BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak- anak dilahirkan dalam kondisi penuh akan ketidak tahuan. Setiap dari
mereka akan mulai belajar tentang apa yang dilihat dan didengarkan dari lingkungan
tempat mereka tinggal sejak dilahirkan. Segala macam kebiasaan, tingkah laku, serta
perkataan memiliki pengaruh yang sedemikian besar terhadap tumbuh kembang anak
di masa depan. Tak pelak kontrol terhadap lingkungan menjadi sangat penting untuk
terus diperhatikan dan dijaga agar tidak sampai menjadi senjata makan tuan terhadap
pribadi anak nantinya.
Dalam ukuran teori, anak-anak, terutama yang masih berusia pra sekolah
sejatinya berada pada tahapan play stage dimana, kegiatan utama mereka adalah
bermain. Keseharian mereka penuh dengan aktiftas bermain yang melibatkan fisik,
emosi sekaligus imajinasi. Tidak jarang dalam permainan tersebut, mereka
melibatkan apa apa yang baru saja mereka dengar dan lihat serta kebiasaan yang
sering mereka temukan untuk dieksplorasi lebih luas dalam permainan mereka.
Tidak ada yang dapat menyalahkan anak-anak ketika tiba-tiba saja mereka
berperilaku tidak sopan atau berkata kasar.Sebab, insting yang ada pada anak masih
berupa insting meniru tanpa mampu untuk menyaringnya terlebih dahulu.Hal inilah
yang seyogyanya menjadi perhatian para orangtua dan guru serta masyrakat agar
terus memperhatikan dan menjaga atribut peran dalam keseharian mereka di depan
anak-anak.
Artinya, tidak hanya bermain, secara tidak sadar, anak lebih banyak
memainkan peran imitasi yang berusaha meniru secara persis tingkah laku orang
dewasa yang mereka lihat yang kemudian dipraktekkan dalam pergaulan nyata
dengan keluarga dan teman-temannya tanpa memahami apakah tindakan tersebut baik
atau buruk, boleh ataukah tidak.
Kebiasaan baik yang telah dipupuk sedari kecil oleh para orang tua setidaknya
akan menjadi bibit yang dapat bermanfaat kelak bagi sang anak. Sebaliknya tanpa
adanya kebiasaan baik yang diajarkan orangtua, maka anak akan belajar dengan
sendirinya dan menciptakan sendiri kebiasaan mereka tanpa arahan dan aturan serta
ketidak tahuan akan baik dan buruk.
Sebagian orang dewasa, melihat prestasi anak dari kebiasaan tersebut.Meski
tidak dapat dijadikan tolok ukur yang pasti, namun, ketika melihat seorang anak
dengan kebiasaan yang positif dan teratur, hal ini dapat menciptakan decak kagum
tersendiri di kalangan orang dewasa. Sebagai contoh, Seorang anak usia empat tahun
yang sudah dapat membereskan mainannya sendiri. Atau seorang bocah dua tahun
yang sudah dapat memakai pakaiannya sendiri. Hal-hal kecil yang rutin semacam ini
serta dapat dipahami oleh anak sebagai kebiasaan tentunya akan sangat bermanfaat
bagi mereka.
Keluarga bisa saja menjadi semacam agen yang dapat membentuk kebiasaan
pada anak-anak. Hanya saja, saat ini lembaga sekolah juga dirasa memiliki peran
yang cukup besar.Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1990 “Penyelenggaraan pendidikan taman kanak-kanak dimaksudkan untuk membantu
meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap perilaku, pengetahuan, keterampilan
dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, serta untuk pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya.”1
Sekolah -sekolah yang diperutukkan bagi anak anak usia dini, saat ini mulai
banyak bermunculan. Baik yang telah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
Lembaga semacam ini setidaknya telah menjadi rumah kedua bagi anak-anak.
Adanya pengawasan guru serta sekelompok teman bermain yang seumuran di sekolah
setidaknya dapat menjadi wadah yang cukup efektif untuk dapat membentuk
kebiasaan di kalangan anak-anak.
Taman Kanak-kanak bukan pendidikan utama. Oleh sebab itu secara khusus,
taman kanak-kanak bukan diprioritaskan untuk memperoleh gelar atau stastus
pendidikan tertentu.Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan taman kanakkanak memiliki peran, fungsi, dan posisi sentral dalam proses peletakan dasar-dasar
sikap, perilaku, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta anak untuk hidup dan
kehidupannya di kemudian hari.2
Didalam lingkungan sekolah ini, yang menjadi aktor utama penanam
kebiasaan adalah para guru. Guru sebagai pemegang kendali penuh atas anak-anak di
sekolah secara tidak langsung telah menjadi pusat perhatian utama yang dilihat tindak
tanduknya, dan didengar perkataanya.Kebiasaan guru juga memberi pengaruh besar
terhadap pribadi anak-anak.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sekolah turut membawa pengaruh
perubahan terhadap pribadi anak serta pembentukan perilakunya. Setidaknya akan
ada beberapa hal yang berubah dari si anak pada saat belum masuk sekolah dan
1
2
Jasa Ungguh Muliawan.2009.Manajemen Play Group dan Taman Kanak-Kanak.Jogjakarta: Diva Press. Hlm.15
Ibid.,hlm.16
setelah masuk sekolah.Kebiasaan-kebiasaan seperti cuci tangan dan sebagainya bisa
saja diciptakan di sekolah.Tetapi, bisa juga sekolah ternyata tidak membawa peran
tersebut atau tidak mampu memberi pengaruh perubahan pada si anak dikarenakan
kuatnya pengaruh keluarga.
