mutu fisik kacang tanah dengan cara pengeringan dan

advertisement
MUTU FISIK KACANG TANAH DENGAN CARA PENGERINGAN
DAN MUSIM PANEN BERBEDA
Yeyen Prestyaning Wanita dan Purwaningsih
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22, Karangsari, Wadomartani, Ngemplak, Sleman.
Tlp (0274) 884662 e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penanganan pascapanen kacang tanah berpengaruh terhadap mutu fisik biji. Salah satu
faktor kritis tahapan penanganan pascapanen adalah pengeringan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan yang biasanya dilakukan petani dengan cara
introduksi (yang diperbaiki) pada musim panen musim hujan dan kemarau terhadap rendemen, sifat fisik, dan kimia kacang tanah. Pengeringan dengan pengering portable mampu
memberikan rendemen, persentase polong bernas dan diameter biji yang lebih tinggi daripada
cara petani, yaitu pada panen musim hujan sebesar 65%, 77,86%, dan 7,44 mm, sedangkan
pada panen musim kemarau 65%, 79,98%, dan 8,01 mm.
Kata kunci: kacang tanah, cara pengeringan, dan mutu fisik
ABSTRACT
Physical Quality of Peanut on Different Drying Methods and Harvesting Seasons. Post harvest peanuts, greatly affect the physical quality of seed. One of the critical factors
of post-harvest handling is the drying method. This study aims to: determine the effect of drying
methods (i.e. commonly performed by the farmer and improvements), at two different harvest
seasons, i.e. the rainy and dry to: yield, physical and chemical characteristics of peanuts. Improvement drying method is able to provide yield improvement, the percentage of seed pods
thoughtful and diameter greater than the farmers ways, i.e. the rainy season harvest: 65%;
77.86%: and 7.44 mm, whereas in the dry season harvest: 65%; 79.98%; and 8.01 mm.
Keywords: peanut, drying method, farmers method, improvement method, and physical quality
PENDAHULUAN
Kacang tanah tergolong bahan pangan yang sehat, tetapi memiliki kelemahan sehingga
pemanfaatannya kurang optimal jika tidak ditangani dengan baik. Salah satu kelemahan
kacang tanah adalah mudah terinfeksi cendawan toksigenik yang kemudian berkembang
dan memproduksi mikotoksin (Kasno 2010). Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam
mikotoksin utama yang banyak mengontaminasi produk pertanian seperti jagung, kacang
tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak (Muhilal dan Karyadi 1985). Menurut
Hartuti (2010), aflatoxin yang terkandung dalam bahan makanan dan terkonsumsi
manusia maupun hewan dapat menyebabkan kerusakan struktur hepatosit dan gangguan
fungsi hepar. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah menerapkan tahapan
penanganan pascapanen yang baik. Penanganan pascapanen kacang tanah meliputi
pemipilan, sortasi, pengeringan, dan penyimpanan. Penanganan ini diperlukan karena
kacang tanah tetap mengalami metabolisme dan respirasi yang menyebabkan perubahan
sifat fisik, kimia, mikrobiologi, dan cenderung menuju ke arah penurunan kualitas.
Penanganan ini tidak mengubah struktur fisik dan kimia primer kacang tanah. Tujuan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
707
utama dari penanganan pascapanen adalah mencegah hilangnya kelembaban,
memperlambat perubahan kimiawi yang tidak diinginkan, dan mencegah kerusakan fisik.
Sanitasi juga merupakan hal yang penting dalam mencegah patogen perusak bahan
pertanian (Anonim 2014).
