Mengembangkan Kurikulum BIPA yang Ramah terhadap Pelajar Y. Karmin Universitas Sanata Dharma 1. Pendahuluan Sebagai sistem pembelajaran terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu pelajar sebagai masukan (input), proses, dan keluaran (output). Proses melibatkan pelajar sebagai komponen yang mengalami proses itu, guru sebagai penggerak sekaligus pengatur jalannya proses, kurikulum sebagai program yang dijalankan dalam proses, dan prasarana serta sarana sebagai fasilitas yang memungkinkan jalannya proses itu. Semua komponen itu berperan dalam kekompakan. Pelajar merupakan pribadi-pribadi yang aktif, bukan objek yang pasif yang dapat diisi dengan ilmu dan pengetahuan seperti botol kosong yang dapat dipenuhi begitu saja dengan air, minyak tanah, bensin, atau apa saja oleh guru. Guru mempunyai peranan yang sangat menentukan. Apakah ia mau memperlakukan pelajar sebagai subjek yang aktif atau objek yang pasif, melaksanakan kurikulum dengan penuh kreativitas, atau seperti mesin yang mati dan hidup tanpa variasi, dan sebagainya, semua tergantung pada guru. Kurikulum merupakan komponen yang sangat penting di samping guru dan fasilitas. Dengan kurikulum jelaslah gambaran tentang tujuan yang akan dicapai, bahan pembelajaran yang akan diolah, program pembelajaran yang akan dilaksanakan, serta kegiatan pembelajaran yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Kurikulum memberikan pedoman kepada guru untuk menyusun dan melaksanakan program pembelajaran. Gambaran tentang tinggi mutu keluaran juga dapat diperkirakan dari kurikulum yang dilaksanakan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia tiap kali ada penggantian kurikulum dengan pendekatannya. Pada tahun 1976 Kurikulum 1975 menggantikan kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan dan menggunakan pendekatan PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang dikembangkan melalui satuan pelajaran. Pada tahun 1984 Kurikulum 1975 diganti dengan Kurikulum 1984 yang menggunakan pendekatan keterampilan proses yang pelaksanaannya menggunakan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Khusus untuk pelajaran bahasa digunakan pendekatan komunikatif dan untuk mendukung pendekatan ini dimasukkan pokok bahasan pragmatik. Selanjutnya Kurikulum 1984 diganti dengan Kurikulum 1994 yang berlaku sampai sekarang. Ada dugaan bahwa di lapangan banyak guru yang kurang paham tentang konsep keterampilan proses sehingga pelaksanaan pendekatan itu belum seperti yang diharapkan. Cara belajar siswa aktif pun sesungguhnya bukan barang baru karena salah satu prinsip didaktik adalah siswa harus aktif. Demikian juga apa yang disebut pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa sebab sejak dulu tujuan utama orang belajar bahasa adalah agar dapat menggunakan bahasa yang dipelajari untuk berkomunikasi.. Paradigma “baru” yang berkembang sejak tahun delapan puluhan adalah bahwa mengajar adalah membuat siswa belajar. Guru dianggap sebagai fasilitator saja dan berkaitan dengan anggapan itu di Indonesia berlaku istilah pembelajaran sebagai ganti belajar-mengajar. Namun, kenyataannya guru tetap sebagai aktor yang aktif dan faktor yang menentukan. Guru tidak hanya menyediakan perangkat keras, tetapi juga perangkat lunak Untuk membuat siswa aktif belajar, guru harus bekerja keras, memilih metode yang tepat, mengolah bahan dari GBPP, berusaha menarik perhatian siswa, dan lain-lainnya. Untuk mendukung kegiatan pembelajaran itu diperlukan kurikulum yang memihak pelajar, yang memungkinkan siswa berbuat aktif. Kurikulum ini harus menitikberatkan kebutuhan pelajar sehingga kegiatan pembelajaran mencapai sasaran dan