Peranan sekolah inilah yang diasumsikan dapat menjadi agent of change
dalam proses pembentukan pribadi anak. Mulai dari penanaman kebasaan sehari-hari
yang masih sederhana hingga sampai pada pembentukan karakter sosial
emosionalnya.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang penulis
susun adalah sebagai berikut : “ Bagaimana peran guru sekolah taman kanakkanak Aisyiyah Busthanul Athfal sebagai agent of change dalam mengubah
perilaku siswa mula dari sebelum bersekolah hingga selesai bersekolah?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berkut:
1. Ingin
melihat
peranan
TK
ABA
Nitikan
dalam
proses
pembentukan karakter anak.
2. Ingin mengetahui factor yang menyebabkan sebuah perubahan
pada anak dapat terjadi.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan praktis, yang mana penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sumbangan pemikiran bagi sekolah sekaligus orangtua wali dalam
pelaksanaan pendidikan anak.
2. Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah khasanah ilmu penetahuan dan menjadi referensi bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan atau memiliki topiksama.
E. Kerangka Teori
1.
Teori Belajar Gagne dan James W. Botkins
James W. Botkins menyebut proses belajar sebagai sebuah inovasi (Innovative seaming).
Suasana belajar yang inovatif ini dimaksudkan untuk mendorong anak-anak bersikap kritis
dalam memecahkan masalah, sehingga mereka dapat mengembangkan sisi ketahanan dari dalam
dirinya. Sudah ada banyak penelitian yang dilakukan dalam usaha melihat bagaimana seorang
anak didik mampu memecahkan masalah. Komponen pertama yang diperlukan adalah aspek
pengetahuan.
Greeno (1980) mencatat bahwa ada perbedaan yang tajam antara perbuatan yang
didasarkan atas pengetahuan dan perbuatan yang menyatakan “pemecahan masalah”. Titik
tekannya justru menunjukkan bahwa pemecahan masalah ada pada siswa yang memiliki
pengetahuan sedikit tentang hal itu. Dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah itu lebih
bergantung pada ilham dan kemujuran individu. Akan tetapi, Greeno (1980) juga menyebutkan
fenomena pemecahan masalah yang jauh dari pengaruh pembelajaran ini senada dengan
kedudukan orang yang sedang menggali lubang namun tidak kunjung berhenti dikarenakan ia
tidak memahami sampai batas mana galiannya selesai. Akibatnya orang tersebut akan terus
berada didasar (Greeno, 1980, hlm.12).3
Artinya, disekolah bukan hanya pengetahuan yang memegang peranan penting akan
tetapi faktor pembiasaan anak terhadap kondisi lingkungan dan cara mereka mengahadapi
masalah-masalah yang ada didalamnya juga termasuk dalam proses pendidikan itu sendiri.
Robert Gagne, seorang pakar pendidikan dan psikologi tahun 1960an, menjabarkan asasasas pendidikan meliputi keterampilan, penghargaan dan penalaran pada orang, harapan, citacita, sikap, dan nilai yang dianut. Semua itu, merupakan aspek-aspek yang banyak bergantung
pada aktivitas yang disebut belajar. Analisa yang dilakukan Gagne, diperoleh melalui penelitian
yang panjang dalam sebuah pelatihan di kamp militer.
Analisa yang dilakukan Gagne dimulai dengan konsep tentang hirarki belajar, yaitu
ketrampilan-ketrampilan tertentu yang diperlukan dalam belajar keterampilan-keterampilan yang
rumit itu kemudian diuraikan dalam tahapan-tahapan pengolah informasi yang diperlukan bagi
setiap golongan.4
Dalam penjelasannya, Gagne menghubungkan antara perkembangan dengan proses
pembelajaran. Gagne menganggap bahwa perkembangan seorang individu muncul dari
akumulasi proses belajarnya. Sebab, proses pembelajaran yang tumbuh berkembang makin rumit
juga berdampak pada wawasan dan keterampilan individu yang juga bertambah. Gagne sendiri,
telah mencoba menganalisis asumsi tersebut dari sebuah percobaan, dimana anak-anak diberi
sebuah tugas berkenaan dengan “konservasi zat cair”. Hasilnya mengungkapkan bahwa dengan
semakin luasnya wawasan siswa, maka mereka dapat menghitung ukuran segi empat dengan
membandingkan panjang dan lebar, atau volume dengan mempertimbangkan panjang, lebar, dan
tinggi. Dengan kata lain, proses kumulatif belajar memberikan hasil terstruktur dari sebuah
3
4
Margaret E.Bell Gredler.Belajar dan Membelajarkan.1991.Rajawali:Jakarta.hlm.,275.
Ibid.,.hlm,.182.
wawasan mulai dari wadah, volume, luas, tinggi, panjang dan sebagainya.
Secara singkat, perkembangan intelek bisa dipahami sebagai tersusunnya struktur
kapabilitas hasil belajar yang makin kompleks dan menarik. Kapabilitas-kapabilitas yang
dipelajari ini memberikan sumbangan bagi belajar ketrampilan yang lebih rumit sifatnya dan
ketrampilan tersebut juga berlaku secara umum pada situasi yang lain. Hasilnya ialah
ditimbulkannya kemampuan intelek yang makin tinggi.
