Presentasi Kasus Sesak Nafas Disusun oleh: Calvin Kurnia Mulyadi Elisa Noor Joses Saputra Ireska Tsaniya A. William Cheng Fiorella Andani S. Eggi Respati MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT DR CIPTO MANGUNKUSUMO SURAT PERNYATAAN Kami yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa tugas “Presentasi Kasus Sesak Nafas” ini kami susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada kami. Jakarta, November 2013 Calvin Kurnia M. William Cheng Elisa Noor Joses Saputra Fiorella Andani S. Ireska Tsaniya A. Eggi Respati BAB I ILUSTRASI KASUS I. IdentitasPasien Nama : Tn. P Tanggal lahir : 2 Juni 1950 Usia : 66 tahun Alamat : Kp. Mangga, Tugu Selatan, Koja Agama : Islam Status pernikahan : Menikah Pekerjaan : Tidak bekerja No. RM : 13.008.678 Tanggal pemeriksaan : 18 November 2013 II. Anamnesis Keluhan Utama Sesak nafas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan adanya sesak nafas yang semakin memberat dan dirasakan terus-menerus. Sesak nafas memberat terutama saat pasien mulai beraktivitas, seperti menaiki tangga. Pasien tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesak nafas dan dapat tidur dengan menggunakan satu bantal saja dalam posisi terlentang. Riwayat nyeri dada yang menjalar ke lengan atau leher disangkal, riwayat kaki bengkak disangkal. Riwayat sesak nafas muncul pada saat pagi hari atau cuaca dingin disangkal. Pasien memiliki riwayat sering batuk berdahak sejak 1 tahun SMRS, dahak berwarna putih kental, tidak pernah terdapat bercak darah ataupun bintik kehitaman pada dahak. Pasien merasakan bahwa dahak sulit dikeluarkan dan semakin bertambah sejak 5 hari yang lalu. Riwayat demam sebelumnya disangkal. Riwayat bersin-bersin di pagi hari, mata sering gatal dan berair, penurunan berat badan dan keringat di malam hari tanpa aktivitas semua disangkal, serta tidak ada bunyi mengi saat timbul sesak. Tidak ada keluhan pada BAB dan BAK. Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak 24 batang (2 bungkus) per hari selama 50 tahun. Pasien juga mengatakan bahwa kejadian sesak seperti ini telah terjadi berulang kali yang membuatnya datang berobat ke dokter. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi, DM, asma, penyakit jantung, perawatan, operasi, dan alergi sebelumnya disangkal Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluhan serupa, hipertensi, DM, asma, tuberkulosis,dan penyakit jantung disangkal Riwayat Sosial Pasien saat ini sudah pensiun, sebelumnya bekerja sebagai supir angkutan umum. Sehari-hari kegiatan pasien hanya menonton televisi dan pergi berkumpul dengan teman-teman seusianya. Pasien memiliki kebiasaan merokok selama 50 tahun hingga saat ini sebanyak 24 batang sehari. Riwayat konsumsi alkohol sebelumnya disangkal. Pasien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. III. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Tampak sakit sedang Kesadaran : Kompos mentis Tinggi badan :165cm Berat badan : 58 kg IMT : 21,3 kg/m2 Status gizi : Cukup Tanda Vital TD : 120/80 mmHg Nadi : 92 kali/menit, regular, isi cukup RR : 26 kali/menit, regular, jenis abdominotorakal Suhu : 37,3 oC Kulit : Sawo matang, turgor kulit baik, pigmentasi normal, tidak ada venektasi Mata : Sklera tidak kuning, konjungtiva tidak pucat Kepala : Normosefali Rambut : Hitam keputihan, persebaran tidak merata, tidak mudah rontok Hidung : Tidak tampak deformitas Mulut : oral hygiene kurang Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid Jantung Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat Palpasi : Iktus Cordis teraba pada sela iga 5, 1 jari medial linea midklavikula sinistra Perkusi : Batas jantung kanan tidak dapat dinilai, batas jantung kiri pada 1 jari medial linea midclavicularis sinistra, pinggang jantung pada sela iga 3 linea parasternalis sinistra Auskultasi: bunyi jantung S1-S2 normal, murmur (-), gallop (-) Paru Inspeksi : Tampak sesak, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis, penggunaan otot bantu nafas (+), pelebaran sela iga (+), pelebaran diameter anterior-posterior (Barrel chest) Palpasi : Ekspansi dada kiri sama dengan dada kanan, fremitus normal dada kiri sama dengan dada kanan. Perkusi : Hipersonor di seluruh lapangan paru, batas paru-hati melebar. