Excutive Summary Teknologi Informasi dan Fungsi Bisnis Implementasi teknologi informasi (TI) adalah suatu bentuk perubahan di dalam perusahaan atau organisasi. Dengan begitu, kita tidak bisa memisahkan persoalan teknis, yang terkait dengan TI, dengan persoalan non-teknis, seperti manajemen perubahan. Hal ini harus dipikirkan dan dicarikan solusinya secara komprehensif demi kesuksesan implementasi TI tersebut. Hanya saja, pengalaman menunjukkan bahwa seringkali suatu proyek implementasi TI menganggap manajemen perubahan sebagai persoalan sekunder, sehingga tidak dipikirkan dengan baik. Seringkali perhatian yang sangat serius diberikan hanya pada aspek teknis TI. Hal inilah yang berpotensi menggagalkan proyek implementasinya di berbagai perusahaan atau organisasi. Berbagai literatur menunjukkan setidaknya ada tiga jenis kesalahan (error) yang berkaitan dengan TI ini. Pertama, kesalahan teknis (technical error) yang berkaitan dengan kualitas teknis yang rendah. Kedua, kesalahan fungsional (functionality error) yang berkaitan dengan ketidaksesuaian antara fungsi teknologi dengan kebutuhan perusahaan atau organisasi. Ketiga, kesalahan manusia (human error) yang secara garis besar berkaitan dengan kemampuan (skill) dan kemauan (motivation) karyawan untuk menggunakan teknologi tersebut. Ketiga jenis kesalahan ini sudah harus dipikirkan sejak awal proyek implementasi tersebut dimulai. Tulisan ini akan memberikan perhatian khusus pada kesalahan ketiga, yaitu human error, yang terkait dengan kemampuan melakukan manajemen perubahan sejalan dengan implementasi TI dalam perusahaan. Galbraith, Downey, dan Kates dalam buku mereka yang berjudul “Designing Dynamics Organization” pada tahun 2002 mengungkapkan suatu model yang menggambarkan empat fase dalam desain organisasi. Inti dari model tersebut adalah, desain organisasi diturunkan dari strategi perusahaan atau organisasi. Jika terjadi suatu perubahan pada desain organisasi, maka itu sebagai akibat dari perubahan strategi. Jika ditelusuri lebih lanjut, perubahan strategi adalah akibat dari perubahan lingkungan bisnis, baik eksternal maupun internal perusahaan atau organisasi. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa terdapat empat komponen penting dalam desain organisasi, yaitu (1) struktur organisasi, (2) proses dan kemampuan, (3) sistem remunerasi, serta (4) manusia di organisasi itu sendiri. Di manakah letaknya TI? Ternyata mereka menempatkannya sebagai bagian dari proses dan kemampuan. Jika bersandar pada model Galbraith, Downey, dan Kates, maka kita dapat menyimpulkan bahwa implementasi TI di suatu perusahaan atau organisasi tidaklah sesuatu yang berdiri sendiri. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita simpulkan. Yakni, (1) Implementasi TI haruslah mengacu dan selaras dengan strategi bisnis perusahaan atau organiasi. (2) Implementasi TI sebagai bagian dari proses dan kapabilitas, harus memperhatikan proses dan kapabilitas itu sendiri, serta tiga komponen lainnya, yaitu struktur organisasi, sistem remunerasi, serta manusia di perusahaan atau organisasi. (3) Implementasi TI harus didahului oleh suatu rencana tindakan yang rinci, termasuk semua aspek yang berkaitan di luar TI itu sendiri. (4) Implementasi TI di suatu perusahaan atau organisasi berarti mengubah sesuatu di dalam perusahaan atau organisasi tersebut. Dengan Begitu, implementasi TI adalah suatu perubahan di dalam perusahaan atau organisasi, sehingga kita harus melihat model-model yang berlaku dalam manajemen perubahan. Menurut hemat penulis, model manajemen perubahan yang sangat baik diartikulasikan oleh John P. Kotter dengan delapan langkah manajemen perubahan seperti yang diungkapkan dalam bukunya yang berjudul “Leading Change” pada tahun 1996, serta Dean Anderson dan Linda Ackerman Anderson dengan sembilan langkah perubahan yang jika dirincikan menjadi 21 langkah perubahan, seperti yang mereka ungkapkan dalam buku berjudul “The Change Leader’s Roadmap” pada tahun 2001. Kotter mengungkapkan delapan langkah perubahan, yaitu (1) membangun situasi perlunya perubahan, (2) membangun koalisi atau kelompok kerja untuk perubahan, (3) membangun visi dan strategi untuk perubahan, (4) mengomunikasikan visi perubahan ke semua pihak di dalam perusahaan atau organisasi, (5) melakukan perubahan melalui pemberdayaan, (6) menciptakan kemenangan atau hasil baik jangka pendek, (7) melakukan konsolidasi dan melanjutkan perubahan yang diperlukan, dan (8) menanamkan pendekatan-pendekatan baru tersebut dalam budaya kerja. Lebih lanjut, Kotter mengungkapkan setidaknya ada tiga kemampuan yang dibutuhkan pemimpin perubahan, yaitu (1) kemampuan mendiagnosa kemungkinan-kemungkinan penolakan perubahan, (2) kemampuan menangani semua bentuk penolakan yang ada, serta (3) kemampuan memilih strategi untuk melakukan perubahan. Sedang Anderson dan Anderson mengungkapkan langkah-langkah yang jauh lebih rinci, walaupun pada prinsipnya sama dengan Kotter. Anderson dan Anderson mengungkapkan sembilan langkah perubahan, yaitu (1) melakukan persiapan untuk melakukan perubahan, (2) membangun visi, menciptakan komitmen di seluruh kalangan di dalam organisasi, serta membangun kapasitas untuk perubahan, (3) mempelajari situasi saat ini dengan rinci, (4) memformulasikan kondisi apa yang diinginkan oleh perubahan, (5) menganalisis dampak dari perubahan ini nantinya, (6) merencanakan dan mengorganisasikan perubahan, (7) melakukan perubahan, (8) menunjukkan dan merayakan kemenangan sebagai hasil perubahan, serta (9) mempelajari apa-apa yang penting selama perubahan berlangsung. Menurut hemat penulis, pada prinsipnya model perubahan John P. Kotter tidak berbeda jauh dengan model Dean Anderson dan Linda Ackerman Anderson. Perbedaan mendasar hanya terletak pada urutan langkah perubahan, sedang komponen-komponennya relatif hampir sama. Jika kita sepakat bahwa implementasi TI dalam perusahaan atau organisasi merupakan suatu bentuk perubahan, dan tunduk pada hukum-hukum manajemen perubahan, maka hal akan berimplikasi pada kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang manajer proyek TI. Manajer proyek TI juga harus membekali dirinya dengan kemampuan manajemen perubahan yang meliputi berbagai keahlian berikut: Kemampuan membangun koalisi dengan berbagai pihak atau unit kerja lainnya di dalam perusahaan. Jika tidak dilakukan, maka proyek TI yang dicanangkan akan mendapatkan dukungan yang kecil, atau bahkan tidak sama sekali, dan tentu saja ini menggiring proyek tersebut ke arah kegagalan. Koalisi diperlukan karena seperti konsep Galbraith, Downey, dan Kates, implementasi TI bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ini terkait dengan berbagai aspek lainnya di dalam perusahaan atau organisasi, sehingga seorang manajer proyek TI harus mendapatkan dukungan dari manajer lain, seperti manajer sumber daya manusia, manajer unit fungsional, dan tentunya manajemen puncak. Kemampuan mengomunikasi visi dengan baik. Mengapa kita perlu teknologi yang baru? Apa salahnya teknologi yang ada saat ini? Apa dampaknya terhadap bisnis? Keunggulan kompetitif apa yang dijanjikan teknologi baru tersebut? Bayangkan jika semua pertanyaan ini tidak terjawab, maka bisa dipastikan manajemen puncak perusahaan dan para manajer unit kerja lainnya akan menolak gagasan implementasi teknologi baru, apalagi memberi dukungan. Kemampuan memanajemeni tim lintas fungsional dengan baik. Jika selama ini seorang manajer proyek TI dianggap hanya cukup memiliki kemampuan memanajemeni tim yang terdiri dari para pekerja TI, maka sesungguhnya hal itu keliru. Proyek TI melibatkan berbagai pihak di dalam perusahaan, sehingga anggota timnya juga terdiri dari berbagai pihak dari unit-unit di dalam perusahaan atau organisasi. Karakteristik anggota tim ini tentu saja beragam, dan di sinilah manajer proyek TI dituntut keahliannya dalam mamanajemeni tim. Contoh Penerapan Implementasi TI di Perusahaan PT Asuransi Astra Buana Cermat Menakar Risiko Nasabah Menjadi pemain nomor satu dalam bisnis yang dinamis sungguh tak mudah. Namun, tidak bagi PT Asuransi Astra Buana (AAB). Untuk menggapai ambisi tersebut, mereka