tujuan pelajar belajar. Tujuan, program, dan bahan pembelajarannya disusun sesuai dengan kebutuhan pelajar. Seperti dikatakan tadi, tujuan belajar bahasa sejak dulu adalah agar pelajar dapat menggunakan bahasa yang dipelajari untuk berkomunikasi, menerima dan menyampaikan pesan atau informasi. Komunikasi dapat dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis. Apa yang dapat dikomunikasikan dalam kehidupan ini boleh dikatakan tidak ada batas, akan tetapi kebutuhan setiap orang untuk berkomunikasi terbatas. Kalau orang belajar bahasa kedua, tentu yang dipelajari terutama hanya bagian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu. Dewasa ini banyak penutur asing yang belajar bahasa Indonesia. Mereka berasal dari berbagai negara dengan bahasa pertama mereka masing-masing. Latar belakang mereka juga berbeda-beda, tetapi yang datang ke Indonesia umumnya orang dewasa. Tujuan dan kebutuhan mereka bermacam-macam Lama belajar juga berbeda-beda. Bekal kemampuan berbahasa Indonesia mereka bertingkattingkat; dari tingkat pemula (mulai dari nol) sampai tingkat mahir/lancar. Dengan demikian, kiranya tidak mungkin mereka mempelajari bahan yang sama dengan kedalaman dan keluasan yang sama. Kesulitan timbul apabila mereka datang bersama untuk belajar dalam waktu yang sama. Sehubungan dengan uraian di atas, persoalan pokok yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengembangkan kurikulum seperti yang digambarkan tadi untuk BIPA. Tulisan ini mencoba memecahkan persoalan itu dengan memberikan gambaran mengenai kurikulum BIPA yang dimaksud. Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi penyusun kurikulum untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan perkembangan pembelajaran BIPA. Bagi pengajar tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan untuk menyusun program pembelajarannya. Bagi pelajar dapat juga tulisan ini dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mengingat adanya berbagai keterbatasan, pembahasannya hanya meliputi dua hal pokok, yaitu dasar-dasar penyusunan kurikulum BIPA dan kerangkanya. Pokok pembicaraan yang pertama mencakup kebutuhan pelajar asing belajar bahasa Indonesia, gambaran singkat tentang bahasa Indonesia, sedikit teori belajar bahasa kedua, dan pendekatan yang tepat. Kerangka kurikulum meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, ruang lingkup bahan pengajaran, dan sistem evaluasi. 2. Dasar-dasar Penyusunan Kurikulum BIPA Bagian ini akan membicarakan kebutuhan pelajar BIPA, gambaran singkat tentang bahasa Indonesia, terutama kekhususan dan perbedaannya dengan bahasa lain, dan sedikit teori tentang belajar bahasa kedua. 2.1 Kebutuhan Pelajar BIPA Untuk mencapai tujuan pokok belajar bahasa Indonesia, yaitu agar dapat menggunakannya untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis penutur asing tidak perlu dan juga memang tidak mungkin mempelajari bahasa Indonesia keseluruhan, baik tata bunyi, kosakata, maupun tata bahasa. Mereka tentu harus mempelajari apa-apa yang mereka butuhkan, tetapi tidak harus mempelajari apa yang tidak mereka butuhkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mackey tentang seleksi dalam pembicaraan mengenai metode. Menurut Mackey tidak ada metode yang dapat mengajarkan keseluruhan suatu bahasa. Tak ada penutur asli yang mengetahui keseluruhan bahasa mereka sendiri. Sejumlah besar materi yang diajarkan beberapa metode mencakup banyak hal yang tidak pernah dipakai dan segera dilupakan. Adapun seleksi dilakukan berdasarkan: (1) tujuan, tingkat, dan lama, (2) tipe, dan (3) jumlah yang dipilih, yang semua dipengaruhi oleh (4) cara seleksi, dan menentukan (5) butir-butir yang diseleksi dari fonetik, tata bahasa, kosakata dan semantik (Mackey, 1971:101-102) Informasi tentang kebutuhan pelajar itu amat diperlukan untuk menyusun kurikulum yang berpusat pada pelajar dan untuk pengajar yang berperan sebagai fasilitator. Untuk itu diperlukan analisis kebutuhan komunikasi yang benar-benar dibutuhkan oleh pelajar; jadi, bukan kebutuhan umum, tetapi kebutuhan khusus. Pengkhususan kebutuhan komunikasi ini diutamakan untuk seleksi fungsi ujaran atau tindak komunikasi yang perlu dipelajari oleh pelajar. Dengan menggambarkan profil kebutuhan komunikasi dapat ditentukan kecakapan dan bentuk-bentuk linguistik khusus yang perlu dipelajari (Munby, 1978: 24). Dalam hal ini Nunan mengatakan bahwa para pendukung kurikulum yang berpusat pada pelajar kurang tertarik pada pelajar yang mau menguasai keseluruhan suatu bahasa. tetapi lebih tertarik untuk membantu mereka memperoleh keterampilan komunikatif dan kebahasaan yang mereka butuhkan untuk melaksanakan tugas dalam dunia nyata. Ini berarti secara implisit pandangan yang berpusat pada pelajar mengaku bahwa tidak ada orang yang menguasai segala aspek bahasa (Nunan, 1988: 22). Dalam buku yang berjudul Communicative Syllabus Design (1978) Munby memberikan model untuk mengkhususkan kompetensi komunikatif dengan parameternya dan bagaimana komponennya berinteraksi untuk memproses masukan menjadi keluaran. Dalam buku itu analisis kebutuhan diuraikan secara teliti dari berbagai segi. Profil kebutuhan komunikatif pelajar (participant) dalam model itu diinterpretasikan dalam hubungannya dengan keterampilan bahasa dalam kenyataan. Munby tidak menggunakan istilah keterampilan bahasa yang meliputi empat macam: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sebagai konsep makro, tetapi istilah keterampilan digunakan dalam konsep mikro yang tidak memisahkan keempat keterampilan itu. Selanjutnya taksonomi keterampilan itu terdiri dari dua ratus enam puluh macam keterampilan yang dimasukkan ke dalam lima puluh empat kelompok. (hal. 116 – 131). Analisis kebutuhan dapat berfokus pada parameter program pengajaran bahasa secara umum atau pada kebutuhan komunikatif khusus para pelajar. Yang pertama merujuk kepada analisis situasi yang berfokus pada macam pertanyaan: Siapa pelajarnya? Apa tujuan dan harapan mereka? Apa gaya (styles) belajar yang lebih mereka sukai? Seberapa kemampuan guru dalam bahasa target? Siapa guru(-guru)nya? Apa pelatihan dan pengalaman yang dimiliki guru? Apa pendekatan pengajaran yang mereka sukai? Apa yang diharapkan guru dari program? Apa konteks administratif programnya? Apa kendala (misalnya waktu, anggaran, sumber) yang ada? Apa jenis tes dan ukuran penilaian yang dibutuhkan? Pendekatan kedua, analisis kebutuhan komunikatif berhubungan dengan pengumpulan informasi tentang kebutuhan komunikatif pelajar akan bahasa target dan melibatkan macam pertanyaan berikut: Dalam latar (settings) apa saja pelajar akan menggunakan bahasa target? Apa hubungan peran yang terlibat? Modalitas bahasa mana yang terlibat (misalnya: membaca, menulis, mendengarkan, berbicara)? Apa tipe kejadian komunikasi dan tindak ujaran yang terlibat? Apa tingkat kemampuan yang dituntut? {Richards, 1990:2} Jawab atas pertanyaan-pertanyaan kedua kelompok itu membantu menentukan tipe keterampilan bahasa dan tingkat kemampuan bahasa yang akan diberikan dalam program pembelajaran yang berpusat pada pelajar. Untuk mendapatkannya diperlukan kuesioner pada para pelajar. Bagian kuesioner yang dilampirkan oleh Richards antara lain mencakup pertanyaan tentang bagaimana pelajar senang belajar, misalnya: a) Di kelas, apakah Anda suka belajar 1. sendiri 2. berpasangan 3. dst. b) Apakah Anda menginginkan pekerjaan rumah? Jika demikian, berapa banyak waktu yang Anda gunakan di luar jam sekolah? ------- jam sehari atau ------- jam seminggu dst. c) Apakah Anda ingin 1. menghabiskan seluruh waktu belajar Anda di kelas/ atau ... 