MELLY MAULIN PURWANINGWULAN Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan tulis mulai dikenal pada jaman Yunani Kuno, berisi tentang budak-budak yang lari dari majikannya atau memberitahu akan berlangsungnya pertandingan gladiator. Iklan pada jaman ini hanya berupa surat edaran. Beberapa waktu kemudian mulai muncul metode iklan dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang berkembang di Inggris. Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret 1648. Sampai tahun 1850an, di Eropa iklan belum sepenuhnya dimuat di suratkabar. Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur. Iklan majalah pertama muncul dalam majalah Harper tahun 1864. Pada masa-masa itu, periklanan berkembang seiring perkembangan pers yang juga ditandai berkembangnya perusahaan periklanan dengan fungsi sederhana. Pada abad ke-18, beberapa toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan iklan untuk suratkabar. Pada abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan melalui agen perseorangan (menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Setelah 1880an, perusahaan periklanan meningkatkan fungsi dengan menawarkan konsultasi dan jasa periklanan lain. Pada peralihan menuju abad ke-20, sistem manajemen periklanan modern seperti posisi manajer iklan mulai diterapkan. Harus diakui, bahwa tokoh periklanan pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Toko ini bukan hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga sebagai pengiklan dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit dari Bataviasche Nouvelle, suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun 1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal. Iklan pertama di Indonesia hanya berupa sebuah pengumuman mengenai kedatangan kapal dagang Bataviaasche Nouvelles tahun 1744. Pemanfaatan iklan menunjang pemasarannya antara lain dilakukan oleh surat kabar Bientang Timoor dengan iklan yang berbunyi: “Siapa siapa njang biasa trima soerat kabar bernama Bientang Timoor soeka diteroeskan ini taon 1865, dikasi taoe njang oewangnja itoe soerat kabar, harganja f.15, – bole lekas dikirimkan sama njang kloewarken itoe soratkabar” Pertumbuhan iklan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh modal swasta di sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Pada jaman ini, beredar iklan brosur untuk pertama kalinya. Iklan tersebut berisi promosi perusahaan komersial. Selain brosur, digunakan pula iklan display.Pada awal abad 20, biro reklame mulai bermunculan walau tidak bertahan lama karena masalah perekonomian. Biro reklame pada masa itu dapat dikelompokkan dalam kategori besar (biasanya dimiliki oleh orang Belanda), menengah, dan kecil (dimiliki oleh orang Tionghoa dan bumiputera). Biro reklame Indonesia kembali bangkit sekitar 1930-1942. Iklan yang dikeluarkan semakin beragam ( pencarian kerja, pernikahan, kematian, serta perjalanan). Iklan juga sempat menjadi sarana propaganda Jepang di Indonesia. Berbagai poster dan selebaran mengkampanyekan Jepang sebagai “Pelindung, Cahaya, dan Pemimpin”. Namun, pada masa itu tetap banyak iklan lain seperti pasta gigi, batik, tawaran kursus dan tak ketinggalan iklan bioskop yang menayangkan film Jepang. Pasca kemerdekaan, muncul iklan himbauan untuk menyumbangkan dana bagi kepentingan perjuangan, pertahanan kemerdekaan, pembangunan atau perbaikan sekolah . Pada tahun 1963, berdiri perusahaan periklanan InterVista Ltd yang dikelola (sekaligus didirikan) oleh Nuradi, mantan diplomat yang pernah bekerja di perusahaan periklanan SH Benson cabang Singapura. Perusahaan ini dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia dengan pelayanan menyeluruh seperti media planning, account management, riset, dan bidang lain.Saat ini, berbagai perusahaan periklanan di Indonesia tergabung dalam suatu asosiasi yaitu PPPI. Asosiasi perusahaan periklanan ini terwakili pula dalam keanggotaan Dewan Pers yang secara resmi dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1967. Muhammad Napis. Tokoh ini adalah Ketua PBRI (Persatuan Biro Reklame