Salah satu tahapan kritis dalam penanganan pascapanen adalah pengeringan. Pengeringan selama berabad-abad telah digunakan untuk pemeliharaan atau pengawetan berbagai jenis makanan dan hasil pertanian. Pada proses pengeringan terjadi pelepasan atau
pemindahan air sampai pada batas tertentu di mana mikrobia penyebab kerusakan bahan
tidak dapat berproduksi, dan untuk memperpanjang masa simpan bahan. Selain itu pengeringan juga bertujuan untuk meningkatkan stabilitas, pengurangan bobot dan volume
bahan, sehingga dapat mengurangi biaya pengiriman, mempermudah pengemasan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan atau produk. (Guilermo et al. 1997). Pengeringan
harus segera dilakukan setelah pemanenan dilaksanakan. Dengan melakukan pengeringan, kadar air kacang tanah akan mengalami penurunan sampai batas aman tidak
ditumbuhi mikroorganisme. Kadar air biji kacang tanah saat panen berkisar antara 35–
50%, dan pada kondisi tersebut jamur Aspergillus akan tumbuh dan membentuk aflatoksin. Kadar air yang aman untuk mencegah kontaminasi jamur pada kacang tanah
adalah ≤10% (ICIAR 1987 dalam Kasno 2004).
Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh cara pengeringan yang
biasanya dilakukan oleh petani dengan cara introduksi (yang diperbaiki) pada panen
musim hujan dan kemarau terhadap rendemen, sifat fisik, dan kimia kacang tanah.
BAHAN DAN METODE
Bahan utama yang digunakan dalam pengkajian ini adalah kacang tanah varietas lokal
Kabupaten Gunung Kidul dengan umur panen 90 HST, serta bahan-bahan lain yang
digunakan untuk analisis fisik dan kimia kacang tanah.
Peralatan yang digunakan adalah timbangan, rak pengering (para-para), rak tempat
menyusun para-para, oven, thermohigrometer, dan peralatan lainnya yang digunakan
untuk analisis fisik dan kimia.
Pengkajian dilaksanakan pada kelompok tani Marsudi Luhur, Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul dan Laboratorium Pascapanen dan Alsintan BPTP
Yogyakarta pada Bulan Februari–November 2013. Pengkajian ini membandingkan proses
pengeringan kacang tanah yang biasanya dilakukan oleh petani dengan teknologi pengeringan polong kacang tanah dari BPTP Yogyakarta (teknologi introduksi). Proses pengeringan perlakuan petani dan introduksi disajikan pada Gambar 1 dan 2.
Analisis Fisik dan Kimia
Proses panen dan pengeringan dilakukan pada dua musim panen yang berbeda, yaitu
panen musim hujan dan musim kemarau. Panen musim hujan dilakukan pada akhir Februari, sedangkan panen musim kemarau pada awal Juni. Pengujian dilakukan terhadap
kadar air panen dan setelah proses pengeringan selesai dilakukan, rendemen (AOAC
1990), persentase polong bernas, bertunas, cacat, muda dan busuk. Analisis kadar air
dilakukan terhadap polong yang telah dikupas (biji) dengan metode oven.
Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan bobot polong kacang tanah setelah
proses pengeringan (sesuai dengan perlakuan) dengan bobot polong setelah panen.
708
Wanita dan Purwaningsih: Mutu Fisil Kacang Tanah dengan cara Pengeringan dan Musim Panen Berbeda
Pertanaman kacang tanah
↓
Dipanen secara manual
↓
Dikeringkan di ladang bersama dengan brangkasan
selama 4 hari tanpa menggunakan alas
↓
Hasil pengeringan diangkut ke rumah untuk dipipil secara manual
dan menunggu tenaga kerja yang ada
↓
Dipipil (dihasilkan polong kacang tanah)
↓
Polong kacang tanah kemudian dikeringanginkan
di tanah/lantai tanpa menggunakan alas selama sehari
↓
Dijual
Gambar 1. Proses pengeringan perlakuan pengeringan cara petani (existing)
Pertanaman kacang tanah
↓
Dipanen secara manual
↓
Hasil panen berupa brangkasan diangkut/dipindahkan ke rumah
↓
Kacang tanah dipipil secara manual sekalian dilakukan
proses sortasi (dihasilkan polong kacang tanah
↓
Polong kacang tanah kemudian dijemur menggunakan para-para/
alat pengering portable sampai kadar air polong ≤ 10%
↓
Dijual
Gambar 2. Proses pengeringan polong kacang tanah perlakuan introduksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengeringan Cara Petani
Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, merupakan salah satu sentra penghasil kacang
tanah di DIY, terutama di Kabupaten Gunung Kidul. Penanganan pascapanen kacang
tanah di Kabupaten Gunung Kidul, khususnya di Desa Pacarejo menghadapi permasalahan tersendiri. Hal ini disebabkan karena waktu panen bersamaan dengan waktu tanam
sehingga tenaga kerja yang tersedia untuk proses panen kurang.