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+) terutama di basal kedua paru, wheezing tidak ada Abdomen Inspeksi : Datar, venektasi (-) Palpasi : Lemas, hati tidak teraba, limpa tidak teraba, nyeri tekan (-) Perkusi : Timpani, shiffting dullness (-) Auskultasi : Bising usus (+), normal Ekstrimitas : akral hangat, tidak terdapat edema,, CRT <2 detik, clubbing finger tidak ada IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium DPL Hemoglobin 12,2 g/dl Hematokrit 37% Eritrosit 4,5 juta/ul Leukosit 13.000/ul Trombosit 376.000/ul V. Daftar Masalah 1. PPOK eksaserbasi akut VI. Tatalaksana o Rencana pemeriksaan Spirometri Pewarnaan gram sputum dan Basil Tahan Asam (BTA) Foto toraks AP o Rencana tatalaksana 1. Non farmakologis: Edukasi untuk berhenti merokok Perencanaan untuk rehabilitasi paru 2. Farmakologis: Oksigen 3 liter permenit dengan nasal kanul Salbutamol 3 x 2 mg tablet Dexamethason 3 x 5 mg tablet Amoxcilin 3 x 500 mg tablet Gliseril guaiakolat sirup 3 x Corig I Dextrometorphan sirup 3 x Corig I BAB II Tinjauan pustaka PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversible atau reversibel parsial. Kondisi ini terdiri dari bronkitis kronis, emfisema, atau gabungan keduanya.1 Bronkitis kronik adalah kelainan napas yang ditandai batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, selama minimal 2 tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.1 Sementara itu, emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli. Faktor risiko PPOK1,2 1. Merokok, merupakan penyebab kausal yang terpenting, lebih sering menyebabkan PPOL dibandingkan faktor risiko lainnya. Riwayat merokok yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Riwayat merokok: aktif, pasif, atau bukan perokok b. Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman: ringan, sedang, berat Gambar 1. Perbedaan FEV1 pada populasi berdasarkan jumlah tahun rokok (pack years)2 2. Pajanan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja 3. Hiperreaktivitas bronkus 4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang 5. Defisiensi antitrypsin alfa-1 Patogenesis dan patofisiologi Efek merokok terhadap fungsi paru bergantung pada intensitas pajanan rokok tersebut, pajanan rokok selama pertumbuhan, dan fungsi paru basal seseorang. Risiko seseorang mengalami PPOK sangat dikaitkan dengan penurunan FEV11,2. Berdasarkan perjalanan kurva FEV1, PPOK dapat digambarkan dalam: Gambar 2. Kurva gambaran FEV1 pada orang normal dan PPOK2 Pada gambar di atas, kurva C menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan dan penurunan fungsi yang cepat. Kematian ataupun kecacatan akibat PPOK dapat merupakan akibat dari kurva tersebut, yaitu pertumbuhan tidak maksimal dan penurunan fungsi dini.2 Namun, grafik PPOK dapat pula menyerupai gambar kurva B, yaitu adanya pertumbuhan normal, namun adanya penurunan awal dari fungsi paru seseorang. Kecepatan penurunan fungsi paru ini dapat dikurangi dengan memodifikasi pajanan lingkungan, misalnya dengan berhenti merokok pada usia muda. Namun, faktor genetik juga memiliki pengaruh pada kurva penurunan fungsi paru di atas. Patofisiologi Penurunan persisten dari volume ekspirasi paksa (FEV1) merupakan penemuan yang paling sering dijumpai pada pasien dengan PPOK. Selain itu, dapat ditemukan pula adanya peningkatan