tanpa ragu menggelontorkan US$5 juta guna menerapkan core system: Genius (General Insurance Underwriting System). Lewat sistem ini, menurut Jeny Mustopha, IT head division AAB, kelak seluruh informasi mengenai nasabah bisa dikonsolidasikan secara terpadu. Mau tahu efek positifnya? Banyak. Mereka jadi lebih mudah memahami dan menganalisis karakter nasabah, serta mampu mengetahui besarnya kontribusi satu konsumen atau daerah terhadap pencapaian laba perusahaan. Investasi TI juga mampu mendongkrak kualitas layanan AAB, yang sebulan bisa menerima 3.000-an panggilan--sekitar 500 di antaranya merupakan panggilan darurat. Selain itu, proses pengajuan polis pun bisa lebih singkat dan mudah, yakni dari yang dulu rata-rata 12 hari, kini cukup satu hari. Begitulah kalau TI sudah jadi kuda tunggangan. PT Bank Central Asia Tbk. Masih Jadi Panutan Mencermati inovasi layanan perbankan sulit tanpa menyebut BCA. Bank yang didirikan pada 1967 ini dikenal kreatif dalam menawarkan produk dan layanan. Bukan hanya lewat electronic delivery channel (EDC)-nya--seperti ATM, internet banking, mobile banking--tetapi intinya, penguasaan TI berhasil menopang pertumbuhan bisnisnya. Salah satunya, terciptanya efisiensi biaya. Ketika semua jaringan BCA terhubung online dan real time, biaya komunikasi terpangkas 50%-60%. Belum lagi penghematan biaya lembur, sewa gedung, hingga infrastruktur. "Investasi TI memiliki value yang tinggi untuk meningkatkan business return atau profit bagi BCA," kata Aswin Wirjadi, wakil presdir BCA. Sebagai pendukung bisnis, urai Aswin, TI juga dimanfaatkan untuk pengembangan produk, selain memudahkan nasabah dalam bertransaksi. Dengan banyaknya nasabah, BCA berpeluang meraih pendapatan dari fee-based income. Data BCA menunjukkan, sampai Februari 2005, mereka memiliki 300.000-an pengguna internet banking dengan total transaksi setahun terakhir mencapai 51 juta. Lalu untuk mobile banking terdapat 185.000 pengguna dengan 17 juta transaksi. Sebagai transactions banking, ragam kanal pembayaran memang penting bagi BCA. Apalagi mereka memiliki 801 kantor cabang dan 6,7 juta nasabah. Maka, EDC menjadi sangat efektif bukan cuma bagi nasabah, tetapi juga bagi efisiensi operasional usaha. Sekadar contoh, transaksi lewat internet banking jauh lebih menguntungkan BCA. Bayangkan, setiap transaksi dengan tatap muka menelan biaya US$1, sementara lewat internet banking cuma US$0,1-0,2. Memang benar, dalam memanfaatkan TI, BCA bukanlah pionir. Jarang mereka menjadi yang pertama dalam menawarkan ragam produk/layanan berbasis teknologi. Namun, implementasi TI yang mereka terapkan bukan sekadar gagah-gagahan, melainkan untuk menjawab kebutuhan nasabahnya. Jadi, TI benar-benar menjadi pilar bisnis utama BCA, sehingga wajar jika setiap tahun mereka mesti menggelontorkan dana US$60 juta untuk itu. PT Bank Mandiri Tbk. Investasi TI-nya Terbesar Investasi TI Bank Mandiri boleh jadi yang terbesar dibanding bank-bank lainnya. Mereka mengucurkan lebih dari US$200 juta untuk merombak core banking system (eMAS Program) dan membenahi sejumlah aplikasi layanan. Itu belum termasuk biaya rutin setiap tahun. Intinya, investasi TI diarahkan sebagai strategi penunjang untuk menjadi regional champion bank. Keberhasilan IT governance Bank Mandiri dikukuhkan dengan diraihnya "MIS Asia Innovations Award 2004". Penghargaan ini membuktikan bahwa strategi TI-nya selaras dengan strategi bisnisnya, sehingga, dalam jangka panjang, memberi nilai tambah, dan kinerja yang terukur dengan risiko yang terkelola. Berkat sistem TI, "Transaksi nasabah cabang naik 35%, dari 19 juta pada 2003 menjadi 25 juta untuk 2004," ungkap Andreas E. Susetyo, chief informations & technology officer Bank Mandiri. Kenaikan itu 55%-nya disumbang dari transaksi elektronik. PT Bank Niaga Tbk. Ambisi Masuk Kelompok Lima Besar Bank Niaga menjadikan TI sebagai andalan untuk masuk dalam kelompok lima bank terbesar di Tanah Air pada 2007. Pemanfaatan TI, kata Andi M. Hatta, wakil presdir Bank Niaga, memiliki nilai strategis bagi pertumbuhan perusahaan. Selain menciptakan efisiensi di sejumlah proses, TI terbukti menopang pertumbuhan bisnis baru dan memperkuat daya saing. Dan yang terpenting, lanjut Andi, meningkatkan mutu layanan nasabah. "Implementasi TI cukup efektif untuk memperbaiki proses bisnis dan membuat utilisasi SDM yang lebih optimal," ujarnya. Bank yang meraih laba Rp660 miliar pada 2004 ini praktis berhasil melipatgandakan jumlah nasabahnya setelah memanfaatkan TI. Kalau tahun 2000 jumlah nomor rekeningnya baru 735.000, sekarang sudah 2,2 juta. Jumlah transaksi pun melonjak dari 31.000 menjadi 167.000 per hari. Dengan return of equity mencapai 39%, biaya TI hanya 10,1% dari total biaya usaha. PT Cahaya Sakti Multi Intraco (Olympic) Sukses Memantau Stok Menyimpan ambisi rapat-rapat di laci meja, boleh jadi ini merupakan langkah yang kerap dilakukan banyak pemimpin pasar pada masa lalu. Namun, itu tidak berlaku bagi PT Cahaya Sakti Multi Intraco, produsen furnitur merek Olympic, yang selama 22 tahun terakhir ini menjadi pemain utama dalam bisnis furnitur di Indonesia. Ambisinya untuk terus mempertahankan posisinya sebagai penguasa pasar justru mendorong mereka bergerak cepat memperbaiki pengelolaan informasi yang selama ini simpang-siur di lingkungannya. Alhasil, informasi menjadi lebih transparan, mengalir serba teratur dan rapi. Sejak 2001, perusahaan ini telah menerapkan sistem Enterprise Resources Planning (ERP), yang tujuannya untuk mengelola seluruh sumber daya perusahaan secara maksimal. Intinya adalah mengintegrasikan seluruh informasi di dalam perusahaan, di antaranya termasuk informasi mengenai keuangan, penjualan, distribusi, dan inventori. Implementasi TI yang menghabiskan 3% dari total pendapatan perusahaan pada 2001--yang senilai Rp305 miliar--ini berhasil go live pada 2002. Hasilnya? Kini data penjualan dan stok barang bisa diperoleh lebih cepat. Bukan cuma itu, penyusunan laporan keuangan pun kini menjadi makin cepat. Jika dulu laporan keuangan baru bisa diperoleh sekitar tanggal 15 setiap bulannya, kini pada tanggal 2 laporan itu sudah ada di meja direksi. Komunikasi antarcabang yang kini berjumlah 50 itu pun menjadi makin cepat. Maka tak heran jika biaya komunikasi bisa dipangkas hingga 50%-nya. Dan, yang paling menggembirakan tentu saja peluang untuk mengontrol stok barang, yang pada gilirannya bisa ikut memotong beban inventori hingga Rp40 miliar per bulan. Ini jelas hasil yang menggembirakan bagi manajemen Olympic, yang terus berambisi untuk menjadi penguasa pasar. PT Panasonic Manufacturing Indonesia Ciamik Mencipta Produk Baru Untuk mempercepat proses penciptaan produk baru yang sesuai keinginan konsumen, PT Panasonic Manufacturing Indonesia (PMI) memilih memanfaatkan TI. Berkat perangkat lunak bernama CATIA yang seharga US$20.000, PMI berhasil mempersingkat proses penciptaan produk baru dari yang tadinya satu tahun, kini tinggal delapan bulan. Bahkan, ke depan, mereka berambisi melepas produk baru ke pasar setiap enam bulan sekali. Selain memangkas umur penciptaan produk baru, implementasi TI juga meningkatkan efisiensi usaha. Pasalnya, biaya pengembangan produk baru bisa susut hingga tinggal 33%, dari yang biasanya mencapai Rp600 juta. Efisiensi lainnya didapat dari penurunan biaya inventori. Stok produk di gudang dari yang semula berumur sebulan, kini tinggal hitungan minggu. Alhasil, daya saing Panasonic pun meningkat, karena mereka dapat menawarkan produk baru dengan harga yang lebih kompetitif. Grup Blue Bird Menjemput Lebih Awal Sering kesal karena urusan taksi? Rasanya hampir setiap pengguna taksi, termasuk yang milik Grup Blue Bird (GBB), mengalaminya. Bedanya, untuk armada Blue Bird, kalau dulu Anda mungkin kesal karena taksi yang dipesan kerap terlambat datang, kini kesal karena taksinya datang jauh lebih awal. Padahal Anda masih sibuk dengan urusan kantor. Kian tepat waktunya jika Anda memesan taksi GBB tak lepas dari keberhasilan mereka menerapkan teknologi informasi (TI). Sejak empat tahun lalu, GBB memang memanfaatkan Global Positioning System (GPS). Dengan teknologi itu, pihak