GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRAK VIVIEN KUSUMA WHARDANI. Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi. Dibimbing oleh WASMEN MANALU dan ANDRIYANTO. Superovulasi adalah prosedur ketika hewan diinduksi (biasanya dengan injeksi hormon) untuk menghasilkan banyak ovum. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan persamaan dan perbedaan domba yang disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi. Data dikumpulkan dari bulan Mei hingga Juni 2011. Sebanyak 18 ekor domba dengan bobot badan antara 18 – 23 kg dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama ialah kontrol (tidak disuperovulasi). Kelompok kedua ialah superovulasi (disuntik dengan PMSG). Variabel yang diamati dalam penelitian ini antara lain jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Pengambilan sampel darah dilakukan di vena jugularis pada 30 hari awal kebuntingan, yakni hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, 30. Kelompok kontrol memiliki jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan kelompok superovulasi. Jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin mengalami kenaikan pada hari ke-30. Kesimpulan dari penelitian ini ialah superovulasi pada domba dapat meningkatkan jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. ABSTRACT VIVIEN KUSUMA WHARDANI. Profiles of Red Blood Cell, Hematocrit, and Hemoglobin on Early Pregnancy in Superovulated Ewes. Under direction of WASMEN MANALU and ANDRYANTO. Superovulation is a procedure when an animal is induced (usually through use of injectable hormones) to ovulate multiple ova. This study was conducted to study the blood profiles of nonsuperovulated and superovulated ewe during early pregnancy. The data were collected from May until June 2011. A total of 18 ewes weighing between 18–23 kg were divided into 2 groups. The first group was control (without superovulation) and the second group was superovulation (injected with PMSG and hCG). Variables measured were number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration. Blood samples were drawn from the jugular vein for 30 days during early pregnancy, i.e., on days 1, 3, 6, 9, 12, 15, 30. The results showed that nonsuperovulated ewes had the lowest number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration as compared to superovulated group. The number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration increased on day 30. It was concluded that superovulation of ewes prior to mating could increase the number of red blood cell, hematocrit, and hemoglobin concentration. GAMBARAN SEL DARAH MERAH, HEMATOKRIT, DAN HEMOGLOBIN INDUK DOMBA PADA AWAL KEBUNTINGAN YANG DISUPEROVULASI VIVIEN KUSUMA WHARDANI Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Juni 2012 Vivien Kusuma Whardani NIM. B04080173 © Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang – Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi Nama Mahasiswa : Vivien Kusuma Whardani Nomor Pokok : B04080173 Program Studi : Kedokteran Hewan Disetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu NIP. 19571220 198312 1 001 drh. Andriyanto, M. Si NIP. 19820104 200604 1 006 Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet NIP. 19630810 198803 1 004 Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada dua bulan dimulai pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011 yang bertempat di Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Skripsi ini berjudul “Gambaran Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin Induk Domba pada Awal Kebuntingan yang Disuperovulasi”. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terima kasih atas petunjuk, saran, dan arahan yang telah diberikan oleh semua pihak yang membantu penulis dalam penyusunan Skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu sebagai dosen pembimbing pertama dan drh. Andriyanto, M. Si sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis serta dosen pembimbing akademik (Dr. drh. Mochamad Fahrudin) yang telah memberikan nasehat dan motivasi dari awal hingga tersusunnya Skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda (Ir. Sugeng Haryadi, MT) dan ibunda (dra. Rusmina Sitorus, MM) yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman AVENZOAR 45 yang telah memberikan dukungan dan semangatnya. Penulis berharap Skripsi ini dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Akhir kata, semoga Skripsi ini memberikan manfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca. Bogor, Juni 2012 Vivien Kusuma Whardani RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Vivien Kusuma Whardani. Penulis lahir di DKI Jakarta pada tanggal 25 Maret 1990 dari pasangan Ir. Sugeng Haryadi, MT dan dra. Rusmina Sitorus, MM. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya ialah lulusan SDN 02 Pulo Gebang, Jakarta Timur pada tahun 2002, lulusan SMPN 30 Jakarta Utara pada tahun 2005, dan lulusan SMAN 13 Jakarta Utara pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur tertulis. Pada perkuliahan penulis tergabung dalam organisasi Himpunan Profesi Satwa Liar (2009-2012). DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. xii DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..…... xiii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiv BAB I. BAB II. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang ………………………………….………... 1 1. 2. Tujuan Penelitian ……………………………………..….. 2 1. 3. Manfaat Penelitian ……………………………………….. 3 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Karakteristik Domba Ekor Tipis (Ovis aries) ……………. 4 2. 2. Reproduksi dan Superovulasi Domba ……………………. 5 2. 3. Sinkronisasi Berahi …………………...……………….…. 6 2. 4. Hormon Reproduksi ……………………………….……... 7 2. 5. Hematologi Domba ………………………………….…… 9 2. 6. Sel Darah Merah …………………………………………. 10 2. 7. Hematokrit …………………..…………………………… 11 2. 8. Hemoglobin ………………..…………….……………….. 12 BAB III. METODE 3. 1. Waktu dan Tempat …………………………….…………. 13 3. 2. Alat dan Bahan …………………………….……………... 13 3. 3. Tahap Persiapan ………………………….………………. 13 3. 3. 1. Hewan Percobaan …………………………….………... 13 3. 3. 2. Aklimatisasi Domba …………………………….……... 14 3. 3. 3. Kandang, Pakan, dan Minum ………………………….. 14 3. 4. Tahap Pelaksanaan ………………………….……………. 14 3. 4. 1. Rancangan Percobaan ………………………….……… 14 3. 4. 2. Superovulasi …………………………..……………….. 14 3. 4. 3. Pengambilan Sampel ……………………….………….. 15 3. 4. 4. Penghitungan Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin …...………………………………………. 16 3. 5. Variabel yang Diamati ………………………….………... 17 xi 3. 6. Analisis Data ………………………….………………….. 17 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah …………………………………………. 18 4. 2. Hematokrit ……………………………………………….. 21 4. 3. Hemoglobin …………………….………………………… 23 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 28 LAMPIRAN ……………………………………………………………..…. 31 DAFTAR TABEL Tabel 1 Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia ………………… 1 Tabel 2 Karakteristik domba ekor tipis (Ovis aries) ………………………. 5 Tabel 3 Parameter pemeriksaan sel darah merah domba normal ………….. 11 Tabel 4 Jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi ………………………….………………………….. 18 Tabel 5 Nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi …………... 22 Tabel 6 Kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi …….. 24 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Sel darah merah domba ...……………………………………… Gambar 2 Pengambilan darah pada domba melalui vena jugularis ……….. 15 Gambar 3 Kamar hitung Neubauer ………………………………………... 16 Gambar 4 Grafik rataan jumlah sel darah merah (106/mm3) induk domba 11 pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) …………………………...………. Gambar 5 19 Grafik rataan nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) ……………………………………………… Gambar 6 22 Grafik rataan kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) …………………………………………….... 