakukan hanya pasien diperintahkan
untuk berdiri dengan kaki berjarak 15 cm dari
dinding dan bersandar dengan punggung atas
menghadap dinding. Selama 1 minggu, pasien
dilakukan latihan ini selama 2 menit setiap hari
tanpa gerak apapun, tes terus 4 menit berdiri
setiap hari selama 2 minggu, dan itu meningkat
2 menit setiap minggu sampai pasien bisa
berdiri 15-20 menit terus menerus dan tidak
14
ada gejala sinkop terjadi. Sedangkan terapi
farmakologis memerlukan biaya cukup mahal
karna mengharuskan kontrol dg obat obatan.
3.6 Jurnal 2
Judul : Comparison of Effects of the Hypoglycemia Management Protocol
With 40% Dextrose Concentrated Solution to the Post-correction
Blood Sugar Response through Intravenous Infusion and Intravenous
Bolus
Penulis
: Yuriani, Retnosari Andarajati, Laurentius A. Pramono.
Publikasi : Indonesian Journal of Clinical Pharmacy, June 2019.
Abstrack :
Hypoglycemic patients who receive 40% dextrose (D40%) concentrated
solution in the correction process need to avoid excessive blood glucose spikes.
Administration of D40% was found in two different ways, through intravenous
infusion (iv infusion) and intravenous bolus (iv bolus) and the effects of both
types of administration were unknown. The purpose of this study was to
compare the effect of a hypoglycemia treatment protocol using D40%
concentrated solution to the post-correction blood sugar response through iv
infusion and iv bolus at two different hospitals with two distinct protocols. This
comparative analytical cross-sectional study was conducted retrospectively at
St. Carolus Hospital (D40% iv infusion group) and Bella Hospital (D40% iv
bolus group). Blood glucose responses, in form of coefficient of variation and
degree of overcorrection, were compared between groups. The overall median
blood glucose response was 69.5 (3–195) mg/dL for iv infusion group (n=60)
and 77 (15–249) mg/dL for iv bolus group (n=62) (p=0.259). The coefficient
of variation with iv infusion and iv bolus group were 47.18% and 52.75%,
respectively. The median of degree of overcorrection in iv infusion group was
lower compared with iv bolus group, 10% (0–138%) versus 23% (0–195%),
respectively. Both D40% protocols did not have a significant correlation with
15
the degree of overcorrection (Mann- Whitney test; p=0.099). D40% iv infusion
and bolus administration had no effect to the post-correction blood sugar
response.
NO
1
Kreteria
P
Jawab
Ya
Keterangan
Pada pasien dengan hipoglikemia diatasi dengan D40%,
agar cepat memulihkan kadar gula dalam darah bisa
dilakukan dengan cara IV infus dan IV bolus..
2
I
Ya
Pada pasein rawat inap dengan hipoglikemia menerima
D40%. Untuk kelompok infus iv, 40% harus diencerkan
dengan NaCl 0,9% utuk memastikan jumlah dekstrosa yang
sama berikan antara kelompok. Pengenceran dengan NaCl
0,9% menghasilkan larutan
dekstrosa
yang kurang
terkonsentrasi. Oleh kerena itu, diakui bahwa larutan tidak
lagi konsentrasi 40%, tetapi jumlah total dekstrosa yang
diberikan, 20 gram, masih sama antara lompok yang
dibandingkan.
3
C
Ya
kenaikan gula darah pada kelompok iv infus D40% 69,5 (3–
195) mg / dL (n = 60 pasien) dan kelompok iv bolus D40%
77 (15–249) mg / dL (n = 62 pasien) (p = 0,259). Koefisien
variasi dengan iv infus adalah 47,18% dan iv bolus 52,75%.
Median derajat overkoreksi iv infus D40% lebih rendah
dibandingkan iv bolus D40%, dengan masing-masing 10%
(0–138%) dan 23% (0–195%). Kedua cara memberikan
D40% tidak memiliki hubungan yang mendukung dengan
derajat overkoreksi (uji Mann-Whitney ; p = 0,099).
4
O
Ya
Hasil penelitian masalah hipoglikemia teratasi dengan terapi
pemberian D40% menggunakan iv infus maupun iv bolus,
dengan demikian terapi dengan D40% dapat diterapkan
dikepawatan dalam mengatasi hipoglikemia.
16
No
1
Kreteria
Validitas Seleksi
Jawab
Keterangan
Ya
Penelitain ini menggunakan adalah studi crosssectional komparatif yang dilakukan di Rumah
Sakit St. Carolus kelompok infus D40% iv)
dan Rumah Sakit Bella (kelompok D40% iv
bolus).
2
Importancy
Ya
Penelitian ini penting bagi dunia kesehatan dan
berkonstribusi besar dalam penatalaksanaan
hipoglimkemia dengan meningkatkan gula
darah pada pasien.
3
Applicability
Ya
Penelitian ini perlu diterapkan karena biaya
yang murah dan mudah ditemukan karena
disemua rumah sakit pasti memeliki D40 %
tersebut.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sinkop adalah masalah kesehatan yang umum mencakup hingga 3%
dari gawat darurat (ED) dilihat antara 1% dan 6% dari semua pasien yang
masuk rumah sakit. Sinkop dapat menjadi penyebab cidera serius dan awal
terjadinya aritmia jantung yang serius yang segera membutuhkan perhatian
medis karena kekhawatiran kematian mendadak. Penurunan aliran darah otak
biasanya diakibatkan oleh 3 mekanisme umum, yaitu gangguan tonus vaskular
atau volum darah, gangguan kardiovaskular termasuk lesi obstruktif dan
cardiac arrhythmia, atau penyakit cerebrovascular dengan baik jika cardiac
output
dan
vasokostriksi
arteri
sistemik
dapat mengkompensasi
perubahan-perubahan yang terjadi. Jika tidak dapat mengkompensasi
maka akan terjadi hipotensi dengan akibatnya berupa penurunan perfusi
cerebral menjadi setengah nilai normal dan timbullah sinkop.
4.2 Saran
Menurut kami makalah yang kami buat masih jauh dari kata sempurna
kami harap sekiranya pembaca mencari refrensi lain sebagai acuan
pembelajaran.
18
DAFTAR PUSTAKA
Rizki, A.N. (2017). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Ketrampilan
Perawatan Sinkop Dan Epistaktis Pada Siswa Di MI Plus Bunga Bangsa
Dolopo Kabupaten Banten. Skripsi.
Dehghan, B., Sabri, R.M., Mansourian, M. (2019). Nonpharmacologic Treatments
Alone are Enough to Prevent the Neurally Mediated Syncope: A 3 Years
Follow‑up Study. Pediatric Cardiovascular.Research Center,
Cardiovascular. Research Institute, Isfahan University of Medical
Sciences, Isfahan. Iran.
Yuriani1, Andarajati R., Pramono, A.L (2019). Comparison of Effects of the
Hypoglycemia Management Protocol with 40% Dextrose Concentrated
Solution to the Post-correction Blood Sugar Response through
Intravenous Infusion and Intravenous Bolus. Faculty of Pharmacy,
University of Indonesia, Depok, Indonesia, Department of Internal
Medicine, Atma Jaya Hospital, Jakarta, Indonesia, Indonesian Journal of
Clinical Pharmacy, June 2019 Available online at: Vol. 8 Iss. 2, pg 99–106
http://ijcp.or.id ISSN: 2252–6218
19
Download