BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pemerintah Kurikulum 2013 a. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanat tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, 20 21 sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut diperlukan profil kualifikasi kemampuan lulusan yang dituangkan dalam standar kompetensi lulusan. Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa standar kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik yang harus dipenuhinya atau dicapainya dari suatu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. 1) Pengertian Menurut Permendikbud (2013) standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. 2) Tujuan Menurut Permendikbud (2013) standar kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan. 3) Monitoring dan Evaluasi Menurut Permendikbud (2013) untuk mengetahui ketercapaian dan kesesuaian antara standar kompetensi lulusan dan lulusan dari masingmasing satuan pendidikan dan kurikulum yang digunakan pada satuan 22 pendidikan tertentu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkelanjutan dalam setiap periode. Hasil yang diperoleh dari monitoring dan evaluasi digunakan sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan Standar Kompetensi Lulusan di masa yang akan datang. 4) Kompetensi Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A Menurut Permendikbud (2013) lulusan SD/MI/SDLB/Paket A memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut: Tabel 2.1 Kompetensi Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A SD/MI/SDLB/Paket A Dimensi Kualifikasi Kemampuan Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan Sikap bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain. Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam Pengetahuan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain. Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif Keterampilan dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya. b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.57 Tahun 2013 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada 23 Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah Dasar merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Sekolah Dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006). Implikasi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ialah perubahan model pendekatan pembelajaran yang dilakukan di Sekolah Dasar. Pendekatan pembelajaran tersebut adalah pendekatan pembelajaran tematik terpadu atau yang seringkali disebut sebagai tematik integratif. Pembelajaran tematik terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran dalam berbagai tema. Pendekatan pembelajaran ini digunakan untuk seluruh kelas pada sekolah dasar. Pendekatan ini dimaksudkan agar peserta didik tidak belajar secara parsial sehingga pembelajaran dapat memberikan makna yang utuh pada peserta didik seperti yang tercermin pada berbagai tema yang tersedia. 1) Karakteristik Pembelajaran Tematik Terpadu Menurut Permendikbud No.57 (2013) karakteristik pembelajaran tematik terpadu yaitu: 24 a) Pengertian Pembelajaran Tematik Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai pembelajaran yang menghubungkan berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran maupun dalam satu mata pelajaran.Pembelajaran tematik memberi penekanan pada pemilihan suatu tema yang spesifik yang sesuai dengan materi pelajaran, untuk mengajar satu atau beberapa konsep yang memadukan berbagai informasi. Menurut Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik memiliki ciri khas, antara lain: a. Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar. b. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan peserta didik. c. Kegiatan belajar dipilih yang bermakna dan berkesan bagi peserta didik sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama. d. Memberi penekanan pada keterampilan berpikir peserta didik. e. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui peserta didik dalam lingkungannya. f. Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain 25 (2) Tujuan Menurut Permendikbud No.57 (2013) tujuan dari pembelajaran tematik adalah: 1. Menghilangkan atau mengurangi terjadinya tumpah tindih materi; 2. Memudahkan peserta didik untuk melihat hubungan-hubungan yang bermakna; 3. Memudahkan peserta didik untuk memahami materi/konsep secara utuh sehingga penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat. (3) Ruang Lingkup Ruang lingkup pembelajaran tematik menurut Permendikbud No.57 (2013) meliputi semua KD dari semua mata pelajaran kecuali agama. Mata pelajaran yang dimaksud adalah: Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, IPA, IPS, Penjasorkes dan Seni Budaya dan Prakarya. (4) Model-model Keterpaduan Pembelajaran tematik dapat dilaksanakan dengan menggunakan model pembelajaran. Forgaty (1991:61) menyebut sepuluh model, yaitu fragmented, connected, nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan networked. Pada tahun 1997, Tim Pengembang D-II PGSD memilih tiga model untuk dikembangkan yaitu Model Jaring laba-laba (Spider Webbed) – selanjutnya disebut Jaring, Model Terhubung (connected), dan Model Terpadu (integrated). Model Jaring Laba-laba (Spider Webbed) ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema. 26 Setelah tema disepakati, jika dirasa perlu, maka dikembangkan menjadi subtema dengan tetap memperlihatkan keterkaitan antar mata pelajaran lain. Setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung. Bagan 2.1 Model Jaring (webbed) Mat IPS B Ind Tema IPA Musik Dalam prosesnya, jika perencanaan tematik ini ada KD yang tidak terakomodasi oleh tema manapun, maka ada cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan dua tipe, yaitu tematik hanya berisi satu mata pelajaran, dan tematik yang berpusat pada materi tertentu dalam satu pelajaran. Teknik ini hanya digunakan bagi KD yang tidak dapat masuk dalam tema dan perlu waktu khusus untuk membelajarkannya. Menurut Permendikbud No.57 (2013) model Terpadu (Integrated) menggunakan pendekatan antar mata pelajaran. Model ini memandang kurikulum sebagai kaleidoskop bahwa interdisiplin topic disusun meliputi konsep-konsep yang tumpang tindih dan desain-desain dan pola-pola yang muncul. Pendekatan keterpaduan antar topik memadukan konsep-konsep dalam matematika, sain, bahasa dan seni serta penngetahuan sosial. 2) Kurikulum 2013 27 a) Pembelajaran Tematik Terpadu dalam Kurikulum 2013 Pembelajaran tematik terpadu yang diterapkan di SD dalam kurikulum 2013 berlandaskan pada Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah yang menyebutkan, bahwa “Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, maka prinsip pembelajaran yang digunakan dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu.” Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada SD/MI dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan tematik-terpadu dari Kelas I sampai Kelas VI. a. Pendekatan pembelajaran tematik terpadu diberikan di sekolah dasar mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI. b. Pendekatan yang dipergunakan untuk mengintegrasikan kompetensi dasar dari berbagai mata pelajaran yaitu; intra-disipliner, interdisipliner, multi-disipliner dan trans-disipliner. Intra Disipliner adalah Integrasi dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara utuh dalam setiap mata pelajaran yang integrasikan melalui tema. Inter Disipliner yaitu menggabungkan kompetensi dasar-kompetensi dasar beberapa mata pelajaran agar terkait satu sama lain seperti yang tergambar pada mata pelajaran IPA dan IPS yang diintegrasikan pada berbagai mata pelajaran lain yang sesuai. Hal itu tergambar pada Struktur Kurikulum SD untuk Kelas I-III tidak ada mata pelajaran IPA 28 dan IPS tetapi muatan IPA dan IPS terintegrasi ke mata pelajaran lain terutama Bahasa Indonesia. c. Pembelajaran tematik terpadu disusun berdasarkan gabungan berbagai proses integrasi berbagai kompetensi. d. Pembelajaran tematik terpadu diperkaya dengan penempatan mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai penghela/alat/media mata pelajaran lain. e. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada indikator masing-masing. Kompetensi Dasar dari masing-masing mata pelajaran Menurut Poerwadarminta dalam Permendikbud No. 57 (2013) pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan. Penggunaan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya: a. Peserta didik mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu. b. Peserta didik mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama. c. Peserta didik memahami materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan. d. Peserta didik dapat dapat memiliki kompetensi dasar lebih baik, karena mengkaitkan mata pelajaran dengan pengalaman pribadi peserta didik. 29 e. Peserta didik mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas. f. Peserta didik lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain. g. Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan. b) Prinsip-prinsip Pembelajaran Tematik Terpadu Menurut Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik terpadu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Peserta didik mencari tahu, bukan diberi tahu. b. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu nampak. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan kompetensi melalui tematema yang paling dekat dengan kehidupan peserta didik. c. Terdapat tema yang menjadi pemersatu sejumlah kompetensi dasar yang berkaitan dengan berbagai konsep, keterampilan dan sikap. d. Sumber belajar tidak terbatas pada buku. e. Peserta didik dapat bekerja secara mandiri maupun berkelompok sesuai dengan karakteristik kegiatan yang dilakukan. 30 f. Guru harus merencanakan dan melaksanakan pembelajaran agar dapat mengakomodasi peserta didik yang memiliki perbedaan tingkat kecerdasan, pengalaman, dan ketertarikan terhadap suatu topik. g. Kompetensi Dasar mata pelajaran yang tidak dapat dipadukan dapat diajarkan tersendiri. h. Memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik (direct experiences) dari hal-hal yang konkret menuju ke abstrak. c) Karakteristik Mata Pelajaran di SD Menurut Permendikbud No.57 (2013) karakteristik mata pelajaran di SD yaitu: 1. PPKN Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terdiri atas: (a) Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperankan dan dimaknai sebagai entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan; (b) substansi dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang menjadi wahana 31 psikologis-pedagogis pembangunan warganegara Indonesia yang berkarakter Pancasila. 2. Bahasa Indonesia Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, sekaligus mengembangkan kemampuan beripikir kritis dan kreatif. Peserta didik dimungkinkan untuk memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. 3. Matematika Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari topik seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan tubuh pengetahuan yang dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif, dimulai dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi". 4. IPA Materi IPA di SD kelas I sd III terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Pembelajaran dilakukan secara terpadu dalam tema dengan mata pelajaran lain. Untuk SD kelas IV sd VI, IPA menjadi mata pelajaran tersendiri namun pembelajaran dilakukan secara tematik terpadu. 32 5. IPS IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi ruang dan waktu serta berbagai aktivitas kehidupannya. Mata pelajaran IPS bertujuan untuk menghasilkan warganegara yang religius, jujur, demokratis, kreatif, kritis, senang membaca, memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu, peduli dengan lingkungan sosial dan fisik, berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan sosial dan budaya, serta berkomunikasi secara produktif. 6. Seni Budaya dan Prakarya Mata pelajaran Seni Budaya merupakan aktivitas belajar yang menampilkan karya seni estetis, artistik, dan kreatif yang berakar pada norma, nilai, perilaku, dan produk seni budaya bangsa. Mata pelajaran ini bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memahami seni dalam konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta berperan dalam perkembangan sejarah peradaban dan kebudayaan, baik dalam tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Pembelajaran seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah bertujuan mengembangkan kesadaran seni dan keindahan dalam arti umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi, penyajian, maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan kepribadian peserta didik secara positif. 33 7. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, makhluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. 3) Desain Pembelajaran Tematik Terpadu a) Perencanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.57 (2013) perencanaan pembelajaran diantaranya: 1. Mengkaji Silabus Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu, pendidik perlu melakukan pengkajian terhadap silabus yang telah disiapkan sebelum mengembangkannya menjadi RPP yang akan digunakan dalam kegiatan di sekolah. Kegiatan pengkajian silabus bertujuan untuk mengetahui antara lain keterkaitan antara sub tema dengan kompetensi mata pelajaran yang akan dibelajarkan dan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan. Melalui kegiatan pengkajian silabus ini diharapkan guru juga memperoleh beberapa informasi, antara lain: (a) ketersediaan tema dan sub tema, (b) persebaran 34 kompetensi dasar pada tema (pemetaan), dan (c) pengembangan indikator pada setiap tema (jaringan indikator pada tema). 2. Mengembangkan RPP RPP disusun secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Menurut Permendikbud No.57 (2013) prinsip-prinsip dalam menyusun RPP mencakup hal-hal sebagai berikut. a. Setiap RPP harus memuat secara utuh memuat kompetensi sikap spiritual (KD dari KI-1), sosial (KD dari KI-2), pengetahuan (KD dari KI-3), dan keterampilan (KD dari KI 4). b. Memperhatikan perbedaan individual peserta didik misalnya kemampuan awal, tingkat intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuansosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik. c. Mendorong anak untuk berpartisipasi secara aktif. 35 d. Menggunakan prinsip berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian. e. Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung. f. Memberi umpan balik dan tindak lanjut untuk keperluan penguatan, pengayaan dan remedial. g. Menekankan adanya keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. h. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya. i. Menekankan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara integratif, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. Komponen RPP terdiri atas: identitas satuan pendidikan, identitas mata pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester, materi pembelajaran, alokasi waktu yang ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai, kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, metode pembelajaran, yang disesuaikan dengan 36 karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai, media dan sumber pembelajaran yang digunakan untuk melaksanakan pembelajaran, langkahlangkah pembelajaran yang dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup dan penilaian hasil pembelajaran memuat soal, kunci jawaban, pedoman skoring/rubrik. Menurut Permendikbud No.57 (2013) tahapan pengembangan RPP pembelajaran tematik: a. Memilah dan memilih Kompetensi Dasar Mata pelajaran pada Silabus yang dapat dipadukan dalam tema tertentu untuk satu hari. b. Memilah dan memilih kegiatan-kegiatan di dalam silabus yang sesuai dengan KD. c. Kegiatan dalam silabus yang disiapkan untuk 3 atau 4 minggu (tergantung dengan tema/subtema) perlu dipilah menjadi kegiatan untuk satu minggu, kemudian dipilah dan dipilih lagi untuk kegiatan satu hari. d. Dalam memilah dan memilih kegiatan dari silabus, guru perlu memperhatikan keterkaitan antara berbagai kegiatan dari beberapa mata pelajaran yang akan diintegrasikan sehingga pembelajaran berlangsung sesuai dengan alur. e. Menentukan Indikator pencapaian kompetensi berdasarkan kegiatan di silabus yang sudah dipilih. 37 f. Di dalam menyusun RPP, selain menggunakan silabus, guru bisa menggunakan buku teks pelajaran dan buku guru serta hasil analisis KD dengan tema yang telah dilakukan. g. Di dalam menyusun RPP, guru harus memperhatikan alokasi waktu untuk setiap kegiatan dan kedalaman kompetensi yang diharapkan. h. Apabila kompetensi yang akan diberikan dalam suatu tema memerlukan kemampuan prasyarat yang belum pernah diajarkan, guru perlu mengajarkan kompetensi prasyarat terlebih dahulu. b) Pelaksanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No. 57 (2013) tahap pelaksanaan pembelajaran antara lain: 1. Tahapan pelaksanaan pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu setiap hari dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan yaitu kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. (a) Kegiatan Pendahuluan Kegiatan ini dilakukan terutama untuk menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional, dan internasional; mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; 38 menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. (b) Kegiatan inti Kegiatan inti difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam rangka pengembangan Sikap, maka seluruh aktivitas pembelajaran berorientasi pada tahapan kompetensi yang mendorong peserta didik untuk melakukan aktivitas melalui proses afeksi yang dimulai dari menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, hingga mengamalkan. Untuk kompetensi pengetahuan dilakukan melalui aktivitas mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta. Untuk kompetensi keterampilan diperoleh melalui kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Seluruh isi materi (topik dan subtopik) mata pelajaran yang diturunkan dari keterampilan harus mendorong peserta didik untuk melakukan proses pengamatan hingga penciptaan. (c) Kegiatan Penutup Sifat dari kegiatan penutup adalah untuk menenangkan dan melakukan refleksi dalam rangka evaluasi. mengkhususkan pada seluruh Evaluasi rangkaian yang aktivitas dilakukan pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh dan yang selanjutnya secara bersama 39 menemukan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung; Kegiatan penutup juga dimaksudkan untuk memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok; dan menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya. Beberapa contoh kegiatan akhir/penutup yang dapat dilakukan adalah menyimpulkan/mengungkapkan hasil pembelajaran yang telah dilakukan, pesan-pesan moral, musik/apresiasi musik/bernyanyi. 