Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia

advertisement
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
PENATALAKSANAAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA LANSIA
PEKERJA KONSTRUKSI
Resti Lhutvia Andani, S.Ked
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Abstrak
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) menyatakan kematian global disebabkan penyakit tidak menular.
Dari 57 juta kematian yang terjadi secara global pada tahun 2008, 63% diantaranya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular
12% diantaranya disebabkan oleh penyakit Paru Kronis (12%),
Penulisan ini dibuat dalam bentuk laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
kunjungan rumah, Data sekunder didapatkan dari rekam medis terdahulu. Dan tinjauan kepustakaan penilaian diagnosis
holistik dari awal, proses dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif.
Tn. M, 61 tahun, seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai tukang aspal jalan, datang dengan keluhan batuk
berdahak yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Dahak tidak disertai dengan darah. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 1
tahun yang lalu. Lalu pasien dibawa berobat ke RS karena sesak nafas. Pasien bekerja di bagian konstruksi memiliki riwayat
sebagai seorang perokok berat, Selain pasien, anaknya dirumah juga merokok. Di lingkungan pekerjaan pun semua
rekannya merokok, pasien sering terpapar debu, asap kendaraan, serta asap pembakaran aspal. Pada pemeriksaan fisik
o
didapatkan Tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,8 C. Regio thorax : Barrel Chest, pelebaran
sela iga, pulmo ronkhi basah halus (+/+).Telah dilakukan penerapan pelayanan berbasis Evidence Based Medicine pada
pasien lansia dengan riwayat merokok dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan mengidentifikasi faktor risiko dan
masalah klinis serta penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian pasien.
Kata kunci : kedokteran keluarga, penyakit paru obstruktif kronis, perokok.
MANAGEMENTOFCHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE IN ELDERLY
CONSTRUCTION WORKERS
Abstract
Based on the report by the World Health Organization (WHO) declared a global deaths due to noncommunicable diseases.
Of the 57 million deaths that occurred globally in 2008, 63% of which are caused by the Communicable Diseases 12% of
which
are
caused
by
chronic
pulmonary
disease
(12%).
Management of patients holistically, based on terms of settlement of the problem of patients with patient approach
centers and family based approach EBM.This writing is made in the form of case reports. The primary data obtained
through anamnesis , physical examination and home visits. Secondary data was obtained from medical records of the past.
And the review of literature holistic assessment of the initial diagnosis, the process and the end of the study quantitatively
and qualitatively.Mr. M, 61 years old, a family head who works as a tarmac road, came with complaints of cough with
phlegm that is felt since three days ago. Sputum not accompanied by blood. Complaints were first felt since one year ago.
Then patients are brought for treatment to the hospital because of shortness of breath. Patients had a history as a heavy
smoker, besides the patient, his home is also smoke. The work environment was all his smoking, the patient is often
exposed to dust, fumes, and smoke burning asphalt. On physical examination found blood pressure is 120/70 mm Hg,
respiratory rate 24x / min, the temperature 36,8ͦ C. Thorax region: Barrel Chest, widening between the ribs, wet ronkhi
pulmonary smooth (+ / +).Has made application-based services Evidence Based Medicine in elderly patients with a history
of smoking with Chronic Obstructive Pulmonary Disease by identifying risk factors and clinical issues as well as management
of patients by the completion of the patient's skeleton.
Keywords: family medicine, chronic obstructive pulmonary disease, smokers.
Korespondensi: Resti Lhutvia Andani, S.Ked, alamat: Jl. Panglima Polim, Bandar Lampung, nomor HP +6281271317676, email: [email protected]
Pendahuluan
Berdasarkan
laporan
World
Health
Organization (WHO) menyatakan kematian
global disebabkan penyakit tidak menular.
Dari 57 juta kematian yang terjadi secara
global pada tahun 2008, 63% diantaranya
disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular 12%
diantaranya disebabkan oleh penyakit Paru
Kronis (12%), Kematian akibat Penyakit Tidak
Menular sekitar 29 % terdapat pada usia di
bawah 60 tahun dan hampir 80% terjadi di
negara berkembang.1
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), yang
juga dikenali sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD), merupakan
obstruksi saluran pernafasan yang progresif
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 153
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis
kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider,
2003). Menurut World Health Organization
(WHO), PPOK bisa membunuh seorang
manusia setiap sepuluh detik.2
Dengan semakin tingginya angka harapan
hidup manusia maka PPOK menjadi salah satu
penyebab gangguan pernafasan yang semakin
sering dijumpai di masa mendatang baik di
negara maju maupun dinegara berkembang.
Jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat
diperkirakan kira-kira 14 juta orang di Amerika
Serikat menderita PPOK.3
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi
berupa ostruksi saluran pernapasan yang
bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing atau gas yang berbahaya.2
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema
sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbedaAkan
tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik
dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis
klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi.1
Fasiliti pelayanan kesehatan di Indonesia yang
bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit
pusat rujukan masih jauh dari fasilitas
pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping
itu kompetensi sumber daya manusianya,
peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK
seperti spirometri hanya terdapat di rumah
sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan
Puskesmas.
Pencatatan Departemen Kesehatan tidak
mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang
dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman
Penatalaksanaan
PPOK
untuk
segera
disosialisasikan baik untuk kalangan medis
maupun masyarakat luas dalam upaya
pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan
yang rasional dan rehabilitasi.1
Ilustrasi Kasus
Tn. M, 61 tahun, seorang kepala keluarga yang
berprofesi sebagai tukang aspal jalan, datang
dengan keluhan batuk berdahak yang
dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Dahak
berwarna putih dan tidak disertai dengan
darah. Pasien juga mengeluh sesak, namun
pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa.
Pasien sebelumnya pernah merasakan
keluhan yang sama. Keluhan pertama kali
dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya
pasien merasa sesak nafas, sesak tidak
dipengaruhi oleh aktivitas, batuk ringan,
sampai akhirnya pasien merasakan sesak
nafas yang terasa semakin berat. Lalu pasien
dibawa berobat ke RS Pertamina Bintang
Amin. Menurut keterangan pasien, ia dirawat
karena penyakit paru-paru kronis.
Pasien rutin kontrol kepuskesmas satu bulan
sekali, dan ke rumah sakit 3 buln sekali, dan
mendapat obat jika pasien tersebut sesak
nafas.
Pasien memiliki riwayat sebagai seorang
perokok berat, saat ini pasien masih merokok
dan hanya berhentii apabila pasien mulai
merasa sakit. Pasien merokok sejak usia 20
tahun, dalam sehari ia bisa menghabiskan 1-2
bungkus rokok. Selain pasien, anaknya
dirumah juga merokok. Di lingkungan
pekerjaan pun semua rekannya merokok, dan
pasien
sering
terpapar
debu,
asap
pembakaran aspal, dan asap kendaraan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Berat badan
: 57 kg,-Tinggi badan : 160 cm IMT : 22,26
(normal) Tampak sakit ringan. Tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 78x/menit, frekuensi
napas 24x/menit, suhu 36,8oC.Kepala,
abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Regio thorax : Barrel Chest, pelebaran sela iga,
pulmo ronkhi basah di basal paru (+/+).Status
neurologis : Kesan dalam batas normal.
Motorik : Kesan dalam batas normal. Sensorik
: Kesan dalam batas normal. Diagnosis
Penyakit Paru Obstrktif Kronis.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana non
medikamentosa berupa, Diet Tinggi Energi
Tinggi Protein, Konseling perbaikan gaya hidup
terutama edukasi untuk menghentikan rokok,
mengurangi
aktivitas
berat,
menjaga
kebersihan rumah dan lingkungan terkait debu
serta asap pembakaran kayu bakar.Edukasi
untuk menghindari dari pajanan di lingkungan
kerjaa seperti debu, asap rokok, asap
pembakaran
aspal,
dan
asap
kendaraan.Konseling segala hal tentang ppok
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 154
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
mulai dari penyebab, faktor resiko sampai
pencegahan komplikasi. Konseling pengaturan
gaya hidup yang sehat. Mengenai olahraga
yang minimal dilakukan 3x/minggu selama 30
menit.Konselingkepadakeluarga
tentangpentingnya
memberidukunganpadapasien dan mengawasi
pengobatan seperti penggunaan obat
semprot, jadwal kontrol kembali, dan aktivitas
fisik pasien.Konseling tentang bahaya rokok.