GBB dapat dengan cepat memantau posisi armadanya di lapangan. Ini jelas memudahkan pengaturan taksi yang harus dikirim ke tempat pemesan, sehingga response time (waktu yang diperlukan mulai dari pemesanan lewat telepon hingga taksi datang) menjadi lebih pendek. Sebelum penerapan GPS, response time GBB bisa 20-30 menit. Kini, tinggal 10-15 menit. Ini tentu akan meningkatkan produktivitas per unit taksi GBB yang kini berjumlah lebih dari 15.000 unit. Data lainnya, tujuh bulan sejak penerapan GPS pada ratusan unit taksi Silver Bird di tahun 2001, jumlah pesanan per hari meningkat dari 1.000 menjadi 2.000, atau naik 100%. Melihat hasilnya yang positif, GBB pun kemudian memasang peralatan GPS yang senilai US$800 pada setiap unit taksinya. Harga tersebut belum termasuk perangkat lunak, perangkat keras, dan peralatan pemantau di kantor. GPS sebenarnya cuma satu dari banyak perangkat TI yang dipakai oleh perusahaan jasa transportasi terkemuka di Indonesia ini. Untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, GBB pun melakukan pembenahan ke dalam dengan menerapkan sistem Enterprise Resources Planning (ERP). Penerapan ini bertujuan meningkatkan efisiensi, produktivitas, yang pada gilirannya berujung pada peningkatan profit. Ke depan, GBB berencana menerapkan sistem Customer Relationship Management (CRM). Sebab, mereka telah memiliki data yang cukup mengenai para pelanggan setianya. PT Garuda Indonesia Tak Perlu Bergegas Pesan Kursi Antre tiket atau check in di bandara? Kuno. Soalnya, berkat kemajuan teknologi informasi (TI), Anda bisa pesan tiket lewat internet ataupun ponsel. PT Garuda Indonesia menyediakan fasilitas tersebut. Bahkan tak cuma urusan pesan tiket dan pemeliharaan pesawat, check in, soal bagasi, sampai keberangkatan pun telah lama bersentuhan dengan TI. "TI menjadi alat strategis bagi manajemen untuk mengambil keputusan," ungkap Widjaya Hadinukerto, direktur TI Garuda Indonesia. Selain membenahi hal yang bersentuhan dengan pelanggan, Garuda pun memanfaatkan TI untuk membenahi urusan internalnya. Mereka menggunakan sistem ERP. Sementara itu, pembenahan SDM dilakukan lewat sistem Crew Management System (CMS). Targetnya, selain meningkatkan efisiensi, juga untuk mendongkrak kinerja usaha. Ujung-ujungnya, tentu agar Garuda bisa tetap mempertahankan dominasinya di pasar lokal. Maklum, BUMN ini masih menguasai 50% pangsa pasar domestik. PT Matahari Putra Prima Tbk. Makin Pintar Pilih Barang Menebak selera konsumen memang tak mudah. Salah sedikit saja menerka keinginan mereka, stok barang di gudang bakal makin menumpuk. Dan, perusahaan pun bakal kehilangan peluang meraih penjualan yang lebih besar. Padahal, demi ambisi mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar, pemain bisnis eceran sebesar PT Matahari Putra Prima Tbk. tentu membutuhkan pertumbuhan penjualan yang signifikan. Seperti untuk tahun 2005 ini, perusahaan ini memasang target pertumbuhan hingga 25%, atau mencapai pendapatan sebesar Rp6 triliun. Sadar akan beratnya mempertahankan ambisi ini, jauh-jauh hari mereka mencoba memperkuat seluruh fondasi bisnisnya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi (TI). Ini ditunjukkan lewat pembenahan beberapa bagian penting dalam operasional bisnis mereka, mulai dari bagian merchandising, inventori, keuangan, hingga urusan tenaga kerja. Mereka pun tak ragu-ragu menggelontorkan modal hingga Rp200 miliar untuk membeli sistem yang dianggap cocok bagi kebutuhan tersebut. Mereka pun tak segan-segan menggabungkan sistem aplikasi informasi terkemuka, Retex dan Oracle, dengan sistem yang dibangun sendiri. "Tahun 2006 kami akan menerapkan Retex Store Inventory Management dan Retex Point of Sales," ungkap Avril Tjokrorahardjo, head of information technology PT Matahari Putra Prima Tbk. Lewat pembaruan sistem ini, ke depan pihak manajemen bakal makin cepat mengambil keputusan penting yang ada kaitannya dengan pembelian barang, penentuan harga, hingga urusan stok. Lebih dari itu, sistem ini pun akan membantu mereka untuk memahami tren penjualan pada hampir setiap lokasi gerai, yang, ujungnya, makin mempercepat proses pengambilan keputusan pembelian barang dan menempatkannya di lokasi yang tepat pula, serta meningkatkan efisiensi dalam hal operasional usaha. Di Matahari memang terbukti betapa TI membantu mereka lebih pintar dalam memilih barang. PT TNT Indonesia Memotong Lembur Karyawan Berkat kemajuan teknologi informasi (TI), kini setiap pelanggan jasa kurir PT TNT Indonesia bisa melacak status barang yang dikirimnya secara real time. Bahkan, jika mau, mereka bisa menghitung ongkos yang mesti dibayar secara otomatis. Itu semua bisa dilakukan via internet atau PDA. Kata Harsinto, country manager TI PT TNT Indonesia, semua ini berkat implementasi TI yang dijalankan perusahaan sejak tahun 2000. Bagi TNT, manfaat penerapan TI memang tak terhitung banyaknya. Di antaranya, mereka bisa menghemat banyak biaya. Mereka bisa memangkas lembur karyawan dari yang biasanya 3-4 jam per hari menjadi tak ada sama sekali. Selain itu, soal pasokan informasi yang biasanya memakan waktu satu-dua hari sekali, kini hampir setiap waktu dalam satu hari informasi bisa mereka peroleh. Dan, akhir semua ini adalah kepuasan pelanggan yang berdampak positif terhadap peningkatan penggunaan jasa mereka. PT Kalbe Farma Tbk. Efisien, tapi Ekspansif Menjadi pelopor terkadang tak enak. Kalau tidak terus berupaya meningkatkan kompetensi, bisa-bisa disalip oleh pesaing. Untunglah PT Kalbe Farma Tbk. paham kondisi ini. Menyadari ketatnya persaingan di industri farmasi, perusahaan yang kini memiliki 62 kantor cabang di dalam negeri dan 7 kantor pemasaran di luar negeri ini segera berbenah diri, termasuk dengan penerapan sistem TI. Kalbe kini menerapkan aplikasi Enterprise Resources Planning (ERP), Customer Relationship Management (CRM), penanganan web perusahaan, message and flow untuk e-mail, dan bagian support. Menurut Juanito Iwan, direktur TI Kalbe Farma, implementasi sistem TI ini ditujukan sebagai tools yang menunjang proses bisnis perusahaan, di samping menjadi media untuk meningkatkan efisiensi. Ini dimungkinkan karena proses produksi yang semula manual, dengan bantuan TI bisa dijalankan secara otomatis. "Manfaat lainnya adalah makin meningkatnya kepuasan konsumen, kebutuhan informasi antarkantor cabang sudah online, termasuk juga online dengan bagian produksi," tambah Juanito. Melihat besarnya keuntungan yang diraih perusahaan, maka tak heran jika manajemen Kalbe menganggarkan dana US$500.000 untuk sistem dan Rp2-3 miliar ke perangkat keras. Namun, dalam prakteknya, pihak manajemen tetap akan mengutamakan penerapan di lini usaha yang dianggap penting. Di antaranya, pengelolaan laporan keuangan dan perencanaan pembelian bahan baku obat. Jika sebelumnya penyusunan laporan keuangan membutuhkan waktu sekitar dua minggu, dengan TI proses tersebut bisa dipersingkat menjadi tiga hari. Ini terjadi karena data yang dibutuhkan sudah tersedia dalam waktu yang singkat. Sukses Kalbe dalam penerapan TI tak lepas dari peran para awaknya. Untuk mendukung peningkatan kualitas SDM TI, secara rutin Kalbe memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, termasuk juga untuk SDM di kantor-kantor cabang. Dengan strategic planning TI yang jelas plus didukung kemampuan SDM yang tinggi, ambisi Kalbe untuk menjadi perusahaan farmasi yang dikelola secara efisien tetapi tetap giat berekspansi, bakal lebih mudah tercapai. PT BAT Indonesia TI Tingkatkan Loyalitas Petani BAT Indonesia menyandarkan penerapan TI-nya pada empat sistem utama: ERP CS3, Skyline, BATLeaf, dan CONDRO. ERP CS3, yang diterapkan sejak 1995, merupakan aplikasi utama yang dipakai di hampir semua departemen. Skyline diterapkan khusus di departemen pemasaran, untuk memantau penjualan dan stok di depot distributor di seluruh Indonesia. Untuk departemen yang memasok tembakau, dipakai aplikasi BATLeaf. Adapun produksi dipantau lewat aplikasi CONDRO. Banyak manfaat dari implementasi TI. Soal pembayaran tembakau ke petani, jika sebelumnya BAT membutuhkan waktu 3-4 hari, kini, dengan BATLeaf, bisa selesai pada hari yang