25 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah …………… 30 Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan hematokrit ……………………….... 33 Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan hemoglobin ……………………….. 35 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peternakan domba merupakan sektor agribisnis yang patut dikembangkan dan perlu mendapat perhatian serius untuk mewujudkan agribisnis yang berdaya saing, sehingga dapat turut serta dalam memberikan sumbangan pada peningkatan perekonomian nasional. Hal ini berdasarkan pada keadaan alam dengan keanekaragaman yang sungguh luar biasa dan keadaan sosial-budaya yang sangat kondusif, terutama terkait dengan mayoritas Warga Negara Indonesia (WNI) beragama Islam. Keduanya merupakan faktor pendukung potensial bagi pengembangan peternakan domba di Indonesia. Salah satu daerah penghasil ternak domba di Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Populasi ternak domba di Indonesia pada tahun 2009 adalah 10 199 000 ekor sedangkan populasi domba di Provinsi Jawa Barat adalah yang paling tinggi di Indonesia yaitu sebanyak 5 311 836 ekor atau mencapai 51% populasi domba nasional (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2009). Berdasarkan data statistik Direktorat Jendral Peternakan (2011), populasi ternak domba selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Peningkatan populasi ternak domba di Indonesia Tahun Populasi (ekor) 2001 7 401 000 2002 7 641 000 2003 7 811 000 2004 8 075 000 2005 8 327 000 2006 8 980 000 2007 9 514 000 2008 9 605 000 2009 10 199 000 2010 10 932 000 Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (2011) 2 Pola pemeliharaan ternak domba di Indonesia masih bersifat tradisional dengan skala pemilikan yang kecil (small holders). Di samping itu, jumlah pemotongan domba termasuk domba betina produktif untuk kebutuhan lokal pun cukup tinggi, sehingga bila produktivitasnya tidak ditingkatkan dan dikembangkan secara komersial dan dalam skala yang besar, dikhawatirkan akan terjadi pengurangan populasi domba nasional, karena perkembangan populasi domba tidak sejalan dengan meningkatnya permintaan akan domba dan perkembangan populasi penduduk. Masalah utama rendahnya produktivitas bakalan domba adalah domba betina yang beranak dengan jumlah lebih dari dua ekor biasanya memiliki bobot lahir yang rendah dan dengan tingkat kematian yang tinggi (Sumaryadi 2003; Andriyanto dan Manalu 2011). Produktivitas bakalan domba dapat ditingkatkan dengan cara superovulasi. Superovulasi telah terbukti dapat memperbaiki sekresi hormon endogen kebuntingan, yaitu progesteron dan estrogen (Andriyanto dan Manalu 2011). Kedua hormon ini mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan uterus serta mempengaruhi proses tumbuh kembang kelenjar ambing. Teknik superovulasi dilakukan dengan cara menyuntikan hormon gonadotropin, seperti pregnant mare serum gonadotropin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG) yang akan meningkatkan perkembangan folikel ovarium, sehingga dapat meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan. Kondisi induk domba yang disuperovulasi tentunya berbeda dengan induk domba yang tidak disuperovulasi. Hal ini dikarenakan induk domba yang disuperovulasi memiliki beban metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan induk domba yang tidak disuperovulasi. Peningkatan status fisiologis akan meningkatkan kualitas bakalan yang dihasilkan dengan tingkat kematian anak yang lebih rendah sehingga nilai efisiensi reproduksi induk akan meningkat. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh penerapan superovulasi terhadap status fisiologis induk melalui gambaran darahnya pada 3 awal kebuntingan. Selain itu, tujuan dari penelitian ini ialah untuk meningkatkan performans induk yang tergambar melalui gambaran darahnya. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini ialah memaksimalkan penerapan teknologi reproduksi, yakni superovulasi. Penerapan superovulasi dapat meningkatkan performans induk domba sehingga menghasilkan anakan yang lebih baik secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan jumlah populasi domba diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daging domestik dan memberikan sumbangan terhadap swasembada daging nasional. Manfaat lainnya dari peningkatan jumlah populasi domba adalah dapat melindungi dan menyelamatkan plasma nutfah asli Indonesia, yakni Domba Ekor Tipis, dari kepunahan akibat pemotongan betina yang produktif. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Domba Ekor Tipis Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang dipelihara sebagai hewan gembala di dataran rendah. Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafez dan Hafez 2000). Oleh karena peralatan domba tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana, dan persyaratan pakan tidak sulit maka domba dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Domba seperti halnya kambing, kerbau, dan sapi, tergolong dalam famili Bovidae. Klasifikasi domba berdasarkan taksonomi adalah sebagai berikut (Herren 2000). Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Subfamili : Caprinae Genus : Ovis Spesies : Ovis aries Kelompok domba yang digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian untuk penulisan Skripsi ini adalah kelompok Domba Ekor Tipis. Domba Ekor Tipis banyak ditemukan di daerah-daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi seperti di Jawa Barat (Doho 1994). Domba Ekor Tipis memiliki ciri morfologi berekor tipis dan pendek, memiliki warna dominan putih dan ada belang hitam di sekeliling mata, hidung, dan dapat pula diseluruh tubuhnya, tidak ada deposisi lemak dibagian ekor, domba jantan memiliki tanduk yang melengkung sedangkan domba betina pada umumnya tidak bertanduk. Domba Ekor Tipis memiliki ukuran telinga yang sedang dan wol yang kasar (Iniquez et al. 1993). Domba ini memiliki bobot badan domba betina dewasa bervariasi dari 25 sampai dengan 35 kg dengan tinggi badan rata-rata 57 cm, sedangkan bobot badan domba jantan dewasa berkisar antara 40 sampai dengan 60 kg dengan tinggi badan rata-rata 60 cm. Rataan bobot lahir dan 5 bobot sapih Domba Ekor Tipis yang dipelihara dengan sistem penggembalaan masing-masing 2,2 dan 10 kg/ekor. Karakteristik Domba Ekor Tipis dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik Domba Ekor Tipis Karakteristik Keturunan asal Penyebaran di Indonesia Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan Reproduksi khusus Warna bulu Tanduk Rata-rata umur untuk dikawinkan Rata-rata umur pubertas Berat lahir Keterangan Java thin tailed sheep breed. Seluruh Pulau Jawa. Sangat baik beradaptasi pada lingkungan tropis dan kondisi pakan yang buruk. Mudah berkembang biak dan perawakan kecil, tidak dipengaruhi oleh musim kawin, dapat menghasilkan tiga anak dalam dua tahun. Pada umumnya putih, kadang ada sedikit bercak hitam pada bagian mata dan hidung. Hanya dimiliki oleh domba jantan, berbentuk melingkar dengan ukuran kecil. 12 bulan untuk domba jantan dan 10 bulan untuk domba betina. 10 bulan untuk domba jantan dan 8 bulan untuk domba betina. 1,5 kg untuk domba jantan dan 1,3 untuk domba betina. Sumber: Bamualim (2008) 2.2. Reproduksi dan Superovulasi Domba Kemampuan reproduksi domba dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (bangsa domba) dan beberapa faktor lain seperti jenis kelamin, cuaca dan iklim, dan pakan yang diberikan. Domba-domba betina mencapai masa pubertas pada umur 5 sampai dengan 7 bulan dan dapat dikawinkan untuk pertama kali pada umur 8 bulan atau lebih. Siklus berahi pada domba rata-rata terjadi setiap 16 hari sekali (dengan kisaran antara 14 sampai dengan 20 hari), dengan lama estrus ratarata 30 jam. Ovulasi terjadi sekitar 24 sampai dengan 30 jam setelah awal estrus. Oleh karena itu, kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila perkawinan terjadi pada saat akhir masa berahi. 