Tatalaksana medikamentosa Aminophylin 3 x
1 tablet, Dexamethasone 2 x 1 tablet,
Ambroxol 3 x 1 tablet, Vitamin C 3 x 50mg
Pembahasan
Pencemaran udara dalam ruang (indoor air
pollution) terutama rumah sangat berbahaya
bagi kesehatan manusia, karena pada
umumnya orang lebih banyak menghabiskan
waktu untuk melakukan kegiatan di dalam
rumah sehingga rumah menjadi sangat
penting sebagai lingkungan mikro yang
berkaitan dengan risiko dari pencemaran
udara.5
Pencemaran udara di dalam ruang rumah
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain,
bahan bangunan (misal; asbes), struktur
bangunan (misal; ventilasi), bahan pelapis
untuk furniture serta interior (pada pelarut
organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara
luar rumah (ambient air quality), debu, dan
kelembaban yang berlebihan. Selain itu,
kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan
dalam rumah seperti dalam hal perilaku
merokok dalam rumah.5
Asap
Rokok
(Environmental
Tobacco
Smoke/ETS) adalah gas beracun yang
dikeluarkan
dari
pembakaran
produk
tembakau yang biasanya mengandung
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Seseorang
yang telah lama merokok mempunyai
prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit
seperti
atherosclerosis
dan
Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
dengan dampak sistemik yang signifikan12.
Penyakit yang ditimbulkan karena merokok
tersebut membunuh satu dari sepuluh orang
dan menyebabkan kematian sekitar 4 juta
orang
per
tahun.
Merokok
dapat
menyebabkan kematian hingga 1 dari 6 orang,
apabila hal tersebut
berlangsung hingga 2030.6
terus
menerus
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) (2011) mendefinisikan PPOK
sebagai penyakit yang disebabkan oleh
beberapa hal yang dapat dicegah dan diobati,
dimana beberapa efek ekstrapulmonal
memberikan konstribusi pada keparahan yang
dialami pasien. Kerusakan komponen paru
ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi abnormal paru pada gas atau
partikel berbahaya.3
PPOK merupakan suatu istilah digunakan
untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai dengan
peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan PPOK adalah bronkitis kronis,
emfisema paru, dan asma bronkial. Bronkitis
kronis adalah suatu gangguan klinis yang
ditandai dengan pembentukan mukus yang
berlebihan dalam bronkus dimanifestasikan
sebagai batuk kronis dan pembentukan mukus
mukoid ataupun mukopurulen sedikitnya 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2
tahun
berturut-turut.
Emfisema
paru
merupakan suatu perubahan anatomi
parenkim paru yang ditandai pembesaran
alveolus dan duktus alveolaris, serta destruksi
dinding alveolar. Sedangkan asma merupakan
suatu penyakit dicirikan oleh hipersensitifitas
cabang-cabang
trakeobronkial
terhadap
berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluransaluran napas secara periodik dan reversible
akibat bronkospasme, oedem mukosa, dan
hipersekresi mukus.4
PPOK telah berkembang karena interaksi
genenvironment.3 Faktor-faktor resiko pada
PPOK meliputi :
1. Genetik
2. Partikel
a. Asap tembakau, atau asap rokok
Derajat pencatatan riwayat merokok
dilhat dari apakah pasien perokok
aktif, pasif atau bekas perokok.
Kemudian derajat berat merokok
berdasarkan indeks Brinkman, yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 155
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun diinterpretasikan :
- Ringan : 0 – 200
- Sedang : 200 – 600
- Berat : > 600
b. Debu dan bahan kimia
c. Polusi di dalam rumah
d. Polusi di luar rumah
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
4. Stress Oksidasi
5. Gender
6. Infeksi
7. Status Sosial Ekonomi
8. Nutrisi
Pasien merupakan lansia dengan riwayat
sebagai perokok aktif selama 40 tahun
dengan rata-rata jumlah batang rokok yang
dihisap per hari sebanyak 18 batang rokok.
Indeks Brinkman dari pasien ini adalah 720
sehingga pasien tergolong dalam perokok
berat. Hal ini merupakan salah satu faktor
resiko yang dapat menyebabkan timbulnya
PPOK pada pasien.
