Laporan Kasus DEPRESI PADA ANAK DENGAN PSORIASIS Nindita Hapsari Susanti,* Karunia Burhanudin Lubis,* Triana Agustin,* Siti Aisah Boediardja,* Imelda Wijaya,** Gitayanti Hadisukanto.** *Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin **Departemen Psikiatri FK Universitas Indonesia/ RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ABSTRAK Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan plak eritematosa berbatas tegas, ukuran bervariasi, dengan skuama putih, tebal, dan berlapis. Psoriasis dapat menyebabkan tekanan emosi yang cukup berat. Anak-anak dan remaja dengan psoriasis memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kelainan psikiatri, terutama depresi dan ansietas. Anak perempuan usia 8 tahun, dengan psoriasis sejak 7 bulan lalu, mendapat terapi liquor carbonis detergens 3% dan asam salisilat 3% dalam vaselin album, serta kortikosteroid topikal potensi sedang. Sebelumnya, ia adalah anak yang ceria, mudah bergaul, dan pintar. Pasien kini enggan bergaul dengan teman sebayanya, sulit diajak bicara, dan kadang berteriak tanpa sebab ya ng jelas. Pa sie n sering die jek ka ren a k ela ina n k ulitny a d an dia ngg ap men ula r. Untuk me nutupinya , p asien selalu me nge nak an pak aia n p anjang da n k eru dun g. Dia gno sis da ri Departemen Psikiatri adalah gangguan penyesuaian dengan depression mood. Pasien mendapat psikoterapi suportif setiap minggu dan antidepresan fluoksetin 10 mg setiap hari, dengan hasil perbaikan bermakna. Penting sekali untuk mengenali gejala gangguan jiwa pada pasien psoriasis. Manajemen tidak hanya pada gejala psoriasis, namun juga pemantauan dan tatalaksana terhadap kejiwaan anak. Penanganan psikiatri yang tepat akan meningkatkan kepatuhan dalam berobat, hasil terapi, dan kualitas hidup pasien.(MDVI 2011;38/4:166 -170) Kata kunci: psoriasis, anak, depresi, kualitas hidup. ABSTRACT Korespondensi : Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp. 021 - 31935383 Email: [email protected] 166 Psoriasis is a chronic disease characterized by red plaques, variable in size, covered with white thick scales. Psoriasis may cause a severe emotional pressure for the patient. Children and adolescents with psoriasis have a higher risk of developing psychiatric disorders, especially depression and anxiety, than those without this skin condition. A eight year-old girl, with psoriasis since she 7 months ago. She was treated with liquor carbonis detergens 3%, salysilic acid 3% ointment, and medium potency topical steroid. Before the skin lessions widened, she was a happy, friendly, and smart girl. She now hardly ever talks, likes to shout, and refuses to interact with her peers. Her friends often make fun of her skin lessions and said that it is contagious. To cover the lessions, she always wear long clothes and head veil. Assesment from Psychiatric Department was adaptation disturbance with depression mood. She received weekly supportive psychotherapy and antidepressant medication, fluoxetine 10 mg daily. It is important to monitor and recognize psychological disorders in psoriasis patients. The management is not only for psoriasis symptoms, but also for patients psychiatric conditions. If the psychiatric comorbidities are well managed, it will contribute to better result of psoriasis management, through increased compliance and adherence, and patient's quality of life.(MDVI 2011; 38/4:166 -170) Keywords: psoriasis, child, depression, quality of life Nindita Hapsari Susanti dkk. PENDAHULUAN Kulit merupakan organ terbesar dan terlihat yang berperan dalam citra diri seseorang. Penyakit pada kulit cenderung membuat orang lain memandang rendah dan sering menyebabkan rasa kurang percaya diri.1 Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan plak eritematosa berbatas tegas, ukuran bervariasi, dengan skuama putih, tebal, berlapis di atasnya. 