- Repository UNPAS

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pemerintah Kurikulum 2013
a. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No.54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan
Dasar dan Menengah
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanat
tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
20
21
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut diperlukan profil
kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi
lulusan. Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
disebutkan
bahwa
standar
kompetensi
lulusan
merupakan
kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan
peserta didik yang harus dipenuhinya atau dicapainya dari suatu satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
1) Pengertian
Menurut Permendikbud (2013) standar kompetensi lulusan adalah kriteria
mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
2) Tujuan
Menurut Permendikbud (2013) standar kompetensi lulusan digunakan
sebagai acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar
penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
3) Monitoring dan Evaluasi
Menurut Permendikbud (2013) untuk mengetahui ketercapaian dan
kesesuaian antara standar kompetensi lulusan dan lulusan dari masingmasing satuan pendidikan dan kurikulum yang digunakan pada satuan
22
pendidikan tertentu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara
berkala dan berkelanjutan dalam setiap periode. Hasil yang diperoleh dari
monitoring dan evaluasi digunakan sebagai bahan masukan bagi
penyempurnaan Standar Kompetensi Lulusan di masa yang akan datang.
4) Kompetensi Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A
Menurut Permendikbud (2013) lulusan SD/MI/SDLB/Paket A memiliki
sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kompetensi Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A
SD/MI/SDLB/Paket A
Dimensi
Kualifikasi Kemampuan
Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang
beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan
Sikap
bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan
rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam
Pengetahuan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif
Keterampilan dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai
dengan yang ditugaskan kepadanya.
b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No.57 Tahun 2013 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/ Madrasah
Ibtidaiyah
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
23
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah
Dasar merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan pada jalur pendidikan
formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Sekolah Dasar bertujuan
untuk meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia
serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut
(Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006).
Implikasi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan ialah perubahan model pendekatan pembelajaran yang
dilakukan di Sekolah Dasar. Pendekatan pembelajaran
tersebut adalah
pendekatan pembelajaran tematik terpadu atau yang seringkali disebut sebagai
tematik integratif. Pembelajaran tematik terpadu merupakan pendekatan
pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata
pelajaran dalam berbagai tema. Pendekatan pembelajaran ini digunakan untuk
seluruh kelas pada sekolah dasar. Pendekatan ini dimaksudkan agar peserta
didik tidak belajar secara parsial sehingga pembelajaran dapat memberikan
makna yang utuh pada peserta didik seperti yang tercermin pada berbagai tema
yang tersedia.
1) Karakteristik Pembelajaran Tematik Terpadu
Menurut Permendikbud No.57 (2013) karakteristik pembelajaran tematik
terpadu yaitu:
24
a) Pengertian Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu
yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga
dapat memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran
terpadu didefinisikan sebagai pembelajaran yang menghubungkan berbagai
gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran
maupun dalam satu mata pelajaran.Pembelajaran tematik memberi penekanan
pada pemilihan suatu tema yang spesifik yang sesuai dengan materi pelajaran,
untuk mengajar satu atau beberapa konsep yang memadukan berbagai
informasi.
Menurut Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik memiliki
ciri khas, antara lain:
a. Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
b. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik
bertolak dari minat dan kebutuhan peserta didik.
c. Kegiatan belajar dipilih yang bermakna dan berkesan bagi peserta didik
sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama.
d. Memberi penekanan pada keterampilan berpikir peserta didik.
e. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan
permasalahan yang sering ditemui peserta didik dalam lingkungannya.
f. Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik, seperti kerjasama,
toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain
25
(2) Tujuan
Menurut Permendikbud No.57 (2013) tujuan dari pembelajaran
tematik adalah:
1. Menghilangkan atau mengurangi terjadinya tumpah tindih materi;
2. Memudahkan peserta didik untuk melihat hubungan-hubungan yang
bermakna;
3. Memudahkan peserta didik untuk memahami materi/konsep secara
utuh sehingga penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat.
(3) Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembelajaran tematik menurut Permendikbud No.57
(2013) meliputi semua KD dari semua mata pelajaran kecuali agama. Mata
pelajaran yang dimaksud adalah: Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika,
IPA, IPS, Penjasorkes dan Seni Budaya dan Prakarya.
(4) Model-model Keterpaduan
Pembelajaran tematik dapat dilaksanakan dengan menggunakan model
pembelajaran.
Forgaty
(1991:61)
menyebut
sepuluh
model,
yaitu
fragmented, connected, nested, sequenced, shared, webbed, threaded,
integrated, immersed, dan networked. Pada tahun 1997, Tim Pengembang
D-II PGSD memilih tiga model untuk dikembangkan yaitu Model Jaring
laba-laba (Spider Webbed) – selanjutnya disebut Jaring, Model Terhubung
(connected), dan Model Terpadu (integrated). Model Jaring Laba-laba
(Spider Webbed) ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema.
26
Setelah tema disepakati, jika dirasa perlu, maka dikembangkan menjadi
subtema dengan tetap memperlihatkan keterkaitan antar mata pelajaran lain.
Setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung.
Bagan 2.1
Model Jaring (webbed)
Mat
IPS
B Ind
Tema
IPA
Musik
Dalam prosesnya, jika perencanaan tematik ini ada KD yang tidak
terakomodasi oleh tema manapun, maka ada cara lain yang dapat dilakukan
yaitu dengan menggunakan dua tipe, yaitu tematik hanya berisi satu mata
pelajaran, dan tematik yang berpusat pada materi tertentu dalam satu pelajaran.
Teknik ini hanya digunakan bagi KD yang tidak dapat masuk dalam tema dan
perlu waktu khusus untuk membelajarkannya.
Menurut Permendikbud No.57 (2013) model Terpadu (Integrated)
menggunakan pendekatan antar mata pelajaran. Model ini memandang
kurikulum sebagai kaleidoskop bahwa interdisiplin topic disusun meliputi
konsep-konsep yang tumpang tindih dan desain-desain dan pola-pola yang
muncul. Pendekatan keterpaduan antar topik memadukan konsep-konsep dalam
matematika, sain, bahasa dan seni serta penngetahuan sosial.
2) Kurikulum 2013
27
a) Pembelajaran Tematik Terpadu dalam Kurikulum 2013
Pembelajaran tematik terpadu yang diterapkan di SD dalam kurikulum
2013 berlandaskan pada Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyebutkan, bahwa
“Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, maka prinsip
pembelajaran
yang
digunakan
dari
pembelajaran
parsial
menuju
pembelajaran terpadu.” Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada SD/MI dilakukan
melalui pembelajaran dengan pendekatan tematik-terpadu dari Kelas I
sampai Kelas VI.
a. Pendekatan pembelajaran tematik terpadu diberikan di sekolah dasar
mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI.
b. Pendekatan yang dipergunakan untuk mengintegrasikan kompetensi
dasar dari berbagai mata pelajaran yaitu; intra-disipliner, interdisipliner, multi-disipliner dan trans-disipliner. Intra Disipliner adalah
Integrasi dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara utuh
dalam setiap mata pelajaran yang integrasikan melalui tema.
Inter
Disipliner yaitu menggabungkan kompetensi dasar-kompetensi dasar
beberapa mata pelajaran agar terkait satu sama lain seperti yang
tergambar pada mata pelajaran IPA dan IPS yang diintegrasikan pada
berbagai mata pelajaran lain yang sesuai. Hal itu tergambar pada
Struktur Kurikulum SD untuk Kelas I-III tidak ada mata pelajaran IPA
28
dan IPS tetapi muatan IPA dan IPS terintegrasi ke mata pelajaran lain
terutama Bahasa Indonesia.
c. Pembelajaran tematik terpadu disusun berdasarkan gabungan berbagai
proses integrasi berbagai kompetensi.
d. Pembelajaran tematik terpadu diperkaya dengan penempatan mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia
sebagai
penghela/alat/media
mata
pelajaran lain.
e. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada indikator masing-masing.
Kompetensi Dasar dari masing-masing mata pelajaran
Menurut Poerwadarminta dalam Permendikbud No.
57 (2013)
pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna kepada peserta didik. Tema adalah pokok pikiran atau
gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan. Penggunaan tema
diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya:
a. Peserta didik mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu.
b. Peserta didik mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan
berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama.
c. Peserta didik memahami
materi pelajaran lebih mendalam dan
berkesan.
d. Peserta didik dapat dapat memiliki kompetensi dasar lebih baik, karena
mengkaitkan mata pelajaran dengan pengalaman pribadi peserta didik.
29
e. Peserta didik mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar
karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas.
f. Peserta didik lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam
situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu
mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain.
g. Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan
secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua
atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan
remedial, pemantapan, atau pengayaan.
b) Prinsip-prinsip Pembelajaran Tematik Terpadu
Menurut Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik terpadu
memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Peserta didik mencari tahu, bukan diberi tahu.
b. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu nampak. Fokus
pembelajaran diarahkan kepada pembahasan kompetensi melalui tematema yang paling dekat dengan kehidupan peserta didik.
c. Terdapat tema yang menjadi pemersatu sejumlah kompetensi dasar
yang berkaitan dengan berbagai konsep, keterampilan dan sikap.
d. Sumber belajar tidak terbatas pada buku.
e. Peserta didik dapat bekerja secara mandiri maupun berkelompok sesuai
dengan karakteristik kegiatan yang dilakukan.
30
f. Guru harus merencanakan dan melaksanakan pembelajaran agar dapat
mengakomodasi peserta didik yang memiliki perbedaan tingkat
kecerdasan, pengalaman, dan ketertarikan terhadap suatu topik.
g. Kompetensi Dasar mata pelajaran yang tidak dapat dipadukan dapat
diajarkan tersendiri.
h. Memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik (direct
experiences) dari hal-hal yang konkret menuju ke abstrak.
c) Karakteristik Mata Pelajaran di SD
Menurut Permendikbud No.57 (2013) karakteristik mata pelajaran di
SD yaitu:
1. PPKN
Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terdiri
atas: (a) Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
diperankan dan dimaknai sebagai entitas inti yang menjadi sumber
rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan
pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; (b) substansi dan jiwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai
dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang menjadi wahana
31
psikologis-pedagogis pembangunan warganegara Indonesia yang
berkarakter Pancasila.
2. Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis,
sekaligus mengembangkan kemampuan beripikir kritis dan kreatif.
Peserta
didik
dimungkinkan
untuk
memperoleh
kemampuan
berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu
argumen dengan orang lain.
3. Matematika
Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat
dari topik seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan.
Matematika merupakan tubuh pengetahuan yang dibenarkan (justified)
dengan argumentasi deduktif, dimulai dari aksioma-aksioma dan
definisi-definisi".
4. IPA
Materi IPA di SD kelas I sd III terintegrasi dalam mata pelajaran
Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan.
Pembelajaran dilakukan secara terpadu dalam tema dengan mata
pelajaran lain. Untuk SD kelas IV sd VI, IPA menjadi mata pelajaran
tersendiri namun pembelajaran dilakukan secara tematik terpadu.
32
5. IPS
IPS adalah
mata pelajaran yang mempelajari tentang kehidupan
manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta berbagai
aktivitas kehidupannya.
Mata pelajaran IPS bertujuan untuk
menghasilkan warganegara yang religius, jujur, demokratis, kreatif,
kritis, senang membaca, memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu,
peduli dengan lingkungan sosial dan fisik, berkontribusi terhadap
pengembangan kehidupan sosial dan budaya, serta berkomunikasi
secara produktif.
6. Seni Budaya dan Prakarya
Mata pelajaran Seni Budaya merupakan aktivitas belajar yang
menampilkan karya seni estetis, artistik, dan kreatif yang berakar pada
norma, nilai, perilaku, dan produk seni budaya bangsa. Mata pelajaran
ini
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memahami seni dalam konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
serta
berperan
dalam
perkembangan
sejarah
peradaban
dan
kebudayaan, baik dalam tingkat lokal, nasional, regional, maupun
global. Pembelajaran seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah
bertujuan mengembangkan kesadaran seni dan keindahan dalam arti
umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi, penyajian,
maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan
kepribadian peserta didik secara positif.
33
7. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan pada hakikatnya adalah
proses
pendidikan
yang
memanfaatkan
aktivitas
fisik
untuk
menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam
hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan
Kesehatan memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh,
makhluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang
terpisah kualitas fisik dan mentalnya.
3) Desain Pembelajaran Tematik Terpadu
a)
Perencanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.57 (2013) perencanaan pembelajaran
diantaranya:
1. Mengkaji Silabus
Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu, pendidik
perlu melakukan pengkajian terhadap silabus yang telah disiapkan
sebelum mengembangkannya menjadi RPP yang akan digunakan
dalam kegiatan di sekolah. Kegiatan pengkajian silabus bertujuan
untuk mengetahui antara lain keterkaitan antara sub tema dengan
kompetensi mata pelajaran yang akan dibelajarkan dan kegiatan
pembelajaran yang dikembangkan. Melalui kegiatan pengkajian
silabus ini diharapkan guru juga memperoleh beberapa informasi,
antara lain: (a) ketersediaan tema dan sub tema, (b) persebaran
34
kompetensi dasar pada tema (pemetaan), dan (c) pengembangan
indikator pada setiap tema (jaringan indikator pada tema).
2. Mengembangkan RPP
RPP disusun secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran
berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.
Menurut Permendikbud No.57 (2013) prinsip-prinsip dalam menyusun
RPP mencakup hal-hal sebagai berikut.
a. Setiap RPP harus memuat secara utuh memuat kompetensi sikap
spiritual (KD dari KI-1), sosial (KD dari KI-2), pengetahuan (KD
dari KI-3), dan keterampilan (KD dari KI 4).
b. Memperhatikan perbedaan individual peserta didik misalnya
kemampuan awal, tingkat intelektual, bakat, potensi, minat,
motivasi belajar, kemampuansosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan
khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai,
dan/atau lingkungan peserta didik.
c. Mendorong anak untuk berpartisipasi secara aktif.
35
d. Menggunakan
prinsip
berpusat
pada
peserta
didik
untuk
mendorong semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif,
inspirasi, inovasi dan kemandirian.
e. Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung.
f. Memberi umpan balik dan tindak lanjut untuk keperluan
penguatan, pengayaan dan remedial.
g. Menekankan adanya keterkaitan dan keterpaduan antara KD,
materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan
pengalaman belajar.
h. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas
mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
i. Menekankan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
secara integratif, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan
kondisi.
Komponen RPP terdiri atas: identitas satuan pendidikan, identitas mata
pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester, materi pembelajaran, alokasi
waktu yang ditentukan sesuai dengan
keperluan untuk pencapaian KD dan
beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia
dalam silabus dan KD yang harus dicapai, kompetensi dasar dan indikator
pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip,
dan prosedur yang relevan, metode pembelajaran, yang disesuaikan dengan
36
karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai, media dan sumber
pembelajaran yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran, langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan
penutup dan penilaian hasil pembelajaran memuat soal, kunci jawaban,
pedoman skoring/rubrik.
Menurut Permendikbud No.57 (2013) tahapan pengembangan RPP
pembelajaran tematik:
a. Memilah dan memilih Kompetensi Dasar Mata pelajaran pada Silabus
yang dapat dipadukan dalam tema tertentu untuk satu hari.
b. Memilah dan memilih kegiatan-kegiatan di dalam silabus yang sesuai
dengan KD.
c. Kegiatan dalam silabus yang disiapkan untuk 3 atau 4 minggu
(tergantung dengan tema/subtema) perlu dipilah menjadi kegiatan
untuk satu minggu, kemudian dipilah dan dipilih lagi untuk kegiatan
satu hari.
d. Dalam memilah dan memilih kegiatan dari silabus, guru perlu
memperhatikan keterkaitan antara berbagai kegiatan dari beberapa
mata pelajaran yang akan diintegrasikan sehingga pembelajaran
berlangsung sesuai dengan alur.
e. Menentukan Indikator pencapaian kompetensi berdasarkan kegiatan di
silabus yang sudah dipilih.
37
f. Di dalam menyusun RPP, selain menggunakan silabus, guru bisa
menggunakan buku teks pelajaran dan buku guru serta hasil analisis
KD dengan tema yang telah dilakukan.
g. Di dalam menyusun RPP, guru harus memperhatikan alokasi waktu
untuk setiap kegiatan dan kedalaman kompetensi yang diharapkan.
h. Apabila kompetensi yang akan diberikan dalam suatu tema
memerlukan kemampuan prasyarat yang belum pernah diajarkan, guru
perlu mengajarkan kompetensi prasyarat terlebih dahulu.
b) Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No. 57 (2013) tahap pelaksanaan pembelajaran
antara lain:
1. Tahapan pelaksanaan pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu setiap hari dilakukan dengan
menggunakan tiga tahapan yaitu kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.
(a) Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan ini dilakukan terutama untuk menyiapkan peserta didik
secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai
manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan
memberikan
contoh
dan
perbandingan
lokal,
nasional,
dan
internasional; mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;
38
menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai; dan menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.
(b) Kegiatan inti
Kegiatan inti difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan
untuk pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam
rangka pengembangan Sikap, maka seluruh aktivitas pembelajaran
berorientasi pada tahapan kompetensi yang mendorong peserta didik
untuk melakukan aktivitas melalui proses afeksi yang dimulai dari
menerima,
menjalankan,
menghargai,
menghayati,
hingga
mengamalkan. Untuk kompetensi pengetahuan dilakukan melalui
aktivitas
mengetahui, memahami,
menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, hingga mencipta. Untuk kompetensi keterampilan
diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar,
menyaji, dan mencipta. Seluruh isi materi (topik dan subtopik) mata
pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong peserta
didik untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan.
(c) Kegiatan Penutup
Sifat dari kegiatan penutup adalah untuk menenangkan dan melakukan
refleksi
dalam
rangka
evaluasi.
mengkhususkan pada seluruh
Evaluasi
rangkaian
yang
aktivitas
dilakukan
pembelajaran
dan hasil-hasil yang diperoleh dan yang selanjutnya secara bersama
39
menemukan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil
pembelajaran yang telah berlangsung; Kegiatan penutup juga
dimaksudkan untuk memberikan umpan balik terhadap proses dan
hasil pembelajaran; melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk
pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok; dan
menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan
berikutnya. Beberapa contoh kegiatan akhir/penutup yang dapat
dilakukan adalah menyimpulkan/mengungkapkan hasil pembelajaran
yang
telah
dilakukan,
pesan-pesan
moral,
musik/apresiasi
musik/bernyanyi.