2. dst. d) Apakah Anda suka belajar 1. dengan menghafal? 2. dengan memecahkan masalah? dst. ( hal. 27). 2. 2 Bahasa Indonesia dalam Perkembangannya Bahasa Indonesia dapat dilihat secara politis dan secara linguistis. Secara politis bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa negara bagi seluruh warga negara Republik Indonesia. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia ini telah dirumuskan dalam Politik Bahasa Nasional (Amran Halim, ed,, 1976) dan telah banyak dikutip. Secara linguistis bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa di dunia yang memiliki sistem tersendiri seperti bahasa-bahasa lain. Sistem ejaan telah jelas dengan adanya Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Pedoman EYD}; kosakatanya tergambar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia; sedangkan sistem fonologi, morfologi, dan sintaksisnya dapat dipelajari dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI) yang edisi terakhirnya disusun oleh Hasan Alwi dkk.(1998) dan buku-buku tata bahasa yang lain. Sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya, bahasa Indonesia terus berkembang baik ditinjau dari jumlah pemakainya, luas pemakaiannya, maupun penambahan kosakatanya. Dalam pemakaiannya itu terdapat beraneka ragam yang semuanya masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masingmasing berbagi teras atau intisari bersama yang umum (Alwi dkk.,1998: 3). Dalam TBBBI ragam bahasa dikenali menurut golongan penutur bahasa dan menurut jenis pemakaian bahasa. Dari sudut pandangan penutur ragam bahasa dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah dikenal dengan nama logat atau dialek; ragam bahasa orang berpendidikan yang pada umumnya memperlihatkan pemakaian bahasa yang apik lazim digolongkan dan diterima sebagai ragam baku; ragam bahasa menurut sikap penutur yang dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berbicara atau pembaca. Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci menjadi tiga macam: ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan, ragam menurut sarana, dan ragam yang mengalami Precambrian. Ragam menurut bidang atau pokok persoalannya terlihat dari kosakatanya; ragam menurut sarana meliputi ragam lisan dan ragam tulisan (hal. 3-7). Gorys Keraf (1991:5-7) menggolongkan ragam bahasa berdasarkan bidang wacana, cara berwacana, peran, dan formalitas hubungan. Berdasarkan bidang wacana dibedakan ragam ilmiah dan ragam populer; berdasarkan cara berwacana secara umum dapat dibedakan ragam tulis dan ragam lisan; berdasarkan peran sosial atau fungsi, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam resmi dan ragam tak resmi, ragam teknis dan nonteknis, ragam prosa dan lirik, dan ragam terbatas (misalnya telegram). Adapun berdasarkan formalitas hubungan dibedakan ragam netral, ragam sopan, dan ragam kasar. Ragam baku atau bahasa standar merupakan bahasa yang dianggap dan diterima sebagai patokan umum atau tolok bagi seluruh penutur. Ragam ini memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap dan sifat kecendekiaan yang perwujudannya mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal. Adanya kaidah dan norma dalam bahasa standar ini menjadi tolok ukur bagi betul tidaknya pemakaian bahasa perorangan atau golongan (Alwi, 1998: 13-16: Keraf, 1991: 8). Walaupun tidak berdasarkan data