Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi PENATALAKSANAAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA LANSIA PEKERJA KONSTRUKSI Resti Lhutvia Andani, S.Ked Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Abstrak Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) menyatakan kematian global disebabkan penyakit tidak menular. Dari 57 juta kematian yang terjadi secara global pada tahun 2008, 63% diantaranya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular 12% diantaranya disebabkan oleh penyakit Paru Kronis (12%), Penulisan ini dibuat dalam bentuk laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan kunjungan rumah, Data sekunder didapatkan dari rekam medis terdahulu. Dan tinjauan kepustakaan penilaian diagnosis holistik dari awal, proses dan akhir studi secara kuantitatif dan kualitatif. Tn. M, 61 tahun, seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai tukang aspal jalan, datang dengan keluhan batuk berdahak yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Dahak tidak disertai dengan darah. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Lalu pasien dibawa berobat ke RS karena sesak nafas. Pasien bekerja di bagian konstruksi memiliki riwayat sebagai seorang perokok berat, Selain pasien, anaknya dirumah juga merokok. Di lingkungan pekerjaan pun semua rekannya merokok, pasien sering terpapar debu, asap kendaraan, serta asap pembakaran aspal. Pada pemeriksaan fisik o didapatkan Tekanan darah 120/70 mmHg, frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,8 C. Regio thorax : Barrel Chest, pelebaran sela iga, pulmo ronkhi basah halus (+/+).Telah dilakukan penerapan pelayanan berbasis Evidence Based Medicine pada pasien lansia dengan riwayat merokok dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis dengan mengidentifikasi faktor risiko dan masalah klinis serta penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka penyelesaian pasien. Kata kunci : kedokteran keluarga, penyakit paru obstruktif kronis, perokok. MANAGEMENTOFCHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE IN ELDERLY CONSTRUCTION WORKERS Abstract Based on the report by the World Health Organization (WHO) declared a global deaths due to noncommunicable diseases. Of the 57 million deaths that occurred globally in 2008, 63% of which are caused by the Communicable Diseases 12% of which are caused by chronic pulmonary disease (12%). Management of patients holistically, based on terms of settlement of the problem of patients with patient approach centers and family based approach EBM.This writing is made in the form of case reports. The primary data obtained through anamnesis , physical examination and home visits. Secondary data was obtained from medical records of the past. And the review of literature holistic assessment of the initial diagnosis, the process and the end of the study quantitatively and qualitatively.Mr. M, 61 years old, a family head who works as a tarmac road, came with complaints of cough with phlegm that is felt since three days ago. Sputum not accompanied by blood. Complaints were first felt since one year ago. Then patients are brought for treatment to the hospital because of shortness of breath. Patients had a history as a heavy smoker, besides the patient, his home is also smoke. The work environment was all his smoking, the patient is often exposed to dust, fumes, and smoke burning asphalt. On physical examination found blood pressure is 120/70 mm Hg, respiratory rate 24x / min, the temperature 36,8ͦ C. Thorax region: Barrel Chest, widening between the ribs, wet ronkhi pulmonary smooth (+ / +).Has made application-based services Evidence Based Medicine in elderly patients with a history of smoking with Chronic Obstructive Pulmonary Disease by identifying risk factors and clinical issues as well as management of patients by the completion of the patient's skeleton. Keywords: family medicine, chronic obstructive pulmonary disease, smokers. Korespondensi: Resti Lhutvia Andani, S.Ked, alamat: Jl. Panglima Polim, Bandar Lampung, nomor HP +6281271317676, email: [email protected] Pendahuluan Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) menyatakan kematian global disebabkan penyakit tidak menular. Dari 57 juta kematian yang terjadi secara global pada tahun 2008, 63% diantaranya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular 12% diantaranya disebabkan oleh penyakit Paru Kronis (12%), Kematian akibat Penyakit Tidak Menular sekitar 29 % terdapat pada usia di bawah 60 tahun dan hampir 80% terjadi di negara berkembang.