John Dewey, mengemukakan teori yang berbeda, dimana pendidikan diasumsikan
sebagai proses membentuk pengalaman atau disebut kriteria pengalaman. Kriteria pengalaman
dibentuk dari sesuatau yang berkelanjutan dan besumber dari sebuah kebiasaan. Ciri yang paling
utama adalah, setiap pengalaman yang telah dialami akan memodifikasi pengalaman yang
sedang dijalani. Terlepas dari keinginan dan apa yang dikehendaki individu, maka hal tersebut
akan berpengaruh pada mutu pengalaman-pengalaman berikutnya.
Sebagai contoh sifat manja seorang anak tentu tidak muncul begitu saja melainkan telah
didahului oleh perlakuan lingkungan, kebiasaan bersikap si anak serta faktor-faktor lain yang
mempengaruhi munculnya sifat manja tersebut. Inilah yang disebut sebagai factor berkelanjutan.
Sampai disini, maka timbul pertanyaan pengalaman seperti apa yang dikategorikan ‘mendidik’?
Pada dasarnya, setiap pengalaman berjalan berdasarkan arah dan kedalaman nya
bergerak. Setiap orang dapat menentukan apa yang lebih disukai, apa yang harus ia hindari. Ini
menciptakan arah pengalaman. Selanjutnya sedalam apa pengalaman itu bergerak ditentukan
oleh minat apa yang cenderung dimiliki individu. Sebagai contoh seorang anak yang berminat
pada profesi guru, maka ketika ia sudah dapat mengenal buku, focus utamanya terletak pada
buku bergambar guru. Meski tidak menutup kemungkinan ketertarikan itu masih dapat berubah
akan tetapi, pengalaman yang bersumber dari lingkungan tempat tinggalnya juga membawa
pengaruh besar.
Lebih luas lagi, prinsip keberlanjutan pada saatnya akan bertemu dengan prinsip
interaksi. Kedua factor ini saling menyatu sehinnga dapat dikatakan bahwa keduanya menjadi
factor panjang dan lebar sebuah pengalaman.
John dewey (1999) menjabarkannya secara lebih jelas. Situasi-situasi silih berganti,
namun lantaran ada prinsip keberlanjutan ada sesuatu yang dibawa dari situasi terdahulu ke
situasi sekarang, dan dari situasi sekarang ke situasi nanti. Selagi individu bergerak dari satu
situasi ke situasi berikutnya, dunianya, lingkungannya, melebar atau menyempit. Bukannya ia
menemukan dirinya hidup di dunia lain, melainkan hidup di satu bagian atau aspek lain dalam
dunia yang itu-itu juga. Pengetahuan dan keterampilan apa yang telah ia pelajari di situasi
sekarang akan menjadi alat untuk memahami dan menangani situasi kelak secara efektif. Proses
ini terus saja berjalan seumur hidup selama orang masih belajar. Kalau tidak, jalur pengalaman
kacau karena factor individual yang memasuki pengalaman terpenggal atau tiada. Kalau
keterpenggalan ini mencapai derajad tertentu kita sebut orang itu sinting. Di sisi lain, sosok
kepribadian yang utuh hanya ada bila pengalaman yang susul menyusul saling diintegrasikan.5
2. Teori Perubahan Perilaku
Ada tiga macam faktor yang mendasari proses perubahan perilaku individu dalam
kehidupan sosialnya, pertama, Perubahan alamiah (natural change). Perubahan ini didasari oleh
faktor-faktor pendorong yang alami seperti usia, kondisi lingkungan, kondisi alam dan
sebagainya.Kedua, perubahan terencana. Yakni perubahan yang memang sudah direncanakan
oleh si individu. Biasanya disebabkan oleh keinginan tertentu yang ingin dicapai, peningkatan
pendidikan yang berdampak pada perubahan daya pikir dan tingkat intelektualitas, atau
5
Paulo Freire,dkk.Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis.1999.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.,hlm,.251-252.
dikarenakan perubahan gaya hidup yang sedang dialami. Ketiga, kesediaan untuk berubah.
Apabila dalam suatu tempat terjadi perubahan inovasi pembangunan serta teknologi, maka kadar
kesediaan untuk berubah dari masing-masing individu berbeda. Hal ini pula yanag menyebabkan
munculnya bermacam-macam perilaku pada masyarakat saat menghadapi sebuah inovasi
perubahan.
Selanjutnya, dalam menciptakan sebuah perubahan terutama perubahan perilaku individu,
ada beberapa strategi yang biasa digunakan, antara lain: metode pemberian informasi, metode
kekuasaan atau dorongan, serta metode diskusi. Semua ini merupakan cara-cara yang dapat
ditempuh jika seseorang ingin merubah perilaku individu. Teori perubahan perilaku yang
dikemukakan oleh Kurt Lewin (1970), menjelaskan bahwa struktur pribadi pada dasarnya berada
pada sebuah medan lingkungan psikologis, disertai dengan hubungan-hubungan sosial tertentu.
