Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pada PriaBerusia 63 Tahun Chronic

advertisement
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
Penyakit Paru Obstruktif Kronis Pada PriaBerusia 63 Tahun
I Gede Eka Widayana, Susianti
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian ke-3 pada tahun 2012. Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK), yang juga dikenali sebagai Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran
pernafasan yang progresif dan ireversibel. Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai
di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasilitas pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber
daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja,
sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera
disosialisasikan baik untuk kalangan medismaupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini,
penatalaksanaan
yang
rasional
dan
rehabilitasi.Kasusiniterjadipadaseorangpriaberusia
63
tahun
yang
datangdengankeluhanbatuk berdahak yang dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Dahak berwarna putih dan tidak disertai
dengan darah. Pasien sebelumnya pernah merasakan keluhan yang sama. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 2 tahun
yang lalu. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia kurang lebih 25 tahun. Dari pemeriksaanfisikdidapatkanhasilRegio
thorax
:Barrel
Chest
(+),
pelebaran
sela
iga
(+)
,
vesikuler,
ronkhi
(-/-),
wheezing
(-/).Tidakdilakukanpemeriksaanpenunjangpadapasienini.Diagnosis
padapasienadalah
PPOK.Terapi
yang
diberikanadalahterapimedikamentosadannonmedikamentosa.
Kata kunci:barrel chest, ireversibel, penyakitparuobstruktifkronis
Chronic Obstructive Lung Disease of A 63 Years Old Man
Abstract
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the 3rd leading cause of death in 2012. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD), a respiratory tract obstruction that progressive and irreversible. Health care facilities in Indonesia, which is
based at the health center to hospital referral center is far from service facilities for COPD disease. Moreover, the
competence of human resources, standard equipment such as spirometry to diagnose COPD only found in large hospitals.
Therefore, we need a management guidelines of COPD to be socialized with both the medical community and society in the
prevention, early diagnosis, rational management and rehabilitation. In case an old man, 63 years old comes with cough
about three years ago. Sputum is white and not accompanied with blood. previously , patients have felt the same
complaints. Complaints were first felt since 2 years ago. Patient is a active smoker about twenty five years old ago. On
physical examination in the chest region found: barrel chest (+), intercostals wide (+), and from the auscultation found
vesikuler and no ronkhi and wheezing. No Additional examination for this patient. Diagnose in this patient is COPD. The
management of the patient is given nonmedical treatment and medical treatment.
Keywords: barrel chest, irreversible, chronic obstructive pulmonary disease
Korespondensi: I GedeEkaWidayana, S.ked.,alamat Jl. Abdul Muis, Gg. Abdul Muis, KampungBaru, Kedaton, Bandar
Lampung, Hp 082280180168, e-mail [email protected]
Pendahuluan
World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) merupakan penyebab kematian
ke-3 diduniapada tahun 2012. Diperkirakan 65
juta penduduk dunia menderitaPPOK sedang
sampai berat. Pada tahun 2012 lebih dari 3
juta orang meninggal karena PPOK,
menyumbang 6% dari seluruh penyebab
kematian. Data mengenai morbiditas dan
mortalitas PPOK tersebut didapatkan sebagian
besar dari negara dengan penghasilan tinggi.1
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK),
yang juga dikenali sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD), merupakan
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |72
obstruksi saluran pernafasan yang progresif
dan ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis
kronik, emfisema atau kedua-duanya.
Merokok merupakan penyebab utama dari
PPOK, baik itu merokok secara aktif ataupun
perokok pasif .1,2
Dengan semakin tingginya angka
harapan hidup manusia maka PPOK menjadi
salah satu penyebab gangguan pernafasan
yang semakin sering dijumpai di masa
mendatang baik di negara maju maupun
dinegara berkembang. Jumlah penderita PPOK
di Amerika Serikat diperkirakan kira-kira 14
juta orang.2
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8
juta (5,6%) penderita PPOK. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Khairunissa tahun 2010
jumlah penderita di RSUP H. Adam Malik
Medan pada tahun 2009 sebanyak 54 orang.