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), yang juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 153 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003). Menurut World Health Organization (WHO), PPOK bisa membunuh seorang manusia setiap sepuluh detik.2 Dengan semakin tingginya angka harapan hidup manusia maka PPOK menjadi salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin sering dijumpai di masa mendatang baik di negara maju maupun dinegara berkembang. Jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat diperkirakan kira-kira 14 juta orang di Amerika Serikat menderita PPOK.3 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya.2 Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbedaAkan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.1 Fasiliti pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas. Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi.1 Ilustrasi Kasus Tn. M, 61 tahun, seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai tukang aspal jalan, datang dengan keluhan batuk berdahak yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Dahak berwarna putih dan tidak disertai dengan darah. Pasien juga mengeluh sesak, namun pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa. Pasien sebelumnya pernah merasakan keluhan yang sama. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya pasien merasa sesak nafas, sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas, batuk ringan, sampai akhirnya pasien merasakan sesak nafas yang terasa semakin berat. Lalu pasien dibawa berobat ke RS Pertamina Bintang Amin. Menurut keterangan pasien, ia dirawat karena penyakit paru-paru kronis. Pasien rutin kontrol kepuskesmas satu bulan sekali, dan ke rumah sakit 3 buln sekali, dan mendapat obat jika pasien tersebut sesak nafas. Pasien memiliki riwayat sebagai seorang perokok berat, saat ini pasien masih merokok dan hanya berhentii apabila pasien mulai merasa sakit. Pasien merokok sejak usia 20 tahun, dalam sehari ia bisa menghabiskan 1-2 bungkus rokok. Selain pasien, anaknya dirumah juga merokok. Di lingkungan pekerjaan pun semua rekannya merokok, dan pasien sering terpapar debu, asap pembakaran aspal, dan asap kendaraan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan Berat badan : 57 kg,-Tinggi badan : 160 cm IMT : 22,26 (normal) Tampak sakit ringan. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 78x/menit, frekuensi napas 24x/menit, suhu 36,8oC.Kepala, abdomen, ekstremitas dalam batas normal. Regio thorax : Barrel Chest, pelebaran sela iga, pulmo ronkhi basah di basal paru (+/+).Status neurologis : Kesan dalam batas normal. Motorik : Kesan dalam batas normal. Sensorik : Kesan dalam batas normal. Diagnosis Penyakit Paru Obstrktif Kronis. Pada pasien ini diberikan tatalaksana non medikamentosa berupa, Diet Tinggi Energi Tinggi Protein, Konseling perbaikan gaya hidup terutama edukasi untuk menghentikan rokok, mengurangi aktivitas berat, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan terkait debu serta asap pembakaran kayu bakar.Edukasi untuk menghindari dari pajanan di lingkungan kerjaa seperti debu, asap rokok, asap pembakaran aspal, dan asap kendaraan.Konseling segala hal tentang ppok J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 154 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi mulai dari penyebab, faktor resiko sampai pencegahan komplikasi. Konseling pengaturan gaya hidup yang sehat. Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu selama 30 menit.Konselingkepadakeluarga tentangpentingnya memberidukunganpadapasien dan mengawasi pengobatan seperti penggunaan obat semprot, jadwal kontrol kembali, dan aktivitas fisik pasien.Konseling tentang bahaya rokok. Tatalaksana medikamentosa Aminophylin 3 x 1 tablet, Dexamethasone 2 x 1 tablet, Ambroxol 3 x 1 tablet, Vitamin C 3 x 50mg Pembahasan Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama rumah sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga rumah menjadi sangat penting sebagai lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran udara.5 Pencemaran udara di dalam ruang rumah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, bahan bangunan (misal; asbes), struktur bangunan (misal; ventilasi), bahan pelapis untuk furniture serta interior (pada pelarut