volume residu dan rasio volume residu/volume total paru (FEV1/FVC), ventilasi yang tidak seimbang, dan tidak seimbangnya ventilasi-perfusi (mismatch).1,2 Pada bronkitis kronik terjadi pembersaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan, serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran udara distal bronkiolus terminal dan kerusakan dinding alveoli.1 Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.1 Gambar 3. Konsep patogenesis PPOK1 Manifestasi klinis a. Anamnesis Gejala utama yang ditemui pada PPOK adalah: batuk berdahak dan dispnea pada aktivitas. Pasien biasanya sudah mengalami gejala tersebut untuk waktu yang lama sebelum terjadi eksaserbasi akut yang membawa pasien ke dokter.1,2 Sesak nafas yang terjadi sering dideskripsikan sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, air hunger, ataupun megap-megap. Bila PPOK sudah semakin memberat, biasanya terjadi kesulitan melakukan pekerjaan maupun aktivitas ringan lain. kondisi yang semakin parah kadang membuat pasien kesulitan melakukan kegiatan harian yang ringan. Eksaserbasi akut akan semakin sering dialami dan pasien dapat mengalami resting hypoxemia.2 b. Pemeriksaan fisik Pada fase awal, biasanya tidak ditemukan adanya perubahan pada pemeriksaan fisik. Namun, pada pasien yang lebih parah kondisinya dapat terjadi pemanjangan fase ekspirasi dan terdapat mengi ekspirasi.1 Pada kondisi yang semakin parah, dapat ditemukan adanya barrel chest, peningkatan volume paru, dan pengembangan diafragma yang memburuk. Dapat ditemukan pula penggunaan otot bantu nafas, duduk dalam posisi tripod untuk memfasilitasi penggunaan m. sternocleidomastoideus, m. scaleni, dan m. intercostalis untuk bernapas. Dapat pula ditemukan sianosis pada bibir dan kuku, serta jari tabuh (clubbing finger). 2 Akibat adanya sesak yang berkepanjangan, biasanya terjadi penurunan berat badan yang signifikan dan kehilangan jaringan adipose subkutan. Kondisi tersebut disebabkan penurunan asupan oral dan peningkatan level sitokin proinflamasi (TNF-a).2 c. Laboratorium PPOK ditandai dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Pada pemeriksaan gas darah arteri, dapat ditemukan adanya perubahan pada PCO2 dan pH dan dapat membantu penentuan apakah pada pasien terjadi gagal napas atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan spirometri untuk mengukur obstruksi dan nilai nilai FEV1. Bila tidak dapat dilakukan spirometri, dapat dilakukan APE meski tidak terlalu tepat. Variabilitas APE pagi dan sore tidak boleh lebih dari 20%. Uji lain yang dapat dilakukan adalah uji bronkodilator, dapat menggunakan spirometri maupun APE meter. Perubahan FEV1 atau APE <200 ml atau <20% menunjukkan adanya obstruksi.2,3 Dapat pula duitemukan adanya peningkatan hematokrit yang menunjukkan hipoksemia kronis dan hipertrofi ventrikel akibat peningkatan beban jantung.2 Pada foto polos toraks dapat ditemukan adanya emfisema, dengan gambaran: hiperinflasi, hiperlusens, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar. Dapat pula ditemukan adanya bullae multipel.1,2 Kriteria keparahan PPOK Kriteria keparahan PPOK dinyatakan dalam kriteria GOLD2 Gambar 4. Kriteria GOLD untuk PPOK2 Tatalaksana 1. Edukasi Merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan PPOK jangka panjang. Penyakit ini ireversibel dan progresif sehingga dibutuhkan kerja sama pasien untuk mencegah perburukan kondisi. Pasien harus diedukasi tentang PPOK itu sendiri, obatobatan yang digunakan, cara pencegahan perburukan, menghindari pencetus (berhenti merokok), dan melakukan penyesuaian aktivitas.1,2,3 2. Pengobatan a. Bronkodilator Bronkodilator digunakan untuk membantu meningkatkan FEV1 dengan mengubah tonus otot jalan napas.1,3 Berbagai macam obat berada dalam golongan ini dan dapat digunakan