Terdapat beberapa tanda dan gejala dari
PPOK, antara lain :
1. Dispneu
2. Batuk
3. Pink Puffer, atau timbulnya dispneu
tanpa disertai batuk dan produksi sputum
berarti. Biasanya dispneu timbul antara
usia 30 – 40 tahun dan semakin lama
semakin berat. Pada penyakit yang sudah
lanjut pasien akan kehabisan napas
sehingga tidak lagi dapat makan dan
tubuhnya bertambah kurus.4
4. Blue Blater, atau kondisi batuk produktif
dan berulang kali mengalami infeksi
pernapasan yang dapat berlangsung
selama bertahun-tahun sebelum tampak
gangguan fungsi paru, Tampak gejala
berkurangnya napas sehingga mengalami
hipoventilasi menjadi hipoksia dan
hiperkapnia yang merangsang ginjal
untuk
eritropoietin
meningkatkan
produksi sel darah merah sehingga terjadi
polisitemia sekunder. Pasien tampak
gemuk sianosis, terdapat oedem tungkai,
dan ronki basah di basal paru.4
5. Produksi sputum
6. Wheezing dan sesak dada
7. Barrel chest, yaitu diafragma terletak
lebih rendah dan bergerak tidak lancar,
kifosis,
diameter
antero-posterior
bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid
dengan lekukan suprasternal kurang dari
3 jari, iga lebih horizontal dan sudut
subkostal bertambah.4
Padakasusini, pasien mengalami batuk
berdahak yang semakin memberat sejak 3 hari
sebelum pasien datang ke puskesmas. Pasien
mengaku pernah dirawat di rumah sakit
karena menderita penyakit paru-paru kronis.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya
barrel chest, sela iga melebar, terdengar suara
wheezing dan ronki.
Pasien sebelumnya pernah melakukan
pemeriksaan dahak dan hasilnya tidak
ditemukan kuman Tuberkulosis.
Pada pasien PPOK diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang, antara lain :
Radiologi
(foto
toraks),
Spirometri,
Laboratorium
darah
rutin
(timbulnya
polisitemia menunjukkan telah terjadi
hipoksia kronik), analisa gas darah,
mikrobiologi sputum (diperlukan untuk
pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi).2
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila
sekurang-kurangnya
pada
anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor
risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua.2
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat
sebagai perokok aktif, dan berdasarkan Indeks
Brinkman, pasien tergolong sebagai perokok
berat. Keluhan timbul batuk berdahak dan
semakin lama timbul sesak. Keluhan jarang
timbul pada saat pasien melakukan aktivitas
sehari-hari maupun saat pasien berolahraga
Seringkali terdapat ketidaksesuaian antara
nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak
napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan
VEP1.1
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 156
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
Klasifikasi Gejala
Ringan
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
atau eksersais
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
tetapi gejala
ringan pada
latihan sedang
(mis : berjalan
cepat, naik
tangga)
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
tetapi mulai
Sedang
terasa pada
latihan/kerja
ringan (mis :
berpakaian)
- Gejala ringan
pada istirahat
- Gejala sedang
pada waktu
istirahat
- Gejala berat
Berat
pada saat
istirahat
- Tanda
korpulmonal
Spirometri
VEP > 80%
prediksi
VEP/KVP
<
75%
VEP 30-80%
prediksi
VEP/KVP <
75%
VEP1<30%
prediksi
VEP1/KVP <
75%
Pasien tidak pernah menjalani pemeriksaan
spirometri, namun dari gejala pada pasien
kasus ini, pasien tergolong dalam PPOK ringan.
Hal ini didapat dari kondisi pasien yang jarang
mengalami serangan atau timbulnya gejala
pada kegiatan sehari-hari.