6 Domba Ekor Tipis mempunyai keunggulan selain mudah beradaptasi dengan lingkungan, juga memiliki sifat prolifik yaitu kemampuan beranak hingga 4 ekor dalam satu kelahiran (Inonuo dan Iniguez 1991). Kenyataan di lapangan menunjukan semua jenis domba yang beranak lebih dari dua ekor, akan diikuti dengan angka kematian yang tinggi, sehingga pada akhirnya mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi. Kemungkinan penyebabnya adalah telah terjadi persaingan antaranak dalam pengambilan zat makanan sejak awal kebuntingan, sementara induk tidak mempunyai persiapan yang memadai. Efisiensi reproduksi ternak domba sangat bergantung pada keberhasilan proses reproduksi. Salah satu cara meningkatkan potensi reproduksi domba adalah melalui superovulasi. Superovulasi berasal dari kata super berarti luar biasa dan ovulasi berati pelepasan sel telur atau ovum dari folikel de Graaf. Secara umum superovulasi merupakan suatu upaya memanipulasi folikulogenesis sehingga jumlah ovulasi meningkat dibanding normal. Peningkatan jumlah folikel yang berkembang hingga mengalami ovulasi dirangsang melalui penyuntikan pregnant mare serum gonadotrophin/human chorionic gonadotrophin (PMSG/hCG). Dengan meningkatnya jumlah folikel yang dihasilkan maka jumlah sel telur yang diovulasikan dan yang dibuahi akan menjadi bertambah sehingga jumlah anak per kelahiran dapat meningkat. Keberhasilan penggunaan PMSG/hCG dalam meningkatkan jumlah folikel dan korpus luteum dapat dilihat dari meningkatnya sekresi hormon-hormon kebuntingan, pertumbuhan uterus, embrio, dan fetus, peningkatan bobot lahir dan bobot sapih, pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu, dan produksi susu pada domba (Manalu et al. 1998; Manalu et al. 1999; Manalu et al. 2000a; Manalu et al. 2000b). 2.3. Sinkronisasi Berahi Sinkronisasi berahi merupakan upaya untuk meningkatkan jumlah hewan yang berahi pada waktu yang bersamaan. Hormon luteolitik yang umum digunakan untuk sinkronisasi berahi adalah prostaglandin F2α (PGF2α) (Sumaryadi 2003). Dasar fisiologis dari sinkronisasi berahi adalah hambatan pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dari hipofisa anterior sehingga 7 menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) baik secara manual maupun secara fisiologis. Prostaglandin F2α (PGF2α) merupakan preparat hormon luteolitik yang berfungsi menginduksi kejadian berahi melalui penyingkiran CL. Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ovari sangat bergantung pada kehadiran FSH dan luteinizing hormone (LH). Kedua hormon tersebut sangat esensial dalam sintesa estrogen. Jika hanya terdapat LH secara tunggal, maka tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan folikel. 2.4. Hormon Reproduksi Fluktuasi berbagai hormon reproduksi pada domba betina dewasa disebut sebagai siklus berahi yang terdiri atas proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Siklus berahi juga dikenal sebagai fase folikel yang terdiri atas fase pertumbuhan folikel yang ditandai dengan level estrogen tinggi dan fase luteal yang memiliki waktu cukup panjang yang ditandai dengan perkembangan CL dan kadar progesteron tinggi. Hipothalamus, hipofisa, gonad dan plasenta merupakan kelenjar endokrin reproduksi yang akan bekerja sama membuat suatu putaran interkoneksi, yang dikenal sebagai poros Hipothalamus-hipofisagonadal (Iman dan Fahriyan 1992). Pada hipothalamus bagian median eminentia dan preoptik, Gonadotropin Releasing Factor (GnRH) diproduksi oleh sel-sel neuron endokrin setelah mendapat rangsangan dari sistem saraf pusat (SSP), GnRH ditransportasikan melalui Hypothalamus-hypophyseal portal system menuju kelenjar hipofisa anterior. Pelepasan GnRH dari terminal saraf dan median eminence ke dalam hipophyseal portal darah merupakan sinyal neuroendokrin untuk terjadinya proses ovulasi. Gonadotropin Releasing Factor (GnRH) akan menstimulasikan sel-sel gonadotrof kelenjar hipofisa untuk mensekresikan FSH dan LH. Gonadotropin Releasing Factor (GnRH), FSH dan LH akan dilepaskan dengan lonjakanlonjakan tertentu. Follicle stimulating hormone (FSH) dan LH akan bekerja pada sel target dari gonad (Iman dan Fahriyan 1992). 8 Sekresi FSH terjadi secara ritmis selama 4 sampai dengan 5 hari sebelum berahi, menjelang fase luteal berakhir konsentrasi FSH dalam plasma meningkat dan secara sinergis dengan LH, akan merangsang pertumbuhan folikel. Folikel akan mencapai stadium folikel tersier yang matang. Dalam waktu yang cukup singkat dibawah pengaruh FSH dan estradiol 17ß terjadi pembentukan reseptorreseptor untuk kedua macam hormon tersebut, sedangkan pada sel-sel granula juga terjadi induksi pembentukan reseptor untuk LH. Follicle stimulating hormone (FSH) akan menstimulasikan sel-sel granulosa untuk memfasilitasi proses oogenesis dan bertanggung jawab atas perkembangan dan pematangan folikel, LH berfungsi menstimulasikan sintesa androstenedion dari kolesterol, dan selanjutnya dikonversi ke dalam testosteron. Pada sel-sel granulosa terjadi aromatisasi estradiol-17ß dibawah pengaruh FSH membentuk estrogen (Iman dan Fahriyan 1992). Hormon ataupun target organ memiliki suatu sistem homeostatik feedback, yaitu semua mekanisme hormon diatur oleh sekresi hormon itu sendiri. Folikel ovari matang dan kadar estrogen di atas ambang akan berespons terhadap hipothalamus untuk menekan pelepasan FSH dan selanjutnya memfasilitasi pelepasan LH untuk menandai proses ovulasi. Pada saat tersebut sel-sel granulosa memproduksi inhibin yang bekerja khusus untuk menghambat produksi FSH (feedback negatif). Estrogen dapat menyebabkan feedback positif terhadap Hipothalamus dan hipofisa anterior, yakni kadar estrogen meningkat akan menyebabkan peningkatan sekresi GnRH, demikian pula akan terjadi peningkatan kadar gonadotropin dari hipofisa anterior. Tingginya kadar estrogen merupakan sinyal untuk pelepasan LH dalam kaitannya dengan persiapan ovulasi. Superovulasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yang berbeda, diantaranya dalam pemberian dosis, preparat hormon dan prosedur pelaksanaan (Iman dan Fahriyan 1992). Pemakaian gonadotropin seperti PMSG/hCG seringkali dilakukan pada superovulasi. gonadotrophine/human chorionic gonadotrophin Pregnant mare serum (PMSG/hCG) merupakan hormon ganadotropin yang dihasilkan oleh plasenta dengan aktivitas biologik menyerupai FSH dan LH sehingga disebut sebagai gonadotrophin sempurna. 9 Pengaruh yang ditumbulkan oleh PMSG antara lain merangsang pertumbuhan folikel, menunjang produksi estrogen, ovulasi, luteinisasi, dan merangsang sintesis progesteron pada domba yang dihipofisektomi. Waktu paruh biologis PMSG adalah panjang 40 sampai dengan 125 jam (Hafez dan Hafez 2000). Pregnant mare serum gonadotrophine (PMSG) sebagai glikoprotein yang terdiri atas subunit α dan ß dengan kadar karbohidrat tinggi, yakni kadar asam sialat yang dapat mengakibatkan waktu paruh PMSG cukup panjang dibandingkan dengan gonadotropin lainnya (Hafez dan Hafez 2000). Pregnant mare serum gonadotrophine (PMSG) dengan dosis tunggal melalui intramuskuler cukup untuk menimbulkan ovulasi berganda. Penggunaan PMSG menimbulkan respons yang sangat variatif mulai dari tidak berespons, kadang-kadang sampai berespons berlebihan. Apabila pemberian PMSG tidak disertai dengan pemberian hormon lain, PMSG harus diberikan pada awal fase luteal, yaitu hari ke-16 siklus uterus untuk domba. Keberhasilan cara superovulasi, ternyata membawa pengaruh yang besar terhadap stimulasi uterus, yang diawali dari laju ovulasi, peningkatan jumlah korpus luteum berlanjut terhadap sekresi beberapa hormon dan faktor tumbuh yang disekresikan oleh korpus luteum. Perjalanan panjang ini akan mempengaruhi ekspresi gen dalam pertumbuhan sel-sel stroma uterus yang dimanifestasikan terhadap bobot fetus domba yang di superovulasi lebih berat dari yang tidak di superovulasi (Sumaryadi et al. 2002). 