2. Prinsip Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.57 (2013) pelaksanaan pembelajaran
Tematik terpadu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Berpusat pada peserta didik
Pembelajaran tematik berpusat pada peserta didik (student centered),
hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak
menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar sedangkan guru
lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
b. Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes. Guru dapat mengaitkan materi
dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan
40
mengaitkannya dengan keadaan lingkungan di mana sekolah dan
peserta didik berada.
c. Pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik
Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
d. Menggunakan prinsip belajar yang menyenangkan
Suasana
dalam
pembelajaran
diupayakan
berlangsung
secara
menyenangkan. Menyenangkan bisa dibangun dengan berbagai
kegiatan yang bisa mengakomodasi kegemaran peserta didik, misal
bermain teka-teki, tebak kata, bernyanyi lagu anak-anak, menari atau
kegiatan lain yang disepakati bersama dengan peserta didik.
e. Pembelajaran peserta didik aktif
Peserta didik terlibat baik fisik maupun mental dalam proses
pembelajaran sejak perencanaan hingga evaluasi pembelajaran.
f. Pendekatan pembelajaran
Pembelajaran tematik terpadu perlu memperhatikan pendekatan,
strategi, model dan metode pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan
sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan
strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran
deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, menurut Sanjaya
(2008:127) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
41
menurunkan strategi pembelajaran problem dan inkuiri serta strategi
pembelajaran induktif . Strategi suatu seni menggunakan kecakapan
dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang
efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan.
Model pembelajaran adalah rencana (pola) yang dapat digunakan
untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pengajaran dan
membimbing pengajaran. Sedangkan Metode merupakan jabaran dari
pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai
metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke
pencapaian tujuan.
Di dalam Kurikulum 2013 Pendekatan pembelajaran menggunakan
pendekatan tematik terpadu dan pendekatan saintifik. Strategi pada
pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran peserta didik aktif.
Model pembelajaran tematik terpadu menggunakan model jaring labalaba. Metode berupa metode proyek yang pembelajarannya dilakukan
di dalam atau di luar ruang kelas yang melibatkan peserta didik untuk
melakukan kegiatan yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dan
mata pelajaran. Kegiatan tersebut
harus melibatkan berbagai
keterampilan seperti keterampilan fisik, intelektual dan juga mata
pelajaran dan kompetensinya yang mencakup sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Implementasi pembelajaran terpadu dilaksanakan dalam
tahapan pembukaan, inti dan penutup. Pada kegiatan inti seluruh
42
aktivitas pembelajaran meliputi kegiatan mengamati, menanya,
pengumpulan data, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.
Dalam melaksanakan kegiatan dengan pendekatan saintifik tersebut,
pendidik perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang sesuai dengan
karakteristik anak usia SD. Gambaran perkembangan anak usia SD
untuk aspek fisik khususnya pada dimensi tinggi dan berat badan pada
umumnya menurut F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57 (2013),
pertumbuhan fisik anak usia SD cenderung lebih lambat dan konsisten
bila dibandingkan dengan masa usia dini. Rata-rata anak usia SD
mengalami penambahan berat badan sekitar 2,5
penambahan tinggi badan
- 3,5 kg dan
5-7 cm per tahun. Sedangkan untuk
perkembangan kemampuan motorik pada umumnya: ketangkasan
anak meningkat, dapat bermain sepeda, sudah mengetahui kanan dan
kiri, mulai membaca dengan lancer, peningkatan minat pada bidang
spiritual, kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat,
mampu menggunakan peralatan rumah tangga.
Perkembangan kognitif menuru F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57
(2013) anak usia awal antara lain: senang menghasilkan sesuatu dan
mengoreksi diri sendiri, mulai mengenal dunia yang lebih luas, sedikit
berimajinasi, rasa ingin tahu meningkat, mampu beradaptasi dengan
beberapa kondisi yang dihadapi, bermasalah dengan kondisi abstrak,
angka-angka yang banyak, periode waktu dan ruang.
43
Sedangkan karakteristik yang dimiliki anak-anak usia SD menurut
F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57 (2013) pada umumnya adalah:
senang bergerak, senang bermain, senang melakukan sesuatu secara
langsung, senang bekerja dalam kelompok.
c) Pengelolaan Kelas
Keberhasilan pembelajaran tematik terpadu tergantung pula pada
lingkungan kelas yang diciptakan yang dapat mendorong peserta didik untuk
belajar dan menjadi tempat belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan.
Penataan lingkungan kelas bisa berupa pengaturan peserta didik dan ruang
kelas. Pengaturan tersebut mencakup pengaturan meja-kursi peserta didik,
penataan sumber dan alat bantu belajar, dan penataan pajangan hasil karya
peserta didik. Pengorganisasian atau pengaturan peserta didik dapat
dilakukan dalam bentuk klasikal, kelompok dan individual.
d) Model Pembelajaran
Menurut George L. Gropper dan Paul A. Ross dalam Oemar Hamalik
Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik terpadu dapat dilaksanakan
dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Model adalah sesuatu
yang
direncanakan,
direkayasa,
dikembangkan,
diujicobakan,
lalu
dikembalikan pada badan yang mendesainnya, kemudian diujicoba ulang, baru
menjadi sesuatu yang final. Melalui tahapan tersebut, maka suatu model dapat
melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya Ilmiah.
44
Sedangkan Marx Permendikbud No.57 (2013) model, suatu struktur
secara konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang, dan
sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing penelitian dan berpikir
dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang belum begitu berkembang.
Model adalah kerangka konseptual yang dipakai sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan.
Menurut Winataputra dalam Permendikbud No.57 (2013) Model
pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi
para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan
melaksanakan aktivitas pembelajaran.
e) Penilaian
Menurut Permendikbud No.57 (2013) penilaian merupakan proses
pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik. Tujuan penilaian adalah memberikan umpan balik
mengenai kemajuan belajar peserta didik dalam kaitannya dengan kompetensikompetensinya selama proses belajar-mengajar, dan memberikan informasi
kepada para guru dan orang tua mengenai capaian kompetensi peserta didik.
Hakikat pembelajaran tematik terpadu menurut Permendikbud No. 57
(2013) adalah pembelajaran lintas disiplin yang menghubungkan berbagai
gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran
45
maupun dalam satu mata pelajaran. Karakteristik pembelajaran seperti itu
menuntut penilaian yang holistic dan menyeluruh. Guru harus yakin bahwa
semua peserta didik memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan hasil
melalui Proses pembelajaran tematik yang mencakup semua aspek
pembelajaran baik sikap, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu,
penilaian yang tepat adalah penilaian otentik yang dilakukan dengan
menggunakan berbagai cara dan guru harus mencari informasi dari berbagai
sumber.
Prinsip-prinsip penilaian dalam pembelajaran tematik sama dengan
prinsip yang harus dijadikan landasan dalam pembelajaran terpadu, yaitu
prinsip utuh dan menyeluruh, berkesinambunagn, dan objektif. Disamping
itu penilaian harus berbasis unjukkerja murid (proses dan produk), melibatkan
murid, memuat refleksi diri murid, menggunakan penilaian non konvensional
(penelitian alternative),
memberi umpan balik kepada guru dan murid,
memperhatikan dampak pengiring pembelajaran (misalnya pendidikan
karakter), dan sistematis. Penilaian berbasis kinerja menuntut murid
berpartisipasi aktif, pembelajarannya memuat sejumlah tugas, dan murid
berusaha untuk dapat mencapat tujuan pembelajaran. Dengan perkataan lain
murid harus dapat mendemontrasikan kemampuannya sesuai dengan target
pembelajaran. Penilaian berbasis kinerja adalah suatu prosedur penugasan
kepada murid untuk mengumpulkan informasi sejauhmana murid telah
belajar.
46
Menurut Barton&Smit dalam Permendikbud No.57 (2013), penilaian
pembelajaran
dalam
pembelajaran
terpadu
menggunakan
authentic
assessment. Karena pembelajaran tematik pada dasarnya adalah pembelajaran
terpadu maka evaluasinya juga menggunakan authentic assessment. Cara
penilaian ini bersifat kualitatif yang menilai kinerja yang dapat berupa
pajangan, hasil diskusi, hasil tugas kelompok, tugas mandiri, tugas terstruktur,
dan tugas proyek. Selain itu, menggunakan
informasi dari portofolio,
checklis, analisis reflektif, deskriptif, pengkajian, pengamatan, pendapat
teman, orang tua, dsb. Prosedur penilaian dilakukan melalui perencanaan,
pelaksanaan,
penyajian
laporan,
dant
indaklanjut.
Penilaian
dalam
pembelajaran tematik terpadu dilengkapi dengan berbagai format (observasi,
penilaian diri, portofolio, projek, unjuk kerja, dsb).
Menurut Permendikbud No.57 (2013) laporan penilaian yang memuat
diskripsi umum ditulis dalam bentuk narasi meliputi aspek sikap spiritual,
sikap sosial, pengetahuan, keterampilan.
f) Media Dan Sumber Belajar
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran tematik terpadu memerlukan
berbagai sumber belajar. Sumber belajar yang dapat digunakan dapat berupa
bahan cetak atau media cetak,
media elektronik, lingkungan sosial,
lingkungan alam atau lingkungan fisik. Bahan cetak atau media cetak yang
dapat digunakan misalnya buku siswa, buku guru, buku penunjang, majalah,
surat kabar, brosur, buletin majalah, surat kabar, brosur, buletin. Salah satu
47
sumber belajar yang telah disiapkan ialah buku siswa dan buku guru. Media
elektronik dapat berupa software maupun file dokumen, video, film, radio,
internet, dsb.
Alat peraga juga sangat membantu pelaksanaan pembelajaran dalam
rangka
pencapaian
kompetensi
berkaitan
dengan
keterampilan
dan
pengetahuan. Alat peraga dapat buatan pabrik, buatan, guru, maupun buatan
peserta didik. Bahan-bahan dasar berupa kayu, kaca, barang-barang bekas, dsb
dapat dimanfaatkan untuk membuat alat peraga maupun media belajar.
Pembuatan media maupun alat peraga oleh guru memerlukan kreatifitas.
g) Guru Sebagai Pengembang Budaya Sekolah
a) Pengertian Budaya Sekolah
Menurut Fisher, D dalam Permendikbud No.57 (2013) budaya sekolah
adalah tradisi, nilai, norma dan kebijakan yang menjadi acuan dan keyakinan
suatu sekolah yang dikembangkan dan digunakan bersama melalui
kepemimpinan kepala sekolah.
Di dalam Kurikulum 2013 perkembangan konsep pembelajaran telah
mencapai pengertian dari pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana dalam
pengertian ini cakupannya sangat luas, dilihat dari berbagai aspek yang dapat
terlibat dalam proses pembelajaran, tidak hanya adanya interaksi antara
seorang pendidik dan peserta didik saja, serta model pembelajaran yang
dikembangkan dalam Kurikulum 2013 ini, yaitu model behavioristik yang
lebih menitikberatkan pada aspek afektif dari peserta didik yang disebabkan
48
karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih,
yang menyebabkan peserta didik mengesampingkan aspek afektif, sehingga
dalam Kurikulum 2013 ini, yang ingin lebih ditonjolkan adalah aspek
afektifnya, supaya generasi penerus bangsa mewarisi budaya-budaya
Indonesia yang ramah dan berakhlak mulia.
b) Pengembangan Budaya Sekolah
Menurut Permendikbud No.57 (2013) budaya sekolah adalah sesuatu
yang dikembangkan, diarahkan kembali (reshaping),
dan diperkaya agar
mampu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sekolah. Untuk itu diperlukan
adanya:
1. Persamaan pengertian mengenai apa yang disebut dengan budaya
sekolah dan apa komponen budaya sekolah yang dikembangkan dan
dijadikan unggulan.
2. Menentukan kriteria keberhasilan proses pelaksanaan budaya sekolah
dan hasil dari budaya sekolah yang dikembangkan.
3. Menentukan alat ukur keberhasilan dan cara penilaian keberhasilan.
Menurut Permendikbud No.57 (2013) untuk menentukan keberhasilan
pengembangan dan pelaksanaan budaya sekolah, perlu ditempuh langkahlangkah berikut:
1. Merumuskan secara jelas peran dan tugas kepala sekolah, guru, komite
sekolah, dan orangtua peserta didik.
49
2. Mengembangkan
mekanisme
komunikasi
antarkomponen
yang
disebutkan di atas.
3. Berbagi informasi mengenai pencapaian dan keberhasilan sekolah
melalui koran/majalah dinding sekolah, website, dan selebaran serta
bentuk lainnya.
a. Peran Kepala Sekolah
Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan suatu sekolah
(educational leader). Kepala sekolah memiliki peran penting dalam
manajemen untuk mengembangkan budaya sekolah sehingga tercipta
suasana kerja yang edukatif, berorientasi pada kualitas, peningkatan
kepedulian pemangku kepentingan, dan peningkatan hasil belajar
peserta didik.
b. Hubungan Guru dengan Guru
Hubungan guru dengan guru menentukan keberhasilan pelaksanaan
pembelajaran pendidikan Sejarah dan Kurikulum 2013. Hubungan
tersebut adalah hubungan profesional antara guru yang mengajar
Sejarah dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang sama di
kelas berbeda, dengan guru yang mengajar mata pelajaran Sejarah
Indonesia dan dengan guru lain yang mengajar mata pelajaran lain
baik dalam kelompok peminatan Ilmu-Ilmu Sosial maupun dalam
kelompok peminatan lain bahkan dengan kelompok mata pelajaran
wajib.
50
c. Hubungan Guru dengan Peserta Didik
Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap potensi
peserta didiknya secara optimal, agar mereka dapat mandiri dan
berkembang menjadi manusia-manusia yang cerdas, baik cerdas
secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual.
Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang diembannya, guru
senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan peserta didiknya.
d. Hubungan Guru dengan Orang tua Peserta didik.
Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan
pendidikan di tempat-tempat tertentu. Guru menempati kedudukan
terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang membuat mereka
dihormati.
e. Hubungan Guru dengan Masyarakat
Guru perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang
lebih luas untuk kepentingan pendidikan,misalnya mengadakan
kerjasama dengan tokoh masyarakat tertentu yang berorientasi pada
peningkatan mutu pembelajaran mata pelajaran yang diampunya.
Beberapa hal yang hendaknya dilakukan guru dalam hubungannya
dengan masyarakat.
f. Keteladanan Guru
Dalam dunia pendidikan pada umumnya dan dalam pembelajaran
pada khususnya, keteladanan sangat diperlukan dan memiliki makna
51
yang sangat tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pada dunia
pendidikan, khususnya keberhasilan pembelajaran yang dilakukan
seorang guru salah satunya juga ditentukan oleh seberapa besar
keteladanan yang diberikan pendidik dan tenaga kependidikan.
c. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan
Menengah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31
ayat
(3)
mengamanatkan
bahwa
Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanah
tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Pasal 2), berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
52
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3).
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, diantaranya
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Peraturan pemerintah tersebut memberikan arahan tentang perlunya
disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut telah
ditetapkan Standar Kompetensi Lulusan yang merupakan kriteria mengenai
kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Untuk mencapai kompetensi lulusan tersebut perlu ditetapkan
Standar Isi yang merupakan kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi peserta didik untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu.
1) Tingkat Kompetensi
Menurut Permendikbud No.64 (2013) tingkat kompetensi merupakan
kriteria capaian Kompetensi yang bersifat generik yang harus dipenuhi oleh
53
peserta didik pada setiap tingkat kelas dalam rangka pencapaian Standar
Kompetensi Lulusan. Tingkat Kompetensi terdiri atas 8 (delapan) jenjang
yang harus dicapai oleh peserta didik secara bertahap dan berkesinambungan.
Tingkat Kompetensi tersebut diterapkan dalam hubungannya dengan tingkat
kelas sejak peserta didik mengikuti pendidikan TK/RA, Kelas I sampai
dengan Kelas XII jenjang pendidikan dasar dan menengah. Tingkat
Kompetensi TK/RA bukan merupakan prasyarat masuk Kelas.
Setiap
tingkat
kompetensi
berimplikasi
terhadap
tuntutan
prosespembelajaran dan penilaian. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran
danpenilaian pada tingkat yang sama memiliki karakteristik yang relatif sama
dan memungkinkan terjadinya akselerasi belajar dalam 1 (satu) Tingkat
Kompetensi.
Selain
itu,
untuk
Tingkat
Kompetensi
yang
berbeda
menuntupembelajaran dan penilaian dengan fokus dan penekanan yang
berbeda pulaSemakin tinggi Tingkat Kompetensi, semakin kompleks
intensitas pengalaman belajar peserta didik dan proses pembelajaran serta
penilaian. Uraian Kompetensi Inti untuk setiap Tingkat Kompetensi disajikan
dalam tabel di bawah ini.
a) Tingkat Kompetensi 1
Kompetensi
Sikap Spiritual
Sikap Sosial
Tabel 2.2
Tingkat Kelas I-II SD/MI/SDLB/PAKET A
Deskripsi Kompetensi
1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang
dianutnya;
2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung
jawab,santun, peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru
54
Pengetahuan
Keterampilan
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara
mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan
menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya,
makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan bendabenda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah
4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang
jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan
yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia
b) Tingkat Kompetensi 2
Kompetensi
Sikap Spiritual
Sikap Sosial
Pengetahuan
Keterampilan
Tabel 2.3
Tingkat Kelas III-1V SD/MI/SDLB/PAKET A
Deskripsi Kompetensi
1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang
dianutnya;
2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi
dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara
mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu
tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di
rumah, di sekolah dan tempat bermain
4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang
jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan
yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia
c) Tingkat Kompetensi 3
Tabel 2.4
Tingkat Kelas V-VI SD/MI/SDLB/PAKET A
Kompetensi
Deskripsi Kompetensi
Sikap Spiritual
1. Menerima dan
dianutnya;
Sikap Sosial
2. Menunjukkan
jawab,santun,
menjalankan
ajaran
agama
yang
perilaku jujur, disiplin, tanggung
peduli, dan percaya diri dalam
55
berinteraksi dengankeluarga, teman,
tetangganya serta cinta tanah air;
Pengetahuan
Keterampilan
guru,
dan
3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati
dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang
dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan
benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan
tempat bermain
4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang
jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan
yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan
yang mencerminkan perilaku anak beriman dan
berakhlak mulia
d. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan
Menengah
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Permendikbud No.64 (2013) standar proses adalah kriteria
mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai
Standar Kompetensi Lulusan. Standar Proses dikembangkan mengacu pada
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
56
Pemerintah Nomor
32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
1) Karakteristik Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.64 (2013) karakteristik pembelajaran pada
setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan
Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual
tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan
kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang
diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan
Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan
ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap
satuan pendidikan.
Rincian gradasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut:
Tabel 2.5
Gradasi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan
Sikap
Pengetahuan
Keterampilan
Menerima
Menjalankan
Menghargai
Menghayati
Mengamalkan
-
Mengingat
Memahami
Menerapkan
Menganalisis
Mengevaluasi
-
Mengamati
Menanya
Mencoba
Menalar
Menyaji
Mencipta
Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik
kompetensi. Pembelajaran tematik terpadu di SD/MI/SDLB/Paket A
disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Karakteristik proses
pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi.
57
2) Perencanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.64 (2013) perencanaan pembelajaran
diantaranya:
a) Desain Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran
dirancang
dalam bentuk Silabus
dan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar
Isi. Perencanaan pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran dan penyiapan media dan sumber belajar, perangkat
penilaian pembelajaran, dan skenario pembelajaran. Penyusunan Silabus
dan RPP disesuaikan pendekatan pembelajaran yang digunakan.