Kejadian ini akan terus meningkat yang salah
satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah
perokok karena 90% penderita PPOK
disebabkan oleh current smoker atau ekssmoker.3
Hasil survei penyakit tidak menular oleh
Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit
propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera
Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang
angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial
bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya
(2%).6
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan
paru yang memberikan kelainan ventilasi
berupa obstruksi saluran pernapasan yang
bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversibel. Obstruksi ini berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru terhadap
partikel asing atau gas yang berbahaya.1
Pada PPOK, bronkitis kronik dan
emfisema sering ditemukan bersama,
meskipun keduanya memiliki proses yang
berbeda. Akan tetapi menurut Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI), bronkitis kronik
dan emfisema tidak dimasukkan kedalam
definisi PPOK, karena bronkitis kronik
merupakan diagnosis klinis, sedangkan
emfisema merupakan diagnosis patologi.4
Fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia yang bertumpu di Puskesmas
sampai di rumah sakit pusat rujukan masih
jauh dari fasilitas pelayanan untuk penyakit
PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya
manusianya, peralatan standar untuk
mendiagnosis PPOK seperti spirometri hanya
terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali
jauh dari jangkauan Puskesmas.
Pencatatan Departemen Kesehatan
tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit
yang dicatat. Karena itu perlu sebuah
Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera
disosialisasikan baik untuk kalangan medis
maupun masyarakat luas dalam upaya
pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan
yang rasional dan rehabilitasi.5
Kasus
Tn S, 63 tahun, seorang pria yang
berprofesi sebagai petani, datang dengan
keluhan batuk berdahak yang dirasakan sejak
3 hari yang lalu. Dahak berwarna putih dan
tidak disertai dengan darah. Pasien
sebelumnya pernah merasakan keluhan yang
sama.
Keluhan pertama kali dirasakan sejak 2
tahun yang lalu. Awalnya pasien merasa sesak
nafas, sesak tidak dipengaruhi oleh
aktivitas,batuk ringan, sampai akhirnya pasien
merasakan sesak nafas yang terasa semakin
berat. Dua tahun yang lalu, pasien dibawa
berobat ke RS Natar Medika Lampung Selatan
dan sempat dirawat selama 2 hari. Menurut
keterangan pasien, dokter mengatakan bahwa
ia menderita suatu penyakit paru-paru yang
kronis. Dua bulan yang lalu, pasien merasakan
sesak yang begitu berat yang membuat pasien
datang ke Puskesmas Karang Anyar untuk
memeriksakan keluhannya tersebut.Pasien
hanya
kontrol
ke
puskesmas
jikapenyakitnyatersebutmulaimenimbulkangej
ala yang mengganggu.
Pasien memiliki riwayat merokok sejak
usia kurang lebih 25 tahun. Pasien mengaku
hingga sekarang merokok dengan rokok linting
dengan anggapan pasien bahwa rokok linting
lebih alami dan lebih aman dibandingkan
dengan rokok kemasan. Pasien merokok
kurang lebih dua bungkus perhari, namun
setelah ada keluhan sesak tersebut konsumsi
rokok pasien berkurang menjadi satu bungkus
perhari nya hingga sekarang. Tidak ada
anggota keluarga lain yang merokok.
Padapemeriksaanfisikdidapatkanhasilta
mpak sakit ringan. Tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 78x/menit, frekuensi napas
28x/menit, suhu 36,8oC, berat badan: 59 kg,
tinggi badan: 167 cm, IMT: 21,22 (normal).
Kepala, abdomen, ekstremitas dalam batas
normal. Regio thorax: Barrel Chest (+),
pelebaran sela iga (+) , vesikuler (+/+), ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).Status neurologis: Reflek
fisiologis normal,
reflek patologis (-).
Tidakdilakukanpemeriksaanpenunjangpadapa
sienini.
Padapasiendiberikanterapisecaramedika
mentosadannonmedikamentosa.Terapinonme
dikamentosa
yang
dilakukankepadapasienantara
lain:
1.)
konseling pasien bahwa PPOK tidak dapat
disembuhkan hanya dapat dikontrol dan
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |73
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
penatalaksanaan yang dilakukanpun harus
dilakukan seumur hidup, 2.) memberi
konseling terhadap upaya pencegahan
komplikasi dari PPOK, 3.) konseling tentang
bahaya merokok, 4.) menginformasikan segala
hal tentang PPOK dan pengaturan pola gaya
hidup yang sehatdan mengenai olahraga yang
minimal dilakukan 3x/minggu selama ± 30
menit serta diet pada pasien PPOK (diet
rendah
karbohidrat),
5.)
konselingkepadakeluarga tentangpentingnya
memberidukunganpadapasien dan mengawasi
pengobatan, 6.) konseling pasien dan keluarga
pasien mengenai pentingnya prinsip preventif
dari pada kuratif.