sama. Dengan aplikasi yang sama, proses traceability pun bisa lebih mudah dan cepat. Hal ini bakal mengurangi kemungkinan lolosnya tembakau yang tidak memenuhi standar yang bisa mengurangi tingkat kepuasan konsumen. PT Dankos Laboratories Tbk. Lebih Cepat, Lebih Akurat Implementasi TI di Dankos ditandai dengan dibentuknya departemen TI. Departemen ini memiliki tiga bagian, yaitu training & implementation, maintenance information, dan development information. Sistem TI yang dipakai adalah local-area network(LAN) dan menuju penggunaan wide-area network (WAN) dengan sasaran melakukan otomatisasi proses kerja, sehingga dapat mengurangi biaya operasional dan meningkatkan produktivitas, kualitas, efektivitas, serta kemampuan berkompetisi perusahaan. Soal pengukuran investasi dengan hasil, Husein, manajer TI Dankos, menuturkan, "Kami menggunakan parameter kecepatan dan akurasi informasi yang dihasilkan untuk pengambilan keputusan." Dankos memang memperoleh nilai tambah dengan terjadinya proses otomatisasi kerja dan ketersediaan data secara cepat dan akurat. Pihak manajemen bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat. PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Kendala Teratasi hingga 80% Proses bisnis yang beragam menuntut Bukit Asam untuk menerapkan sistem Enterprise Resources Planning(ERP). Kondisi tersebut sejalan dengan tujuan perusahaan yang meraih omzet lebih dari Rp2,5 triliun pada 2004 ini untuk memberikan layanan aplikasi dan informasi yang tepat dan cepat, serta agar proses bisnis dapat menjadi lebih efektif dan efisien. Menurut Endang Purnomo, manajer sistem informasi Bukit Asam, langkah ini dibarengi dengan program pelatihan, termasuk di departemen TI. Hasilnya, sekitar 80% kendala bisa diatasi. Penerapan sistem TI ini pun menghasilkan berbagai dampak positif, seperti perbaikan dan percepatan proses bisnis, konsumen bisa memperoleh produk yang lebih baik, pembayaran lebih cepat, dan sebagainya. Kegagalan Dalam Implementasi System ERP Dalam dunia bisnis, dampak dari Information Technology (IT) yang sekarang mulai ditambah lagi dengan kata Information & Communication Technology (ICT) ternyata cukup besar dan mampu merubah wajah bisnis. Dengan bantuan ICT ini proses menjadi lebih mudah. Lebih cepat dan tentu saja lebih efektif dan efisien. Salah satu lagi yang mampu diubah oleh penggunaan ICT ini adalah transparansi, suatu kata yang terkadang tidak disukai di Indonesia apalagi di birokrasi (baca:pemerintahan). Jika kita berbicara tentang system (baca: software), maka akan banyak sekali yang ada di pasaran saat ini. Tergantung bisnis kita IT strategic-nya mau kemana. Bagaimana menentukan IT strategic bagi perusahaan kita, kemudian system apa yang cocok buat kita dan seberapa besar benefi t yang bisa kita dapat dari system yang kita pakai, tentu ada metodologi dan valuation tersendiri untuk mengerjakannya. Tulisan saya kali ini tidak akan membahas tentang hal ini. Kemudian pertanyaan selanjutnya apa saja yang menjadi penghalang dalam hal instalasi dan implementasi dari software ERP? Serta apakah dengan instalasi dan implementasi ERP maka dipastikan bisnis akan berhasil dalam arti lebih effi sien, produktif, memuaskan pelanggan? Pada dasarnya yang menjadi penghalang utama dalan hal instalasi dan implementasi ERP ada dua yaitu memperoleh kepercayaan dari para supplier dan partner perusahaan serta adanya resistance untuk berubahan dari internal perusahaan. Menurut data dari IDC Asia Pasifi k, investasi TI dari perusahaan-perusahaan di Indonesia pada tahun 2001 sebesar US $ 858 juta. Tahun 2002 diperkirakan sekitar US $ 896,6 juta dan tahun 2003 diramalkan sekitar US $ 1,08 miliar. Dari angka tersebut, kontribusi belanja software diperkirakan sekitar 40%-nya. Berdasarkan data di atas, nilai yang sudah dan hendak ditanamkan di bidang IT memang cukup signifi kan. Alokasi dana sebesar itu yang tujuannya mengintegrasikan semua proses bisnis, efisiensi, meningkatkan produktivitas, mengelola SDM, memuaskan dan mengoptimalkan pelanggan itu, memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab, jika visi dan implementasi benar, hasilnya sungguh luar biasa. Di Amerika Serikat, misalnya, sejak pertengahan 1990-an banyak top eksekutifnya berani mengambil risiko menerapkan teknologi baru dan cara baru berbisnis untuk memacu produktivitas, pemangkasan biaya, dan memuaskan pelanggan. Hasilnya, perusahaan nonkeuangan di sana rata-rata berhasil mendongkrak 25% produktivitas mereka. Namun masalahnya, banyak juga dari investasi itu yang tak jelas juntrungannya, seperti dipaparkan di awal tulisan ini. Dan itu tak hanya terjadi di Indonesia. Data dari hasil studi The Standish Group, menyebutkan hanya 28% proyek TI besar yang mampu mencapai harapan. Kenapa banyak proyek TI gagal, idle, atau pengunaannya di bawah kapasitas? Kemungkinan penyebabnya adalah sebenarnya masalahnya lebih ke arah low utilization ketimbang idle. Masalah itu bisa terjadi -- kalau dilihat dari sisi argumen Business Integration, yang menyebutkan bahwa TI adalah bagian dari program besar menata strategi, proses, organisasi/SDM dan sistem yang perlu dilakukan secara terpadu untuk dapat memperoleh manfaat - karena proyek jadi sangat besar, menyangkut hal non-TI yang cakupannya luas dan kompleks. Hal ini terkadang sulit diterima perusahaan, karena cara berpikir kita yang umumnya berangkat dari organisasi manajemen yang fungsional. Kalau toh rekomendasi itu diterima dan CEO mencoba menerapkan, pelaksanaannya sangat sulit. Sebab, masalahnya justru timbul dalam kultur manajemen yang harus berubah. Ada juga dari pendekatan piece meal. Dalam hal ini, mungkin sistem TI-nya terpasang, tetapi perubahan tidak terjadi, karena prosesnya hanya berubah sedikit, organisasinya tidak menyesuaikan. Ini akhirnya malah mengkanibal TI-nya, atau strateginya tidak terdukung, lalu meng-overrule sistemnya, meskipun proyek TI-nya sendiri bisa dinyatakan sukses. Dari hasil penelitian terhadap berbagai implementasi ERP di perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, pada akhirnya di-simpulkan bahwa yang menjadi penyebab utama kegagalan implementasi dan instalasi ini ada beberapa faktor yaitu: Ketika tidak ada atau kuranngya support dan sponsorship dari Top Executive Seperti diketahui bahwa instalasi dan implementasi ERP adalah suatu keputusan yang harus diambil dan dimulai oleh para Top Executive, artinya keputusan harusnya adalah Top Down. Apalagi dengan implementasi dan instalasi ini akan berakibat perubahan terhadap proses business. ERP adalah crossfuction dalam satu perusahaan. Orang-orang harus komit untuk melakukan perubahan di bagian masing-masing. Orang yang dimasukkan dalam proyek akan meluangkan waktunya sebagian besar untuk proyek ini yang pada awalnya tentu kelihatan seperti hal yang tidak berguna sama sekali. Disinilah dibutuhkan support dan sponsorship dari Top Executive. Ketika proyek dianggap sebagai proyek dari satu departemen saja Sudah disebutkan diawal bahwa implemntasi dan instalasi ERP adalah crossfuction, artinya proyek tidak akan berjalan semestinya jika ada asumsi bahwa proyek ini hanya milik satu bagian atau departemen saja, misalnya saat implementasi di Departemen Finance, maka deparetemen lain merasa tidak berkepentingan dan jika terjadi fail, dianggap adalah fail tersebut hanya milik depertemen yang bersangkutan. Padahal dengan ERP ini nantinya akan terjadi keterkaitan yang erat antar departemen dan terjadi transparansi dan juga sinergi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagai contoh misalnya saat permintaan hasil produksi besar atau trendnya lagi meningkat maka otomatis bagian produksi akan segera mengetahuinya dan kapasitas produksi bisa ditingkatkan dan bagian raw material bisa menyediakan kabutuhan yang dibutuhkan dengan tepat dan online. Ketika tidak ada yang diserahkan untuk menjadi Person In Charge (PIC) atau project Manager yang full time Untuk satu proyek seperti ini maka sangat dibutuhkan seseorang yang memang ditugaskan untuk menjadi PIC atau project manager atau owner project. Hal ini untuk meningkatkan komitmen dan mampunya