2. Prinsip Pelaksanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.57 (2013) pelaksanaan pembelajaran Tematik terpadu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Berpusat pada peserta didik Pembelajaran tematik berpusat pada peserta didik (student centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator. b. Bersifat fleksibel Pembelajaran tematik bersifat luwes. Guru dapat mengaitkan materi dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan 40 mengaitkannya dengan keadaan lingkungan di mana sekolah dan peserta didik berada. c. Pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik Peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan minat dan kebutuhannya. d. Menggunakan prinsip belajar yang menyenangkan Suasana dalam pembelajaran diupayakan berlangsung secara menyenangkan. Menyenangkan bisa dibangun dengan berbagai kegiatan yang bisa mengakomodasi kegemaran peserta didik, misal bermain teka-teki, tebak kata, bernyanyi lagu anak-anak, menari atau kegiatan lain yang disepakati bersama dengan peserta didik. e. Pembelajaran peserta didik aktif Peserta didik terlibat baik fisik maupun mental dalam proses pembelajaran sejak perencanaan hingga evaluasi pembelajaran. f. Pendekatan pembelajaran Pembelajaran tematik terpadu perlu memperhatikan pendekatan, strategi, model dan metode pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori. Sedangkan, menurut Sanjaya (2008:127) pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik 41 menurunkan strategi pembelajaran problem dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif . Strategi suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Model pembelajaran adalah rencana (pola) yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pengajaran dan membimbing pengajaran. Sedangkan Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Di dalam Kurikulum 2013 Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan tematik terpadu dan pendekatan saintifik. Strategi pada pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran peserta didik aktif. Model pembelajaran tematik terpadu menggunakan model jaring labalaba. Metode berupa metode proyek yang pembelajarannya dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas yang melibatkan peserta didik untuk melakukan kegiatan yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dan mata pelajaran. Kegiatan tersebut harus melibatkan berbagai keterampilan seperti keterampilan fisik, intelektual dan juga mata pelajaran dan kompetensinya yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Implementasi pembelajaran terpadu dilaksanakan dalam tahapan pembukaan, inti dan penutup. Pada kegiatan inti seluruh 42 aktivitas pembelajaran meliputi kegiatan mengamati, menanya, pengumpulan data, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Dalam melaksanakan kegiatan dengan pendekatan saintifik tersebut, pendidik perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang sesuai dengan karakteristik anak usia SD. Gambaran perkembangan anak usia SD untuk aspek fisik khususnya pada dimensi tinggi dan berat badan pada umumnya menurut F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57 (2013), pertumbuhan fisik anak usia SD cenderung lebih lambat dan konsisten bila dibandingkan dengan masa usia dini. Rata-rata anak usia SD mengalami penambahan berat badan sekitar 2,5 penambahan tinggi badan - 3,5 kg dan 5-7 cm per tahun. Sedangkan untuk perkembangan kemampuan motorik pada umumnya: ketangkasan anak meningkat, dapat bermain sepeda, sudah mengetahui kanan dan kiri, mulai membaca dengan lancer, peningkatan minat pada bidang spiritual, kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat, mampu menggunakan peralatan rumah tangga. Perkembangan kognitif menuru F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57 (2013) anak usia awal antara lain: senang menghasilkan sesuatu dan mengoreksi diri sendiri, mulai mengenal dunia yang lebih luas, sedikit berimajinasi, rasa ingin tahu meningkat, mampu beradaptasi dengan beberapa kondisi yang dihadapi, bermasalah dengan kondisi abstrak, angka-angka yang banyak, periode waktu dan ruang. 43 Sedangkan karakteristik yang dimiliki anak-anak usia SD menurut F.A.Hadis dalam Permendikbud No.57 (2013) pada umumnya adalah: senang bergerak, senang bermain, senang melakukan sesuatu secara langsung, senang bekerja dalam kelompok. c) Pengelolaan Kelas Keberhasilan pembelajaran tematik terpadu tergantung pula pada lingkungan kelas yang diciptakan yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar dan menjadi tempat belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Penataan lingkungan kelas bisa berupa pengaturan peserta didik dan ruang kelas. Pengaturan tersebut mencakup pengaturan meja-kursi peserta didik, penataan sumber dan alat bantu belajar, dan penataan pajangan hasil karya peserta didik. Pengorganisasian atau pengaturan peserta didik dapat dilakukan dalam bentuk klasikal, kelompok dan individual. d) Model Pembelajaran Menurut George L. Gropper dan Paul A. Ross dalam Oemar Hamalik Permendikbud No.57 (2013) pembelajaran tematik terpadu dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Model adalah sesuatu yang direncanakan, direkayasa, dikembangkan, diujicobakan, lalu dikembalikan pada badan yang mendesainnya, kemudian diujicoba ulang, baru menjadi sesuatu yang final. Melalui tahapan tersebut, maka suatu model dapat melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya Ilmiah. 44 Sedangkan Marx Permendikbud No.57 (2013) model, suatu struktur secara konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang, dan sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing penelitian dan berpikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang belum begitu berkembang. Model adalah kerangka konseptual yang dipakai sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Menurut Winataputra dalam Permendikbud No.57 (2013) Model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. e) Penilaian Menurut Permendikbud No.57 (2013) penilaian merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Tujuan penilaian adalah memberikan umpan balik mengenai kemajuan belajar peserta didik dalam kaitannya dengan kompetensikompetensinya selama proses belajar-mengajar, dan memberikan informasi kepada para guru dan orang tua mengenai capaian kompetensi peserta didik. Hakikat pembelajaran tematik terpadu menurut Permendikbud No. 57 (2013) adalah pembelajaran lintas disiplin yang menghubungkan berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran 45 maupun dalam satu mata pelajaran. Karakteristik pembelajaran seperti itu menuntut penilaian yang holistic dan menyeluruh. Guru harus yakin bahwa semua peserta didik memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan hasil melalui Proses pembelajaran tematik yang mencakup semua aspek pembelajaran baik sikap, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian yang tepat adalah penilaian otentik yang dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan guru harus mencari informasi dari berbagai sumber. Prinsip-prinsip penilaian dalam pembelajaran tematik sama dengan prinsip yang harus dijadikan landasan dalam pembelajaran terpadu, yaitu prinsip utuh dan menyeluruh, berkesinambunagn, dan objektif. Disamping itu penilaian harus berbasis unjukkerja murid (proses dan produk), melibatkan murid, memuat refleksi diri murid, menggunakan penilaian non konvensional (penelitian alternative), memberi umpan balik kepada guru dan murid, memperhatikan dampak pengiring pembelajaran (misalnya pendidikan karakter), dan sistematis. Penilaian berbasis kinerja menuntut murid berpartisipasi aktif, pembelajarannya memuat sejumlah tugas, dan murid berusaha untuk dapat mencapat tujuan pembelajaran. Dengan perkataan lain murid harus dapat mendemontrasikan kemampuannya sesuai dengan target pembelajaran. Penilaian berbasis kinerja adalah suatu prosedur penugasan kepada murid untuk mengumpulkan informasi sejauhmana murid telah belajar. 46 Menurut Barton&Smit dalam Permendikbud No.57 (2013), penilaian pembelajaran dalam pembelajaran terpadu menggunakan authentic assessment. Karena pembelajaran tematik pada dasarnya adalah pembelajaran terpadu maka evaluasinya juga menggunakan authentic assessment. Cara penilaian ini bersifat kualitatif yang menilai kinerja yang dapat berupa pajangan, hasil diskusi, hasil tugas kelompok, tugas mandiri, tugas terstruktur, dan tugas proyek. Selain itu, menggunakan informasi dari portofolio, checklis, analisis reflektif, deskriptif, pengkajian, pengamatan, pendapat teman, orang tua, dsb. Prosedur penilaian dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penyajian laporan, dant indaklanjut. Penilaian dalam pembelajaran tematik terpadu dilengkapi dengan berbagai format (observasi, penilaian diri, portofolio, projek, unjuk kerja, dsb). Menurut Permendikbud No.57 (2013) laporan penilaian yang memuat diskripsi umum ditulis dalam bentuk narasi meliputi aspek sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, keterampilan. f) Media Dan Sumber Belajar Pelaksanaan kegiatan pembelajaran tematik terpadu memerlukan berbagai sumber belajar. Sumber belajar yang dapat digunakan dapat berupa bahan cetak atau media cetak, media elektronik, lingkungan sosial, lingkungan alam atau lingkungan fisik. Bahan cetak atau media cetak yang dapat digunakan misalnya buku siswa, buku guru, buku penunjang, majalah, surat kabar, brosur, buletin majalah, surat kabar, brosur, buletin. Salah satu 47 sumber belajar yang telah disiapkan ialah buku siswa dan buku guru. Media elektronik dapat berupa software maupun file dokumen, video, film, radio, internet, dsb. Alat peraga juga sangat membantu pelaksanaan pembelajaran dalam rangka pencapaian kompetensi berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan. Alat peraga dapat buatan pabrik, buatan, guru, maupun buatan peserta didik. Bahan-bahan dasar berupa kayu, kaca, barang-barang bekas, dsb dapat dimanfaatkan untuk membuat alat peraga maupun media belajar. Pembuatan media maupun alat peraga oleh guru memerlukan kreatifitas. g) Guru Sebagai Pengembang Budaya Sekolah a) Pengertian Budaya Sekolah Menurut Fisher, D dalam Permendikbud No.57 (2013) budaya sekolah adalah tradisi, nilai, norma dan kebijakan yang menjadi acuan dan keyakinan suatu sekolah yang dikembangkan dan digunakan bersama melalui kepemimpinan kepala sekolah. Di dalam Kurikulum 2013 perkembangan konsep pembelajaran telah mencapai pengertian dari pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana dalam pengertian ini cakupannya sangat luas, dilihat dari berbagai aspek yang dapat terlibat dalam proses pembelajaran, tidak hanya adanya interaksi antara seorang pendidik dan peserta didik saja, serta model pembelajaran yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 ini, yaitu model behavioristik yang lebih menitikberatkan pada aspek afektif dari peserta didik yang disebabkan 48 karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih, yang menyebabkan peserta didik mengesampingkan aspek afektif, sehingga dalam Kurikulum 2013 ini, yang ingin lebih ditonjolkan adalah aspek afektifnya, supaya generasi penerus bangsa mewarisi budaya-budaya Indonesia yang ramah dan berakhlak mulia. b) Pengembangan Budaya Sekolah Menurut Permendikbud No.57 (2013) budaya sekolah adalah sesuatu yang dikembangkan, diarahkan kembali (reshaping), dan diperkaya agar mampu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sekolah. Untuk itu diperlukan adanya: 1. Persamaan pengertian mengenai apa yang disebut dengan budaya sekolah dan apa komponen budaya sekolah yang dikembangkan dan dijadikan unggulan. 2. Menentukan kriteria keberhasilan proses pelaksanaan budaya sekolah dan hasil dari budaya sekolah yang dikembangkan. 3. Menentukan alat ukur keberhasilan dan cara penilaian keberhasilan. Menurut Permendikbud No.57 (2013) untuk menentukan keberhasilan pengembangan dan pelaksanaan budaya sekolah, perlu ditempuh langkahlangkah berikut: 1. Merumuskan secara jelas peran dan tugas kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan orangtua peserta didik. 49 2. Mengembangkan mekanisme komunikasi antarkomponen yang disebutkan di atas. 3. Berbagi informasi mengenai pencapaian dan keberhasilan sekolah melalui koran/majalah dinding sekolah, website, dan selebaran serta bentuk lainnya. a. Peran Kepala Sekolah Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan suatu sekolah (educational leader). Kepala sekolah memiliki peran penting dalam manajemen untuk mengembangkan budaya sekolah sehingga tercipta suasana kerja yang edukatif, berorientasi pada kualitas, peningkatan kepedulian pemangku kepentingan, dan peningkatan hasil belajar peserta didik. b. Hubungan Guru dengan Guru Hubungan guru dengan guru menentukan keberhasilan pelaksanaan pembelajaran pendidikan Sejarah dan Kurikulum 2013. Hubungan tersebut adalah hubungan profesional antara guru yang mengajar Sejarah dengan guru yang mengajar mata pelajaran yang sama di kelas berbeda, dengan guru yang mengajar mata pelajaran Sejarah Indonesia dan dengan guru lain yang mengajar mata pelajaran lain baik dalam kelompok peminatan Ilmu-Ilmu Sosial maupun dalam kelompok peminatan lain bahkan dengan kelompok mata pelajaran wajib. 50 c. Hubungan Guru dengan Peserta Didik Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang menjadi manusia-manusia yang cerdas, baik cerdas secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual. Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang diembannya, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan peserta didiknya. d. Hubungan Guru dengan Orang tua Peserta didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu. Guru menempati kedudukan terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang membuat mereka dihormati. e. Hubungan Guru dengan Masyarakat Guru perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan,misalnya mengadakan kerjasama dengan tokoh masyarakat tertentu yang berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran mata pelajaran yang diampunya. Beberapa hal yang hendaknya dilakukan guru dalam hubungannya dengan masyarakat. f. Keteladanan Guru Dalam dunia pendidikan pada umumnya dan dalam pembelajaran pada khususnya, keteladanan sangat diperlukan dan memiliki makna 51 yang sangat tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pada dunia pendidikan, khususnya keberhasilan pembelajaran yang dilakukan seorang guru salah satunya juga ditentukan oleh seberapa besar keteladanan yang diberikan pendidik dan tenaga kependidikan. c. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Atas dasar amanah tersebut telah diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 2), berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak 52 mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3). Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan pemerintah tersebut memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut telah ditetapkan Standar Kompetensi Lulusan yang merupakan kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Untuk mencapai kompetensi lulusan tersebut perlu ditetapkan Standar Isi yang merupakan kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi peserta didik untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 1) Tingkat Kompetensi Menurut Permendikbud No.64 (2013) tingkat kompetensi merupakan kriteria capaian Kompetensi yang bersifat generik yang harus dipenuhi oleh 53 peserta didik pada setiap tingkat kelas dalam rangka pencapaian Standar Kompetensi Lulusan. Tingkat Kompetensi terdiri atas 8 (delapan) jenjang yang harus dicapai oleh peserta didik secara bertahap dan berkesinambungan. Tingkat Kompetensi tersebut diterapkan dalam hubungannya dengan tingkat kelas sejak peserta didik mengikuti pendidikan TK/RA, Kelas I sampai dengan Kelas XII jenjang pendidikan dasar dan menengah. Tingkat Kompetensi TK/RA bukan merupakan prasyarat masuk Kelas. Setiap tingkat kompetensi berimplikasi terhadap tuntutan prosespembelajaran dan penilaian. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran danpenilaian pada tingkat yang sama memiliki karakteristik yang relatif sama dan memungkinkan terjadinya akselerasi belajar dalam 1 (satu) Tingkat Kompetensi. Selain itu, untuk Tingkat Kompetensi yang berbeda menuntupembelajaran dan penilaian dengan fokus dan penekanan yang berbeda pulaSemakin tinggi Tingkat Kompetensi, semakin kompleks intensitas pengalaman belajar peserta didik dan proses pembelajaran serta penilaian. Uraian Kompetensi Inti untuk setiap Tingkat Kompetensi disajikan dalam tabel di bawah ini. a) Tingkat Kompetensi 1 Kompetensi Sikap Spiritual Sikap Sosial Tabel 2.2 Tingkat Kelas I-II SD/MI/SDLB/PAKET A Deskripsi Kompetensi 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru 54 Pengetahuan Keterampilan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan bendabenda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah 4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia b) Tingkat Kompetensi 2 Kompetensi Sikap Spiritual Sikap Sosial Pengetahuan Keterampilan Tabel 2.3 Tingkat Kelas III-1V SD/MI/SDLB/PAKET A Deskripsi Kompetensi 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya; 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, guru, dan tetangganya 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain 4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia c) Tingkat Kompetensi 3 Tabel 2.4 Tingkat Kelas V-VI SD/MI/SDLB/PAKET A Kompetensi Deskripsi Kompetensi Sikap Spiritual 1. Menerima dan dianutnya; Sikap Sosial 2. Menunjukkan jawab,santun, menjalankan ajaran agama yang perilaku jujur, disiplin, tanggung peduli, dan percaya diri dalam 55 berinteraksi dengankeluarga, teman, tetangganya serta cinta tanah air; Pengetahuan Keterampilan guru, dan 3. Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain 4. Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis, dalam karya yang estetis, dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak beriman dan berakhlak mulia d. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar Dan Menengah Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Permendikbud No.64 (2013) standar proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan. Standar Proses dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan 56 Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 1) Karakteristik Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) karakteristik pembelajaran pada setiap satuan pendidikan terkait erat pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Standar Kompetensi Lulusan memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai. Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi. Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan, sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Rincian gradasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut: Tabel 2.5 Gradasi Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan Sikap Pengetahuan Keterampilan Menerima Menjalankan Menghargai Menghayati Mengamalkan - Mengingat Memahami Menerapkan Menganalisis Mengevaluasi - Mengamati Menanya Mencoba Menalar Menyaji Mencipta Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi. Pembelajaran tematik terpadu di SD/MI/SDLB/Paket A disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik. Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi. 57 2) Perencanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) perencanaan pembelajaran diantaranya: a) Desain Pembelajaran Perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada Standar Isi. Perencanaan pembelajaran meliputi penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan penyiapan media dan sumber belajar, perangkat penilaian pembelajaran, dan skenario pembelajaran. Penyusunan Silabus dan RPP disesuaikan pendekatan pembelajaran yang digunakan. 1. Silabus Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Silabus paling sedikit memuat: a. Identitas sekolah meliputi nama satuan pendidikan dan kelas. b. Kompetensi inti, merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. c. Kompetensi dasar, merupakan kemampuan spesifik yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata pelajaran. d. Tema(khususSD/MI/SDLB/Paket A). 58 e. Materi pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. f. Pembelajaran, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik untuk mencapai kompetensi yang diharapkan; penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. g. Alokasi waktu sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum untuk satu semester atau satu tahun. h. Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar atau sumber belajar lain yang relevan. 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) rencana pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran pelaksanaan tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta 59 psikologis peserta didik. RPP disusun berdasarkan KD atau subtema yang dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Komponen RPP terdiri atas: a. Identitas sekolah yaitu nama satuan pendidikan. b. Identitas mata pelajaran atau tema/subtema. c. Kelas/semester. d. Materipokok. e. Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia dalam silabus dan KD yang harus dicapai. f. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD, dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. g. Kompetensi dasar dan indikator pencapaian kompetensi. h. Materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator ketercapaian kompetensi. i. Metode pembelajaran, digunakan oleh pendidik untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai KD yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan KD yang akan dicapai. 60 j. Media pembelajaran, berupa alat bantu proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. k. Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan. l. Langkah-langkah pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup. m. Penilaian hasil pembelajaran. 3. Prinsip Penyusunan RPP Menurut Permendikbud No.64 (2013) Dalam menyusun RPP hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut. a. Perbedaan individual peserta di antara lain kemampuan awal, tingkat intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik. b. Partisipasi aktif peserta didik. c. Berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar, motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian. d. Pengembangan budaya membaca dan menulis yang dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan. 61 e. Pemberian umpan balik dan tindak lanjut RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi. f. Penekanan pada keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. g. Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya. h. Penerapan teknologi informasi dan komunikasisecara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. 3) Pelaksanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) pelaksanaan pembelajaran diantaranya: a) Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran a. Alokasi Waktu Jam Tatap Muka Pembelajaran SD/MI : 35 menit. b. Buku Teks Pelajaran Buku teks pelajaran digunakan untuk meningkatan efisiensi dan efektivitas yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. c. Pengelolaan Kelas a. Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik sesuai dengan tujuan dan karakteristik proses pembelajaran. 62 b. Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik. c. Guru wajib menggunakan kata-kata santun, lugas dan mudah dimengerti oleh peserta didik. d. Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar peserta didik. e. Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, dan keselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran. f. Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. g. Guru mendorong dan menghargai peserta didik untuk bertanya dan mengemukakan pendapat. h. Guru berpakaian sopan, bersih, dan rapi. i. Pada tiap awal semester, guru menjelaskan kepada peserta didik silabus mata pelajaran. j. Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan. b) Pelaksanaan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP, meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup. 1. Kegiatan Pendahuluan 63 Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. b. Memberi motivasi belajar siswa secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari, dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional dan internasional. c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari. d. Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai. e. Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. 2. Kegiatan Inti Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. 3. Kegiatan Penutup 64 Dalam kegiatan penutup, guru bersama siswa baik secara individual maupun kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi: seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran, melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok, dan menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya. 4) Penilaian Hasil Dan Proses Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan siswa, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar siswa atau bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran. Hasil penilaian otentik dapat digunakan oleh guru untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian otentik dapat digunakansebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran sesuai dengan Standar Penilaian Pendidikan. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan saat 65 proses pembelajaran dengan menggunakan alat: angket, observasi, catatan anekdot, dan refleksi. 5) Pengawasan Proses Pembelajaran Menurut Permendikbud No.64 (2013) pengawasan proses pembelajaran dilakukan melalui kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, serta tindak lanjut secara berkala dan berkelanjutan. Pengawasan proses pembelajaran dilakukan oleh kepala satuan pendidikan dan pengawas. a) Prinsip Pengawasan Pengawasan dilakukan dengan prinsip objektif dan transparan guna peningkatan mutu secara berkelanjutan dan menetapkan peringkat akreditasi. b) Sistem dan Entitas Pengawasan Sistem pengawasan internal dilakukan oleh kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan. c) Proses Pengawasan 1. Pemantauan Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dilakukan dan melalui penilaian antara hasil lain, pembelajaran. diskusi Pemantauan kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi. 2. Supervisi 66 Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran yang dilakukan melalui antara lain, pemberian contoh, diskusi, konsultasi, atau pelatihan. 3. Pelaporan Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran disusun dalam bentuk laporan untuk kepentingan tindak lanjut pengembangan keprofesionalan pendidik secara berkelanjutan. 4. Tindak Lanjut Tindak lanjut hasil pengawasan dilakukan dalam bentuk: a. Penguatan dan penghargaan kepada guru yang menunjukkan kinerja yang memenuhi atau melampaui standar, dan b. Pemberian kesempatan kepada guru untuk mengikuti program pengembangan keprofesionalan berkelanjutan. e. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, 67 kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Selanjutnya, Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional “berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Menurut Permendikbud No.66 (2013) fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut menjadi parameter utama untuk merumuskan Standar Nasional Pendidikan. Standar Nasional Pendidikan “berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu”. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas 8 (delapan) standar, salah satunya adalah Standar Penilaian yang bertujuan untuk menjamin: a) Perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan prinsip-prinsip penilaian. b) Pelaksanaan penilaian peserta didik secara profesional, terbuka, edukatif, efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks sosial budaya. c) Pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan informatif. 68 Standar Penilaian Pendidikan ini disusun sebagai acuan penilaian bagi pendidik, satuan pendidikan, dan Pemerintah pada satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. 1) Standar Penilaian Pendidikan Menurut Permendikbud No.66 (2013) standar penilaian pendidikan adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah. a. Prinsip dan Pendekatan Penilaian Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut. 1. Objektif, berarti penilaian berbasis pada standardan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai. 2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran, dan berkesinambungan. 3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya. 69 4. Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak. 5. Akun tabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya. 6. Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik. 2) Ruang Lingkup, Teknik, dan Instrumen Penilaian a) Ruang Lingkup Penilaian Menurut Permendikbud No.66 (2013) penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran/kompetensi muatan/kompetensi program, dan proses. (1) Teknik dan Instrumen Penilaian 70 Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. a. Penilaian kompetensi sikap Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian “teman sejawat”(peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antar peserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. c. Penilaian Kompetensi Keterampilan Pendidik menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, projek, dan penilaian portofolio. Instrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang dilengkapi rubrik. (2) Mekanisme dan Prosedur Penilaian a. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, Pemerintah dan/atau lembaga mandiri. 71 b. Penilaian hasil belajar dilakukan dalam bentuk penilaian otentik, penilaian diri, penilaian projek, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian sekolah, dan ujian nasional. c. Perencanaan ulangan harian dan pemberian projek oleh pendidik sesuai dengan silabus dan dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). d. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah menyusun kisi-kisi ujian, mengembangkan (menulis, menelaah, dan merevisi) instrument, melaksanakan ujian, mengolah (menyekor dan menilai) dan menentukan kelulusan peserta didik, dan melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian. e. Ujian nasional dilaksanakan sesuai langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS). f. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedial. g. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan dilaporkan dalam bentuk nilai dan deskripsi pencapaian kompetensi kepada orangtua dan pemerintah. (3) Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian a. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Pendidik 72 Penilaian hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara berkesinambungan bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. b. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Satuan Pendidikan Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan peserta didik. c. Pelaksanaan dan Pelaporan Penilaian oleh Pemerintah Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah dilakukan melalui Ujian Nasional dan ujian mutu Tingkat Kompetensi. f. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum Menurut Permendikbud No.81A (2013) strategi pembelajaran sangat diperlukan dalam menunjang terwujudnya seluruh kompetensi yang dimuat dalam Kurikulum 2013. Dalam arti bahwa kurikulum memuat apa yang seharusnya diajarkan kepada peserta didik, sedangkan pembelajaran merupakan cara bagaimana apa yang diajarkan bisa dikuasai oleh peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran didahului dengan penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dikembangkan oleh guru baik secara individual maupun kelompok yang mengacu pada Silabus. Dalam konteks konseptual penjelasan Pasal 77O huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan 73 Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan keempat substansi tersebut secara kurikuler dan pedagogik terkait erat dengan instrumentasi dan praksis pembelajaran dalam arti luas. Oleh karena itu, keempat substansi pedoman tersebut dikemas dalam satu pedoman yakni Pedoman Umum Pembelajaran. 1. Tujuan Pedoman Menurut Permendikbud No.81A (2013) pedoman ini dimaksudkan untuk: a. Memfasilitasi guru secara individual dan kelompok dalam mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan melaksanakan pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan model untuk muatan dan/atau mata pelajaran yang diampunya. b. Memfasilitasi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester sebagai perwujudan konsep belajar tuntas sesuai dengan kesiapan masing-masing. c. Memfasilitasi guru secara individual atau kelompok dalam mengembangkan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan pendekatan otentik untuk muatan dan/atau mata pelajarannya. d. Memfasilitasi satuan pendidikan dalam mewujudkan proses pendidikan sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai karakteristik peserta didik dan dalam memfasilitasi peserta didik untuk 74 memilih dan menetapkan program peminatan, serta memfasilitasi guru BK atau konselor sekolah untuk menangani dan membantu peserta didik yang secara individual mengalami masalah psikologis atau psikososial. 2. Pengguna Pedoman Menurut Permendikbud No.81A (2013) Pengguna pedoman ini mencakup pihak-pihak sebagai berikut. a. Guru secara individual atau kelompok guru (guru mata pelajaran, guru kelas, dan guru pembina kegiatan ekstrakurikuler). b. Pimpinan satuan pendidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas). c. Guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah. d. Tenaga kependidikan (pengawas, pustakawan sekolah, pembina pramuka). 3. Cakupan Pedoman Menurut Permendikbud No.81A (2013) pedoman ini mencakup substansi sebagai berikut. a. Konsep dan strategi pembelajaran sebagai dasar dan kerangka pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan pelaksanaa pembelajaran dalam berbagai modus, strategi, dan model. 75 b. Konsep dan strategi penerapan Sistem Kredit Semester sebagai landasan bagi satuan pendidikan dalam merintis atau melanjutkan pengelolaan kurikulum dengan menerapkan sistem kredit semester. c. Konsep dan strategi penilaian sebagai dasar dan kerangka pengembangan teknik dan instrumen penilaian hasil belajar dengan pendekatan otentik. d. Konsep dan strategi pembimbingan dan konsultasi agar peserta didik mampu mengenali potensi diri dan akademik sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat. 4. Konsep Dan Strategi Pembelajaran a. Pandangan Tentang Pembelajaran Menurut Permendikbud No.81A (2013) secara prinsip, kegiatan pembelajaran merupakan proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik menjadi kompetensi yang diharapkan. b. Pembelajaran Langsung dan Tidak Langsung 76 Menurut Permendikbud No.81A (2013) pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran Kurikulum 2013, semua kegiatan yang terjadi selama belajar di sekolah dan di luar dalam kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler terjadi proses pembelajaran untuk mengembangkan moral dan perilaku yang terkait dengan sikap. Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran dikembangkan dari KI-1 dan KI-2. yang menyangkut KD yang 77 Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: Tabel 2.6 Langkah Pembelajaran Kegiatan Belajar Kompetensi yang Dikembangkan Langkah Pembelajaran Mengamati Menanya Mengumpulkan informasi/ eksperimen Mengasosiasikan/ mengolah informasi Kegiatan Pembelajaran Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat) Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik) melakukan eksperimen membaca sumber lain selain buku teks mengamati objek/ kejadian/ aktivitas wawancara dengan nara sumber mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperim en mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan Kompetenisi yang Dikembangkan Melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat Mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta 78 kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau Mengkomunikasikan media lainnya deduktif dalam menyimpulkan. Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. c. Perencanaan Pembelajaran Tahap pertama dalam pembelajaran menurut standar proses yaitu perencanaan pembelajaran yang diwujudkan dengan kegiatan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). 1. Hakikat RPP Menurut Permendikbud No.81A (2013) rencana pelaksanaan pembelajaran adalah rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci dari suatu materi pokok atau tema tertentu yang mengacu pada silabus. RPP mencakup: data sekolah, matapelajaran, dan kelas/semester; materi pokok; alokasi waktu; tujuan pembelajaran, KD dan indikator pencapaian kompetensi; materi pembelajaran, metode pembelajaran, media, alat dan sumber belajar, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, dan penilaian. 2. Prinsip-Prinsip Pengembangan RPP 79 Menurut Permendikbud No.81A (2013) berbagai prinsip dalam mengembangkan atau menyusun RPP adalah sebagai berikut. a. RPP disusun guru sebagai terjemahan dari ide kurikulum dan berdasarkan silabus yang telah dikembangkan di tingkat nasional ke dalam bentuk rancangan proses pembelajaran untuk direalisasikan dalam pembelajaran. b. RPP dikembangkan guru dengan menyesuaikan apa yang dinyatakan dalam silabus dengan kondisi di satuan pendidikan baik kemampuan awal peserta didik, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik. c. Mendorong partisipasi aktif peserta didik. d. Sesuai dengan tujuan Kurikulum 2013 untuk menghasilkan peserta didik sebagai manusia yang mandiri dan tak berhenti belajar, proses pembelajaran dalam RPP dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mengembangkan motivasi, minat, rasa ingin tahu, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, semangat belajar, keterampilan belajar dan kebiasaan belajar. e. Mengembangkan budaya membaca dan menulis. f. Proses pembelajaran dalam RPP dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan. g. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut. h. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi. Pemberian pembelajaran remedi dilakukan setiap saat setelah suatu ulangan atau ujian dilakukan, hasilnya dianalisis, dan kelemahan setiap peserta didik dapat teridentifikasi. Pemberian pembelajaran diberikan sesuai dengan kelemahan peserta didik. i. Keterkaitan dan keterpaduan. 