PERAN NIKOTIN ROKOK PADA PATOGENESIS PSORIASIS

advertisement
Damianus Journal of Medicine;
Vol.10 No.2 Juni 2011: hal. 86–90
DAMIANUS Journal of Medicine
TINJAUAN PUSTAKA
PERAN NIKOTIN ROKOK PADA PATOGENESIS PSORIASIS
Helen Suwardi*, F.X. Krisna Aditia*, Lorettha Wijaya**
ABSTRACT
*
Mahasiswa Sarjana Kedokteran,
Fakultas Kedokteran Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya.
**
Departemen Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran, Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya, Jl. Pluit
Raya No. 2, Jakarta 14440.
Psoriasis is a chronic hiperproliferative disorder. The proliferation is driven by
a complex cascade of inflammatory mediators. Genetic and environmental
factors are known to be involved in the manifestation and severity of psoriasis.
One of the environmental factors is smoking. Cigarette contains toxic materials, such as nicotine, which is suspected to have a role in the pathogenesis of
psoriasis. Based on some studies, nicotine has some different mechanisms
that can affect the body's immune system. It is thought to aggravate psoriasis
through induction of dendritic cells as antigen presenting cells which trigger T
cell proliferation and production of proinflammatory cytokine interleukin-2,
enhancement of Th1 cell response, and accumulation of neutrophils. Nicotine
also causes keratinocytes' differentiation and upward migration faster than
normal. But, there are some controvercial arguments about the effect of nicotine on T cell. Chronic nicotine exposure may affect the transduction signal
pathway mediated by T cell receptor. This causes Ca2+ store depletion so that
T cell can not enter synthesis phase of cycle cell proliferation which then
inhibites inflammatory response. So, there is still disagreement about the role
of nicotine in the pathogenesis of psoriasis.
Key words: psoriasis, immune system, cigarette smoke, nicotine
PENDAHULUAN
Psoriasis merupakan penyakit kulit kronik dengan
bentuk lesi yang khas berupa penebalan epidermis yang
disebabkan oleh turn over epidermis yang terlalu cepat,
yang dimediasi oleh sel T dan melibatkan produksi
berlebihan dari sitokin proinflamasi dan kemokin seperti
Tumor Necrosis Factor- (TNF-), Interleukin-2 (IL-2),
IL-6, IL-8, and Interferon- (IFN-).1,2 Faktor genetika
merupakan salah satu penyebab kondisi tersebut.
Selain itu, faktor tertentu juga dapat mencetuskan atau
memperburuk psoriasis, seperti merokok.3
Merokok merupakan suatu kebiasaan yang telah lama
ada di masyarakat. Saat ini, prevalensi merokok di Indonesia sebesar 57% dan menduduki peringkat ke-5
di antara negara-negara di dunia. Berdasarkan data
dari WHO pada tahun 2008, di Indonesia terdapat 65,9%
laki-laki dan 4,5% wanita yang merokok.4
Selama 14 tahun penelitian Nurses Health Study II,
terdapat 887 kasus psoriasis. Dibandingkan dengan
wanita yang tidak pernah merokok, risiko psoriasis 37%
lebih tinggi pada mantan perokok (RR=1,37; 95% CI
86
[1,17-1,59]) dan 78% lebih tinggi pada perokok yang
masih aktif merokok (RR=1,78; 95% CI [1,46-2,16]).
Hasil studi yang telah dipublikasikan dalam American
Journal of Medicine November 2007 tersebut juga
menemukan bahwa pasien psoriasis yang juga
perokok menderita psoriasis yang lebih berat.5
Menurut Setty AR, dkk rokok mengandung banyak material toksik, salah satunya nikotin, yang dapat berpengaruh pada imunopatogenesis dari psoriasis.6 Naldi,
dkk juga mengemukakan bahwa paparan terhadap
nikotin dalam rokok berpengaruh pada psoriasis. 7
Berdasarkan fakta-fakta di atas, penulis tertarik untuk
melakukan tinjauan kepustakaan tentang peran nikotin
dalam rokok pada timbulnya psoriasis.
PSORIASIS
Psoriasis terjadi melalui interaksi antara gen pembawa
dan faktor lingkungan. Gen-gen yang berkaitan dengan
timbulnya psoriasis adalah PSORS1 sampai PSORS9.