Satu sama lain tidak dapat terpisah. Lewin juga menjelaskan bahwa tiingkah laku individu ini
terbentuk dari empat unsur penentu, yaitu: 1). Ruang hidup, meliputi segala sesuatu yang
mendasari tingkah laku individu, dalam seuah lingkungan psikologi sosial pada saat tertentu. 2).
Lingkungan Psikologis, yakni batasan antara lingkaran pribadi dengan lingkungan sosial, namun
bersifat dapat ditembus. Artinya kondisi sosial juga memberi pengaruh pada sisi psikologikal
individu. 3). Pribadi, dimana unsur ini bersifat heterogen, dalam arti terbagi-bagi dalam bagian
yang saling terpisah namun berhubungan satu sama lain. 4). Lingkungan Non-Psikologis, yakni
bagian lingkaran yang berada didekat individu, namun tidak memberi dampak pengaruh bagi
psikologi individu. Contohnya seperti, benda, obyek, situasi, atu fakta sosial tertentu yang
berkumpul di kulit asing subyek individu.
Lewin beranggapan bahwa perilaku manusia merupaan hasil integrasi yang seimbang antara
kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dengan kekuatan penahanan (restrining forces).
Perubahan akan terjadi manakala dalam integrasi kedua faktor diatas berlaku ketidakseimbangan,
dimana salah satu faktor menekan faktor yang lain, dan berakibat pada pergeseran perilaku.
Secara ringkas, ketidakseimbangan itu dapat disebabkan oleh tiga hal ini, yakni :
1. Faktor pendorong meningkat. Terjadi karena stimulus-stimulus berupa informasi yang
berkaitan dengan tingkah laku individu juga bertambah. Maka hal ini akan mendorong
perubahan.
2. Kekuatan penahan menurun. Disebabkan karena munculnya stimulus-stimulus yang
memperlemah faktor penahan. Akibatnya terjadilah perubahan perilaku.
3. Kekutan pendorong meningkat, dan kekuatan penahan menuru. Jika kedua faktor
sebelumnya bergabung, jelas hal ini akan memberi dampak perubahan perilaku pada
individu yang bersangkutan.
Jika dalam diri individu, ada dua faktor yang mendasari perubahan tingkah laku, maka pada
dasarnya, dua faktor tersebut dipengaruhi oleh interaksi lingkungan serta kondisi sosial
habitatnya. Hal ini menjadi pertanda bagaimana lingkungan sosial berpengaruh kuat dalam
perubahan perilaku. Perkembangan pribadi menurut Lewin juga terjadi karena sebab
pertumbuhan usia, perubahan variasi tingkah laku, dan bertambah luasnya arena aktivitas
individu. Maka, perubahan perilaku individu, dapat dikatakan terjadi secara kompleks. Dimana
ada banyak unsur yang mendasarinya. Terlebih, jika individu itu sudah dapat memilah hal-hal
yang ia sukai dan tidak ia sukai. Maka perubahan yang diharapkan terjadi bisa saja terhambat
disebabkan kondisi dari dalam jiwanya yang menolak. Akan tetapi, pada anak-anak, dimana
unsur psikisnya masih cenderung labil, maka perubahan perilaku dapat dibentuk dengan catra
yang lebih lembut namun perlahan. Bahkan dengan penanaman perilaku yang diawali sejak dini,
bisa jadi hal tersebut akan melekat kuat dalam pribadinya hingga ia dewasa.
3.
Masa kanak-kanak
Masa anak-anak dibagi dalam dua masa, yaitu: a) masa kanak-kanak 0-6 tahun dan b)
masa anak-anak 6-12 atau 13 tahun yang sering juga disebut masa sekolah. Secara garis besar
kita dapat membagi tahapan perkembangan jasmani (fisik) masa anak-anak yaitu a) masa bayi:
0-1 tahun; b) masa melebar pertama: 1-4 tahun; c)masa memanjang pertama: 5-7 tahun; d) masa
melebar kedua: 8-10 atau 11 tahun; e)masa memanjang kedua: 10 atau 11-13 atau 14 tahun. Pada
bidang jasmaniah terjadi pertumbuhan badan yang berlangsung cepat, dalam proporsi yang
berubah-ubah, sampai tiba saatnya anak mencapai pertumbuhan fisik dewasa.6
Masa anak-anak memang cenderung berkembang cukup lama namun bertahap.
Sebagaimana Piaget menyebut tahapan perkembangan mereka sebagai periode sensorimotor
(sensorimotor period). Pada masa tersebut, di buan-bulan pertama, anak-anak berinteraksi serta
bertingkah berdasarkan apa yang dapat mereka lihat, cium, rasakan dan mereka dengar.Dari apa
yang mereka terima tersebut, anak anak akan belajar dan mulai berusaha mengenal lingkungan
atau obyek tertentu. Periode ini berlangsung kurang lebih pada usia 0-2 tahun. Jadi, pada masa
ini anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu mereka di lingkungan rumah dan belajar dari
pengasuhnya saat itu. Di masa sekarang peran tersebut tidak hanya dipegang oleh orang tua,
tetapi juga kakek nenek, atau pembantu rumah tangganya.
Dilanjutkan pada usia 2-7 tahun, dimana dalam rentang waktu tersebut anak mulai
dikenalkan pada dunia pra sekolah. Rata-rata anak bersekolah mulai dari usia 3 atau 4 tahun.