Terapimedikamentosa
yang
diberikankepadapasienadalahSalbutamol 3x 1
tablet,Deksamethasone 2 x 1 tablet,
Ambroksol 3 x 1 tablet
Pembahasan
Pencemaran udara dalam ruang (indoor
air pollution) terutama rumah sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia, karena
pada umumnya orang lebih banyak
menghabiskan waktu untuk melakukan
kegiatan di dalam rumah sehingga rumah
menjadi sangat penting sebagai lingkungan
mikro yang berkaitan dengan risiko dari
pencemaran udara.5
Pencemaran udara di dalam ruang
rumah dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain, bahan bangunan (misal; asbes),
struktur bangunan (misal; ventilasi), bahan
pelapis untuk furnitur serta interior (pada
pelarut organiknya), kepadatan hunian,
kualitas udara luar rumah (ambient air
quality), debu, dan kelembaban yang
berlebihan. Selain itu, kualitas udara juga
dipengaruhi oleh kegiatan dalam rumah
seperti dalam hal perilaku merokok dalam
rumah.5,6
Asap Rokok (Environmental Tobacco
Smoke/ETS) adalah gas beracun yang
dikeluarkan
dari
pembakaran
produk
tembakau yang biasanya mengandung
Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Seseorang
yang telah lama merokok mempunyai
prevalensi tinggi terhadap beberapa penyakit
seperti
atherosclerosis
dan
Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
dengan dampak sistemik yang signifikan.
Penyakit yang ditimbulkan karena merokok
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |74
tersebut membunuh satu dari sepuluh orang
dan menyebabkan kematian sekitar 4 juta
orang
per
tahun.
Merokok
dapat
menyebabkan kematian hingga 1 dari 6 orang,
apabila hal tersebut terus menerus
berlangsung hingga 2030.7,8
Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD) (2013) mendefinisikan
PPOK sebagai penyakit yang disebabkan oleh
beberapa hal yang dapat dicegah dan diobati,
dimana beberapa efek ekstrapulmonal
memberikan konstribusi pada keparahan yang
dialami pasien. Kerusakan komponen paru
ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi abnormal paru pada gas atau
partikel berbahaya.5
PPOK
merupakan
suatu
istilah
digunakan untuk sekelompok penyakit paru
yang berlangsung lama dan ditandai dengan
peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai patofisiologi utamanya. Ketiga
penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan PPOK adalah bronkitis kronis,
emfisema paru, dan asma bronkial. Bronkitis
kronis adalah suatu gangguan klinis yang
ditandai dengan pembentukan mukus yang
berlebihan dalam bronkus dimanifestasikan
sebagai batuk kronis dan pembentukan mukus
mukoid ataupun mukopurulen sedikitnya 3
bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2
tahun
berturut-turut.
Emfisema
paru
merupakan suatu perubahan anatomi
parenkim paru yang ditandai pembesaran
alveolus dan duktus alveolaris, serta destruksi
dinding alveolar. Sedangkan asma merupakan
suatu penyakit dicirikan oleh hipersensitifitas
cabang-cabang
trakeobronkial
terhadap
berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyempitan saluransaluran napas secara periodik dan reversible
akibat bronkospasme, oedem mukosa, dan
hipersekresi mukus.9,10
PPOK telah berkembang karena
interaksi genenvironment. Faktor-faktor resiko
pada PPOK meliputi:3
1. Genetik
2. Partikel
a. Asap tembakau, atau asap rokok
Derajat pencatatan riwayat merokok
dilhat dari apakah pasien perokok
aktif, pasif atau bekas perokok.
Kemudian derajat berat merokok
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
3.
4.
5.
6.
7.