80 j. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara KI dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas matapelajaran untuk sikap dan keterampilan, dan keragaman budaya. k. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi. l. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. 3. Komponen dan Sistematika RPP Menurut Permendikbud No.81A (2013) komponen-komponen tersebut secara operasional diwujudkan dalam bentuk format berikut ini. Sekolah : Mata pelajaran : Kelas/Semester : Materi Pokok : Alokasi Waktu : a. Kompetensi Inti (KI) b. Kompetensi Dasar dan Indikator c. Tujuan Pembelajaran d. Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok) e. Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran) f. Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran g. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran h. Penilaian i. Jenis/teknik penilaian j. Bentuk instrumen dan instrument k. Pedoman penskoran 4. Langkah-Langkah Pengembangan RPP 81 a. Mengkaji Silabus Menurut Permendikbud No.81A (2013) secara umum, untuk setiap materi pokok pada setiap silabus terdapat 4 KD sesuai dengan aspek KI (sikap kepada Tuhan, sikap diri dan terhadap lingkungan, pengetahuan, dan keterampilan). Untuk mencapai 4 KD tersebut, di dalam silabus dirumuskan kegiatan peserta didik secara umum dalam pembelajaran berdasarkan standar proses. Kegiatan peserta didik ini merupakan rincian dari eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, yakni: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah dan mengkomunikasikan. Kegiatan inilah yang harus dirinci lebih lanjut di dalam RPP, dalam bentuk langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran, yang membuat peserta didik aktif belajar. Pengkajian terhadap silabus juga meliputi perumusan indikator KD dan penilaiannya. b. Menentukan Tujuan Menurut Permendikbud No.81A (2013) tujuan dapat diorganisasikan mencakup seluruh KD atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan. Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek: Audience peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan). c. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran Menurut Permendikbud No.81A (2013) mengidentifikasi materi pembelajaran yang menunjang pencapaian KD dengan 82 mempertimbangkan potensi karakteristik daerah, tingkat peserta didik; perkembangan relevansi fisik, dengan intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik; kebermanfaatan bagi peserta didik; struktur keilmuan; aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pembelajaran; relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan; dan alokasi waktu. d. Menentukan Tujuan Menurut Permendikbud No.81A (2013) tujuan dapat diorganisasikan mencakup seluruh KD atau diorganisasikan untuk setiap pertemuan. Tujuan mengacu pada indikator, paling tidak mengandung dua aspek: Audience (peserta didik) dan Behavior (aspek kemampuan). e. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran Menurut Permendikbud No.81A (2013) kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian KD. f. Penjabaran Jenis Penilaian Di dalam silabus telah ditentukan jenis penilaiannya. Penilaian pencapaian KD peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian 83 hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. g. Menentukan Alokasi Waktu Penentuan alokasi waktu pada setiap KD didasarkan pada jumlah minggu efektif dan alokasi waktu matapelajaran per minggu dengan mempertimbangkan jumlah KD, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan, dan tingkat kepentingan KD. Alokasi waktu yang dicantumkan dalam silabus merupakan perkiraan waktu rerata untuk menguasai KD yang dibutuhkan oleh peserta didik yang beragam. Oleh karena itu, alokasi tersebut dirinci dan disesuaikan lagi di RPP. h. Menentukan Sumber Belajar Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. i. Proses Pembelajaran Tahap kedua dalam pembelajaran menurut pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, yang kegiatan inti, dan kegiatan penutup. 5. Konsep Dan Strategi Penilaian Hasil Belajar a) Konsep Penilaian Hasil Belajar 1) Definisi Operasional standar proses yaitu 84 Menurut Permendikbud No.81A (2013) dalam pedoman ini, pengertian penilaian sama dengan asesmen. Terdapat tiga kegiatan yang perlu didefinisikan, yakni pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, walaupun memang saling berkaitan. Pengukuran adalah kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan suatu kriteria atau ukuran. Penilaian adalah proses mengumpulkan informasi/bukti melalui pengukuran, menafsirkan, mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran. Evaluasi adalah proses mengambil keputusan berdasarkan hasil-hasil penilaian. 2) Metode dan instrumen penilaian Menurut Permendikbud No.81A (2013) berbagai metode dan instrumen baik formal maupun nonformal digunakan dalam penilaian untuk mengumpulkan informasi. Informasi yang dikumpulkan menyangkut semua perubahan yang terjadi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Penilaian dapat dilakukan selama pembelajaran berlangsung (penilaian proses) dan setelah pembelajaran usai dilaksanakan (penilaian hasil/produk). b) Komponen Penilaian Hasil Belajar 1) Prinsip, Pendekatan, dan Karakteristik Penilaian Menurut Permendikbud No.81A (2013) prinsip, pendekatan dan karakteristik penilaian yaitu: 85 a. Prinsip Penilaian Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. 1. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai. 2. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. 3. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. 4. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan. 5. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. 6. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku. 86 7. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan. 8. Akun tabel, berarti penilaian dapat di pertanggung jawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya. 9. Edukatif, berarti penilaian dilakukan untuk kepentingan dan kemajuan pendidikan peserta didik b. Pendekatan Penilaian Implikasi dari ketuntasan belajar tersebut adalah sebagai berikut. 1. Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diberikan remedial individual sesuai dengan kebutuhan kepada peserta didik yang memperoleh nilai kurang dari 2.67. 2. Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diberikan kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya ke KD berikutnya kepada peserta didik yang memperoleh nilai 2.67 atau lebih dari 2.67. 3. Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diadakan remedial klasikal sesuai dengan kebutuhan apabila lebih dari 75% peserta didik memperoleh nilai kurang dari 2.67. 4. KD pada KI-1 dan KI-2, pembinaan terhadap peserta didik yang secara umum profil sikapnya belum berkategori baik dilakukan secara holistik (paling tidak oleh guru matapelajaran, guru BK, dan orang tua). 2) Karakteristik Penilaian 87 a. Belajar Tuntas Untuk kompetensi pada kategori pengetahuan dan keterampilan (KI-3 dan KI-4), peserta didik tidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan hasil yang baik.Asumsi yang digunakan dalam belajar tuntas adalah peserta didik dapat belajar apapun, hanya waktu yang dibutuhkan yang berbeda. Peserta didik yang belajarlambat perlu waktu lebih lama untuk materi yang sama, dibandingkan peserta didik pada umumnya. b. Otentik Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu. Penilaian otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengpetahuan, keterampilan, dan sikap). Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. c. Berkesinambungan Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik, memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil terus menerus dalam bentuk penilaian proses, dan berbagai jenis ulangan secara berkelanjutan (ulangan 88 harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, atau ulangan kenaikan kelas). 3) Strategi Penilaian Hasi Belajar Strategi penilaian hasil belajar dengan menggunakan Metode dan Teknik Penilaian sebagai berikut: (a) Metode Penilaian Penilaian dapat dilakukan melalui metode tes maupun nontes. Metode tes dipilih bila respons yang dikumpulkan dapat dikategorikan benar atau salah (KD-KD pada KI-3 dan KI-4). Bila respons yang dikumpulkan tidak dapat dikategorikan benar atau salah digunakan metode nontes (KD-KD pada KI-1 dan KI-2). Metode tes dapat berupa tes tulis atau tes kinerja. (b) Teknik dan Instrumen Penilaian Untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan peserta didik dapat dilakukan berbagai teknik, baik berhubungan dengan proses maupun hasil belajar. Teknik mengumpulkan informasi tersebut pada prinsipnya adalah cara penilaian kemajuan belajar peserta didik terhadap pencapaian kompetensi. Penilaian dilakukan berdasarkan indikatorindikator pencapaian hasil relajar, baik pada domain kognitif, afektif, maupun psikomotor. 4) Pihak Yang Terlibat a. Penilaian Berdasarkan Standar 89 Sebuah standar, serendah apapun diperlukan karena ia berperan sebagai patokan dan sekaligus pemicu untuk memperbaiki aktivitas hidup. Dalam konteks pendidikan, standar diperlukan sebagai acuan minimal (dalam hal kompetensi) yang harus dipenuhi oleh seorang lulusan dari suatu lembaga pendidikan sehingga setiap calon lulusan dinilai apakah yang bersangkutan telah memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan. b. Penilaian Kelas Otentik Seperti dijelaskan di atas, implikasi diterapkannya SKL adalah proses penilaian yang dilakukan oleh guru, baik yang bersifat formatif maupun sumatif harus menggunakan acuan kriteria. Untuk itu, guru harus mengembangkan penilaian otentik berkelanjutan yang menjamin pencapaian dan penguasaan kompetensi. Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang menunjukkan mampu secara mengungkapkan, tepat bahwa tujuan membuktikan, pembelajaran atau dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai. 6) Konsep Dan Strategi Layanan Bimbingan Dan Konseling a) Konsep Layanan Bimbingan dan Konseling Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor adalah guru yag mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh 90 dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah siswa. Layanan bimbingan dan konseling adalah kegiatan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam menyusun rencana pelayanan bimbingan dan konseling, melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling, mengevaluasi proses dan hasil pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan perbaikan tindak lanjut memanfaatkan hasil evaluasi. b) Komponen Layanan Bimbingan dan Konseling Pedoman bimbingan dan konseling mencakup komponen-komponen berikut ini. 1. Jenis layanan meliputi : layanan orientasi yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, seperti lingkungan satuan pendidikan bagi siswa baru, dan obyek-obyek yang perlu dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran di lingkungan baru yang efektif dan berkarakter. 2. Layanan informasi yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/ jabatan, dan pendidikan lanjutan secara terarah, objektif dan bijak. 3. Layanan penempatan dan penyaluran yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik memperoleh penempatan 91 dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, peminatan/lintas minat/pendalaman minat, program latihan, magang, dan kegiatan ekstrakurikuler secara terarah, objektif dan bijak. 4. Layanan penguasaan konten yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan dalam melakukan, berbuat atau mengerjakan sesuatu yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan tuntutan kemajuan dan berkarakter-cerdas yang terpuji, sesuai dengan potensi dan peminatan dirinya. 5. Layanan konseling perseorangan yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya melalui prosedur perseorangan. 6. Layanan bimbingan kelompok yaitu layanan bimbingan dan konseling yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu sesuai dengan tuntutan karakter yang terpuji melalui dinamika kelompok. 2. Psikologi Kontruktivisme a. Definisi Psikologi Kontruktivisme Menurut Daryanto (2013:183) kontruktivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari 92 pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Sedangkan menurut Sadulloh (2011:178), kontruktivisme memfokuskan pada proses-proses pembelajaran bukannya pada perilaku belajar. Sejak pertengahan tahun 1980-an, para peneliti telah berusaha untuk mengidentifikasi bagaimana para siswa mengkontruksi atau membentuk pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka pelajari. Menurut kontruktivisme melalui prosesproses kognitif. Menurut Daryanto (2013:184) tugas guru dalam pembelajaran kontruktivisme adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan: 1. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa. 2. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri. 3. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Menurut Daryanto (2013:183) kegiatan yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam teori kontuktivisme yaitu: Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup, dan pengetahuan kemudian menyususn pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut. Pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses “mengkontruksi: bukan “menerima” penegtahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pendekatan kontruktivis sosial juga mempertimbangkan konteks sosial yang didalam pembelajarannya muncul dan menekankan pentingnya interaksisosial dan negosiasi dalam pembelajaran. Berkenaan dengan praktek kelas, pendekatan-pendekatan pendekatan kontruktivis mendukung kurikulum 93 dan pengajaran student-centered bukannya teacher centered. Siswa adalah kunci pembelajaran. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para guru pada teori kontruktivisme mengetahui bahwa pembelajaran adalah suatu proses pembentukan makna yang aktif, dimana para siswa bukanlah penerima pasif informasi. Pada kenyataannya para siswa secara terus-menerus terlibat dalam upaya memahami pemahaman siswa dan meyadari bahwa pembelajara siswa dipengaruhi oleh pengetahuan awal, pengetahuan, sikap, dan interaksi sosial. b. Potert Guru Kontrutivisme Penjelasan anak belajar menurut Piaget, Vigotski dan Bruner dalam Kurniawan (2011: 71) dapat diambil beberapa point penting, yaitu: 1. Anak belajar secara aktif, memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya. 2. Pentingnya rekayasa lingkungan yang mampu memberi ruang kepada anak untuk mengkontruksi pengetahuannya. 3. Perlu interaksi guru-siswa yang kondusif agar anak bisa membangun pengetahuannya, untuk kepentingan ini guru mampu menjebatani kesulitan-kesulitan anak dalam memahami objek dan simbol yang dipelajari sehingga kesulitan belajar bisa diatasi. 4. Penyajian pembelajaran disajikan secara spiral, maksudnya dimulai dari hal yang rutin, sederhana, dan mudah terus maju dan berkembang ke arah yang lebih kompleks dan rumit. Menurut Bruce dan Masha dalam Sadulloh (2011:179) memberikan deskripsi guru kontruktivisme sebagai berikut: Jack Wilson adalah guru kelas satu di Lincoln, Nebraska. Ia kesehariannya mengajarkan membaca pada sekelompok anak yang maju dengan cukup baik. Kendatipun demikian, ia prihatin bahwa mereka tidak memiliki kesulitan memecahkan kata-kata baru kecualai kalau mereka tidak dapat membayangkan maknanya dari konteks. Jika mereka mampu membayangkan apa yang dimaksud kata-kata itu dari potongan 94 kalimatnya, mereka tampaknya tidak memiliki kesulitan menggunakan prinsip-prinsio yang telah mereka pelajari untuk memahami kata-kata tersebut. Ia menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki kintrol penuh atas konsep dan prinsip analis fonetik dan struktural. Ia merencanakan aktivitas-aktivitas yang dirancamg untuk membantu mereka mengembangkan konsep-konsep tentang bagaimana kata-kata disusun dan menggunakan pengetahuan itu dlaam memecahkan kata-kata yang tidak diketahui mereka. Jack memperesiapkan sekantung kartu yang masing-masing memiliki sebuah kata. Ia memilih kata-kata yang memiliki prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran), dan ia sengaja menyimpan kata- kata yang memiliki akar kata yang sama namun awalan dan akhiran yang berbeda. Ia mengambil prefiks dan sufiks karena prefiks dan sufiks adalah karakteristik struktural kata yang terkenal dan mudah diidentifikasi. Ketika kelompok siswa itu berkumpul pada Senin pagi, Jack memberikan beberapa kartu pada masing-masing anak. Ia menyimpan sisanya dna menghitung secara bertahap peningkatan jumlah informasi yang diperoleh siswa. jack meminta masing-masing siswa membaca sebuah kata pada salah satu kartu tersebut dan menggambarkan sesuatu mengenai kartu tersebut. Siswa yang lainnya dapat menambahkan gambaran lainnya. Dengan cara ini, properti-properti struktural dari kata menarik perhatian siswa. diskusi-diskusi membahas karakteristik-karakteristik seperti konsonan-konsonan awal yang dimulai dengan “s”, vokal, pasangan konsonan, dan sebagainya. Setelah para siswa akrab dengan bermacam-macam kata, Jack meminta mereka untuk mengelompokkan kata-kata tersebut. Para siswa mulai mempelajari kartu-kartu mereka, dengan menilik-nilik kartu tersebut mereka memilah-milah keumuman kata-kata tersebut. Ketika para siswa selesai memilah-milah kata, Jack meminta mereka untuk berbicara mengenai masing-masing kategori yang menceritakan apa yang dimiliki kartu-kartu secara umum. Secara sedikit demi sedikit, para siswa dapat menemukan prefiks dan sufiks utama dan memikirkan mengenai makna prefiks dan sufiks tersebut. Kemudian ia memberi mereka kalimatkalimat yang didalamnya kata-kata yang tidak ada dalam bungkus kartu yang diawali dan siakhiri oleh prefiks dan sufiks dan meminta mereka untuk membayangkan makna-makna dari kata-kata tersebut, dengan menerapkan konsep-konsep yang telah mereka bentuk untuk membantu mereka membuka makna-makna kata tersebut.Aktivitas induaktif dilanjutkan beberapa kali, dengan memilih kumpulan kata yang berbeda. Jack mengarahkan para siswa melalui kategori-kategori konsonan dan bunyi-bunyi vokal serta struktur yang mereka butuhkan untuk memecahkan kata-kata yang tidak dikenal. 95 Berdasarkan dari pendapat di atas dapat disimpulkan poter guru kontruktivisme adalah Pembelajaran yang menghasilkan perkembangan komunitas belajar yang mempunyai tujuan difasilitasi oleh guru sebagai seorang pemimpin konstruktivis. Dalam kepemimpinan seperti ini, kita belajar dalam suatu model konstruktivis. Dalam model ini, kita mulai dengan tujuan, keyakinan, asumsi dan pengalaman. Kita mendasarkan diri kita sendiri pada siapa diri kita dan memperhatikan tempat di mana kita berada, sehingga kita bersama-sama dapat menemukan cara berada yang baru. Di sini, seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran yang memungkinkan partisipan dalam suatu komunitas untuk mengkonstruksikan makna bersama-sama yang mengarah pada tujuan pembelajaran yang dishared. Hal ini terlaksana dalam proses pembelajaran partisipatori. 