sesuai dengan kondisi pasien. Seluruh obat ini memiliki sifat dose-dependent dalam terapi maupun toksisitas.3 Golongan ini terutama agonis beta-2 ataupun antikolinergik dapat digunakan dalam bentuk inhalasi/nebulizer untuk membantu menghilangkan keluhan akut.3 Bronkodilator dapat digunakan setiap hari maupun digunakan hanya saat tertentu untuk mencegah gejala. Berikut adalah tabel bronkodilator yang digunakan:1 b. Antikolinergik Merupakan salah satu obat yang sangan penting dalam penanganan PPOK. Penggunaan antikolinergik seperti ipratropium, oxitropium, maupun tiotropium bromide dapat menginhibisi efek asetilkolin pada reseptor muskarinik M2 dan M3 dan memodifikasi transpisi pada sinaps preganglion dan menyebabkan dilatasi bronkus.1,3 c. Metilsantin Penggunaan metilsantin pada PPOK masih merupakan suatu kontroversi. Golongan ini bekerja sebagai inhibitor fosfodiestrase nonselektif dan memiliki efek non-bronkodilator. Contoh golongan metilsantin yang paling banyak digunakan adalah teofilin. Namun, penggunaan obat yang dimetabolisme oleh sitokrom ini diketahui lebih tidak efektif dan ditoleransi lebih rendah oleh tubuh dibandingkan bronkodilator inhalasi kerja panjang.3 Bila bronkodilator kerja panjang mungkin diperoleh, penggunaan metilsantin tidak direkomendasikan.3 d. Antiinflamasi Kortikosteroid inhalasi merupakan salah satu pilihan yang sering digunakan untuk mengurangi inflamasi pada pasien PPOK. Namun, keamanan, efikasi, dan respons terkait dosis dari penggunaannya pada kasus PPOK masih belum jelas. Tatalaksana regular dengan kortikosteroid inhalasi dapat meningkatkan fungsi paru, kualitas hidup, dan menurunkan frekuensi eksaserbasi akut.1,3 Sementara itu, kortikosteroid oral juga masih digunakan pada PPOK, namun efek samping yang dimiliki lebih banyak sehingga sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu panjang pada pasien PPOK. e. Antibiotik Dapat diberikan bila terjadi eksaserbasi akut dengan infeksi, misalnya ketika sputum berubah jadi purulen atau sesak meningkat.1 Antibiotik dapat disesuaikan dengan bakteri penyebab ataupun tren epidemiologi di lokasi pengobatan pasien. Pengobatan di RS dapat dilakukan dengan antibiotik drip dilanjutkan dengan antibiotik oral setelah pulang. f. Antitusif Antitusif dapat diberikan pada pasien dengan keluhan batuk hebat. Namun, penggunaan antitusif sebagai bagian dari pengobatan rutin sangat tidak direkomendasikan. Sesuaikan dengan kebutuhan pasien.1,3 g. Mukolitik Mukolitik terutama diberikan pada kondisi pasien dengan sputum kental. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan dalam bagian pengobatan rutin pasien PPOK.1 Keuntungan secara umum yang didapatkan dari penggunaan obat ini sangat kecil.3 BAB III PEMBAHASAN Dari ilustrasi kasus, diketahui bahwa pasien mengeluhkan sesak sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan utama sesak (dispneu) yang membawa pasien untuk mencari pertolongan dapat berasal dari berbagai sistem organ sehingga perlu dibedakan karakteristik sesak dari tiap-tiap sistem tersebut. Sesak didefinisikan sebagai pengalaman subjektif akan ketidaknyamanan dalam bernapas yang memiliki kualitas dan intensitas yang bervariasi. Gambar 3.1 berikut menyajikan model patofisiologi terjadinya sensasi sesak yang dipengaruhi oleh berbagai reseptor. Kemoreseptor, mekanoreseptor, dan metaboreseptor yang teraktivasi akan memberikan input ke pusat motorik untuk mendorong proses pernapasan, sekaligus pusat sensorik yang menerjemahkan kualitas dan intensitas sesak.2 Gambar 3.1 Patofisiologi Sesak1 Melalui anamnesis lebih lanjut, didapatkan bahwa sesak terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas, tidak ada riwayat sesak yang membuat pasien terbangun pada malam hari ataupun sesak yang dirasakan membaik