Bahasa Indonesia Dialek Bali sebagai Bahan Ajar Pembelajaran BIPA di BALI Oleh: Sumarsono *) IKIP Negeri Singaraja Pengantar Dalam bacaan sosiolingusitik, khususnya dalam hal perencanaan bahasa, sering dibicarakan ihwal bahasa atau ragam baku bahasa nonbaku. Tentang ragam baku biasanya disinggung mengenai ciri-cirinya, salah satunya ialah bahwa ragam baku itu biasanya diajarkan kepada orang asing atau mereka yang bukan penutur asli. Kalau ini dibalik, terjadilah apa yang selama ini dianut oleh para pakar pengajaran bahasa yang berwatak preskriptif, yaitu para penutur bahasa asing yang belajar bahasa itu, misalnya bahasa Indonesia (BI), haruslah belajar bahasa atau ragam baku, tentu saja dengan kaidah-kaidah gramatika yang baku pula. Tetapi kalau ragam baku itu hanya merupakan satu-satunya ragam yang harus dikuasai oleh pebelajar (learner), maka mereka pastilah dirugikan karena apa yang mereka pelajari mungkin tidak laku di pasaran penggunaan BI di luar kelas, penggunaan bahasa yang betul-betul terjadi di dunia nyata. Tulisan ini dimaksudkan agar BI nonbaku juga diajarkan bagi pebelajar BIPA sebagai pelengkap materi yang berwujud BI ragam baku. Materi yang dipilih di sini ialah BI dialek Bali yang diharapkan dapat dipakai sebagai materi pembelajaran BIPA di Bali. Ihwal dialek ini telah saya cermati sejak 1971 (Sumarsono, 1999). “Penyimpangan” dialek ini dari BI baku mencakupi wilayah fonologi, morfologi, kosakata, dan sintaksis. Fonologi Yang segera tampak ialah bahwa bunyi /f/ dan /v/ direalisasikan menajdi /p/ di semua posisi, sehingga kita akan menemukan ucapan seperti /nopember/, /aktip/, /poto/, /alpabet/, untuk kata-kata November, aktif, foto, alfabet. Tetapi jangan heran kalau nanti ada sejenis hiperkorek di papan kecil di tepi jalan dengan tulisan: “Jual Elfiji”, alih-alih yang dimaksud ialah “Jual elpiji (=LPG)”. Meskipun bahasa Bali mempunyai kata togog ‘patung’ dan belog ‘bodoh’, yang keduanya berakhir dengan bunyi /k/ atau /g/, jangan heran kalau untuk kata-kata serapan yang berakhir dengan /k/, seperti objek, subjek, proyek, linguistik yang muncul ialah ucapan yang berakhir dengan /’/: /obye’/, /subye’/, /proye’/, /linguisti’/. Ucapan semacam ini banyak kali juga terjadi pada orang-orang terpelajar, termasuk para sarjana linguistik. Masih menyangkut kata serapan, bunyi /u/ pada suku kata pertama atau kedua diucapkan /o/, seperti pada kata turis dan Februari yang diucapkan /toris/ dan /pebroari/. Jika ada dua bunyi, /o/ dan /u/ berurutan terdapat dalam sebuah kata, maka /u/ itu akan diucapkan /o/ juga. Misalnya, kata-kata komunikasi dan revolusi akan terucapkan /komonikasi/ dan /revolosi/. Bunyi /i/ pada suku kata tertutup pada bagian akhir kata tidak diucapkan sebagai /i/ yang “tajam”, seperti /i/ pada kata ikan. Misalnya pada kata putih, sedikit, kecil, bunyi /i/ di situ diucapkan seperti /i/ pada kata-kata garis, bukit, kancil. Morfologi Dalam hal ini akan lebih mudah dipahami kalau kita melihatnya dalam kalimat. Dalam hitung-menghitung, kita mengenal kata-kata menambah, mengurangi, membagi, mengalikan. Kalau dipasifkan kata-kata tersebut, menurut kaidah gramatika, haruslah menjadi ditambah, dikurangi, dibagi, dikalikan. Tetapi di sekolah dan dipasar atau toko akhiran -i dan –kan itu akan hilang pada kata ke-2 dan ke-4 dan jadilah bentuk dikurang dan dikali: 5 – 2 akan dibaca “lima dikurang dua”, dan 5 x 2 akan dibaca “lima dikali dua”. Yang sebaliknya terjadi juga, yaitu akhiran –kan justru banyak kali muncul pada kata memberi dan diberi yang seharusnya tidak memerlukan akhiran itu: “Dia sudah sering diberikan nasihat”. Sebaliknya, banyak kali akhiran –kan diganti dengan akhiran –i, misalnya pada kalimat, “Tolong ambili sapu itu!” Gejala mengganti –kan dengan –i ini tampaknya sejajar dengan gejala yang terjadi pada BI dialek Jakarta yang mengganti – kan dengan –i. Perulangan seperti dalam kalimat “Saya tidak tahu apa-apa.”, tidak akan terjadi, dan bentuknya menjadi tanpa perulangan: “Saya tidak tahu apa.” Kosakata Kosakata merupakan wilayah yang paling menarik terutama yang berhubungan dengan makna. Kata dapat bisa mengacu ke makna ‘sempat’ seperti tampak pada cakapan berikut) A: “Pak Komang diopname di rumah sakit, lho. B: “Saya belum dapat nengok.” Sehubungan