gambaran sel darah merah, hematokrit, dan hemoglobin induk

advertisement
GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN
HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL
KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI
VIVIEN KUSUMA WHARDANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
VIVIEN KUSUMA WHARDANI. Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan
Hemoglobin Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi.
Dibimbing oleh WASMEN MANALU dan ANDRIYANTO.
Superovulasi adalah prosedur ketika hewan diinduksi (biasanya dengan injeksi
hormon) untuk menghasilkan banyak ovum. Penelitian ini dilakukan untuk
menentukan persamaan dan perbedaan domba yang disuperovulasi dan yang tidak
disuperovulasi. Data dikumpulkan dari bulan Mei hingga Juni 2011. Sebanyak 18
ekor domba dengan bobot badan antara 18 – 23 kg dibagi ke dalam 2 kelompok
perlakuan. Kelompok pertama ialah kontrol (tidak disuperovulasi). Kelompok
kedua ialah superovulasi (disuntik dengan PMSG). Variabel yang diamati dalam
penelitian ini antara lain jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar
hemoglobin. Pengambilan sampel darah dilakukan di vena jugularis pada 30 hari
awal kebuntingan, yakni hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, 30. Kelompok kontrol memiliki
jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan kelompok superovulasi. Jumlah sel darah merah, nilai hematokrit,
dan kadar hemoglobin mengalami kenaikan pada hari ke-30. Kesimpulan dari
penelitian ini ialah superovulasi pada domba dapat meningkatkan jumlah sel darah
merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin.
ABSTRACT
VIVIEN KUSUMA WHARDANI. Profiles of Red Blood Cell, Hematocrit, and
Hemoglobin on Early Pregnancy in Superovulated Ewes. Under direction of
WASMEN MANALU and ANDRYANTO.
Superovulation is a procedure when an animal is induced (usually through use of
injectable hormones) to ovulate multiple ova. This study was conducted to study
the blood profiles of nonsuperovulated and superovulated ewe during early
pregnancy. The data were collected from May until June 2011. A total of 18 ewes
weighing between 18–23 kg were divided into 2 groups. The first group was
control (without superovulation) and the second group was superovulation
(injected with PMSG and hCG). Variables measured were number of red blood
cell, hematocrit, and hemoglobin concentration. Blood samples were drawn from
the jugular vein for 30 days during early pregnancy, i.e., on days 1, 3, 6, 9, 12, 15,
30. The results showed that nonsuperovulated ewes had the lowest number of red
blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration as compared to
superovulated group. The number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin
concentration increased on day 30. It was concluded that superovulation of ewes
prior to mating could increase the number of red blood cell, hematocrit, and
hemoglobin concentration.
GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN
HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL
KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI
VIVIEN KUSUMA WHARDANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan
di Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul Gambaran Sel
Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Induk Domba pada Awal
Kebuntingan yang Disuperovulasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Vivien Kusuma Whardani
NIM. B04080173
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin
Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi
Nama Mahasiswa : Vivien Kusuma Whardani
Nomor Pokok
: B04080173
Program Studi
: Kedokteran Hewan
Disetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu
NIP. 19571220 198312 1 001
drh. Andriyanto, M. Si
NIP. 19820104 200604 1 006
Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal Lulus
:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini tepat pada
waktunya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada dua bulan dimulai
pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011 yang bertempat di Desa Tegalwaru,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Skripsi ini berjudul “Gambaran Sel Darah Merah,
Hematokrit,
dan
Hemoglobin
Induk
Domba
pada
Awal
Kebuntingan
yang
Disuperovulasi”.
Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas petunjuk,
saran, dan arahan yang telah diberikan oleh semua pihak yang membantu penulis dalam
penyusunan Skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir.
Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing pertama dan drh. Andriyanto, M. Si
sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis serta dosen pembimbing akademik (Dr. drh. Mochamad Fahrudin) yang
telah memberikan nasehat dan motivasi dari awal
hingga tersusunnya Skripsi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda (Ir. Sugeng Haryadi, MT)
dan ibunda (dra. Rusmina Sitorus, MM) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan
semangat kepada penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman AVENZOAR 45 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.
Penulis berharap Skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu
pengetahuan. Akhir kata, semoga Skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun bagi pembaca.
Bogor, Juni 2012
Vivien Kusuma Whardani
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Vivien Kusuma Whardani. Penulis lahir di DKI Jakarta
pada tanggal 25 Maret 1990 dari pasangan Ir. Sugeng Haryadi, MT dan dra. Rusmina
Sitorus, MM. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.
Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya ialah
lulusan SDN 02 Pulo Gebang, Jakarta Timur pada tahun 2002, lulusan SMPN 30 Jakarta
Utara pada tahun 2005, dan lulusan SMAN 13 Jakarta Utara pada tahun 2008. Pada
tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) jalur tertulis. Pada perkuliahan penulis tergabung dalam organisasi
Himpunan Profesi Satwa Liar (2009-2012).
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …………………………………………………………..
xii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…...
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiv
BAB I.
BAB II.
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang ………………………………….………...
1
1. 2. Tujuan Penelitian ……………………………………..…..
2
1. 3. Manfaat Penelitian ………………………………………..
3
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Karakteristik Domba Ekor Tipis (Ovis aries) …………….
4
2. 2. Reproduksi dan Superovulasi Domba ……………………. 5
2. 3. Sinkronisasi Berahi …………………...……………….….
6
2. 4. Hormon Reproduksi ……………………………….……... 7
2. 5. Hematologi Domba ………………………………….…… 9
2. 6. Sel Darah Merah ………………………………………….
10
2. 7. Hematokrit …………………..……………………………
11
2. 8. Hemoglobin ………………..…………….……………….. 12
BAB III.
METODE
3. 1. Waktu dan Tempat …………………………….…………. 13
3. 2. Alat dan Bahan …………………………….……………... 13
3. 3. Tahap Persiapan ………………………….……………….
13
3. 3. 1. Hewan Percobaan …………………………….………... 13
3. 3. 2. Aklimatisasi Domba …………………………….……... 14
3. 3. 3. Kandang, Pakan, dan Minum ………………………….. 14
3. 4. Tahap Pelaksanaan ………………………….……………. 14
3. 4. 1. Rancangan Percobaan ………………………….………
14
3. 4. 2. Superovulasi …………………………..……………….. 14
3. 4. 3. Pengambilan Sampel ……………………….………….. 15
3. 4. 4. Penghitungan
Sel Darah Merah, Hematokrit, dan
Hemoglobin …...……………………………………….
16
3. 5. Variabel yang Diamati ………………………….………...
17
xi
3. 6. Analisis Data ………………………….………………….. 17
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Sel Darah Merah ………………………………………….
18
4. 2. Hematokrit ………………………………………………..
21
4. 3. Hemoglobin …………………….………………………… 23
SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
28
LAMPIRAN ……………………………………………………………..….
31
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia …………………
1
Tabel 2 Karakteristik domba ekor tipis (Ovis aries) ……………………….
5
Tabel 3 Parameter pemeriksaan sel darah merah domba normal …………..
11
Tabel 4 Jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal
kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang
disuperovulasi ………………………….………………………….. 18
Tabel 5 Nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang
tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi …………... 22
Tabel 6 Kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan
yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi …….. 24
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Sel darah merah domba ...………………………………………
Gambar 2
Pengambilan darah pada domba melalui vena jugularis ……….. 15
Gambar 3
Kamar hitung Neubauer ………………………………………... 16
Gambar 4
Grafik rataan jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba
11
pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦)
dan yang disuperovulasi (■) …………………………...……….
Gambar 5
19
Grafik rataan nilai hematokrit (%) induk domba pada awal
kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang
disuperovulasi (■) ………………………………………………
Gambar 6
22
Grafik rataan kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal
kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang
disuperovulasi (■) ……………………………………………....