organiknya), kepadatan hunian, kualitas udara luar rumah (ambient air quality), debu, dan kelembaban yang berlebihan. Selain itu, kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah seperti dalam hal perilaku merokok dalam rumah.5 Asap Rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS) adalah gas beracun yang dikeluarkan dari pembakaran produk tembakau yang biasanya mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Seseorang yang telah lama merokok mempunyai prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit seperti atherosclerosis dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) dengan dampak sistemik yang signifikan12. Penyakit yang ditimbulkan karena merokok tersebut membunuh satu dari sepuluh orang dan menyebabkan kematian sekitar 4 juta orang per tahun. Merokok dapat menyebabkan kematian hingga 1 dari 6 orang, apabila hal tersebut berlangsung hingga 2030.6 terus menerus Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) (2011) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang disebabkan oleh beberapa hal yang dapat dicegah dan diobati, dimana beberapa efek ekstrapulmonal memberikan konstribusi pada keparahan yang dialami pasien. Kerusakan komponen paru ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru pada gas atau partikel berbahaya.3 PPOK merupakan suatu istilah digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah bronkitis kronis, emfisema paru, dan asma bronkial. Bronkitis kronis adalah suatu gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dimanifestasikan sebagai batuk kronis dan pembentukan mukus mukoid ataupun mukopurulen sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut. Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomi parenkim paru yang ditandai pembesaran alveolus dan duktus alveolaris, serta destruksi dinding alveolar. Sedangkan asma merupakan suatu penyakit dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluransaluran napas secara periodik dan reversible akibat bronkospasme, oedem mukosa, dan hipersekresi mukus.4 PPOK telah berkembang karena interaksi genenvironment.3 Faktor-faktor resiko pada PPOK meliputi : 1. Genetik 2. Partikel a. Asap tembakau, atau asap rokok Derajat pencatatan riwayat merokok dilhat dari apakah pasien perokok aktif, pasif atau bekas perokok. Kemudian derajat berat merokok berdasarkan indeks Brinkman, yaitu perkalian jumlah rata-rata batang J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 155 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun diinterpretasikan : - Ringan : 0 – 200 - Sedang : 200 – 600 - Berat : > 600 b. Debu dan bahan kimia c. Polusi di dalam rumah d. Polusi di luar rumah 3. Pertumbuhan dan perkembangan paru 4. Stress Oksidasi 5. Gender 6. Infeksi 7. Status Sosial Ekonomi 8. Nutrisi Pasien merupakan lansia dengan riwayat sebagai perokok aktif selama 40 tahun dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari sebanyak 18 batang rokok. Indeks Brinkman dari pasien ini adalah 720 sehingga pasien tergolong dalam perokok berat. Hal ini merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan timbulnya PPOK pada pasien. Terdapat beberapa tanda dan gejala dari PPOK, antara lain : 1. Dispneu 2. Batuk 3. Pink Puffer, atau timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum berarti. Biasanya dispneu timbul antara usia 30 – 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan kehabisan napas sehingga tidak lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah kurus.4 4. Blue Blater, atau kondisi batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi paru, Tampak gejala berkurangnya napas sehingga mengalami hipoventilasi menjadi hipoksia dan hiperkapnia yang merangsang ginjal untuk eritropoietin meningkatkan produksi sel darah merah sehingga terjadi polisitemia sekunder. Pasien tampak gemuk sianosis, terdapat oedem tungkai, dan ronki basah di basal paru.4 5. Produksi sputum 6. Wheezing dan sesak dada 7. Barrel chest, yaitu diafragma terletak lebih rendah dan bergerak tidak lancar, kifosis, diameter antero-posterior bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan suprasternal kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subkostal bertambah.4 Padakasusini, pasien mengalami batuk berdahak yang semakin memberat sejak 3 hari sebelum pasien datang ke puskesmas. Pasien mengaku pernah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit paru-paru kronis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya barrel chest, sela iga melebar, terdengar suara wheezing dan ronki. Pasien sebelumnya pernah melakukan pemeriksaan dahak dan hasilnya tidak ditemukan kuman Tuberkulosis. Pada pasien PPOK diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain : Radiologi (foto toraks), Spirometri, Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik), analisa gas darah, mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi).2 Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.2 Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat sebagai perokok aktif, dan berdasarkan Indeks Brinkman, pasien tergolong sebagai perokok berat. Keluhan timbul batuk berdahak dan semakin lama timbul sesak. Keluhan jarang timbul pada saat pasien melakukan aktivitas sehari-hari maupun saat pasien berolahraga Seringkali terdapat ketidaksesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1.1 J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 156 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi Klasifikasi Gejala Ringan - Tidak ada gejala waktu istirahat atau eksersais - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan pada latihan sedang (mis : berjalan cepat, naik tangga) - Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai Sedang terasa pada latihan/kerja ringan (mis : berpakaian) - Gejala ringan pada istirahat - Gejala sedang pada waktu istirahat - Gejala berat Berat pada saat istirahat - Tanda korpulmonal Spirometri VEP > 80% prediksi VEP/KVP < 75% VEP 30-80% prediksi VEP/KVP < 75% VEP1<30% prediksi VEP1/KVP < 75% Pasien tidak pernah menjalani pemeriksaan spirometri, namun dari gejala pada pasien kasus ini, pasien tergolong dalam PPOK ringan. Hal ini didapat dari kondisi pasien yang jarang mengalami serangan atau timbulnya gejala pada kegiatan sehari-hari. Manajemen yang dilakukan PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan non reversibel. Tujuan dari penatalaksanaan penyakit ini antara lain mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan meningkatkan kualiti hidup penderita. Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi : edukasi, obatobatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitas.4 Kepada pasien dalam kasus ini, manajemen yang diberikan pertama adalah edukasi, dimana pasien perlu menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kekambuhan (batuk dan sesak napas) sehingga pasien dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Pasien juga diberikan informasi mengenai penyakitnya, PPOK, sehingga pasien dapat memahami bahwa pasien dapat mengontrol penyakit tersebut meskipun tidak dapat sembuh. Kemudian pemberitahuan mengenai kegunaan dari obatobatan, cara penggunaan, waktu penggunaan, dosis obat, dan efek samping. Selain itu pasien juga perlu melakukan latihan, atau eksersais, sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang optimal.1 Pasien diberikan konseling untuk melalukan diet tinggi energi tinggi protein, dengan lebih banyak mengonsumsi buah dan sayur, serta ikan. Namun dalam hal ini dibatasi konsumsi karbohidrat seperti nasi, kentang dan singkong, karena karbohidrat menghasilkan CO2 terbesar. Selain itu pasien juga dianjurkan untuk beristirahat sebelum makan, serta makan dalam porsi kecil tetapi sering, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah kelelahan saat pasien makan. Untuk kebutuhan cairan, pasien dianjurkan untuk minum air sebanyak 1500-2500ml per harinya. Terapi nutrisi penting diberikan pada kasus PPOK karena hubungan antara malnutrisi dengan penyakit paru sudah lama diketahui. Malnutrisi berpengaruh negatif terhadap struktur, elastisitas, fungsi paru, kekuatan dan ketahanan otot pernafasan serta mekanisme pertahanan imunitas paru. Sebagai contoh, jika terjadi defisiensi protein maka akan menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga kemampuan darah untuk membawa oksigen juga menurun. Dan penurunan berat badan karena asupan gizi yang tidak adekuat dapat memperburuk prognosis PPOK. Sedangkan pada pasien yang penderita PPOK terjadi peningkatan kebutuhan energi sehingga mempengaruhi asupan diet menurun terutama jika diet tidak adekuat. Berikut adalah efek samping dari terjadinya penyakit paru yang menyebabkan penurunan status gizi, 1. Kenaikan pengeluaran energi a. Peningkatan tenaga untuk bernafas b. Infeksi kronis c. Terapi medis (Bronkodilator) 2. Penurunan asupan a. Nafas pendek b. Penurunan saturasi oksigen ketika makan