dengan posisi badan semakin tegak. Sesak saat beraktivitas (dyspneu on effort/DOE) dapat dijumpai pada kelainan jantung maupun paru yang berhubungan dengan berkurangnya kapasitas kedua organ untuk meningkatkan frekuensi dan intensitas pernapasan saat sedang terjadi peningkatan aktivitas. Namun dalam kasus ini riwayat sesak di malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu/PND) dan sesak yang bergantung pada posisi (orthopneu) disangkal, sehingga kelainan kardiak dapat disingkirkan. Berdasarkan kriteria mayor dari Framingham, PND merupakan salah satu gejala yang perlu dicurigai untuk menentukan ada tidaknya gagal jantung. Kelainan ini terjadi akibat kegagalan mendadak dari ventrikel untuk memompa darah karena peningkatan tekanan baji pulmonal. Faktor lain yang turut membantu menyingkirkan diagnosis banding gagal jantung adalah disangkalnya riwayat nyeri dada atau kaki bengkak yang sering diakibatkan infark miokardium akut atau kegagalan fungsi pompa ventrikel.4 Salah satu riwayat yang mengarahkan ke diagnosis kerja adalah batuk berdahak kronik (± 1 tahun yang lalu) dengan paparan asap rokok yang lama. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berhubungan dengan inflamasi kronik yang menginduksi destruksi parenkim paru dan berujung pada emfisema dan fibrosis. Berbagai substansi dalam asap rokok yang bersifat iritan menyebabkan stres oksidatif, ketidakseimbangan protease dan antiprotease, serta peningkatan sel dan mediator inflamasi. Sebagai konsekuensinya, terjadi limitasi aliran udara dan sebagian besar udara akan terperangkap (reduksi pada rasio FEV1/FVC), terutama saat ekspirasi yang menghasilkan kondisi hiperinflasi. Berkurangnya proses pertukaran gas akan menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia kronik pada pasien PPOK. Selain dari emfisema, terdapat pula bronkitis kronik (produksi sputum selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut-turut) yang berkaitan dengan hipersekresi mukus akibat peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosal.1 Dengan adanya paparan asap rokok yang cukup lama, pasien dimasukkan dalam kategori perokok berat karena indeks Brinkman (IB) > 600 (± 2 bungkus yang setara dengan 24 batang rokok/hari selama 50 tahun = 1200).4 Selain dari polusi asap rokok, riwayat pekerjaan pasien yang sebelumnya sebagai supir angkutan umum juga menjadi faktor risiko terjadinya PPOK. Faktor risiko sekaligus diagnosis banding asma bronkial sudah dapat disingkirkan dengan menanyakan riwayat sesak/bersih di pagi hari dan bunyi mengi saat sesak. Pasien juga dapat dicurigai tuberkulosis paru karena riwayat batuk lama dengan dahak, namun pada anamnesis riwayat penurunan berat badan dan keringat malam disangkal. Diagnosis banding bronkietasis juga dapat disingkirkan terutama dari karakteristik sputum yang berwarna putih. Pada pasien juga tidak ditemukan riwayat diabetes dan tidak ada gangguan buang air kecil (BAK) sehingga kemungkinan sesak dari gangguan metabolik dan kelainan ginjal dapat disingkirkan. Keluhan sesak yang bertambah berat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit dapat dipikirkan sebagai bentuk eksaserbasi akut PPOK. Eksaserbasi akut PPOK didefinisikan sebagai perburukan gejala respiratorik yang berbeda dari variasi normal harian dan menyebabkan perlunya perubahan dalam pengobatan. Secara epidemiologi, faktor pencetus eksaserbasi tersering adalah infeksi, baik virus maupun bakteri, yang sesuai dengan riwayat bertambahnya dahak yang dirasakan pasien. Terdapat 3 gejala eksaserbasi, yaitu gejala sesak yang bertambah, produksi sputum meningkat, dan perubahan warna sputum. Tipe eksaserbasi digolongkan berdasarkan ada tidaknya ketiga gejala tersebut, di mana tipe I (eksaserbasi berat) terdapat ketiga gejala, tipe II (sedang) dengan dua gejala, dan tipe III (ringan) hanya satu gejala yang ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau frekuensi napas >20%, ataupun frekuensi nadi meningkat >20%. Pasien dalam kasus ini tergolong ke dalam eksaserbasi tipe II (sedang).1 Pada pemeriksaan fisik, ditemukan pasien tampak sesak dengan penggunaan otot-otot bantu napas, terdapat pelebaran sela-sela iga, dan peningkatan diameter anterior-posterior yang menunjukkan Barrel chest. Kondisi hiperinflasi akibat destruksi serat elastin menyebabkan kurangnya fungsi elastic recoil dari jaringan paru. Pada palpasi, fremitus taktil kanan dan kiri terkesan sama, namun karena kondisi emfisema, seharusnya terjadi penurunan fremitus. Pada perkusi, batas jantung kanan tidak dapat dinilai karena apeks jantung akan mengikuti turunnya diafragma ke bawah (jantung pendulum) dan hipersonor di seluruh lapangan paru karena komponen udara yang bertambah banyak. Pada auskultasi pasien ini didapatkan suara napas vesikuler di kedua lapang paru disertai ronki basah kasar. Bunyi napas pokok vesikular membantu menyingkirkan diagnosis banding pneumotoraks spontan bilateral.3 Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan leukosit mencapai 13.000/ul yang mensugesti adanya proses infeksi pada jaringan paru atau di sistem organ lain. Hal ini sejalan dengan ditemukannya ronki basah kasar di kedua lapang paru yang dapat mengarahkan diagnosis ke pneumonia. Tidak ada riwayat demam pada anamnesis dan suhu tubuh dalam batas normal (37,3°C). Jika terdapat pneumonia komuniti (community acquired pneumoniai/CAP), dapat diberikan antibiotik empiris. Pada pasien ini sebaiknya direncanakan pemeriksaan spirometri untuk menentukan klasifikasi dari limitasi aliran udara (forced-expiratory volume in 1st second/FEV1) pascapemberian bronkodilator (400 µg beta 2 agonis hingga 160 µg antikolinergik). Klasifikasi GOLD untuk pasien dengan FEV1/FVC < 0,7 antara lain: - GOLD 1 : Ringan, di mana FEV1 ≥ 80% - GOLD 2 : Sedang, di mana 50% ≤ FEV1 ≤ 80% - GOLD 3 : Berat, di mana 30% ≤ FEV1 ≤ 50% - GOLD 4 : Sangat berat, di mana FEV1 ≤ 30%.3 Untuk menentukan kelompok PPOK pada pasien, dapat digunakan pemeriksaan tambahan berupa kuesioner Modified Medical Research Council (mMRC pada tabel 3.1) atau skor COPD Assessment Test (CAT pada gambar 3.2). Kedua kuesioner tersebut bertujuan untuk menilai status kesehatan seseorang dalam hubungannya dengan PPOK. Dengan demikian, dapat diperoleh pengelompokan pasien menjadi A, B, C, dan D (gambar 3.3) yang selanjutnya menentukan pilihan pengobatan untuk manajemen PPOK stabil. Tabel 3.1 Skala mMRC untuk Dispneu5 Gambar 3.2 Kuesioner CAT6 Gambar 3.3 Pengelompokan Pasien PPOK3 Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan Gram sputum dan basil tahan asam (BTA) untuk mencari pencetus dari eksaserbasi akut PPOK. Pada pemeriksaan saat ini, belum ada hasil pemeriksaan penunjang yang dapat mengarahkan fokus infeksi pada paru. Pemeriksaan foto rontgen thorax posisi posterior-anterior, dapat ditemukan tanda-tanda berupa jantung pendulum, hiperlusensi, hiperinflasi dan pelebaran daerah retrosternal (untuk posisi lateral), serta pendataran diafragma. Pemeriksaan foto rontgen thorax juga dapat memperlihatkan ada tidaknya infiltrat atau konsolidasi yang berhubungan dengan fokus infeksi pada paru, ataupun lesi minimal dengan kondisi klinis sesak yang sering terjadi pada sindrom obstruktif pascatuberkulosis. Sebagian besar corakan bronkovaskular akan meningkat akibat adanya bronkitis kronis. Untuk membantu menyingkirkan penyebab dari jantung, perlu dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi. Pada pasien ini direncanakan pemberian pengobatan untuk menatalaksana eksaserbasi akut PPOK. Pilihan terapi dapat secara nonfarmakologis maupun