terpenuhi semua pekerjaan sesuai dengan schedule yang direncanakan. Implementasi dan instalasi ini membutuhkan biaya, waktu dan resources yang tidak sedikit sehingga dibutuhkan seseorang yang bertanggung jawab. Ketika untuk segala proses dan prosedur implementasi diserahkan hanya ke team IT saja. Hal ini sangat umum terjadi, dimana para anggota team yang terlibat di proyek implementasi umunya suka menyerahkan saja untuk pengambilan keputusan atau perubahan prosedur ke pihak IT dengan alasan mereka orang teknikal yang menguasai secara baik bidang teknikal. Padahal yang mengetahui prosedur yang benar dibagian masing-masing adalah pihak yang terlibat utama didalamnya, misalnya orang finance untuk di bagian finance, orang produksi untuk dibagian produksi dan seterusnya. Ketika vendor yang melakukan implementasi kurang atau tidak memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam melakukan implementasi dan instalasi. Disini dibutuhkan vendor yang akan melakukan instalasi dan implementasi sudah memiliki jam terbang yang baik sehingga sudah mengetahui kira-kira problem yang akan muncul dan memiliki kemampuan untuk melakukan solve sesuai dengan pengalaman yang telah didapat sebelumnya. Ketika tidak adanya dokumentasi untuk prosedur implementasi Dalam implementasi ERP, dokumentasi adalah salah satu kata kunci. Setiap pihak yang terlibat didalamnya harus melakukan dokumentasi sehingga bisa diketahui sudah sampai dimana proses dan prosedur implemnatsi yang dilakukan. Ibarat system ISO, maka dokumtasi haruslah sesuatu yang utama dilakukan. Kekurangan atau kegagalan di Training Training memberikan peran yang besar untuk menentukan sukses tidaknya implementasi dan instalasi dari ERP. Karyawan yang selama ini bekerja dengan prosedur yang telah ada dan akan berubah tentu sesuatu yang sulit, tapi perubahan bisa dilakukan dengan meberikan training bagi para implementor dan user sehingga saat system dijalankan maka para user sudah mengetahui kira-kira apa yang akan dilakukan. Kesulitan perubahan cultur di organisasi Orang biasanya cenderung mempertahankan comfort zone, dimana jika sudah merasa nyaman akan sangat sulit untuk melakukan perubahan, apalagi jika sampai saat tersebut semua operasi dan prosedur dirasa sudah cukup baik tanpa perlu memakai suatu system baru dalam hal ini ERP. Salah satu kendala terbesar dalam implementasi ini adalah merubah cultur ini. Jika seseorang terlambat atau salah dalam melakukan entry data, maka dampaknya akan sangat panjang kedepannya. Cultur ini yang mesti diubah dan dijelaskan kesemua pihak yang terlibat didalamnya. Dari paparan diatas kita bisa lihat bagaimana ERP diimplementasikan diperusahaan, apa plusminus dan apa saja yang mesti diperhatikan saat melakukan implementasi sehingga investasi yang luar biasa besar ini tidak akan sia-sia belaka. Selanjutnya adalah tinggal bagaimana dengan kita dan perusahaan kita, mau menerapkannya dengan investasi yang cukup besar dan adanya risiko gagal atau tetap dengan kondisi saat ini, ditegah persaingan ekonomi digital yang menuntut bisnis untuk cepat beradaptasi dengan kondisi dan lingkungan, dan dalam bisnis elektronik. Setiap perusahaan memiliki struktur organisasinya masing-masing, yang dikembangkan berdasarkan proses bisnis yang ada. Secara umum, pimpinan paling tinggi (seperti misalnya Presiden Direktur, Direktur Utama, atau Chief Executive Officer) bertanggung jawab terhadap kinerja perusahaannya, termasuk dalam hal implementasi teknologi informasi. Untuk membantu tugasnya, biasanya ditunjuk seseorang dengan jabatan khusus yang bertanggung jawab terhadap proses perencanaan dan pengembangan sistem dan teknologi informasi di perusahaan. Tugas utama yang bersangkutan ini adalah untuk menjamin lancarnya implementasi teknologi informasi (TI), sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi operasional dan perkembangan bisnis sehari-hari. Tinggi rendahnya posisi orang ini sangat ditentukan oleh posisi dan peranan TI bagi perusahaan. Semakin kritikal fungsi TI, biasanya semakin tinggi pula jabatan penanggung jawabnya di dalam organisasi. Jabatan tertinggi adalah pada level Direktur (anggota Direksi) atau Chief Information Officer, yang memiliki paling tidak 5 (lima) tugas utama sebagai berikut: 1. Memahami Bisnis Tugas pertama dan utama yang merupakan tanggung jawab eksekutif lain dalam jajaran direksi adalah mempelajari dan memahami secara menyeluruh dan mendetail bisnis yang digeluti perusahaan. Kalau dahulu manajemen inti cukup mempelajari semua komponen internal perusahaan (khususnya sehubungan dengan produk-produk atau jasa-jasa yang ditawarkan). Saat ini hal tersebut tidaklah cukup. Persaingan yang begitu cepat dan lingkungan bisnis yang sangat dinamis mengharuskan eksekutif perusahaan untuk selalu memantau dan mempelajari aspek-aspek di luar perusahaan (eksternal) secara intens dan terus-menerus, terutama yang terkait dengan perilaku pasar (market) dan pelanggan. Setidak-tidaknya, untuk dewasa ini, ada tujuh cara yang terbukti efektif untuk mempelajari hal internal dan eksternal perusahaan. Ketujuh cara tersebut adalah: 1. Memiliki armada SDM yang secara berkala mempelajari keadaan pasar dan komponen eksternal lainnya; 2. Mempelajari secara mendalam proses-proses penciptaan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan; 3. Mengundang bagian-bagian lain dalam perusahaan untuk berdiskusi secara berkala; 4. Menghadiri seminar-seminar yang berhubungan dengan industri terkait; 5. Membaca secara aktif publikasi-publikasi yang terkait dengan produk, jasa, dan industri di mana perusahaan yang bersangkutan berada; 6. Menjadi anggota forum-forum bisnis maupun akademis terkait; dan 7. Menjalin komunikasi aktif dan konsisten dengan para manajer lini perusahaan. 2. Membangun Citra Divisi Tugas kedua yang menjadi tanggung jawab seorang CIO adalah membangun kredibilitas direktorat sistem informasi yang dipimpinnya. Hal ini sangat penting, mengingat banyak sekali karyawan yang menilai bahwa penggunaan sistem informasi secara strategis merupakan ciri perusahaan di masa mendatang, bukan saat ini. Namun walau bagaimanapun juga, direktorat sistem informasi yang ada harus dapat membuktikan bahwa aktivitias-aktivitas yang dilakukan saat ini adalah merupakan jalan atau jembatan menuju masa depan. Direktorat, departemen, atau divisi sistem informasi (atau teknologi informasi) harus memiliki citra yang baik di mata fungsi-fungsi lain dalam perusahaan. Strategi yang paling efektif adalah dengan cara membantu para SDM di dalam perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya melalui utilisasi TI, karena hal inilah yang merupakan misi utama dari keberadaan sistem informasi di perusahaan. Pemberian pendidikan dan pelatihan kepada para pengguna (users) sistem informasi, mulai dari staf sampai dengan manajer eksekutif, merupakan salah satu cara lain untuk meningkatkan citra divisi sistem informasi. Dengan menghasilkan “produk-produk” yang terbukti dapat membantu para karyawan dalam melaksanakan aktivitas perkerjaannya sehari-hari, divisi sisten informasi akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan dari fungsi-fungsi lain di organisasi untuk membawa mereka ke bentuk perusahaan masa depan. 3. Meningkatkan Mutu Penggunaan Teknologi “Tak kenal maka tak sayang”, mungkin demikianlah kalimat yang cocok ditujukan bagi para karyawan yang belum pernah dan takut menggunakan komputer. Melihat bahwa keberadaan TI ditujukan untuk meningkatkan kualitas kinerja SDM (employees empowerment), seorang CIO memiliki tugas memasyarakatkan teknologi informasi agar digunakan secara aktif untuk para karyawan perusahaan. Selain pemberian program-program pelatihan (training) yang bersifat edukatif, diperlukan suatu strategi untuk membuat karyawan tertarik belajar lebih jauh dan memanfaatkan teknologi informasi yang ada. Caranya bisa beraneka ragam, mulai dari yang bersifat hiburan (entertainment) – seperti melalui permainan pada saat rekreasi perusahaan (company outing) – sampai dengan yang sangat serius, seperti diadakannya workshop khusus. Tujuannya adalah agar para karyawan akrab dengan komputer (computer literate), sehingga selain dapat meningkatkan kualitas kerja mereka, inovasi-inovasi baru berupa ide-ide pengembangan di masa mendatang akan turut berpengaruh pada pengembangan sistem informasi di perusahaan. 