1. Silabus
Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk
setiap bahan kajian mata pelajaran. Silabus paling sedikit memuat:
a. Identitas sekolah meliputi nama satuan pendidikan dan kelas.
b. Kompetensi inti, merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan
mata pelajaran.
c. Kompetensi dasar, merupakan kemampuan spesifik yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata
pelajaran.
d. Tema(khususSD/MI/SDLB/Paket A).
58
e. Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang
relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan
indikator pencapaian kompetensi.
f. Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta
didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan; penilaian,
merupakan
proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.
g. Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur
kurikulum untuk satu semester atau satu tahun.
h. Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam
sekitar atau sumber belajar lain yang relevan.
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut
Permendikbud
No.64
(2013)
rencana
pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran
pelaksanaan
tatap muka
untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk
mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai
Kompetensi
Dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan
berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar
pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
59
psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang
dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Komponen RPP terdiri
atas:
a. Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan.
b. Identitas mata pelajaran atau tema/subtema.
c. Kelas/semester.
d. Materipokok.
e. Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian
KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam
pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai.
f. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan
menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur,
yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
g. Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi.
h. Materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan
rumusan indikator ketercapaian kompetensi.
i. Metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai
KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD
yang akan dicapai.
60
j. Media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk
menyampaikan materi pelajaran.
k. Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam
sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan.
l. Langkah-langkah
pembelajaran
dilakukan
melalui
tahapan
pendahuluan, inti, dan penutup.
m. Penilaian hasil pembelajaran.
3.
Prinsip Penyusunan RPP
Menurut Permendikbud No.64 (2013) Dalam menyusun RPP hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perbedaan individual peserta di antara lain
kemampuan awal, tingkat
intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial,
emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar
belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
b. Partisipasi aktif peserta didik.
c. Berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar,
motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian.
d. Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang untuk
mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan,
dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.
61
e. Pemberian umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan
program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan
remedi.
f. Penekanan pada
keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi,
penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar.
g. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata
pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.
h. Penerapan teknologi informasi dan komunikasisecara terintegrasi,
sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
3) Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.64 (2013) pelaksanaan pembelajaran
diantaranya:
a) Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran
a. Alokasi Waktu Jam Tatap Muka Pembelajaran SD/MI : 35 menit.
b. Buku Teks Pelajaran
Buku teks pelajaran
digunakan untuk meningkatan efisiensi dan
efektivitas yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik.
c. Pengelolaan Kelas
a. Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik sesuai
dengan tujuan dan karakteristik proses pembelajaran.
62
b. Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus
dapat didengar dengan baik oleh peserta didik.
c. Guru wajib menggunakan kata-kata santun, lugas dan mudah
dimengerti oleh peserta didik.
d. Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan
kemampuan belajar peserta didik.
e. Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, dan
keselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
f. Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan
hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
g. Guru mendorong dan menghargai peserta didik untuk bertanya dan
mengemukakan pendapat.
h. Guru berpakaian sopan, bersih, dan rapi.
i. Pada tiap awal semester, guru menjelaskan kepada peserta didik
silabus mata pelajaran.
j. Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan
waktu yang dijadwalkan.
b) Pelaksanaan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.64 (2013) Pelaksanaan pembelajaran
merupakan implementasi dari RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan
penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
63
Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti
proses pembelajaran.
b. Memberi motivasi belajar siswa secara kontekstual sesuai manfaat
dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan
memberikan
contoh
dan
perbandingan
lokal,
nasional
dan
internasional.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.
d. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan
dicapai.
e. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
sesuai silabus.
2. Kegiatan Inti
Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran,
media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan
tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan
penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan
karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan
dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan.
3. Kegiatan Penutup
64
Dalam kegiatan penutup, guru bersama siswa baik secara individual
maupun kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi: seluruh
rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh untuk
selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung maupun tidak
langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung, memberikan
umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, melakukan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik tugas
individual maupun kelompok, dan menginformasikan rencana kegiatan
pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.
4) Penilaian Hasil Dan Proses Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.64 (2013) penilaian proses pembelajaran
menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang
menilai kesiapan siswa, proses,
dan hasil belajar secara utuh.
Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan
kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa atau bahkan mampu
menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak
pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran.
Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan
program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan
konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik dapat digunakansebagai
bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Standar
Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat
65
proses pembelajaran dengan menggunakan alat: angket, observasi,
catatan anekdot, dan refleksi.
5) Pengawasan Proses Pembelajaran
Menurut
Permendikbud
No.64
(2013)
pengawasan
proses
pembelajaran dilakukan melalui kegiatan pemantauan, supervisi,
evaluasi, pelaporan, serta tindak lanjut secara berkala dan berkelanjutan.
Pengawasan proses pembelajaran dilakukan oleh kepala satuan
pendidikan dan pengawas.
a) Prinsip Pengawasan
Pengawasan dilakukan dengan prinsip objektif dan transparan guna
peningkatan mutu secara berkelanjutan dan menetapkan peringkat
akreditasi.
b) Sistem dan Entitas Pengawasan
Sistem pengawasan internal dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas,
dinas pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan.
c) Proses Pengawasan
1. Pemantauan
Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan,
dilakukan
dan
melalui
penilaian
antara
hasil
lain,
pembelajaran.
diskusi
Pemantauan
kelompok
terfokus,
pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi.
2. Supervisi
66
Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran yang dilakukan
melalui antara lain, pemberian contoh, diskusi, konsultasi, atau
pelatihan.
3. Pelaporan
Hasil
kegiatan
pemantauan,
supervisi,
dan
evaluasi
proses
pembelajaran disusun dalam bentuk laporan untuk kepentingan
tindak lanjut pengembangan keprofesionalan pendidik secara
berkelanjutan.
4. Tindak Lanjut
Tindak lanjut hasil pengawasan dilakukan dalam bentuk:
a.
Penguatan dan penghargaan kepada guru yang
menunjukkan
kinerja yang memenuhi atau melampaui standar, dan
b.
Pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti program
pengembangan keprofesionalan berkelanjutan.
e. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
67
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”. Selanjutnya, Pasal 3 menegaskan bahwa
pendidikan nasional “berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Menurut Permendikbud No.66 (2013) fungsi dan tujuan pendidikan
nasional tersebut menjadi parameter utama untuk merumuskan Standar Nasional
Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan “berfungsi sebagai dasar dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan
pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu”. Standar Nasional Pendidikan
terdiri atas 8 (delapan) standar, salah satunya adalah Standar Penilaian yang
bertujuan untuk menjamin:
a) Perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan
dicapai dan berdasarkan prinsip-prinsip penilaian.
b) Pelaksanaan penilaian peserta didik secara profesional, terbuka, edukatif,
efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks sosial budaya.
c) Pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan
informatif.
68
Standar Penilaian Pendidikan ini disusun sebagai acuan penilaian bagi
pendidik, satuan pendidikan, dan Pemerintah pada satuan pendidikan untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
1)
Standar Penilaian Pendidikan
Menurut Permendikbud No.66 (2013) standar penilaian pendidikan adalah
kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
peserta didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio,
ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian
tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian
sekolah/madrasah.
a. Prinsip dan Pendekatan Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Objektif, berarti penilaian berbasis pada standardan tidak dipengaruhi
faktor subjektivitas penilai.
2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana,
menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan.
3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporannya.
69
4. Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5. Akun tabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak
internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan
hasilnya.
6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria
(PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang
didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan
kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan
pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar
yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik.
2)
Ruang Lingkup, Teknik, dan Instrumen Penilaian
a) Ruang Lingkup Penilaian
Menurut Permendikbud No.66 (2013) penilaian hasil belajar peserta
didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
dilakukan
secara
berimbang
sehingga
dapat
digunakan
untuk
menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah
ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi,
kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan
proses.
(1) Teknik dan Instrumen Penilaian
70
Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi
sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
a. Penilaian kompetensi sikap
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi,
penilaian diri, penilaian “teman sejawat”(peer evaluation) oleh peserta
didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian
diri, dan penilaian antar peserta didik adalah daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal
berupa catatan pendidik.
b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan
Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan,
dan penugasan.
c. Penilaian Kompetensi Keterampilan
Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja,
yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu
kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan
penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau
skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik.
(2) Mekanisme dan Prosedur Penilaian
a. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, Pemerintah dan/atau
lembaga mandiri.
71
b. Penilaian hasil belajar dilakukan dalam bentuk penilaian otentik,
penilaian diri, penilaian projek, ulangan harian, ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu
tingkat kompetensi, ujian sekolah, dan ujian nasional.
c. Perencanaan ulangan harian dan pemberian projek oleh pendidik
sesuai dengan silabus dan dijabarkan dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
d. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah
menyusun kisi-kisi ujian, mengembangkan (menulis, menelaah, dan
merevisi) instrument, melaksanakan ujian, mengolah (menyekor dan
menilai) dan menentukan kelulusan peserta didik, dan melaporkan dan
memanfaatkan hasil penilaian.
e. Ujian nasional dilaksanakan sesuai langkah-langkah yang diatur dalam
Prosedur Operasi Standar (POS).
f. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum
diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum
mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedial.
g. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan dilaporkan dalam
bentuk nilai dan deskripsi pencapaian kompetensi kepada orangtua dan
pemerintah.
(3) Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian
a. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Pendidik
72
Penilaian hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara
berkesinambungan bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan
belajar
peserta
didik
serta
untuk
meningkatkan
efektivitas
pembelajaran.
b. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Satuan Pendidikan
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan peserta didik.
c. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Pemerintah
Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah dilakukan melalui Ujian
Nasional dan ujian mutu Tingkat Kompetensi.
f. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum
Menurut Permendikbud No.81A (2013) strategi pembelajaran sangat
diperlukan dalam menunjang terwujudnya seluruh kompetensi yang dimuat
dalam Kurikulum 2013. Dalam arti bahwa kurikulum memuat apa yang
seharusnya diajarkan kepada peserta didik, sedangkan pembelajaran merupakan
cara bagaimana apa yang diajarkan bisa dikuasai oleh peserta didik. Pelaksanaan
pembelajaran didahului dengan penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP) yang dikembangkan oleh guru baik secara individual maupun kelompok
yang mengacu pada Silabus.
Dalam konteks konseptual penjelasan Pasal 77O huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
73
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan keempat
substansi tersebut secara kurikuler dan pedagogik terkait erat dengan
instrumentasi dan praksis pembelajaran dalam arti luas. Oleh karena itu,
keempat substansi pedoman tersebut dikemas dalam satu pedoman yakni
Pedoman Umum Pembelajaran.
1. Tujuan Pedoman
Menurut Permendikbud No.81A (2013) pedoman ini dimaksudkan
untuk:
a. Memfasilitasi
guru
secara
individual
dan
kelompok
dalam
mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan
melaksanakan pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan
model untuk muatan dan/atau mata pelajaran yang diampunya.
b. Memfasilitasi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan
pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester
sebagai perwujudan konsep belajar tuntas sesuai dengan kesiapan
masing-masing.
c. Memfasilitasi
guru
secara
individual
atau
kelompok
dalam
mengembangkan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan
pendekatan otentik untuk muatan dan/atau mata pelajarannya.
d. Memfasilitasi
satuan
pendidikan
dalam
mewujudkan
proses
pendidikan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai
karakteristik peserta didik dan dalam memfasilitasi peserta didik untuk
74
memilih dan menetapkan program peminatan, serta memfasilitasi guru
BK atau konselor sekolah untuk menangani dan membantu peserta
didik yang secara individual mengalami masalah psikologis atau
psikososial.
2. Pengguna Pedoman
Menurut Permendikbud No.81A (2013) Pengguna pedoman ini
mencakup pihak-pihak sebagai berikut.
a. Guru secara individual atau kelompok guru (guru mata pelajaran, guru
kelas, dan guru pembina kegiatan ekstrakurikuler).
b. Pimpinan satuan pendidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
wali kelas).
c. Guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah.
d. Tenaga kependidikan (pengawas, pustakawan sekolah, pembina
pramuka).
3. Cakupan Pedoman
Menurut Permendikbud No.81A (2013) pedoman ini mencakup
substansi sebagai berikut.
a. Konsep dan strategi pembelajaran sebagai dasar dan kerangka
pengembangan
rencana
pelaksanaan
pembelajaran
(RPP)
dan
pelaksanaa pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan model.
75
b. Konsep dan strategi penerapan Sistem Kredit Semester sebagai
landasan bagi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan
pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester.
c. Konsep
dan
strategi
penilaian
sebagai
dasar
dan
kerangka
pengembangan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan
pendekatan otentik.
d. Konsep dan strategi pembimbingan dan konsultasi agar peserta didik
mampu mengenali potensi diri dan akademik sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minat.
4. Konsep Dan Strategi Pembelajaran
a. Pandangan Tentang Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.81A (2013) secara prinsip, kegiatan
pembelajaran
merupakan
proses
pendidikan
yang
memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi
mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat
dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya
untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi
pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan
pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta
didik menjadi kompetensi yang diharapkan.
b. Pembelajaran Langsung dan Tidak Langsung
76
Menurut Permendikbud No.81A (2013) pembelajaran tidak
langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus.
Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai
dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang
dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran
tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan
perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap
kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu,
dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan yang
terjadi selama belajar di sekolah dan di luar dalam kegiatan kokurikuler
dan ekstrakurikuler terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan
moral dan perilaku yang terkait dengan sikap.
Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung
terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung
berkenaan
dengan
pembelajaran
yang
menyangkut
KD
yang
dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara
bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk
mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung
berkenaan
dengan
pembelajaran
dikembangkan dari KI-1 dan KI-2.
yang
menyangkut
KD
yang
77
Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok
yaitu:
Tabel 2.6
Langkah Pembelajaran Kegiatan Belajar Kompetensi yang Dikembangkan
Langkah
Pembelajaran
Mengamati
Menanya
Mengumpulkan
informasi/
eksperimen
Mengasosiasikan/
mengolah informasi
Kegiatan Pembelajaran
Membaca,
mendengar,
menyimak, melihat (tanpa
atau dengan alat)
Mengajukan
pertanyaan
tentang informasi yang tidak
dipahami dari apa yang
diamati atau pertanyaan
untuk
mendapatkan
informasi tambahan tentang
apa yang diamati (dimulai
dari pertanyaan faktual
sampai ke pertanyaan yang
bersifat hipotetik)
melakukan eksperimen
membaca sumber lain
selain buku teks
mengamati
objek/
kejadian/ aktivitas
wawancara dengan nara
sumber
mengolah informasi yang
sudah dikumpulkan baik
terbatas
dari
hasil
kegiatan
mengumpulkan/eksperim
en mau pun hasil dari
kegiatan mengamati dan
Kompetenisi yang
Dikembangkan
Melatih kesungguhan,
ketelitian,
mencari
informasi
Mengembangkan
kreativitas, rasa ingin
tahu,
kemampuan
merumuskan
pertanyaan
untuk
membentuk
pikiran
kritis yang perlu
untuk hidup cerdas dan
belajar sepanjang hayat
Mengembangkan sikap
teliti,
jujur,sopan,
menghargai pendapat
orang lain, kemampuan
berkomunikasi,
menerapkan
kemampuan
mengumpulkan
informasi
melalui
berbagai cara yang
dipelajari,
mengembangkan
kebiasaan belajar dan
belajar
sepanjang
hayat.
Mengembangkan sikap
jujur, teliti, disiplin,
taat aturan, kerja keras,
kemampuan
menerapkan prosedur
dan
kemampuan
berpikir induktif serta
78
kegiatan mengumpulkan
informasi.
Pengolahan
informasi
yang dikumpulkan dari
yang bersifat menambah
keluasan dan kedalaman
sampai
kepada
pengolahan
informasi
yang bersifat mencari
solusi
dari
berbagai
sumber yang memiliki
pendapat yang berbeda
sampai kepada yang
bertentangan
Menyampaikan
hasil
pengamatan,
kesimpulan
berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulis, atau
Mengkomunikasikan media lainnya
deduktif
dalam
menyimpulkan.
Mengembangkan sikap
jujur, teliti, toleransi,
kemampuan
berpikir
sistematis,
mengungkapkan
pendapat dengan
singkat dan jelas, dan
mengembangkan
kemampuan berbahasa
yang baik dan benar.
c. Perencanaan Pembelajaran
Tahap pertama dalam pembelajaran menurut standar proses yaitu
perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan kegiatan penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
1. Hakikat RPP
Menurut
Permendikbud
No.81A
(2013)
rencana
pelaksanaan
pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci
dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP
mencakup: data sekolah, matapelajaran, dan kelas/semester; materi pokok;
alokasi waktu; tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian
kompetensi; materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, alat dan
sumber belajar, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, dan penilaian.
2. Prinsip-Prinsip Pengembangan RPP
79
Menurut
Permendikbud
No.81A
(2013)
berbagai
prinsip
dalam
mengembangkan atau menyusun RPP adalah sebagai berikut.
a. RPP disusun guru sebagai terjemahan dari ide kurikulum dan
berdasarkan silabus yang telah dikembangkan di tingkat nasional ke
dalam bentuk rancangan proses pembelajaran untuk direalisasikan
dalam pembelajaran.
b. RPP dikembangkan guru dengan menyesuaikan apa yang dinyatakan
dalam silabus dengan kondisi di satuan pendidikan baik kemampuan
awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan
sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar
belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.
c. Mendorong partisipasi aktif peserta didik.
d. Sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013 untuk menghasilkan peserta
didik sebagai manusia yang mandiri dan tak berhenti belajar, proses
pembelajaran dalam RPP dirancang dengan berpusat pada peserta
didik untuk mengembangkan motivasi, minat, rasa ingin tahu,
kreativitas,
inisiatif,
inspirasi,
kemandirian,
semangat
belajar,
keterampilan belajar dan kebiasaan belajar.
e. Mengembangkan budaya membaca dan menulis.
f. Proses pembelajaran dalam RPP dirancang untuk mengembangkan
kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi
dalam berbagai bentuk tulisan.
g. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut.
h. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif,
penguatan, pengayaan, dan remedi. Pemberian pembelajaran remedi
dilakukan setiap saat setelah suatu ulangan atau ujian dilakukan,
hasilnya dianalisis, dan kelemahan setiap peserta didik dapat
teridentifikasi. Pemberian pembelajaran diberikan sesuai dengan
kelemahan peserta didik.
i. Keterkaitan dan keterpaduan.
80
j. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan
antara KI dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar.
RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik,
keterpaduan lintas matapelajaran untuk sikap dan keterampilan, dan
keragaman budaya.
k. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi.
l. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi
informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif
sesuai dengan situasi dan kondisi.
3. Komponen dan Sistematika RPP
Menurut Permendikbud No.81A (2013) komponen-komponen tersebut
secara operasional diwujudkan dalam bentuk format berikut ini.