3. Psikologi Behaviorisme Pelopor dan Teori Belajar Behaviorisme Menurut Mikarsa (2007:63) tokoh behaviorisme antara lain J.B. Watson, Thorndike, dan B.F. Skinner mereka begitu yakin dengan teori stimulus responnya, yaitu: Ia memandang bahwa perilaku manusia sebagai hasil pembentukkan melalui kondisi lingkungan. Perilaku individu dapat dibentuk sesuai dengan kehendak lingkungan. Bagi Watson, tampaknya lingkungan meerupakan segalanya. Pendidikan pun dianggap sebagai pembentuk perilaku manusia. Bahkan J.B. Watson sesaat setelah melakukan penelitian terhadap bayi Albert, pernah melontarkan kalimat yang sangat bombastic “beri aku bayi, selanjutnya terserah dapat dibentuk mau jadi apa saja”. Watson berkeyakinan bahwa manusia itu dibentuk, bukan dilahirkan. Tetapi Watson mendapat reaksi pahit dari masyarakat Amerika waktu itu. 96 ketakutan masyarakat tidak mau menyekolahkan anaknya karena takut dijadikan orang gila, pemabuk dan sebagainya. Menurut Ivan Pavlov dalam Mikarsa (2007:64), seorang bangsa Rusia mengemukakan teori conditioning-nya, yaitu: Percobaan pengkondisiannya dilakukan kepada seekor anjing. Percobaannya terkenal dengan sebutan clasical conditioning. Dalam clasical conditioning, binatang yang bersangkutan tidak memiliki kontrol terhadap reinforcement serta respon yang dihasilkan. Reinforcement diberikan sebelum respons yang diharapkan terjadi untuk menghasilkan respons yang diinginkan. Tokoh teori belajar lainnya ialah Burrhus Frederick Skinner dalam Mikarsa (2007:64), ia dikenal dengan teori operand conditioning-nya. Menurut teorinya suatu respons seseorang dapat menjadi stimulus bagi orang itu. mislanya, si A disuruh mengambil buku ke Perpustakaan (respons). Bersamaan dengan mengambil buku, ia pun mengembalikan buku yang pernah ia pinjam dari Perpustakaan (respons dari respons). Jadi, mengambil buku menjadi stimulus bagi mengembalikan buku. Bersamaan dengan resahnya masyarakat karena Watson tersebut, Thorndike dalam Mikarsa (2007:64) mencuatnya gema teori belajarnya, yang tidak kalah gaungnya dengan teori Watson, yaitu teori belajar Thorndike yang fundamental bahwa belajar lebih bersifat meningkat bertahap (incremental) ketimbang karena hadirnya insight (pemahaman). Artinya belajar terjadi melalui langkah-langkah kecil yang sistematis daripada sebuah lompatan yang besar. Sebelum tahun 1930-an, Thorndike terkenal dengan hukum-hukum belajarnya, 97 yaitu : 1) hukum kesiapan, 2) hukum latihan, 3) hukum akibat, 4) respons berganda, 5) sikap, 6) elemen-elemen prapotensi, 7) respon dengan analogi dan 8) pergeseran asosiatif. Setelah tahun 1930-an Thorndike meralat beberapa hukum belajarnya. Hukum belajar yang dilaratnya yaitu hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat. Menurutnya, low of use (hukum keterpakaian) sebagian dari hukum latihan, yang menyatakan bahwa pengulangan suatu perilaku pada praktiknya terkadang tidak akurat. Dalam revisi hukum akibat, Thorndike menyatakan bahwa reinforcement akan menguatkan hubungan, sedangkan hukuman tidak akan berpengaruh pada kekuatan hubungan. Contoh, peserta didik yang salah dalam mengerjakan tugas dihukum berdiri oleh gurunya belum tentu membuatnya mempelajari kembali dengan baik tugas tersebut. Sebaliknya peserta didik yang baik dalm mengerjakan tugasnya diberi penguatan (reinforcement) berupa pujian, misalnya sangat mungkin peserta didik tersebut akan semakin sungguh-sungguh dalam belajarnya. Menurut Ivan Pavlov dalam Mikarsa (2007:64), seorang bangsa Rusia mengemukakan teori conditioning-nya, yaitu percobaan pengkondisiannya dilakukan kepada seekor anjing. Percobaannya terkenal dengan sebutan clasical conditioning. Dalam clasical conditioning, binatang yang bersangkutan tidak memiliki kontrol terhadap reinforcement serta respon yang dihasilkan. Reinforcement diberikan sebelum respons yang diharapkan terjadi untuk menghasilkan respons yang diinginkan. 98 Tokoh teori belajar lainnya ialah Burrhus Frederick Skinner dalam Mikarsa (2007:64), ia dikenal dengan teori operand conditioning-nya. Menurut teorinya suatu respons seseorang dapat menjadi stimulus bagi orang itu. mislanya, si A disuruh mengambil buku ke Perpustakaan (respons). Bersamaan dengan mengambil buku, ia pun mengembalikan buku yang pernah ia pinjam dari Perpustakaan (respons dari respons). Jadi, mengambil buku menjadi stimulus bagi mengembalikan buku. Berdasarkan dari pendadapat di atas dapat disimpulkan Aliran behaviorisme dalam psikologi sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang apat di amati. Psikologi yang juga merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan pada perilaku manusia, perbuatan, dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah. 4. Psikologi yang Melandasi Kurikulum 2013 Pendidikan berkaitan dengan tingkah laku manusia. Oleh karena itu, hadirnya pendidikan diharapkan dapat merubah tingkah laku para siswa menuju kedewasaannya, baik secara fisik, mental/intelektual, moral, dan sosialnya. Melalui kurikulum, diharapkan dapat membentuk watak anak/siswa yang berperilaku baru yang berupa kemampuan-kemampuan aktual dan potensial dari para siswa serta kemampuan-kemampuan baru yang berbudi pekerti dalam waktu yang relatif lama sebagai karakter budaya bangsa Indonesia. Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental, emosional, moral, 99 intelektual, maupun sosial. Perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor dari luar program pendidikan atau lingkungan. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Menurut Syamsu Yusuf (2005:23-27) menguraikan karakteristik tahaptahap perkembangan individu yang digambarkan sebagai berikut : a. Masa usia pra sekolah 0-6 tahun 1) Masa vital, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk merespon berbagai hal yang terdapat di lingkungannya. 2) Masa estetik adalah masa berkembangnya rasa keindahan dan masa peka bagi anak untuk memperoleh rangsangan (stimulasi) melalui seluruh indranya. b. Masa usia sekolah dasar 6-12 tahun Fasa ini disebut periode intelektual, pada masa ini anak-anak lebih mudah diarahkan diberi tugas yang harus diselesaikan dan berbagai kebiasaan. c. Masa usia sekolah menengah 12-18 tahun Masa usia menengah bertepatan dengan masa remaja. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa. d. Psikologi Belajar dan Pengembangan Kurikulum Pendekatan terhadap belajar berdasarkan suatu teori tertentu merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaannya berkaitan dengan aspek-aspek dan akibat yang mungkin ditimbulkannya. Ada tiga teori belajar yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan kurikulum di indonesia, antara lain : 1) Teori psikologi kognitif (kognitivisme); 2) Teori psikologi humanistic. 3) Teori psikologi behavioristic. Menurut Syaodih (2010:24) bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperluka, baik di dalam merumuskan 100 tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. Berdasarkan penjelasan di atas kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang social-budaya, juga karena perbedaan factor-faktor yang dibawa dari kelahirannya.Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu yang lainnya.Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya. 5. Psikologi Perkembangan Anak a. Definisi Peserta Didik Mengenai definisi peserta didik, ada banyak pendapat yang dijadikan sebagai rujukan di antaranya: Menurut Desmita (2012:39), peserta didik adalah sejenis makhluk “homo educandum”, makhluk yang menghajatkan pendidikan. Sedangkan menurut Arifin dalam Desmita (2012:39), peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Berkenaan dengan peserta didik menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4 dalam Desmita 101 (2012:39), peserta didik diartikan sebagai anggota masyrakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan pendidikan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi tentang peserta didik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik. Potensi-potensi khas yang dimilkinya ini perlu dikembangkan. b. Karakteristik Anak Sekolah Dasar Anak sekolah dasar memiliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri diantaranya sebagai berikut: Menurut Dasmita (2014:35) karakteristik anak sekolah dasar yaitu seseorang yang usia rata-rata Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-7 tahun), dan masa kanakkanak akhir (10-12 tahun). Anak sekolah dasar senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Sedangkan menurut Dewantara (2013:9) karakter itu terjadi karena perkembangan dasar yang telah terkena pengaruh ajar. Menurut Triyanto dalam Kurniawan (2011:71) karakteristik belajar usia Sekolah Dasar yaitu secara 102 umum anak belajar konkret, integratif, dan hierarkis. Penjelasannya yaitu sebagai berikut: 1. Konkret Dalam belajar masih ersifat konkret yaitu kemampuan abstraknya belum berkembang. Sehingga materi ajar perlu dibuat konkret atau bisa diamati oleh panca indra (penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, termasuk aktivitas motorik) 2. Integratif Pandangan bersifat general, melihat sesuatu secara keseluruhan. Artinya ketika melihat dan mempersepsi suatu objek akan dilihat besarannya, tidak analisis bagian per bagian. Dalam istilah Dewey, karakterisktik ini adalah wholistic. 3. Hierarkis Yaitu berpikir secara bertahap dari hal sederhana menuju ke hal yang kompleks atau dari mudah ke menuju sulit. Dengan demikian, maka dalam pengorganisasian materi pelajara perlu memepertimbangkan urutan logis (terutama urutan psikologis dari mudah menuju rumit), keterkaitan antar materi, cakupan keluasan dan kedalaman materi. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik peserta didik usia Sekolah Dasar yaitu masih berpikir secara konkret (bukan abstrak), siswa masih berpikir sesuai dengan apa yang dilihat, dirasakan dan didengarnya. Selain itu siswa berpikir secara bertahap, dari hal yang sederhana menuju rumit. Serta siswa masi bergantung kepada orang dewasa, maka dari itu, orang dewasa harus mampu membantu siswa dalam kegiatannya. c. Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar Mengenai definisi perkembangan anak, ada banyak pendapat yang dijadikan sebagai rujukan di antaranya: Menurut Hawadi dalam Desmita (2012:9), “perkembangan secara luas menunjuk pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Di 103 dalam istilah perkembangan juga mencakup konsep usia, yang diawali dari saat pembuahan dan berakhir dengan kematian”. Menurut F.J.Moks, dkk dalam Desmita (2012:9), pengertian perkembangan menunjuk pada “satu proses ke arah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali.” Sedangkan menurut Chaplin dalam Desmita (2012:8) mengartikan perkembangan sebagai: 1. Perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati; 2. Pertumbuhan; 3. Perubahan dalam bentuk dan dalam integrasi dari bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional; 4. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dan tingkah laku yang tidak dipelajari. Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa definisi di atas adalah bahwa perkembangan anak tidaklah terbatas pada pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan di dalamnya juga terkandung suatu perubahan yang berlangsung secara terus menerus baik jasmaniah maupun rohaniah yang dimiliki anak. Tahapat perkembangan anak menurut ahli teori psikoanalisa dan sekaligus seorang pendidik, Erik H.Erikson dalam Sumantri (2007:111) mengemukakan bahwa perkembangan manusia adalah sintesis dari tugas-tugas sosial. Erik H. Erikson mengemukakan bahwa perkembangan afektif merupakan dasar 104 perkembangan manusia. Erikson melahirkan teori perkembangan afektif yang terdiri atas 8 tahap, yaitu: 1. Trust vs Mistrus/kepercayaan dasar (0;0 – 1;0) Bayi yang kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahanya segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaik-baiknya, diajak main dan bicara, akan tumbuh perasaanya bahwa dunia ini adalah tempat yang aman dengan orang-orang disekitarnya yang selalu bersedia menolong dan dapt dijadikan tempat ia menggantungkan nasibnya. Jika pemeliharaan terhadap bayi itu tidak menetap, tidak memadai sebagaimana mestinya, serta terkandung di dalamnya sikapsikap menolak, akan tumbuhlah pada bayi itu rasa takut serta ketidakpercayaaan secara mendasar terhadap orang-orang disekitarnya. Persaaan ini akan terus dibawa-bawa pada tingkat perkembangan berikutnya. 2. Autonomy vs Shame and Doubt/otonomi (1;0 – 3;0) Pada tahap ini Erikson melihat munculnya automy. Dimensi automy ini timbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak. Pada tahap ini, bukan hanya berjalan, tetapi juga memanjat, menutup membuka, menjatuhkan, menarik dan mendorong, memegang dan melepaskan. Anak sangat bangga dengan kemampuannya ini dan ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari bahwa anak butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai dengan kemampuannya menurut langkah dan waktunya sendiri. anak kemudian akan mengembankan perasaaanya bahwa ia dapat mengendalikan otot-ototnya, dorong-dorongannya serta mengendalikan diri dan lingkungannya. Jika orang dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar dan selalu membantu mengerjakana segala sesuatu yang sesungguhnya dapat dikerjakannya sendiri oleh anak itu, maka akan tumbuh pada anaak itu rasa malu-malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlalu melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan anak-anak berarti telah memupuk rasa malu dan rasa ragu yang berlebihan sehingga anak tidak dapat mengendalikan dunia dan dirinya sendiri. Jika anak meninggalkan masa perkembangan ini dengan autonomi yang lebih kecil daripada rasa malu dan ragu, ia akan mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomi pada masa remaja dan masa dewasanya. Sebaliknya anak yang dapt melalui masa ini dengan adanya keseimbangan serta dapat mengatasi rasa malu dan rasa ragu dengan rasa autonomus, maka ia sudah siap menghadapi siklus-siklus kehidupan berikutnya. Namun dengan demikian keseimbangan yang diperoleh pada masa ini dapat berubah ke arah positif maupun negatif oleh peristiwa-peristiwa di masa selanjutnya. 105 3. Initiatives vs Guilt/inisiatif (3;0 – 5;0) Pada masa ini anak sudah menguasai badan dan geraknya. Ia dapat mengendarai sepeda roda tiga, dapat lari, memotong. Inisiatif anak akan lebih terdorong dan terpupuk bila orang tua memberi respons yang baik terhadap keinginan anak untuk bebas dalam melakukan kegiatan-kegiatan motoris sendiri dan bukan hanya bereaksi meniru anak-anak lain. Hal yang sama terjadi pada kemampuan anak untuk menggunakan bahasa dan kegiatan fantasi. Dimensi pada tahapa ini memiliki dua ujung: inititive <- -> guilt. Anak yang diberi kesempatan dan kebebasan untuk berinisiatif pada permainan motoris serta mendapat jawaban yang memadai darin pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya (intelectual inititive). Maka inisiatifnya akan berkembang dengan pesat. 4. Industry vs Inferiority/produktifitas (6;0 – 11;0) Anak mulai mampu berpikir deduktif, bermain dan belajar menurut peraturan yang ada. Dimensi psikososial yang muncul pada masa ini adalah: Sense of industry --ïƒ sense of inferiority Anak didorong untuk melakukan, membuat dan mengerjakan dengan benda-benda yang praktis dan mengerjakannya sampai selesai sehingga menghasilkan sesuatu. Berdasarkan hasilnya mereka dihargai dan dimana perlu diberi hadiah. Dengan demikian rasa/sifat ingin menghasilkan sesuatu dapat dikembangkan. Pada usia anak sekolah dasar ini dunia anak bukan hanya sekedar lingkungan rumah saja tetapi mencakup juga lembaga-lembaga ain yang mempunyai peranan penting dalam perkembnagan individu. Pengalaman-pengalaman sekolah anak mempengaruhi Industry dan Inferiority anak. Anak dengan IQ 80 atau 90 akan mempunyai pengalaman sekolah yang kurang memuaskan walaupun sifat industri dipupuk dan dikembangkan di rumah. Ini dapat menimbulkan rasa inferiority (rasa tidak mampu). Keseimbangaan industry dan inferiority bukan hanya bergantung kepada orang tuanya, tetapi juga dipengaruhi oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu. 5. Identity vs Role Confusion/identitas (12;0 – 18;0) Pada saat ini anak sudah menuju kematangan fisisk dan mental. Ia mempunyai perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan tubuhnya. Pandangan dan pemikirannya tentang dunia sekelilingnya mengalami perkembangan. Ia mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain. ia berpikir pula apa yang dipikirkan orang lain tentant dirinya. Ia mulai mengerti tentang keluarga ideal, agama, dan masyarakat, yang dapat diperbandingkannya dengan apa yang dialaminya sendiri. Menurut Erikson pada tahap ini dimensi interpersonal yang muncul adalah: 106 ego ---ïƒ role confusion Pada masa ini remaja harus mampu mengintegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajarinya tentang dirinya sebgaai anak, siswa, teman, anggota keluarga dan lain sebagainya menjadi suatu kesatuan sehinbga menunjukkan kontinuitas dengan masa lalu dan siap menghadapi nasa datang. Peran orang tua yang pada masa lalu berpengaruh secara langsung pada krisis perkembangan, maka pada masa ini pengaruhnya tidak langsung. Jika anak mencapai masa remaja dengan rasa terima kasih kepada orang tua, dengan penuh rasa kepercayaan, mempunyai autonomy, berinisiatif, memiliki sifat-sifat industri, maka kesempatanya kepada ego identiti sudah berkembang. 6. Intimacy vs Isolation/ keakraban (19;0 – 25;0) Yang dimaksud dengan intimacy oleh Erikson selain hubungan antara suami istri juga kemampuan untuk berbagai rasa dan memperhatikan orang lain. pada tahap inipun keberhasilan tidak bergantung secara langsung kepada orang tua. Jika intimacy ini tidak terdapat diantara sesama teman atau sumi isteri, menurut Erikson, akan terdapat apa yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain untuk berbagi rasa dan saling memperhatikan. 7. Generavity vs Self Absorption/generasi berikut (25;0-45;0) Generavity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup. Generavity ini bukan hanya terdapat pada orang tua (ayah dan ibu), tetapi terdapat pula pada individu-individu yang secara aktif memikirkan kesejahteraan kaum muda serta berusaha membuat tempat kerja yang lebih baik untuk mereka hidup. Orang yang tidak berhasil mencapai generavity berarti ia berada dalam keadaan self absorption dengan hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan pribadinya saja. 8. Integrity vs Despair/integritas (45;0 - ...) Pada tahap ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati kelengkapan dan merupaka masa-masa untuk menikmati pergaulan dengan cucu. Integrity timbul dari kemampuan individu untuk melihat kembali kehidupannya yang lalu dengan kepuasan. Sedangkan sebaliknya adalah despair yaitu keadaan dimana individu yang menengok ke belakang dan meninjau kembali kehidupannya masa lalu sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah serta disadarinya bahwa jika ia memulai lagi sudah terlambat. Tahapan perkembangan afektif manusia merupakan perpaduan dari tugas-tuga perkembangan dan tugas-tugas sosial. Perkembangan afektif merupakan suatu tahapan yang dapat berpengaruh secara positif maupun negatif terhadap tahap berikutnya. Jika anak mencapai tahap 107 ketiga yang bergaul dengan anak bukan hnaya orang tuanya saja melainkan juga dengan orang dewasa lainnya di sekolah, yaitu guru. Guru yang membimbing dan mengasuh peserta didiknya pada berbagai aspek tingkat kelas perlu memahami dan menyadari sikap, kebutuhan dan perkembangan mereka. Menurut Piaget dalam Sumantri (2007: 114) proses anak sampai mampu berpikir seperti orang dewasa melalui empat tahap perkembangan, yakni: 1. Tahap sensori motor (0 - 2 tahun) Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup gejala yang diterima secara langsung melalui indra. Pada saat anak mencapai kematangan dan mulai memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya dengan menerapkannya pada objek-objek yang nyata. Anak mulai memahami hubungan antara benda dengan nama yang diberikan kepada benda tersebut. 