Piaget menjelaskan masa ini sebagai periode pra operasinal. Perilaku anak mulai didominasi oleh
tingkah peniruan terhadap obyek yang mereka lihat dan dengar. Bisa juga disebut sebagai proses
6
Sri Esti Wuryani Djiwandono. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: PT Grasindo.2005.hlm,.17
imitasi. Selain itu, anak juga sudah mampu melakukan simbolisasi dalam beberapa hal.
Selanjutnya menginjak pada periode konkret yang berkisar pada usia 7-11 tahun. Anak
anak sudah sedikit mencapai masa kedewasaanya. Mereka sudah dapat memecahkan masalahnya
sendiri secara logis tanpa bantuan orang dewasa. Anak-anak ini juga sudah mulai jeli dan mampu
menggunakan alat-alat tertentu sekaligus mengoperasikannya secara benar.Boleh dikatakan ini
merupakan awal peralihan yang cukup penting. Mereka secara tidak sadar mulai dapat
mengurangi persepsi-persepsi kekanak-kanakannya, dapat mulai memikirkan segalanya secara
logis.
Periode terakhir adalah masa operasi formal. Anak-anak yang menginjak periode tersebut
berusia antara 11 tahun hingga dewasa. Meskipun dalam beberapa sebab, individu seusia mereka
masih diperlakukan sebagaimana anak-anak, namun secara teori perkembangan, mereka
sebenarnya sudah mampu berpikir logis dan memecahkan masalah-masalah baik verbal maupun
nonverbal secara mandiri. Mereka bahkan sudah berkenan menerima masukan-masukan dari
orang-orang terdekat baik orangtua, saudara ataupun sahabatnya. Ini merupakan tingkat puncak
perkembangan anak dalam struktur kognitif sehingga setelahnya, tidak ada lagi anak-anak
melainkan orang-orang dewasa.
Perkembangan anak-anak di masa pra sekolah, yakni usia 3 sampai 6 tahun memang
terbilang sangat cepat. Tidak hanya fisik, tetapi hampir setiap jengkal bagian jiwa mereka akan
berkembang. Dalam usia-usia ini, anak-anak akan mulai menggunakan ketrampilan mereka
untuk berinteraksi dengan lingkungan termasuk benda-benda disekelilingnya. Tidak heran jika
mereka akan cepat belajar dan tumbuh pesat hingga siap untuk menggunakan bahasa, sisi kognisi
sekaligus ketrampilan sosial yang mereka dapat dalam masa tumbuh kembang untuk berinteraksi
dalam dunia orang dewasanantinya.
Secara umum, ada banyak sekali tahapan perkembangan yang mewarnai masa
pembelajaran anak. Diantaranya adalah : perkembangan motorik, perkembangan bahasa,
perkembangan bermain, perkembangan kognitif, perkembagan emosi, dan perkembangan sosial.
a. Perkembangan motorik, adalah proses pertumbuhan gerak seorang anak,
termasuk didalamnya motorik kasar dan halus. Dalam kehidupan sehari-hari
perkembangan ini dapat nampak dari penggunaan alat-alat seperti cara nya
memegang gelas, menuangkan air, makan dengan sendok sendiri, atau dalam kegiatan
sekolah seperti meremas kertas, plastisin, memegang pensil dan sebagainya. Semakin
sering anak bergerak akan semakin merangsang pertumbuhan ototnya sehingga
tumbuh semakin kuat. Hal ini juga berkorelasi terhadap kepercayaan dirinya yang
cenderung tidak ragu lagi atau takut mencoba alat-alat baru.
b. Perkembangan bahasa, adalah proses penguasaan seorang anak dalam
mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi utama dengan lingkungannya. Pada saat
anak menggunakan ketrampilan motoriknya, maka secara langsung mereka juga akan
mengembangkan
kemampuan
bahasanya.
Anak-anak
akan
berusaha
mengkomunikasikan pikiran mereka melalui bahasa kepada teman atau orang dewasa
meski dalam susunan yang masih belum sempurna.
Selama tahun-tahun pra sekolah, perubahan bahasa terjadi berawal dari ucapan
satu kata ke satu pembicaraan dengan menggunakan tata bahasa yang lebih kompleks.
Kebanyakan anak umur 4 tahun terus berjuang dengan kesalahan-kesalahan tata bahasa
dan ucapan adalah umum.( Bjorklund; 1995; smart & smart, 1977). Disamping itu,
mereka juga belajar mengerti sekaligus memahami 2 hingga 3 perintah sekaligus dan
menerjemahkannya dalam tindakan yang sesuai. Anak-anak juga mulai belajar
menceritakan pengalaman, perasaan serta cerita-cerita yang mereka sukai dalam pola
bahasa yang kompleks dan kombinasi kata-kata tanpa batas.