Sebagian besar petani lebih mengutamakan bisa tanam untuk periode berikutnya
daripada memanen dan merawat hasil panen kacang tanah yang sudah ditanam pada
periode sebelumnya. Hal ini membuat hasil panen kurang optimal dan adakalanya terlalu
tua (panen terlambat), Dalam beberapa kasus, tanaman menjadi busuk dan kering yang
mengakibatkan proses pemanenan tidak bisa dilakukan dengan cara mencabut karena
polong tertinggal di dalam tanah, sehingga proses pengambilan polong dilakukan dengan
cara dikair menggunakan ‘cengkrong’. Polong hasil panen juga tidak sebaik yang dipanen
tepat waktu, karena sebagian sudah bertunas. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmi-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
709
anna et al. (2007) bahwa penundaan panen kacang tanah di atas 10 hari dapat menyebabkan penurunan mutu dan kadar air tanpa penambahan bobot.
Asiedu et al. (1989) menyatakan pula bahwa umur panen berpengaruh terhadap hasil
dan mutu fisik biji. Selain itu pascapanen, terutama pengeringan atau penjemuran, masih
dilakukan secara tradisional di ladang bersamaan dengan brangkasan tanpa alas. Setelah
penjemuran, polong bersama brangkasan dibawa ke rumah untuk dipipil secara manual.
Proses pemipilan dapat berlangsung selama 1 bulan, karena terbatasnya tenaga kerja.
Proses pemipilan dilakukan di sela-sela petani menanam untuk periode selanjutnya. Setelah proses pemipilan selesai, petani melakukan penjemuran kedua menggunakan alas
terpal selama 6 jam (jam 09.00–15.00). Selanjutnya polong disimpan dan dijual.
Pengeringan Introduksi
Proses pengeringan polong kacang tanah dengan cara introduksi adalah; setelah panen
selesai, langsung dilakukan proses pemipilan polong dari brangkasannya. Proses sortasi
dilakukan bersamaan dengan proses pemipilan. Proses pengeringan segera setelah proses
pemipilan. Pengeringan menggunakan para-para dengan ukuran 157 cm x 46 cm x 4 cm
dan ketebalan polong 3 cm. Pengeringan berlangsung selama 3 hari dengan waktu penjemuran 7 jam (08.00–15.00) dengan intensitas sinar matahari yang terik. Pada sore hingga
pagi hari, para-para disusun dalam suatu rak dan ditempatkan dalam rumah, baik di
dapur, teras, maupun gudang.
Penggunaan rak tempat para-para bertujuan untuk: 1) mempermudah pengangkatan
dan penjemuran, 2) proses penjemuran tidak memakan banyak tempat, dan 3) sirkulasi
udara antara lapisan atas dan bawah dapat berjalan dengan lancar sehingga mempercepat
proses pengeringan dan mengurangi risiko kontaminasi lanjut. Prinsip pengeringan adalah
penurunan kadar air polong kacang tanah dari sekitar 38% sampai ≤ 12%. Para-para
yang digunakan bersifat portable sehingga pada saat ada matahari dapat dikeluarkan dan
pada malam hari atau saat hujan dapat diangkat dan dimasukkan untuk diangin-anginkan
di dalam rumah, teras, gudang, atau dapur. Selama proses pengeringan juga dilakukan
pembalikan dan sortasi jika masih ada beberapa polong dengan kualitas yang kurang
bagus, bercampur tanah maupun cemaran lainnya.