2.5. Hematologi Domba Darah adalah cairan tubuh yang terdapat di luar sel dan terdapat pada semua hewan kelas tinggi yang berfungsi mengirimkan nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh dan membunuh kuman penyakit (bakteri atau virus) yang masuk ke dalam tubuh, serta mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme. Darah dialirkan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah yang ada diseluruh tubuh. Komponen darah terdiri atas bagian cair dan bagian padat. Bagian cair merupakan bagian dari 55% darah yang disebut dengan plasma. Plasma darah mengandung 91 sampai dengan 93% air yang berfungsi sebagai pelarut, pembawa sel-sel darah dan komponen didalamnya, serta sebagai pengatur 10 panas tubuh, elektrolit (Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-, HPO42-, H2PO4-, H+) yang berfungsi sebagai sistem penyangga (buffering), dan gas terlarut, yakni O2 dan CO2. Darah mengandung 5 sampai dengan 7% protein plasma, yakni albumin, globulin, fibrinogen, dan plaminogen. Albumin adalah protein plasma yang lebih kecil sehingga lebih cepat bergerak dan larut dalam air serta memiliki satu fraksi. Albumin merupakan 60% total plasma protein yang berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik plasma. Globulin adalah protein plasma yang larut dalam air garam dan memiliki tiga fraksi, yaitu 2α, 2β, dan 1γ. Bagian padat merupakan bagian dari 45% darah yang terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Bagian darah yang mempunyai fungsi penting dalam proses pembekuan darah adalah trombosit (Poedjiadi 2006). 2. 6. Sel Darah Merah Sel darah merah (eritrosit) dibuat dalam sumsum tulang secara mitosis dan diferensiasi dengan membawa hemoglobin. Komposisi sel darah merah adalah 62 sampai dengan 72% air, 35% padatan yang terdiri atas 95% hemoglobin dan 5% lagi berupa protein distroma dan membran sel, fosfolipid (lecithine, cephaline), kolesterol, lemak, vitamin, koenzim, glukosa, enzim, dan mineral. Eritrosit pada domba berbentuk cakram (disk) bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler. Bentuk sel dapat berubah ketika sel melewati pembuluh kapiler tetapi sel darah merah memiliki membran sel yang kuat sehingga tidak akan pecah. Sel darah merah dapat bertahan selama 120 hari sampai dengan 125 hari dalam sirkulasi dan kemudian mengalami kerusakan. Sekitar 0,8% dari seluruh eritrosit mengalami kerusakan dan dibentuk setiap hari. Penghancuran sel-sel darah merah terjadi setelah mengalami sirkulasi tiga sampai empat bulan. Sel darah merah pada domba dapat dilihat pada Gambar 1. 11 Sumber: Anonim (2008) Gambar 1 Sel darah merah domba Sel-sel darah merah mengalami disintegrasi, melepaskan hemoglobin ke dalam darah, dan debris (puing-puing) sel yang rusak itu dibuang dari sirkulasi oleh sistem makrofag atau sistem retikuloendotelial, yang terdiri atas sel-sel khusus di dalam hati, limfa, sumsum tulang, dan limfonodus (Frandson 1996). 2. 7. Hematokrit Nilai hematokrit adalah persentase berdasarkan volume dari darah, yang terdiri dari sel-sel darah merah. Penentuannya dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak menggumpal, kemudian dilakukan sentrifuse sampai sel-sel mengumpul di dasar (Frandson 1996). Hematokrit disebut juga dengan Packed Cell Volume (PCV). Hematokrit merupakan perbandingan antara volume sel darah merah dan komponen darah yang lain. Volume sel darah merah berbanding lurus terhadap jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin. Jumlah sel darah merah dipengaruhi oleh faktor spesies, umur, jenis kelamin, nutrisi, keadaan fisiologis seperti laktasi, kebuntingan, dan siklus berahi, suhu, daerah dataran tinggi, dan keadaan patologis. Parameter pemeriksaan sel darah merah domba normal dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter pemeriksaan sel darah merah domba normal Parameter Kisaran (Rata-rata) Satuan Sel Darah merah 8–16 ×106/mm3 Hemoglobin 8–16 g% PCV 24–50 % Sumber: Banks (1993) dan Frandson (1996) Nilai hematokrit merupakan petunjuk yang sangat baik untuk menentukan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin dalam sirkulasi darah. Pemeriksaan sel 12 darah merah dapat dilakukan dengan memeriksa tiga parameter, yaitu jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin mengindikasikan morfologi sel darah merah, sedangkan nilai hematokrit menunjukan perbandingan sel darah merah dengan plasma protein (Meyer et al. 1992). 2. 8. Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen eritrosit yang terdiri atas protein kompleks terkonjugasi yang mengandung zat besi yang berguna untuk memberi warna merah pada eritrosit. Fungsi utama hemoglobin adalah untuk mengangkut oksigen dan karbondioksida dalam darah (Cunningham 1997). Hemoglobin merupakan protein pengangkut oksigen paling efektif dan terdapat pada hewan-hewan bertulang belakang (vertebrata). Zat besi dalam bentuk Fe 2+ pada hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 mL darah mengandung 15 g hemoglobin yang mampu mengangkut 0,03 g oksigen. BAB III METODE 3. 1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yakni pengambilan sampel darah dilakukan di kandang Mitra Tani yang beralamat di Jalan Manunggal Baru No. 1, Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, kemudian analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 3. 2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain spuid 3 mL, seperangkat alat ultrasonography (USG), tabung reaksi, gelas objek, hemositometer, selotip, marker, kertas label, kertas saring atau tisu, kapas, tabung kapiler, alat penghitung, adam micro-hematocrit reader, penyumbat tabung kapiler, alat sentrifugasi, tambang, selang penanda berwarna, mikroskop cahaya, oven, dan kotak pendingin. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya 18 domba betina, sediaan hormon prostaglandin F2α (PGF2α), pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gondadotropin (hCG), pengencer NaCl 0,9%, alkohol 70%, antikoagulan ethilen diamine tetra-asetate (EDTA), vitamin B kompleks, dan anthelmintik (Albendazole). 3. 3. Tahap Persiapan 3. 3. 1. Hewan Percobaan Tahap pertama dari persiapan hewan coba adalah menyiapkan domba betina sebanyak 18 ekor yang diperoleh dari kandang Mitra Tani. Domba tersebut memiliki bobot badan berkisar 18 sampai dengan 23 kg dan telah dewasa kelamin. 14 3. 3. 2. Aklimatisasi Domba Pada minggu pertama, domba percobaan dipelihara untuk diaklimatisasikan. Tujuan aklimatisasi ini adalah agar domba beradaptasi terlebih dahulu terhadap lingkungan kandang dan sekitarnya, sehingga dapat menekan tingkat stress seminimal mungkin. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik domba dan diberikan anthelmintik dan vitamin B kompleks. Pemberian anthelmintik dan vitamin bertujuan untuk mendapatkan kondisi domba yang sehat dan bebas dari kecacingan. 3. 3. 3. Kandang, Pakan, dan Minum Hewan coba ditempatkan pada kandang kelompok dengan konstruksi kandang panggung. Tinggi kandang ini 50 cm dari permukaan tanah dengan tujuan untuk mengurangi paparan gas amoniak yang berasal dari feses dan urin. Domba sebanyak 18 ekor dikandangkan sesuai dengan kelompok perlakuan. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Pakan diberikan tiga kali sehari. Air minum diberikan secara ad libitum, hal ini untuk mencegah terjadinya dehidrasi. 3. 4. Tahap Pelaksanaan 3. 4. 1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua perlakuan. Perlakuan pertama ialah domba yang tidak disuperovulasi (kontrol) sedangkan perlakuan kedua ialah domba yang disuperovulasi. Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas sembilan ekor domba. 3. 4. 