8.
berdasarkan indeks Brinkman, yaitu
perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok
dalam
tahun
diinterpretasikan :
- Ringan : 0 – 200
- Sedang : 200 – 600
- Berat : > 600
b. Debu dan bahan kimia
c. Polusi di dalam rumah
d. Polusi di luar rumah
Pertumbuhan dan perkembangan paru
Stress Oksidasi
Gender
Infeksi
Status Sosial Ekonomi
Nutrisi
Pasien
merupakan
lansia
dan
merupakan seorang perokok aktif sejak
kurang lebih 25 tahun yang lalu. Dahulunya,
pasien dapat menghabiskan 2 bungkus rokok
setiap harinya. Namun setelah terdapat
keluhan batuk dan sesak nafas konsumsi
rokok pasien berkurang menjadi 1 bungkus
perhari nya. Hal ini merupakan salah satu
faktor resiko yang dapat menyebabkan
timbulnya PPOK pada pasien.
PadapenderitaPPOKdapatdijumpaibeber
apatandadangejala, antara lain:1.) Dispneu,2.)
Batuk, 3.) Pink Puffer, 4.) Blue Blater,5.)
Produksi sputum, 6.) Wheezing dan sesak
dada, 7.) Barrel chest.10
Padakasusini,
pasienmengalamibatuk
berdahak yang dirasakan sejak 3 hari sebelum
pasien datang ke puskesmas. Pasien mengaku
pernah dirawat di rumah sakit karena
menderita penyakit paru-paru kronis. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya barrel
chestdan sela iga melebar. Tidak ditemukan
suara nafas tambahan seperti rhonki ataupun
wheezing.
Pada pasien PPOK diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang, antara lain :
Radiologi
(foto
toraks),
Spirometri,
Laboratorium
darah
rutin
(timbulnya
polisitemia menunjukkan telahterjadi hipoksia
kronik), analisa gas darah, mikrobiologi
sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik
bila terjadieksaserbasi).11
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila
sekurang-kurangnya
pada
anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor
risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua.11
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat
sebagai perokok aktif sejak usia muda hingga
sekarang. Keluhan timbul batuk berdahak dan
semakin lama timbul sesak. Keluhan jarang
timbul pada saat pasien melakukan aktivitas
sehari-hari maupun saat pasien berolahraga.
Seringkali terdapat ketidaksesuaian antara
nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu
perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak
napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan
VEP1.5,11
5
Tabel 1. Klasifikasi derajat PPOK
Klasifikasi Gejala
Spirometri
Ringan
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
atau eksersais
VEP > 80%
prediksi
VEP/KVP
<
75%
Sedang
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
tetapi gejala
ringan pada
latihan sedang
(mis : berjalan
cepat, naik
tangga)
- Tidak ada gejala
waktu istirahat
tetapi mulai
terasa pada
latihan/kerja
ringan (mis :
berpakaian)
- Gejala ringan
pada istirahat
VEP
30-80%
prediksi
VEP/KVP
<
75%
Berat
- Gejala sedang
pada waktu
istirahat
- Gejala berat pada
saat istirahat
- Tanda
korpulmonal
VEP1<30%
prediksi
VEP1/KVP
75%
<
Pasien belum pernah menjalani
pemeriksaan spirometri, namun dari gejala
pada pasien kasus ini, pasien tergolong dalam
PPOK ringan. Hal ini didapat dari kondisi
pasien yang jarang mengalami serangan atau
timbulnya gejala pada kegiatan sehari-hari.
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |75
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
Manajemen yang dilakukan
PPOK merupakan penyakit paru kronik
progresif dan non-reversibel. Tujuan dari
penatalaksanaan penyakit ini antara lain
mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, dan meningkatkan
kualitas hidup penderita. Penatalaksanaan
PPOK secara umum meliputi : edukasi, obatobatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik,
nutrisi, dan rehabilitas.5,12
Kepada pasien dalam kasus ini,
manajemen yang diberikan pertama adalah
edukasi, dimana pasien perlu menghindari halhal yang dapat menyebabkan kekambuhan
(batuk dan sesak napas) sehingga pasien
dapat menjalani aktivitas sehari-hari. Pasien
juga
diberikan
informasi
mengenai
penyakitnya, PPOK, sehingga pasien dapat
memahami bahwa pasien dapat mengontrol
penyakit tersebut meskipun tidak dapat
sembuh dan dapat mencegah terjadinya
komplikasi
dari
PPOK.
