Citrus sinensis

advertisement
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Limbah Jeruk Manis
Jeruk manis (Citrus sinensis) merupakan tanaman yang tumbuh subur didaerah
tropis dan subtropis. Jeruk manis dapat beradaptasi didaerah tropis pada ketinggian
900-1200 meter dari permukaan laut dengan kondisi lembab, serta mempunyai
persyaratan air tertentu (Simbolon,2008).
Tanaman jeruk manis memiliki kisaran tinggi antara 3-10 m. Tangkai daun 0,53,5cm. Daun berbentuk elips atau bulat telur memanjang. Buah jeruk berbentuk bulat
atau bulat rata dan memiliki kulit buah yang tebal (sekitar 0,3 – 0,5cm), daging buah
berwarna kuning, jingga atau kemerah-merahan.
Daging buah terbagi atas 8-13
segmen yang mengelilingi sumbu buah (Ilustrasi 1). Biji jeruk berbentuk bulat telur
dan berwarna putih atau putih keabuan (Van Steenis, 1987).
Ilustrasi 1. Jeruk manis
Taksanomi untuk tanaman jeruk manis adalah sebagai berikut:
Kingdom
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Bangsa
: Plantae
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Monocotyledoneae
: Rutales
Suku
Marga
Spesies
: Rutaceae
: Citrus
: Citrus sinensis
Bagian jeruk manis yang dapat dikonsumsi adalah sekitar 60% dari total buah
jeruk seutuhnya dan sekitar 40% adalah limbah, yang terdiri atas 65% merupakan
kulit jeruk, 30-35% membran jeruk, dan 0-10% biji jeruk (Mirzaei dan Naser, 2008)
(Ilustrasi 2).
Ilustrasi 2. Limbah jeruk manis
Kandungan nutrisi yang tedapat pada limbah kulit jeruk adalah bahan kering
90,01%; abu 7,70%; protein kasar 6,50%; serat kasar 12,76%; lemak kasar 3,40%; dan
Total Digestible Nutrient 79,00% (Laboratorium Ternak Ruminansia dan Kimia
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2010). Limbah kulit
jeruk mengandung senyawa aktif diantaranya tanin 0,95%; flavonoid 0,46%; saponin
0,84%; dan minyak atsiri 0,91%, (Laboratorium Kimia Organik Fakultas MIPA
Universitas Padjadjaran, 2013).
2.2
Domba Padjadjaran
Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat popular di Indonesia,
khususnya bagi peternak yang ada di daerah Jawa Barat. Beberapa keunggulan dari
domba karena pemeliharaannya mudah dan cepat berkembang biak, memiliki pasar
yang luas, modal yang relatif rendah bila dibandingkan ternak sapi, akan tetapi
sebagaian masyarakat memiliki presepsi bahwa daging domba memiliki nilai kolestrol
yang tinggi. Klasifikasi domba menurut Ensminger (2002) adalah sebagai berikut:
Kingdom
Fillum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Animalia
: Chordata
: Mamalia
: Artiodactyla
: Bovidae
: Ovis
: Ovis aries
Ternak domba yang banyak dipelihara oleh masyarakat di Indonesia umumnya
adalah domba-domba lokal, yang memiliki daya adaptasi tinggi pada iklim tropis dan
beranak sepanjang tahun (Sumoprastowo ,1987).
Dua tipe domba yang paling
menonjol di Indonesia yaitu domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Domba ekor
tipis merupakan domba asli Indonesia yang dikenal sebagai domba lokal atau domba
kampung (Sumoprastowo, 1987), sedangkan domba ekor gemuk berasal dari Asia
Barat (Williamson dan Payne, 1993). Saat ini domba yang banyak di jumpai di Jawa
Barat salah satunya adalah domba Priangan.
Berdasarkan asal-usulnya domba Priangan merupakan hasil persilangan antara
domba lokal dengan domba Merino,dan domba Kaapstad saat jaman kolonial yaitu
sekitar tahun 1886 (Ono dkk, 2002; Marlia, 2013). Ciri-ciri dari domba priangan antara
lain berat domba jantan hidup dapat mencapai 60-80 kg; berat domba betina sekitar 30-
40 kg; daun telinga relatif kecil dan kokoh; berbulu lebih panjang daripada domba asli
dengan warna bulu beragam, ada yang putih hitam dan coklat atau warna campuran;
domba betina tidak bertanduk, sedangkan domba jantan mempunyai tanduk besar,
kokoh, kuat, dan melingkar.
Domba priangan jantan yang baik performansinya
digunakan sebagai domba laga, akan tetapi meskipun berbulu lebat, domba ini tidak
dapat diklasifikasiksan sebagai penghasil wol karena merupakan wol kasar yang tidak
ekonomis (Rismayanti, 2010).