Gen mayor yang paling berperan pada psoriasis adalah
PSORS1, yang terletak pada regio Major Histocom-
Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011
Peran nikotin rokok pada patogenesis psoriasis
patibility Complex (MHC) di kromosom 6p.8 Pada regio
MHC tersebut terdapat lokus yang mengkode HLACw6, yang dianggap memiliki peran dalam penyajian
antigen dan regulasi natural killer-cell.9,10
11) berinteraksi dengan membrana basalis (kolagen
IV) sehingga bermigrasi ke epidermis.10 Selain itu
adanya IL-8 yang dihasilkan oleh keratinosit menyebabkan perpindahan sel T dari dermis ke epidermis.11
Beberapa peneliti melaporkan adanya penggunaan
terbatas dari gen variabel reseptor sel T pada lesi psoriatik, yang menandakan adanya respon antara sel T
dengan antigen spesifik.8 Antigen spesifik untuk psoriasis, yang sampai saat ini masih belum dapat diindentifikasi, ditangkap oleh sel Langerhans di epidermis.
Sel Langerhans bertindak sebagai sel penyaji antigen
(Antigen Presenting Cell/APC). Sel Langerhans yang
mengikat antigen tersebut kemudian bermigrasi ke limfonodus terdekat. MHC kelas II yang ada pada sel Langerhans mengekspresikan antigen tersebut ke permukaan sel, lalu menyajikan antigen tersebut pada
naive T cell (CD45RA+) melalui reseptor sel T (T Cell
Receptor/TCR).11 Hal tersebut membuat sel T teraktivasi
membentuk sel T memori (CD45RO+).8 Selain itu dihasilkan pula sitokin IL-2 yang menyebabkan proliferasi
sel T.11
Paparan selanjutnya dari APC dan antigen spesifik
psoriasis pada sel T yang berada di lapisan epidermis
menyebabkan terjadinya reaktivasi sel T (Th1 dan
Th17). Reaktivasi sel T menyebabkan sekresi IFN-
dan Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-a).10,11
Sel T yang teraktivasi tersebut bermigrasi ke daerah
inflamasi dan dalam perjalanannya terikat dengan sel
endotel vena akibat adanya E-selectin yang dihasilkan
oleh sel endotel vena. Dengan adanya ikatan tersebut,
sel T lebih banyak terpapar dengan kemokin yang
diproduksi oleh sel endotel, sehingga afinitas dari Lymphocyte function-associated antigen 1 (LFA-1) terhadap
Inter-Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) meningkat.
Peningkatan afinitas tersebut menyebabkan bentuk dari
sel T lebih datar dan mudah keluar dari vena menuju
ke lapisan dermis maupun epidermis.11
Faktor lingkungan juga dapat mencetuskan terjadinya
stres pada sel kulit (epidermis), menyebabkan keratinosit memproduksi peptida antimikroba LL-37 cathelicidin
dan bergabung dengan DNA sel melalui Toll-like receptor 9 (TLR-9), membentuk kompleks DNA-LL-37.11
Kompleks DNA ini menyebabkan aktivasi sel dendritik
plasmasitoid yang memproduksi IFN- sehingga sel
dendritik mieloid teraktivasi menjadi sel dendritik dermis. Sel dendritik dermis kemudian bermigrasi ke limfonodus terdekat dan menginduksi diferensiasi naive T
cell menjadi sel Th 1 melalui IL-12 dan Th17 melalui IL23.10
Sel T dan sel dendritik berkelompok membentuk struktur
seperti limfoid di sekitar pembuluh darah karena pengaruh dari CCL19 yang dihasilkan oleh makrofag di
dermis. Sel T yang berada di dermis (melalui integrin

IFN-menyebabkan hiperproliferasi keratinosit,
selanjutnya keratinosit memproduksi (1) sitokin
IL-7.9 (2) IL-8 berperan dalam akumulasi neutrofil.9
(3) IL-12 bersama IL-18 memiliki efek sinergis untuk
meningkatkan produksi IFN-. 9 (3) IL-15
merangsang sel T CD8+ untuk memproduksi IL2.9,10 (4) IL-15 dan IL-2 menyebabkan proliferasi
sel T CD8+ 12 dan IL-15 berperan merekrut sel
inflamasi, angiogenesis, dan memproduksi sitokin
(IFN-,TNF-, IL-17).12 Peptida antimikroba, contohnya LL-37 cathelicidin dan -defensins.10

TNF- juga menyebabkan hiperproliferasi keratinosit dan menginduksi sel dendritik.9 Sel dendritik
menghasilkan (a) IL-12 dan IL-18.9 (b) IL-15.9 (c)