25
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah …………… 30
Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan hematokrit ……………………….... 33
Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan hemoglobin ……………………….. 35
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein
yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peternakan
domba merupakan sektor agribisnis yang patut dikembangkan dan perlu mendapat
perhatian serius untuk mewujudkan agribisnis yang berdaya saing, sehingga dapat
turut serta dalam memberikan sumbangan pada peningkatan perekonomian
nasional.
Hal ini berdasarkan pada keadaan alam dengan keanekaragaman yang
sungguh luar biasa dan keadaan sosial-budaya yang sangat kondusif, terutama
terkait dengan mayoritas Warga Negara Indonesia (WNI) beragama Islam.
Keduanya merupakan faktor pendukung potensial bagi pengembangan peternakan
domba di Indonesia.
Salah satu daerah penghasil ternak domba di Jawa Barat adalah Kabupaten
Bogor. Populasi ternak domba di Indonesia pada tahun 2009 adalah 10 199 000
ekor sedangkan populasi domba di Provinsi Jawa Barat adalah yang paling tinggi
di Indonesia yaitu sebanyak 5 311 836 ekor atau mencapai 51% populasi domba
nasional (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2009). Berdasarkan
data statistik Direktorat Jendral Peternakan (2011), populasi ternak domba selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia
Tahun
Populasi (ekor)
2001
7 401 000
2002
7 641 000
2003
7 811 000
2004
8 075 000
2005
8 327 000
2006
8 980 000
2007
9 514 000
2008
9 605 000
2009
10 199 000
2010
10 932 000
Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (2011)
2
Pola pemeliharaan ternak domba di Indonesia masih bersifat tradisional
dengan skala pemilikan yang kecil (small holders). Di samping itu, jumlah
pemotongan domba termasuk domba betina produktif untuk kebutuhan lokal pun
cukup
tinggi,
sehingga
bila
produktivitasnya
tidak
ditingkatkan
dan
dikembangkan secara komersial dan dalam skala yang besar, dikhawatirkan akan
terjadi pengurangan populasi domba nasional, karena perkembangan populasi
domba tidak sejalan dengan meningkatnya permintaan akan domba dan
perkembangan populasi penduduk.
Masalah utama rendahnya produktivitas bakalan domba adalah domba
betina yang beranak dengan jumlah lebih dari dua ekor biasanya memiliki bobot
lahir yang rendah dan dengan tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 2003;
Andriyanto dan Manalu 2011). Produktivitas bakalan domba dapat ditingkatkan
dengan cara superovulasi.
Superovulasi telah terbukti dapat memperbaiki sekresi hormon endogen
kebuntingan, yaitu progesteron dan estrogen (Andriyanto dan Manalu 2011).
Kedua hormon ini mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan uterus serta
mempengaruhi proses tumbuh kembang kelenjar ambing. Teknik superovulasi
dilakukan dengan cara menyuntikan hormon gonadotropin, seperti pregnant mare
serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG) yang akan
meningkatkan perkembangan folikel ovarium, sehingga dapat meningkatkan
jumlah sel telur yang diovulasikan.
Kondisi induk domba yang disuperovulasi tentunya berbeda dengan induk
domba yang tidak disuperovulasi. Hal ini dikarenakan induk domba yang
disuperovulasi memiliki beban metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan
dengan induk domba yang tidak disuperovulasi. Peningkatan status fisiologis akan
meningkatkan kualitas bakalan yang dihasilkan dengan tingkat kematian anak
yang lebih rendah sehingga nilai efisiensi reproduksi induk akan meningkat.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penerapan
superovulasi terhadap status fisiologis induk melalui gambaran darahnya pada
3
awal kebuntingan. Selain itu, tujuan dari penelitian ini ialah untuk meningkatkan
performans induk yang tergambar melalui gambaran darahnya.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ialah memaksimalkan penerapan teknologi
reproduksi, yakni superovulasi. Penerapan superovulasi dapat meningkatkan
performans induk domba sehingga menghasilkan anakan yang lebih baik secara
kualitas maupun kuantitas. Peningkatan jumlah populasi domba diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan daging domestik dan memberikan sumbangan terhadap
swasembada daging nasional. Manfaat lainnya dari peningkatan jumlah populasi
domba adalah dapat melindungi dan menyelamatkan plasma nutfah asli Indonesia,
yakni Domba Ekor Tipis, dari kepunahan akibat pemotongan betina yang
produktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Domba Ekor Tipis
Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang dipelihara sebagai hewan
gembala di dataran rendah. Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan
dagingnya (Hafez dan Hafez 2000). Oleh karena peralatan domba tidak terlalu
mahal, persyaratan kandang sederhana, dan persyaratan pakan tidak sulit maka
domba dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Domba
seperti halnya kambing, kerbau, dan sapi, tergolong dalam famili Bovidae.
Klasifikasi domba berdasarkan taksonomi adalah sebagai berikut (Herren 2000).
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Bovidae
Subfamili
: Caprinae
Genus
: Ovis
Spesies
: Ovis aries
Kelompok domba yang digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian
untuk penulisan Skripsi ini adalah kelompok Domba Ekor Tipis. Domba Ekor
Tipis banyak ditemukan di daerah-daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi
seperti di Jawa Barat (Doho 1994).
Domba Ekor Tipis memiliki ciri morfologi berekor tipis dan pendek,
memiliki warna dominan putih dan ada belang hitam di sekeliling mata, hidung,
dan dapat pula diseluruh tubuhnya, tidak ada deposisi lemak dibagian ekor, domba
jantan memiliki tanduk yang melengkung sedangkan domba betina pada
umumnya tidak bertanduk. Domba Ekor Tipis memiliki ukuran telinga yang
sedang dan wol yang kasar (Iniquez et al. 1993). Domba ini memiliki bobot badan
domba betina dewasa bervariasi dari 25 sampai dengan 35 kg dengan tinggi badan
rata-rata 57 cm, sedangkan bobot badan domba jantan dewasa berkisar antara 40
sampai dengan 60 kg dengan tinggi badan rata-rata 60 cm. Rataan bobot lahir dan
5
bobot sapih Domba Ekor Tipis yang dipelihara dengan sistem penggembalaan
masing-masing 2,2 dan 10 kg/ekor. Karakteristik Domba Ekor Tipis dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik Domba Ekor Tipis
Karakteristik
Keturunan asal
Penyebaran di Indonesia
Kemampuan adaptasi terhadap
lingkungan
Reproduksi khusus
Warna bulu
Tanduk
Rata-rata umur untuk dikawinkan
Rata-rata umur pubertas
Berat lahir
Keterangan
Java thin tailed sheep breed.
Seluruh Pulau Jawa.
Sangat baik beradaptasi pada
lingkungan tropis dan kondisi pakan
yang buruk.
Mudah berkembang biak dan
perawakan kecil, tidak dipengaruhi
oleh musim kawin, dapat
menghasilkan tiga anak dalam dua
tahun.
Pada umumnya putih, kadang ada
sedikit bercak hitam pada bagian mata
dan hidung.
Hanya dimiliki oleh domba jantan,
berbentuk melingkar dengan ukuran
kecil.
12 bulan untuk domba jantan dan 10
bulan untuk domba betina.
10 bulan untuk domba jantan dan 8
bulan untuk domba betina.
1,5 kg untuk domba jantan dan 1,3
untuk domba betina.
Sumber: Bamualim (2008)
2.2. Reproduksi dan Superovulasi Domba
Kemampuan reproduksi domba dapat dipengaruhi oleh faktor genetik
(bangsa domba) dan beberapa faktor lain seperti jenis kelamin, cuaca dan iklim,
dan pakan yang diberikan. Domba-domba betina mencapai masa pubertas pada
umur 5 sampai dengan 7 bulan dan dapat dikawinkan untuk pertama kali pada
umur 8 bulan atau lebih. Siklus berahi pada domba rata-rata terjadi setiap 16 hari
sekali (dengan kisaran antara 14 sampai dengan 20 hari), dengan lama estrus ratarata 30 jam. Ovulasi terjadi sekitar 24 sampai dengan 30 jam setelah awal estrus.