c. Perkembangan bermain. Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan
untuk kesenangan yang ditimbulkan, tanpa memperhatikan hasil akhir. Bermain
dilakukan dengan sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau
kewajiban. Pentingnya pengaruh bermain telah dijelaskan Sutton-Smith(1971) yaitu:
“bermain bagi anak terdiri atas empat mode dasar yang membuat kita mengetahui
tentang dunia-meniru, eksplorasi, menguji dan membangun.” Permainan anak kecil
bersifat spontan dan informal. Mereka bermain apa saja dengan mainan apa saja yang
mereka sukai, tanpa memperhatikan waktu dan tempat. Mereka juga akan bermain
dengan siapa saja yang ada dan mau bermain dengan mereka. Jika mereka melihat
ada anak yang bermain dengan cara yang lebih menarik, mereka beralih dari teman
yang lama ke teman yang baru.7
d. Perkembangan kogntif. Tahapan ini ditandai dengan kematangan daya
prelogikal anakprasekolah yang telah mampu berpikir dan mewakili objek, orang dan
perbuatan yang tidak nampak. Benda-benda disekitar anak-anak dapat berubah
menjadi alat permainan sesuai dengan imajinasi mereka. Sebuah toples makanan bisa
saja mewakili helm astronot, atau kursi-kursi yang disusun menjadi rumahdan karduskardus menjadi mobil-mobilan. Anak-anak juga mulai bermain dalam simbol-simbol
tertentu. Sebagai contoh sebuah boneka barbie yang menjadi simbol perempuan
dewasa atau bayi kecil.Wuryani (2005) menyimpulkan pandangan Piaget yang
menunjukkan bahwa pikiran anak prasekolah sedikit egosentris dan memusat. Bila
7
Sri Esti Wuryani Djiwandono. Konseling dan Terapi dengan Anak dan Orang Tua. Jakarta: PT Grasindo.2005.hlm,.31
anak dikonfrontasi dengan situasi yang multidimensional maka ia akan memusatkan
perhatiannya hanya pada satu dimensi saja, dan mengabaikan dimensi-dimensi yang
lain, dan akhirnya juga mengabaikan hubungan antara dimensi-dimensi ini.8
e. Perkembangan emosi. Berdasarkan hasil pengamatan, anak-anak
cenderung lebih takut kepada benda-benda dibanding bayi, atau anak-anak yang lebih
tua usianya. Perkembangan emosi mereka juga mempengaruhi perasaan mencintai
dan dicintai. Jika anak-anak memiliki model peran yang hangat dan penuh kasih
sayang, maka mereka pun tumbuh menjadi anak-anak yang penuh cinta. Anak
prasekolah juga sudah mulai diajarkan tentang cerita-cerita penuh emosi yang banyak
menyiratkan perhatian, ketulusan dan rasa saling membantu satu sama lain.
f. Perkembangan sosial. Pada saat anak bertambah besar mereka lebih
memperluas pergaulannya dengan teman-teman sebaya, tetangga, dan teman sekolah.
Antara usia 2 sampai 4 tahun, anak akan menemukan kenyataan bahwa anggota
keluarganya tidak dapat atau tidak mau menyediakan waktu yang cukup untuk
bermain dengan dia, untuk memenuhi kebutuhannya akan teman. Akibatnya anak
sangat mengharapkan hubungan dengan teman sebayanya.9
Maka dapat disimpulkan adanya empat aspek atau garis besar pemahaman yang
melandasi perkembangan kognitif anak, yakni :
a. Pendewasaan atau kematangan
b. Pengalaman fisik
8
9
Ibid., hlm33
Ibid., hlm.36
c. Interaksi sosial
d. Keseimbangan
Masa kanak-kanak yang diasuh dalam sebuah lembaga pendidikan, setidaknya juga
memasukkan keempat hal tersebut dalam materi pembinaan mereka. Adanya aspek penilaian
fisik dalam bentuk olahraga, keaktifan dalam keikutsertaan berbagai macam kegiatan, dapat
dikategorikan sebagai proses menuju pendewasaan anak secara fisik. Selanjutnya, untuk
memperbanyak pengalaman fisik anak, maka anak diberikan beragam stimulus-stimulus ke arah
verbal dan non verbal. Disamping itu juga melatih anak memakai beragam alat dan benda-benda
tertentu seperi balok, tangga pelangi dan lain sebagainya. Sedangkan pergaulan anak-anak dalam
lingkungan sosial TK yang penuh dengan anak-anak seusia mereka sekaligus keberadaan
pendamping yang mendidik tentu semakin dapat melatih keluwesan mereka dalam bergaul dan
bersosialisasi.
4.
Pendidikan dalam TK
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan hidup.10
Taman Kanak-kanak menjadi lembaga pendidikan transisi yang mengawali proses
sosialisasi tumbuh kembang anak di luar lingkup keluarga. Sebelum beranjak pada jenjang
pendidikan yang lebih formal,yakni tingkat sekolah dasar,
anak-anak akan diajak untuk
mengenal lebih dahulu lingkungan sekolah tempat mereka bersosialisasi sekaligus bermain.
Artinya, secara ringkas TK merupakan tempat transisi seorang anak dari lingkungan keluarga
10
Redja Mudyahardjo.Pengantar Pendidikan.jakarta: PT Grafindo Persada.2001.hlm.,3
menuju lingkungan sekolah formal.
Pendidikan yang berlaku dalam sekolah-sekolah TK, memiliki kaedah pengembangan
yang bermaksud untuk mengarahkan perkembangan sosial-emosional, fisik-motorik, dan agama
anak ke arah yang baik. Bahkan, tidak hanya ketiga aspek tersebut melainkan juga memasukkan
aspek-aspek kesehatan dan pemenuhan gizi sehingga tumbuh kembang anak benar-benar
memperoleh dukungan baik dari luar maupun dari dalam tubuhnya.