Sekolah :
Mata pelajaran :
Kelas/Semester :
Materi Pokok :
Alokasi Waktu :
a. Kompetensi Inti (KI)
b. Kompetensi Dasar dan Indikator
c. Tujuan Pembelajaran
d. Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok)
e. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran)
f. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran
g. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
h. Penilaian
i. Jenis/teknik penilaian
j. Bentuk instrumen dan instrument
k. Pedoman penskoran
4. Langkah-Langkah Pengembangan RPP
81
a. Mengkaji Silabus
Menurut Permendikbud No.81A (2013) secara umum, untuk setiap
materi pokok pada setiap silabus terdapat 4 KD sesuai dengan aspek
KI (sikap kepada Tuhan, sikap diri dan terhadap lingkungan,
pengetahuan, dan keterampilan). Untuk mencapai 4 KD tersebut, di
dalam silabus dirumuskan kegiatan peserta didik secara umum dalam
pembelajaran berdasarkan standar proses. Kegiatan peserta didik ini
merupakan rincian dari eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, yakni:
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah dan
mengkomunikasikan. Kegiatan inilah yang harus dirinci lebih lanjut di
dalam RPP, dalam bentuk langkah-langkah yang dilakukan guru dalam
pembelajaran, yang membuat peserta didik aktif belajar. Pengkajian
terhadap silabus juga meliputi perumusan indikator KD dan
penilaiannya.
b. Menentukan Tujuan
Menurut Permendikbud No.81A (2013) tujuan dapat diorganisasikan
mencakup seluruh KD atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan.
Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek:
Audience peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan).
c. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.81A (2013) mengidentifikasi materi
pembelajaran
yang
menunjang
pencapaian
KD
dengan
82
mempertimbangkan potensi
karakteristik
daerah,
tingkat
peserta
didik;
perkembangan
relevansi
fisik,
dengan
intelektual,
emosional, sosial, dan spritual peserta didik; kebermanfaatan bagi
peserta didik; struktur keilmuan; aktualitas, kedalaman, dan keluasan
materi pembelajaran; relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan
tuntutan lingkungan; dan alokasi waktu.
d. Menentukan Tujuan
Menurut Permendikbud No.81A (2013) tujuan dapat diorganisasikan
mencakup seluruh KD atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan.
Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek:
Audience (peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan).
e. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran
Menurut Permendikbud No.81A (2013) kegiatan pembelajaran
dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan
proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta
didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam
rangka pencapaian KD.
f. Penjabaran Jenis Penilaian
Di dalam silabus telah ditentukan jenis penilaiannya. Penilaian
pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator.
Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian
83
hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan
portofolio, dan penilaian diri.
g. Menentukan Alokasi Waktu
Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah
minggu efektif dan alokasi waktu matapelajaran per minggu dengan
mempertimbangkan jumlah KD, keluasan,
kedalaman,
tingkat
kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang
dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk
menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam.
Oleh karena itu, alokasi tersebut dirinci dan disesuaikan lagi di RPP.
h. Menentukan Sumber Belajar
Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan
untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik,
nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.
i. Proses Pembelajaran
Tahap kedua dalam pembelajaran
menurut
pelaksanaan pembelajaran
meliputi kegiatan pendahuluan,
yang
kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
5. Konsep Dan Strategi Penilaian Hasil Belajar
a) Konsep Penilaian Hasil Belajar
1) Definisi Operasional
standar proses
yaitu
84
Menurut Permendikbud No.81A (2013) dalam pedoman ini, pengertian
penilaian sama dengan asesmen. Terdapat tiga kegiatan yang perlu
didefinisikan, yakni pengukuran, penilaian,
dan evaluasi. Ketiga
istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, walaupun memang
saling berkaitan. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan hasil
pengamatan dengan suatu kriteria atau ukuran. Penilaian adalah proses
mengumpulkan informasi/bukti melalui pengukuran, menafsirkan,
mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran.
Evaluasi adalah proses mengambil keputusan berdasarkan hasil-hasil
penilaian.
2) Metode dan instrumen penilaian
Menurut Permendikbud No.81A (2013) berbagai metode dan
instrumen baik formal maupun nonformal digunakan dalam penilaian
untuk mengumpulkan informasi. Informasi yang dikumpulkan
menyangkut semua perubahan yang terjadi baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Penilaian dapat dilakukan selama pembelajaran
berlangsung (penilaian proses) dan setelah pembelajaran usai
dilaksanakan (penilaian hasil/produk).
b) Komponen Penilaian Hasil Belajar
1) Prinsip, Pendekatan, dan Karakteristik Penilaian
Menurut Permendikbud No.81A (2013) prinsip, pendekatan dan
karakteristik penilaian yaitu:
85
a. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: Sahih,
berarti
penilaian
didasarkan
pada
data
yang
mencerminkan
kemampuan yang diukur.
1. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria
yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
2. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan
peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar
belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi,
dan gender.
3. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu
komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
4. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar
pengambilan
keputusan
dapat
diketahui
oleh
pihak
yang
berkepentingan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh
pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan
berbagai
teknik
penilaian
yang
sesuai,
untuk
memantau
perkembangan kemampuan peserta didik.
6. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan
bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.
86
7. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran
pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
8. Akun tabel, berarti penilaian dapat di pertanggung jawabkan, baik
dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.
9. Edukatif, berarti penilaian dilakukan untuk kepentingan dan
kemajuan pendidikan peserta didik
b. Pendekatan Penilaian
Implikasi dari ketuntasan belajar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diberikan remedial individual
sesuai dengan kebutuhan kepada peserta didik yang memperoleh
nilai kurang dari 2.67.
2. Untuk KD pada KI-3
dan KI-4: diberikan kesempatan untuk
melanjutkan pelajarannya ke KD berikutnya kepada peserta didik
yang memperoleh nilai 2.67 atau lebih dari 2.67.
3. Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diadakan remedial klasikal sesuai
dengan kebutuhan apabila lebih dari 75% peserta didik
memperoleh nilai kurang dari 2.67.
4. KD pada KI-1 dan KI-2, pembinaan terhadap peserta didik yang
secara umum profil sikapnya belum berkategori baik dilakukan
secara holistik (paling tidak oleh guru matapelajaran, guru BK, dan
orang tua).
2) Karakteristik Penilaian
87
a. Belajar Tuntas
Untuk kompetensi pada kategori pengetahuan dan keterampilan (KI-3
dan KI-4), peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan
berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan
prosedur yang benar dan hasil yang baik.Asumsi yang digunakan
dalam belajar tuntas adalah peserta didik dapat belajar apapun, hanya
waktu
yang dibutuhkan
yang berbeda.
Peserta
didik
yang
belajarlambat perlu waktu lebih lama untuk materi yang sama,
dibandingkan peserta didik pada umumnya.
b. Otentik
Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu. Penilaian
otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia
sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi
utuh merefleksikan pengpetahuan, keterampilan, dan sikap). Penilaian
otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik,
tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh
peserta didik.
c. Berkesinambungan
Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai
perkembangan hasil belajar peserta didik, memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk penilaian
proses, dan berbagai jenis ulangan secara berkelanjutan (ulangan
88
harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, atau ulangan
kenaikan kelas).
3) Strategi Penilaian Hasi Belajar
Strategi penilaian hasil belajar dengan menggunakan
Metode dan
Teknik Penilaian sebagai berikut:
(a) Metode Penilaian
Penilaian dapat dilakukan melalui metode tes maupun nontes. Metode
tes dipilih bila respons yang dikumpulkan dapat dikategorikan benar
atau salah
(KD-KD pada KI-3 dan KI-4). Bila respons yang
dikumpulkan tidak dapat dikategorikan benar atau salah digunakan
metode nontes (KD-KD pada KI-1 dan KI-2). Metode tes dapat berupa
tes tulis atau tes kinerja.
(b) Teknik dan Instrumen Penilaian
Untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan peserta didik dapat
dilakukan berbagai teknik, baik berhubungan dengan proses maupun
hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya
adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap
pencapaian kompetensi. Penilaian dilakukan berdasarkan indikatorindikator pencapaian hasil relajar, baik pada domain kognitif, afektif,
maupun psikomotor.
4) Pihak Yang Terlibat
a. Penilaian Berdasarkan Standar
89
Sebuah standar, serendah apapun diperlukan karena
ia berperan
sebagai patokan dan sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas
hidup. Dalam konteks pendidikan, standar diperlukan sebagai acuan
minimal (dalam hal kompetensi) yang harus dipenuhi oleh seorang
lulusan dari
suatu
lembaga pendidikan sehingga
setiap
calon
lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standar
minimal yang telah ditetapkan.
b. Penilaian Kelas Otentik
Seperti
dijelaskan
di atas, implikasi diterapkannya SKL adalah
proses penilaian yang dilakukan oleh guru, baik yang bersifat formatif
maupun sumatif harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, guru
harus mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan yang menjamin
pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah
proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan
pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai
teknik
yang
menunjukkan
mampu
secara
mengungkapkan,
tepat
bahwa
tujuan
membuktikan,
pembelajaran
atau
dan
kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai.
6) Konsep Dan Strategi Layanan Bimbingan Dan Konseling
a) Konsep Layanan Bimbingan dan Konseling
Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor adalah guru yag
mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh
90
dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah
siswa. Layanan bimbingan dan konseling adalah kegiatan Guru
Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam menyusun rencana
pelayanan bimbingan dan konseling, melaksanakan pelayanan
bimbingan dan konseling, mengevaluasi proses dan hasil pelayanan
bimbingan dan konseling serta melakukan perbaikan tindak lanjut
memanfaatkan hasil evaluasi.
b) Komponen Layanan Bimbingan dan Konseling
Pedoman bimbingan dan konseling mencakup komponen-komponen
berikut ini.
1. Jenis layanan meliputi : layanan orientasi yaitu layanan bimbingan
dan konseling yang
membantu peserta didik memahami lingkungan
baru, seperti lingkungan
satuan pendidikan bagi siswa baru, dan
obyek-obyek yang perlu dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta
mempermudah dan memperlancar peran di lingkungan baru yang
efektif dan berkarakter.
2. Layanan informasi
yaitu
layanan bimbingan dan konseling yang
membantu peserta didik menerima
dan memahami
berbagai
informasi diri, sosial, belajar, karir/ jabatan, dan pendidikan lanjutan
secara terarah, objektif dan bijak.
3. Layanan penempatan dan penyaluran yaitu layanan bimbingan dan
konseling yang membantu peserta didik memperoleh penempatan
91
dan
penyaluran
yang
tepat
di dalam kelas, kelompok belajar,
peminatan/lintas minat/pendalaman minat, program latihan, magang,
dan kegiatan ekstrakurikuler secara terarah, objektif dan bijak.
4. Layanan penguasaan konten yaitu layanan bimbingan dan konseling
yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama
kompetensi dan atau kebiasaan dalam melakukan, berbuat atau
mengerjakan
sesuatu
yang
berguna
dalam
kehidupan
di
sekolah/madrasah, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan tuntutan
kemajuan dan berkarakter-cerdas yang terpuji, sesuai dengan potensi
dan peminatan dirinya.
5. Layanan konseling perseorangan yaitu layanan bimbingan dan
konseling yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah
pribadinya melalui prosedur perseorangan.
6. Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling
yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi,
kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan
pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu sesuai
dengan tuntutan karakter yang terpuji melalui dinamika kelompok.
2. Psikologi Kontruktivisme
a. Definisi Psikologi Kontruktivisme
Menurut Daryanto (2013:183) kontruktivisme adalah teori belajar yang
menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari
92
pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan
mereka.
Sedangkan menurut Sadulloh (2011:178), kontruktivisme memfokuskan
pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Sejak
pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi
bagaimana para siswa mengkontruksi atau membentuk pemahaman mereka
terhadap bahan yang mereka pelajari. Menurut kontruktivisme melalui prosesproses kognitif.
Menurut
Daryanto
(2013:184)
tugas
guru
dalam
pembelajaran
kontruktivisme adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri.
3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar.
Menurut Daryanto (2013:183) kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang
guru dalam teori kontuktivisme yaitu:
Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup, dan
pengetahuan kemudian menyususn pengalaman belajar yang memberi
siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut.
Pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses “mengkontruksi: bukan
“menerima” penegtahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun
sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar
mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Pendekatan kontruktivis sosial juga mempertimbangkan konteks sosial
yang
didalam
pembelajarannya
muncul
dan
menekankan
pentingnya
interaksisosial dan negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktek
kelas, pendekatan-pendekatan pendekatan kontruktivis mendukung kurikulum
93
dan pengajaran student-centered bukannya teacher centered. Siswa adalah kunci
pembelajaran.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para guru pada teori
kontruktivisme
mengetahui
bahwa
pembelajaran
adalah
suatu
proses
pembentukan makna yang aktif, dimana para siswa bukanlah penerima pasif
informasi. Pada kenyataannya para siswa secara terus-menerus terlibat dalam
upaya memahami pemahaman siswa dan meyadari bahwa pembelajara siswa
dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengetahuan, sikap, dan interaksi sosial.
b. Potert Guru Kontrutivisme
Penjelasan anak belajar menurut Piaget, Vigotski dan Bruner dalam
Kurniawan (2011: 71) dapat diambil beberapa point penting, yaitu:
1. Anak belajar secara aktif, memiliki kemampuan untuk membangun
pengetahuannya.
2. Pentingnya rekayasa lingkungan yang mampu memberi ruang kepada
anak untuk mengkontruksi pengetahuannya.
3. Perlu interaksi guru-siswa yang kondusif agar anak bisa membangun
pengetahuannya, untuk kepentingan ini guru mampu menjebatani
kesulitan-kesulitan anak dalam memahami objek dan simbol yang
dipelajari sehingga kesulitan belajar bisa diatasi.
4. Penyajian pembelajaran disajikan secara spiral, maksudnya dimulai
dari hal yang rutin, sederhana, dan mudah terus maju dan berkembang
ke arah yang lebih kompleks dan rumit.
Menurut Bruce dan Masha dalam Sadulloh (2011:179) memberikan
deskripsi guru kontruktivisme sebagai berikut:
Jack Wilson adalah guru kelas satu di Lincoln, Nebraska. Ia kesehariannya
mengajarkan membaca pada sekelompok anak yang maju dengan cukup
baik. Kendatipun demikian, ia prihatin bahwa mereka tidak memiliki
kesulitan memecahkan kata-kata baru kecualai kalau mereka tidak dapat
membayangkan maknanya dari konteks. Jika mereka mampu
membayangkan apa yang dimaksud kata-kata itu dari potongan
94
kalimatnya, mereka tampaknya tidak memiliki kesulitan menggunakan
prinsip-prinsio yang telah mereka pelajari untuk memahami kata-kata
tersebut. Ia menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki kintrol penuh
atas konsep dan prinsip analis fonetik dan struktural. Ia merencanakan
aktivitas-aktivitas yang dirancamg untuk membantu mereka
mengembangkan konsep-konsep tentang bagaimana kata-kata disusun dan
menggunakan pengetahuan itu dlaam memecahkan kata-kata yang tidak
diketahui mereka.
Jack memperesiapkan sekantung kartu yang masing-masing memiliki
sebuah kata. Ia memilih kata-kata yang memiliki prefiks (awalan) dan
sufiks (akhiran), dan ia sengaja menyimpan kata- kata yang memiliki akar
kata yang sama namun awalan dan akhiran yang berbeda. Ia mengambil
prefiks dan sufiks karena prefiks dan sufiks adalah karakteristik struktural
kata yang terkenal dan mudah diidentifikasi.
Ketika kelompok siswa itu berkumpul pada Senin pagi, Jack memberikan
beberapa kartu pada masing-masing anak. Ia menyimpan sisanya dna
menghitung secara bertahap peningkatan jumlah informasi yang diperoleh
siswa. jack meminta masing-masing siswa membaca sebuah kata pada
salah satu kartu tersebut dan menggambarkan sesuatu mengenai kartu
tersebut. Siswa yang lainnya dapat menambahkan gambaran lainnya.
Dengan cara ini, properti-properti struktural dari kata menarik perhatian
siswa. diskusi-diskusi membahas karakteristik-karakteristik seperti
konsonan-konsonan awal yang dimulai dengan “s”, vokal, pasangan
konsonan, dan sebagainya.
Setelah para siswa akrab dengan bermacam-macam kata, Jack meminta
mereka untuk mengelompokkan kata-kata tersebut. Para siswa mulai
mempelajari kartu-kartu mereka, dengan menilik-nilik kartu tersebut
mereka memilah-milah keumuman kata-kata tersebut.
Ketika para siswa selesai memilah-milah kata, Jack meminta mereka untuk
berbicara mengenai masing-masing kategori yang menceritakan apa yang
dimiliki kartu-kartu secara umum. Secara sedikit demi sedikit, para siswa
dapat menemukan prefiks dan sufiks utama dan memikirkan mengenai
makna prefiks dan sufiks tersebut. Kemudian ia memberi mereka kalimatkalimat yang didalamnya kata-kata yang tidak ada dalam bungkus kartu
yang diawali dan siakhiri oleh prefiks dan sufiks dan meminta mereka
untuk membayangkan makna-makna dari kata-kata tersebut, dengan
menerapkan konsep-konsep yang telah mereka bentuk untuk membantu
mereka membuka makna-makna kata tersebut.Aktivitas induaktif
dilanjutkan beberapa kali, dengan memilih kumpulan kata yang berbeda.
Jack mengarahkan para siswa melalui kategori-kategori konsonan dan
bunyi-bunyi vokal serta struktur yang mereka butuhkan untuk
memecahkan kata-kata yang tidak dikenal.
95
Berdasarkan dari pendapat di atas dapat disimpulkan poter guru
kontruktivisme adalah Pembelajaran yang menghasilkan perkembangan
komunitas belajar yang mempunyai tujuan difasilitasi oleh guru sebagai seorang
pemimpin konstruktivis. Dalam kepemimpinan seperti ini, kita belajar dalam
suatu model konstruktivis. Dalam model ini, kita mulai dengan tujuan,
keyakinan, asumsi dan pengalaman. Kita mendasarkan diri kita sendiri pada
siapa diri kita dan memperhatikan tempat di mana kita berada, sehingga kita
bersama-sama dapat menemukan cara berada yang baru. Di sini, seorang guru
sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran yang
memungkinkan partisipan dalam suatu komunitas untuk mengkonstruksikan
makna bersama-sama yang mengarah pada tujuan pembelajaran yang dishared. Hal ini terlaksana dalam proses pembelajaran partisipatori.
3. Psikologi Behaviorisme
Pelopor dan Teori Belajar Behaviorisme
Menurut Mikarsa (2007:63) tokoh behaviorisme antara lain J.B. Watson,
Thorndike, dan B.F. Skinner mereka begitu yakin dengan teori stimulus
responnya, yaitu:
Ia memandang bahwa perilaku manusia sebagai hasil pembentukkan
melalui kondisi lingkungan. Perilaku individu dapat dibentuk sesuai
dengan kehendak lingkungan. Bagi Watson, tampaknya lingkungan
meerupakan segalanya. Pendidikan pun dianggap sebagai pembentuk
perilaku manusia. Bahkan J.B. Watson sesaat setelah melakukan penelitian
terhadap bayi Albert, pernah melontarkan kalimat yang sangat bombastic
“beri aku bayi, selanjutnya terserah dapat dibentuk mau jadi apa saja”.