2. Superovulasi Perlakuan superovulasi diawali dengan sinkronisasi berahi terhadap seluruh domba pada setiap kelompok perlakuan. Sinkronisasi berahi dilakukan dengan cara menyuntikkan hormon PGF2α (Lutalyse™) secara intramuscular sebanyak dua kali. Dosis PGF2α yang diberikan berkisar 5 sampai dengan 15 mg/kg Bobot badan. Penyuntikkan PGF2α kedua dilakukan dengan selang waktu 15 sebelas hari dari penyuntikkan pertama. Kelompok domba superovulasi mendapat perlakuan penyuntikkan secara intramuscular menggunakan hormon PMSG dan hCG yang disuntikkan sesaat setelah penyuntikkan PGF2α yang kedua. Kelompok domba kontrol hanya mendapat perlakuan penyuntikkan PGF2α. Sekitar 24 sampai dengan 36 jam setelah penyuntikkan PGF2α yang kedua, domba berada dalam keadaan berahi. Semua kelompok perlakuan domba dicampur dengan domba jantan, agar terjadi perkawinan. Pencampuran domba jantan ini dilakukan selama dua hari. Pencampuran dengan pejantan dilakukan dengan membagi 18 domba menjadi 2 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 9 betina dan 1 jantan. Tiga puluh hari setelah pencampuran dengan pejantan, dilakukan pemeriksaan kebuntingan menggunakan USG. 3. 4. 3. Pengambilan Sampel Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis menggunakan spuid sebanyak kurang lebih 3 mL. Sebelum pengambilan darah, bulu dicukur dan dibersihkan dengan kapas alkohol. Pengambilan darah pada domba dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: Dokumen pribadi Gambar 2 Pengambilan darah pada domba melalui vena jugularis. Darah yang sudah diambil langsung dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah dilapis antikoagulan EDTA. Tabung tersebut kemudian ditutup menggunakan sumbat dan diberi label sesuai kode perlakuan. Setelah itu, sampel 16 darah tersebut dimasukkan ke dalam kotak pendingin dan dibawa ke laboratorium fisiologi untuk dilakukan pemeriksaan darah. 3. 4. 4. Penghitungan Sel Darah Merah, Hematokrit, dan Hemoglobin. Penghitungan sel darah merah dilakukan dengan menggunakan metode hemositometer. Metode hemositometer dilakukan dua tahap. Tahap pertama, pipet pengencer yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu. Sampel darah yang telah diberi antikoagulan EDTA dihomogenisasi supaya sel darah tercampur merata. Dengan menggunakan pipet pengencer, darah yang telah dicampur dengan EDTA dihisap sampai 0,5. Kemudian, pipet dibersihkan dari noda darah yang menempel menggunakan tisu. Setelah itu, ujung pipet dimasukkan ke dalam cairan pengencer NaCl 0,9% dan larutan tersebut dihisap sampai batas tera 101. Aspirator dilepas, pipet diangkat, ujungnya ditutup dengan jempol, dan pangkalnya ditutup dengan jari tengah. Pipet diposisikan mendatar dan dihomogenkan dengan membuat gerakan memutar angka 8. Setelah homogen, cairan tetesan pertama dan kedua dibuang. Tahap kedua, hasil pengenceran dituangkan ke dalam kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet eritrosit pada tepi kaca penutup. Kemudian, kamar hitung didiamkan beberapa menit agar sel-sel darah merah mengendap pada dasar kamar hitung. Kamar hitung dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40 kali. Jumlah sel yang dihitung adalah di lima kotak, yaitu pada pojok kanan atas dan bawah, pojok kiri atas dan bawah, serta satu kotak yang tepat berada di tengah. Jumlah sel darah merah ialah jumlah dari penghitungan lima kotak tadi dikalikan dengan 10 000 per mm3. Kamar hitung Neubauer dapat dilihat dalam Gambar 3. Sumber: Bamualim (2008) Gambar 3 Kamar hitung Neubauer. 17 Penghitungan nilai hematokrit atau Pack Cell Volume (PCV) dilakukan menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Tabung mikro yang digunakan adalah tabung mikro dengan panjang 7 cm dan diameter 0,1 mm. Sampel darah diambil dengan menempelkan bagian ujung dari tabung mikro tersebut ke dalam darah. Posisi ujung tabung mikro hampir mendatar dan bagian ujung tabung yang lain dikosongkan kira-kira 1 cm. Bagian ujung tabung disumbat. Setelah itu, tabung mikro yang berisi sampel darah tersebut disentrifuse selama 4 sampai dengan 5 menit dengan kecepatan 10 000 rpm (rotasi per menit). Hasil sentrifugasi dibaca menggunakan Adam Mikrohematocrit Reader. Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Cyanmethemoglobin. Metode Cyanmethemoglobin didasarkan pada pembentukan cyanmethemoglobin yang intensitas warnanya diukur secara fotometri. Reagen yang digunakan adalah larutan Drabkin yang mengandung Kalium ferrisianida (K3Fe[CN]6) dan kalium sianida (KCN). Ferrisianida mengubah besi pada hemoglobin dari bentuk ferro ke bentuk ferri menjadi methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan KCN membentuk pigmen yang stabil yaitu sianmethemoglobin. Intensitas warna yang terbentuk diukur secara fotometri pada panjang gelombang 540 nm. 3. 5. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas jumlah leukosit dan eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. 3. 6. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis One-Sample T Test untuk melihat interaksi dari masing-masing faktor perlakuan yang diberikan. Dari analisis akan diperoleh nilai rata-rata dan standar deviasi. Nilai tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik beserta interpretasinya secara deskriptif. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan berdasarkan proses fisiologis yang rentan terjadi pada domba bunting. Selain itu, pemilihan waktu tersebut dimaksudkan agar tidak menyakiti domba akibat pengambilan darah sehingga tidak dilakukan setiap hari. Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah jumlah total sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Hasil penghitungan jumlah sel darah merah selama 30 hari tersebut dari setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran nilai yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi 1 10,24±3,29a 9,26±2,61a a 3 10,86±3,06 13,17±3,08b 6 10,79±3,41a 13,16±4,21b a 9 11,14±2,71 10,94±3,92a 12 9,04±3,77a 10,78±3,97b a 15 10,47±1,94 11,21±2,16b a 30 9,75±3,30 11,22±3,43b Keterangan: Huruf superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05) Jumlah sel darah merah memperlihatkan nilai yang berfluktuasi pada awal kebuntingan. Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah ini cenderung meningkat, baik kelompok domba kontrol maupun kelompok domba superovulasi. Namun, jumlah sel darah merah selama pengamatan masih dalam kisaran normal. Menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), jumlah sel darah merah pada domba berkisar 8 sampai dengan 16 ×106/mm3. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata jumlah sel darah merah domba pada awal kebuntingan berada pada kisaran yang sangat besar sekitar 9,04 sampai dengan 13,17 ×106/mm3. Uji secara statistik memperlihatkan bahwa jumlah sel darah merah berbeda nyata antarwaktu 19 pengamatan maupun antar perlakuan (p<0,05). Nilai tersebut kemudian Rataan sel darah merah ( 106/mm3) ditampilkan dalam Gambar 4. 