Oleh karena itu, kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila perkawinan terjadi
pada saat akhir masa berahi.
6
Domba Ekor Tipis mempunyai keunggulan selain mudah beradaptasi
dengan lingkungan, juga memiliki sifat prolifik yaitu kemampuan beranak hingga
4 ekor dalam satu kelahiran (Inonuo dan Iniguez 1991). Kenyataan di lapangan
menunjukan semua jenis domba yang beranak lebih dari dua ekor, akan diikuti
dengan angka kematian yang tinggi, sehingga pada akhirnya mengakibatkan
rendahnya efisiensi reproduksi. Kemungkinan penyebabnya adalah telah terjadi
persaingan antaranak dalam pengambilan zat makanan sejak awal kebuntingan,
sementara induk tidak mempunyai persiapan yang memadai.
Efisiensi reproduksi ternak domba sangat bergantung pada keberhasilan
proses reproduksi. Salah satu cara meningkatkan potensi reproduksi domba adalah
melalui superovulasi. Superovulasi berasal dari kata super berarti luar biasa dan
ovulasi berati pelepasan sel telur atau ovum dari folikel de Graaf. Secara umum
superovulasi merupakan suatu upaya memanipulasi folikulogenesis sehingga
jumlah ovulasi meningkat dibanding normal. Peningkatan jumlah folikel yang
berkembang hingga mengalami ovulasi dirangsang melalui penyuntikan pregnant
mare serum gonadotrophin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG).
Dengan meningkatnya jumlah folikel yang dihasilkan maka jumlah sel telur yang
diovulasikan dan yang dibuahi akan menjadi bertambah sehingga jumlah anak per
kelahiran dapat meningkat. Keberhasilan penggunaan PMSG/hCG dalam
meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum dapat dilihat dari meningkatnya
sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio, dan fetus,
peningkatan bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan
kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al.
1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b).
2.3. Sinkronisasi Berahi
Sinkronisasi berahi merupakan upaya untuk meningkatkan jumlah hewan
yang berahi pada waktu yang bersamaan. Hormon luteolitik yang umum
digunakan untuk sinkronisasi berahi adalah prostaglandin F2α (PGF2α)
(Sumaryadi 2003).
Dasar fisiologis dari sinkronisasi berahi adalah hambatan
pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dari hipofisa anterior sehingga
7
menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL)
baik secara manual maupun secara fisiologis.
Prostaglandin F2α (PGF2α) merupakan preparat hormon luteolitik yang
berfungsi menginduksi kejadian berahi melalui penyingkiran CL. Proses
pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung pada kehadiran
FSH dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon tersebut sangat esensial dalam
sintesa estrogen. Jika hanya terdapat LH secara tunggal, maka tidak akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel.
2.4. Hormon Reproduksi
Fluktuasi berbagai hormon reproduksi pada domba betina dewasa disebut
sebagai siklus berahi yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Siklus berahi juga dikenal sebagai fase folikel yang terdiri atas fase pertumbuhan
folikel yang ditandai dengan level estrogen tinggi dan fase luteal yang memiliki
waktu cukup panjang yang ditandai dengan perkembangan CL dan kadar
progesteron tinggi.
Hipothalamus, hipofisa, gonad dan plasenta merupakan kelenjar endokrin
reproduksi yang akan bekerja sama membuat suatu putaran interkoneksi, yang
dikenal sebagai poros Hipothalamus-hipofisagonadal (Iman dan Fahriyan 1992).
Pada hipothalamus bagian median eminentia dan preoptik, Gonadotropin
Releasing Factor (GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin setelah
mendapat rangsangan dari sistem saraf pusat (SSP), GnRH ditransportasikan
melalui Hypothalamus-hypophyseal portal system menuju kelenjar hipofisa
anterior.
Pelepasan GnRH dari terminal saraf dan median eminence ke dalam
hipophyseal portal darah merupakan sinyal neuroendokrin untuk terjadinya proses
ovulasi. Gonadotropin Releasing Factor (GnRH) akan menstimulasikan sel-sel
gonadotrof kelenjar hipofisa untuk mensekresikan FSH dan LH. Gonadotropin
Releasing Factor (GnRH), FSH dan LH akan dilepaskan dengan lonjakanlonjakan tertentu. Follicle stimulating hormone (FSH) dan LH akan bekerja pada
sel target dari gonad (Iman dan Fahriyan 1992).
8
Sekresi FSH terjadi secara ritmis selama 4 sampai dengan 5 hari sebelum
berahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat
dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan folikel. Folikel
akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup
singkat dibawah pengaruh FSH dan estradiol 17ß terjadi pembentukan reseptorreseptor untuk kedua macam hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel granula
juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH.
Follicle stimulating hormone (FSH) akan menstimulasikan sel-sel
granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggung jawab atas
perkembangan dan pematangan folikel, LH berfungsi menstimulasikan sintesa
androstenedion dari kolesterol, dan selanjutnya dikonversi ke dalam testosteron.
Pada sel-sel granulosa terjadi aromatisasi estradiol-17ß dibawah pengaruh FSH
membentuk estrogen (Iman dan Fahriyan 1992).
Hormon ataupun target organ memiliki suatu sistem homeostatik feedback,
yaitu semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri. Folikel
ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang akan berespons terhadap
hipothalamus untuk menekan pelepasan FSH dan selanjutnya memfasilitasi
pelepasan LH untuk menandai proses ovulasi. Pada saat tersebut sel-sel granulosa
memproduksi inhibin yang bekerja khusus untuk menghambat produksi FSH
(feedback negatif).
Estrogen dapat menyebabkan feedback positif terhadap Hipothalamus dan
hipofisa anterior, yakni kadar estrogen meningkat akan menyebabkan peningkatan
sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan kadar gonadotropin dari
hipofisa anterior. Tingginya kadar estrogen merupakan sinyal untuk pelepasan LH
dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi.
Superovulasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yang berbeda,
diantaranya dalam pemberian dosis, preparat hormon dan prosedur pelaksanaan
(Iman dan Fahriyan 1992). Pemakaian gonadotropin seperti PMSG/hCG
seringkali
dilakukan
pada
superovulasi.
gonadotrophine/human chorionic gonadotrophin
Pregnant
mare
serum
(PMSG/hCG) merupakan
hormon ganadotropin yang dihasilkan oleh plasenta dengan aktivitas biologik
menyerupai FSH dan LH sehingga disebut sebagai gonadotrophin sempurna.
9
Pengaruh yang ditumbulkan oleh PMSG antara lain merangsang pertumbuhan
folikel, menunjang produksi estrogen, ovulasi, luteinisasi, dan merangsang
sintesis progesteron pada domba yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis
PMSG adalah panjang 40 sampai dengan 125 jam (Hafez dan Hafez 2000).
Pregnant mare serum gonadotrophine (PMSG) sebagai glikoprotein yang terdiri
atas subunit α dan ß dengan kadar karbohidrat tinggi, yakni kadar asam sialat yang
dapat mengakibatkan waktu paruh PMSG cukup panjang dibandingkan dengan
gonadotropin lainnya (Hafez dan Hafez 2000). Pregnant mare serum
gonadotrophine (PMSG) dengan dosis tunggal melalui intramuskuler cukup untuk
menimbulkan ovulasi berganda. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang
sangat variatif mulai dari tidak berespons, kadang-kadang sampai berespons
berlebihan. Apabila pemberian PMSG tidak disertai dengan pemberian hormon
lain, PMSG harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus uterus
untuk domba.