Manajemen yang dilakukan
PPOK merupakan penyakit paru kronik
progresif dan non reversibel. Tujuan dari
penatalaksanaan penyakit ini antara lain
mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, dan meningkatkan
kualiti hidup penderita. Penatalaksanaan
PPOK secara umum meliputi : edukasi, obatobatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik,
nutrisi, dan rehabilitas.4
Kepada pasien dalam kasus ini, manajemen
yang diberikan pertama adalah edukasi,
dimana pasien perlu menghindari hal-hal yang
dapat menyebabkan kekambuhan (batuk dan
sesak napas) sehingga pasien dapat menjalani
aktivitas sehari-hari. Pasien juga diberikan
informasi mengenai penyakitnya, PPOK,
sehingga pasien dapat memahami bahwa
pasien dapat mengontrol penyakit tersebut
meskipun tidak dapat sembuh. Kemudian
pemberitahuan mengenai kegunaan dari obatobatan, cara penggunaan, waktu penggunaan,
dosis obat, dan efek samping. Selain itu pasien
juga perlu melakukan latihan, atau eksersais,
sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang
optimal.1
Pasien diberikan konseling untuk melalukan
diet tinggi energi tinggi protein, dengan lebih
banyak mengonsumsi buah dan sayur, serta
ikan. Namun dalam hal ini dibatasi konsumsi
karbohidrat seperti nasi, kentang dan
singkong, karena karbohidrat menghasilkan
CO2 terbesar. Selain itu pasien juga dianjurkan
untuk beristirahat sebelum makan, serta
makan dalam porsi kecil tetapi sering, hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk mencegah
kelelahan saat pasien makan. Untuk
kebutuhan cairan, pasien dianjurkan untuk
minum air sebanyak 1500-2500ml per harinya.
Terapi nutrisi penting diberikan pada kasus
PPOK karena hubungan antara malnutrisi
dengan penyakit paru sudah lama diketahui.
Malnutrisi berpengaruh negatif terhadap
struktur, elastisitas, fungsi paru, kekuatan dan
ketahanan otot pernafasan serta mekanisme
pertahanan imunitas paru. Sebagai contoh,
jika terjadi defisiensi protein maka akan
menyebabkan penurunan kadar hemoglobin
sehingga kemampuan darah untuk membawa
oksigen juga menurun. Dan penurunan berat
badan karena asupan gizi yang tidak adekuat
dapat memperburuk prognosis PPOK.
Sedangkan pada pasien yang penderita PPOK
terjadi peningkatan kebutuhan energi
sehingga mempengaruhi asupan diet menurun
terutama jika diet tidak adekuat. Berikut
adalah efek samping dari terjadinya penyakit
paru yang menyebabkan penurunan status
gizi,
1. Kenaikan pengeluaran energi
a. Peningkatan tenaga untuk bernafas
b. Infeksi kronis
c. Terapi medis (Bronkodilator)
2. Penurunan asupan
a. Nafas pendek
b. Penurunan saturasi oksigen ketika
makan
c. Anoreksia akibat penyakit kronis
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 157
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
3. Keterbatasan lain
a. Kesulitan menyiapkan makan karena
lelah
b. Keterbatasan secara ekonomi
c. Kesulitan makan
Intervensi gizi pada pasien PPOK ditujukan
untuk mengendalikan anoreksia, memperbaiki
fungsi paru, dan mengendalikan penurunan
berat badan.7Memelihara keseimbangan
energi optimal pada pasien PPOK penting
untuk mempertahankan berat badan, dan
kesehatan tubuh secara umum. Prevalensi
IMT <20 kg/m2 terjadi pada 30% pasien PPOK.
Fungsi otot pernafasan sangat dipengaruhi
oleh penurunan status gizi dan sangat terkait
dengan berat badan dan massa tubuh bebas
lemak.8
Pasien PPOK penting untuk mendapatkan
energi dan protein yang cukup untuk
mempertahankan berat badan, FFM, dan
status gizi yang cukup. Asupan energi 125156% (rata-rata 140%) diatas basal energy
expenditure (pengeluaran energi basal) dan
asupan protein 1,2-1,7 g/kgBB (rata-rata 1,2
g/kg) untuk pasien PPOK eksaserbasi akut
yang dirawat di Rumah Sakit12.
Sebagaimana
makronutrien,
kebutuhan
vitamin dan mineral pasien PPOK stabil
tergantung patofisiologi penyakit paru yang
mendasari, penyakit lain yang terjadi
bersamaan, terapi medis, dan status gizi.
Untuk perokok, tambahan vitamin C mungkin
diperlukan. Penelitian menunjukkan bahwa
orang
merokok
1
bungkus
sehari
membutuhkan lebih vitamin C 16 mg sehari,
sedangkan yang merokok 2 bungkus
memerlukan 32 mg sebagai pengganti.9
Status hidrasi merupakan komponen yang
penting pada asesmen awal dan lanjutan pada
semua usia. Kebutuhan cairan dipengaruhi
oleh banyak variasi pada aktivitas fisik, IWL
(insensible water loss), obat obatan, dan urin.