penelitian, kiranya dari kenyataan dapat dikatakan bahwa jumlah pemakai bahasa Indonesia awal abad dua puluh satu ini sangat besar dan wilayah pemakaiannya sangat luas mengingat jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta orang dan sebagian besar telah mengalami pendidikan. Kosakata bahasa Indonesia juga terus bertambah dengan masuknya kata-kata dari bahasa daerah dan terutama dari bahasa asing. Dari kenyataan juga dapat dirasakan bahwa dewasa ini batas antara ragam yang satu dengan yang lain kadang-kadang tidak jelas. Dialek Jakarta, misalnya, telah “menular” ke mana-mana walaupun tidak sepenuhnya, terutama di kalangan anak muda. Dalam berbagai peristiwa yang seharusnya orang menggunakan ragam bahasa baku banyak terdapat penyimpangan terhadap kaidah dan pemakaian kata yang tidak tepat. Kata kita yang melibatkan lawan bicara sering dipakai dalam pengertian kami yang tidak melibatkan lawan bicara; kata cuman yang tidak baku sering dipakai sebagai pengganti hanya yang baku. Agaknya penyimpangan itu tidak dirasakan atau tidak dipedulikan oleh banyak pemakai karena komunikasi tetap berjalan tanpa salah paham. Perbedaan antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing dalam hal ejaan, kosakata, dan struktur cukup jelas karena bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang berdiri sendiri, memiliki sistem tersendiri. Dalam hal ejaan yang perlu dicatat adalah adanya dua huruf yang melambangkan satu bunyi, misalnya kh, ng, ny, dan sy; dan satu huruf yang melambangkan lebih dari satu bunyi, misalnya e dan k. Perbedaan yang menonjol mungkin adanya “keluwesan” dalam pemakaian yang tidak dimiliki bahasa lain. Yang dimaksud keluwesan di sini yaitu variasi bebas dan penyimpangan yang tidak mengganggu proses komunikasi atau tidak menimbulkan salah paham bagi pelakunya, terutama dalam ragam lisan. Ucapan, aksen, dan intonasi yang bervariasi dalam bahasa Indonesia tidak pernah menimbulkan persoalan. Selain itu, banyaknya kata-kata asing masuk ke dalam bahasa Indonesia dan mudahnya pembentukan akronim juga merupakan sesuatu yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa lain. Banyak orang mengira bahwa keluwesan dan banyaknya kata yang berasal dari bahasa asing itu memudahkan pelajar BIPA, tetapi ternyata tidak demikian. Pengalaman menunjukkan bahwa di antara para pelajar BIPA itu mengeluh dan bingung dengan banyaknya penyimpangan dan banyaknya kata-kata yang berasal dari bahasa lain itu. 2.3 Teori Belajar Bahasa Kedua Bagi penutur asing bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Banyak teori tentang belajar bahasa asing atau bahasa kedua, terutama mengenai metode, telah dikemukakan para ahli tetapi di sini hanya akan disinggung sedikit. Belajar dan mengajar erat kaitannya. Bila kita memandang proses mengajar sebagai fasilitasi belajar, Brown (1980: 2-4) mengatakan bahwa kita akan sukses dalam mengajar bahasa asing apabila kita mengetahui sesuatu tentang jaringan variabel yang rumit yang mempengaruhi bagaimana dan mengapa belajar bahasa kedua berhasil atau gagal. Untuk mengetahui prinsip-prinsip belajar dan mengajar bahasa asing guru harus mulai dengan beberapa pertanyaan: Siapa, Apa, Bagaimana, Kapan, Di mana, dan Mengapa yang masing-masing dijabarkan lagi dengan beberapa pertanyaan. Pertanyaan Siapa, misalnya, jawabannya jelas, yaitu pelajar dan guru ; namun, masih banyak pertanyaan tentang pelajar itu: dari mana asal mereka, apa bahasa pertama, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Mengenai guru, pertanyaan selanjutnya adalah: apa bahasa asli mereka, pengalaman dan pelatihan yang pernah dijalani, pengetahuan tentang bahasa