Kemudian
pemberitahuan mengenai kegunaan dari obatobatan, cara penggunaan, waktu penggunaan,
dosisi obat, dan efek samping. Selain itu
pasien juga perlu melakukan latihan sehingga
dapat mencapai kualitas hidup yang
optimal.5,13
Pasien
pada
kasus
ini
telah
mendapatkan terapi obat berupa salbutamol
3x1 tablet, kemudian ambroksol 3x1 tablet,
dan deksametason 2x1. Pasien tidak
meminum obat-obat tersebut secara rutin.
Obat-obat tersebut diminum oleh pasien
hanya ketika batuk dan sesak kemudian
apabila gejala membaik, pasien berhenti
meminum
obat.Penatalaksanaan
PPOK
dibedakan atas tatalaksana kronik dan
tatalaksana eksaserbasi, masing masing sesuai
dengan klasifikasi (derajat) beratnya. Secara
umum, tatalaksana PPOK dalam pemberian
obat-obatan adalah sebagai berikut:11,14
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk
inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon
atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya
bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi
dapat digunakan dalam bentuk oral atau
sistemik
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |76
c. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka
panjang untuk pencegahan eksaserbasi.
Pilihan antibiotik pada eksaserbasi
disesuaikan
dengan
pola
kuman
setempat.
d. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya
digunakan
sebagai
pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang
lengket dan kental.
e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang
sangat mengganggu. Penggunaan secara
rutin merupakan kontraindikasi
Pada kasus Tn. S, pemberian terapi
obat-obatan hanya apabila ketika pasien
merasakan kekambuhan. Hal ini dapat disebut
sebagai eksaserbasi akut dimana eksaserbasi
akut
berarti
timbulnya
perburukan
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya
yang disebabkan oleh infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau
timbulnya komplikasi. 5
Gejala eksaserbasi akut antara lain sesak
bertambah, produksi sputum meningkat, dan
terjadi perubahan warna sputum. Pasien
mengalami 2 dari 3 gejala di atas sehingga
termasuk dalam eksaserbasi akut tipe II
(eksaserbasi
sedang).
Penatalaksanaan
medikamentosa pada pasien sudah tepat,
namun pada pasien tidak diberikan antibiotika
dikarenakan tidak terdapat adanya tandatanda infeksi pada pasien baik dari gejala
maupun dari sputum.
Pada saat kegiatan evaluasi dilakukan
pula metode kualitatif melalui wawancara
yang dilakukan langsung dengan pasien
beserta istri dan kedua anaknya (metode
triangulasi)
didapatkan
hasil
bahwa
berdasarkan pengakuan pasien, terdapat
penurunan jumlah rokok yang dihisap
perharinya. Jika sebelumnya satu bungkus
perhari sekarang menjadi ½ bungkus
perharinya. Hal ini diperkuat dengan
pengakuan istri pasien yang mengakui bahwa
sekarang suaminya hanya merokok sesekali
saja.Saat ini pasien tidak lagi merokok didalam
rumah dikarenakan sudah bertambahnya
pengetahuan pasien dan keluarga pasien
mengenai efek rokok baik bagi perokok aktif
maupun perokok pasif. Hal ini juga didukung
oleh istri dan kedua anaknya yang selalu
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
mengingatkan pasien untuk mengurangi
konsumsi rokok dan apabila ingin merokok,
pengakuan pasien dan istri pasien, dalam 2
minggu ini pasien sudah dua kali pergi ke
pelayanan
kesehatan
terdekat
untuk
memeriksakan kesehatanya. Hal ini dilakukan
pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi
dari penyakit yang sudah ada.15,16
Dari kondisi-kondisi tersebut, pasien
dapat dikategorikan menderita PPOK dengan
derajat ringan dan memiliki prognosis quo ad
vitam: dubia ad bonam, quo ad funtionam:
dubia ad bonam karena pasien masih dapat
melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri
dan quo ad sanationam: dubia ad malam
karena pasien tidak dapat sembuh total dari
penyakitnya dan perlu terus menghindari
faktor pencetus timbulnya kekambuhan.17
dilakukan
4.