farmakologis. - Nonfarmakologis o Edukasi untuk berhenti merokok o Perencanaan untuk rehabilitasi paru - Farmakologis o Oksigen 3 liter permenit dengan nasal kanul o Bronkodilator kerja cepat (short-acting beta-2 agonist/SABA): salbutamol 3 x 2 mg tablet, dapat dikombinasikan dengan antikolinergik kerja cepat (short-acting antimuscarinic/SAMA) seperti ipratropium bromida 20 µg inhalasi (metered dose inhalation/MDI). Terdapat kombinasi SABA/SAMA dalam bentuk MDI, yaitu albuterol/ipratropium dengan dosis 75/15 µg untuk penanganan fase pemeliharaan, sedangkan Combivent® digunakan dalam eksaserbasi akut yang mengandung ipratropium bromida 0,52 mg dan salbutamol sulfat 3 mg per 2,5 cc unit vial. Penambahan antikolinergik akan meningkatkan kerja bronkodilasi agonis beta-2. o Kortikosteroid: dexametason 3 x 5 mg tablet. Menurut panduan GOLD 2013, untuk pasien dengan kecenderungan kelompok C dan D (episode eksaserbasi ≥ 2 kali dalam 1 tahun), sebaiknya diberikan kombinasi beta-2 agonis kerja lambat dan kortikosteroid inhalasi (long-acting beta-2 agonist + inhaled corticosteroid/LABACS). Alternatif lain yang dapat diberikan adalah kombinasi LABA dan LAMA atau LAMA dengan inhibitor fosfodiesterase 4. Saat ini telah tersedia kombinasi LABACS inhalasi, yaitu salmeterol/fluticasone dalam bentuk DPI dengan dosis 50/100, 250, 500 µg atau MDI dengan dosis 25/50, 125, 250 µg.3 o Antibiotik empiris spektrum luas: Amoxicilin 3 x 500 mg selama 3-5 hari. Menurut panduan IDSA/ATS tahun 2007, disebutkan bahwa pada konteks rawat jalan tanpa riwayat penggunaan antibiotik selama 3 bulan sebelumnya atau faktor modifikasi, sebagai antibiotik empiris dapat diberikan golongan makrolide (seperti azitromisin) atau doksisiklin. Jika terdapat faktor modifikasi/komorbid, dapat diberikan golongan fluorokuinolon (seperti moxifloksasin) atau golongan beta-laktam yang dikombinasikan dengan makrolide (seperti amoksisilin dengan azitromisin).7 o Ekspektoran: gliseril guaiakolat sirup 3 x Corig I o Antitusif: dextrometorphan sirup 3 x Corig I Dengan pemberian sejumlah obat-obatan seperti yang direncanakan di atas, interaksi antarobat yang mungkin didapatkan adalah efek hipokalemia aditif dari pemberian beta-2 agonis dan kortikosteroid. Namun, hal tersebut dapat diminimalisasi melalui cara pemberian inhalasi dan menggunakan dosis rendah sehingga efek samping dapat diabaikan. Albuterol bersifat selektif dengan onset kerja 15-30 menit dan masa kerja 3-4 jam.8 Pada dasarnya, eksaserbasi PPOK dapat dicegah dengan mengedukasi pasien untuk berhenti merokok, menyarankan pasien untuk vaksin influenza ataupun pneumokokkus, mengedukasi teknik penggunaan inhalasi yang benar, hingga aktivitas fisik yang teratur. Daftar Pustaka 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik: diagnosis dan penatalaksanaan. 2011. 2. Schwartzstein RM. Dyspnea. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 3. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmornary disease: updated. 2013. 4. Rumende CM, KameliaT. Panduan pemeriksaan fisis dada dan sistem respirasi.Dalam: Panduan sistematis untuk diagnosis fisis. Jakarta: Interna Publishing; 2013. 5. Spiromed. Modified Medical Research Council for Dyspnea. 2013 [cited 2013 Nov 21]. Available from: http://www.cscc.unc.edu/spir/public/UNLICOM MMRCModified MedicalResearchCouncilDyspneaScale08252011.pdf 6. COPD Assessment Test. CAT Questionnaire Bahasa. 2013 [cited 2013 Nov 21]. Available from: http://www.catestonline.org/ 7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pneumonia komuniti: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. 2003. 8. Setiawati A. Interaksi Obat. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elyzabeth, editer. Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.