kedua, kepribadian, dan yang paling penting bagaimana interaksi mereka dengan pelajar sebagai manusia diusahakan dalam komunitas bahasa. Pertanyaan yang paling relevan untuk kurikulum BIPA adalah Siapa, Apa, dan Mengapa. Jawaban pokoknya masing-masing adalah penutur asing dan pengajar, bahasa Indonesia, dan pelajar ingin menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi dalam berbagai keperluan. Penutur asing berasal dari berbagai tempat dengan bahasa pertama yang berbeda-beda, latar belakang sosial ekonomi yang mungkin berbeda, dan kapasitas intelektual yang berbeda-beda pula. Persamaan mereka adalah mereka orang dewasa, bukan anak-anak lagi. Brundage dan MacKercher seperti dikutip Nunan (1988: 22-23) mengidentifikasi prinsip-prinsip belajar orang dewasa di antaranya sebagai berikut: - Orang dewasa yang menilai pengalamannya sendiri sebagai sumber untuk belajar lebih lanjut atau yang pengalamannya dinilai orang lain adalah pelajar yang lebih baik. - Orang dewasa belajar paling baik kalau mereka terlibat dalam pengembangan tujuan belajar bagi mereka sendiri yang serupa dengan konsep diri saat ini dan yang diidamkan. - Orang dewasa telah mengembangkan cara-cara yang teratur untuk memusatkan pada pengolahan informasi - Pelajar bereaksi terhadap semua pengalaman sebagai apa yang ia amati, bukan sebagai apa yang diberikan oleh guru - Orang dewasa masuk ke dalam kegiatan belajar dengan serangkaian gambaran dan perasaan yang teratur tentang dirinya yang mempengaruhi proses belajar. - Orang dewasa lebih berkepentingan dengan apakah mereka berubah ke arah konsep-diri yang diidamkan mereka sendiri daripada apakah mereka menemukan standar dan tujuan dari orang lain - Orang dewasa tidak belajar apabila terlalu dirangsang atau mengalami tekanan atau kecemasan berat. - Orang dewasa yang dapat memproses informasi melalui berbagai saluran dan telah belajar ‘bagaimana belajar” adalah pelajar yang paling produktif. - Orang dewasa belajar paling baik apabila bahan pelajaran secara pribadi relevan dengan pengalaman masa lalu atau kepentingan sekarang dan proses belajar relevan dengan pengalaman hidup. - Orang dewasa belajar paling baik apabila informasi baru disajikan melalui suatu jenis cara yang berhubungan dengan pancaindera dan pengalaman dengan ulangan dan variasi tema yang cukup. Prinsip-prinsip di atas menunjukkan bahwa pelajar dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lalu, kepentingan sekarang, dan harapan masa depan. Mereka lebih tertarik pada belajar untuk mencapai tujuan langsung atau tidak terlalu jauh daripada belajar untuk kepentingan belajar. Dalam pengajaran bahasa, hal itu mengisyaratkan bahwa pendekatan yang berpusat pada pelajar lebih sesuai daripada pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran. Pendekatan yang sampai sekarang banyak diterapkan dalam pengajaran bahasa asing, bahkan untuk pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Indonesia adalah pendekatan komunikatif. Dengan pendekatan ini dimungkinkan pelajar tidak hanya mengetahui dan menghasilkan bentuk-bentuk linguistik sesuai dengan kaidah, tetapi terutama dapat menggunakannya untuk berkomunikasi dalam berbagai situasi dan keperluan. Namun, ada kecurigaan bahwa konsep pendekatan komunikatif di lapangan kurang dipahami atau sering diartikan ‘yang penting komunikatif, lawan bicara tahu maksud yang disampaikan, tidak perlu mengikuti kaidah’ sehingga kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar yang diharapkan belum sepenuhnya terpenuhi. Dalam TBBBI dikatakan “ ... anjuran agar kita ‘berbahasa Indonesia yang baik dan benar’ dapat diartikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah yang betul. Ungkapan ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebenaran dan kebaikan.” Itu berarti bahwa baik dan benar merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan walaupun baik dan benar dapat dibedakan. Anjuran atau harapan itu mestinya juga berlaku untuk penutur asing yang belajar bahasa Indonesia. Untuk itu pendekatan komunikatif diterapkan dengan catatan bahwa ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu ditekankan. 