2. Tahap praoperasional (2 - 7 tahun) Pada tahap ini perkembangan sangat pesat. Lambang-lambang bahasa yang dipergunakan untuk menunjukkan benda-benda nyata bertambah dengan pesatnya. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan intuisi, bukannya berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari suatu keseluruhan yang besar. Menurut pendapat mereka pesawat terbang adalah benda kecil yang berukuran 30 cm, karena hanya itulah yang nampak pada mereka saat mereka menengadah dan melihatnya terbang di angkasa. 3. Tahap operasional konkrit (7 - 11 Tahun) Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini.mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini permasalahan yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkret. Pada tahap ini anak akan menemui kesulitan bila diberi tugas sekolah yang menuntutnya untuk mencari sesuatu yang tersembunyi dari suatu kata dalam tulisan tertentu. Mereka menyukai soal-soal yang tersedia jawabannya. 4. Operasional formal ( 11-15 tahun) Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat mengaplikasikannya cara berpikir terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang abstrak maupun yang konkret. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide, berpikir tentang masa depan secara realistis. 108 Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan peserta didik usia SD berkisar antara 7-11 tahun, pada usia ini, permasalahan yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkret, serta siswa masih dipengaruhi oleh orang-orang dewasa lain yang berhubungan dengan anak itu. Sebelum menekuni tugasnya membimbing dan mengajar, guru atau calon guru sebaiknya memahami teori Piaget atau ahli lainnya tentang pola-pola perkembangan kecerdasan peserta didik. Dengan demikian mereka memiliki landasan untuk mengembangkan harapan-harapan yang realistik mengenai perilaku peserta didiknya. d. Jenis-jenis Perkembangan Anak Sekolah Dasar Menurut Mikarsa (2007:38) perkembangan anak usia Sekolah Dasar diantaranya yaitu perkembangan minat, bakat, serta kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dengan memahami bagaimana perkembangan anak usia Sekolah Dasar tersebut, maka guru dapat merancang suatu pengajaran yang sesuai bagi anak usia Sekolah Dasar. Perkembangan anak Usia Sekolah Dasar diantaranya: 1. Perkembangan minat Seorang anak tidak lahir dengan minat tertentu, teori Tabula Rasa menunjukkan bahwa anak lahir laksana kertas putih yang kosong, yang belum diisi dengan berbagai hal. Dengan demikian, minat tidak ada sejak lahir karena minat berkembang melalui pengalaman belajar. Sejalan dengan makin meluasnya cakrawala mental anak maka minatminatnya pun akan berkembang. Minat dapat dipelajari melalui berbagai cara, yaitu: a) Trial and error (coba ralat) Dengan mencoba-coba secara tidak langsung akan timbul minat terhadap sesuatu, seperti anak yang baru belajar sepeda. Jika ia sudah mahir, ia akan gemar bersepeda. Kegemaran atau minat bermain sepeda 109 b) 1. 2. 3. akan lebih kuat jika mendapat bimbingan dari lingkungan (khususnya mendapat arahan dari orang-orang yang berarti bagi anak). Tumbuhnya minat pada anak akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama. Proses identifikasi pada orang yang dicintai (misalnya ayah atau ibu) Anak yang menyukai atau berminat membaca sangat mungkin dikarenakan ia melihat ayah dan ibunya senang membaca. Ibu yang senang menonton sinetron di televisi tanpa disengaja dapat menjadi model/contoh yang kuat bagi anak untuk turut juga berminat menonton televisi. Pengaruh tokoh identifikasi ini makin lama makin berkurang begitu anak menginjak usia dewasa karena bukan hanya keluarga yang berpengaruh pada anak tetapi juga peran kelompok teman sebaya. Jika hal ini terjadi pada anak, tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam diri anak. Dari berbagai penelitian mengenai perkembangan dan perbedaan individu dalam minat, Renninger dalam Mikarsa (2007: 39) menyimpulakna sebagai berikut: Jika ditinjau dari sedut pandang perkembanga, pada usia pra sekolah, yaitu usia 3-4 tahun, umumnya anak-anak memiliki minat yang secara relatif stabil dan minat mereka berhubungan dengan pemilihan kegiatan belajar mengajar mereka. Minat berperan besar dalam mengarakan dan membimbing tingkah laku pada masa kanak-kanak untuk menghadapi sejumlah tugas daripada pada masa kanak-kanak akhir dan dewasa. Pada anak yang lebih tua dan memasuki masa dewasa, umumnya menyeleseikan tugas yang tidak diminati dan kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pilihan lain terhadap tugas-tugas ini. Dalam hal ini, minat memiliki pengaruh diferensial tergantung dari tugas dan isinya. Sebagai contoh pada anak SD tingkat akhir, tugas membaca justru memiliki pengaruh yang lebih kuat daripada menulis. Tampaknya peran dari minat dalam belajar dapat bervariasi tergantung pada usia anak. Jika ditinjau dari perbedaan perkembangan minat, menunjukkan bahwa minat anak pada sekolah dan tugas-tugas sekolah akan berkurang sejalan dengan usia mereka. Menurut Mikarsa (2007:39) untuk mengetahui bagaimana minat seseorang berkembang, perlu diketahui aspek-aspek berikut ini: 1. Aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berkaitan dengan pengalaman seseorang. Pengalaman yang telah diperoleh dari rumah, sekolah, masyarakat dan massa berbeda. Dari semua pengalaman inilah anak belajar apa yang dapat dan tidak memuaskannya. Sedangkan aspek afektif atau yang berkaitan dengan suasana hati, merupakan konsep yang diekspresikan 110 dalam sikap melalui kegiatan yang diminatinya, aspek afektif juga berkembang dari pengalaman dan sikap orang-orang di sekitarnya. Bagi seorang anak, pengalaman yang menyenangkan dengan guru akan menumbuhkan sikap positif pada sekolah. Aspek kognitif dan aspek afektif juga berperan dalam menentukan kegiatan yang akan dilakukan atau tidak dilakukan maupun tipe penyesuaian diri pada lingkungan. Dalam beberapa hal aspek afektif lebih penting daripada aspek kognitif, khususnya dalam memotivasi diri agar minat lebih bertahan. Menurut Mikarsa (2007: 31) dikatakan bahwa minat berkembang melalui proses belajar. Perkembangan minat memiliki karakteristik tertentu, yaitu sebagai berikut: 1. Minat berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental; 2. Minat sangat bergantung pada kesiapan belajar; 3. Mibat bergantung pada kesemoatan untuk belajar, dan kesempatan belajar bergantung pada lingkungan serta minat dari anak maupun orang dewasa di sekitarnya; 4. Perkembangan minat mungkin saja terbatas, tergantung dari kemampuan fisik, mental, serta pengalaman sosial anak; 5. Minat dipengaruhi oleh budaya karena anak belajar dan memperoleh pengalaman melalui keluarga, guru dan orang dewasa lain yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh beudaya; 6. Minat dingaruhi oleh faktor emosi/suasana hati, jika suasana hati kita sedang gundah, minat pada sesuatu juga berkurang, demikian juga sebaliknya; 7. Minat bersifat egosentris, hal ini bisa dilihat pada masa kanakkanak. 2. Perkembangan bakat Sebagaimana halnya minat, bakat setiap orang berbeda-beda dalam jenis maupun kadarnya. Dalam masa pertumbuhannya bila bakat anakanak tidak terwujud secara nyata maka hal ini mungkin disebabkan oleh orang tua, guru, ataupun sekolah dan pergaulan. Menurut Utami Munandar dalam Sukarsa (2007: 32) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menentukan sejauh mana bakat anak terwujud, faktor-faktor tersebut anatara lain: a) Faktor dalam diri anak Bagaimana minat anak pada sesuatu, seberapa besar keinginan anak untuk mewujudkan bakatnya dala prestasi, misalnya anak yang berbakat melukis mengikuti suatu kompetensi melukis di sekolah karena ia ingin menjadi juara, seberapa besar keuletan anak menghadapi tantangan dan bagaimana motivasinya. b) Faktor keadaan lingkungan anak Seberapa jauh anak mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya, sarana dan prasarana yang tersedia, 111 c) 4. a. b. c. 5. a. b. c. d. berapa besar dukungan dan dorongan orang tua, bagaimana keadaan sosial ekonomi orang tua maupun tempat tinggalnya. Dengan demikian, seperti halnya minat, maka tidaklah berlebihan jika peran orang tua dan guru di sekolah turut mendorong dan mendukung bakat anak terhadap sesuatu hal. Tampaknya pihak lingkunga perlu menyadari bahwa pada masa sekarang ini segi intelektual bukanlah satu-satunya kemampuan yang penting dan harus dimiliki oleh anak. Perwujudan bakat dalam presetasi pun merupakan merupakan hal yang patut dikembangkan dalam kehidupan anak. Perkembangan kecerdasan intelektual dan emosional pada anak Kecerdasan Intelektual Menurut Mikarsa (2007:34) tingkat kecerdasan atau intelegensi seseorang ditentukan oleh bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tuanya) maupun oleh lingkungan yang berupa pengalaman dan pendiidkan yang pernah diperoleh seseorang, khususnya pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya. Sedangkan menurut Utami Munandar dalam Mikarsa (2007:34) mengemukakan bahwa kecerdasan intelektual dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk: Berpikir abstrak. Menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar. Menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru. Kecerdasan emosional Menurut Goleman dalam Mikarsa (2007:34) kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk dapat memotivasi diri sendiri dan tekun dalam menghadapi frustasi, mengontrol dorongan-dorongan implusif (dorongan yang timbul berdasarkan suasan hati) dan mampu menunda pemuasannya, mengatur suasana hati sehingga tidak mempengaruhi kemampuan berpikir dan berempati. Goleman dalam Mikarsa (2007:34) mengemukakan 5 norma kecerdasan emosional, yaitu: Pengenalan emosi diri, menunjukkan kesadaran diri atau pengenalan terhadap perasaan yang dialami sehingga mampu mengendalikan kehidupannya. Pengendalian emosi, menunjukkan bagaiman kemampuan untuk mengendalikan emosi yang terlalu dalam yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan seseorang agar dapat mencapai keseimbangan. Memotivasi diri sendiri, yaitu mengatur emosi penting agar seseorang dapat memusatkan perhatian dan memotivasi diri menjadi kreatif dan berusaha untuk mencapai cita-cita atau tujuan. Mengenali emosi orang lain, yaitu mampu membaca tanda-tanda nonverbal dan menegrti perasaan orang lain sehingga mampu 112 menyesuaikan sikap dan tindakan dengan kecenderungan yang ditampilkan orang lain. e. Mengendalikan hubungan dengan orang lain, yaitu kemampuan untuk menjaga hubungan dengan sesama maupun mengenali emosi setiap orang serta menegndalikannya. Sudah tentu ada perbedaan kemampuan yang berkaitan dengan norma-norma tersebut dalam diri setiap orang. Ada diantara kita yang mampu mengendalikan kecemasan orang lain, dan ada pula yang kurang mampu mengatasi kesedihan orang lain. walau bagaimanapun orang yang secara emosional cakap, yang memahami dan mampu menangani perasaannya dan mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif akan memiliki keuntungan dan kebahagiaan tersendiri dalam kehidupannya. Sedangkan menurut Desmita (2014:38) jenis perkembangan anak sekolah dasar yaitu: 1. Perkembangan fisik Pertumbuhan fisik pada masa ini lambat dan relatif seimbang. Peningkatan berat badan anak lebih banyak dari pada panjang badannya. Peningkatan berat badan anak terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka, otot dan ukuran beberapa organ tubuh lainnya. 2. Perkembangan motorik Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak-anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan ketrampilan motorik, anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll. 3. Perkembangan kognitif Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur – angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benarbenar berada pada stadium belajar. Menurut teori Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka 113 4. 5. 6. 7. 8. tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Perkembangan memori Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan-keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Perkembangan pemikiran kritis Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif. Perkembangan kreativitas Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah. Perkembangan bahasa Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang katakata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Perkembangan psikosial Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing (kompetitif), kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan dan belajar peraturan – peraturan yang berlaku. Dalam hal ini proses sosialisasi banyak terpengaruh oleh guru dan teman sebaya. Identifikasi bukan lagi terhadap orang tua, melainkan terhadap guru. Selain itu, anak tidak lagi bersifat egosentris, ia telah mempunyai jiwa kompetitif sehingga dapat memilah apa yang baik bagi dirinya, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan mulai melakukan identifikasi terhadap tokoh tertentu yang menarik perhatiannya. 114 9. Perkembangan pemahaman diri Pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal. 10. Perkembangan hubungan dengan keluarga Dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial. 11. Perkembangan hubungan dengan teman sebaya Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Hal ini karena anak mempunyai kenginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan jenis-jenis perkembangan anak sekolah dasar yaitu terdiri dari perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan motorik, perkembangan kognitif, perkembangan memori, perkembangan pemikiran kritis, perkembangan pemikiran kritis, perkembangan kreativitas, perkembangan bahasa, perkembangan psikosial, perkembangan pemahaman diri, perkembangan hubungan dengan keluarga, perkembangan hubungan dengan teman sebaya. 6. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) a. Definisi Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning) Mengenai pengertian pembelajaran PBL, ada banyak pendapat yang dijadikan sebagai rujukan. Inilah beberapa tokoh (ahli) tentang definisi atau pengertian pembelajaran model PBL: 115 Menurut Bound dan Feletti (Sitiatava Rizema, 2013:64), “the basic principle supporting the concept of PBL is older than formal education itself; learning is initiated by a posed problem, query, or puzzle that the learner want to solve”. Pendapat Bound ini jika diterjemahkan mengandung arti bahwa prisip dasar yang mendukung konsep PBL lebih tua daripada pendidikan formal itu sendiri. Belajar diprakarsai dengan adanya masalah, pertanyaan, atau permainan puzzle yang akan diselesaikan oleh siswa secara kreatif. Sedangkan menurut Sitiatava Rizema (2013:67), model pembelajaran PBL menekankan keaktifan siswa. Dalam model ini siswa di tuntut aktif dalam memecahkan suatu masalah (problem). Model tersebut bercirikan pengguanaan masalah kehidupan nyata sebagai suatu yang harus dipelajari oleh siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kristis sekaligus pemecahan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep – konsep penting. Berkenaan dengan model pembelajaran PBL menurut Arends dalam Ridwan, (2013:138), pembelajaran berbasis masalah (PBL) akan membantu peserta didik untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan mengatasi masalah, mempelajari peran – peran orang dewasa, dan menjadi pembelajaran kreatif. Gambar 2.2 Hasil Belajar dan Pembelajaran Berbasis Masalah Arends (Ridwan, 2013:139) Pembelajaran berbasis Keterampilan penyelidikan dan mengatasi masalah Perilaku dan keterampilan sesuai peran orang dewasa sosial masalah Keterampilan untuk belajar secara rasa ingin tahu dan kreatif 116 Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah model pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa, siswa dituntut untuk aktif dalam pembelajaran dengan cara menyelesaikan masalah (problem) dengan cara guru memberikan suatu permasalahaan untuk dipecahkan oleh siswa, permaslahan tersebut berdasarkan kehidupan nyata. Model problem based learning ini menekankan siswa untuk berpikir kritis supaya siswa mendapatkan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari -hari. b. Karakteristik Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning) Sama halnya dengan model pembelajaran yang lain, Model problem based learning pun memiliki ciri-ciri atau karakteristik tersendiri sehingga terdapat perbedaan yang cukup signifikan dengan pelajaran yang lain. Karakteristik problem based learning itu sendiri dinyatakan oleh Sitiatava Rizema (2013:72) sebagai berikut : 1) Belajar dimulai dengan satu masalah. 2) Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa. 3) Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah bukan disiplin ilmu. 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar. 5) Menggunakan kelompok kecil. 6) Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah dipelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Sedangkan menurut Mohamad Nur (Rusmono, 2012:82) mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran dengan PBL ditandai dengan karakteristik sebagai berikut: 117 1) Siswa menentukan isu – isu pembelajaran; 2) Pertemuan – pertemuan pelajaran berlangsung open – ended dengan masih membuka peluang untuk berbagai ide tentang pemecahan masalah, sehingga memungkinkan pembelajaran tidak berlangsung dalam satu kali pertemuan; 3) Tutor adalah seorang fasilitator dan tidak seharusnya bertindak sebagai “pakar” yang merupakan satu-satunya yang berpusat pada siswa. Karakteristik tutor PBL meliputi : 1) Memilki pengetahuan tentang proses PBL; 2) Memilki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajaran yang di arahkan oleh siswa; 3) Kemampuan membangkitkan lingkungan yang santai dan tidak mengancam sambil terus bertindak mengembangkan diskusi dan berrpikir kritis;dan 4) Kemampuan melakukan evaluasi siswa yang konstruktif dan kinerja kelompok. Sedangkan karakteristik siswa yang belajar dengan strategi pembelajaran dengan PBL yaitu: 1) Hadir dan aktif dalam semua pertemuan; 2) Memilki pengetahuan tentang proses PBL; 3) Memilki komitmen terhadap pembelajaran berpusat pada siswa atau pembelajaran yang di arahkan oleh siswa; 4) Aktif berbatisipasi dalam diskusi dan berpikir kritis sambil memberi konstribusi pada lingkungan yang bersahabat dan tidak mengintimidasi; dan 5) Mempunyai kemampuan untuk melakukan evaluasi konstruktif terhadap diri sendiri, kelompok, dan tutor. Dari pendapat tersebut terlihat bahwa karakteristik model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning sebagai berikut: 1) Dengan model pembelajaran problem based learning adalah model pembelajaran yang berbasi masalah, pembelajaran dimulai dengan adanya suatu masalah yang dimunculkan oleh siswa ataupun guru. 118 2) Masalah – masalah yang ada sesuai dengan materi pembelajaran oleh sebab itu guru membantu siswa untuk mengarahkan siswa, dan masalah tersebut sesuai dengan kehidupan yang nyata peserta didik. 