IL-20.13 (d) IL-23 yang berguna untuk mempertahankan dan merangsang sel T CD4+ memproduksi IL-17 dan IL-22 untuk proliferasi keratinosit
maupun mempertahankan hemostatis sel T CD8+
yang berperan dalam terjadinya inflamasi kronis.9
Di lain pihak TNF- juga diproduksi oleh sel dendritik,
keratinosit, makrofag, dan sel mast.13 Sedangkan IFN juga diproduksi oleh sel NK (Natural Killer).13
IFN- dan TNF- menginduksi ekspresi protein adhesi
di permukaan keratinosit sehingga menarik leukosit
masuk ke daerah inflamasi dan menimbulkan kerusakan langsung pada keratinosit. Hal ini selanjutnya memicu terjadinya mekanisme injury-repair response.14
Mekanisme tersebut berdampak pada terjadinya hiperplasia keratinosit. Keratinosit, fibroblas, dan sel endotel
bersama-sama memberikan kontribusi terhadap
reorganisasi dari jaringan kulit dengan aktivasi sel
endotel dan proliferasi serta deposisi dari matriks
ekstraseluler (kolagen dan proteoglikan).14
NIKOTIN
Nikotin merupakan komponen bioaktif utama dari
rokok.15 Pada saat merokok, nikotin akan masuk melalui inhalasi asap rokok menuju paru-paru, menembus
dinding alveoli, dan masuk ke dalam kapiler darah
Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011
87
DAMIANUS Journal of Medicine
dengan cara berdifusi. Nikotin kemudian beredar secara
sistemik di dalam tubuh.16,17 Proses ini terjadi dalam
waktu singkat, yaitu dalam 10 sampai 15 detik setelah
menghisap rokok.17 Sifat nikotin yang lipofilik menyebabkan akumulasi yang berbeda pada masing-masing
jaringan dan pada jaringan tertentu dapat melebihi
konsentrasi pada serum. Perbedaan konsentrasi ini
menyebabkan nikotin memiliki pengaruh yang berbeda
pada setiap jaringan.16,18
Efek primer yang ditimbulkan oleh nikotin diperantarai
leh reseptor. Nikotin bekerja sebagai agonis terhadap
nicotinic acetylcholine receptors (nAChRs), yang terutama ditemukan pada sistem saraf pusat dan perifer,
serta pada berbagai macam sel di tubuh, seperti sel
dendritik, sel T, sel B, keratinosit, sel endotel dan makrofag.16 Tujuh belas subunit nAchRs (1-10, 1-4,
, , dan ε) telah diidentifikasi. Subunit-subunit tersebut
membentuk subtipe reseptor homopentamerik dan
heteropentamerik. Subtipe nAchRs memiliki sensitivitas berbeda-beda dalam hal aktivasi dan desensitisasi. Hal ini ditunjukkan melalui perbandingan antara
subtipe reseptor nAChRs 7 dengan subtipe reseptor
nAChRs 3/4. Subtipe reseptor nAChRs 7 terbuka
dengan konsentrasi nikotin yang rendah, kemudian
dengan cepat terdesensitisasi, namun dapat kembali
seperti semula secara perlahan-lahan. Sedangkan
subtipe reseptor nAChRs 3/4 relatif tidak sensitif
terhadap konsentrasi nikotin yang rendah, tidak cepat
terdesensitisasi, dan dengan cepat berfungsi kembali
ketika dosis nikotin diturunkan. Oleh karena itu, efek
nikotin pada tubuh selain ditentukan oleh durasi
pemaparan dan konsentrasinya, juga ditentukan oleh
sensitivitas dan ekspresi yang berbeda-beda dari tiap
subtipe nAchRs.15
Peran nikotin pada sel dendritik dan sel T
Penelitian Aicher, dkk menyebutkan bahwa nikotin
dosis rendah menginduksi ekspresi molekul kostimulator, MHC II, dan molekul adhesi pada sel dendritik,
kemudian menyebabkan ekspresi antigen pada
permukaan sel dendritik dan menyajikan antigen tersebut pada naive T cell di limfonodus. Hal tersebut
membuat naive T cell teraktivasi, proliferasi sel T, pelepasan sitokin proinflamasi (IL-12), dan pembentukan
sel T memori.7,19 Kemampuan nikotin dalam menstimulasi APC untuk menginduksi proliferasi sel T dan
sekresi sitokin juga ditemukan dalam reaksi campuran
limfosit dengan pemeriksaan antigen spesifik.7
Peran nikotin dalam menstimulasi atau mensupresi pro-
88
liferasi sel T masih dipertentangkan. Di atas telah disebutkan bahwa nikotin melalui perannya pada sel dendritik dapat menyebabkan proliferasi sel T sesuai dengan yang terjadi pada psoriasis, akan tetapi Sopori,