4. Mencanangkan Visi Teknologi Informasi Tugas selanjutnya bagi seorang CIO adalah menentukan visi perusahaan melalui pemanfaatan sistem informasi di masa mendatang. Seorang eksekutif senior yang baik, adalah yang selalu bersifat proaktif. Membantu perusahaan mencanangkan visinya di masa mendatang adalah salah satu contoh sikap proaktif yang harus dimasyarakatkan di kalangan perusahaan. Visi pemanfaatan sistem informasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari visi perusahaan secara umum. Melihat bahwa abad sekarang dan mendatang adalah era yang sangat bergantung kepada informasi, peranan CIO dalam melihat masa depan perusahaan menempati posisi yang cukup dominan. Namun tugas CIO tidak hanya terbatas untuk merumuskan visi saja, namun yang bersangkutan harus dapat memasyarakatkan ide-ide yang ada ke seluruh jajaran manajemen dan staf (create a vision). Apalah artinya sebuah visi yang bagus tapi tidak ada seorang pun dari karyawan yang merasa perlu untuk mewujudkannya. Ada banyak teknik dan teori yang ditawarkan kepada manajemen untuk membantu merumuskan dan menjual visi kepada seluruh jajaran karyawan secara efektif. Hal ini sangat penting, karena visi merupakan akar dari seluruh aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dalam kegiatan bisnisnya setiap hari. 5. Pengembangan Sistem Informasi Misi terakhir dari seorang CIO tentu saja membuat semua hal yang ada di atas menjadi nyata, yaitu merencanakan dan mengembangkan arsitektur sistem informasi perusahaan, yang terdiri dari komponen-komponen seperti software, hardware, brainware, proses dan prosedur, infrastruktur, standard, dan lain sebagainya. Secara berkesinambungan, seorang CIO harus dapat me-utilisasikan sistem informasi yang dimiliki perusahaan saat ini secara optimum, sejalan dengan rencana pengembangannya di masa mendatang. Suatu kali seorang praktisi manajemen mengatakan bahwa seorang CIO yang baik akan dapat “memanusiakan” karyawannya dengan cara memanfaatkan TI untuk membantunya melaksanakan aktivitas pekerjaan sehari-hari. Berdasarkan pengamatan dan kajian terhadap implementasi TI, khususnya di perusahaanperusahaan Indonesia, nampaknya hal yang menjadi kunci sukses utama adalah aspek leadership atau kepemimpinan dari seorang Presiden Direktur. Pimpinan perusahaan ini harus dapat menjadi “lokomotif” yang dapat merubah paradigma pemikiran (mindset) terhadap orang-orang di dalam organisasi yang belum mengetahui manfaat strategis dari teknologi informasi bagi bisnis perusahaan. Disamping itu, yang bersangkutan harus memiliki rencana strategis atau roadmap yang jelas terhadap pengembangan teknologi informasi di perusahaannya dan secara konsisten dan kontinyu disosialisasikan ke seluruh jajaran manajemen dan stafnya. Hal-hal semacam business plan, kebijakan (policy), masterplan, cetak biru, dan lain sebagainya dapat dijadikan sebagai alat untuk membantu manajemen dalam usahanya untuk mengembangkan TI secara holistik, efektif, dan efisien.• ilihat dari obyektifnya, yaitu untuk meningkatkan kualitas hubungan atau relasi antara perusahaan dengan pelanggannya agar yang bersangkutan dapat menjadi customer yang loyal, penerapan konsep aplikasi CRM tidak membedakan apakah perusahaan tersebut berskala kecil, menengah, atau besar. Selagi perusahaan merasa perlu menjalin komunikasi dan interaksi yang “intim” dengan pelanggannya, pada saat itu konsep CRM dibutuhkan. Dari jenisnya, aplikasi CRM dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu masing-masing: Operational CRM, Analytical CRM, dan Collaborative CRM. Karakteristik dari masing-masing kategori adalah sebagai berikut : Operational CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan proses transaksional yang berhubungan dengan pelayanan pada pelanggan. Terdapat 3 (tiga) tipe aplikasi dalam domain ini. Pertama, aplikasi mobile office yang diinstalasi pada perangkat digital (digital devices) portable – seperti handphone, personal digital assistant, notebook, dan lain-lain - yang digunakan oleh sejumlah salesman atau company agent yang lain untuk melayani pelanggan. Kedua, aplikasi front office yang digunakan oleh salesman, marketing agent, atau customer service sebagai alat bantu dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang menghubungi mereka sehari-hari. Ketiga, aplikasi back office yang merupakan aplikasi penunjang sejumlah aplikasi utama dalam dua domain terdahulu. Analytical CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang digunakan khususnya oleh para pimpinan, manajer, dan supervisor dalam usahanya mengambil sejumlah keputusan (decision making) penting, baik yang bersifat strategis maupun operasional. Jantung dari domain aplikasi ini terletak pada sebuah data warehouse yang berisi data dan informasi lengkap mengenai seluruh profil pelanggan beserta rekaman transaksi dan “perilaku”-nya. Keseluruhan data dan informasi inilah yang akan menjadi dasar kajian/analisa manajemen terhadap karakteristik pelanggan yang dimiliki perusahaan, sehingga manajemen dapat mengambil sejumlah langkah-langkah strategis dalam usahanya memahami kebutuhan dan menjalin relasi intensif dengan pelanggannya. Collaborative CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang memiliki fungsi utama untuk membantu manajemen dan karyawan perusahaan dalam menjalin aktivitas komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi secara efektif dengan para pelanggan perusahaan. Dengan menggunakan beragam kanal akses (access channels) seperti website, tele conference, email, chatting, fax, e-receptionist, dan lain-lain diharapkan akan diperoleh sebuah mekanisme interaksi yang dapat memuaskan pelanggan karena seluruh kepentingan dan kebutuhannya dapat dipenuhi oleh perusahaan. Setiap perusahaan pasti memiliki mekanisme yang terkait dengan proses penciptaan produk dan/atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Sejumlah rangkaian proses utama ini (core processes) biasanya ditunjang oleh beragam teknologi informasi (TI) dan komunikasi agar tercipta suatu mekanisme kerja yang efektif, efisien, dan terkendali dengan baik. Melihat bahwa core processes merupakan suatu penting yang harus selalu dijaga kinerjanya – dalam arti kata tidak boleh sampai terjadi peristiwa dimana core processes terhenti aktivitasnya yang berarti pula perusahaan tidak dapat menciptakan produk dan/atau jasa yang seharusnya dihasilkan – maka perusahaan harus memikirkan cara atau strategi dalam menghadapi sejumlah risiko yang berpotensi mengganggu jalannya aktivitas produksi tersebut. Salah satu upayanya adalah dengan membangun sebuah Disaster Recovery Center (DRC), dimana jika terjadi gangguan serius yang menimpa satu atau beberapa unit kerja penting di perusahaan – seperti pusat penyimpanan dan pengolahan data dan informasi – proses produksi tetap berjalan sebagaimana mestinya karena ada DRC yang mengambil alih fungsi unit yang “rusak” tersebut. Contohnya adalah ketika terjadi malapetaka yang menimpa sejumlah perusahaan besar dunia yang bermarkas di World Trade Center tetap dapat beroperasi (segera pulih kegiatan operasionalnya dalam waktu cepat), karena mereka telah mempersiapkan sejumlah DRC untuk mengantisipasi bencana yang tidak dikehendaki tersebut. Membangun sebuah DRC yang baik, bukanlah suatu hal yang mudah – bahkan beberapa praktisi mengategorikannya sebagai sebuah aktivitas kompleks - karena di dalamnya terdapat beragam aspek dan komponen yang membutuhkan perhatian khusus dan serius. Oleh karena itu, yang perlu dipelajari dan dipahami sungguh-sungguh oleh mereka yang ingin merencanakan dan mengembangkan DRC adalah metodologi pembangunannya. Metodologi yang baik akan menekankan pada aspek-aspek sebagai berikut: Memberikan gambaran yang jelas kepada manajemen mengenai besarnya usaha yang harus dilakukan dalam merencanakan, mengembangkan, dan memelihara sebuah DRC; Menggalang komitmen penuh dari seluruh manajemen