2 Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal dengan penetrans di populasi umum sebesar 1-3%.1 Tiga puluh persen awitan gejala psoriasis muncul pada masa kanak-kanak dan dewasa muda.3 Anak-anak dan remaja dengan psoriasis memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kelainan psikiatri, terutama depresi dan ansietas.4 Berbagai faktor, antara lain genetik, infeksi fokal, trauma, rokok, alkohol, dan diet dapat mencetuskan atau meyebabkan kekambuhan psoriasis.5 Faktor psikosomatik, yaitu kejadian yang berakibat stres emosi pada pasien, diduga memiliki peran dalam terjadinya eksaserbasi, terutama pada pasien anak. 6 Dukungan moral dari orang-orang terdekat akan membantu pasien dalam menghadapi tekanan yang dialami, dan akan meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh.7 Masa kanakkanak dan remaja adalah periode penting perkembangan jati diri. Awitan penyakit pada periode tersebut dapat meningkatkan risiko berkembangnya gangguan emosi yang serius.4 Pedikulosis kapitis merupakan penyakit kutu rambut yang dapat menyerang anak dan dewasa yang bersifat menular. Penularan terjadi melalui kontak langsung akibat tidur bersama, ataupun tidak langsung akibat kontak dengan handuk, topi, bantal, kasur, dan sisir.8 KASUS Seorang anak perempuan berusia 8 tahun duduk di sekolah dasar kelas 3 menderita psoriasis sejak 7 bulan sebelum pasien datang ke rumah sakit. Pasien juga mengeluh gatal di kepala sejak satu minggu yang lalu. Melalui anamnesis dengan ayah pasien, didapat informasi bahwa keluhan awalnya berupa bercak merah kecil di paha, yang terkadang disertai rasa gatal. Lesi kulit meluas ke kedua lengan, punggung, dan kedua tungkai sejak 4 bulan terakhir. Pasien sudah berobat ke beberapa dokter spesialis kulit dan kelamin, serta mendapat terapi topikal, namun tidak ada perbaikan. Lima bulan yang yang lalu pasien pindah sekolah akibat sering dicubit oleh guru karena tidak hapal perkalian. Pasien tinggal di rumah nenek, karena sekolah baru pasien dekat dengan lokasi tempat tinggal neneknya. Pasien tinggal bersama nenek, paman, bibi, dan adik sepupunya. Pada akhir pekan pasien menginap di rumah orang tuanya. Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, kedua adik pasien berusia 4 tahun dan 8 bulan. Ketika sedang Depresi pada anak dengan Psoriaris hamil anak ketiga, ibu pasien baru menyadari bahwa dirinya hamil pada usia kandungan 8 bulan. Kelahiran adik ketiga membuat pasien khawatir perhatian kedua orangtua terhadap dirinya akan berkurang. Sejak lesi kulitnya meluas pasien dilarang bermain di luar atau di warung milik keluarga oleh kedua orang tuanya, karena khawatir kelainan kulit terlihat para pelanggan dan tetangga. Di sekolah, pasien sering diejek dan dijauhi oleh teman-temannya, karena dianggap berpenyakit kulit menular. Pasien menjadi pendiam, sering menangis, menolak pergi ke sekolah, dan mengalami penurunan nilai pelajaran. Pasien tidak kooperatif dalam berkomunikasi dengan dokter, terkadang diam bila ditanya, dan berteriak ketika menjawab. Pasien menolak untuk diperiksa seluruh kulitnya sehingga kulit yang dapat diperiksa hanya pada kedua punggung tangan, berupa papul eritematosa dan plak eritematosa ukuran numular multipel diskret sebagian dengan skuama putih, kasar, dan berlapis di atasnya. Terdapat fenomena tetesan lilin, namun pasien menolak ketika akan dilakukan uji fenomena Auspitz. Di rambut pasien juga terlihat adanya telur kutu. Pasien menggunakan sisir yang sama bersama