dkk mengemukakan hal yang bertentangan. Stimulasi
sel T oleh antigen melalui TCR secara langsung menghasilkan sinyal bagi sel T dengan cara pembentukan
sinyal transduksi sitoplasmik dan aktivasi gen pada
nukleus. Pada level pembentukan sinyal transduksi sitoplasmik, terjadi stimulasi aktivitas protein tirosin kinase yang menyebabkan aktivasi fosfolipase C-1 yang
memecah fosfatidilinositol bifosfat menjadi inositol1,4,5-trifosfat (IP3) dan diasilgliserol. IP3 meningkatkan
level Ca2+ intrasel dengan cara menstimulasi pelepasan
Ca2+ dari cadangan Ca2+ yang sensitif IP3 (retikulum
endoplasma). Peningkatan Ca2+ intrasel merupakan sinyal penting bagi sel T untuk memasuki fase sintesis
dari fase G0/G1 pada suatu siklus sel. Berdasarkan
penelitian Sopori dkk, paparan nikotin secara kronik
pada sel T menyebabkan peningkatan level IP3 intrasel
secara konstan sehingga cadangan Ca2+ yang sensitif
IP3 menurun. Hal ini menyebabkan sel T tidak dapat
lagi memakai Ca2+ untuk memasuki fase sintesis dan
berproliferasi.20
Peran nikotin pada sel Th2
Menurut Pross S, dkk nikotin menghambat fungsi sel
Th2 sehingga memungkinkan terjadinya respon sel
Th1.17 Pada psoriasis, Th1 berperan dalam produksi
IFN- dan TNF- yang dapat menyebakan hiperproliferasi keratinosit, menginduksi sel dendritik, dan pelepasan berbagai sitokin maupun kemokin lainnya.9,10,11
Peran nikotin pada neutrofil
Pada psoriasis juga didapatkan akumulasi neutrofil pada stratum korneum dan spinosum. Nikotin menyebabkan akumulasi neutrofil dengan cara mensupresi
proses apoptosis sehingga meningkatkan usia neutrofil.17 Nikotin juga dapat memediasi kemotaktik
neutrofil melalui nAChRs 7.21
Peran nikotin pada keratinosit
Pada psoriasis didapatkan proses mitosis dan migrasi
sel-sel epidermis yang lebih cepat dari stratum basalis ke stratum korneum. Nikotin juga dapat mempengaruhi keratinosit melalui stimulasi pada nAChRs
yang ada di permukaan keratinosit.22 Keratinosit mengekspresikan nAChRs 5 dan nAChRs 7 yang memiliki
permeabilitas yang tinggi terhadap Ca2+. Berdasarkan
hasil penelitian, nikotin dapat meningkatkan transpor
Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011
Peran nikotin rokok pada patogenesis psoriasis
Ca2+ transmembran (influks Ca2+) dan perubahan level
Ca2+ intrasel. Hal tersebut kemudian menyebabkan perubahan pada jalur sinyal sel (cell signaling pathway)
yang berakibat pada peningkatan laju diferensiasi keratinosit.7,22 Efek nikotin tersebut bergantung pada konsentrasi nikotin, yang bermakna signifikan pada konsentrasi 1,0 µM atau lebih. Namun, pada konsentrasi
nikotin yang lebih tinggi (dalam mM) dapat bersifat toksik dan menyebabkan kematian keratinosit. Stimulasi
konstan jalur nikotinik tersebut dapat mengontrol adhesi
dan migrasi upward keratinosit di epidermis, serta
mening-katkan jumlah nAChRs pada keratinosit.22 Jadi,
efek nikotin pada konsentrasi tertentu pada keratinosit
sama seperti patogenesis psoriasis, dimana terjadi peningkatan laju diferensiasi dan migrasi upward keratinosit yang dapat memperberat psoriasis.
4.
57% Penduduk Indonesia merokok! Diunduh dari:
h t t p : / / w w w . p d p e r s i . c o . i d /
?show=detailnews&kode=4209&tbl=cakrawala [1
April 2007].
5.
Medical News Today - New study shows smoking
increases risk of psoriasis. Diunduh dari: http://
www.medicalnewstoday.com/articles/86785.php [29
Oktober 2007].
6.
Naldi L, Chatenoud L, Linder D, Fortina AB, Peserico
A, Virgili AR, et al. Cigarette smoking, body mass
index, and stressful life events as risk factors for
psoriasis: result from Italian case-control study. J
Invest Dermatol. 2005; 125:61-7.
7.
Schön MP, Boehncke WH. Psoriasis. N Engl J Med.
2005;352:1899-12.
8.
Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. Di dalam: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editor. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. Ed ke-7. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. hlm.169-93.
9.
Nestle FO, Kaplan DH, Barker J. Psoriasis. N Engl J
Med. 2009;361:496-509.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, nikotin dalam rokok
dapat meningkatkan inflamasi melalui perannya pada
sel dendritik, sel Th2, dan neutrofil, serta dapat meningkatkan proliferasi keratinosit. Namun, mekanisme bagaimana nikotin dalam rokok dapat berperan pada timbulnya psoriasis juga masih belum jelas dan masih belum
dimengerti secara menyeluruh karena tidak ada kepustakaan yang menyebutkan bahwa nikotin dapat berperan sebagai antigen spesifik pada timbulnya psoriasis. Selain itu, peran nikotin pada proliferasi sel T masih
dipertentangkan, dimana sebagian pendapat mengemukakan bahwa melalui peran nikotin pada sel dendritik
menginduksi terjadinya proliferasi sel T, tetapi pendapat
lain mengemukakan bahwa nikotin menyebabkan penurunan cadangan Ca2+ intrasel sehingga mensupresi proliferasi sel T. Di samping itu, penelitian mengenai peran
nikotin pada sel-sel imun dilakukan secara in vitro dan
in vivo pada hewan percobaan, sehingga masih terdapat
kemungkinan perbedaan hasil penelitian bila dilakukan
pada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Siregar RS. Psoriasis. Di dalam: Harahap M, editor.
Penyakit kulit. Jakarta: PT Gramedia; 1990. hlm. 17086.
2.
Setty AR, Curhan G, Choi HK. Smoking and the risk of
psoriasis in women: Nurses' health study II. American Journal of Nurses Health Study II.
2007;120:953-9.
3.
Merokok merupakan faktor potensial resiko psoriasis. Doctor's guide vol 2/I/januari-februari 2008.
Diunduh dari: http://www.indokter.com/?p=5 [20
Januari 2009]
10. Dermatology Times. Immunopathology of psoriasis.
Diunduh
dari:
http://
dermatologytimes.modernmedicine.com/
dermatologytimes/Allergy+&+Immunology/Immunopathology-of-Psoriasis/ArticleStandard/Article/detail/
62369 [1 Juli 2003].
11. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Di dalam:
Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editor. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Ed ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2005. hal 189-203.
12. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews' disease
of the skin clinical dermatology. Ed ke-10. Kanada:
Elsevier; 2006. hlm. 193-202.
13. Krueger JG, Bowcock A. Psoriasis pathophysiology:
current concepts of pathogenesis. Brithish Med J.
2005;64:ii30-ii36.
14. Skok MV, Kalashnik EN, Koval LN, Tsetlin VI,
Changeux JP, Utkin YN, et al. Functional nicotinic acetylcholine receptors are expressed in B lymphocytederived cell lines. Mol Pharmacol. 2003; 64:885-89.
15. Pross S, Friedman H. Nicotine and immunity. Di
dalam: Friedman H et al, editor. Infectious disease
and substance abuse. Ed ke-1. New York: Springer
Science+Business Media; 2005. hal 77-92.
16. Hukkanen J, Jacob P, Benowitz NL. Metabolism and
disposition kinetics of
nicotine. Pharmacol
Rev. 2005; 57: 79-115. Diunduh dari: http://
pharmrev.aspetjournals.org/ content/57/1/79.full.
17. Gahring LC, Rogers SW. Neuronal nicotinic acetylcholine receptor expression and function on
nonneuronal cells. The APPS Journal. 2006; 7(4):86.
Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011
89
DAMIANUS Journal of Medicine
18. Robert C, Kuppper TS. Inflammatory skin disease, t
cells, and immune surveillance. N Engl J Med.
2010;341:24.
19. Sopori ML, Boroujerdi SR, Singh SP.
Immunomodulatory effects of cigarette smoke/nicotine. Di dalam: Friedman H et al, editor. Infectious
disease andsubstance abuse. Ed ke-1. New York:
Springer Science+Business Media; 2005. hal 10309.
90
21. Chernyavsky AI, Arredondo J, Marubio LM, Grando
SA. Differential regulation of keratinocyte chemokinesis and chemotaxis through distinct nicotinic receptor subtypes. Journal of Cell Science. 2004;
117:5665-79.
22. Grando SA, Horton MR, Mauro TM, Kist DA, Lee TX,
Dahl MV. Activation of keratinocyte nicotinic cholinergic receptors stimulates calcium influx and enhance cell differentiation. J Invest Dermatol. 1996;
107:3.
Dam J Med Volume 10, Nomor 2, 2011
Download