Domba Padjadjaran adalah domba asal Wanaraja Kabupaten Garut masih
rumpun domba Garut (non tangkas) yang kembali mengalami pemurnian materi
genetik dengan posisi Mt-DNA pada 1447 bp (Marlia, 2013) dan diarahkan
menjadi domba pedaging dengan ciri-ciri berbulu putih dan bertelinga lebar (Bandiati,
2012).
2.3
Sel darah merah
Sel darah merah merupakan salah satu komponen cairan darah yang memiliki
hemoglobin didalamnya, secara umum berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan
karbondiosida dalam tubuh (Guyton, 1995). Struktur sel darah merah jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan sel pada umumnya, yaitu tidak memiliki organel
intrasel seperti mitokondria, lisosom atau aparatus Golgi (Komariah, 2009). Sel darah
merah memiliki membran yang terdiri atas lipid dan protein (Palmer dan Williams,
2007), serta berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7,5 μm, dan tebal 2 μm namun
dapat berubah bentuk sesuai diameter kapiler yang akan dilaluinya.
Pembentukan Sel darah merah dinamakan eritropoesis. Sel darah merah berasal
dari hemositoblas yang kemudian berkembang secara berurutan menjadi proeritroblas,
basofilik eritroblas, polikromatik eritroblas, orthokromatik eritroblas, retikulosit dan
pada akhirnya menjadi sel darah merah dan membelah secara mitosis.
Proses pembentukan sel darah merah diatur oleh hormon eritropoetin, yang
disintesis oleh ginjal dan disekresikan langsung ke dalam aliran darah. Mekanisme
kerja eritropoetin selalu dikaitkan dengan keadaan hipoksia, eritropoietin pada kondisi
hipoksia akan menuju ke sumsum tulang dan selanjutnya ertitropoietin berinteraksi
dengan progenitor sel darah merah melalui sebuah reseptor yang spesifik, yaitu protein
transmembran yang terdiri atas dua subunit berbeda dan sejumlah domain. Progenitor
sel darah merah dikenal sebagai BFU-E (burst forming unit erythroid), yang
menyebabkan progenitor tersebut dapat berploriferasi serta berdiferensiasi (Juwita,
2009). Perkembangan sel darah merah ditandai oleh adanya penyusutan ukuran sel,
perubahan warna sitoplasma dan perubahan inti (Prince, 2002).
Seluruh proses
eritropoiesis dalam sumsum tulang diperlukan waktu 7 hari.
Jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh suhu lingkungan, ketinggian tempat
dan faktor iklim lain, umur, status faali (bunting dan laktasi), hemokonsentrasi dan
hemodelusi (Swenson,1970). Jumlah sel darah merah normal pada domba berkisar
antara 8-16 juta/µl (Banks, 1993).
2.4
Hemoglobin
Hemoglobin merupakan metaloprotein, yaitu senyawa protein dan metal yang terdiri
atas globin dan zat besi (Fe), yang tersusun atas 4 subunit protein (Ilustrasi 3) dan Fe
yang menyebabkan sel darah merah berwarna merah (Murray, 2003). Hemoglobin
memegang peranan yang penting dalam mendistribusikan oksigen dalam tubuh
(Frandson, 1992).
lustrasi 3. Struktur Hemoglobin
Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan
ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Proses
pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar heme adalah asam amino glisin
dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam
mitokondria, kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di
sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk
kembali ke dalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan
heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin (Murray, 2003).
Zat besi merupakan mironutrien esensial yang mutlak diperlukan dalam sintesis
hemoglobin, sehingga kekurangan zat besi (Fe) akan menyebabkan terbentuknya sel
darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah (Lyza, 2010).
Hemoglobin memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen, gabungan
hemoglobin dan oksigen membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah dan
melalui kemampauan ini oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn,
2006). Fungsi hemoglobin adalah mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh
(Yusnaini, 2014).
2.5
Hematokrit
Hematokrit adalah persentase sel-sel darah dalam cairan darah (Frandson,
1992) atau besarnya volume sel darah merah di dalam 100mm3 darah dan dinyatakan
dalam persen (Hoffbrand dan Pettit, 1996).
Peningkatan atau penurunan nilai hematokrit dalam darah mempengaruhi
viskositas darah. Semakin besar nilai hematokrit maka semakin tinggi viskositas darah,
sehingga banyak gesekan yang terjadi di dalam sirkulasi darah pada berbagai lapisan
darah (Guyton, 1997).
Nilai hematokrit normal pada domba ada pada kisaran 24-50% (Banks, 1993).
Nilai hematokrit bergantung pada jumlah sel darah merah, semakin tinggi jumlah sel
darah merah maka nilai hematokrit juga akan mengalami peningkatan, karena sel darah
merah merupakan masa sel terbesar dalam darah . Naik turunnya nilai hematokrit
bergantung pada volume sel-sel darah yang dibandingkan dengan volume darah
keseluruhan (Swenson, 1977).
Download