c. Anoreksia akibat penyakit kronis J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 157 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi 3. Keterbatasan lain a. Kesulitan menyiapkan makan karena lelah b. Keterbatasan secara ekonomi c. Kesulitan makan Intervensi gizi pada pasien PPOK ditujukan untuk mengendalikan anoreksia, memperbaiki fungsi paru, dan mengendalikan penurunan berat badan.7Memelihara keseimbangan energi optimal pada pasien PPOK penting untuk mempertahankan berat badan, dan kesehatan tubuh secara umum. Prevalensi IMT <20 kg/m2 terjadi pada 30% pasien PPOK. Fungsi otot pernafasan sangat dipengaruhi oleh penurunan status gizi dan sangat terkait dengan berat badan dan massa tubuh bebas lemak.8 Pasien PPOK penting untuk mendapatkan energi dan protein yang cukup untuk mempertahankan berat badan, FFM, dan status gizi yang cukup. Asupan energi 125156% (rata-rata 140%) diatas basal energy expenditure (pengeluaran energi basal) dan asupan protein 1,2-1,7 g/kgBB (rata-rata 1,2 g/kg) untuk pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat di Rumah Sakit12. Sebagaimana makronutrien, kebutuhan vitamin dan mineral pasien PPOK stabil tergantung patofisiologi penyakit paru yang mendasari, penyakit lain yang terjadi bersamaan, terapi medis, dan status gizi. Untuk perokok, tambahan vitamin C mungkin diperlukan. Penelitian menunjukkan bahwa orang merokok 1 bungkus sehari membutuhkan lebih vitamin C 16 mg sehari, sedangkan yang merokok 2 bungkus memerlukan 32 mg sebagai pengganti.9 Status hidrasi merupakan komponen yang penting pada asesmen awal dan lanjutan pada semua usia. Kebutuhan cairan dipengaruhi oleh banyak variasi pada aktivitas fisik, IWL (insensible water loss), obat obatan, dan urin. Secara umum, kebutuhan cairan sekitar 30-35 ml/kgBB aktual, dengan minimum 1500 ml/hari atau 1-1,5 ml/kkal yang dikonsumsi.10 Sedangkan PDGKI (2008) menyebutkankebutuhan cairan pada dewasa sekitar 25-40 ml/kgBB/hari. Dengan bertambahnya usia, jumlah cairan totalmenurun. Pada lansia sekitar 50% dari berat badanatau menurun 10% dibandingkan pada dewasa muda.Penurunan ini berhubungan dengan penurunan lean body mass 10. Pasien pada kasus ini telah mendapatkan terapi obat berupa aminophylin oral 3 x 1 tablet, kemudian ambroxol 3x1 tablet, dexametason 2x1, dan vitamin C 3 x 50 mg. Obat-obat tersebut diminum oleh pasien hanya ketika batuk dan sesak kemudian apabila gejala membaik, pasien berhenti meminum obat. Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas tatalaksana kronik dan tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai dengan klasifikasi (derajat) beratnya. Secara umum, tatalaksana PPOK dalam pemberian obatobatan adalah sebagai berikut2 : a. Bronkodilator Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik b. Anti inflamasi Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik c. Antibiotik Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. d. Mukolitik Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental. e. Antitusif Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi Pada kasus Tn. M, pemberian terapi obatobatan hanya apabila ketika pasien merasakan kekambuhan. Hal ini dapat disebut sebagai eksaserbasi akut dimana eksaserbasi akut berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang disebabkan oleh infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.1 Gejala eksaserbasi akut antara lain sesak bertambah, produksi sputum meningkat, dan terjadi perubahan warna sputum. Pasien J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 158 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi mengalami 2 dari 3 gejala di atas sehingga termasuk dalam eksaserbasi akut tipe II (eksaserbasi sedang). Penatalaksanaan medikamentosa pada pasien sudah tepat, namun pada pasien tidak diberikan antibiotika dikarenakan tidak terdapat adanya tandatanda infeksi pada pasien baik dari gejala maupun dari sputum. Dari kondisi-kondisi tersebut, pasien dapat dikategorikan menderita PPOK dengan derajat ringan dan memiliki prognosis quo ad vitam : dubia, quo ad functionam : dubia ad bonam karena pasien masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan quo ad sanationam : dubia ad malam karena pasien tidak dapat sembuh total dari penyakitnya dan perlu terus menghindari faktor pencetus timbulnya kekambuhan Selain dari fungsional dan psikis, dalam geriartri juga dilakukan penilaian kognitif. Pada penilaian kognitif dilakukan