Keberhasilan cara superovulasi, ternyata membawa pengaruh yang besar
terhadap stimulasi uterus, yang diawali dari laju ovulasi, peningkatan jumlah
korpus luteum berlanjut terhadap sekresi beberapa hormon dan faktor tumbuh
yang disekresikan oleh korpus luteum. Perjalanan panjang ini akan mempengaruhi
ekspresi gen dalam pertumbuhan sel-sel stroma uterus yang dimanifestasikan
terhadap bobot fetus domba yang di superovulasi lebih berat dari yang tidak di
superovulasi (Sumaryadi et al. 2002).
2.5. Hematologi Domba
Darah adalah cairan tubuh yang terdapat di luar sel dan terdapat pada
semua hewan kelas tinggi yang berfungsi mengirimkan nutrisi dan oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh dan membunuh kuman penyakit (bakteri atau
virus) yang masuk ke dalam tubuh, serta mengangkut bahan-bahan kimia hasil
metabolisme. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah yang ada
diseluruh tubuh. Komponen darah terdiri atas bagian cair dan bagian padat.
Bagian cair merupakan bagian dari 55% darah yang disebut dengan plasma.
Plasma darah mengandung 91 sampai dengan 93% air yang berfungsi sebagai
pelarut, pembawa sel-sel darah dan komponen didalamnya, serta sebagai pengatur
10
panas tubuh, elektrolit (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-, HPO42-, H2PO4-, H+)
yang berfungsi sebagai sistem penyangga (buffering), dan gas terlarut, yakni O2
dan CO2. Darah mengandung 5 sampai dengan 7% protein plasma, yakni albumin,
globulin, fibrinogen, dan plaminogen. Albumin adalah protein plasma yang lebih
kecil sehingga lebih cepat bergerak dan larut dalam air serta memiliki satu fraksi.
Albumin merupakan 60% total plasma protein yang berfungsi untuk
mempertahankan tekanan osmotik plasma. Globulin adalah protein plasma yang
larut dalam air garam dan memiliki tiga fraksi, yaitu 2α, 2β, dan 1γ. Bagian padat
merupakan bagian dari 45% darah yang terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel
darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Bagian darah yang
mempunyai fungsi penting dalam proses pembekuan darah adalah trombosit
(Poedjiadi 2006).
2. 6. Sel Darah Merah
Sel darah merah (eritrosit) dibuat dalam sumsum tulang secara mitosis dan
diferensiasi dengan membawa hemoglobin. Komposisi sel darah merah adalah 62
sampai dengan 72% air, 35% padatan yang terdiri atas 95% hemoglobin dan 5%
lagi berupa protein distroma dan membran sel, fosfolipid (lecithine, cephaline),
kolesterol, lemak, vitamin, koenzim, glukosa, enzim, dan mineral. Eritrosit pada
domba berbentuk cakram (disk) bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler. Bentuk sel
dapat berubah ketika sel melewati pembuluh kapiler tetapi sel darah merah
memiliki membran sel yang kuat sehingga tidak akan pecah. Sel darah merah
dapat bertahan selama 120 hari sampai dengan 125 hari dalam sirkulasi dan
kemudian mengalami kerusakan. Sekitar 0,8% dari seluruh eritrosit mengalami
kerusakan dan dibentuk setiap hari. Penghancuran sel-sel darah merah terjadi
setelah mengalami sirkulasi tiga sampai empat bulan. Sel darah merah pada
domba dapat dilihat pada Gambar 1.
11
Sumber: Anonim (2008)
Gambar 1 Sel darah merah domba
Sel-sel darah merah mengalami disintegrasi, melepaskan hemoglobin ke
dalam darah, dan debris (puing-puing) sel yang rusak itu dibuang dari sirkulasi
oleh sistem makrofag atau sistem retikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel
khusus di dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus (Frandson 1996).
2. 7. Hematokrit
Nilai hematokrit adalah persentase berdasarkan volume dari darah, yang
terdiri dari sel-sel darah merah. Penentuannya dilakukan dengan mengisi tabung
hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak menggumpal, kemudian
dilakukan sentrifuse sampai sel-sel mengumpul di dasar (Frandson 1996).
Hematokrit disebut juga dengan Packed Cell Volume (PCV). Hematokrit
merupakan perbandingan antara volume sel darah merah dan komponen darah
yang lain. Volume sel darah merah berbanding lurus terhadap jumlah sel darah
merah dan kadar hemoglobin.
Jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh faktor spesies, umur, jenis
kelamin, nutrisi, keadaan fisiologis seperti laktasi, kebuntingan, dan siklus berahi,
suhu, daerah dataran tinggi, dan keadaan patologis. Parameter pemeriksaan sel
darah merah domba normal dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Parameter pemeriksaan sel darah merah domba normal
Parameter
Kisaran (Rata-rata)
Satuan
Sel Darah merah
8–16
×106/mm3
Hemoglobin
8–16
g%
PCV
24–50
%
Sumber: Banks (1993) dan Frandson (1996)
Nilai hematokrit merupakan petunjuk yang sangat baik untuk menentukan
jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Pemeriksaan sel
12
darah merah dapat dilakukan dengan memeriksa tiga parameter, yaitu jumlah total
sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Jumlah sel darah merah
dan konsentrasi hemoglobin mengindikasikan morfologi sel darah merah,
sedangkan nilai hematokrit menunjukan perbandingan sel darah merah dengan
plasma protein (Meyer et al. 1992).
2. 8. Hemoglobin
Hemoglobin adalah pigmen eritrosit yang terdiri atas protein kompleks
terkonjugasi yang mengandung zat besi yang berguna untuk memberi warna
merah pada eritrosit. Fungsi utama hemoglobin adalah untuk mengangkut oksigen
dan karbondioksida dalam darah (Cunningham 1997). Hemoglobin merupakan
protein pengangkut oksigen paling efektif dan terdapat pada hewan-hewan
bertulang belakang (vertebrata). Zat besi dalam bentuk Fe 2+ pada hemoglobin
memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 mL darah
mengandung 15 g hemoglobin yang mampu mengangkut 0,03 g oksigen.
BAB III
METODE
3. 1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yang dimulai pada bulan
Mei sampai dengan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yakni
pengambilan sampel darah dilakukan di kandang Mitra Tani yang beralamat di
Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, kemudian analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi,
Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3. 2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid 3 mL,
seperangkat
alat
ultrasonography
(USG),
tabung
reaksi,
gelas
objek,
hemositometer, selotip, marker, kertas label, kertas saring atau tisu, kapas, tabung
kapiler, alat penghitung, adam micro-hematocrit reader, penyumbat tabung
kapiler, alat sentrifugasi, tambang, selang penanda berwarna, mikroskop cahaya,
oven, dan kotak pendingin.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 18 domba betina,
sediaan hormon prostaglandin F2α (PGF2α), pregnant mare serum gonadotropin
(PMSG) dan human chorionic gondadotropin (hCG), pengencer NaCl 0,9%,
alkohol 70%, antikoagulan ethilen diamine tetra-asetate (EDTA), vitamin B
kompleks, dan anthelmintik (Albendazole).
3. 3. Tahap Persiapan
3. 3. 1. Hewan Percobaan
Tahap pertama dari persiapan hewan coba adalah menyiapkan domba
betina sebanyak 18 ekor yang diperoleh dari kandang Mitra Tani. Domba tersebut
memiliki bobot badan berkisar 18 sampai dengan 23 kg dan telah dewasa kelamin.
14
3. 3. 2. Aklimatisasi Domba
Pada
minggu
pertama,
domba
percobaan
dipelihara
untuk
diaklimatisasikan. Tujuan aklimatisasi ini adalah agar domba beradaptasi terlebih
dahulu terhadap lingkungan kandang dan sekitarnya, sehingga dapat menekan
tingkat stress seminimal mungkin. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik domba
dan diberikan anthelmintik dan vitamin B kompleks. Pemberian anthelmintik dan
vitamin bertujuan untuk mendapatkan kondisi domba yang sehat dan bebas dari
kecacingan.