Secara umum, kebutuhan cairan sekitar 30-35
ml/kgBB aktual, dengan minimum 1500
ml/hari atau 1-1,5 ml/kkal yang dikonsumsi.10
Sedangkan
PDGKI
(2008)
menyebutkankebutuhan cairan pada dewasa
sekitar
25-40
ml/kgBB/hari.
Dengan
bertambahnya
usia,
jumlah
cairan
totalmenurun. Pada lansia sekitar 50% dari
berat badanatau menurun 10% dibandingkan
pada
dewasa
muda.Penurunan
ini
berhubungan dengan penurunan lean body
mass 10.
Pasien pada kasus ini telah mendapatkan
terapi obat berupa aminophylin oral 3 x 1
tablet, kemudian ambroxol 3x1 tablet,
dexametason 2x1, dan vitamin C 3 x 50 mg.
Obat-obat tersebut diminum oleh pasien
hanya ketika batuk dan sesak kemudian
apabila gejala membaik, pasien berhenti
meminum obat.
Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas
tatalaksana
kronik
dan
tatalaksana
eksaserbasi, masing masing sesuai dengan
klasifikasi (derajat) beratnya. Secara umum,
tatalaksana PPOK dalam pemberian obatobatan adalah sebagai berikut2 :
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk
inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon
atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya
bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi
dapat digunakan dalam bentuk oral atau
sistemik
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka
panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi
disesuaikan
dengan
pola
kuman
setempat.
d. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya
digunakan
sebagai
pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang
lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang
sangat mengganggu. Penggunaan secara
rutin merupakan kontraindikasi
Pada kasus Tn. M, pemberian terapi obatobatan hanya apabila ketika pasien merasakan
kekambuhan. Hal ini dapat disebut sebagai
eksaserbasi akut dimana eksaserbasi akut
berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya yang disebabkan
oleh infeksi atau faktor lainnya seperti polusi
udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.1
Gejala eksaserbasi akut antara lain sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, dan
terjadi perubahan warna sputum. Pasien
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 158
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
mengalami 2 dari 3 gejala di atas sehingga
termasuk dalam eksaserbasi akut tipe II
(eksaserbasi
sedang).
Penatalaksanaan
medikamentosa pada pasien sudah tepat,
namun pada pasien tidak diberikan antibiotika
dikarenakan tidak terdapat adanya tandatanda infeksi pada pasien baik dari gejala
maupun dari sputum.
Dari kondisi-kondisi tersebut, pasien dapat
dikategorikan menderita PPOK dengan derajat
ringan dan memiliki prognosis quo ad vitam :
dubia, quo ad functionam : dubia ad bonam
karena pasien masih dapat melakukan
kegiatan sehari-hari secara mandiri dan quo
ad sanationam : dubia ad malam karena
pasien tidak dapat sembuh total dari
penyakitnya dan perlu terus menghindari
faktor pencetus timbulnya kekambuhan
Selain dari fungsional dan psikis, dalam
geriartri juga dilakukan penilaian kognitif.
Pada penilaian kognitif dilakukan intervensi
dengan menggunakan MMSE (Mini Mental
State Examination). Didalam MMSE terdapat
11 item penilaian, penilaian dilihat dari aspek
terkecil dengan menanyakan hal-hal yang
sederhana misalnya hari, tanggal dan tahun
sampai dengan pasien diminta untuk
menggambar suatu benda. Skor maksimal
pada penilaian ini adalah 30. Dan semakin
tinggi skor daya kognitif semakin baik. Pada
pasien ini didapatkan nilai kognitif nya adalah
19 dan dapat diartikan terdapat penurunan
kognitif yang ringan-sedang pada pasien.
dan tidak hanya mengenai penyakit pasien,
tetapi juga mengenai masalah-masalah
lainnya seperti fungsi ekonomi dan
pemenuhan kebutuhan keluarga, Masalah
ekonomi yang dialami adalah pasien yang
sebagai kepala keluarga bekerja sebagai
tukang aspal jalan dan saat ini perekonomian
ditanggung oleh pasien, dan anaknya.