Watson berkeyakinan bahwa manusia itu dibentuk, bukan dilahirkan.
Tetapi Watson mendapat reaksi pahit dari masyarakat Amerika waktu itu.
96
ketakutan masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya karena takut
dijadikan orang gila, pemabuk dan sebagainya.
Menurut Ivan Pavlov dalam Mikarsa (2007:64), seorang bangsa Rusia
mengemukakan teori conditioning-nya, yaitu:
Percobaan pengkondisiannya dilakukan kepada seekor anjing. Percobaannya
terkenal dengan sebutan clasical conditioning. Dalam clasical conditioning,
binatang yang bersangkutan tidak memiliki kontrol terhadap reinforcement serta
respon yang dihasilkan. Reinforcement diberikan sebelum respons yang
diharapkan terjadi untuk menghasilkan respons yang diinginkan.
Tokoh teori belajar lainnya ialah Burrhus Frederick Skinner dalam
Mikarsa (2007:64), ia dikenal dengan teori operand conditioning-nya. Menurut
teorinya suatu respons seseorang dapat menjadi stimulus bagi orang itu.
mislanya, si A disuruh mengambil buku ke Perpustakaan (respons). Bersamaan
dengan mengambil buku, ia pun mengembalikan buku yang pernah ia pinjam
dari Perpustakaan (respons dari respons). Jadi, mengambil buku menjadi
stimulus bagi mengembalikan buku.
Bersamaan dengan resahnya masyarakat karena Watson tersebut,
Thorndike dalam Mikarsa (2007:64) mencuatnya gema teori belajarnya, yang
tidak kalah gaungnya dengan teori Watson, yaitu teori belajar Thorndike yang
fundamental bahwa belajar lebih bersifat meningkat bertahap (incremental)
ketimbang karena hadirnya insight (pemahaman). Artinya belajar terjadi melalui
langkah-langkah kecil yang sistematis daripada sebuah lompatan yang besar.
Sebelum tahun 1930-an, Thorndike terkenal dengan hukum-hukum belajarnya,
97
yaitu : 1) hukum kesiapan, 2) hukum latihan, 3) hukum akibat, 4) respons
berganda, 5) sikap, 6) elemen-elemen prapotensi, 7) respon dengan analogi dan
8) pergeseran asosiatif. Setelah tahun 1930-an Thorndike meralat beberapa
hukum belajarnya. Hukum belajar yang dilaratnya yaitu hukum latihan (law of
exercise) dan hukum akibat. Menurutnya, low of use (hukum keterpakaian)
sebagian dari hukum latihan, yang menyatakan bahwa pengulangan suatu
perilaku pada praktiknya terkadang tidak akurat. Dalam revisi hukum akibat,
Thorndike menyatakan bahwa reinforcement akan menguatkan hubungan,
sedangkan hukuman tidak akan berpengaruh pada kekuatan hubungan. Contoh,
peserta didik yang salah dalam mengerjakan tugas dihukum berdiri oleh
gurunya belum tentu membuatnya mempelajari kembali dengan baik tugas
tersebut. Sebaliknya peserta didik yang baik dalm mengerjakan tugasnya diberi
penguatan (reinforcement) berupa pujian, misalnya sangat mungkin peserta
didik tersebut akan semakin sungguh-sungguh dalam belajarnya.
Menurut Ivan Pavlov dalam Mikarsa (2007:64), seorang bangsa Rusia
mengemukakan teori conditioning-nya, yaitu percobaan pengkondisiannya
dilakukan kepada seekor anjing. Percobaannya terkenal dengan sebutan clasical
conditioning. Dalam clasical conditioning, binatang yang bersangkutan tidak
memiliki kontrol terhadap reinforcement serta respon yang dihasilkan.
Reinforcement diberikan sebelum respons yang diharapkan terjadi untuk
menghasilkan respons yang diinginkan.
98
Tokoh teori belajar lainnya ialah Burrhus Frederick Skinner dalam
Mikarsa (2007:64), ia dikenal dengan teori operand conditioning-nya. Menurut
teorinya suatu respons seseorang dapat menjadi stimulus bagi orang itu.
mislanya, si A disuruh mengambil buku ke Perpustakaan (respons). Bersamaan
dengan mengambil buku, ia pun mengembalikan buku yang pernah ia pinjam
dari Perpustakaan (respons dari respons). Jadi, mengambil buku menjadi
stimulus bagi mengembalikan buku.
Berdasarkan dari pendadapat
di
atas dapat
disimpulkan
Aliran
behaviorisme dalam psikologi sangat menekankan perilaku atau tingkah laku
yang apat di amati. Psikologi yang juga merupakan bagian dari ilmu alam yang
menekankan pada perilaku manusia, perbuatan, dan ucapannya baik yang
dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
4. Psikologi yang Melandasi Kurikulum 2013
Pendidikan berkaitan dengan tingkah laku manusia. Oleh karena itu,
hadirnya pendidikan diharapkan dapat merubah tingkah laku para siswa menuju
kedewasaannya, baik secara fisik, mental/intelektual, moral, dan sosialnya.
Melalui kurikulum, diharapkan dapat membentuk watak anak/siswa yang
berperilaku baru yang berupa kemampuan-kemampuan aktual dan potensial dari
para siswa serta kemampuan-kemampuan baru yang berbudi pekerti dalam
waktu yang relatif lama sebagai karakter budaya bangsa Indonesia.
Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik
menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral,
99
intelektual, maupun sosial. Perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh
faktor kematangan dan faktor dari luar program pendidikan atau lingkungan.
Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang
berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana
perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar.
Menurut Syamsu Yusuf (2005:23-27) menguraikan karakteristik tahaptahap perkembangan individu yang digambarkan sebagai berikut :
a. Masa usia pra sekolah 0-6 tahun
1) Masa vital, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk
merespon berbagai hal yang terdapat di lingkungannya.
2) Masa estetik adalah masa berkembangnya rasa keindahan dan masa
peka bagi anak untuk memperoleh rangsangan (stimulasi) melalui
seluruh indranya.
b. Masa usia sekolah dasar 6-12 tahun
Fasa ini disebut periode intelektual, pada masa ini anak-anak lebih
mudah diarahkan diberi tugas yang harus diselesaikan dan berbagai
kebiasaan.
c. Masa usia sekolah menengah 12-18 tahun
Masa usia menengah bertepatan dengan masa remaja. Masa remaja
merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat
khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu
dalam masyarakat orang dewasa.
d. Psikologi Belajar dan Pengembangan Kurikulum
Pendekatan terhadap belajar berdasarkan suatu teori tertentu
merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaannya
berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat yang mungkin
ditimbulkannya. Ada tiga teori belajar yang memiliki pengaruh
terhadap pengembangan kurikulum di indonesia, antara lain :
1) Teori psikologi kognitif (kognitivisme);
2) Teori psikologi humanistic.
3) Teori psikologi behavioristic.
Menurut Syaodih (2010:24) bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi
yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan
psikologi belajar. Keduanya sangat diperluka, baik di dalam merumuskan
100
tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode
pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
Berdasarkan penjelasan di atas kondisi psikologis setiap individu berbeda,
karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang social-budaya, juga
karena perbedaan factor-faktor yang dibawa dari kelahirannya.Kondisi ini pun
berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara
individu-individu yang lainnya.Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan
harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi
pendidiknya.
5. Psikologi Perkembangan Anak
a. Definisi Peserta Didik
Mengenai definisi peserta didik, ada banyak pendapat yang dijadikan
sebagai rujukan di antaranya:
Menurut Desmita (2012:39), peserta didik adalah sejenis makhluk “homo
educandum”, makhluk yang menghajatkan pendidikan. Sedangkan menurut
Arifin dalam Desmita (2012:39), peserta didik adalah individu yang sedang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis
menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan
berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Berkenaan dengan peserta didik menurut Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4 dalam Desmita
101
(2012:39), peserta didik diartikan sebagai anggota masyrakat yang berusaha
mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan
pendidikan tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan di
atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah individu yang memiliki
potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik.
Potensi-potensi khas yang dimilkinya ini perlu dikembangkan.
b. Karakteristik Anak Sekolah Dasar
Anak sekolah dasar memiliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri
diantaranya sebagai berikut:
Menurut Dasmita (2014:35) karakteristik anak sekolah dasar yaitu
seseorang yang usia rata-rata Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun
dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan
perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa
perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-7 tahun), dan masa kanakkanak akhir (10-12 tahun). Anak sekolah dasar senang bermain, senang
bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau
melakukan sesuatu secara langsung.
Sedangkan menurut Dewantara (2013:9) karakter itu terjadi karena
perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar. Menurut Triyanto dalam
Kurniawan (2011:71) karakteristik belajar usia Sekolah Dasar yaitu secara
102
umum anak belajar konkret, integratif, dan hierarkis. Penjelasannya yaitu
sebagai berikut:
1. Konkret
Dalam belajar masih ersifat konkret yaitu kemampuan abstraknya
belum berkembang. Sehingga materi ajar perlu dibuat konkret atau
bisa diamati oleh panca indra (penglihatan, pendengaran, peraba,
penciuman, termasuk aktivitas motorik)
2. Integratif
Pandangan bersifat general, melihat sesuatu secara keseluruhan.
Artinya ketika melihat dan mempersepsi suatu objek akan dilihat
besarannya, tidak analisis bagian per bagian. Dalam istilah Dewey,
karakterisktik ini adalah wholistic.
3. Hierarkis
Yaitu berpikir secara bertahap dari hal sederhana menuju ke hal yang
kompleks atau dari mudah ke menuju sulit. Dengan demikian, maka
dalam pengorganisasian materi pelajara perlu memepertimbangkan
urutan logis (terutama urutan psikologis dari mudah menuju rumit),
keterkaitan antar materi, cakupan keluasan dan kedalaman materi.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik peserta didik
usia Sekolah Dasar yaitu masih berpikir secara konkret (bukan abstrak), siswa
masih berpikir sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan dan didengarnya.
Selain itu siswa berpikir secara bertahap, dari hal yang sederhana menuju rumit.
Serta siswa masi bergantung kepada orang dewasa, maka dari itu, orang dewasa
harus mampu membantu siswa dalam kegiatannya.
c. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar
Mengenai definisi perkembangan anak, ada banyak pendapat yang
dijadikan sebagai rujukan di antaranya:
Menurut Hawadi dalam Desmita (2012:9), “perkembangan secara luas
menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki
individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Di
103
dalam istilah perkembangan juga mencakup konsep usia, yang diawali dari saat
pembuahan dan berakhir dengan kematian”.
Menurut
F.J.Moks,
dkk
dalam
Desmita
(2012:9),
pengertian
perkembangan menunjuk pada “satu proses ke arah yang lebih sempurna dan
tidak begitu saja dapat kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang
bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali.”
Sedangkan menurut Chaplin dalam Desmita (2012:8) mengartikan
perkembangan sebagai:
1. Perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme,
dari lahir sampai mati;
2. Pertumbuhan;
3. Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian
jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional;
4. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dan tingkah laku yang
tidak dipelajari.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa definisi di atas adalah bahwa
perkembangan anak tidaklah terbatas pada pertumbuhan yang semakin
membesar, melainkan di dalamnya juga terkandung suatu perubahan yang
berlangsung secara terus menerus baik jasmaniah maupun rohaniah yang
dimiliki anak.
Tahapat perkembangan anak menurut ahli teori psikoanalisa dan sekaligus
seorang pendidik, Erik H.Erikson dalam Sumantri (2007:111) mengemukakan
bahwa perkembangan manusia adalah sintesis dari tugas-tugas sosial. Erik H.
Erikson mengemukakan bahwa perkembangan afektif merupakan dasar
104
perkembangan manusia. Erikson melahirkan teori perkembangan afektif yang
terdiri atas 8 tahap, yaitu:
1. Trust vs Mistrus/kepercayaan dasar (0;0 – 1;0)
Bayi yang kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahanya
segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaik-baiknya, diajak
main dan bicara, akan tumbuh perasaanya bahwa dunia ini adalah
tempat yang aman dengan orang-orang disekitarnya yang selalu
bersedia menolong dan dapt dijadikan tempat ia menggantungkan
nasibnya. Jika pemeliharaan terhadap bayi itu tidak menetap, tidak
memadai sebagaimana mestinya, serta terkandung di dalamnya sikapsikap menolak, akan tumbuhlah pada bayi itu rasa takut serta
ketidakpercayaaan secara mendasar terhadap orang-orang disekitarnya.
Persaaan ini akan terus dibawa-bawa pada tingkat perkembangan
berikutnya.
2. Autonomy vs Shame and Doubt/otonomi (1;0 – 3;0)
Pada tahap ini Erikson melihat munculnya automy. Dimensi automy
ini timbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak.
Pada tahap ini, bukan hanya berjalan, tetapi juga memanjat, menutup
membuka, menjatuhkan, menarik dan mendorong, memegang dan
melepaskan. Anak sangat bangga dengan kemampuannya ini dan ia
ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari
bahwa anak butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai dengan
kemampuannya menurut langkah dan waktunya sendiri. anak
kemudian akan mengembankan perasaaanya bahwa ia dapat
mengendalikan
otot-ototnya,
dorong-dorongannya
serta
mengendalikan diri dan lingkungannya.
Jika orang dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar
dan selalu membantu mengerjakana segala sesuatu yang sesungguhnya
dapat dikerjakannya sendiri oleh anak itu, maka akan tumbuh pada
anaak itu rasa malu-malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu
melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan anak-anak berarti telah
memupuk rasa malu dan rasa ragu yang berlebihan sehingga anak tidak
dapat mengendalikan dunia dan dirinya sendiri.
Jika anak meninggalkan masa perkembangan ini dengan autonomi
yang lebih kecil daripada rasa malu dan ragu, ia akan mengalami
kesulitan untuk memperoleh autonomi pada masa remaja dan masa
dewasanya. Sebaliknya anak yang dapt melalui masa ini dengan
adanya keseimbangan serta dapat mengatasi rasa malu dan rasa ragu
dengan rasa autonomus, maka ia sudah siap menghadapi siklus-siklus
kehidupan berikutnya. Namun dengan demikian keseimbangan yang
diperoleh pada masa ini dapat berubah ke arah positif maupun negatif
oleh peristiwa-peristiwa di masa selanjutnya.
105
3. Initiatives vs Guilt/inisiatif (3;0 – 5;0)
Pada masa ini anak sudah menguasai badan dan geraknya. Ia dapat
mengendarai sepeda roda tiga, dapat lari, memotong. Inisiatif anak
akan lebih terdorong dan terpupuk bila orang tua memberi respons
yang baik terhadap keinginan anak untuk bebas dalam melakukan
kegiatan-kegiatan motoris sendiri dan bukan hanya bereaksi meniru
anak-anak lain. Hal yang sama terjadi pada kemampuan anak untuk
menggunakan bahasa dan kegiatan fantasi. Dimensi pada tahapa ini
memiliki dua ujung: inititive <- -> guilt. Anak yang diberi kesempatan
dan kebebasan untuk berinisiatif pada permainan motoris serta
mendapat jawaban yang memadai darin pertanyaan-pertanyaan yang
diajukannya (intelectual inititive). Maka inisiatifnya akan berkembang
dengan pesat.
4. Industry vs Inferiority/produktifitas (6;0 – 11;0)
Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain dan belajar menurut
peraturan yang ada. Dimensi psikososial yang muncul pada masa ini
adalah:
Sense of industry -- sense of inferiority
Anak didorong untuk melakukan, membuat dan mengerjakan dengan
benda-benda yang praktis dan mengerjakannya sampai selesai
sehingga menghasilkan sesuatu. Berdasarkan hasilnya mereka dihargai
dan dimana perlu diberi hadiah. Dengan demikian rasa/sifat ingin
menghasilkan sesuatu dapat dikembangkan.
Pada usia anak sekolah dasar ini dunia anak bukan hanya sekedar
lingkungan rumah saja tetapi mencakup juga lembaga-lembaga ain
yang mempunyai peranan penting dalam perkembnagan individu.
Pengalaman-pengalaman sekolah anak mempengaruhi Industry dan
Inferiority anak. Anak dengan IQ 80 atau 90 akan mempunyai
pengalaman sekolah yang kurang memuaskan walaupun sifat industri
dipupuk dan dikembangkan di rumah. Ini dapat menimbulkan rasa
inferiority (rasa tidak mampu). Keseimbangaan industry dan inferiority
bukan hanya bergantung kepada orang tuanya, tetapi juga dipengaruhi
oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu.
5. Identity vs Role Confusion/identitas (12;0 – 18;0)
Pada saat ini anak sudah menuju kematangan fisisk dan mental. Ia
mempunyai perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai
akibat perubahan-perubahan tubuhnya. Pandangan dan pemikirannya
tentang dunia sekelilingnya mengalami perkembangan. Ia mulai dapat
berpikir tentang pikiran orang lain. ia berpikir pula apa yang dipikirkan
orang lain tentant dirinya. Ia mulai mengerti tentang keluarga ideal,
agama, dan masyarakat, yang dapat diperbandingkannya dengan apa
yang dialaminya sendiri.
Menurut Erikson pada tahap ini dimensi interpersonal yang muncul
adalah:
106
ego --- role confusion
Pada masa ini remaja harus mampu mengintegrasikan apa yang telah
dialami dan dipelajarinya tentang dirinya sebgaai anak, siswa, teman,
anggota keluarga dan lain sebagainya menjadi suatu kesatuan
sehinbga menunjukkan kontinuitas dengan masa lalu dan siap
menghadapi nasa datang.
Peran orang tua yang pada masa lalu berpengaruh secara langsung
pada krisis perkembangan, maka pada masa ini pengaruhnya tidak
langsung. Jika anak mencapai masa remaja dengan rasa terima kasih
kepada orang tua, dengan penuh rasa kepercayaan, mempunyai
autonomy, berinisiatif, memiliki sifat-sifat industri, maka
kesempatanya kepada ego identiti sudah berkembang.
6. Intimacy vs Isolation/ keakraban (19;0 – 25;0)
Yang dimaksud dengan intimacy oleh Erikson selain hubungan antara
suami istri juga kemampuan untuk berbagai rasa dan memperhatikan
orang lain. pada tahap inipun keberhasilan tidak bergantung secara
langsung kepada orang tua. Jika intimacy ini tidak terdapat diantara
sesama teman atau sumi isteri, menurut Erikson, akan terdapat apa
yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain
untuk berbagi rasa dan saling memperhatikan.
7. Generavity vs Self Absorption/generasi berikut (25;0-45;0)
Generavity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain di
luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta
hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup. Generavity ini
bukan hanya terdapat pada orang tua (ayah dan ibu), tetapi terdapat
pula pada individu-individu yang secara aktif memikirkan
kesejahteraan kaum muda serta berusaha membuat tempat kerja yang
lebih baik untuk mereka hidup. Orang yang tidak berhasil mencapai
generavity berarti ia berada dalam keadaan self absorption dengan
hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan
kesenangan pribadinya saja.