3) Peserta didik berperan aktif dalam proses pembelajaran. 4) Penyelesaian masalah diberikan kepada peserta didik, agar peserta didik dapat memahami atau menyelesaikan dalam kehidupannya. c. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing, hal ini membuktikan bahwa tidak ada model pembelajaran yang terlepas dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Sama halnya dengan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), model ini-pun memiliki kelebihan dan kelemahannya tersendiri. Berikut kelebihan dan kelemahan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) menurut Sitiatava Rizema (2013:82) sebagai berikut: 1) Kelebihan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Model pembelajaran PBL ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya ialah sebagai berikut: a. Siswa lebih memahami konsep yang di ajarkan lantaran ia yang menemukan konsep tersebut. b. Melibatkan siswa secara aktif dalam memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi. c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimilki siswa, sehingga pembelajaran lebih bermakna. 119 d. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran, karena masalah – masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata. Hal ini bisa meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajarinya. e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap sosial yang positif dengan siswa lainnya. f. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinterinteraksi terhadap pembelajaran dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan. g. PBL diyakini pula dapat menumbuhkembangkan kemampuan kreativitas siswa, baik secara individual maupun kelompok, karena hampir di setiap langkah menuntut adanya keaktifan siswa. 2) Kelemahan Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning) Selain berbagai kelebihan tersebut, model PBL juga memilki beberapa kekurangan yakni: a. Bagi siswa yang malas, tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai. b. Membutuhkan banyak waktu dan dana. c. Tidak semua mata pelajaran bisa diterapkan dengan metode PBL. Sedangkan kelebihan dan kelemahan model problem based learning menurut Suyadi (2013:142) sebagai berikut: 1) Kelebihan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning Model pembelajaran PBL ini memiliki beberapa kelebihan di antaranya ialah sebagai berikut: a. Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. b. Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik. 120 c. Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik. d. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. e. Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya, dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang dilakukannya. f. Peserta didik mampu memecahkan masalah dengan suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. g. Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka guna beradaptasi dengan pengetahuan baru. h. Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. i. PBM dapat mengembangkan minat peserta didik untuk mengembangkan konsep belajar secara terus menerus, karena dalam praksisnya masalah tidak akan pernah selesai. Artinya, ketika satu masalah selesai di atasi, masalah lain muncul dan membutuhkan penyelesaian secepatnya. 2) Kelemahan Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning) a. Ketika peserta didik tidak memilki minat tinggi, atau tidak mempunyai kepercayaan diri bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah yang dipelajari mampu menyelesaikan mencoba karena takut salah. b. Tanpa pemahaman “mengapa mereka berusaha” untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelesaikan masalah. c. Proses pelaksanaan PBL membutuhkan waktu yang lebih lama atau panjang. Itu pun belum cukup karena sering kali peserta didik masih memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan. Padahal, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan dengan beban kurikulum yang ada. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kelebihan dan kelemahan model problem based learning yaitu sebagai berikut : 121 a. Dalam pembelajaran dengan model problem based learning sangat baik untuk memahami pembelajaran, pembelajaran akan lebih bermakna. b. Siswa aktif dalam proses pembelajaran karena adanya ketertarikan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung dan pada saat proses pembelajaran siswa belajar sesuai dengan apa yang mereka ketahui sehingga siswa akan lebih termotivasi dalam belajar. c. Siswa akan lebih berkembang pengetahuaannya karena pembelajaran berasal dari pengetahuan yang mereka ketahui dalam kehidupan nyata dan siswa akan berpikir kritis dalam pembelajaran. d. Model problem based learning sulit bagi peserta didik yang tidak memilki minat tinggi dan rasa percaya diri dalam proses pembelajaran dan model problem based learning membutuhkan dana dan waktu yang lama. d. Langkah – Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Model Pembelajaran Bebasis Masalah (Problem Based Learning) Langkah-langkah yang terdapat dalam setiap model pembelajaran digunakan untuk mempermudah guru atau pengguna model dalam mengaplikasikannya pada saat kegiatan belajar mengajar. Pengelolaan kelas menjadi lebih terarah apabila model pembelajaran yang kita gunakan sesuai dengan langkah-langkah dalam model pembelajaran. Sama halnya dengan 122 model pembelajaran problem based learning yang bertitik tolak pada langkahlangkah pada saat model pembelajaran digunakan di dalam kelas. Berkenaan dengan langkah-langkah model dalam suatu pembelajaran khususnya pada model problem based learning Ridwan (2013: 141), menyatakan bahwa langkah-langkah model pembelajaran model problem based learning yaitu: 1) Guru menjelaskan kompetensi yang ingin di capai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan. Guru memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2) Guru menjelaskan logistik yang dibutuhkan, prosedur yang harus dilakukan, dan memotivasi peserta didik supaya terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 3) Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menentukan topik, tugas jadwal, dan lain – lain). 4) Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah. 5) Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan proses – proses yang mereka gunakan. Sedangkan menurut Sitiava Rizema (2013: 72) dalam pengelolaan PBL, ada beberapa langkah utama berikut : 1) 2) 3) 4) 5) Mengorientasi siswa pada masalah. Mengorganisasi siswa agar belajar. Memandu menyelidiki secara mandiri atau kelompok. Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja. Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. Adapun gambaran rinci langkah – langkah tersebut dapat dicermati dalam tabel berikut: 123 Tabel 2.7 Prosedur Pembelajaran Berdasarkan Masalah Langkah No. 1 Orientasi masalah 2 3 4 1 Mengorganisasikan siswa untuk belajara 2 3 1 2 Membantu menyelidiki secara mandiri atau kelompok 3 4 5 6 Mengembangkan dan menyajikan hasil kerja Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah 1 2 1 2 3 Kegiatan Guru Menginformasikan tujuan pembelajaran Menciptakan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadi pertukaran ide yang terbuka Mengarahkan kepada pertanyaan atau maslah Mendorong siswa mengekspresikan ide- ide secara terbuka Membantu siswa dalam menemukan konsep berdasarkan masalah Mendorong keterbukaan, proses – proses demokrasi, dan cara belajar siswa aktif Menguji pemahaman siswa atas konsep yang ditemukan Memberi kemudahan pengerjaan siswa dalam mengerjakan/ menyelesaikan masalah Mendorong kerjasama dan menyelesaikan tugas – tugas Mendorong dialog dan diskusi dengan teman Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas – tugas belajar yang berkaitan dengan masalah Membantu siswa merumuskan hipotesi Membantu siswa dalam memberikan solusi Membimbing siswa dalam mengerjakan lembar kegiatan siswa (LKS) Membimbing siswa dalam menyajikan hasil kerja Membantu siswa mengkaji ulang hasil pemecahan masalah Memotivasi siswa agar terlibat dalam pemecahan masalah Mengevaluasi materi 124 Sedangkan menurut Miftahul Huda (2013:272) sintak operasional PBL bisa mencakup antara lain sebagai berikut: 1) Pertama – tama siswa disajikan suatu masalah. 2) Siswa mendiskusikan masalah dalam tutorial PBL dalam sebuah kelompok kecil. Mereka mengklarifikasikan fakta suatu kasus kemudian mendefinisikan sebuah masalah. Mereka membrainstroming gagasan – gagasannya dengan berpijak pada pengetahuan sebelumnya. Kemudian, mereka mengidentifikasi apa yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan masalah serta apa yang mereka tidak ketahui. Mereka menelaah masalah tersebut. Mereka juga mendesain suatu rencana tindakan untuk menggarap masalah. 3) Siswa terlibat dalam studi independen untuk menyelesaikan masalah di luar bimbingan guru. Hal ini bisa mencakup: perpustakaan, database, website, masyarakat, dan observasi. 4) Siswa kembali pada tutorial PBL, lalu saling sharing informasi, melalui peer teaching atau cooperative learning atas masalah tertentu. 5) Siswa menyajikan solusi atas permasalahan. 6) Siswa mereview apa yang mereka pelajari selama proses pengerjaan selama ini. Semua yang berpatisipasi dalam proses tersebut terlibat dalam review pribadi, review berpasangan, dan review berdasarkan bimbingan guru, sekaligus melakukan refleksi atas konstribusinya terhadap proses tersebut. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa langkahlangkah model problem based learning adalah sebagai berikut : 1) Guru memotivasi dan membuat peserta didik ikut aktif dalam pembelajaran dengan cara peserta didik disajikan suatu permasalahan yang ada dalam kehidupan nyata peserta didik sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai; 2) Peserta didik diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan cara dibuatnya kelompok kecil. Dan peserta didik diminta untuk mencari fakta – fakta yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Kemudian peserta didik diminta untuk mengidentifikasi bagaimana permasalahan 125 tersebut dapat diselesaikan dengan cara berdiskusi dengan anggota kelompoknya; 3) Penyelesaian masalah tersebut dapat dicari dengan cara mencari data – data yang dapat mereka lakukan bisa dengan cara mencari sumber – sumber buku di perpustakaan, mencari data di internet dan lain – lain atau melakukan wawancara; 4) Peserta didik mencari solusi bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan informasi yang mereka ketahui. 2. Sikap Rasa Ingin Tahu a. Definisi Sikap Rasa Ingin Tahu Nasoetion (Hadi dan Permata, 2010:3) berpendapat rasa ingin tahu adalah suatu dorongan atau hasrat untuk lebih mengerti suatu hal yang sebelumnya kurang atau tidak kita ketahui. Rasa ingin tahu biasanya berkembang apabila melihat keadaan diri sendiri atau keadaan sekeliling yang menarik. Dari pengertian ini, berarti untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar, syaratnya seseorang harus tertarik pada suatu hal yang belum diketahui. Keterkaitan itu ditandai dengan adanya proses yang berpikir aktif, yakni digunakannya semua panca indera yang kita miliki secara maksimal. Pengaktifan bisa diawali dengan pengamatan melalui mata atau mendengar informasi dari orang lain. Saat mendapatkan data dari berbagai sumber, maka kaitkan data tersebut satu sama lain sehingga menimbulkan suatu fenomena , yakni sembarang objek yang memiliki karakteristik yang dapat diamati. 126 Sulistyowati (2012 : 74) berpendapat ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Indikator kelas; 1) menciptakan suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu, 2) ekplorasi lingkungan secara terprogam, 3) tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak atau elektronik). Sedangkan Mustari (2011 : 103) berpendapat bahwa kurioritas (rasa ingin tahu) adalah emosi yang dihubungkan dengan perilaku mengorek secara alamiah seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar. Rasa ingin tahu terdapat pada pengalaman manusia dan binatang, Istilah itu juga dapat digunakan untuk menunjukkan perilaku itu sendiri yang disebabkan oleh emosi ingin tahu, karena emosi ini mewakili kehendak untuk mengetahui hal-hal baru, rasa ingin tahu bisa diibaratkan bensin” atau kendaraan ilmu dan disiplin lain dalam studi yang dilakukan oleh manusia. Rasa ingin tahu yang kuat merupakan motivasi kaum ilmuwan. Sifatnya yang bersifat heran dan kagum, rasa ingin tahu telah membuat manusia ingin menjadi ahli dalam suatu bidang pengetahuan. Manusia itu seringkali bersifat ingin tahu, namun tetap saja ada yang terlewati dari perhatian mereka. Dari ketiga pengertian rasa ingin tahu yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap yang dimiliki oleh setiap individu untuk mempelajari sesuatu hal yang belum mereka ketahui untuk dipelajari lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, 127 orang lain atau lingkungan sekitar. Rasa ingin tahu dapat digabungkan dengan kemampuan untuk berpikir abstrak, membawa pada peniruan, fantasi dan imajinasi yang akhirnya membawa pada cara manusia berpikir yaitu abstrak, sadar diri atau secara sadar. Rasa ingin tahu ini membuat bekerjanya kedua jenis otak, yaitu otak kiri dan otak kanan, yang satu adalah kemampuan untuk memahami dan mengantisipasi informasi, sedang yang lain adalah menguatkannya dan mengencangkan memori jangka panjang untuk informasi baru yang mengejutkan. Siswa dengan hasrat ingin tahunya membuat mereka dapat memecahkan setiap permasalahan dan pemikiran yang ada di dalam benaknya. Apabila rasa ingin tahu ini dapat dimanfaatkan dengan baik maka akan membawa siswa semakin mengerti dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, lewat rasa ingin tahu, siswa dapat mengetahui kebenaran karena segala sesuatu yang tampak nyata dalam hidup tidak sepenuhnya benar. Dengan demikian rasa ingin tahu dapat membuka pikiran siswa dan membuat siswa merasakan pengalaman baru yang akan menstimulasi pikirannya dan melepaskan emosi yang kreatif. b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Rasa Ingin Tahu Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi rasa ingin tahu. Sebagaimana aspek-aspek psikologis lainnya, rasa ingin tahu juga yang akan membuat manusia menjadi lebih produktif. Kita sebagai manusia akan terus belajar lebih banyak saat rasa ingin tahu menyelimuti kita. Kita akan menembus batas-batas pemikiran kita. Semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak pula yang 128 akan kita tahu. Dengan rasa ingin tahu yang kita miliki kita akan melihat berbagai hal dari sudut pandang yang berbeda. Sehingga kita akan selalu memikirkan dan menemukan cara alternatif dalam menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Manusia pada dasarnya akan lebih mudah untuk berpikir negatif daripada positif. Apabila kita tidak mengerti akan suatu hal, atau tidak terbiasa akan suatu hal, mudah sekali untuk menghilangkan pikiran tersebut dari otak kita. Hanya jika kita mengerti akan sesuatu, maka kita akan menghargainya, karena manusia akan lebih positif pada sesuatu yang mereka ketahui. Rasa ingin tahu-lah yang membuat pikiran kita lebih luas dan menambahkan pengertian yang lebih mendalam sehingga kita sebagai manusia akan menjadi lebih positif menyikapi segala sesuatu. Faktor untuk mengembangkan rasa ingin tahu pada anak. Sebagai berikut (Mustari, 2011: 109): 1) Kebebasan si anak itu sendiri harus ada untuk melakukan dan melayani rasa ingin tahunya. Kita tidak bisa begitu saja menghardik mereka kita tidak tahu atau malas saat bertanya. 2) Yang lebih baik adalah kita berikan kepada mereka cara-cara untuk mencari jawaban. Misalnya, apabila pertanyaan tentang Bahasa Inggris, berilah kepada anak itu kamus; apabila pertanyaan tentang pengetahuan, berilah mereka Ensiklopedia; dan begitu seterusnya. Menurut Sunaryo Kartadinata (Desmita, 2012: 189) menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan rasa ingin tahu yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu: 1) Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku 129 formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan rasa ingin tahu manusia; 2) Sikap kurangnya bertanya tentang suatu masalah. Manusia yang pandai dan berhasil bukanlah manusia yang diam saja, dan menunggu hasil jawaban atau ditanya orang lain, melainkan manusia yang pandai dan berhasil adalah manusia yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dengan banyaknya bertanya terhadap suatu permasalahan. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap rasa ingin tahu siswa adalah sebagai berikut : 1) Faktor lingkungan yang ada di rumah yaitu dengan cara mendidik orang tua peserta didik kepada anaknya. 2) Faktor lingkungan sekolah yaitu bagaimana pendidik mengajarkan atau mengarahkan bagaimana peserta didik menjadi anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi untuk dirinya sendiri maupun ketika di lingkungan sekitar. 3) Faktor lingkungan masyarakat yaitu dilihat dari kondiri masyarakat itu sendiri bagaimana cara mendidik peserta didik mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dengan cara menghargai potensi peserta didik. c. Upaya Guru Untuk Menumbuhkan Sikap Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap yang dimiliki oleh setiap individu untuk mempelajari sesuatu hal yang belum mereka ketahui untuk dipelajari lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain atau lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan 130 upaya-upaya pengembangan rasa ingin tahu agar rasa ingin tahu siswa dapat tumbuh. Berikut upaya – upaya pengembangan rasa ingin tahu peserta didik menurut Desmita (2012:190) yaitu: 1) Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai. 2) Mendorong anak untuk berpatisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah. 3) Memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka. 4) Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain. 5) Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak. Sedangkan menurut Ali dan Asrori (2008:119) menyatakan sejumlah intervensi dapat dilakukan sebagai ikhtiar pengembangan rasa ingin tahu anak, antara lain sebagai berikut: 1. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan anak dalam keluarga. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk: a. Saling menghargai antaranggota keluarga. b. Keterlibatan dalam memecahkan masalah anak atau keluarga. 2. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk: a. Toleransi terhadap perbedaan pendapat. b. Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi anak. c. Keterbukaan terhadap minat anak. d. Mengembangkan komitmen terhadap tugas anak. e. Kehadiran dan keakraban hubungan dengan anak. 3. Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan. Ini diwujudkan dalam bentuk: a. Mendorong rasa ingin tahu anak. b. Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengesplorasi lingkungan. c. Adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam apabila ditaati. 4. Empati terhadap anak. Ini diwujudkan dalam bentuk: a. Menerima apa pun kelebihan maupun kekurangan pada diri anak. b. Tidak membeda–bedakan anak satu dengan yang lain. 131 c. Menghargai ekspresi potensi anak dalam kegiatan produktif apa pun menskipun sebenarnya hasilnya kurang memuaskan. 5. Empati terhadap anak. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk: a. Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan anak. b. Melihat berbagai persoalan anak dengan menggunakan perspektif atau sudut pandang anak. c. Tidak mudah mencela karya anak betapa pun kurang bagusnya karya itu. 6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan anak. Ini diwujudkan dalam bentuk: a. Interaksi secara akrab tetapi saling menghargai. b. Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap anak. c. Membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan anak. Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya guru untuk meningkatkan sikap rasa ingin tahu peserta didik adalah sebagai berikut : 1) Menghagai setiap potensi yang dimiliki oleh setiap peseta didik dan tidak mebeda-bedakan peserta didik, menghargai setiap pendapat peserta didik, pendidik harus menerima kekurangan dan kelebihan peserta didiknya. 2) Menciptakan suasana yang hangat, akrab antara peserta didik dengan pendidik. 3) Memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi pengetahuannya. 3. Sikap Kreatif a. Definisi Sikap Kreatif Mengenai pengertian kreatif, ada banyak pendapat yang dijadikan sebagai rujukan. Inilah beberapa tokoh (ahli) tentang definisi atau pengertian sikap kreatif: 132 Menurut Munandar (2005:12), Kreativitas adalah hasil dari interaksi antara individu dan lingkungannya seseorang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia berada dengan demikian baik berubah di dalam individu maupun di dalam lingkungan dapat menunjang atau dapat menghambat upaya kreatif . Menurut Mayesty (2010:38), menyatakan bahwa kreativitas adalah cara berpikir dan bertindak atau menciptakan sesuatu yang original dan bernilai/berguna bagi orang tersebut dan orang lain. Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap kreatif adalah suatu tindakan atau pola pikir/berpikir seseorang dalam menemukan, menciptakan, dan menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik dari sebelumnya b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Kreatif Kesempatan untuk belajar kreatif ditentukan oleh banyak faktor antara lain sikap dan minat siswa, guru orang tua, lingkungan rumah dan kelas atau sekolah, waktu, uang dan bahan-bahan (Conny Seniawan, dkk. 1990). Menurut Amabile (1989) dalam Munandar (2004:113-114). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kreativitas belajar siswa yaitu sebagai berikut: Sikap orang tua terhadap kreativitas anak Sudah lebih dari tiga puluh tahun pakar psikologis mengemukakan bahwa sikap dan nilai orang tua berkaitan erat dengan kreativitas anak, jika kita menggabung hasil penelitian dilapangan dengan teori-teori penelitian laboratorium mengenai kreativitas dengan psikologis kita memperoleh petunjuk bagaimana sikap orang tua secara langsung mempengaruhi kreativitas anak mereka. Menurut Amabile (2005:103) menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan kreativitas anak ialah : 133 1) Kebebasan Orang tua yang percaya untuk memberikan kebebasan kepada anak cenderung mempunyai anak kreatif. Mereka tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi dan mereka tidak terlalu membatasi kegiatan anak. 2) Aspek Anak yang kreatif biasanya mempunyai orang tua yang menghormati mereka sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka dan mengharagai keunikan anak. 3) Kedekatan emosional yang sedang Kreativitas anak dapat dihambat dengan suasana emosional yang mencerminkan rasa permusuhan, penolakan dan terpisah. 4) Prestasi Bukan Angka Orang tua anak kreatif menghargai prestsi anak, mereka mendorong anak untuk berusaha sebaik-baikknya dan menghsilkan karya-karya yang baik. 5) Menghargai Kreativitas Anak yang kreatif memperoleh dorongan dari orang tua untuk melakukan hal-hal yang kreatif. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi menentukannya kreativitas siswa adalah orang tua, karena orang tua merupakan pendidik yang pertama dalam kehidupan siswa yang mana jika orang tua percaya dengan kreativitas anak maka anak akan menuangkan kreatifnya dengan semaksimal mungkin karena merasa tidak ada halangan untuk melakukan kerativitasnya. c. Upaya Guru Untuk Menumbuhkan Sikap Kreatif Dalam kegiatan mengajar sehari-hari dapat digunakan sejumlah strategi khusus yang dapat menumbuhkan kreativitas. Berikut upaya-upaya guru menumbuhkan kreativitas peserta didik. yaitu sebagai berikut: 1. Penilaian Penilaian guru terhadap pekerjaan murid yang dapat dilakukan dengan cara : 134 a) Memberi umpan balik berarti dari pada evaluasi yang abstrak dan tidak jelas. b) Melibatkan siswa dalam menilai pekerjaan mereka sendiri dan belajar dari kesalahan mereka. c) Penekanan terhadap “apa yang telah kamu pelajari” dan bukan pada “bagaimana melakukannya”. 2. Hadiah Anak senang menerima hadiah dan kadang-kadang melakukan segala sesuatu untuk memperolehnya. Hadiah yang terbaik untuk pekerjaan yang baik adalah kesempatan menampilkan dan mempresentasikan pekerjaan sendiri dan pekerjaan tambahan. 3. Pilihan Sedapat mungkin berilah kesempatan kepada anak memilih apa yang nyaman bagi dia selama hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada. B. Hasil Penelitian Yang Relevan Berikut ini adalah contoh hasil penelitian lain yang relevan, yang telah digunakan sehingga pembelajaran dapat menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa menjadi tumbuh. 1. Hasil Penelitian Ika Rini Ambarawati (2010) Mahasiswi PGSD Universitas Muhamadiyah Purwokerto. Dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatife Tipe Think, Pair, Share (TPS) dapat Meningkatkan Rasa Ingin 135 Tahu dan Prestasi Belajar Pada Materi Contoh Peraturan Perundang-Undangan Di Kelas V SD Negeri 1 Karangturi ” peneliti memberikan kesimpulan bahwa: a. Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Think Pair Share dapat meningkatkan peran aktif dan prestasi siswa. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Ika Rini Ambarawati dengan penelitian ini adalah penelitian Ika Ambarawati untuk meningkatkan peran aktif siswa dan prestasi siswa dengan menggunakan tiga siklus. Sedangkan penelitian ini untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan prestasi belajar (dua variable) siswa di kelas V SD N 1 Karangturi dan menggunakan dua siklus. Jadi sudah terlihat jelas perbedannya dengan melihat variable dan berapa tahap siklus yang digunakan. b. Hasil penelitian pada siklus I peran aktif siswa diperoleh 36,6 % dan ketuntasan belajar matematika secara klasikal sebesar 66,7 %. Pada siklus II peran aktif diperoleh 44,2 % dan ketuntasan belajar secara klasikal 83,3%. Pada siklus III peran aktif siswa diperoleh 50,5 % dan ketuntasan belajar matematika secara kalsikan 95,8 %. 2. Hasil Penelitian Elis Eliah Universitas Pasundan 2012 Dalam skripsi yang berjudul “Pendekatan Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis Siswa pada konsep Bagian Tumbuhan dan Fungsinya” peneliti memberikan kesimpulan bahwa: a. Implementasi pendekatan Problem Based Learning (PBL) dilaksanakan dalam pembelajaran konsep bagian tumbuhan dan fungsinya. Penyusunan 136 rencana pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Problem Based Learning (PBL) melalui lima tahap, yaitu tahap pertama guru memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik yakni dengan menyampaikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dalam kegiatan pembelajaran, dan memotivasi peserta didik dalam mengatasi masalah. Tahap kedua yaitu tahap penelitain atau eksplorasi berdasarkan masalah yang telah disajikan oleh guru, guru mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti yaitu dengan cara melakukan pengamatan konsep berdasarkan masalah yang disajikan menggunakan panduan LKS secara berkelompok. Tahap ketiga yaitu investigasi mandiri dan kelompok dimana guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan pengamatan, dan mencari penjelasan serta solusi melaui study pustaka atau membaca. Tahap keempat adalah mengembangkan dan mempresentasikan hasil pengamatan yaitu dengan melalui diskusi. Tahap kelima menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah, dimana guru membantu peserta didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan. b. Karakter berfikir kritis yang muncul dalam pembelajaran konsep bagian tumbuhan dan fungsinya meliputi respon, frekuensi bertanya, memberikan argumen, bersikap jujur, dan dapat memecahkan masalah. 137 c. Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatan berfikir kritis dan hasil belajar siswa. Pengetahuan awal siswa melalui pendekatan Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan keterampilan berfikir kritis pada konsep struktur tumbuhan dan fungsinya dengan indikatorindikatornya dapat dipahami siswa dari hasil pengetahuan awal yang dimilikinya hingga pembelajaran selesai. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara membaca, mengamati atau melihat benda, meneliti dengan menyentuhnya secara langsung dan mendorong siswa berfikir kritis, aktif, kreatif dan peka terhadap lingkungan. d. Penggunaan pendekatan Problem Based Learning (PBL) pada konsep struktur tumbuhan dengan fungsinya, selain dapat meningkatan keterampilan berfikir kritis siswa juga memberikan imbas positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini dapat ditunjukan oleh meningkatnya nilai ratarata yang diperoleh siswa pada setiap siklus. Perolehan nilai rata-rata siklus I sebesar 66,06%. Pada siklus II perolehan nilai rata-rata 69,39% dan pada siklus ke III perolehan nilai rata-rata siswa sebesar 80,61%. e. Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan Problem Based Learning (PBL) pada konsep struktur tumbuhan dan fungsinya dapat meningkatkan keterampilan berfikir siswa. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata setiap siklus dapat meningkat. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara membaca, mengamati atau melihat benda, meneliti dengan 138 menyentuhnya secara langsung dan mendorong siswa berfikir kritis, aktif, kreatif dan peka terhadap lingkungan. C. Kerangka Pemikiran Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (19) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara singkatnya, undang-undang tersebut berharap pendidikan dapat membuat peserta didik menjadi kompeten dalam bidangnya. Di mana kompetensi tersebut, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disampaikan di atas, harus mencakup kompetensi dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 35 undang-undang tersebut. Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan 139 kompetitif. Cerdas yang dimaksud di sini adalah cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, serta cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan. Dengan demikian, Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warganegara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa insan Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Dari beberapa tujuan dan visi yang diungkapkan dalam pencapaian tujuan atau visi itu sendiri terdapat salah satu masalah yang dihadapi peserta didik dalam pembelajaran yaitu Siswa kurang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan kurangnya kreatif dalam proses belajar di kelas pada pembelajaran sehingga hasil belajarnya kurang maksimal. Hal tersebut ditandai oleh rendahnya keterampilan bertanya siswa terhadap materi ajar pada saat guru menjelaskan sehingga guru tidak tahu apakah siswa telah mengerti atau tidak dan guru selalu menganggap pembelajarannya berhasil karena tidak ada pertanyaan dari siswa yang membuat guru berpikir siswanya sudah paham, kebanyakan dalam proses pembelajaran siswanya hanya diam dan jarang ada yang bertanya ketika guru 140 memberikan kesempatan untuk bertanya. Pembelajaran monoton, dan guru masih menggunakan model konvensional dalam proses pembelajaran. Guru belum bisa memanfaatkan sumber belajar dan media pembelajaran. Dengan demikian, agar terjadinya proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan dan visi pendidikan, diperlukan model pembelajaran yang efektif salah satunya dengan menerapkan model problem based learning. Rumusan dari Dutch (2010:21) menyatakan bahwa model problem based learning adalah model yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. Problem based learning mempersiapkan siswa untuk berfikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Sedangkan menurut Sitiatava Rizema (2013:67), model pembelajaran PBL menekankan keaktifan siswa. Dalam model ini siswa di tuntut aktif dalam memecahkan suatu masalah (problem). Model problem based learning ini memperhatikan latar belakang, pengalaman siswa dan membantu siswa dalam proses pembelajaran agar jadi lebih bermakna. Selain itu, siswa aktif dalam pembelajaran dan mempunyai banyak kesempatan memperoleh informasi, sehingga diharapkan mampu meningkatkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa. Berkenaan dengan sikap rasa ingin tahu siswa menurut H.S. Barrows (2005: 41), rasa ingin tahu adalah suatu emosi yang berkaitan dengan perilaku ingin tahu seperti eksplorasi, 141 investigasi, dan belajar, terbukti dengan pengamatan pada spesies hewan manusia dan bayi/balita. Istilah ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan perilaku itu sendiri disebabkan oleh emosi rasa ingin tahu. Jadi dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan sebuah sikap yang dimiliki oleh setiap individu untuk mempelajari sesuatu hal yang belum mereka ketahui untuk dipelajari lebih dalam, agar nantinya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang lain atau lingkungan sekitar. Maslow dan Roger dalam Kitano dan Kirby (2010:40), bahwa kreativitas sebagai satu aspek kepribadian sangat berkaitan dengan aktualisasi diri. Selanjutnya pendapat Maslow yang dikutip oleh Semiawan (2010:40), menyatakan bahwa orang yang mampu mengaktualisasi diri adalah orang kreatif, orang yang sangat peduli terhadap proses dari pada klimaks keberhasilan dan kebanggaan terhadap sukses tersebut. Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap kreatif adalah suatu tindakan atau pola pikir/berpikir seseorang dalam menemukan, enciptakan, dan menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik dari sebelumnya Berdasarkan uraian di atas, dapat diduga bahwa model problem based learning dapat membantu menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2 perubahan wujud benda. Berdasarkan masalah tersebut, penulis mencoba menggunakan model problem based learning dalam subtema 2 perubahan wujud benda di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan. 142 Model problem based learning yang di maksud dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran dimana guru memberikan permasalahan kepada siswa yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa. Kemudian siswa dibuat kelompok kecil dan mendiskusikan permasalahan tersebut. Secara berkelompok siswa mencari fakta – fakta atau informasi baik melalui internet, buku-buku atau melakukan wawancara dan lain- lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Kemudian siswa secara berkelompok mencari solusi dari permasalahan tersebut dengan informasi yang mereka peroleh. Model problem based learning membuat siswa aktif dalam pembelajaran karena pembelajaran sesuai dengan kehidupan nyata siswa sehingga siswa akan termotivasi untuk belajar. Selain itu peserta didik juga dapat belajar dengan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif secara berkelompok dengan teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok dengan mencari tahu penyebab permasalahan tersebut. Dengan demikian, penggunaan model problem based learning mampu menumbuhkan pengetahuan tentang konsep yang diberikan guru serta menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa sehingga bisa mencapai nilai KKM yang ditentukan dalam subtema 2 perubahan wujud benda. Hubungan tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut ini : 143 Bagan 2.3 Kerangka Berpikir Kondisi Awal Tindakan Kondisi Akhir Guru Guru masih menggunakan model atau pendekatan secara tradisional. Guru hanya menggunakan metode ceramah saja dalam proses pembelajaran. Siswa / yang diteliti Rasa ingin tahu dan kreatif siswa belum diketahui ketercapaian KKM yang ditentukan dalam subtema perubahan wujud benda. Siklus I Dengan menggunakan model problem based learning, siswa memperhatikan pembelajaran yang berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan nyata siswa yang diberikan guru dilengkapi dengan media Dengan menggunakan model problem based learning dapat menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa. Siswa dapat berpikir kritis untuk menyelesaikan suatu masalah dalam kehidupan nyata secara berkelompok, sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan mengembangkan pengetahuannya. Siklus II Dengan menggunakan model problem based learning, siswa secara berkelompok mendiskusikan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam kehidupan nyata siswa yang diberikan oleh Diduga melalui model problem based learning dapat menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa dalam subtema perubahan wujud benda guru dilengkapi dengan media. D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir di atas, diduga bahwa dengan menggunakan model problem based learning dapat menumbuhkan sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa pada penyajian hasil pencarian informasi dalam bentuk tabel di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam tema 1 benda-benda di lingkungan sekitar pada subtema 2 perubahan wujud benda Tahun Ajaran 2013/2014. 144 Lebih jelas penulis merinci hipotesis sebagai berikut : 1. Jika guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan permendikbut No 65 Tahun 2013 dengan menggunakan model problem based learning maka sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa pada penyajian hasil pencarian informasi dalam bentuk tabel di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2 perubahan wujud benda meningat 2. Jika guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan sintaxn model problem based learning maka sikap rasa ingin tahu dan sikap kreatif siswa pada penyajian hasil pencarian informasi dalam bentuk tabel di kelas V SDN Melong Mandiri 3 Cimahi Selatan dalam subtema 2 perubahan wujud benda meningkat. 3. Jika guru menerapkan model problem based learning pada subtema 2 perubahan wujud benda maka sikap rasa ingin tahu siswa kelas V SDN Melong Mandiri 3 meningkat. 4. Jika guru menerapkan model problem based learning pada subtema 2 perubahan wujud benda maka sikap kreatif tahu siswa kelas V SDN Melong Mandiri 3 meningkat.