Keluarga dimotivasi untuk menambah sumber
pendapatan tambahan melalui pemanfaatan
waktu luang, seperti menanam sayuran yang
nantinya dapat dijual dan dapat membantu
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan
dilakukan edukasi dengan cara pembelian
barang sesuai dengan kebutuhan didalam
keluarga.
Kesimpulan
1. Diagnosis PPOK pada kasus ini sudah
ditegakkan berdasarkan kriteria yang
terdapat dalam teori yang telah
dikemukakan.
2. Penatalaksanaan PPOK baik pada
eksaserbasi akut yang dialami pasien
maupun PPOK stabil sudah disesuaikan
dengan strategi penatalaksanaan PDPI
(Persatuan Dokter Paru Indonesia).
3. Peran keluarga sangat diperlukan untuk
membantu pasien untuk menghindari
faktor pencetus penyebab kekambuhan.
4. Pelayanan medis tidak hanya terfokus
pada pasien sebagai orang yang
menderita sakit, namun juga dilihat dari
aspek keluarga yang terlibat, dan
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Pada aspek sosial pasien dilakukan edukasi,
terkait dengan hubungan sosial dengan
keluarga, tetangga dan masyarakat. Hubungan
sosial dalam keluarga dapat dilakukan dengan
cara melakukan komunikasi baik yang
dilakukan setiap hari, pada tetangga dan
masyarakat dapat dilakukan dengan mengikuti
acara kemasyarakatan misalnya pengajian,
gotong royong, dan lain-lain. Dan pasien
sudah melakukan hal tersebut dengan rutin.
Dengan sosial dalam keluarga yang baik,
diharapkan keluarga dapat memotivasi pasien
terkait dengan aspek penurunan fungsional
yaitu terkait dengan penyakit artritis gout.
Pembinaan keluarga yang dilakukan pada
kasus ini dilakukan pada pasien dan keluarga
1.
2.
3.
Persatuan
Dokter
Pernapasan
Indonesia. Pedoman Praktis Diagnosis
dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia
Revisi Juni. Jakarta : PDPI; 2012.
Departemen Kesehatan. Pedoman
Pengobatan Dasar di Puskesmas.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI;
2007.
Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease. The Global Strategy for
the Diagnosis, Management and
Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease; 2011 [diakses
tanggal 20 Mei 2015]. Tersedia dari:
www.goldcopd.org.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 159
Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi
4.
5.
6.
7.
8.
Price, S.A & Wilson. Patofisiologi konsep
klinik proses-proses penyakit. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC; 2006.
Kemenkes. Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang Rumah. Jakarta :
Kementerian Kesehatan; 2011. Rehane.
Pengaruh Pemberian Kombinasi Vitamin
c dan E terhadap Prosentasi Fokus
Metaplasi Bronkiolus Paru Tikus (Rattus
novergicus Strain Wistar) Yang Dipapar
Asap Rokok Subkronik. Tugas Akhir.
Malang : FKUB; 2006
PDGKI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Gizi Klinik Indonesia). Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK), dalam:
Pedoman Tata Laksana Gizi Klinik.
Jakarta: PDGKI; 2008. hlm. 89-91.
Bergman EA and Hawk SN. Diseases of
the Respiratory System, in: Nutrition
Therapy and Patophysiology. Edisi ke-2.
USA: Cengage Learning; 2010. hlm. 657663.
Mueller DH. Medical Nutrition Therapy
for Pulmonary Disease. in: Krause’s
Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi
ke-11. USA: Saunders Elsevier; 2004.
hlm. 945-948.
9.
10.
11.
J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 160
Harris NG. Nutrition in Aging, in:
Krause’s Food, Nutrition, and Diet
Therapy. Edisi ke-11. USA: Saunders
Elsevier; 2004. hlm. 326-330.
Seung. Medical Nutrition Therapy based
on Nutrition Intervention for a Patient
with Chronic Obstructive Pulmonary
Disease; 2014.
Yanbaeva DG, Detender MA, Creutzberg
EC, Wesseling G, Wouters Emiel FM.
Systemic effect of smoking. Chest. 2007;
131(1): 1557-66.
Download