3. 3. 3. Kandang, Pakan, dan Minum
Hewan coba ditempatkan pada kandang kelompok dengan konstruksi
kandang panggung. Tinggi kandang ini 50 cm dari permukaan tanah dengan
tujuan untuk mengurangi paparan gas amoniak yang berasal dari feses dan urin.
Domba sebanyak 18 ekor dikandangkan sesuai dengan kelompok perlakuan.
Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Pakan diberikan tiga
kali sehari. Air minum diberikan secara ad libitum, hal ini untuk mencegah
terjadinya dehidrasi.
3. 4. Tahap Pelaksanaan
3. 4. 1. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah
rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan. Perlakuan pertama ialah
domba yang tidak disuperovulasi (kontrol) sedangkan perlakuan kedua ialah
domba yang disuperovulasi. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas
sembilan ekor domba.
3. 4. 2. Superovulasi
Perlakuan superovulasi diawali dengan sinkronisasi berahi terhadap
seluruh domba pada setiap kelompok perlakuan. Sinkronisasi berahi dilakukan
dengan cara menyuntikkan hormon PGF2α (Lutalyse™) secara intramuscular
sebanyak dua kali. Dosis PGF2α yang diberikan berkisar 5 sampai dengan 15
mg/kg Bobot badan. Penyuntikkan PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu
15
sebelas hari dari penyuntikkan pertama. Kelompok domba superovulasi mendapat
perlakuan penyuntikkan secara intramuscular menggunakan hormon PMSG dan
hCG yang disuntikkan sesaat setelah penyuntikkan PGF2α yang kedua. Kelompok
domba kontrol hanya mendapat perlakuan penyuntikkan PGF2α.
Sekitar 24 sampai dengan 36 jam setelah penyuntikkan PGF2α yang
kedua, domba berada dalam keadaan berahi. Semua kelompok perlakuan domba
dicampur dengan domba jantan, agar terjadi perkawinan. Pencampuran domba
jantan ini dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan dilakukan
dengan membagi 18 domba menjadi 2 kelompok dengan masing-masing
kelompok terdiri atas 9 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah pencampuran
dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG.
3. 4. 3. Pengambilan Sampel
Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid
sebanyak kurang lebih 3 mL. Sebelum pengambilan darah, bulu dicukur dan
dibersihkan dengan kapas alkohol. Pengambilan darah pada domba dapat dilihat
pada Gambar 2.
Sumber: Dokumen pribadi
Gambar 2 Pengambilan darah pada domba melalui vena jugularis.
Darah yang sudah diambil langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang telah dilapis antikoagulan EDTA. Tabung tersebut kemudian ditutup
menggunakan sumbat dan diberi label sesuai kode perlakuan. Setelah itu, sampel
16
darah tersebut dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium
fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah.
3. 4. 4. Penghitungan Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin.
Penghitungan sel darah merah dilakukan dengan menggunakan metode
hemositometer. Metode hemositometer dilakukan dua tahap. Tahap pertama, pipet
pengencer yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu. Sampel darah yang
telah diberi antikoagulan EDTA dihomogenisasi supaya sel darah tercampur
merata. Dengan menggunakan pipet pengencer, darah yang telah dicampur dengan
EDTA dihisap sampai 0,5. Kemudian, pipet dibersihkan dari noda darah yang
menempel menggunakan tisu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam
cairan pengencer NaCl 0,9% dan larutan tersebut dihisap sampai batas tera 101.
Aspirator dilepas, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan
pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan
dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen,
cairan tetesan pertama dan kedua dibuang. Tahap kedua, hasil pengenceran
dituangkan ke dalam kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet eritrosit
pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung didiamkan beberapa menit agar
sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Kamar hitung dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung
adalah di lima kotak, yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pojok kiri atas dan
bawah, serta satu kotak yang tepat berada di tengah. Jumlah sel darah merah ialah
jumlah dari penghitungan lima kotak tadi dikalikan dengan 10 000 per mm3.
Kamar hitung Neubauer dapat dilihat dalam Gambar 3.
Sumber: Bamualim (2008)
Gambar 3 Kamar hitung Neubauer.
17
Penghitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume (PCV) dilakukan
menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan
adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah
diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam
darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang
lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu,
tabung mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4 sampai
dengan 5 menit dengan kecepatan 10 000 rpm (rotasi per menit). Hasil
sentrifugasi dibaca menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader.
Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode
Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin didasarkan pada pembentukan
cyanmethemoglobin yang intensitas warnanya diukur secara fotometri. Reagen
yang digunakan adalah larutan Drabkin yang mengandung Kalium ferrisianida
(K3Fe[CN]6) dan kalium sianida (KCN). Ferrisianida mengubah besi pada
hemoglobin dari bentuk ferro ke bentuk ferri menjadi methemoglobin yang
kemudian bereaksi dengan KCN membentuk pigmen yang stabil yaitu
sianmethemoglobin. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara fotometri pada
panjang gelombang 540 nm.
3. 5. Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah leukosit dan
eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin.
3. 6. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis One-Sample
T Test untuk melihat interaksi dari masing-masing faktor perlakuan yang
diberikan. Dari analisis akan diperoleh nilai rata-rata dan standar deviasi. Nilai
tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik beserta interpretasinya secara
deskriptif.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Sel Darah Merah
Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal
kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan
dilakukan berdasarkan proses fisiologis yang rentan terjadi pada domba bunting.
Selain itu, pemilihan waktu tersebut dimaksudkan agar tidak menyakiti domba
akibat pengambilan darah sehingga tidak dilakukan setiap hari. Pemeriksaan darah
yang dilakukan adalah jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar
hemoglobin. Hasil penghitungan jumlah sel darah merah selama 30 hari tersebut
dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti
terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan
yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi
Hari kebuntingan
Kontrol
Superovulasi
1
10,24±3,29a
9,26±2,61a
a
3
10,86±3,06
13,17±3,08b
6
10,79±3,41a
13,16±4,21b
a
9
11,14±2,71
10,94±3,92a
12
9,04±3,77a
10,78±3,97b
a
15
10,47±1,94
11,21±2,16b
a
30
9,75±3,30
11,22±3,43b
Keterangan: Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata
(p<0,05)
Jumlah sel darah merah memperlihatkan nilai yang berfluktuasi pada awal
kebuntingan. Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah ini cenderung meningkat, baik
kelompok domba kontrol maupun kelompok domba superovulasi. Namun, jumlah
sel darah merah selama pengamatan masih dalam kisaran normal. Menurut Banks
(1993) dan Frandson (1996), jumlah sel darah merah pada domba berkisar 8
sampai dengan 16 ×106/mm3. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata jumlah
sel darah merah domba pada awal kebuntingan berada pada kisaran yang sangat
besar sekitar 9,04 sampai dengan 13,17 ×106/mm3. Uji secara statistik
memperlihatkan bahwa jumlah sel darah merah berbeda nyata antarwaktu
19
pengamatan maupun antar perlakuan (p<0,05). Nilai tersebut kemudian
Rataan sel darah merah
( 106/mm3)
ditampilkan dalam Gambar 4.
14
12
10
8
6
4
2
0
1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 4 Grafik rataan jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba
pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦)
dan yang disuperovulasi (■)
Pada hari ke-1 memperlihatkan jumlah sel darah merah kelompok domba
yang disuperovulasi lebih rendah 10% dibandingkan kelompok domba kontrol.
Rendahnya jumlah sel darah merah kelompok domba yang disuperovulasi diduga
berhubungan dengan cekaman panas sebagaimana yang dinyatakan oleh Moye et
al. (1991), bahwa jumlah sel darah merah akan meningkat pada keadaan suhu
udara yang rendah dan akan menurun pada keadaan suhu udara yang tinggi. Sel
darah merah mengandung unsur Fe yang mempunyai kemampuan mengikat
oksigen, sedangkan oksigen adalah unsur yang diperlukan dalam metabolisme.