intervensi dengan menggunakan MMSE (Mini Mental State Examination). Didalam MMSE terdapat 11 item penilaian, penilaian dilihat dari aspek terkecil dengan menanyakan hal-hal yang sederhana misalnya hari, tanggal dan tahun sampai dengan pasien diminta untuk menggambar suatu benda. Skor maksimal pada penilaian ini adalah 30. Dan semakin tinggi skor daya kognitif semakin baik. Pada pasien ini didapatkan nilai kognitif nya adalah 19 dan dapat diartikan terdapat penurunan kognitif yang ringan-sedang pada pasien. dan tidak hanya mengenai penyakit pasien, tetapi juga mengenai masalah-masalah lainnya seperti fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan keluarga, Masalah ekonomi yang dialami adalah pasien yang sebagai kepala keluarga bekerja sebagai tukang aspal jalan dan saat ini perekonomian ditanggung oleh pasien, dan anaknya. Keluarga dimotivasi untuk menambah sumber pendapatan tambahan melalui pemanfaatan waktu luang, seperti menanam sayuran yang nantinya dapat dijual dan dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan dilakukan edukasi dengan cara pembelian barang sesuai dengan kebutuhan didalam keluarga. Kesimpulan 1. Diagnosis PPOK pada kasus ini sudah ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdapat dalam teori yang telah dikemukakan. 2. Penatalaksanaan PPOK baik pada eksaserbasi akut yang dialami pasien maupun PPOK stabil sudah disesuaikan dengan strategi penatalaksanaan PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia). 3. Peran keluarga sangat diperlukan untuk membantu pasien untuk menghindari faktor pencetus penyebab kekambuhan. 4. Pelayanan medis tidak hanya terfokus pada pasien sebagai orang yang menderita sakit, namun juga dilihat dari aspek keluarga yang terlibat, dan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Pada aspek sosial pasien dilakukan edukasi, terkait dengan hubungan sosial dengan keluarga, tetangga dan masyarakat. Hubungan sosial dalam keluarga dapat dilakukan dengan cara melakukan komunikasi baik yang dilakukan setiap hari, pada tetangga dan masyarakat dapat dilakukan dengan mengikuti acara kemasyarakatan misalnya pengajian, gotong royong, dan lain-lain. Dan pasien sudah melakukan hal tersebut dengan rutin. Dengan sosial dalam keluarga yang baik, diharapkan keluarga dapat memotivasi pasien terkait dengan aspek penurunan fungsional yaitu terkait dengan penyakit artritis gout. Pembinaan keluarga yang dilakukan pada kasus ini dilakukan pada pasien dan keluarga 1. 2. 3. Persatuan Dokter Pernapasan Indonesia. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia Revisi Juni. Jakarta : PDPI; 2012. Departemen Kesehatan. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2007. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. The Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease; 2011 [diakses tanggal 20 Mei 2015]. Tersedia dari: www.goldcopd.org. J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 159 Andani RL | Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada Lansia Pekerja Konstruksi 4. 5. 6. 7. 8. Price, S.A & Wilson. Patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2006. Kemenkes. Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Jakarta : Kementerian Kesehatan; 2011. Rehane. Pengaruh Pemberian Kombinasi Vitamin c dan E terhadap Prosentasi Fokus Metaplasi Bronkiolus Paru Tikus (Rattus novergicus Strain Wistar) Yang Dipapar Asap Rokok Subkronik. Tugas Akhir. Malang : FKUB; 2006 PDGKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Gizi Klinik Indonesia). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), dalam: Pedoman Tata Laksana Gizi Klinik. Jakarta: PDGKI; 2008. hlm. 89-91. Bergman EA and Hawk SN. Diseases of the Respiratory System, in: Nutrition Therapy and Patophysiology. Edisi ke-2. USA: Cengage Learning; 2010. hlm. 657663. Mueller DH. Medical Nutrition Therapy for Pulmonary Disease. in: Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. USA: Saunders Elsevier; 2004. hlm. 945-948. 9. 10. 11. J Medula Unila | Volume 4| Nomor 4| Januari 2016 | 160 Harris NG. Nutrition in Aging, in: Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy. Edisi ke-11. USA: Saunders Elsevier; 2004. hlm. 326-330. Seung. Medical Nutrition Therapy based on Nutrition Intervention for a Patient with Chronic Obstructive Pulmonary Disease; 2014. Yanbaeva DG, Detender MA, Creutzberg EC, Wesseling G, Wouters Emiel FM. Systemic effect of smoking. Chest. 2007; 131(1): 1557-66.