dan karyawan di berbagai lapisan organisasi untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengembangan DRC; Mendefinisikan kebutuhan recovery dipandang dari berbagai perspektif bisnis; Memperlihatkan dampak kerugian yang akan diderita perusahaan jika DRC tidak segera dibangun; Memfokuskan diri pada pencegahan terjadinya gangguan dan mencoba untuk meminimalisasikan dampak negatif yang terjadi – walaupun tetap dipersiapkan berbagai usaha reaktif (recovery) seandainya gangguan tersebut benar-benar terjadi; Memudahkan proses pemilihan anggota tim yang bertangung jawab di dalam proses pengembangan DRC; Menghasilkan sebuah perencanaan recovery yang mudah dipahami, mudah diterapkan, dan mudah dipelihara; dan Mendefinisikan secara jelas bagaimana keberadaan DRC tersebut terintegrasi secara baik dengan sejumlah entiti bisnis lain yang dalam keadaan normal tetap berjalan. Adapun metodologi perencanaan dan pengembangan DRC yang baik paling tidak harus memperhatikan 8 (delapan) tahapan utama, yaitu: 1. Pre-Planning Activities (Project Initiation) – merupakan tahap persiapan untuk menjamin bahwa seluruh pimpinan dan jajaran manajemen perusahaan paham betul mengenai karakteristik dan perlunya DRC dibangun; 2. Vulnerability Assessment and General Definition of Requirements – merupakan kajian terhadap potensi gangguan yang dapat terjadi karena “kerapuhan” sistem dan usaha untuk mendefinisikan kebutuhan akan DRC yang dimaksud; 3. Business Impact Assessment – merupakan analisa terhadap dampak bisnis yang akan terjadi seandainya gangguan tersebut terjadi pada kenyataannya; 4. Detailed Definition of Requirements – merupakan proses mendefinisikan kebutuhan secara lebih rinci setelah proses kajian terhadap dampak bisnis selesai dilakukan, sehingga perusahaan dapat memfokuskan diri secara tepat (karena adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki); 5. Plan and Center Development – merupakan tahapan membangun perencanaan dan DRC yang dimaksud sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang telah didefinisikan sebelumnya; 6. Testing and Exercising Program – merupakan rangkaian usaha uji coba atau latihan kinerja DRC dengan cara mensimulasikan terjadinya gangguan yang dimaksud; 7. Execution – merupakan suatu rangkaian proses dimana DRC beroperasi sejalan dengan aktivitas bisnis sehari-hari perusahaan dalam keadaan normal; dan 8. Maintenance and Evaluation – merupakan usaha untuk memelihara dan mengevaluasi kinerja DRC dari waktu ke waktu agar selalu berada dalam kondisi yang prima dan siap pakai. Membangun DRC yang baik tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit. Perusahaan yang biasanya memutuskan untuk membangun DRC adalah mereka yang memiliki karakteristik usaha sebagai berikut: Resiko terjadinya gangguan cukup tinggi karena nature dari proses atau teknologi yang dipakai di dalam menunjang core processes yang ada – misalnya dalam mengimplementasikan internet banking, remote trading, e-auction, dan lain sebagainya; Resiko gangguan yang terjadi berpotensi mengganggu sejumlah besar (mayoritas) proses atau aktivitas yang sangat kritikal bagi kelangsungan hidup perusahaan – misalnya terkait dengan automated teller machine, corporate electronic payment system, automatic procurement system, dan lain sebagainya; dan Resiko gangguan melekat pada sejumlah proses bernilai tinggi (value-added processes), yaitu serangkaian aktivitas dimana: terkait langsung dengan mekanisme penciptaan produk atau jasa, bersifat mutlak dilakukan oleh perusahaan agar tidak kehilangan sumber pendapatan, dan pelanggan “is willing to pay” untuk keberadaan proses tersebut. Kesimpulan Pengembangan sistem informasi akan mendorong terjadinya perubahan dari pola Sistem manajemen database yang terkoneksi secara parsial menuju pola Decision Suport System yang terintegrasi. Dengan sistem yang terintegrasi, para perumus kebijakan dan pengambil keputusan dapat mengkaji suatu permasalahan secara komprehensif yang didukung berbagai informasi yang relevan dan tersedia secara utuh. Selain itu tingkat kecepatan dan ketepatan pelayanan kepada masyarakat senantiasa akan mencapai sasaran. Sistem manajemen informasi yang terintegrasi akan memperbaiki akuntabilitas dan membangun transparansi penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan proses pelayanan publik, karena dengan didukung jaringan komunikasi dan informasi yang komprehensif aparat dan warga masyarakat mampu mengakses data, melakukan pengawasan dan evaluasi kinerja setiap satuan kerja dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai penyelenggara pemerintahan. Referensi : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. [email protected] www.wartaekonomi.com www.portalhr.com www.ebizzasia.com www.depkominfo.go.id [email protected] www.cert.co.id www.proqest.com/pqdweb When To Call In A Consultant Katz, Martin I.. The Secured Lender. New York: Mar/Apr 1990. Vol. 46, Iss. 2; p. 50 (2 pages) 10. Resource enablement modeling: Implications for studying the diffusion of technology Elliot Bendoly. European Journal of Operational Research. Amsterdam: Jun 1, 2007. Vol. 179, Iss. 2; p. 537 11. Profit efficiency analysis under limited information with an application to German farm types* Laurens Cherchye, Tom Van Puyenbroeck. Omega. Oxford: Jun 2007. Vol. 35, Iss. 3; p. 335 12. A methodology for developing Bayesian networks: An application to information technology (IT) implementation 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Eitel J M Lauría, Peter J Duchessi. European Journal of Operational Research. Amsterdam: May 16, 2007. Vol. 179, Iss. 1; p. 234 Alternatives to grid extension for rural electrification: Decentralized renewable energy technologies in Vietnam Khanh Q Nguyen. Energy Policy. Kidlington: Apr 2007. Vol. 35, Iss. 4; p. 2579 Identification of key oil refining technologies for China National Petroleum Co. (CNPC) Haiyan Liu, Jianning Yu, Jian Xu, Yu Fan, Xiaojun Bao. Energy Policy. Kidlington: Apr 2007. Vol. 35, Iss. 4; p. 2635 HR perceptions and the provision of workforce training in an AMT environment: An empirical study Nancy E Waldeck, Zachary M Leffakis. Omega. Oxford: Apr 2007. Vol. 35, Iss. 2; p. 161 Resource portfolio planning of make-to-stock products using a constraint programming-based genetic algorithm S M Wang, J C Chen, K-J Wang. Omega. Oxford: Apr 2007. Vol. 35, Iss. 2; p. 237 How much information do we need? Peter M Todd. European Journal of Operational Research. Amsterdam: Mar 16, 2007. Vol. 177, Iss. 3; p. 1317 Fostering a renewable energy technology industry: An international comparison of wind industry policy support mechanisms Joanna I Lewis, Ryan H Wiser. Energy Policy. Kidlington: Mar 2007. Vol. 35, Iss. 3; p. 1844 R&D advancement, technology diffusion, and impact on evaluation of public R&D* Michal C Moore, Douglas J Arent, Douglas Norland. Energy Policy. Kidlington: Mar 2007. Vol. 35, Iss. 3; p. 1464 Inventing a sustainable future: Australia and the challenge of eco-innovation Jim Falk, Chris Ryan. Futures. Kidlington: Mar/Apr 2007. Vol. 39, Iss. 2/3; p. 215 Assessing the impact of ICT on UK general haulage companies Ian Davies, Robert Mason, Chandra Lalwani. International Journal of Production Economics. Amsterdam: Mar 2007. Vol. 106, Iss. 1; p. 12 4C Diamond Model: Performance Appraisal System Mechanism Yi-che Chen, Pi-feng Hsieh. Journal of American Academy of Business, Cambridge. Hollywood: Mar 2007. Vol. 10, Iss. 2; p. 96 (11 pages) The Market Innovative Acceptance Framework for High-Tech Firms: An Example of Ultrasonic Cleaning Equipment Jung Huang, Chih-Hung Wu, Wen-Ta Hsu. Journal of American Academy of Business, Cambridge. Hollywood: Mar 2007. Vol. 10, Iss. 2; p. 302 (7 pages) The Relationship between Electronic Business Process Reengineering and Organizational Performance in Taiwan David W-S Tai, C-E Huang. Journal of American Academy of Business, Cambridge. Hollywood: Mar 2007. Vol. 10, Iss. 2; p. 296 (6 pages) Venture capital investing by information technology companies: Did it pay? Stephen A Allen, Kathleen T Hevert. Journal of Business