8. Integrity vs Despair/integritas (45;0 - ...)
Pada tahap ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati
kelengkapan dan merupaka masa-masa untuk menikmati pergaulan
dengan cucu. Integrity timbul dari kemampuan individu untuk melihat
kembali kehidupannya yang lalu dengan kepuasan. Sedangkan
sebaliknya adalah despair yaitu keadaan dimana individu yang
menengok ke belakang dan meninjau kembali kehidupannya masa lalu
sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah serta disadarinya
bahwa jika ia memulai lagi sudah terlambat.
Tahapan perkembangan afektif manusia merupakan perpaduan dari
tugas-tuga perkembangan dan tugas-tugas sosial. Perkembangan
afektif merupakan suatu tahapan yang dapat berpengaruh secara positif
maupun negatif terhadap tahap berikutnya. Jika anak mencapai tahap
107
ketiga yang bergaul dengan anak bukan hnaya orang tuanya saja
melainkan juga dengan orang dewasa lainnya di sekolah, yaitu guru.
Guru yang membimbing dan mengasuh peserta didiknya pada berbagai
aspek tingkat kelas perlu memahami dan menyadari sikap, kebutuhan
dan perkembangan mereka.
Menurut Piaget dalam Sumantri (2007: 114) proses anak sampai mampu
berpikir seperti orang dewasa melalui empat tahap perkembangan, yakni:
1. Tahap sensori motor (0 - 2 tahun)
Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup
gejala yang diterima secara langsung melalui indra. Pada saat anak
mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa,
mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek
yang nyata. Anak mulai memahami hubungan antara benda dengan
nama yang diberikan kepada benda tersebut.
2. Tahap praoperasional (2 - 7 tahun)
Pada tahap ini perkembangan sangat pesat. Lambang-lambang bahasa
yang dipergunakan untuk menunjukkan benda-benda nyata bertambah
dengan pesatnya. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi,
bukannya berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil
kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu
keseluruhan yang besar. Menurut pendapat mereka pesawat terbang
adalah benda kecil yang berukuran 30 cm, karena hanya itulah yang
nampak pada mereka saat mereka menengadah dan melihatnya terbang
di angkasa.
3. Tahap operasional konkrit (7 - 11 Tahun)
Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini.mereka dapat
berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada
tahap ini permasalahan yang dihadapinya adalah permasalahan yang
konkret.
Pada tahap ini anak akan menemui kesulitan bila diberi tugas sekolah
yang menuntutnya untuk mencari sesuatu yang tersembunyi dari suatu
kata dalam tulisan tertentu. Mereka menyukai soal-soal yang tersedia
jawabannya.
4. Operasional formal ( 11-15 tahun)
Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat
mengaplikasikannya cara berpikir terhadap permasalahan dari semua
kategori, baik yang abstrak maupun yang konkret. Pada tahap ini anak
sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide,
berpikir tentang masa depan secara realistis.
108
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan
peserta didik usia SD berkisar antara 7-11 tahun, pada usia ini, permasalahan
yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkret, serta siswa masih
dipengaruhi oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu.
Sebelum menekuni tugasnya membimbing dan mengajar, guru atau calon
guru sebaiknya memahami teori Piaget atau ahli lainnya tentang pola-pola
perkembangan kecerdasan peserta didik. Dengan demikian mereka memiliki
landasan untuk mengembangkan harapan-harapan yang realistik mengenai
perilaku peserta didiknya.
d. Jenis-jenis Perkembangan Anak Sekolah Dasar
Menurut Mikarsa (2007:38) perkembangan anak usia Sekolah Dasar
diantaranya yaitu perkembangan minat, bakat, serta kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional. Dengan memahami bagaimana perkembangan anak usia
Sekolah Dasar tersebut, maka guru dapat merancang suatu pengajaran yang
sesuai bagi anak usia Sekolah Dasar. Perkembangan anak Usia Sekolah Dasar
diantaranya:
1. Perkembangan minat
Seorang anak tidak lahir dengan minat tertentu, teori Tabula Rasa
menunjukkan bahwa anak lahir laksana kertas putih yang kosong, yang
belum diisi dengan berbagai hal. Dengan demikian, minat tidak ada
sejak lahir karena minat berkembang melalui pengalaman belajar.
Sejalan dengan makin meluasnya cakrawala mental anak maka minatminatnya pun akan berkembang. Minat dapat dipelajari melalui
berbagai cara, yaitu:
a) Trial and error (coba ralat)
Dengan mencoba-coba secara tidak langsung akan timbul minat
terhadap sesuatu, seperti anak yang baru belajar sepeda. Jika ia sudah
mahir, ia akan gemar bersepeda. Kegemaran atau minat bermain sepeda
109
b)
1.
2.
3.
akan lebih kuat jika mendapat bimbingan dari lingkungan (khususnya
mendapat arahan dari orang-orang yang berarti bagi anak). Tumbuhnya
minat pada anak akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama.
Proses identifikasi pada orang yang dicintai (misalnya ayah atau ibu)
Anak yang menyukai atau berminat membaca sangat mungkin
dikarenakan ia melihat ayah dan ibunya senang membaca. Ibu yang
senang menonton sinetron di televisi tanpa disengaja dapat menjadi
model/contoh yang kuat bagi anak untuk turut juga berminat menonton
televisi. Pengaruh tokoh identifikasi ini makin lama makin berkurang
begitu anak menginjak usia dewasa karena bukan hanya keluarga yang
berpengaruh pada anak tetapi juga peran kelompok teman sebaya. Jika
hal ini terjadi pada anak, tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam
diri anak.
Dari berbagai penelitian mengenai perkembangan dan perbedaan
individu dalam minat, Renninger dalam Mikarsa (2007: 39)
menyimpulakna sebagai berikut:
Jika ditinjau dari sedut pandang perkembanga, pada usia pra sekolah,
yaitu usia 3-4 tahun, umumnya anak-anak memiliki minat yang secara
relatif stabil dan minat mereka berhubungan dengan pemilihan
kegiatan belajar mengajar mereka.
Minat berperan besar dalam mengarakan dan membimbing tingkah
laku pada masa kanak-kanak untuk menghadapi sejumlah tugas
daripada pada masa kanak-kanak akhir dan dewasa. Pada anak yang
lebih tua dan memasuki masa dewasa, umumnya menyeleseikan tugas
yang tidak diminati dan kebanyakan dari mereka tidak mempunyai
pilihan lain terhadap tugas-tugas ini. Dalam hal ini, minat memiliki
pengaruh diferensial tergantung dari tugas dan isinya. Sebagai contoh
pada anak SD tingkat akhir, tugas membaca justru memiliki pengaruh
yang lebih kuat daripada menulis. Tampaknya peran dari minat dalam
belajar dapat bervariasi tergantung pada usia anak.
Jika ditinjau dari perbedaan perkembangan minat, menunjukkan bahwa
minat anak pada sekolah dan tugas-tugas sekolah akan berkurang
sejalan dengan usia mereka.
Menurut Mikarsa (2007:39) untuk mengetahui bagaimana minat seseorang
berkembang, perlu diketahui aspek-aspek berikut ini:
1. Aspek kognitif dan aspek afektif.
Aspek kognitif berkaitan dengan pengalaman seseorang.
Pengalaman yang telah diperoleh dari rumah, sekolah, masyarakat dan
massa berbeda. Dari semua pengalaman inilah anak belajar apa yang
dapat dan tidak memuaskannya. Sedangkan aspek afektif atau yang
berkaitan dengan suasana hati, merupakan konsep yang diekspresikan
110
dalam sikap melalui kegiatan yang diminatinya, aspek afektif juga
berkembang dari pengalaman dan sikap orang-orang di sekitarnya. Bagi
seorang anak, pengalaman yang menyenangkan dengan guru akan
menumbuhkan sikap positif pada sekolah.
Aspek kognitif dan aspek afektif juga berperan dalam menentukan
kegiatan yang akan dilakukan atau tidak dilakukan maupun tipe
penyesuaian diri pada lingkungan. Dalam beberapa hal aspek afektif
lebih penting daripada aspek kognitif, khususnya dalam memotivasi diri
agar minat lebih bertahan.
Menurut Mikarsa (2007: 31) dikatakan bahwa minat berkembang
melalui proses belajar. Perkembangan minat memiliki karakteristik
tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Minat berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental;
2. Minat sangat bergantung pada kesiapan belajar;
3. Mibat bergantung pada kesemoatan untuk belajar, dan kesempatan
belajar bergantung pada lingkungan serta minat dari anak maupun
orang dewasa di sekitarnya;
4. Perkembangan minat mungkin saja terbatas, tergantung dari
kemampuan fisik, mental, serta pengalaman sosial anak;
5. Minat dipengaruhi oleh budaya karena anak belajar dan
memperoleh pengalaman melalui keluarga, guru dan orang dewasa
lain yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh beudaya;
6. Minat dingaruhi oleh faktor emosi/suasana hati, jika suasana hati
kita sedang gundah, minat pada sesuatu juga berkurang, demikian
juga sebaliknya;
7. Minat bersifat egosentris, hal ini bisa dilihat pada masa kanakkanak.
2. Perkembangan bakat
Sebagaimana halnya minat, bakat setiap orang berbeda-beda dalam
jenis maupun kadarnya. Dalam masa pertumbuhannya bila bakat anakanak tidak terwujud secara nyata maka hal ini mungkin disebabkan oleh
orang tua, guru, ataupun sekolah dan pergaulan. Menurut Utami Munandar
dalam Sukarsa (2007: 32) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang
dapat menentukan sejauh mana bakat anak terwujud, faktor-faktor tersebut
anatara lain:
a) Faktor dalam diri anak
Bagaimana minat anak pada sesuatu, seberapa besar keinginan
anak untuk mewujudkan bakatnya dala prestasi, misalnya anak
yang berbakat melukis mengikuti suatu kompetensi melukis di
sekolah karena ia ingin menjadi juara, seberapa besar keuletan
anak menghadapi tantangan dan bagaimana motivasinya.
b) Faktor keadaan lingkungan anak
Seberapa jauh anak mendapat kesempatan untuk
mengembangkan bakatnya, sarana dan prasarana yang tersedia,
111
c)
4.
a.
b.
c.
5.
a.
b.
c.
d.
berapa besar dukungan dan dorongan orang tua, bagaimana
keadaan sosial ekonomi orang tua maupun tempat tinggalnya.
Dengan demikian, seperti halnya minat, maka tidaklah
berlebihan jika peran orang tua dan guru di sekolah turut
mendorong dan mendukung bakat anak terhadap sesuatu hal.
Tampaknya pihak lingkunga perlu menyadari bahwa pada masa
sekarang ini segi intelektual bukanlah satu-satunya kemampuan
yang penting dan harus dimiliki oleh anak. Perwujudan bakat
dalam presetasi pun merupakan merupakan hal yang patut
dikembangkan dalam kehidupan anak.
Perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional pada anak
Kecerdasan Intelektual
Menurut Mikarsa (2007:34) tingkat kecerdasan atau intelegensi
seseorang ditentukan oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang
diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh lingkungan yang
berupa pengalaman dan pendiidkan yang pernah diperoleh
seseorang, khususnya pada tahun-tahun pertama dari
kehidupannya. Sedangkan menurut Utami Munandar dalam
Mikarsa (2007:34) mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual
dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk:
Berpikir abstrak.
Menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar.
Menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
Kecerdasan emosional
Menurut Goleman dalam Mikarsa (2007:34) kecerdasan
emosional merupakan kemampuan seseorang untuk dapat
memotivasi diri sendiri dan tekun dalam menghadapi frustasi,
mengontrol dorongan-dorongan implusif (dorongan yang timbul
berdasarkan suasan hati) dan mampu menunda pemuasannya,
mengatur suasana hati sehingga tidak mempengaruhi kemampuan
berpikir dan berempati. Goleman dalam Mikarsa (2007:34)
mengemukakan 5 norma kecerdasan emosional, yaitu:
Pengenalan emosi diri, menunjukkan kesadaran diri atau
pengenalan terhadap perasaan yang dialami sehingga mampu
mengendalikan kehidupannya.
Pengendalian emosi, menunjukkan bagaiman kemampuan untuk
mengendalikan emosi yang terlalu dalam yang dapat mengganggu
stabilitas kehidupan seseorang agar dapat mencapai keseimbangan.
Memotivasi diri sendiri, yaitu mengatur emosi penting agar
seseorang dapat memusatkan perhatian dan memotivasi diri
menjadi kreatif dan berusaha untuk mencapai cita-cita atau tujuan.
Mengenali emosi orang lain, yaitu mampu membaca tanda-tanda
nonverbal dan menegrti perasaan orang lain sehingga mampu
112
menyesuaikan sikap dan tindakan dengan kecenderungan yang
ditampilkan orang lain.
e. Mengendalikan hubungan dengan orang lain, yaitu kemampuan
untuk menjaga hubungan dengan sesama maupun mengenali emosi
setiap orang serta menegndalikannya.
Sudah tentu ada perbedaan kemampuan yang berkaitan dengan
norma-norma tersebut dalam diri setiap orang. Ada diantara kita
yang mampu mengendalikan kecemasan orang lain, dan ada pula
yang kurang mampu mengatasi kesedihan orang lain. walau
bagaimanapun orang yang secara emosional cakap, yang
memahami dan mampu menangani perasaannya dan mampu
membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif akan
memiliki keuntungan dan kebahagiaan tersendiri dalam
kehidupannya.
Sedangkan menurut Desmita (2014:38) jenis perkembangan anak sekolah
dasar yaitu:
1. Perkembangan fisik
Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang.
Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang
badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena
bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ
tubuh lainnya.
2. Perkembangan motorik
Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih
terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak-anak terlihat
lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga
keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan ketrampilan motorik, anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas
fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan.
Disamping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas
permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll.
3. Perkembangan kognitif
Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang
secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir
anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini
daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional
dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benarbenar berada pada stadium belajar.
Menurut teori Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar disebut
pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought),
artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa
nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka
113
4.
5.
6.
7.
8.
tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari
pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk
membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan
sesungguhnya.
Perkembangan memori
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang
dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak
peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk
mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan
strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku
disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori.
Perkembangan pemikiran kritis
Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi
terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran
agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi
yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif
dan evaluatif.
Perkembangan kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi
oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.
Perkembangan bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut.
Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah
kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang katakata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai
menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat
menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.
Perkembangan psikosial
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau
perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial
anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk
meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu
pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak
belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain,
saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan –
peraturan yang berlaku.
Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan
teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan
terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah
mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik
bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai
melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik
perhatiannya.
114
9. Perkembangan pemahaman diri
Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami
perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui
karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal.
10. Perkembangan hubungan dengan keluarga
Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap
tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu
dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak
menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya
di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk
mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial.
11. Perkembangan hubungan dengan teman sebaya
Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak
menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40%
untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu
grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal
ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai
anggota kelompok.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan jenis-jenis
perkembangan anak sekolah dasar yaitu terdiri dari perkembangan fisik,
perkembangan motorik, perkembangan motorik, perkembangan kognitif,
perkembangan memori, perkembangan pemikiran kritis, perkembangan
pemikiran
kritis,
perkembangan
kreativitas,
perkembangan
bahasa,
perkembangan psikosial, perkembangan pemahaman diri, perkembangan
hubungan dengan keluarga, perkembangan hubungan dengan teman sebaya.
6. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
a. Definisi Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based
Learning)
Mengenai pengertian pembelajaran PBL, ada banyak pendapat yang
dijadikan sebagai rujukan. Inilah beberapa tokoh (ahli) tentang definisi atau
pengertian pembelajaran model PBL:
115
Menurut Bound dan Feletti (Sitiatava Rizema, 2013:64), “the basic
principle supporting the concept of PBL is older than formal education itself;
learning is initiated by a posed problem, query, or puzzle that the learner want
to solve”. Pendapat Bound ini jika diterjemahkan mengandung arti bahwa prisip
dasar yang mendukung konsep PBL lebih tua daripada pendidikan formal itu
sendiri. Belajar diprakarsai dengan adanya masalah, pertanyaan, atau permainan
puzzle yang akan diselesaikan oleh siswa secara kreatif. Sedangkan menurut
Sitiatava Rizema (2013:67), model pembelajaran PBL menekankan keaktifan
siswa. Dalam model ini siswa di tuntut aktif dalam memecahkan suatu masalah
(problem). Model tersebut bercirikan pengguanaan masalah kehidupan nyata
sebagai suatu yang harus dipelajari oleh siswa untuk melatih dan meningkatkan
keterampilan berpikir kristis sekaligus pemecahan masalah, serta mendapatkan
pengetahuan konsep – konsep penting. Berkenaan dengan model pembelajaran
PBL menurut Arends dalam Ridwan, (2013:138), pembelajaran berbasis
masalah (PBL) akan membantu peserta didik untuk mengembangkan
keterampilan berpikir dan mengatasi masalah, mempelajari peran – peran orang
dewasa, dan menjadi pembelajaran kreatif.
Gambar 2.2 Hasil Belajar dan Pembelajaran Berbasis Masalah
Arends (Ridwan, 2013:139)
Pembelajaran
berbasis
Keterampilan penyelidikan dan mengatasi
masalah
Perilaku dan keterampilan
sesuai peran orang dewasa
sosial
masalah
Keterampilan untuk belajar secara
rasa ingin tahu dan kreatif
116
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah (problem based learning) adalah model pembelajaran yang
menekankan keaktifan siswa, siswa dituntut untuk aktif dalam pembelajaran
dengan cara menyelesaikan masalah (problem) dengan cara guru memberikan
suatu permasalahaan untuk dipecahkan oleh siswa, permaslahan tersebut
berdasarkan kehidupan nyata. Model problem based learning ini menekankan
siswa untuk berpikir kritis supaya siswa mendapatkan pengetahuan yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari -hari.
b. Karakteristik Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based
Learning)
Sama halnya dengan model pembelajaran yang lain, Model problem based
learning pun memiliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri sehingga terdapat
perbedaan yang cukup signifikan dengan pelajaran yang lain. Karakteristik
problem based learning itu sendiri dinyatakan oleh Sitiatava Rizema (2013:72)
sebagai berikut :
1) Belajar dimulai dengan satu masalah.
2) Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata
siswa.
3) Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah bukan disiplin ilmu.
4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam
membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar.
5) Menggunakan kelompok kecil.
6) Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah dipelajari dalam
bentuk produk atau kinerja.
Sedangkan menurut Mohamad Nur (Rusmono, 2012:82) mengatakan
bahwa dalam proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran dengan PBL
ditandai dengan karakteristik sebagai berikut:
117
1) Siswa menentukan isu – isu pembelajaran;
2) Pertemuan – pertemuan pelajaran berlangsung open – ended dengan
masih membuka peluang untuk berbagai ide tentang pemecahan
masalah, sehingga memungkinkan pembelajaran tidak berlangsung
dalam satu kali pertemuan;
3) Tutor adalah seorang fasilitator dan tidak seharusnya bertindak sebagai
“pakar” yang merupakan satu-satunya yang berpusat pada siswa.