Metabolisme menghasilkan energi yang akan menambah beban penderitaan
karena panas yang terbentuk. Oleh karena itu, tubuh akan segera mengurangi
jumlah sel darah merahnya untuk mengurangi cekaman panas. Selain itu,
perbedaan umur di antara domba perlakuan juga mempengaruhi rendahnya jumlah
sel darah merah. Jumlah sel darah merah akan berkurang dengan bertambahnya
umur dan bahkan pada umur tertentu pembentukan sel darah merah hanya terjadi
di beberapa tempat saja seperti sumsum tulang membranosa (Guyton dan Hall
2006).
Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah sel darah merah setiap kelompok
perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan hari ke-1. Kelompok
domba yang disuperovulasi memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi 21%
dibandingkan jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol. Faktor yang
20
secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut adalah faktor
superovulasi. Superovulasi akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang sangat
erat hubungannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon
mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk 1992;
Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Estrogen dan progesteron telah
terbukti dapat meningkatkan jumlah anak per kelahiran, yakni lebih dari satu anak
per kelahiran (Manalu dan Sumaryadi 1998). Oleh karena itu, induk domba yang
disuperovulasi memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada induk domba yang
tidak disuperovulasi. Jumlah fetus yang banyak ini sangat mempengaruhi
metabolisme induk domba tersebut terkait meningkatnya sekresi hormon
kebuntingan. Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi adalah adanya
peningkatan sel darah merah.
Pada hari ke-9, jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol
mengalami peningkatan sebesar 2% dibandingkan domba yang disuperovulasi
yang disebabkan oleh proses implantasi embrio pada uterus. Menurut Hafez dan
Hafez (2000), perkembangan individu baru selama periode ovum yaitu periode
dari sejak terbentuknya zigot, morula dan blastula hingga implantasi yang
berlangsung antara 0 sampai dengan 13 hari.
Pada hari ke-12, 15 dan 30, masing-masing kelompok perlakuan
menunjukkan jumlah sel darah merah yang kembali mengalami peningkatan
akibat adanya aktivitas metabolisme untuk memacu perkembangan plasenta.
Menurut Mege et al. (2007), superovulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan plasenta. Naik turunnya jumlah sel darah merah selama 30 hari ini
menggambarkan
adanya
perubahan
metabolisme
tubuh
untuk
memacu
perkembangan prenatal.
Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan setelah
diamati selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987)
didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 ×106/mm3.
Kozat et al. pada tahun 2003 melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba
tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 ×106/mm3. Pada tahun 2006, Kozat et al.
juga melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar
21
12,02±69 ×106/mm3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba
bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting.
Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah
sel darah merah selama 30 hari umur kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan
ialah faktor superovulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesamaan
pola peningkatan antara hormon metabolisme dan jumlah sel darah merah induk
domba pada awal kebuntingan yang disuperovulasi. Perlakuan superovulasi pada
induk sebelum perkawinan dapat memperbaiki hormon metabolisme yang
digambarkan dengan peningkatan jumlah sel darah merah. Faktor lain yang
mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah adalah ras (breed), aktivitas,
dan ketinggian tempat. Menurut Jain (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merah diantaranya adalah umur, ras,
musim, waktu pengambilan sampel, dan metode pemeriksaan yang digunakan.
4. 2. Hematokrit
Hematokrit adalah angka yang menunjukkan persentase sel darah terhadap
cairan darah. Bila terjadi perembesan cairan atau plasma darah dan keluar dari
pembuluh darah sementara bagian selnya tetap dalam pembuluh darah akan terjadi
peningkatan hematokrit. Jadi berkurangnya cairan membuat persentasi sel darah
terhadap cairannya naik sehingga nilai hematokritnya juga meningkat (Tumbelaka
2005). Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama 30 hari dapat disajikan
pada Tabel 5. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari hari
ke-1 sampai dengan hari ke-30 ialah faktor superovulasi. Uji secara statistik
memperlihatkan bahwa nilai hematokrit tidak berbeda nyata antarwaktu
pengamatan maupun antarperlakuan (p>0,05).
22
Tabel 5 Nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak
disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi
Hari kebuntingan
Kontrol
Superovulasi
1
21,17±3,71a
22,06±4,71a
a
3
21,17±4,02
20,17±5,68a
6
20,87±6,15a
24,27±4,38a
a
9
19,61±4,23
18,72±1,73a
12
23,71±1,72a
23,92±3,09a
a
15
23,11±3,33
23,44±2,36a
a
30
24,83±1,44
26,11±3,86a
Keterangan: Huruf superscript sama pada baris yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata
(p>0,05)
Nilai hematokrit yang tersaji pada Tabel 5 terlihat berfluktuasi selama
awal kebuntingan dan cenderung meningkat dari hari ke-12 sampai dengan hari
ke-30 kebuntingan. Nilai hematokrit pada kelompok domba yang disuperovulasi
meningkat sebesar 5% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terjadi pada
hari ke-30 kebuntingan. Menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), nilai
hematokrit normal pada domba adalah 24 sampai dengan 50%. Nilai tersebut
Rataan hematokrit (%)
kemudian ditampilkan dalam Gambar 5.
30
25
20
15
10
5
0
1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 5 Grafik rataan nilai hematokrit (%) induk domba pada awal
kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang
disuperovulasi (■) selama awal kebuntingan
Rendahnya nilai hematokrit dapat disebabkan oleh tubuh domba berusaha
mengurangi cekaman panas dengan menurunkan produksi panas tubuh melalui
penurunan konsumsi oksigen. Penurunan konsumsi oksigen akan menurunkan
jumlah sel darah merah sehingga domba yang mengalami cekaman panas
mempunyai kadar hematokrit yang lebih rendah. Rataan nilai hematokrit pada
23
kelompok domba yang disuperovulasi lebih tinggi dibanding dengan kelompok
domba kontrol. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok
domba yang disuperovulasi yang juga memiliki jumlah sel darah merah lebih
tinggi daripada kelompok domba kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat
Frandson (1996), jika jumlah sel darah merah meningkat maka nilai hematokrit
juga meningkat.
Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting
(1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan
memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang pernah dilaporkan
Ginting (1987) adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih
kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat et al. (2003) yang
melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting adalah 34±3%
sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al. 2006).
Kebuntingan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang
berakibat pada perubahan volume cairan dan sel darah merah. Rendahnya nilai
hematokrit pada hewan bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang
menyebabkan kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh termasuk air
ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Pada kebuntingan kembar nilai hematokrit
jauh lebih tinggi daripada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan
plasma darah di dalam tubuh menyebabkan pengenceran darah (hemodilusi) yang
pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi
merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan
hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya
meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 2006).
Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang
cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al.
2010).