Indonesia) sejak 1956 hingga 1972. Dia memegang jabatan tersebut untuk melanjutkan tugas yang sejak tahun 1949 masih dijabat oleh orang Belanda. Selain sebagai aktivis asosiasi, dia juga adalah praktisi sejati. Pada tahun 1952, di usia 27 tahun, dia sudah mendirikan perusahaan periklanan CV Bhinneka Advertising Services, sekaligus memegang jabatan Direktur Utama hingga tahun 1972. Situasi makro saat itu memaksanya untuk menutup “firma” ini. Sebagai gantinya dia mendirikan sebuah perseroan terbatas yang diberinya nama Advertising Inter Media (AIM), dan tetap sebagai Direktur Utama hingga tahun 1978. Seperti juga kebanyakan tokoh periklanan lama, dia juga tidak mempunyai pendidikan formal di bidang periklanan. Meskipun demikian dia sempat memperoleh kursus periklanan dari Stichting voor Reclame (yayasan periklanan) Jakarta tahun 1956 dan mengikuti program pendidikan tertulis Marketing and Advertising dari Alexander Hamilton Institue, New York, tahun 1971. Hingga sekarang, tokoh yang lahir tanggal 7 Juli 1925 ini masih memegang beberapa jabatan penting di dalam asosiasi masyarakat periklanan. Antara lain, Direktur Eksekutif PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), tahun 1980-1983; General Manager BPPP (Badan Penyalur dan Pemerataan Periklanan) Pusat, sejak 1981; Sekretaris Tetap Komisi Tata-Krama dan Tata-Cara Periklanan Indonesia, sejak 1981; dan Ketua Pelaksana Harian Badan pengawas Tata-Krama dan Tata-Cara Periklanan PPPI, sejak 1992. Perintis periklanan ini bernama Nuradi. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya belajar penelitian sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi bidang administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd.. 1. 2. 3. Keberadaan TV sebagai media baru di Indonesia sejak bulan Agustus 1962, telah merangsang Nuradi untuk juga menjadikannya wahan periklanan. InterVisa tercatat sebagai perintis masuknya iklan-iklan komersial di TVRI. Tahun 1963, tiga iklan pertama (yang masih berbentuk telop) di media ini, adalah untuk klien-klien berikut: Hotel Tjipajung, yang kebetulan milik ayahnya sendiri. PT Masayu, produsen alat-alat berat dan truk. PT Arschoob Ramasita, yang dimiliki oleh Judith Roworuntu, sekaligus menjadi pembuat gambar untuk iklan-iklan InterVista. Setahun setelah itu, muncul iklan skuter Lambretta. Tetapi kali ini, sudah digunakan bentuk slide, yang juga merupakan rintisan saat itu. Iklan Lambretta pun merupakan iklan pertama yang diproduksi untuk dapat ditampilkan di bioskop-bioskop. Ini merupakan prestasi tersendiri pula bagi InterVista. 1. 2. 3. 4. Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada akar budidaya Indonesianya. Pendapat ini mungkin benar, kalau kita perhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti: Produk susu kental manis; Indomilk …. sedaaap. Produk bir; Bir Anker. Ini Bir Baru, Ini Baru Bir. Produk rokok putih; Makin mesra dengan Mascot. Produk skuter; Lebih baik naik Vespa. Periode tahun 1963-1967 InterVista juga tercatat sebagai perusahaan periklanan pertama yang melakukan adaptasi terhadap film iklan yang berbahasa Inggris, meskipun proses produksi akhirnya masih dikerjakan di Singapura. Bahkan pada periode ini, InterVista sudah memiliki sendiri sutradara untuk membuat film-film iklan para kliennya. Salah satu film iklan yang sangat sukses saat itu adalah iklan Ardath. Meskipun InterVista dianggap sebagai perusahaan periklanan modern pertama di Indonesia, namun ia ternyata bukanlah yang pertama melakukan kerjasama dengan perusahaan periklanan asing. Karena tahun 1960, Franklyn, perusahaan periklanan milik orang Belanda yang kemudian berganti nama menjadi Bhineka, sudah bekerjasama dengan Young & Rubicam, salah satu perusahaan periklanan raksasa dari Amerika. Mengenai kerjasama dengan asing ini Nuradi merupakan salah satu tokoh yang sangat kuat mempertahankan keIndonesia-annya. “Ini bisa mengantjam pertumbuhan pers nasional”, katanya, dan “biro-biro iklan internasional yang berkeliaran di Jakarta dalam waktu dekat bisa memaksa pers di Indonesia mendjadi sematjam djuru-bitjara kaum industrialis besar”, lanjutnya.