dengan anggota keluarga lainnya. Pasien didiagnosis dengan psoriasis vulgaris dan pedikulosis kapitis disertai gangguan emosi. Pasien dan ayahnya diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa krim flusinolon asetonid dioleskan pagi dan siang hari, liquor carbonis detergens 3%, asam salisilat 3% dalam vaselin album dioleskan malam hari. Terapi medikamentosa untuk pedikulosis kapitis ditunda dulu, karena pasien menolak untuk diperiksa kulit kepalanya, dan dikhawatirkan ada luka pada kulit kepala akibat garukan. Sehingga pasien disarankan untuk menyisir rambut dengan sisir serit setiap malam. Pasien juga dikonsultasikan ke Divisi Anak Departemen Psikiatri. Diagnosis dari Divisi Anak Departemen Psikiatri adalah gangguan penyesuaian dengan depression mood. Terapi medikamentosa yang diberikan adalah fluoksetin 10 mg, diminum pagi hari. Terapi nonmedikamentosa berupa psikoterapi suportif 1 minggu sekali. Keluarga pasien, yaitu orang tua dan nenek pasien juga diberi penjelasan mengenai kondisi kejiwaan pasien akibat adanya berbagai tekanan emosi. Keluarga pasien dianjurkan untuk memberi dukungan kepada pasien, dan tidak "menyembunyikan" pasien dari lingkungan sekitar. Keluarga pasien juga diminta untuk memberi informasi kepada guru di sekolah bahwa penyakit psoriasis tersebut tidak menular. Ketika pasien datang kontrol satu minggu kemudian, pasien mengenakan baju lengan panjang dan kerudung untuk menutupi kepala dan lesi kulitnya. Informasi dari ayah pasien, tidak terlalu banyak perbaikan pada lesi kulit, karena obat tidak dioleskan secara teratur. Menurut ayah pasien, rambut hampir selalu disisir menggunakan sisir serit, namun masih ada keluhan gatal di kulit kepala, dan terdapat beberapa luka lecet di kulit kepala akibat garukan. Pasien 167 MDVI masih menolak untuk diperiksa seluruh kulit dan kepalanya. Terapi kulit masih dilanjutkan dan ditekankan pada edukasi untuk mengoleskan obat yang diberikan sesuai petunjuk dokter. Hasil evaluasi setelah satu minggu dari Divisi Anak Departemen Psikiatri juga belum menunjukkan banyak perubahan, pasien terkadang masih sedih, dan ingin segera sembuh. Psikomotor pasien tenang, namun pembicaraan masih kurang spontan, dengan volume suara tidak teratur, dan mood pasien masih mudah tersinggung dengan afek disforik. Terapi masih terus dilanjutkan. Ketika pasien datang kontrol minggu ketiga pasien mulai bersedia untuk diperiksa kulitnya. Lesi kulit di kedua punggung tangan, perut, punggung, dan kedua tungkai berupa papul eritematosa dan plak eritematosa ukuran numular multipel diskret sebagian dengan skuama putih, kasar, dan berlapis di atasnya (Gambar 1a dan 2a). Namun obat kulit belum dioleskan secara teratur. Keluhan gatal di kulit kepala juga sudah berkurang. Edukasi dan motivasi terus diberikan kepada pasien untuk mengoleskan obat secara teratur. Evaluasi terapi minggu keempat dilakukan di rumah nenek pasien. Kondisi kulit pasien telah mengalami banyak perbaikan. Tidak ada lesi baru yang timbul, kemerahan, sisik, dan gatal sudah banyak berkurang (Gambar 1b dan 2b). Pasien mengoles obat yang diberikan dengan teratur, dibantu oleh nenek atau orang tuanya. Setelah lesi psoriasis di kulit kepala sudah tipis dan lecet di kulit kepala sudah sembuh, nenek pasien berinisiatif sendiri mengobati kulit kepala pasien dengan larutan heksaklorosikloheksan 0,5% yang didiamkan selama 8 jam, dan dilakukan dua hari berturut-turut. Larutan heksaklorosikloheksan 0,5% juga dioleskan kepada keluarga pasien serumah. Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 166 -170 Gambar 1b Setelah pasien mengunakan obat dengan teratur sesuai petunjuk, tampak perbaikan lesi psoriasis, plak eritematosa sudah lebih tipis, berbatas difus, walau masih terdapat skuama putih, kasar, dan berlapis pada beberapa lesi Gambar 2a Sebelum pasien menggunakan obat secara teratur, pada kedua punggung tangan tampak plak eritematosa ukuran numular multipel diskret sebagian dengan skuama putih, kasar, dan berlapis di atasnya Gambar 1a Sebelum pasien menggunakan obat secara teratur, pada punggung tampak plak eritematosa ukuran numular multipel diskret sebagian dengan skuama putih, kasar, dan berlapis di atasnya 168 Gambar 2b Setelah pasien menggunakan obat dengan teratur sesuai petunjuk, tampak perbaikan lesi psoriasis, plak eritematosa sudah lebih tipis, berbatas difus, walau masih terdapat skuama putih, kasar, dan berlapis pada beberapa lesi. Nindita Hapsari Susanti dkk. BAHASAN Anak adalah kelompok yang rentan untuk terpengaruh kualitas hidupnya karena anak mengalami berbagai perubahan pada fase hidupnya. Penyakit kulit pada anak terutama yang bersifat residif kronis, misalnya psoriasis, dapat menimbulkan tekanan mental dan mempengaruhi kualitas hidup. Selain dapat menggunakan hubungan sosial anak dengan keluarga dan teman-temannya, hal ini dapat mengganggu aktivitas belajar, bermain, berolah raga, serta mengganggu kondisi psikis pasien.9 Survei yang dilakukan oleh National Psoriasis Foundation di Amerika Serikat pada tahun 2002 menunjukkan bahwa 70% pasien psoriasis merasa tertekan akibat penyakitnya. Pasien anak-anak atau yang berusia lebih muda lebih merasa terpengaruh dibandingkan dengan pasien dewasa, karena lebih sering disisihkan, diejek, dan direndahkan oleh teman-temannya. Tekanan mental dapat terjadi pada pasien penyakit kulit, terutama yang bersifat kronis residif misalnya psoriasis. Stres emosi pada pasien psoriasis juga dapat mengakibatkan kekambuhan lesi psoriasis.10 Kecurigaan adanya tekanan psikis pada pasien ini disebabkan karena kedatangan pasien ke poliklinik dengan baju muslim dan berkerudung untuk menutupi lesi kulitnya dan pasien menolak untuk diperiksa rambut dan kulitnya. Pasien sulit diajak bicara, sering diam, marah bila ditanya, dan menurut ayah pasien, pasien juga menolak untuk bergaul dengan teman-teman seusianya dan malas bersekolah. Diagnosis depresi pada pasien ini ditegakkan berdasarkan dua kriteria mayor berupa hilangnya minat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, mudah teriritasi dan satu kriteria minor berupa sulit tidur.11 Pasien ini mengalami berbagai peristiwa yang menimbulkan tekanan emosi pada dirinya, antara lain kepindahan dirinya ke sekolah baru, kelahiran adik bungsu yang mendadak, dan stigma yang didapat tidak hanya dari teman-temannya, namun juga dari kedua orangtuanya sendiri. Orangtua memindahkan pasien ke rumah neneknya dan melarang pasien untuk bermain karena khawatir lesi kulitnya terlihat para pelanggan warung dan tetangga. Hal tersebut menambah beban emosi pasien dan dapat menjadi penyebab meluasnya lesi psoriasis. Terapi depresi bersifat individual, bergantung pada hasil pertimbangan evaluasi anak dan keluarganya. Psikoterapi pada umumnya dilakukan pada anak, orangtua, dan sekolah untuk memperpendek episode depresi. Pada anak dengan depresi, pengembangan kognitif dan emosi merupakan intervensi psikoterapetik yang harus dibangun. Farmakoterapi yang diberikan pada pasien ini adalah fluoksetin merupakan menghambat reuptake serotonin di sistem saraf pusat yang indikasi utamanya adalah untuk gangguan depresi.12 Pedikulosis kapitis adalah infeksi kulit kepala pada manusia yang disebabkan oleh parasit obligat Pediculosis Depresi pada anak dengan Psoriaris hominis varian capitis. Gejala awal berupa gatal, terutama pada daerah oksiput dan temporal serta dapat meluas ke seluruh kepala. Kemudian karena garukan dapat terjadi erosi, ekskoriasi, dan infeksi sekunder. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kutu atau telur di kepala atau rambut. Pengobatan bertujuan memusnahkan semua kutu dan telur serta mengobati infeksi sekunder.14 Pengobatan pedikulosis kapitis dilakukan pada seluruh anggota keluarga serumah karena mudahnya penularan terutama pada individu yang sering bertukar-pakai barang pribadi misalnya sisir atau kerudung. PENUTUP Penting sekali bagi seorang dokter spesialis kulit dan kelamin untuk mengenali sedini mungkin gejala gangguan jiwa pada pasien psoriasis. Konseling kepada keluarga untuk memberikan dukungan kepada anak dengan psoriasis sangat diperlukan untuk membantu anak dalam menghadapi tekanan emosi yang dialami.7 Tatalaksana yang efektif tidak hanya terhadap kelainan kulit, juga terhadap kelainan psikologis. Terapi suportif pada pasien dan keluarganya diperlukan guna meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan, sehingga meningkatkan hasil terapi, dan kualitas hidup pasien.13 DAFTAR PUSTAKA 1. Agwani S. Adoslescent depression and psoriasis. [Internet]. 2008. [Disitasi 1 April 2011]; Tersedia di http//priory.com/ psychiatry/child_depression_psoriasis_case.htm 2. Psoriasis. 2011. [Disitasi 1 April 2011] Tersedia di http// www.emedicinehealth.com/psoriasis/article_em.htm. 3. Brauser D. Children with psoriasis at risk of developing psychiatric disorders. [Internet]. 2008. [Disitasi 1 April 2011]; Tersedia di http//www.medscape.com. 4. Picardi A, Abeni D, Mazzoti E, Fassone G, Lega I, Ramieri l, et al. Screening for psychiatric disorders in patients with skin diseases: a performance study of the 12-item General Health Questionnaire. J Psychosomatic Research. 2004; 57: 219-23. 5. National Psoriasis Foundation - Psoriasis causes and known triggers.[Internet]. 2011. [Disitasi 1 April 2011]. Tersedia di http//psoriasis.org/netcommunity/sublearn01_pscauses. 6. Pavlosky l, Friedman A. Pathogenesis of stress-associated skin disorders: exploring the brain-skin axis. Curr Probl Dermatol. 2007; 35: 136-45. 7. Picardi A, Mazzotti E, Gaetano P, Cattaruzza M.S, Baliva G, Melchi C. F, et. al. Stress, social support, emotional regulation, and exacerbation of diffuse plaque psoriasis. Psychosomatics. 2005; 46(6): 556-64. 8. Kutu rambut atau pedikulosisKapitis. [Internet]. 2011 [Disitasi 31 Januari 2012]. Tersedia di http//klinikkesehatan.com/kuturambut-atau-pedikulosis-kapitis.htm. 9. De Jager MEA, Van De Kerkhof PCM. De Jong EMF, Seyger MMB. A cross-sectional study using the Children's Dermatol- 169 MDVI ogy Life Quality Index (CDLQI) in childhood psoriasis: negative effect on quality of life and moderate correlation of CDLQI with severity scores. Br J Dermatol. 2010; 163(5): 1099-101. 10. QoL Psoriasis. Psoriasis can have a tremendous effect on Quality of Life (QoL). [Internet]. 2011. [Disitasi 16 Desember 2011]. Tersedia di http//www.psoria-shield.com/psorias-quality-life-qol. 11. Referensi kesehatan. Depresi. [Internet]. 2008. [Disitasi 19 Januari 2012]. Tersedia di http//creasoft.wordpress.com/2008/ 04/19/depresi. 170 Vol. 38 No. 4 Tahun 2011; 166 -170 12. Rambe AM. Depresi pada anak. [Internet].2009. [Disitasi 19 januari 2012]. Tersedia di http//www.tempo.co.id/medika/arsip/ 042001/pus-3.htm 13. Renzi C, Picardi A, Abeni D, Agostini E, Baliva G, Pasquini P. M. et al. Association of dissatisfaction with care and psychiatric morbidity with poor treatment compliance. Arch Dermatol. 2002; 138: 337-42. 14. Pedikulosis. [Internet]. 2011. [Disitasi 31 Januari 2012]. Tersedia di http//wikimed.blogbeken.com/pedikulosis.