Rendemen
Perlakuan pengeringan yang berbeda menghasilkan rendemen yang berbeda. Hal ini
disebabkan karena kadar air masih tinggi pada saat pengeringan cara petani. Jika dilihat
mutu fisiknya, dua perlakuan pengeringan ini menghasilkan kualitas polong yang juga
berbeda. Pengeringan cara introduksi memberikan sifat fisik yang lebih baik daripada cara
petani. Waktu panen yang berbeda tidak terlalu mempengaruhi rendemen polong. Tetapi
tenaga kerja yang dibutukan saat panen musim kemarau lebih besar daripada musim
hujan. Hal ini disebabkan karena jenis tanah di Kabupaten Gunung Kidul adalah Latosol,
yang pada musim kemarau menjadi sangat keras. Oleh karena itu, pada saat panen
kacang tanah tambahan tenaga panen untuk ‘mencongkel’ tanah selain mencabutnya.
Rendemen polong kacang tanah kering dengan pengeringan cara petani dan introduksi
disajikan pada Gambar 3.
Secara statistik dengan uji T, rendemen polong kacang tanah kering dengan perlakuan
pengeringan cara petani dan introduksi berbeda nyata.
710
Wanita dan Purwaningsih: Mutu Fisil Kacang Tanah dengan cara Pengeringan dan Musim Panen Berbeda
Gambar 3. Rendemen polong kacang tanah kering dari dua perlakuan
pengeringan yang berbeda (cara petani dan introduksi).
Kadar Air
Analisis dilakukan untuk mengetahui perubahan kandungan air pada kacang tanah.
Kadar air merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi daya simpan kacang
tanah. Pada proses pengeringan terjadi perpindahan panas dan air (uap air). Kadar air
pada perlakuan pengeringan cara petani mengalami perubahan yang lebih besar daripada
cara introduksi karena tidak ada proses sortasi antara polong yang sudah matang (tua/
bernas) dengan polong muda maupun cacat. Pada perlakuan ini terdapat lebih banyak
polong muda dengan kadar air yang lebih tinggi. Pada saat proses pengeringan, polong
muda mengalami penurunan kadar air karena didalamnya belum terbentuk zat-zat penyu sun ose (gizi) secara sempurna. Perubahan kadar air ini juga berhubungan dengan rendemen yang dihasilkan serta potensi kontaminasi jamur. Semakin tinggi kadar air awal (pada
polong muda) sebelum pengeringan, maka rendemen polong yang dihasilkan rendah dan
semakin banyak kemungkinan kontaminasi jamur (A. flavus) dan mikroba lain yang dapat
mengkontaminasinya, sehingga kacang tanah mudah mengalami rusak.
Proses pengeringan polong kacang tanah cara petani (diladang) menghasilkan kadar
air tinggi. Hal ini karena kacang tanah dibiarkan terbuka tanpa alas dan pelindung yang
menyebabkan penurunan kadar air berjalan lambat. Dengan demikian, kacang tanah
rentan ditumbuhi jamur A. flavus, meskipun pengeringan dilanjutkan di bawah sinar matahari selama 6 jam. Pengeringan merupakan faktor kritis yang mempengaruhi besar kecilnya cemaran aflatoxin. Semakin rendah kadar air setelah pengeringan semakin kecil
kemungkinan kacang tanah tercemar aflatoxin. Pada pengeringan cara introduksi menggunakan para-para, kadar air polong kacang tanah lebih rendah, sehingga kontaminasi oleh
jamur A. flavus juga rendah. Kadar air awal polong kacang tanah (setelah panen) dan
pengeringan cara petani (dua kali pengeringan) dan menggunakan para-para (introduksi)
untuk panen musim hujan dan kemarau disajikan pada Tabel 1.
Dengan uji T, secara statistik kadar air polong kacang tanah dari perlakuan pengeringan cara petani dan introduksi tidak berbeda nyata. Kadar air polong kacang tanah
kering dengan pengeringan cara petani dan introduksi pada panen musim hujan dan
kemarau berbeda nyata.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
711
Tabel 1. Kadar air polong kacang tanah kering dengan perlakuan pengeringan cara petani dan
introduksi pada panen musim hujan dan kemarau.