Venturing. New York: Mar 2007. Vol. 22, Iss. 2; p. 262 Human Resource Management in Practice: A Case Study Analysis at Company Level Noon, Mike. Personnel Review. Farnborough: 1989. Vol. 18, Iss. 4; p. 15 (9 pages) Organizational effectiveness through technology innovation and HRM strategies Zhongming Wang. International Journal of Manpower. Bradford: 2005. Vol. 26, Iss. 6; p. 481 (8 pages) Technology innovation, human resources and dysfunctional integration Arne Stjernholm Madsen, John P Ulhøi. International Journal of Manpower. Bradford: 2005. Vol. 26, Iss. 6; p. 488 (16 pages) Human Resource Managers and the New Technology Agenda Templer, Andrew. Journal of General Management. Henley-on-Thames: Winter 1989. Vol. 15, Iss. 2; p. 73 (8 pages) Human Resource Management in Practice: A Case Study Analysis at Company Level Noon, Mike. Personnel Review. Farnborough: 1989. Vol. 18, Iss. 4; p. 15 (9 pages) 31. The Third Industrial Revolution: A Special Challenge to Managers Finkelstein, Joseph, Newman, David A. H.. Organizational Dynamics. New York: Summer 1984. Vol. 13, Iss. 1; p. 53 (13 pages) 32. Fragmentation and East Asias information technology trade Carl S Bonham, Byron Gangnes, Ari Van Assche. Applied Economics. London: Feb 2007. Vol. 39, Iss. 2; p. 215 33. CO2 emissions trading planning in combined heat and power production via multi-period stochastic optimization Aiying Rong, Risto Lahdelma. European Journal of Operational Research. Amsterdam: Feb 1, 2007. Vol. 176, Iss. 3; p. 1874 34. Benchmarking the information society in the long range Victor A Banuls, Jose L Salmeron. Futures. Kidlington: Feb 2007. Vol. 39, Iss. 1; p. 83 35. Using the learning curve to maximize IT productivity: A decision analysis model for timing software upgrades Ojelanki Ngwenyama, Aziz Guergachi, Tim McLaren. International Journal of Production Economics. Amsterdam: Feb 2007. Vol. 105, Iss. 2; p. 524 36. Human Resource Managers and the New Technology Agenda Templer, Andrew. Journal of General Management. Henley-on-Thames: Winter 1989. Vol. 15, Iss. 2; p. 73 (8 pages) 37. Human Resource Management in Practice: A Case Study Analysis at Company Level Noon, Mike. Personnel Review. Farnborough: 1989. Vol. 18, Iss. 4; p. 15 (9 pages) 38. Technology innovation, human resources and dysfunctional integration Arne Stjernholm Madsen, John P Ulhøi. International Journal of Manpower. Bradford: 2005. Vol. 26, Iss. 6; p. 488 (16 pages) 39. . The Third Industrial Revolution: A Special Challenge to Managers Finkelstein, Joseph, Newman, David A. H.. Organizational Dynamics. New York: Summer 1984. Vol. 13, Iss. 1; p. 53 (13 pages) 40. Do your employees suffer from technophobia? Margaret Boles, Brenda Paik Sunoo. Workforce. Jan 1998. Vol. 77, Iss. 1; p. 21 (1 page) 41. Put technology to work in calculating ROI Charlene Marmer Solomon. Workforce. Oct 1997. Vol. 2, Iss. 4; p. 17 (1 page) 42. The work force in the 21st century Anonymous. Getting Results ... for the Hands - On Manager. Saranac Lake: Feb 1997. Vol. 42, Iss. 2; p. 8 (1 page) 43. Welcome to the new workspace Verespej, Michael A. Industry Week. Cleveland: Apr 15, 1996. Vol. 245, Iss. 8; p. 24 (7 pages) 44. New horizons Anonymous. HR Focus. New York: Mar 1996. Vol. 73, Iss. 3; p. 6 (1 page) 45. What's your techno type--and why should you care? Finley, Michael. Personnel Journal. Jan 1996. Vol. 75, Iss. 1; p. 107 (3 pages) 46. Use technology to manage your expats Croft, Brian. Personnel Journal. Dec 1995. Vol. 74, Iss. 12; p. 113 (4 pages) 47. Welcome to virtual HR McNerney, Donald J. HR Focus. New York: Aug 1995. Vol. 72, Iss. 8; p. 3 (1 page) 48. HR hears the call of technology Flynn, Gillian. Personnel Journal. May 1995. Vol. 74, Iss. 5; p. 62 (5 pages) 49. Making the virtual office a reality Greengard, Samuel. Personnel Journal. Sep 1994. Vol. 73, Iss. 9; p. 66 (11 pages) 50. Made in China: IT infrastructure policy and the politics of trade opening in post-WTO China Stephen Bell, Hui Feng. Review of International Political Economy : RIPE. London: Feb 2007. Vol. 14, Iss. 1; p. 49 51. Strategic bundling: Information products, market power, and the future of globalization Frederick Guy. Review of International Political Economy : RIPE. London: Feb 2007. Vol. 14, Iss. 1; p. 26 52. A penalized likelihood approach to magnetic resonance image reconstruction Vera L Bulaevskaya, Gary W Oehlert. Statistics in Medicine. New York: Jan 30, 2007. Vol. 26, Iss. 2; p. 352 53. Models for assisted conception data with embryo-specific covariates Stephen A Roberts. Statistics in Medicine. New York: Jan 15, 2007. Vol. 26, Iss. 1; p. 156 54. ChinaCache CDN Total Network Capacity Reaches 100Gbps PR Newswire Europe Including UK Disclose. New York: Jan 4, 2007. p. n/a 55. [email protected] - Revolutionary New Web Portal Helps Keep Prices Up in Jeopardized European Dairy Market PR Newswire Europe Including UK Disclose. New York: Jan 3, 2007. p. n/a 56. Bias and inefficiency in quality-adjusted hedonic regression analysis Ludwig Von Auer, John E Brennan. Applied Economics. London: Jan 2007. Vol. 39, Iss. 1; p. 95 57. shop talk Anonymous. Arts and Activities. Skokie: Jan 2007. Vol. 140, Iss. 5; p. 14 (2 pages) 58. Patent Changes Looming on the Horizon Shane A Kennedy. Computer and Internet Lawyer. Frederick: Jan 2007. Vol. 24, Iss. 1; p. 22 (4 pages) 59. An investigation of factors that influence the duration of IT outsourcing relationships Jahyun Goo, Rajiv Kishore, Kichan Nam, H Raghav Rao, Yongil Song. Decision Support Systems. Amsterdam: Jan 2007. Vol. 42, Iss. 4; p. 2107 60. The emperor's new workplace Zuboff, Shoshana. Scientific American. New York: Sep 1995. Vol. 273, Iss. 3; p. 202 61. Law opens door to technology Grkavac, Olga. The American City & County. Pittsfield: Jan 1995. Vol. 110, Iss. 1; p. 10 (1 page) 62. Low-cost info technology energizes space data market Covault, Craig. Aviation Week & Space Technology. New York: Apr 4, 1994. Vol. 140, Iss. 14; p. 70 (1 page) 63. Is your crystal ball set on a 10-year cycle? Koop, Stuart. Datamation. Barrington: Apr 1, 1994. Vol. 40, Iss. 7; p. 84 (1 page) 64. The information technology field: Using fields and paradigms for analyzing technological change Friedman, Andrew L. Human Relations. New York: Apr 1994. Vol. 47, Iss. 4; p. 367 (26 pages) 65. Jurassic Park and Al Jolson: Thinking about the information revolution Willis, Connie. Information Technology and Libraries. Chicago: Mar 1994. Vol. 13, Iss. 1; p. 51 (3 pages) 66. The good and the bad: Outlines of tomorrow Brin, David. Information Technology and Libraries. Chicago: Mar 1994. Vol. 13, Iss. 1; p. 53 (3 pages) 67. Avoiding misuse of new information technologies: Legal and Bloom, Paul N, Milne, George R, Adler, Robert. Journal of Marketing. Chicago: Jan 1994. Vol. 58, Iss. 1; p. 98 (13 pages) 68. A desktop monster awaits us Gantz, John. Computerworld. Framingham: Dec 20, 1993. Vol. 27, Iss. 51; p. 35 (1 page) 69. Life in the acceleration lane; Getting up to speed with new Hane, Paula. Database. Dec 1993. Vol. 16, Iss. 6; p. 8 (2 pages) 70. Work: Professionals on the move Anonymous. The Futurist. Washington: Nov/Dec 1993. Vol. 27, Iss. 6; p. 59 (2 pages) 71. The other half still lives Day, Charles R Jr. Industry Week. Cleveland: Sep 20, 1993. Vol. 242, Iss. 18; p. 7 (1 page) 72. Book reviews - Paradigm Shift: The New Promise of Informati Taylor, William R. CD-ROM Professional. Sep 1993. Vol. 6, Iss. 5; p. 180 (2 pages) 73. Infotrends: The Competitive Use of Information Hodgson, Cynthia A. Database. Aug 1993. Vol. 16, Iss. 4; p. 76 (2 pages) 74. The Virtual Corporation Copler, Judith A. Database. Aug 1993. Vol. 16, Iss. 4; p. 78 (1 page) 75. Information technology enabled business process redesign: An integrated planning framework Grover, V, Teng, J T C, Fielder, K D. Omega. Oxford: Jul 1993. Vol. 21, Iss. 4; p. 433 (15 pages) 76. The great leap ... Sideways Blackwell, Gerry, Thurow, Lester C. Canadian Business. Toronto: Aug 1992. Vol. 65, Iss. 8; p. 78 77. The Virtual Corporation Copler, Judith A. Database. Aug 1993. Vol. 16, Iss. 4; p. 78 (1 page)