Drs. Suyanto, dkk (2001) beranggapan dari sisi gizi, sepantasnya bila pemerintah
memberikan perhatian lebih besar bagi anak usia dini. Ia sosok yang pada saatnya akan tumbuh
berkembang menjadi generasi penerus bangsa. Dengan begitu, keunggulan ( baik yang
komparatif maupun yang kompetitif )bangsa pada masa depan untuk sebagian ditentukan oleh
kualitas pengembangan anak usia dini yang dilakukan saat ini.11
Pendidikan di sekolah taman kanak-kanak umumnya terdiri dalam tiga bentuk metode,
yakni: bimbingan, pengajaran, dan latihan. 1). Bimbingan, merupakan cara yang ditempuh
sekolah untuk mengembangkan seluruh aspek kecerdasan yang dimiliki anak termasuk
kecerdasan sosial, emosional, fisik dan bahasa. Jika dalam prosesnya ank mengalami kesulitan,
maka guru akan berperan sebagai pembimbing yang mengarahkan anak didiknya. 2). Pengajaran,
merupakan upaya penyampaian informasi dalam usaha menyiapkan anak didik supaya dapat
berperan pada masa selanjutnya ketika ia sudah dewasa dan bersosialisasi secara mandiri dalam
lingkungan masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan satuan kegiatan yang terencana dan
tersusun sesuai bahan ajar yang ada. 3). Yang terakhir adalah latihan. Metode ini menjadi praktek
yang tidak kalah penting dalam usaha membentuk generasi muda berkarakter baik, karena untuk
dapat mencapai kecerdasan tidak cukup dengan hanya membebaninya dengan informasi
melainkan harus diikuti dengan praktek nyata.
11
Prof.Dr.Suyanto dkk.Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa.2001.Yogyakarta:Adicita.hlm.,16
Secara umum, sekolah taman kanak-kanak berperan besar dalam membimbing anak-anak
usia pra-sekolah sebelum nantinya memasuki usia sekolah dan menadi dewasa. Bimbingan ini
diartikan oleh Stopps (1958), sebagai proses yang terus menerus dalam membantu
perkembangan individu untuk mencapai kemampuan maksimal dalam mengarahkan manfaat
yang sebesar-besarnya, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Rachman Natawidjaja (1984)
juga berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu
yang dilakukan secara terus menerus supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sehingga
ia sanggup mengarahkan diri dan bertindak wajar sesuai dengan tuntutan, keadaan lingkungan
sekolah, keluarga dan masyarakat. Menurut Arthur J. Jones (1979) bimbingan adalah suatu
pemberian bantuan kepada individu dalam membuat suatu pilihan kemampuan dan penyesuaian
dalam kehidupannya. Sedangkan prinsip utama pengembangan individu adalah meningkatkan
kemampuannya. Dengan kata lain, bimbingan bertujuan muntuk semakin meningkatkan
kemampuan individu dalam aaspek apapun.
Dari beberapa pendapat tokoh tentang arti bimbingan, maka dapat dimaklumi bahwa
sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebagai lembaga yang berfungsi untuk membimbing anakanak pastilah bertujuan untuk membersamai anak sepanjang waktu sekolah untuk mengarahkan,
menemani, mengajar, dan melatih anak-anak supaya kepribadian mereka semakin berkembang
dan diikuti pula dengan peningkatan kemampuan lainnya.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh hasil penelitian yang ilmiah, tentu saja dibutuhkan metode penelitian
yang dapat menjelaskan secara jelas mengenai fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan
.oleh karena itu, untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut, maka penulis menggunakan
metode dan jenis penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian lapangan (field study) dengan
pendekatan kualitatif dan analisis bersifat deskriptif (descriptive analysis). Didalamnya, peneliti
berkedudukan sebagai instrumn penting (key instrument) yang terlibat aktif dalam seluruh proses
penelitian meliputi pengumpulan data, pengolahan hingga sampai pada pencampaian kesimpulan
serta penulisan. Sebab menurut Muhajir (2005:56) pendekatan kualitatif lebih mengarah pada
proses daripada hasil atau produk.
Menurut Travers (1978), metode ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu
yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala
tertentu. Karena kedalamannya, penelitian ini seringkali juga dapat mengungkap realitas ganda
yang menjadi latar belakang suatu fenomena.
Tujuan penelitian kualitatif tidak selalu mencari sebab akibat sesuatu, tetapi lebih
berupaya memahami stuasi tertentu untuk sampai pada suatu kesimpulan obyektif, penelitian
kualitatf mencoba mendalami dan menerobos gejalanya dengan menginterprestasikan
masalahnya atau menyimpulkan kombinasi dari berbagai arti permasalahan sebagaimana
disajikan oleh situasinya.12
Metode penelitian sendiri yang dipakai oleh penulis adalah studi kasus yang didefinisikan
oleh Bogdan dan Bikien (1982) sebagai pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang
subjek, atau satu tempat penyimpanan dokumen, atau satu peristiwa tertentu.Sedangkan menurut
Robert K. Yin (1996), studi kasus adalah salah satu metode penelitian sosial, dengan batasan
yang bersifat teknis dan penekanan pada ciri-cirinya.Dengan demikian maka studi kasus
memiliki subyek penelitan yang terdiri dari satu unit analisis dengan cara kerja yang intensif dan
12
Lexy J Meoleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 1990, Bandung : Remaja Rosdakarya, hal 5
mendetail sehingga umumnya menghasilkan data yang longitudinal. Artinya berada dalam
jangka waktu tertentu.