3. Kerangka Kurikulum BIPA Pada bagian ini akan diketengahkan kerangka Kurikulum BIPA secara sederhana, yaitu hanya meliputi tujuan, ruang lingkup bahan dan sumbernya, serta sistem evaluasi. 3.1 Tujuan Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 1994 tujuan pengajaran meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dirumuskan dalam lima butir rumusan yang pada intinya siswa menghargai dan membanggakan, memahami serta dapat menggunakan bahasa Indonesia; memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa; serta mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra. Tujuan khusus meliputi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Kebahasaan berkenaan dengan pemahaman dan penggunaan tata bunyi, ejaan, struktur, kosakata dan apresiasi sastra. Pemahaman berkenaan dengan kemampuan reseptif, sedang penggunaan berkenaan dengan kemampuan produktif. Bagi penutur asing tujuan pengajaran bahasa Indonesia tentu tidak sama dengan bagi siswa Indonesia karena kedudukan bahasa Indonesia bagi siswa Indonesia dan bagi penutur asing berbeda. Sikap siswa Indonesia dan penutur asing terhadap bahasa Indonesia juga berbeda. Oleh karena itu, rumusan tujuan pengajarannya juga berbeda. Tujuan Umum 1. Pelajar BIPA mengenal bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional Indonesia 2. Pelajar BIPA memahami bahasa Indonesia secara linguistis (ejaan, fonologi, morfologi, sintaksis dan kosakata) 3. Pelajar BIPA mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai ragamnya baik secara reseptif maupun produktif 4. Pelajar BIPA mampu mengapresiasi sastra Indonesia dalam berbagai bentuknya (prosa, puisi, drama, syair lagu} Tujuan Khusus Pelajar BIPA mampu : 1. mengucapkan kata dan kalimat dengan ucapan yang tepat dan intonasi yang sesuai dengan maksudnya 2. menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang baku dengan tepat 3. menggunakan berbagai bentuk imbuhan dengan maknanya 4. menggunakan kata dengan maknanya 5. mendapatkan dan menggunakan sinonim, antonim, dan homonim 6. memahami bahwa pesan yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk dan dapat menggunakannya 7. memahami bahwa bentuk yang sama dapat mengungkapkan berbagai makna 8. mengenal dan menikmati puisi, prosa, dan drama Indonesia 9. menerima pesan dan ungkapan perasaan orang lain dan menanggapinya secara lisan dan tertulis 10. mengungkapkan perasaan, pendapat, angan-angan dan pengalaman secara lisan dan tertulis sesuai dengan medianya 11. berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain secara lisan menurut keadaan 12. menikmati keindahan dan menangkap pesan yang disampaikan dalam puisi, prosa, drama, dan syair lagu. 3. 2 Ruang Lingkup Bahan dan Sumbernya Ruang lingkup BIPA meliputi kebahasaan, kecakapan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), apresiasi sastra. Sumber bahan meliputi sumber tertulis dan sumber lisan. Sumber tertulis mencakup: berbagai buku, majalah, surat kabar, dokumen, surat resmi, Su rat perorangan, iklan, pengumuman, novel, cerpen, syair lagu, dan sebagainya. Adapun sumber tertulis meliputi: pidato, sambutan, diskusi, percakapan resmi dan tak resmi, siaran radio, siaran televisi, dan lain-lainnya. Catatan: Tidak semua tujuan harus dicapai dan tidak semua bahan harus dipelajari. karena kurikulum ini berpusat pada pelajar. Mereka dipersilakan menentukan sendiri tujuan yang akan dicapai dan bahan yang akan dipelajari; demikian juga lama belajar dan tingkat kemampuan/kecakapan. Kurikulum menyediakan segala sesuatunya berdasarkan analisis kebutuhan atau istilah Yalden (1983) survei kebutuhan. 