Perlakuan pengeringan
Panen
Cara petani
Cara introduksi
37,47
pengeringan kedua
37,47
Kadar air (%)
Panen musim
hujan
22,4
9,85
7,48
Panen musim
kemarau
21,78
9,11
6,6
Sifat Fisik
Pada saat panen musim kemarau basah, sifat fisik kacang tanah berbeda dengan
panen musim hujan. Pembandingan sifat fisik ose yang dihasilkan dari perlakuan pengeringan cara petani dan introduksi disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Sifat fisik ose (biji) kacang tanah hasil pengeringan cara petani dan introduksi pada panen
musim hujan.
Sifat fisik ose kacang tanah
Diameter (mm)
Bernas (%)
Bertunas (%)
Muda (%)
Cacat (%)
Busuk (%)
Keriput (%)
Warna lain (%)
Ose berjamur (%)
Penanganan pascapanen cara
introduksi
7,44
77,89
0,61
0,00
9,09
0,00
0,16
6,54
2,66
Penanganan pascapanen
cara petani
7,21
69,87
0,31
0,05
4,74
0,18
0,33
11,85
2,04
Secara statistik dengan uji T telihat bahwa diameter, persentase ose bernas, bertunas,
cacat, dan berjamur berbeda nyata antara perlakuan pengeringan cara petani dan
introduksi. Sedangkan persentase biji (ose) muda, busuk, keriput, dan ose warna lain tidak
berbeda nyata. Tabel 2 juga menunjukan bahwa diameter ose hasil pengeringan cara
introduksi lebih besar daripada cara petani, begitu juga persentase biji bernas. Hal ini
karena proses pengeringan cara petani didahului oleh sortasi, pemisahan antara polong
bernas dengan polong muda. Sortasi merupakan proses pemisahan antara polong kacang
tanah yang berkualitas baik dengan yang kurang baik seperti muda, berjamur, bertunas,
dan cacat.
Pada perlakuan pengeringan cara introduksi hanya polong bernas yang dilanjutkan
pada proses pengeringan. Untuk persentase biji berjamur dan bertunas, perlakuan pengeringan cara introduksi lebih besar daripada cara petani. Hal ini dimungkinkan karena
jumlah polong bernas lebih banyak dan selama proses pengeringan biji masih mengalami
proses metabolisme dan respirasi. Biji kacang bernas adalah biji yang memiliki tingkat kemasakan fisiologis yang optimal (Sutopo 2004). Pada tingkat kemasakan optimal, biji
712
Wanita dan Purwaningsih: Mutu Fisil Kacang Tanah dengan cara Pengeringan dan Musim Panen Berbeda
kacang memiliki cadangan makanan yang cukup yang membantu pembentukan embrio
yang sempurna (Durhan 1958 dalam Welington 1996). Pada biji kacang tanah yang masih
muda belum cukup tersedia nutrisi bagi pertumbuhan embrio (tunas). Perlakuan pengeringan cara petani menghasilkan persentase biji busuk dan keriput yang lebih banyak
daripada cara introduksi, karena kadar air yang lebih tinggi, sehingga perubahan kadar air
lebih banyak dan potensi terkontaminasi jamur lebih besar.
Tabel 3. Sifat fisik ose (biji) kacang tanah hasil pengeringan cara petani dan introduksi pada panen
musim kemarau.
Sifat fisik ose kacang tanah
Diameter (mm)
Bernas (%)
Bertunas (%)
Muda (%)
Cacat (%)
Busuk (%)
Keriput (%)
Warna lain (%)
Ose berjamur (%)
Penanganan pascapanen cara
introduksi
8,01
Penanganan pascapanen
cara petani
7,13
79,98
64,80
0,56
0,89
0,00
0,05
8,11
9,20
0,00
0,15
0,15
0,76
5,64
6,55
1,32
6,65
Secara statistik dengan uji T terlihat bahwa perlakuan pengeringan cara petani dan
introduksi untuk panen musim kemarau berpengaruh nyata pada diameter dan persentase
ose bernas. Tidak demikian halnya persentase ose bertunas, muda, cacat, busuk, keriput,
ose warna lain, dan ose berjamur.