14 12 10 8 6 4 2 0 1 3 6 9 12 15 30 Hari kebuntingan Gambar 4 Grafik rataan jumlah sel darah merah (×106/mm3) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) Pada hari ke-1 memperlihatkan jumlah sel darah merah kelompok domba yang disuperovulasi lebih rendah 10% dibandingkan kelompok domba kontrol. Rendahnya jumlah sel darah merah kelompok domba yang disuperovulasi diduga berhubungan dengan cekaman panas sebagaimana yang dinyatakan oleh Moye et al. (1991), bahwa jumlah sel darah merah akan meningkat pada keadaan suhu udara yang rendah dan akan menurun pada keadaan suhu udara yang tinggi. Sel darah merah mengandung unsur Fe yang mempunyai kemampuan mengikat oksigen, sedangkan oksigen adalah unsur yang diperlukan dalam metabolisme. Metabolisme menghasilkan energi yang akan menambah beban penderitaan karena panas yang terbentuk. Oleh karena itu, tubuh akan segera mengurangi jumlah sel darah merahnya untuk mengurangi cekaman panas. Selain itu, perbedaan umur di antara domba perlakuan juga mempengaruhi rendahnya jumlah sel darah merah. Jumlah sel darah merah akan berkurang dengan bertambahnya umur dan bahkan pada umur tertentu pembentukan sel darah merah hanya terjadi di beberapa tempat saja seperti sumsum tulang membranosa (Guyton dan Hall 2006). Pada hari ke-3 dan ke-6 jumlah sel darah merah setiap kelompok perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan hari ke-1. Kelompok domba yang disuperovulasi memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi 21% dibandingkan jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol. Faktor yang 20 secara signifikan mempengaruhi jumlah sel darah merah tersebut adalah faktor superovulasi. Superovulasi akan meningkatkan jumlah korpus luteum yang sangat erat hubungannya dengan tingkat sekresi hormon kebuntingan dan hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron selama kebuntingan (Dziuk 1992; Kleeman et al. 1994; Manalu et al. 2000a). Estrogen dan progesteron telah terbukti dapat meningkatkan jumlah anak per kelahiran, yakni lebih dari satu anak per kelahiran (Manalu dan Sumaryadi 1998). Oleh karena itu, induk domba yang disuperovulasi memiliki jumlah fetus lebih banyak daripada induk domba yang tidak disuperovulasi. Jumlah fetus yang banyak ini sangat mempengaruhi metabolisme induk domba tersebut terkait meningkatnya sekresi hormon kebuntingan. Salah satu perubahan metabolisme yang terjadi adalah adanya peningkatan sel darah merah. Pada hari ke-9, jumlah sel darah merah kelompok domba kontrol mengalami peningkatan sebesar 2% dibandingkan domba yang disuperovulasi yang disebabkan oleh proses implantasi embrio pada uterus. Menurut Hafez dan Hafez (2000), perkembangan individu baru selama periode ovum yaitu periode dari sejak terbentuknya zigot, morula dan blastula hingga implantasi yang berlangsung antara 0 sampai dengan 13 hari. Pada hari ke-12, 15 dan 30, masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan jumlah sel darah merah yang kembali mengalami peningkatan akibat adanya aktivitas metabolisme untuk memacu perkembangan plasenta. Menurut Mege et al. (2007), superovulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan plasenta. Naik turunnya jumlah sel darah merah selama 30 hari ini menggambarkan adanya perubahan metabolisme tubuh untuk memacu perkembangan prenatal. Jumlah sel darah merah dari setiap kelompok domba perlakuan setelah diamati selalu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987). Pada penelitian Ginting (1987) didapatkan jumlah sel darah merah domba tidak bunting sebesar 10 ×106/mm3. Kozat et al. pada tahun 2003 melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba tidak bunting adalah sebesar 11,72±71 ×106/mm3. Pada tahun 2006, Kozat et al. juga melaporkan bahwa jumlah sel darah merah domba bunting adalah sebesar 21 12,02±69 ×106/mm3 yang berarti bahwa jumlah sel darah merah pada domba bunting sedikit meningkat dibandingkan pada domba yang tidak bunting. Faktor yang secara berkesinambungan mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah selama 30 hari umur kebuntingan dari setiap kelompok perlakuan ialah faktor superovulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesamaan pola peningkatan antara hormon metabolisme dan jumlah sel darah merah induk domba pada awal kebuntingan yang disuperovulasi. Perlakuan superovulasi pada induk sebelum perkawinan dapat memperbaiki hormon metabolisme yang digambarkan dengan peningkatan jumlah sel darah merah. Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan jumlah sel darah merah adalah ras (breed), aktivitas, dan ketinggian tempat. Menurut Jain (1993), beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penurunan jumlah sel darah merah diantaranya adalah umur, ras, musim, waktu pengambilan sampel, dan metode pemeriksaan yang digunakan. 4. 2. Hematokrit Hematokrit adalah angka yang menunjukkan persentase sel darah terhadap cairan darah. Bila terjadi perembesan cairan atau plasma darah dan keluar dari pembuluh darah sementara bagian selnya tetap dalam pembuluh darah akan terjadi peningkatan hematokrit. Jadi berkurangnya cairan membuat persentasi sel darah terhadap cairannya naik sehingga nilai hematokritnya juga meningkat (Tumbelaka 2005). Nilai hematokrit setiap kelompok perlakuan selama 30 hari dapat disajikan pada Tabel 5. Faktor yang memberikan pengaruh pada nilai hematokrit dari hari ke-1 sampai dengan hari ke-30 ialah faktor superovulasi. Uji secara statistik memperlihatkan bahwa nilai hematokrit tidak berbeda nyata antarwaktu pengamatan maupun antarperlakuan (p>0,05). 22 Tabel 5 Nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi 1 21,17±3,71a 22,06±4,71a a 3 21,17±4,02 20,17±5,68a 6 20,87±6,15a 24,27±4,38a a 9 19,61±4,23 18,72±1,73a 12 23,71±1,72a 23,92±3,09a a 15 23,11±3,33 23,44±2,36a a 30 24,83±1,44 26,11±3,86a Keterangan: Huruf superscript sama pada baris yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (p>0,05) Nilai hematokrit yang tersaji pada Tabel 5 terlihat berfluktuasi selama awal kebuntingan dan cenderung meningkat dari hari ke-12 sampai dengan hari ke-30 kebuntingan. Nilai hematokrit pada kelompok domba yang disuperovulasi meningkat sebesar 5% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terjadi pada hari ke-30 kebuntingan. Menurut Banks (1993) dan Frandson (1996), nilai hematokrit normal pada domba adalah 24 sampai dengan 50%. Nilai tersebut Rataan hematokrit (%) kemudian ditampilkan dalam Gambar 5. 30 25 20 15 10 5 0 1 3 6 9 12 15 30 Hari kebuntingan Gambar 5 Grafik rataan nilai hematokrit (%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) selama awal kebuntingan Rendahnya nilai hematokrit dapat disebabkan oleh tubuh domba berusaha mengurangi cekaman panas dengan menurunkan produksi panas tubuh melalui penurunan konsumsi oksigen. Penurunan konsumsi oksigen akan menurunkan jumlah sel darah merah sehingga domba yang mengalami cekaman panas mempunyai kadar hematokrit yang lebih rendah. Rataan nilai hematokrit pada 23 kelompok domba yang disuperovulasi lebih tinggi dibanding dengan kelompok domba kontrol. Hal tersebut sejalan dengan jumlah sel darah merah dari kelompok domba yang disuperovulasi yang juga memiliki jumlah sel darah merah lebih tinggi daripada kelompok domba kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1996), jika jumlah sel darah merah meningkat maka nilai hematokrit juga meningkat. Jika dibandingkan dengan nilai hematokrit yang dilaporkan Ginting (1987), secara keseluruhan nilai hematokrit dari setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah. Nilai hematokrit yang pernah dilaporkan Ginting (1987) adalah sebesar 30%. Namun, nilai hematokrit tersebut masih lebih kecil jika dibandingkan dengan laporan pada penelitian Kozat et al. (2003) yang melaporkan nilai hematokrit pada domba yang tidak bunting adalah 34±3% sedangkan pada domba bunting ialah 28,60±1,4% (Kozat et al. 2006). Kebuntingan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat pada perubahan volume cairan dan sel darah merah. Rendahnya nilai hematokrit pada hewan bunting dikarenakan adanya retensi cairan yang menyebabkan kenaikan volume plasma darah dan total air tubuh termasuk air ekstraseluler (Podymow et al. 2010). Pada kebuntingan kembar nilai hematokrit jauh lebih tinggi daripada kebuntingan tunggal (Berghella 2007). Kenaikan plasma darah di dalam tubuh menyebabkan pengenceran darah (hemodilusi) yang pada akhirnya menyebabkan turunnya nilai hematokrit. Terjadinya hemodilusi merupakan suatu proses fisiologis penting pada hewan domestik. Keadaan hemodilusi memberikan manfaat mengurangi viskositas darah yang pada akhirnya meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah kapiler (Guyton dan Hall 2006). Meskipun selama periode kebuntingan terjadi peningkatan volume plasma yang cukup besar namun tidak menunjukkan kondisi hipervolemik (Podymow et al. 2010). 