3. 3 Sistem Evaluasi Evaluasi merupakan masalah yang kompleks dalam pengajaran bahasa. Mulai dari membuat alat, kerumitan sudah terasa, belum lagi pelaksanaan dan pengolahan hasilnya. sebagai contoh, dalam kenyataan sering dijumpai pelajar yang “berbakat berbicara” dan yang pendiam. Pelajar yang pertama kata-kata dan kalimatnya banyak tetapi tidak karuan, sedang yang kedua kata-kata dan kalimatnya sedikit tetapi baik dan benar. Mana yang dinilai lebih baik? Itu hanya contoh kecil yang mungkin mudah dipecahkan. Banyak contoh lain yang menunjukkan kompleksitas hal evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan dalam berbagai tingkat, dari tingkat nasional atau bahkan internasional seperti TOEFL sampai tingkat kelas yang dilakukan oleh guru. Di sini hanya akan dibicarakan evaluasi tingkat kelas yang biasanya dilakukan oleh guru. Evaluasi tidak hanya dapat dilakukan secara sumatif, yaitu pada akhir suatu program. Evaluasi justru perlu dilakukan dalam proses pembelajaran untuk mengetahui perubahan (kemajuan) pelajar dan keefektifan proses pembelajaran itu sendiri. Dalam evaluasi itu paling baik apabila pelajar diikutsertakan agar mereka dapat melihat kemajuan diri sendiri. Evaluasi untuk kemampuan komunikatif dapat menggunakan tes diskrit dan tes terpadu. tes diskrit sesuai untuk komponen kebahasaan dalam fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Untuk kecakapan berbahasa tes terpadu lebih sesuai. Termasuk tes terpadu adalah prosedur cloze. dikte, dan wawancara lisan (Savignon, 1983: 249-265) 4. Penutup Sebagai penutup perlu dikemukakan di sini bahwa untuk menyusun kurikulum BIPA yang berpusat pada pelajar atau yang ramah terhadap pelajar diperlukan analisis kebutuhan mereka. Kata ramah diartikan siap melayani pelajar dalam arti bahwa tujuan dan bahan yang disediakan tidak dipaksakan untuk mereka, tetapi mereka dapat mengambil sebagian atau seluruhnya sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu mereka juga diikutsertakan dalam evaluasi. Tulisan ini jauh dari sempurna dan kurang sesuai dengan rencana semula. Untuk memperbaikinya diperlukan banyak masukan. Oleh karena itu, masukan dari siapa pun baik berupa kritik, komentar, maupun saran akan diterima dengan rendah hati. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Brown, H, Douglas. 1980. Principles of Language Learning and Teaching. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Depdikbud. 1994. Kurikulum Penddidikan Dasar: Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Jakarta Halim, Amran, ed. 1976. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia. Dalam Politik Bahasa Nasional. Dihimpun oleh Pusat Bahasa. Jakarta: Balai Pustaka Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia Mackey, W. F. 1971. Language Teaching Analysis. London: Longman Group Ltd. Munby, John. 1978. Communicative Syllabus Design. Cambridge: CUP Nunan, David. 1994. The Learner-Centred Curriculum. Cambridge: CUP Richards, Jack C. 1990. The Language Teaching Matrix. Cambridge: CUP Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practice. Massachusetts: Addiso-Wesley Publishing Company Yalden, Janice. 1983. The Communicative Syllabus. Oxford: Pergamon Press