Seperti panen musim hujan, diameter ose dengan pengeringan cara introduksi lebih
besar daripada cara petani, begitu juga persentase biji bernas. Rata-rata biji cacat dari
kedua perlakuan pengeringan lebih besar daripada panen musim hujan. Pada panen
musim kemarau, proses pemanenan sebagian dilakukan dengan cara mengcongkel menggunakan alat bantu berupa ‘cengklong’. Rata-rata biji berjamur dari panen musim kemarau lebih rendah daripada panen musim hujan, karena panen musim hujan intensitas sinar
matahari tidak sebaik musim kemarau, sehingga pengurangan kadar air berlangsung lebih
lambat yang menyebabkan biji (polong) lebih rentan berjamur.
KESIMPULAN
1. Cara pengeringan kacang tanah berpengaruh terhadap kadar air dan mutu fisik polong
berupa rendemen, persentase polong bernas, bertunas, busuk, muda, sedangkan
musim panen tidak terlalu berpengaruh.
2. Proses pemipilan yang dilaksanakan segera setelah panen dan pengeringan menggunakan para-para (cara introduksi) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi (65%)
dibandingkan dengan cara petani (50%), kadar air akhir lebih rendah, yaitu 6,6% pada
panen musim kemarau dan 7,48% pada panen musim hujan.
3. Pengeringan cara introduksi pada panen musim hujan dan kemarau menghasilkan
diameter dan persentase biji bernas lebih tinggi daripada cara petani. Pada panen
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2014
713
musim hujan, diameter dan persentase biji bernas untuk perlakuan pengeringan cara
introduksi 7,44% mm dan 77,89% sedangkan cara petani adalah 7,21% dan 69,87%.
Pada panen musim kemarau, diameter dan presentase biji bernas masing-masing 8,01
mm dan 79,98% untuk cara introduksi serta 7,13% mm dan 64,80% untuk cara petani.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih dihaturkan kepada Ibu Sumisih yang telah membantu pengamatan di laboratorium pascapanen dan alsintan BPTP Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014a. http://id.wikipedia.org/wiki/Pascapanen.
Asiedu, R., N ter Kuile, and A. Mujeeb-Kazi. 1989. Diagnostic markers in wheat wide crosses, p.
293–299. In Review of Advances in Plant Biotechnology, 1985–1988: 2nd Internatl Symp.
on Genetics Manipulation in Crops. A. Mujeeb-Kazi and L.A. Sitch (eds.), CYMMIT, Mexico.
Guilermo, C., dan Karina Di Scala. 1997. Drying Kinetic and Quality Changes During Drying of
Red Pepper. Elsevier Vol. 41 issue 5 june 2008.
Hartuti, U.S. 2010. Pencemaran Bahan Makanan dan Makanan Hasil Olahan Berbagai Spesies
Kapang Kontaminan Serta Dampaknya Bagi Kesehatan. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Dalam Bidang Ilmu Mikrobiologi. Fakulta MIPA Universitas Negeri Malang. 16 Desember
2010. Malang.
Kasno, A. 2004. Pencegahan infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang
tanah. Jurnal Litbang 23(3): 75–80.
Kasno, Astanto. 2010. Varietas Kacang Tanah Tahan Aspergillus flavus Sebagai Komponen
Esensial Dalam Penelitian Kontaminasi Aflatoxin. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian.
3(4), 2010: 260–273.
Muhilal dan Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia X(1): 75–79.
Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. PT. Raja
Grafindo Persada.
Rahmaianna, A.A, A. Taufiq dan E. Yusnawan. 2007. Hasil Polong dan Mutu Biji Kacang
Tanah Pada Kadar Air Tanah dan Umur Panen Berbeda. Jurnal Pengkajian Pertanian (in
press).
Welington. K, Jarwis, B. 1996. Silymarin: A review of its clinical properties in the management
of liver disorder. BioDrugs 15, 465–489.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Ayu (Unpati ambon): Data Aspergillus?
Jawaban:
• Diukur melalui/ dilihat dari warna
• Kontaminasi dari jamur A. flavus, belum kami masukkan makalah.
714
Wanita dan Purwaningsih: Mutu Fisil Kacang Tanah dengan cara Pengeringan dan Musim Panen Berbeda
Download