dengan itu, manakala Anda mendengar kalimat “Saya belum dapat baca.”, misalnya untuk menjawab pertanyaan, “Sudah baca buku itu?”, jangan mengartikan “dapat baca” itu sebagai ‘buta huruf’ karena kalimat itu hanya bermakna ‘saya belum membacanya’. Kalau suatu ketika pada musim rambutan si A bertemu dengan temannya, si B, dan, karena A tahu bahwa si B mempunyai rambutan, A berujar, “E, mana rambutannya?” (dengan maksud meminta rambutan), maka ada kemungkinan B menjawab, “Pulang, na’e!”, maka B tidak perlu merasa tersinggung, karena kata pulang itu berarti ‘datang ke rumah saya’, sehingga kalimat itu berarti, “ Datanglah ke rumah saya.” Seorang rekan dosen pernah berkata kepada saya, “Pak, kemarin si Kadek dapat pulang.” Yang dimaksud rekan ini ialah “Pak, kemarin si Kadek datang ke rumah saya.” (Perhatikan penggunaan kata dapat di situ!) Penggunaan ini serupa dengan kasus “dapat baca” di atas. Dalam ragam baku kata tersebut tidak diperlukan.) Kata sekali mungkin agak janggal di telinga kita. Perhatikan cakapan berikut: A: “Siapa Pak Dania itu?” B: “Oh, itu. Dia adik saya, adik sekali.” (=adik kandung; adik yang lahir setelah saya) atau yang ini: A: “Dari mana kau dapat berita itu?” B: “Dari radio Australi. Saya mendengar sekali.” (=betul-betul mendengar) Tentu saja dalam BI baku juga ada bentukan paham sekali yang bermakna ‘paham benar’; amat paham’, tetapi tidak ada kata sekali di belakang mendengar. Jika anda ke pasar akan membeli telur, lalu Anda bertanya kepada penjual,”Berapa satu kilo, Bu?”, maka bisa jadi jawabannya ialah “Seribu lima.” Jangan kaget. Yang dimaksudkan bukan ‘seribu rupiah mendapatkan lima telur’, melainkan ‘seribu lima ratus rupiah’ per kilo. Kalau kemudian Anda memerlukan kecap lalu bertanya,”masih punya kecap, Bu?”, maka mungkin akan mendapat jawaban,” Waduh, tidak masih.”, dengan makna ‘habis’. Sepeda motor bukanlah barang asing bagi masyarakat Bali. Hanya saja mereka menyebut sepeda motor itu dengan honda. Karena itu bisa saja seseorangberujar,”Saya tadi ke sini naik honda.” Meskipun sepeda motornya bermerk Yamaha atau Suzuki atau yang lain. Pengeras suara (loud speaker) juga bukan barang baru; kelengkapannya, yang disebut mik (Inggris: mike) atau pelantang oleh orang Bali disebut pengaloan, mungkin karena alat ini biasa dipakai untuk memanggil orang enggan kata “Halo, halo.…” Dalam hal menyerap kata-kata bahasa Inggris, masyarakat Bali cukup “berani”, dalam arti kata-kata Inggris itu diindonesiakan sesuai dengan ucapannya, bukan tulisannya. Di Bali sudah muncul kata-kata seperti krodit (= crowded), komplin (= complain), rijek (= riject), dan tipi (= tivi; tv). Sintaksis Di atas ada kalimat, “Pulang, na’e”. Kata na’e ialah sejenis partikel “pemanis” dalam bahasa Bali yang padanannya dalam BI adalah –lah. Partikel lain yang juga selalu mempunyai fungsi sintaksis ialah men seperti dalam kalimat “Men, saya harus bagaimana?”. Dalam BI padanannya mungkin ini: “Habis, saya harus bagaimana?” atau “Lalu,…” Partikel asal Jakarta dong kadang-kadang dipakai juga, tetapi penempatannya di dalam kalimat mungkin tidak sama dengan orang Jakarta: “Jangan dong begitu!” Di Jakarta, tempat kata tersebut mungkin saja seperti itu, tetapi yang jelas di Bali kata dong tidak pernah terdapat di akhir kalimat. Mungkin ini merupakan pengaruh dari partikel bahasa Bali je yang perpadanan dengan dong. Kalau Anda ke toko atau ke pasar di Jawa, yang banyak Anda temukan ialah pertanyaan pelayan atau pemilik toko, “Cari apa, Pak/Bu?”; di Bali mungkin saja pertanyaannya ialah ,”Apa dicari, Pak/Bu?”. Kalau Anda seorang pria yang sudah beristri, dan suatu saat Anda hadir sendirian di sebuah pertemuan, mungkin Anda akan ditanya, “Mana ibunya, Pak?”. Yang ditanyakan sebenarnya ialah istri Anda. Di Jawa, misalnya, dalam kalimat semacam itu orang akan mengujarkannya tanpa –nya. Di pasar atau di jalan pun seseorang yang bertemu dengan perempuan kenalannya, setelah sekian lama tidak pernah muncul, akan berujar dengan suara agak keras, “E, ibunya!” Akhiran ini bisa juga muncul pda kalimat “Dia memang naka sekalinya”. Tidak jarang, ketika seseorang ditanya, “Siapa tadi yang meminum teh saya?”, jawabannya ialah, “Itu, Bu Watinya.” \\NTSERVER\IALF\ACTIVITY\KIPBIPA IV\Papers\Sumarsono-Paralel.doc