4. 3. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan pigmen sel darah merah yang terdiri atas protein
kompleks terkonjugasi yang mengandung zat besi. Rata-rata kadar hemoglobin
pada kedua kelompok perlakuan relatif stabil selama pengamatan. Hasil rataan
24
yang didapatkan dari pengamatan kadar hemoglobin induk domba pada awal
kebuntingan yang disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6 Kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak
disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi
Hari kebuntingan
Kontrol
Superovulasi
a
1
8,16±1,42
8,87±1,40a
3
8,16±1,42a
8,86±1,40a
a
6
10,50±3,02
10,92±1,96b
9
9,11±1,34a
9,22±1,48a
a
12
9,73±0,77
9,88±1,24a
15
10,28±0,96a
10,04±1,18a
a
30
9,05±0,73
9,54±1,32a
Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda
nyata (p>0,05)
Nilai hemoglobin berfluktuasi pada kedua kelompok domba tersebut dan
dari hasil yang tersaji pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kisaran nilai hemoglobin
kelompok domba kontrol adalah 8,16±1,42 sampai dengan 10,50±3,02 g% dan
pada kelompok domba yang disuperovulasi adalah 8,86±1,40 sampai dengan
10,92±1,96 g%. Kadar hemoglobin pada kedua kelompok memperlihatkan nilai
terendah dijumpai pada hari ke-2, yaitu sekitar 8,16±1,42 g% pada kelompok
domba kontrol dan sekitar 8,86±1,40 g% pada kelompok domba yang
disuperovulasi. Kadar hemoglobin tertinggi diperoleh pada hari ke-6, yaitu yaitu
sekitar 10,50±3,02 g% pada kelompok domba kontrol dan sekitar 10,92±1,96 g%
pada kelompok domba yang disuperovulasi. Nilai tersebut kemudian ditampilkan
dalam Gambar 6. Secara keseluruhan kadar hemoglobin, baik kelompok domba
kontrol maupun domba yang disuperovulasi, masih berada dalam kisaran normal,
yakni 8 sampai dengan 16 g% (Banks 1993; Frandson 1996).
Rataan hemoglobin (g%)
25
12
10
8
6
4
2
0
1
3
6
9
12
15
30
Hari kebuntingan
Gambar 6 Grafik rataan kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal
kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang
disuperovulasi (■)
Uji secara statistik memperlihatkan superovulasi tidak berpengaruh secara
nyata terhadap kadar hemoglobin, baik antarwaktu pengamatan maupun
antarkelompok perlakuan. Kadar hemoglobin pada kelompok domba yang
disuperovulasi cenderung lebih tinggi dibanding kelompok domba kontrol, hal ini
diduga pengaruh pemberian pakan yang mampu memperbaiki metabolisme tubuh
terutama protein sehingga pemanfaatan nutrisi dapat lebih efisien. Nutrisi yang
baik akan terlihat dengan meningkatnya kadar hemoglobin. Menurut Manston
(1975), pakan yang rendah kualitasnya akan mempengaruhi penurunan hematokrit
dan hemoglobin, dan dalam jangka waktu yang lama juga akan mempengaruhi
albumin darah.
Selama pengamatan kadar hemoglobin antarkelompok domba perlakuan
mengalami peningkatan dan penurunan, namun masih dalam nilai yang relatif
stabil. Kadar hemoglobin yang cenderung stabil dapat menjaga dan mencegah
penurunan kadar oksigen dalam darah. Pada keadaan bunting, tubuh memerlukan
tambahan darah guna mensuplai oksigen dan makanan untuk pertumbuhan embrio
sehingga diperlukan kadar hemoglobin yang tinggi untuk mengangkut oksigen
dalam sel darah merah (Harli 1999). Peningkatan kadar hemoglobin menyebabkan
kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO 2
lebih efisien sehingga keadaan dan fungsi sel akan lebih baik (Cunningham 2002).
Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang
lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang
26
melaporkan kadar hemoglobin pada penelitiannya sebesar 11 g%. Nilai tersebut
sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan
Kozat et al. (2003), yaitu sebesar 12,3±0,7 g% pada domba tidak bunting dan
sebesar 12,3±0,58 g% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang
bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006).
Pola kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan
memiliki pola yang hampir sama dengan kenaikan dan penurunan pada jumlah sel
darah merah dan hematokritnya.
Secara umum, pola kenaikan kadar hemoglobin sama dengan pola
kenaikan jumlah sel darah merah dan hematokritnya, yaitu kenaikan terjadi pada
masa-masa
awal
kebuntingan. Pola
peningkatan
dan penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah yang terjadi pada masa-masa
awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan
gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya
pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus reproduksi, dan
kebuntingan (Jain 1993). Proses perubahan gambaran darah merupakan
mekanisme fisiologis yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk
selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999).
Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah
merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan kadar
nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi pada awal
kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh
kenaikan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin pada periode
awal kebuntingan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pada
induk domba bunting yang disuperovulasi maupun kontrol, terlihat adanya
fluktuasi dari nilai-nilai hematologisnya, dengan keadaan yang ektrem atau
puncak-puncak dari nilai tersebut umumnya terjadi pada hari ke-30 untuk jumlah
sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Superovulasi
berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan dan penurunan profil darah induk
domba penelitian pada awal kebuntingan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai profil biokimiawi darah domba yang
disuperovulasi. Pengamatan superovulasi perlu dilakukan terutama pengaruhnya
terhadap volume darah, kadar elektrolit, dan total protein.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyanto dan Manalu W. 2011. Potency of ethanol extract Curcuma xanthoriza
as natural growth promotor in pregnant ewes with superovulation.
Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd International symposium
on Temulawak. The 40th Meetingof National Working Group on Indonesian
Medical Plant. IICC. Bogor. Hlm:134.
Anonim. 2008. http://elvira.student.umm.ac.id [20 Januari 2012].
Azab M, Maksoud HA. 1999. Change in some hematological and biochemical
parameter during prepartum and postpartum periods in female Baladi Goats.
Small Rum Res. 34: 77–85.
Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas: Mosby, Inc. 142–154.
Bamualim AM. 2008. Domba Ekor Tipis. http://lprdad.fao.org/cgibin [20 Januari
2012].
Berghella V. 2007. Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa
Healthcare.
Cunningham JD. 1997. Text Book of Veterinary Physiology. Philadelphia: WB
Saunders Company.
-------. 2002. Text Book of Veterinary Physiology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB
Saunders Company.
Doho SR. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada
Domba Ekor Gemuk. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2009. Statistik Peternakan.
http://disnakan.bogorkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view
&id=175&Itemid=311. [20 Januari 2012].
Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. http: // www.bps.go.id / tab_sub / excel.php
? id_subyek = 24 & notab =12. [20 Januari 2012].
Dziuk PJ, 1992. Embryonic development and fetal growth. J Anim Reprod Sci.
28: 299–308.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Terjemahan.
Srigandono dan K. Praseno. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ginting N. 1987. Gambaran darah ruminansia di Pulau Jawa. Penyakit Hewan. 19
(33): 30–37.
29
Guyton AC dan Hall JE. 2006. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11. Jakarta: EGC.
Hafez ESE dan Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Harli M. 1999. Anemia. http://www.indomedia.com/intisari/anemia.htm. [21
Januari 2012].
Herren R. 2000. The Science of Animal Agriculture Ed-2. Delmar.
Inonuo I dan Iniguez LC, 1991. Sheep Performance at RIAP’s Bogor Research
Fasility, In: Sheep Proliferacy Small Ruminan. CRSP Progress Report
1990–1991.
Iniguez LC, Inonuo I, Bradford GE, Subandriyo, Tiesnamurti B et al. 1993.
Production performance of prolific Javanese ewes. Small Rumin Res. 12:
243–257.
Iman dan Fahriyan. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan
Embrio. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Pennsylvania: Lea and
Febiger.
Kleeman DO, Walker SK, Seamark RF. 1994. Enhance fetal growth in sheep
administered progesterone during the first three days of pregnancy. J Reprod
Fert. 102: 411–417.
Kozat S, YŸksek N, AltuÛ N, AÛaoÛlu TZ, Er•in F. 2003. Studies on the effect
of iron (Fe) preparation in addition to babesiosis treatment on the
hematological and some mineral levels in sheep naturally infected with
Babesia ovis. Y Y Vet Fak Derg 14: 18–21.
-------. 2006. Serum iron, total iron-binding capacity, unbound iron-binding
capacity, transferin saturation, serum copper, and hematological parameters
in pregnant akkaraman ewes infected with gastro-intestinal parasites . Turk J
Vet Anim Sci. 30:601–604.
Manalu W dan Sumaryadi. 1998. Maternal serum progesterone concentration
during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese Thin-Tail
Ewes with different litter size. Small Rumin Res. 30: 163–169.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of
superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and
fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes.