Karakteristik tutor PBL meliputi :
1) Memilki pengetahuan tentang proses PBL;
2) Memilki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau
pembelajaran yang di arahkan oleh siswa;
3) Kemampuan membangkitkan lingkungan yang santai dan tidak
mengancam sambil terus bertindak mengembangkan diskusi dan
berrpikir kritis;dan
4) Kemampuan melakukan evaluasi siswa yang konstruktif dan kinerja
kelompok.
Sedangkan karakteristik siswa yang belajar dengan strategi pembelajaran
dengan PBL yaitu:
1) Hadir dan aktif dalam semua pertemuan;
2) Memilki pengetahuan tentang proses PBL;
3) Memilki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau
pembelajaran yang di arahkan oleh siswa;
4) Aktif berbatisipasi dalam diskusi dan berpikir kritis sambil memberi
konstribusi pada lingkungan yang bersahabat dan tidak
mengintimidasi; dan
5) Mempunyai kemampuan untuk melakukan evaluasi konstruktif
terhadap diri sendiri, kelompok, dan tutor.
Dari pendapat tersebut terlihat bahwa karakteristik model pembelajaran
berbasis masalah atau problem based learning sebagai berikut:
1) Dengan model pembelajaran problem based learning adalah model
pembelajaran yang berbasi masalah, pembelajaran dimulai dengan adanya
suatu masalah yang dimunculkan oleh siswa ataupun guru.
118
2) Masalah – masalah yang ada sesuai dengan materi pembelajaran oleh
sebab itu guru membantu siswa untuk mengarahkan siswa, dan masalah
tersebut sesuai dengan kehidupan yang nyata peserta didik.
3) Peserta didik berperan aktif dalam proses pembelajaran.
4) Penyelesaian masalah diberikan kepada peserta didik, agar peserta didik
dapat memahami atau menyelesaikan dalam kehidupannya.
c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning)
Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahannya
masing-masing, hal ini membuktikan bahwa tidak ada model pembelajaran yang
terlepas dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Sama halnya dengan
model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), model ini-pun
memiliki kelebihan dan kelemahannya tersendiri. Berikut kelebihan dan
kelemahan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning)
menurut Sitiatava Rizema (2013:82) sebagai berikut:
1) Kelebihan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
Model pembelajaran PBL ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya
ialah sebagai berikut:
a. Siswa lebih memahami konsep yang di ajarkan lantaran ia yang
menemukan konsep tersebut.
b. Melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan masalah dan
menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.
c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimilki siswa,
sehingga pembelajaran lebih bermakna.
119
d. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran, karena masalah –
masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan
nyata. Hal ini bisa meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa
terhadap bahan yang dipelajarinya.
e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi
aspirasi dan menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap
sosial yang positif dengan siswa lainnya.
f. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling
berinterinteraksi terhadap pembelajaran dan temannya, sehingga
pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
g. PBL diyakini pula dapat menumbuhkembangkan kemampuan
kreativitas siswa, baik secara individual maupun kelompok, karena
hampir di setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa.
2) Kelemahan Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based
Learning)
Selain berbagai kelebihan tersebut, model PBL juga memilki beberapa
kekurangan yakni:
a. Bagi siswa yang malas, tujuan dari metode tersebut tidak dapat
tercapai.
b. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
c. Tidak semua mata pelajaran bisa diterapkan dengan metode PBL.
Sedangkan kelebihan dan kelemahan model problem based learning
menurut Suyadi (2013:142) sebagai berikut:
1) Kelebihan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning
Model pembelajaran PBL ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya
ialah sebagai berikut:
a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih
memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik,
sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan
baru bagi peserta didik.
120
c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran
peserta didik.
d. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana
mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam
kehidupan nyata.
e. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan barunya, dan bertanggung jawab
dalam pembelajaran yang dilakukannya.
f. Peserta didik mampu memecahkan masalah dengan suasana
pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
g. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta
didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka
guna beradaptasi dengan pengetahuan baru.
h. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan bagi peserta
didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam
dunia nyata.
i. PBM dapat mengembangkan minat peserta didik untuk
mengembangkan konsep belajar secara terus menerus, karena dalam
praksisnya masalah tidak akan pernah selesai. Artinya, ketika satu
masalah selesai di atasi, masalah lain muncul dan membutuhkan
penyelesaian secepatnya.
2) Kelemahan Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based
Learning)
a. Ketika peserta didik tidak memilki minat tinggi, atau tidak
mempunyai kepercayaan diri bahwa dirinya mampu menyelesaikan
masalah yang dipelajari mampu menyelesaikan mencoba karena
takut salah.
b. Tanpa pemahaman “mengapa mereka berusaha” untuk memecahkan
masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa
yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat
menyelesaikan masalah.
c. Proses pelaksanaan PBL membutuhkan waktu yang lebih lama atau
panjang. Itu pun belum cukup karena sering kali peserta didik masih
memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan persoalan yang
diberikan. Padahal, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan
dengan beban kurikulum yang ada.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kelebihan dan
kelemahan model problem based learning yaitu sebagai berikut :
121
a. Dalam pembelajaran dengan model problem based learning sangat
baik untuk memahami pembelajaran, pembelajaran akan lebih
bermakna.
b. Siswa aktif dalam proses pembelajaran karena adanya ketertarikan
siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung dan pada saat proses
pembelajaran siswa belajar sesuai dengan apa yang mereka ketahui
sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam belajar.
c. Siswa akan lebih berkembang pengetahuaannya karena pembelajaran
berasal dari pengetahuan yang mereka ketahui dalam kehidupan nyata
dan siswa akan berpikir kritis dalam pembelajaran.
d. Model problem based learning sulit bagi peserta didik yang tidak
memilki minat tinggi dan rasa percaya diri dalam proses pembelajaran
dan model problem based learning membutuhkan dana dan waktu
yang lama.
d. Langkah – Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Model
Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning)
Langkah-langkah yang terdapat dalam setiap model pembelajaran
digunakan
untuk
mempermudah
guru
atau
pengguna
model
dalam
mengaplikasikannya pada saat kegiatan belajar mengajar. Pengelolaan kelas
menjadi lebih terarah apabila model pembelajaran yang kita gunakan sesuai
dengan langkah-langkah dalam model pembelajaran. Sama halnya dengan
122
model pembelajaran problem based learning yang bertitik tolak pada langkahlangkah pada saat model pembelajaran digunakan di dalam kelas.
Berkenaan dengan langkah-langkah model dalam suatu pembelajaran
khususnya pada model problem based learning Ridwan (2013: 141),
menyatakan bahwa langkah-langkah model pembelajaran model problem based
learning yaitu:
1) Guru menjelaskan kompetensi yang ingin di capai dan menyebutkan
sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan. Guru memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2) Guru menjelaskan logistik yang dibutuhkan, prosedur yang harus
dilakukan, dan memotivasi peserta didik supaya terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
3) Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah
tersebut (menentukan topik, tugas jadwal, dan lain – lain).
4) Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
5) Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap eksperimen mereka dan proses – proses yang mereka
gunakan.
Sedangkan menurut Sitiava Rizema (2013: 72) dalam pengelolaan PBL,
ada beberapa langkah utama berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
Mengorientasi siswa pada masalah.
Mengorganisasi siswa agar belajar.
Memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok.
Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja.
Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah.
Adapun gambaran rinci langkah – langkah tersebut dapat dicermati dalam
tabel berikut:
123
Tabel 2.7
Prosedur Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Langkah
No.
1
Orientasi masalah
2
3
4
1
Mengorganisasikan
siswa untuk belajara
2
3
1
2
Membantu
menyelidiki secara
mandiri atau
kelompok
3
4
5
6
Mengembangkan
dan menyajikan hasil
kerja
Menganalisis dan
mengevaluasi hasil
pemecahan masalah
1
2
1
2
3
Kegiatan Guru
Menginformasikan
tujuan
pembelajaran
Menciptakan lingkungan kelas yang
memungkinkan terjadi pertukaran ide
yang terbuka
Mengarahkan kepada pertanyaan atau
maslah
Mendorong siswa mengekspresikan
ide- ide secara terbuka
Membantu siswa dalam menemukan
konsep berdasarkan masalah
Mendorong keterbukaan, proses –
proses demokrasi, dan cara belajar
siswa aktif
Menguji pemahaman siswa atas
konsep yang ditemukan
Memberi kemudahan pengerjaan siswa
dalam mengerjakan/ menyelesaikan
masalah
Mendorong
kerjasama
dan
menyelesaikan tugas – tugas
Mendorong dialog dan diskusi dengan
teman
Membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas – tugas
belajar yang berkaitan dengan masalah
Membantu siswa merumuskan hipotesi
Membantu siswa dalam memberikan
solusi
Membimbing
siswa
dalam
mengerjakan lembar kegiatan siswa
(LKS)
Membimbing siswa dalam menyajikan
hasil kerja
Membantu siswa mengkaji ulang hasil
pemecahan masalah
Memotivasi siswa agar terlibat dalam
pemecahan masalah
Mengevaluasi materi
124
Sedangkan menurut Miftahul Huda (2013:272) sintak operasional PBL bisa
mencakup antara lain sebagai berikut:
1) Pertama – tama siswa disajikan suatu masalah.
2) Siswa mendiskusikan masalah dalam tutorial PBL dalam sebuah
kelompok kecil. Mereka mengklarifikasikan fakta suatu kasus
kemudian mendefinisikan sebuah masalah. Mereka membrainstroming
gagasan – gagasannya dengan berpijak pada pengetahuan sebelumnya.
Kemudian, mereka mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan untuk
menyelesaikan masalah serta apa yang mereka tidak ketahui. Mereka
menelaah masalah tersebut. Mereka juga mendesain suatu rencana
tindakan untuk menggarap masalah.
3) Siswa terlibat dalam studi independen untuk menyelesaikan masalah di
luar bimbingan guru. Hal ini bisa mencakup: perpustakaan, database,
website, masyarakat, dan observasi.
4) Siswa kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing informasi,
melalui peer teaching atau cooperative learning atas masalah tertentu.
5) Siswa menyajikan solusi atas permasalahan.
6) Siswa mereview apa yang mereka pelajari selama proses pengerjaan
selama ini. Semua yang berpatisipasi dalam proses tersebut terlibat
dalam review pribadi, review berpasangan, dan review berdasarkan
bimbingan guru, sekaligus melakukan refleksi atas konstribusinya
terhadap proses tersebut.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa langkahlangkah model problem based learning adalah sebagai berikut :
1) Guru memotivasi dan membuat peserta didik ikut aktif dalam
pembelajaran dengan cara peserta didik disajikan suatu permasalahan yang
ada dalam kehidupan nyata peserta didik sesuai dengan kompetensi yang
ingin dicapai;
2) Peserta didik diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan cara
dibuatnya kelompok kecil. Dan peserta didik diminta untuk mencari fakta
– fakta yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Kemudian
peserta didik diminta untuk mengidentifikasi bagaimana permasalahan
125
tersebut dapat diselesaikan dengan cara berdiskusi dengan anggota
kelompoknya;
3) Penyelesaian masalah tersebut dapat dicari dengan cara mencari data –
data yang dapat mereka lakukan bisa dengan cara mencari sumber –
sumber buku di perpustakaan, mencari data di internet dan lain – lain atau
melakukan wawancara;
4) Peserta didik mencari solusi bagaimana cara menyelesaikan masalah
tersebut sesuai dengan informasi yang mereka ketahui.
2. Sikap Rasa Ingin Tahu
a. Definisi Sikap Rasa Ingin Tahu
Nasoetion (Hadi dan Permata, 2010:3) berpendapat rasa ingin tahu adalah
suatu dorongan atau hasrat untuk lebih mengerti suatu hal yang sebelumnya
kurang atau tidak kita ketahui. Rasa ingin tahu biasanya berkembang apabila
melihat keadaan diri sendiri atau keadaan sekeliling yang menarik. Dari
pengertian ini, berarti untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar, syaratnya
seseorang harus tertarik pada suatu hal yang belum diketahui. Keterkaitan itu
ditandai dengan adanya proses yang berpikir aktif, yakni digunakannya semua
panca indera yang kita miliki secara maksimal. Pengaktifan bisa diawali dengan
pengamatan melalui mata atau mendengar informasi dari orang lain. Saat
mendapatkan data dari berbagai sumber, maka kaitkan data tersebut satu sama
lain sehingga menimbulkan suatu fenomena , yakni sembarang objek yang
memiliki karakteristik yang dapat diamati.
126
Sulistyowati (2012 : 74) berpendapat ingin tahu adalah sikap dan tindakan
yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa
yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Indikator kelas; 1) menciptakan
suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu, 2) ekplorasi lingkungan secara
terprogam, 3) tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak atau
elektronik).
Sedangkan Mustari (2011 : 103) berpendapat bahwa kurioritas (rasa ingin
tahu) adalah emosi yang dihubungkan dengan perilaku mengorek secara alamiah
seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar. Rasa ingin tahu terdapat pada
pengalaman manusia dan binatang, Istilah itu juga dapat digunakan untuk
menunjukkan perilaku itu sendiri yang disebabkan oleh emosi ingin tahu, karena
emosi ini mewakili kehendak untuk mengetahui hal-hal baru, rasa ingin tahu
bisa diibaratkan bensin” atau kendaraan ilmu dan disiplin lain dalam studi yang
dilakukan oleh manusia. Rasa ingin tahu yang kuat merupakan motivasi kaum
ilmuwan. Sifatnya yang bersifat heran dan kagum, rasa ingin tahu telah
membuat manusia ingin menjadi ahli dalam suatu bidang pengetahuan. Manusia
itu seringkali bersifat ingin tahu, namun tetap saja ada yang terlewati dari
perhatian mereka.
Dari ketiga pengertian rasa ingin tahu yang telah diuraikan, maka dapat
disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap yang dimiliki oleh
setiap individu untuk mempelajari sesuatu hal yang belum mereka ketahui untuk
dipelajari lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri,
127
orang lain atau lingkungan sekitar. Rasa ingin tahu dapat digabungkan dengan
kemampuan untuk berpikir abstrak, membawa pada peniruan, fantasi dan
imajinasi yang akhirnya membawa pada cara manusia berpikir yaitu abstrak,
sadar diri atau secara sadar. Rasa ingin tahu ini membuat bekerjanya kedua jenis
otak, yaitu otak kiri dan otak kanan, yang satu adalah kemampuan untuk
memahami
dan
mengantisipasi
informasi,
sedang
yang
lain
adalah
menguatkannya dan mengencangkan memori jangka panjang untuk informasi
baru yang mengejutkan.
Siswa dengan hasrat ingin tahunya membuat mereka dapat memecahkan
setiap permasalahan dan pemikiran yang ada di dalam benaknya. Apabila rasa
ingin tahu ini dapat dimanfaatkan dengan baik maka akan membawa siswa
semakin mengerti dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, lewat rasa ingin tahu, siswa
dapat mengetahui kebenaran karena segala sesuatu yang tampak nyata dalam
hidup tidak sepenuhnya benar. Dengan demikian rasa ingin tahu dapat membuka
pikiran siswa dan membuat siswa merasakan pengalaman baru yang akan
menstimulasi pikirannya dan melepaskan emosi yang kreatif.
b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Rasa Ingin Tahu
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi rasa ingin tahu. Sebagaimana
aspek-aspek psikologis lainnya, rasa ingin tahu juga yang akan membuat
manusia menjadi lebih produktif. Kita sebagai manusia akan terus belajar lebih
banyak saat rasa ingin tahu menyelimuti kita. Kita akan menembus batas-batas
pemikiran kita. Semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak pula yang
128
akan kita tahu. Dengan rasa ingin tahu yang kita miliki kita akan melihat
berbagai hal dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga kita akan selalu
memikirkan dan menemukan cara alternatif dalam menyelesaikan masalah yang
kita hadapi.
Manusia pada dasarnya akan lebih mudah untuk berpikir negatif daripada
positif. Apabila kita tidak mengerti akan suatu hal, atau tidak terbiasa akan suatu
hal, mudah sekali untuk menghilangkan pikiran tersebut dari otak kita. Hanya
jika kita mengerti akan sesuatu, maka kita akan menghargainya, karena manusia
akan lebih positif pada sesuatu yang mereka ketahui. Rasa ingin tahu-lah yang
membuat pikiran kita lebih luas dan menambahkan pengertian yang lebih
mendalam sehingga kita sebagai manusia akan menjadi lebih positif menyikapi
segala sesuatu.
Faktor untuk mengembangkan rasa ingin tahu pada anak. Sebagai berikut
(Mustari, 2011: 109):
1) Kebebasan si anak itu sendiri harus ada untuk melakukan dan melayani
rasa ingin tahunya. Kita tidak bisa begitu saja menghardik mereka kita
tidak tahu atau malas saat bertanya.
2) Yang lebih baik adalah kita berikan kepada mereka cara-cara untuk
mencari jawaban. Misalnya, apabila pertanyaan tentang Bahasa
Inggris, berilah kepada anak itu kamus; apabila pertanyaan tentang
pengetahuan, berilah mereka Ensiklopedia; dan begitu seterusnya.
Menurut Sunaryo Kartadinata (Desmita, 2012: 189) menyebutkan
beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan rasa ingin tahu yang
perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
1) Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat
sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku
129
formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan
menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan
sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan rasa ingin tahu
manusia;
2) Sikap kurangnya bertanya tentang suatu masalah. Manusia yang
pandai dan berhasil bukanlah manusia yang diam saja, dan menunggu
hasil jawaban atau ditanya orang lain, melainkan manusia yang pandai
dan berhasil adalah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu yang
tinggi dengan banyaknya bertanya terhadap suatu permasalahan.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap rasa ingin tahu siswa adalah sebagai berikut :
1) Faktor lingkungan yang ada di rumah yaitu dengan cara mendidik orang
tua peserta didik kepada anaknya.
2) Faktor lingkungan sekolah yaitu bagaimana pendidik mengajarkan atau
mengarahkan bagaimana peserta didik menjadi anak yang mempunyai
rasa ingin tahu yang tinggi untuk dirinya sendiri maupun ketika di
lingkungan sekitar.
3) Faktor lingkungan masyarakat yaitu dilihat dari kondiri masyarakat itu
sendiri bagaimana cara mendidik peserta didik mempunyai rasa ingin
tahu yang tinggi dengan cara menghargai potensi peserta didik.
c. Upaya Guru Untuk Menumbuhkan Sikap Rasa Ingin Tahu
Rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap yang dimiliki oleh setiap individu
untuk mempelajari sesuatu hal yang belum mereka ketahui untuk dipelajari
lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain atau
lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan
130
upaya-upaya pengembangan rasa ingin tahu agar rasa ingin tahu siswa dapat
tumbuh.
Berikut upaya – upaya pengembangan rasa ingin tahu peserta didik
menurut Desmita (2012:190) yaitu:
1) Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang
memungkinkan anak merasa dihargai.
2) Mendorong anak untuk berpatisipasi aktif dalam pengambilan
keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.
3) Memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi
lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.
4) Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak
membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.
5) Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
Sedangkan menurut Ali dan Asrori (2008:119) menyatakan sejumlah
intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan rasa ingin tahu anak,
antara lain sebagai berikut:
1. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan anak dalam keluarga. Ini dapat
diwujudkan dalam bentuk:
a. Saling menghargai antaranggota keluarga.
b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah anak atau keluarga.
2. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat.
b. Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi anak.
c. Keterbukaan terhadap minat anak.
d. Mengembangkan komitmen terhadap tugas anak.
e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan anak.
3. Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan. Ini
diwujudkan dalam bentuk:
a. Mendorong rasa ingin tahu anak.
b. Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengesplorasi
lingkungan.
c. Adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati.
4. Empati terhadap anak. Ini diwujudkan dalam bentuk:
a. Menerima apa pun kelebihan maupun kekurangan pada diri anak.
b. Tidak membeda–bedakan anak satu dengan yang lain.
131
c. Menghargai ekspresi potensi anak dalam kegiatan produktif apa
pun menskipun sebenarnya hasilnya kurang memuaskan.
5. Empati terhadap anak. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:
a. Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan anak.
b. Melihat berbagai persoalan anak dengan menggunakan perspektif
atau sudut pandang anak.
c. Tidak mudah mencela karya anak betapa pun kurang bagusnya
karya itu.
6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan anak. Ini diwujudkan dalam
bentuk:
a. Interaksi secara akrab tetapi saling menghargai.
b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap
anak.
c. Membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan anak.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya guru untuk
meningkatkan sikap rasa ingin tahu peserta didik adalah sebagai berikut :
1) Menghagai setiap potensi yang dimiliki oleh setiap peseta didik dan
tidak mebeda-bedakan peserta didik, menghargai setiap pendapat peserta
didik, pendidik harus menerima kekurangan dan kelebihan peserta
didiknya.
2) Menciptakan suasana yang hangat, akrab antara peserta didik dengan
pendidik.
3) Memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi
pengetahuannya.
3. Sikap Kreatif
a. Definisi Sikap Kreatif
Mengenai pengertian kreatif, ada banyak pendapat yang dijadikan sebagai
rujukan. Inilah beberapa tokoh (ahli) tentang definisi atau pengertian sikap
kreatif:
132
Menurut Munandar (2005:12), Kreativitas adalah hasil dari interaksi antara
individu dan lingkungannya seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungan dimana ia berada dengan demikian baik berubah di dalam individu
maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya
kreatif . Menurut Mayesty (2010:38), menyatakan bahwa kreativitas adalah cara
berpikir dan bertindak atau menciptakan sesuatu yang original dan
bernilai/berguna bagi orang tersebut dan orang lain.
Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap kreatif adalah
suatu tindakan atau pola pikir/berpikir seseorang dalam menemukan,
menciptakan, dan menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik dari
sebelumnya
b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Kreatif
Kesempatan untuk belajar kreatif ditentukan oleh banyak faktor antara lain
sikap dan minat siswa, guru orang tua, lingkungan rumah dan kelas atau
sekolah, waktu, uang dan bahan-bahan (Conny Seniawan, dkk. 1990).
Menurut Amabile (1989) dalam Munandar (2004:113-114). Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kreativitas belajar siswa yaitu sebagai berikut:
Sikap orang tua terhadap kreativitas anak Sudah lebih dari tiga puluh
tahun pakar psikologis mengemukakan bahwa sikap dan nilai orang tua
berkaitan erat dengan kreativitas anak, jika kita menggabung hasil
penelitian dilapangan dengan teori-teori penelitian laboratorium mengenai
kreativitas dengan psikologis kita memperoleh petunjuk bagaimana sikap
orang tua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka.
Menurut Amabile (2005:103) menegaskan bahwa ada beberapa faktor
yang menentukan kreativitas anak ialah :
133
1) Kebebasan
Orang tua yang percaya untuk memberikan kebebasan kepada anak
cenderung mempunyai anak kreatif. Mereka tidak otoriter, tidak selalu
mau mengawasi dan mereka tidak terlalu membatasi kegiatan anak.
2) Aspek
Anak yang kreatif biasanya mempunyai orang tua yang menghormati
mereka sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka dan
mengharagai keunikan anak.
3) Kedekatan emosional yang sedang
Kreativitas anak dapat dihambat dengan suasana emosional yang
mencerminkan rasa permusuhan, penolakan dan terpisah.
4) Prestasi Bukan Angka
Orang tua anak kreatif menghargai prestsi anak, mereka mendorong
anak untuk berusaha sebaik-baikknya dan menghsilkan karya-karya
yang baik.
5) Menghargai Kreativitas
Anak yang kreatif memperoleh dorongan dari orang tua untuk
melakukan hal-hal yang kreatif.
Dari
pendapat
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi menentukannya kreativitas siswa adalah orang tua, karena
orang tua merupakan pendidik yang pertama dalam kehidupan siswa yang
mana jika orang tua percaya dengan kreativitas anak maka anak akan
menuangkan kreatifnya dengan semaksimal mungkin karena merasa tidak ada
halangan untuk melakukan kerativitasnya.
c. Upaya Guru Untuk Menumbuhkan Sikap Kreatif
Dalam kegiatan mengajar sehari-hari dapat digunakan sejumlah strategi
khusus yang dapat menumbuhkan kreativitas. Berikut upaya-upaya guru
menumbuhkan kreativitas peserta didik. yaitu sebagai berikut:
1. Penilaian
Penilaian guru terhadap pekerjaan murid yang dapat dilakukan dengan
cara :
134
a) Memberi umpan balik berarti dari pada evaluasi yang abstrak dan tidak
jelas.
b) Melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar
dari kesalahan mereka.
c) Penekanan terhadap “apa yang telah kamu pelajari” dan bukan pada
“bagaimana melakukannya”.
2. Hadiah
Anak senang menerima hadiah dan kadang-kadang melakukan segala
sesuatu untuk memperolehnya. Hadiah yang terbaik untuk pekerjaan yang
baik adalah kesempatan menampilkan dan mempresentasikan pekerjaan
sendiri dan pekerjaan tambahan.
3. Pilihan
Sedapat mungkin berilah kesempatan kepada anak memilih apa yang
nyaman bagi dia selama hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Berikut ini adalah contoh hasil penelitian lain yang relevan, yang telah
digunakan sehingga pembelajaran dapat menumbuhkan sikap rasa ingin tahu
dan sikap kreatif siswa menjadi tumbuh.
1. Hasil Penelitian Ika Rini Ambarawati (2010) Mahasiswi PGSD Universitas
Muhamadiyah Purwokerto.
Dalam
skripsi
yang
berjudul
“Penggunaan
Model
Pembelajaran
Kooperatife Tipe Think, Pair, Share (TPS) dapat Meningkatkan Rasa Ingin
135
Tahu dan Prestasi Belajar Pada Materi Contoh Peraturan Perundang-Undangan
Di Kelas V SD Negeri 1 Karangturi ” peneliti memberikan kesimpulan bahwa:
a. Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Think Pair Share
dapat meningkatkan peran aktif dan prestasi siswa. Perbedaan antara
penelitian yang dilakukan oleh Ika Rini Ambarawati dengan penelitian ini
adalah penelitian Ika Ambarawati untuk meningkatkan peran aktif siswa
dan prestasi siswa dengan menggunakan tiga siklus. Sedangkan penelitian
ini untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan prestasi belajar (dua variable)
siswa di kelas V SD N 1 Karangturi dan menggunakan dua siklus. Jadi
sudah terlihat jelas perbedannya dengan melihat variable dan berapa tahap
siklus yang digunakan.
b. Hasil penelitian pada siklus I peran aktif siswa diperoleh 36,6 % dan
ketuntasan belajar matematika secara klasikal sebesar 66,7 %. Pada siklus
II peran aktif diperoleh 44,2 % dan ketuntasan belajar secara klasikal
83,3%. Pada siklus III peran aktif siswa diperoleh 50,5 % dan ketuntasan
belajar matematika secara kalsikan 95,8 %.
2. Hasil Penelitian Elis Eliah Universitas Pasundan 2012
Dalam skripsi yang berjudul “Pendekatan Problem Based Learning
(PBL) untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa pada konsep
Bagian Tumbuhan dan Fungsinya” peneliti memberikan kesimpulan bahwa:
a. Implementasi pendekatan Problem Based Learning (PBL) dilaksanakan
dalam pembelajaran konsep bagian tumbuhan dan fungsinya. Penyusunan
136
rencana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
Problem Based Learning (PBL) melalui lima tahap, yaitu tahap pertama
guru memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik
yakni dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan
berbagai kebutuhan logistik penting dalam kegiatan pembelajaran, dan
memotivasi peserta didik dalam mengatasi masalah. Tahap kedua yaitu
tahap penelitain atau eksplorasi berdasarkan masalah yang telah disajikan
oleh guru, guru mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti yaitu
dengan cara melakukan pengamatan konsep berdasarkan masalah yang
disajikan menggunakan panduan LKS secara berkelompok. Tahap ketiga
yaitu investigasi mandiri dan kelompok dimana guru mendorong siswa
untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan pengamatan, dan
mencari penjelasan serta solusi melaui study pustaka atau membaca.
Tahap keempat adalah mengembangkan dan mempresentasikan hasil
pengamatan yaitu dengan melalui diskusi. Tahap kelima menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah, dimana guru membantu peserta
didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan.
b. Karakter berfikir kritis yang muncul dalam pembelajaran konsep bagian
tumbuhan dan fungsinya meliputi respon, frekuensi bertanya, memberikan
argumen, bersikap jujur, dan dapat memecahkan masalah.
137
c. Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatan berfikir
kritis dan hasil belajar siswa. Pengetahuan awal siswa melalui pendekatan
Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan keterampilan berfikir
kritis pada konsep struktur tumbuhan dan fungsinya dengan indikatorindikatornya dapat dipahami siswa dari hasil pengetahuan awal yang
dimilikinya
hingga
pembelajaran
selesai.
Siswa
mengkonstruksi
pengetahuannya dengan cara membaca, mengamati atau melihat benda,
meneliti dengan menyentuhnya secara langsung dan mendorong siswa
berfikir kritis, aktif, kreatif dan peka terhadap lingkungan.
d. Penggunaan pendekatan Problem Based Learning (PBL) pada konsep
struktur
tumbuhan
dengan
fungsinya,
selain
dapat
meningkatan
keterampilan berfikir kritis siswa juga memberikan imbas positif terhadap
hasil belajar siswa. Hal ini dapat ditunjukan oleh meningkatnya nilai ratarata yang diperoleh siswa pada setiap siklus. Perolehan nilai rata-rata
siklus I sebesar 66,06%. Pada siklus II perolehan nilai rata-rata 69,39%
dan pada siklus ke III perolehan nilai rata-rata siswa sebesar 80,61%.
e. Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
dengan menggunakan pendekatan Problem Based Learning (PBL) pada
konsep
struktur
tumbuhan
dan
fungsinya
dapat
meningkatkan
keterampilan berfikir siswa. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata setiap
siklus dapat meningkat. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan
cara membaca, mengamati atau melihat benda, meneliti dengan
138
menyentuhnya secara langsung dan mendorong siswa berfikir kritis, aktif,
kreatif dan peka terhadap lingkungan.
C. Kerangka Pemikiran
Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat
(19) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan
Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum
Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang
mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.
Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara singkatnya,
undang-undang tersebut berharap pendidikan dapat membuat peserta didik
menjadi kompeten dalam bidangnya. Di mana kompetensi tersebut, sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disampaikan di atas, harus
mencakup kompetensi dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 35 undang-undang tersebut.
Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi
pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan
139
kompetitif. Cerdas yang dimaksud di sini adalah cerdas komprehensif, yaitu
cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas
intelektual dalam ranah pengetahuan, serta cerdas kinestetis dalam ranah
keterampilan.
Dengan demikian, Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk
mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warganegara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif
serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara dan peradaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk
dapat membawa insan Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif.
Dari beberapa tujuan dan visi yang diungkapkan dalam pencapaian tujuan
atau visi itu sendiri terdapat salah satu masalah yang dihadapi peserta didik
dalam pembelajaran yaitu Siswa kurang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,
dan kurangnya kreatif dalam proses belajar di kelas pada pembelajaran sehingga
hasil belajarnya kurang maksimal. Hal tersebut ditandai oleh rendahnya
keterampilan bertanya siswa terhadap materi ajar pada saat guru menjelaskan
sehingga guru tidak tahu apakah siswa telah mengerti atau tidak dan guru selalu
menganggap pembelajarannya berhasil karena tidak ada pertanyaan dari siswa
yang membuat guru berpikir siswanya sudah paham, kebanyakan dalam proses
pembelajaran siswanya hanya diam dan jarang ada yang bertanya ketika guru
140
memberikan kesempatan untuk bertanya. Pembelajaran monoton, dan guru
masih menggunakan model konvensional dalam proses pembelajaran. Guru
belum bisa memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran. Dengan
demikian, agar terjadinya proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan
dan visi pendidikan, diperlukan model pembelajaran yang efektif salah satunya
dengan menerapkan model problem based learning.
Rumusan dari Dutch (2010:21) menyatakan bahwa model problem based
learning adalah model yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”,
bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata.
Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan
analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. Problem based learning
mempersiapkan siswa untuk berfikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta
menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Sedangkan menurut Sitiatava
Rizema (2013:67), model pembelajaran PBL menekankan keaktifan siswa.
Dalam model ini siswa di tuntut aktif dalam memecahkan suatu masalah
(problem). Model problem based learning ini memperhatikan latar belakang,
pengalaman siswa dan membantu siswa dalam proses pembelajaran agar jadi
lebih bermakna. Selain itu, siswa aktif dalam pembelajaran dan mempunyai
banyak kesempatan memperoleh informasi, sehingga diharapkan mampu
meningkatkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa. Berkenaan dengan
sikap rasa ingin tahu siswa menurut H.S. Barrows (2005: 41), rasa ingin tahu
adalah suatu emosi yang berkaitan dengan perilaku ingin tahu seperti eksplorasi,
141
investigasi, dan belajar, terbukti dengan pengamatan pada spesies hewan
manusia dan bayi/balita. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan
perilaku itu sendiri disebabkan oleh emosi rasa ingin tahu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap
yang dimiliki oleh setiap individu untuk mempelajari sesuatu hal yang belum
mereka ketahui untuk dipelajari lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat
bagi dirinya sendiri, orang lain atau lingkungan sekitar. Maslow dan Roger
dalam Kitano dan Kirby (2010:40), bahwa kreativitas sebagai satu aspek
kepribadian sangat berkaitan dengan aktualisasi diri. Selanjutnya pendapat
Maslow yang dikutip oleh Semiawan (2010:40), menyatakan bahwa orang yang
mampu mengaktualisasi diri adalah orang kreatif, orang yang sangat peduli
terhadap proses dari pada klimaks keberhasilan dan kebanggaan terhadap sukses
tersebut. Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap kreatif
adalah suatu tindakan atau pola pikir/berpikir seseorang dalam menemukan,
enciptakan, dan menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik dari
sebelumnya
Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa model problem based
learning dapat membantu menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif
siswa kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2
perubahan wujud benda. Berdasarkan masalah tersebut, penulis mencoba
menggunakan model problem based learning dalam subtema 2 perubahan
wujud benda di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan.
142
Model problem based learning yang di maksud dalam penelitian ini adalah
suatu model pembelajaran dimana guru memberikan permasalahan kepada
siswa yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa. Kemudian siswa dibuat
kelompok kecil dan mendiskusikan permasalahan tersebut. Secara berkelompok
siswa mencari fakta – fakta atau informasi baik melalui internet, buku-buku atau
melakukan wawancara dan lain- lain yang berhubungan dengan permasalahan
tersebut. Kemudian siswa secara berkelompok mencari solusi dari permasalahan
tersebut dengan informasi yang mereka peroleh. Model problem based learning
membuat siswa aktif dalam pembelajaran karena pembelajaran sesuai dengan
kehidupan nyata siswa sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar. Selain itu
peserta didik juga dapat belajar dengan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif
secara berkelompok dengan teman-temannya dengan cara saling menghargai
pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan
gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok
dengan mencari tahu penyebab permasalahan tersebut. Dengan demikian,
penggunaan model problem based learning mampu menumbuhkan pengetahuan
tentang konsep yang diberikan guru serta menumbuhkan sikap rasa ingin tahu
dan sikap kreatif siswa sehingga bisa mencapai nilai KKM yang ditentukan
dalam subtema 2 perubahan wujud benda.
Hubungan tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut ini :
143
Bagan 2.3 Kerangka Berpikir
Kondisi
Awal
Tindakan
Kondisi
Akhir
Guru
Guru
masih
menggunakan
model
atau pendekatan secara
tradisional. Guru hanya
menggunakan metode
ceramah saja dalam
proses pembelajaran.
Siswa / yang diteliti
Rasa ingin tahu dan
kreatif
siswa
belum
diketahui
ketercapaian
KKM yang ditentukan
dalam
subtema
perubahan wujud benda.
Siklus I
Dengan menggunakan model
problem based learning, siswa
memperhatikan
pembelajaran
yang
berkaitan
dengan
permasalahan dalam kehidupan
nyata siswa yang diberikan guru
dilengkapi dengan media
Dengan menggunakan model
problem based learning dapat
menumbuhkan sikap rasa ingin
tahu dan sikap kreatif siswa.
Siswa dapat berpikir kritis
untuk menyelesaikan suatu
masalah dalam kehidupan
nyata secara berkelompok,
sehingga dapat meningkatkan
pemahaman
dan
mengembangkan
pengetahuannya.
Siklus II
Dengan menggunakan model
problem based learning, siswa
secara
berkelompok
mendiskusikan
pembahasan
yang
berkaitan
dengan
permasalahan dalam kehidupan
nyata siswa yang diberikan oleh
Diduga melalui model
problem based learning
dapat menumbuhkan sikap
rasa ingin tahu dan sikap
kreatif siswa dalam subtema
perubahan wujud benda
guru dilengkapi dengan media.
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan
kerangka
berpikir
di
atas,
diduga
bahwa
dengan
menggunakan model problem based learning dapat menumbuhkan sikap rasa
ingin tahu dan sikap kreatif siswa pada penyajian hasil pencarian informasi
dalam bentuk tabel di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam
tema 1 benda-benda di lingkungan sekitar pada subtema 2 perubahan wujud
benda Tahun Ajaran 2013/2014.
144
Lebih jelas penulis merinci hipotesis sebagai berikut :
1. Jika guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan
permendikbut No 65 Tahun 2013 dengan menggunakan model problem
based learning maka sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa pada
penyajian hasil pencarian informasi dalam bentuk tabel di kelas V SDN
Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2 perubahan wujud
benda meningat
2. Jika guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan sintaxn model
problem based learning maka sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa
pada penyajian hasil pencarian informasi dalam bentuk tabel di kelas V
SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2 perubahan
wujud benda meningkat.
3. Jika guru menerapkan model problem based learning pada subtema 2
perubahan wujud benda maka sikap rasa ingin tahu siswa kelas V SDN
Melong Mandiri 3 meningkat.
4. Jika guru menerapkan model problem based learning pada subtema 2
perubahan wujud benda maka sikap kreatif tahu siswa kelas V SDN
Melong Mandiri 3 meningkat.
Download