5.
6.
7.
Kesimpulan
Diagnosis
PPOKpadakasusinisudahditegakkanberdasarka
nkriteria yang terdapatdalamteori yang
telahdikemukakan.Terdapatbeberapafaktor
internal
daneksternalyang
mempengaruhiterjadinyaPPOKdanhalinitelahd
inyatakanolehbeberapa
teori
yang
didasarkansebagaiacuan.
PenatalaksanaanPPOKbaik
pada
eksaserbasi akut yang dialami pasien maupun
PPOK
stabil
sudahdisesuaikandenganstrategipenatalaksan
aan PDPI.5
8.
9.
DaftarPustaka
1. World Health Organization. Chronic
obstructive pulmonary disease fact
sheet [internet]. 2016 [diakses pada
tanggal 20 Maret2016]. Tersediadari:
http://www.who.int/respiratory/copd
/en
2. World Health Organization. The top 10
causes of death [internet]. 2016
[diakses pada tanggal 20Maret 2016].
Tersedia
dari:http://www.who.int/mediacentre
/factsheets/fs310/en
3. Global
Initiative
for
Chronic
Obstructive Lung Disease. The global
strategy
for
the
diagnosis,
management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease
[internet]. 2013. [diaksespadatanggal
10.
11.
12.
13.
14.
diluar
rumah.Menurut
3 September 2015].Tersediadari:
www.goldcopd.org
Kementrian Kesehatan. Pedoman
pengendalian penyakit paru obstruktif
kronik.
Jakarta:Kementerian
Kesehatan; 2008.
PerhimpunanDokterParuIndonesia.
Pedoman praktis diagnosis dan
penatalaksanaan PPOK di Indonesia
revisi
Juni.
Jakarta:
PerhimpunanDokterParuIndonesia;
2003.
Kementerian
Kesehatan.Pedoman
penyehatan udara dalam ruang
rumah.
Jakarta:
Kementerian
Kesehatan; 2011.
Yanbaeva
DG,
Detender
MA,
Creutzberg EC, Wesseling G, Wouters
Emiel. Pengaruh penggunaan rokok
pada fungsi paru pekerja bangunan di
Nangroe Aceh Darusalam [tesis].
Medan: Universitas Sumatra Utara;
2010.
Rehane.Pengaruhpemberian
kombinasi vitamin C dan E terhadap
prosentasi fokus metaplasi bronkiolus
paru tikus (Rattus novergicus Strain
Wistar) yang dipapar asap rokok
subkronik
[skripsi].
Malang:
FakultasKedokteranUniversitasBrawija
ya; 2006.
FM. Systemic effect of smoking. Chest.
2007; 131:1557-66.
Price SA, Wilson. Patofisiologi konsep
klinik proses-proses penyakit. Edisi ke2. Jakarta: EGC; 2006.
Departemen Kesehatan. Pedoman
Pengobatan Dasar di Puskesmas.
Jakarta:
Departemen
Kesehatan
RepublikIndonesia; 2007.
ATS. Epidemiology, risk factors and
natural history COPD [internet].2005
[diakses
tanggal20
Maret
2014].Tersediadari:
http://
www.test.thoracic.org/COPD/2/epide
miology
Brashers,
Valentina
L.Aplikasi
patofisiologi:
pemeriksaan
dan
manajemen. Jakarta: EGC; 2007.
Mackay J, Eriksen M. The tobacco
atlas. Switzerland: Myriad; 2002.
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |77
I GedeEkaWidayana ǀ PenyakitParuObstruktifKronispadaPriaUsia 63 Tahun
15. Tierney, Lawrence M. Diagnosis dan
terapi kedokteran (penyakit dalam).
Jakarta: Salemba Medika;2002.
16. Alsagaff
H,
Mukty
A.
Penyakitobstruksisalurannafas. Dasardasarilmupenyakitparu
[skripsi].
Surabaya: Airlangga University Press;
2008.
J Medula Unila|Volume 5 |Nomor 1 | Mei 2016 |78
17. Global
Initiative
for
Chronic
Obstructive Lung Disease. Global
strategy
for
the
diagnose
management, and prevention of
chronic
obstructive
pulmonary
disease. USA: Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease;
2014.
Download