Small Rumin Res. 30: 171–176.
30
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary
gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese thintail ewes. Small Rumin Res. 33: 279–284.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Effect of
superovulation prior to mating on milk production performance during
lactation in ewes. J Dairy Sci. 83: 477–483.
Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000b. The effects of
superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth
weight and preweaning growth. Asian-Aust J Anim Sci. 13: 292–299.
Manston R. 1975. The influence of dietary protein upon bood composition in
dairy cows. Vet Rec. 96: 497–502.
Meyer DJ, et al. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and
Diagnosis. WB saunders Company: Philadelphia.
Moye RJ, Warbun RW, Huston MT. 1991. Effect of environmental temperature in
erytrocyts number and size. Puoltry Sci. 48: 1863.
Mege AR, Nasution SH, Kusumorini N, Manalu W. 2007. Growth and
development of the uterus and placental of superovulated gilts. Hayati J
Biosci. 14: 1–6.
Podymow T, Phylis A, Ayub A. 2010. Management of renal disease in pregnancy.
Obstet. Gynecol. Clin. N Am. 37: 195–210.
Poedjiadi A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Sumaryadi MY, Pramono E, Priyono A. 2002. Efek Induksi Hormon PMSG
terhadap Perbaikan Kinerja Reproduksi Induk dan Anak Domba Ekor
Gemuk, Animal Production Edisi Khusus, Faculty of 2 nd Animal
Husbandary Jenderal Soedirman University, hal 170–176.
-------. 2003. Perkembangan Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Prog Studi
Sumber Daya Ternak. Prog Pascasarjana. UNSOED.
Tumbelaka AR. 2005. Kesehatan. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0403/
20 / 085238.htm. [21 Januari 2012].
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah
T-Test Jumlah Sel Darah Merah Domba Superovulasi
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
SDM1
9
9.2611E2
260.91208
86.97069
SDM3
9
1.3178E3
308.40224
102.80075
SDM6
9
1.3162E3
422.89768
140.96589
SDM9
9
1.0943E3
391.97130
130.65710
SDM12
9
1.0788E3
397.31341
132.43780
SDM15
9
1.1218E3
215.68425
71.89475
SDM30
9
1.1226E3
342.81048
114.27016
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
SDM1
10.649
8
.000
926.11111
725.5563
1126.6659
SDM3
12.819
8
.000
1317.77778
1080.7188
1554.8367
SDM6
9.337
8
.000
1316.22222
991.1543
1641.2902
SDM9
8.376
8
.000
1094.33333
793.0375
1395.6291
SDM12
8.146
8
.000
1078.77778
773.3757
1384.1799
SDM15
15.603
8
.000
1121.77778
955.9882
1287.5674
SDM30
9.824
8
.000
1122.55556
859.0481
1386.0630
32
T-Test Sel Darah Merah (Kontrol)
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
SDM1
9
1.0241E3
329.22729
109.74243
SDM3
9
1.0868E3
305.96723
101.98908
SDM6
9
1.0791E3
341.24128
113.74709
SDM9
9
1.1141E3
270.59723
90.19908
SDM12
9
9.0467E2
376.75954
125.58651
SDM15
9
1.0477E3
194.05476
64.68492
SDM30
9
9.7533E2
329.92082
109.97361
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
SDM1
9.332
8
.000
1024.11111
771.0446
1277.1776
SDM3
10.656
8
.000
1086.77778
851.5905
1321.9650
SDM6
9.487
8
.000
1079.11111
816.8098
1341.4124
SDM9
12.352
8
.000
1114.11111
906.1117
1322.1106
SDM12
7.204
8
.000
904.66667
615.0636
1194.2697
SDM15
16.196
8
.000
1047.66667
898.5030
1196.8304
SDM30
8.869
8
.000
975.33333
721.7337
1228.9329
33
Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan hematokrit
T-Test Hematokrit Domba Superovulasi
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Hematokrit1
9
22.0556
4.70667
1.56889
Hematokrit3
9
20.1667
5.68441
1.89480
Hematokrit6
9
24.2722
4.38250
1.46083
Hematokrit9
9
18.7222
1.73405
.57802
Hematokrit12
9
24.0000
2.90259
.96753
Hematokrit15
9
23.4444
2.36438
.78813
Hematokrit30
9
26.1111
3.86311
1.28770
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
Hematokrit1
14.058
8
.000
22.05556
18.4377
25.6734
Hematokrit3
10.643
8
.000
20.16667
15.7972
24.5361
Hematokrit6
16.615
8
.000
24.27222
20.9035
27.6409
Hematokrit9
32.390
8
.000
18.72222
17.3893
20.0551
Hematokrit12
24.805
8
.000
24.00000
21.7689
26.2311
Hematokrit15
29.747
8
.000
23.44444
21.6270
25.2619
Hematokrit30
20.277
8
.000
26.11111
23.1417
29.0806
34
T-Test Hematokrit Domba Kontrol
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Hematokrit1
9
21.1667
3.70810
1.23603
Hematokrit3
9
21.1667
4.02337
1.34112
Hematokrit6
9
20.8722
6.14868
2.04956
Hematokrit9
9
19.6111
4.23547
1.41182
Hematokrit12
8
23.7125
1.71584
.60664
Hematokrit15
9
23.1111
3.33333
1.11111
Hematokrit30
9
24.8333
1.43614
.47871
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
Hematokrit1
17.125
8
.000
21.16667
18.3164
24.0170
Hematokrit3
15.783
8
.000
21.16667
18.0740
24.2593
Hematokrit6
10.184
8
.000
20.87222
16.1459
25.5985
Hematokrit9
13.891
8
.000
19.61111
16.3554
22.8668
Hematokrit12
39.088
7
.000
23.71250
22.2780
25.1470
Hematokrit15
20.800
8
.000
23.11111
20.5489
25.6733
Hematokrit30
51.875
8
.000
24.83333
23.7294
25.9372
35
Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan hemoglobin
T-Test Hemoglobin Domba Superovulasi
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Hb1
9
8.8689
1.40132
.46711
Hb3
9
8.8644
1.40456
.46819
Hb6
9
10.9244
1.95855
.65285
Hb9
9
9.2156
1.47856
.49285
Hb12
9
9.8822
1.23716
.41239
Hb15
9
10.0444
1.18411
.39470
Hb30
9
9.5378
1.32111
.44037
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
Hb1
18.987
8
.000
8.86889
7.7917
9.9460
Hb3
18.934
8
.000
8.86444
7.7848
9.9441
Hb6
16.733
8
.000
10.92444
9.4190
12.4299
Hb9
18.698
8
.000
9.21556
8.0790
10.3521
Hb12
23.963
8
.000
9.88222
8.9313
10.8332
Hb15
25.448
8
.000
10.04444
9.1343
10.9546
Hb30
21.658
8
.000
9.53778
8.5223
10.5533
36
T-Test Hemoglobin Domba Kontrol
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Hb1
9
8.1611
1.42474
.47491
Hb3
9
8.1611
1.42613
.47538
Hb6
9
10.5044
3.02461
1.00820
Hb9
9
9.1111
1.33748
.44583
Hb12
9
9.7289
.77088
.25696
Hb15
9
10.2800
.95748
.31916
Hb30
9
9.0489
.72750
.24250
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the
Difference
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
Hb1
17.184
8
.000
8.16111
7.0660
9.2563
Hb3
17.168
8
.000
8.16111
7.0649
9.2573
Hb6
10.419
8
.000
10.50444
8.1795
12.8294
Hb9
20.436
8
.000
9.11111
8.0830
10.1392
Hb12
37.861
8
.000
9.72889
9.1363
10.3214
Hb15
32.209
8
.000
10.28000
9.5440
11.0160
Hb30
37.315
8
.000
9.04889
8.4897
9.6081
Download