4. 3. Hemoglobin Hemoglobin merupakan pigmen sel darah merah yang terdiri atas protein kompleks terkonjugasi yang mengandung zat besi. Rata-rata kadar hemoglobin pada kedua kelompok perlakuan relatif stabil selama pengamatan. Hasil rataan 24 yang didapatkan dari pengamatan kadar hemoglobin induk domba pada awal kebuntingan yang disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) dan yang disuperovulasi Hari kebuntingan Kontrol Superovulasi a 1 8,16±1,42 8,87±1,40a 3 8,16±1,42a 8,86±1,40a a 6 10,50±3,02 10,92±1,96b 9 9,11±1,34a 9,22±1,48a a 12 9,73±0,77 9,88±1,24a 15 10,28±0,96a 10,04±1,18a a 30 9,05±0,73 9,54±1,32a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p>0,05) Nilai hemoglobin berfluktuasi pada kedua kelompok domba tersebut dan dari hasil yang tersaji pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kisaran nilai hemoglobin kelompok domba kontrol adalah 8,16±1,42 sampai dengan 10,50±3,02 g% dan pada kelompok domba yang disuperovulasi adalah 8,86±1,40 sampai dengan 10,92±1,96 g%. Kadar hemoglobin pada kedua kelompok memperlihatkan nilai terendah dijumpai pada hari ke-2, yaitu sekitar 8,16±1,42 g% pada kelompok domba kontrol dan sekitar 8,86±1,40 g% pada kelompok domba yang disuperovulasi. Kadar hemoglobin tertinggi diperoleh pada hari ke-6, yaitu yaitu sekitar 10,50±3,02 g% pada kelompok domba kontrol dan sekitar 10,92±1,96 g% pada kelompok domba yang disuperovulasi. Nilai tersebut kemudian ditampilkan dalam Gambar 6. Secara keseluruhan kadar hemoglobin, baik kelompok domba kontrol maupun domba yang disuperovulasi, masih berada dalam kisaran normal, yakni 8 sampai dengan 16 g% (Banks 1993; Frandson 1996). Rataan hemoglobin (g%) 25 12 10 8 6 4 2 0 1 3 6 9 12 15 30 Hari kebuntingan Gambar 6 Grafik rataan kadar hemoglobin (g%) induk domba pada awal kebuntingan yang tidak disuperovulasi (kontrol) (♦) dan yang disuperovulasi (■) Uji secara statistik memperlihatkan superovulasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemoglobin, baik antarwaktu pengamatan maupun antarkelompok perlakuan. Kadar hemoglobin pada kelompok domba yang disuperovulasi cenderung lebih tinggi dibanding kelompok domba kontrol, hal ini diduga pengaruh pemberian pakan yang mampu memperbaiki metabolisme tubuh terutama protein sehingga pemanfaatan nutrisi dapat lebih efisien. Nutrisi yang baik akan terlihat dengan meningkatnya kadar hemoglobin. Menurut Manston (1975), pakan yang rendah kualitasnya akan mempengaruhi penurunan hematokrit dan hemoglobin, dan dalam jangka waktu yang lama juga akan mempengaruhi albumin darah. Selama pengamatan kadar hemoglobin antarkelompok domba perlakuan mengalami peningkatan dan penurunan, namun masih dalam nilai yang relatif stabil. Kadar hemoglobin yang cenderung stabil dapat menjaga dan mencegah penurunan kadar oksigen dalam darah. Pada keadaan bunting, tubuh memerlukan tambahan darah guna mensuplai oksigen dan makanan untuk pertumbuhan embrio sehingga diperlukan kadar hemoglobin yang tinggi untuk mengangkut oksigen dalam sel darah merah (Harli 1999). Peningkatan kadar hemoglobin menyebabkan kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan ekskresi CO 2 lebih efisien sehingga keadaan dan fungsi sel akan lebih baik (Cunningham 2002). Kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (1987) yang 26 melaporkan kadar hemoglobin pada penelitiannya sebesar 11 g%. Nilai tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar hemoglobin yang dilaporkan Kozat et al. (2003), yaitu sebesar 12,3±0,7 g% pada domba tidak bunting dan sebesar 12,3±0,58 g% pada domba bunting. Kadar hemoglobin pada domba yang bunting dan tidak bunting tidak begitu mengalami perubahan (Kozat et al. 2006). Pola kenaikan dan penurunan kadar hemoglobin pada setiap kelompok perlakuan memiliki pola yang hampir sama dengan kenaikan dan penurunan pada jumlah sel darah merah dan hematokritnya. Secara umum, pola kenaikan kadar hemoglobin sama dengan pola kenaikan jumlah sel darah merah dan hematokritnya, yaitu kenaikan terjadi pada masa-masa awal kebuntingan. Pola peningkatan dan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah yang terjadi pada masa-masa awal kebuntingan terkait dengan proses metabolisme yang terjadi. Pola perubahan gambaran darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, di antaranya pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus reproduksi, dan kebuntingan (Jain 1993). Proses perubahan gambaran darah merupakan mekanisme fisiologis yang berbeda yang merupakan proses adaptasi tubuh induk selama masa kebuntingan (Azab dan Maksoud 1999). Perlakuan superovulasi secara nyata meningkatkan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin domba penelitian. Peningkatan kadar nilai-nilai tersebut terjadi sebagai akibat dari proses adaptasi pada awal kebuntingan. Faktor superovulasi secara signifikan memberikan pengaruh kenaikan jumlah sel darah merah, hematokrit, dan kadar hemoglobin pada periode awal kebuntingan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pada induk domba bunting yang disuperovulasi maupun kontrol, terlihat adanya fluktuasi dari nilai-nilai hematologisnya, dengan keadaan yang ektrem atau puncak-puncak dari nilai tersebut umumnya terjadi pada hari ke-30 untuk jumlah sel darah merah, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin. Superovulasi berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan dan penurunan profil darah induk domba penelitian pada awal kebuntingan. Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai profil biokimiawi darah domba yang disuperovulasi. Pengamatan superovulasi perlu dilakukan terutama pengaruhnya terhadap volume darah, kadar elektrolit, dan total protein. DAFTAR PUSTAKA Andriyanto dan Manalu W. 2011. Potency of ethanol extract Curcuma xanthoriza as natural growth promotor in pregnant ewes with superovulation. Globalization of Jamu Brand Indonesia. The 2nd International symposium on Temulawak. The 40th Meetingof National Working Group on Indonesian Medical Plant. IICC. Bogor. Hlm:134. Anonim. 2008. http://elvira.student.umm.ac.id [20 Januari 2012]. Azab M, Maksoud HA. 1999. Change in some hematological and biochemical parameter during prepartum and postpartum periods in female Baladi Goats. Small Rum Res. 34: 77–85. Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Texas: Mosby, Inc. 142–154. Bamualim AM. 2008. Domba Ekor Tipis. http://lprdad.fao.org/cgibin [20 Januari 2012]. Berghella V. 2007. Obstetric Evidence Based Guidelines. London: Informa Healthcare. Cunningham JD. 1997. Text Book of Veterinary Physiology. Philadelphia: WB Saunders Company. -------. 2002. Text Book of Veterinary Physiology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. Doho SR. 1994. Parameter fenotipik beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif pada Domba Ekor Gemuk. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2009. Statistik Peternakan. http://disnakan.bogorkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=175&Itemid=311. [20 Januari 2012]. Direktorat Jenderal Peternakan. 2011. http: // www.bps.go.id / tab_sub / excel.php ? id_subyek = 24 & notab =12. [20 Januari 2012]. Dziuk PJ, 1992. Embryonic development and fetal growth. J Anim Reprod Sci. 28: 299–308. Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi keempat. Terjemahan. Srigandono dan K. Praseno. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ginting N. 1987. Gambaran darah ruminansia di Pulau Jawa. Penyakit Hewan. 19 (33): 30–37. 29 Guyton AC dan Hall JE. 2006. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11. Jakarta: EGC. Hafez ESE dan Hafez B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Harli M. 1999. Anemia. http://www.indomedia.com/intisari/anemia.htm. [21 Januari 2012]. Herren R. 2000. The Science of Animal Agriculture Ed-2. Delmar. Inonuo I dan Iniguez LC, 1991. Sheep Performance at RIAP’s Bogor Research Fasility, In: Sheep Proliferacy Small Ruminan. CRSP Progress Report 1990–1991. Iniguez LC, Inonuo I, Bradford GE, Subandriyo, Tiesnamurti B et al. 1993. Production performance of prolific Javanese ewes. Small Rumin Res. 12: 243–257. Iman dan Fahriyan. 1992. In Vitro Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Pennsylvania: Lea and Febiger. Kleeman DO, Walker SK, Seamark RF. 1994. Enhance fetal growth in sheep administered progesterone during the first three days of pregnancy. J Reprod Fert. 102: 411–417. Kozat S, YŸksek N, AltuÛ N, AÛaoÛlu TZ, Er•in F. 2003. Studies on the effect of iron (Fe) preparation in addition to babesiosis treatment on the hematological and some mineral levels in sheep naturally infected with Babesia ovis. Y Y Vet Fak Derg 14: 18–21. -------. 2006. Serum iron, total iron-binding capacity, unbound iron-binding capacity, transferin saturation, serum copper, and hematological parameters in pregnant akkaraman ewes infected with gastro-intestinal parasites . Turk J Vet Anim Sci. 30:601–604. Manalu W dan Sumaryadi. 1998. Maternal serum progesterone concentration during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese Thin-Tail Ewes with different litter size. Small Rumin Res. 30: 163–169. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1998. Effect of superovulation on maternal serum progesterone concentration, uterine and fetal weight at weeks 7 and 15 of pregnancy in Javanese thin-tail ewes. Small Rumin Res. 30: 171–176. 30 Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese thintail ewes. Small Rumin Res. 33: 279–284. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000a. Effect of superovulation prior to mating on milk production performance during lactation in ewes. J Dairy Sci. 83: 477–483. Manalu W, Sumaryadi MY, Sudjatmogo, Satyaningtijas AS. 2000b. The effects of superovulation of Javanese thin-tail ewes prior to mating on lamb birth weight and preweaning growth. Asian-Aust J Anim Sci. 13: 292–299. Manston R. 1975. The influence of dietary protein upon bood composition in dairy cows. Vet Rec. 96: 497–502. Meyer DJ, et al. 1992. Veterinary Laboratory Medicine Interpretation and Diagnosis. WB saunders Company: Philadelphia. Moye RJ, Warbun RW, Huston MT. 1991. Effect of environmental temperature in erytrocyts number and size. Puoltry Sci. 48: 1863. Mege AR, Nasution SH, Kusumorini N, Manalu W. 2007. Growth and development of the uterus and placental of superovulated gilts. Hayati J Biosci. 14: 1–6. Podymow T, Phylis A, Ayub A. 2010. Management of renal disease in pregnancy. Obstet. Gynecol. Clin. N Am. 37: 195–210. Poedjiadi A. 2006. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sumaryadi MY, Pramono E, Priyono A. 2002. Efek Induksi Hormon PMSG terhadap Perbaikan Kinerja Reproduksi Induk dan Anak Domba Ekor Gemuk, Animal Production Edisi Khusus, Faculty of 2 nd Animal Husbandary Jenderal Soedirman University, hal 170–176. -------. 2003. Perkembangan Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Prog Studi Sumber Daya Ternak. Prog Pascasarjana. UNSOED. Tumbelaka AR. 2005. Kesehatan. http://www.kompas.com/kesehatan/news/0403/ 20 / 085238.htm. [21 Januari 2012]. LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis penghitungan jumlah sel darah merah T-Test Jumlah Sel Darah Merah Domba Superovulasi One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean SDM1 9 9.2611E2 260.91208 86.97069 SDM3 9 1.3178E3 308.40224 102.80075 SDM6 9 1.3162E3 422.89768 140.96589 SDM9 9 1.0943E3 391.97130 130.65710 SDM12 9 1.0788E3 397.31341 132.43780 SDM15 9 1.1218E3 215.68425 71.89475 SDM30 9 1.1226E3 342.81048 114.27016 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper SDM1 10.649 8 .000 926.11111 725.5563 1126.6659 SDM3 12.819 8 .000 1317.77778 1080.7188 1554.8367 SDM6 9.337 8 .000 1316.22222 991.1543 1641.2902 SDM9 8.376 8 .000 1094.33333 793.0375 1395.6291 SDM12 8.146 8 .000 1078.77778 773.3757 1384.1799 SDM15 15.603 8 .000 1121.77778 955.9882 1287.5674 SDM30 9.824 8 .000 1122.55556 859.0481 1386.0630 32 T-Test Sel Darah Merah (Kontrol) One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean SDM1 9 1.0241E3 329.22729 109.74243 SDM3 9 1.0868E3 305.96723 101.98908 SDM6 9 1.0791E3 341.24128 113.74709 SDM9 9 1.1141E3 270.59723 90.19908 SDM12 9 9.0467E2 376.75954 125.58651 SDM15 9 1.0477E3 194.05476 64.68492 SDM30 9 9.7533E2 329.92082 109.97361 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper SDM1 9.332 8 .000 1024.11111 771.0446 1277.1776 SDM3 10.656 8 .000 1086.77778 851.5905 1321.9650 SDM6 9.487 8 .000 1079.11111 816.8098 1341.4124 SDM9 12.352 8 .000 1114.11111 906.1117 1322.1106 SDM12 7.204 8 .000 904.66667 615.0636 1194.2697 SDM15 16.196 8 .000 1047.66667 898.5030 1196.8304 SDM30 8.869 8 .000 975.33333 721.7337 1228.9329 33 Lampiran 2 Hasil analisis penghitungan hematokrit T-Test Hematokrit Domba Superovulasi One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Hematokrit1 9 22.0556 4.70667 1.56889 Hematokrit3 9 20.1667 5.68441 1.89480 Hematokrit6 9 24.2722 4.38250 1.46083 Hematokrit9 9 18.7222 1.73405 .57802 Hematokrit12 9 24.0000 2.90259 .96753 Hematokrit15 9 23.4444 2.36438 .78813 Hematokrit30 9 26.1111 3.86311 1.28770 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper Hematokrit1 14.058 8 .000 22.05556 18.4377 25.6734 Hematokrit3 10.643 8 .000 20.16667 15.7972 24.5361 Hematokrit6 16.615 8 .000 24.27222 20.9035 27.6409 Hematokrit9 32.390 8 .000 18.72222 17.3893 20.0551 Hematokrit12 24.805 8 .000 24.00000 21.7689 26.2311 Hematokrit15 29.747 8 .000 23.44444 21.6270 25.2619 Hematokrit30 20.277 8 .000 26.11111 23.1417 29.0806 34 T-Test Hematokrit Domba Kontrol One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Hematokrit1 9 21.1667 3.70810 1.23603 Hematokrit3 9 21.1667 4.02337 1.34112 Hematokrit6 9 20.8722 6.14868 2.04956 Hematokrit9 9 19.6111 4.23547 1.41182 Hematokrit12 8 23.7125 1.71584 .60664 Hematokrit15 9 23.1111 3.33333 1.11111 Hematokrit30 9 24.8333 1.43614 .47871 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper Hematokrit1 17.125 8 .000 21.16667 18.3164 24.0170 Hematokrit3 15.783 8 .000 21.16667 18.0740 24.2593 Hematokrit6 10.184 8 .000 20.87222 16.1459 25.5985 Hematokrit9 13.891 8 .000 19.61111 16.3554 22.8668 Hematokrit12 39.088 7 .000 23.71250 22.2780 25.1470 Hematokrit15 20.800 8 .000 23.11111 20.5489 25.6733 Hematokrit30 51.875 8 .000 24.83333 23.7294 25.9372 35 Lampiran 3 Hasil analisis penghitungan hemoglobin T-Test Hemoglobin Domba Superovulasi One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Hb1 9 8.8689 1.40132 .46711 Hb3 9 8.8644 1.40456 .46819 Hb6 9 10.9244 1.95855 .65285 Hb9 9 9.2156 1.47856 .49285 Hb12 9 9.8822 1.23716 .41239 Hb15 9 10.0444 1.18411 .39470 Hb30 9 9.5378 1.32111 .44037 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper Hb1 18.987 8 .000 8.86889 7.7917 9.9460 Hb3 18.934 8 .000 8.86444 7.7848 9.9441 Hb6 16.733 8 .000 10.92444 9.4190 12.4299 Hb9 18.698 8 .000 9.21556 8.0790 10.3521 Hb12 23.963 8 .000 9.88222 8.9313 10.8332 Hb15 25.448 8 .000 10.04444 9.1343 10.9546 Hb30 21.658 8 .000 9.53778 8.5223 10.5533 36 T-Test Hemoglobin Domba Kontrol One-Sample Statistics N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Hb1 9 8.1611 1.42474 .47491 Hb3 9 8.1611 1.42613 .47538 Hb6 9 10.5044 3.02461 1.00820 Hb9 9 9.1111 1.33748 .44583 Hb12 9 9.7289 .77088 .25696 Hb15 9 10.2800 .95748 .31916 Hb30 9 9.0489 .72750 .24250 One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper Hb1 17.184 8 .000 8.16111 7.0660 9.2563 Hb3 17.168 8 .000 8.16111 7.0649 9.2573 Hb6 10.419 8 .000 10.50444 8.1795 12.8294 Hb9 20.436 8 .000 9.11111 8.0830 10.1392 Hb12 37.861 8 .000 9.72889 9.1363 10.3214 Hb15 32.209 8 .000 10.28000 9.5440 11.0160 Hb30 37.315 8 .000 9.04889 8.4897 9.6081