*( Majalah Tempo, 25 Maret 1972. ) Selain Bhineka, perusahaan periklanan Fadjar Kamil juga menjalin kerjasama dengan Mc CannErickson, perusahaan periklanan raksasa lain, yang juga dari Amerika Serikat. Namun sulitnya memperoleh tenaga terlatih, kemudian telah memaksa pula Nuradi dengan InterVisa-nya melunakkan sikap untuk bekerjasama dengan perusahaan asing. Kebetulan, dia memilih Mc Cann-Erickson juga sebagai mitranya. Sukses Nuradi, membawa InterVisa nyaris ke puncaknya, meskipun bukan dalam hal omset*. Nuradi patut merasa bangga, bahwa InterVista tercatat sebagai perusahaan periklanan yang sangat disegani, dan unggul dalam hal mutu karya-karyanya Berbagai merk internasional mulai bermunculan di Indonesia dan dengan garangnya berupaya meraup pangsa pasar sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank, adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia. Pada saat yang sama, muncul pula local brands yang dipicu oleh kemudahan mendapatkan kredit penanaman modal dari lembagalembaga perbankan yang juga sedang bertumbuh pesat. Salah satu sektor yang paling hidup pada dasawarsa 1970an itu adalah industri farmasi dengan berbagai jenis obat baru yang diluncurkan pada saat itu antara lain adalah Bodrex-obat sakit kepala yang populer hingga saat ini. Begitu populernya nama Bodrex bahkan sampai dijadikan ikon jurnalistik Indonesia untuk menyebut wartawan yang datang tak diundang. Suasana baru di dunia usaha itu memicu berbagai kelahiran perusahaan periklanan. Tentu saja, yang pertama kali muncul justru perusahaan-perusahaan periklanan yang secara ilmiah terbawa oleh masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia. Contohnya adalah Olgilvy & Mather yang berkibar di Jakarta dengan nama IndoAd di bawah pimpinan Emir Muchtar, karena hadirnya klien-klien O&M di Indonesia, seperti: American Express, dll. Sebelumnya O&M lahir di Indonesia dengan nama SH Benson, kemudian berubah menjadi Olgivy &Mather. Perubahan nama O&M menjadi IndoAd terkait Peraturan Menteri Perdagangan pada tahun 1970 yang melarang perusahaan periklanan asing di Indonesia. Contoh lain adalah McCann Erickson yang dibawa oleh Coca cola dan kemudian mengibarkan bendera Perwanal Utama di bawah pimpinan Savrinus Suardi. Iklan sebgai salah satu alat pemasaran yang ampuh langsung saja berdenyut dengan nafas baru yang segar. Beberapa perusahaan periklanan muncul pada masa ini. Demikian juga media untuk beriklan. Dan periklanan pun menjadi marak. Dasawarsa 1970an juga ditandai dengan tampilanya selebritis Indonesia sebagai bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever boleh jadi merupakan trendsetter di bidang itu. Sejak dasawarsa 1950an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10 bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang film rupawan berkelas dunia, antara lain : Sophia Loren. Pada dasawarsa 1970an, slogan itu diubah sedikit menjadi ”sabun kecantikan bintang-bintang film”. Unilever juga mulai memakai bintangbintang film Indonesia untuk menjadi duta produknya. Widyawati, bintang film populer berpribadi lembut dengan kecantikkan memukau, tampil sebagai spokesperson Lux. Beberapa bintang film papan atas pun silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Salah satu yang legendaris adalah Christine Hakim, bintang film temuan Teguh Karya. Produk detergen bermerk rinso pun memilih Krisbiantoro sebagai duta produk. Kris adalah seorang penyanyi merangkap master of ceremony yang kocak dan menjadi presenter berbagai program televisi populer pada saat itu. Popularitas Krisbiantoro pun serta merta menjadi tuas yang ampuh untuk mendongkrak popularitas rinso.level International Advertising Services (Lintas) perusahaan periklanan yang menganai produkproduk Unilever tidak hanya menumpang popularitas selebritis, melainkan juga melahirkan bintang-bintang baru. Robby Sugara, misalnya, ”hanyalah” seorang head waiter di sebuah restoran ketika terpilih menjadi bintang ”The Brisk Man”. Kehidupannya pun melejit seperti meteor.