2. Unit Analisa
Unit analisa adalah unit yang menjadi sumber dari informasi. Unit analisis adalah unit
dari mana informasi dikumpulkan, dan sekaligus sebagai basis untuk melakukan analisis dan
menarik kesimpulan. Unit analisis menunjuk pada karakteristik khusus yang berkaitan dengan
obyek atau tujuan penelitian.13
Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisa adalah sekolah taman kanak-kanak
Aisyiyah Busthanul Athfal di daerah Nitikan, dengan pertimbangan :
a. Sekolah ini sudah cukup lama berdiri dan cukup banyak mengenyam pengalamanpengalaman seputar maslah pendidikan anak.
b. Sekolah ini juga sudah cukup banyak memperoleh predikat prestasi baik,
termasuk juga nilai akreditasi A yang telah disandang sejak lama.
3. Sumber Data
Sumber data penelitian terbagi menjadi du macam, yakni data primer dan data
sekunder. Data primer didapat melalui proses wawancara langsung dengan para nforman
yang terdiri dari :
-
Orang tua murid yang anaknya masih bersekolah di TK ABA
Nitikan sebanyak sembilan orang
-
13
Kepala sekolah sekaligus guru TK ABA Nitikan
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, 1986, Yogyakarta : Yayasana Penerbit Fakultas Psikologi UGM, hal 140
Sedangkan data sekunder
yang merupakan kumpulan data-data tertulis
diperoleh dari kantor Desa, Kecamatan, dan Kabupaten wilayah bersangkutan.
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball, atau
metode bola salju. Yaitu peneliti mengambil satu orang inforrman yang selanjutnya
informan tersebut akan menunjuk pada informan lain, seterusnya hingga data telah
dirasa cukup oleh peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data seagai berikut :
a.
Wawancara
mendalam
(in
depth
interview)
yaitu
cara
pengumpulan data secara langsung bertatap muka (face to face)dengan informan
agar dapat memperoleh gambaran lengka tentang informasi yang diteliti.
Wawancara ini bersifat terbuka dan diulang-ulang. Sebab peneliti tidak dapat
percaya begitu saja dengan apa yang disampaikan informan, melainkan harus
mengeceknya sendiri dan mengamati fakta yang sesungguhnya benar-benar ada di
lapangan.Dalam melakukan wawancara iitu sendiri, penulis menggunakan sebuah
pedoman wawancara yang berguna sebagai garis besar inti pertanyaan sehingga
proses wawancara dapat berjalan lebih terarah dan sistematis. Adapun pokokpokok yang tercantum dalam pedoman wawancara adalah :
-
Untuk orangtua murid adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kebiasaan-kebiasaan anak selama dirumah.
-
Untuk Kepala sekolah dan guru adalah pertanyaan-pertanyaan
umum mengenai lembaga sekolah serta metode-metode pengajaran yang biasa
digunakan.
b.
Observasi non partisipan, yaitu peneliti mengadakan pengamatan
secara langsung pada subyek yang diteliti namun, tidak sampai terlibat
didalmanya. Terkait dengan observasi non partisipan, maka beberapa hal yang
dapat diamati oleh peneliti antara lain :
-
Kebiasaan sehari-hari anak disekolah,
-
Kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilakukan anak di sekolah,
-
Peranan guru selama proses pembelajaran berlangsung.
5. Teknik Analisis Data
Patton
(1980),
menjelaskan
mengenai
analisis
data,
sebagai
usaha
mengelompokkan dan mengkategorikan data dengan cara mengurutkan terlebih dahulu
data-data yang telah dikumpulkan kemudian mengorganisasikannya sedemikian rupa ke
dalam klasifikasi tertentu. Lebih lanjut lagi Taylor menjabarkannya sebagai usaha merinci
data hingga menjadi sebuah rumusan hipotesa.
Sementara itu, peneliti telah mendapatkan beberapa data yang mendukung
antara lain dalam bentuk catatan lapangan, komentar peneliti, profil, data-data, artikel
serta
foto.
Untuk
itu,
maka
perlu
pengorganisasian
lebih
lanjut
untuk
mengelompokkan semuanya menjadi satu kesatuan yang tertata. Proses analisis
sendiri sesungguhnya sudah dimulai sejak pertama kali data tersebut didapatkan.
Selanjutnya, peneliti juga membutuhka dukungan dari sumber-sumber kepustakaan
sebagai referensi.
6. Tahap Tahap Penelitian
Proses pencapaian hasil penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap penelitian
sebagai berikut :
a.
b.
Tahap pra lapangan, meliput kegiatan :
1.
Menyusun rancangan penelitian
2.
Memilih lokasi penelitian
3.
Mengurus perizinan
4.
Menyiapkan perlengkapan penelitian
Tahap pekerjaan lapangan meliputi :
1.
Memahami latar penelitan dan mempersipakan diri
2.
Memasuki lapangan
3.
Mengumpulkan data
c.
Tahap analisis data
d.
Tahap penyusunan laporan
Penyusunan laporan penelitian mejadi tahapan akhir dari seluruh
rangkaian tahap penelitian. Kegiatan ini membutuhkan kemampuan analisis serta
penulisan data dan hasil yang sistematis, sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh dan lengkap.
Download