BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Benua Asia dan Australia, di antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Tahun 2014, dilaporkan bahwa pada tahun 2013, secara administratif wilayah Indonesia terbagi atas 33 provinsi, 497 kabupaten/kota (399 kabupaten dan 98 kota), 6.994 kecamatan, 8.309 kelurahan dan 72.944 desa. Hasil estimasi jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 248.422.956 jiwa, yang terdiri atas jumlah penduduk laki-laki sebesar 125.058.484 jiwa dan jumlah penduduk perempuan. Sebanyak 123.364.472 jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia meningkat dengan relatif cepat. Diperlukan kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar kelahiran dapat dikendalikan dan kesejahteraan penduduk makin meningkat. Penyebaran penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta belum merata. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk setiap kabupaten/kota yang tidak sama. Kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Yogyakarta sebesar 12.313 jiwa/km2 sedangkan kepadatan terendah di Kabupaten Gunungkidul dengan kepadatan penduduk 489 jiwa/km2. Jumlah penduduk dan luas wilayah merupakan indikator penting dalam hal penyebaran penduduk (Pusat Data dan Informasi Kemenkes.,2013). Tingginya laju pertumbuhan penduduk dibeberapa bagian dunia menyebabkan jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Menurut Bagoes (2004) dalam perencanaan pembangunan data kependudukan memegang peran yang penting. Semakin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia makin mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat. Beberapa aspek yang mempengaruhi kondisi sanitasi dan permukiman di berbagai daerah terutama di kota-kota besar, antara lain: 1. Sanitasi a. Pengertian Sanitasi Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan, yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk mencegah manusia tersentuh langsung dengan kotoran dan bahan buangan berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan 8 kesehatan manusia. Sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mungkin mempengaruhi kesehatan manusia. 1) Menurut World Health Organization (WHO) Pengertian Sanitasi secara umum mengacu pada penyediaan fasilitas dan layanan untuk pembuangan urine dan tinja yang aman. Sanitasi yang tidak memadai adalah penyebab utama penyakit di seluruh dunia dan sanitasi diketahui memiliki dampak positif bagi kesehatan baik di lingkungan rumah tangga dan di masyarakat (www.who.int/topics/sanitation/en, 2015). Sanitasi pada juga umumnya bermakna kemampuan menjaga kondisi higienis, melalui layanan pengumpulan sampah dan pembuangan air limbah. 2) Menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015) Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat. Sanitasi lingkungan adalah cara menyehatkan lingkungan hidup manusia terutama lingkungan fisik, yaitu tanah, air, dan udara. 3) Di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 22 disebutkan bahwa kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut tempat maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik, kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku Sanitasi lingkungan merupakan pencegahan penyakit dengan jalan pengawasan tidak hanya terhadap lingkungan fisik manusia saja tetapi juga pengawasan terhadap lingkungan biologis, sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia, melalui pemukiman antara lain rumah tinggal dan asrama atau yang sejenisnya, melalui lingkungan kerja antrara perkantoran dan kawasan industri 9 atau sejenis. Upaya yang harus dilakukan dalam menjaga dan memelihara kesehatan lingkungan obyek sanitasi meliputi seluruh tempat kita tinggal atau bekerja seperti: dapur, restoran, taman, publik area, ruang kantor, rumah b. Ruang lingkup sanitasi Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah, pengendalian vektor dan binatang pengganggu serta penyehatan makanan dan minuman. Ruang lingkup sanitasi, meliputi : 1) Air limbah domestic, yaitu : Black water : air buangan jamban (urine, tinja, dan air gelontoran) dan Grey water : air buangan mandi dan cuci 2) Pengelolaan persampahan: kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah 3) Drainase lingkungan atau tersier, yaitu : sistem saluran awal yang melayani kawasan kota tertentu, seperti kompleks perumahan, area pasar, perkantoran, areal industri, dan perkantoran. 4) Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), meliputi : aspek non-teknis dari sanitasi: meliputi promosi kesehatan, perubahan perilaku, dan sanitasi di rumah tangga (5 pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) 2. Penyehatan Permukiman Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Berdasarkan dari deretan lima kebutuhan hidup manusia pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Rumah menjadi tempat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Tidak dapat dihindari bahwa laju pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan perumahan juga meningkat. Rumah sebagai wadah aktivitas sebuah keluarga yang merupakan satuan sistem sosial terkecil dalam negara maka kualitas kehidupan keluarga menjadi sangat penting bagi kualitas suatu bangsa (Santosa, 2011). Ruang dimana 10 keluarga beraktivitas harus dapat memberikan suasana kondusif bagi pembentukan generasi-generasi bangsa yang berkualitas, yang salah satunya adalah rumah dan lingkungannya. a. Pengertian Rumah 1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 rumah adalah struktur fisik yang terdiri dari bangunan ruangan, halaman serta area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. 2) Menurut WHO rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga maupun individu (www.who.int/topics,2015) 3) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No 829/Menkes/SK/VII/1999 rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Departemen Kesehatan, 1999) Berdasarkan berbagai pengertian maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengertian rumah adalah suatu bangunan yang digunakan manusia untuk berlindung dari berbagai kondisi lingkungan, untuk berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya dalam hal ini untuk membina keluarga. Rumah tidak hanya dilihat sebagai alat instrumental akan tetapi juga kaitannya dengan hubungan struktural di atas suatu kawasan. Makna dan fungsi rumah akan mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai perumahan yang sehat dalam suatu lingkungan permukiman yang tertata baik. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya: penyediaan air minum, pembuangan sampah, listrik, telepon, jalan yang memungkinkan lingkungan permukiman berfungsi sebagaimana mestinya dan sarana lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya seperti fasilitas taman bermain, olah raga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan, keamanan serta fasilitas umum lainnya. 11 Rumah lebih bersifat kompleks dalam mengakomodasi berbagai konsep dalam diri manusia dan kehidupannya. Hal ini seperti yang diungkapkan Hayward (1996) dalam Santosa (2011) tentang beberapa konsep rumah sebagai: 1) Simbol yang menunjukkan jati diri, pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya 2) Wadah keakraban, rasa memiliki, rasa kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman 3) Tempat menyendiri , menyepi, tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan kehidupan yang menjadi rutinitasnya 4) Akar dan kesinambungan, rumah merupakan tempat kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam proses ke masa depan 5) Wadah kegiatan utama sehari-hari 6) Pusat jaringan sosial 7) Struktur fisik b. Permasalahan perumahan Pada masyarakat modern permasalahan rumah dan perumahan menjadi masalah yang cukup serius. Saat ini permasalahan perumahan sangat erat berkaitan dengan masalah sosial ekonomi di perkotaan. Urbanisasi secara besar semakin menunjukkan pola perubahan dari masyarakat agraris pedesaan menjadi masyarakat Industrialis perkotaan. Suatu rumah yang dihuni banyak penghuni akan menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan akan menjadi sumber penyakit yang potensial terhadap penyakit infeksi. Selain itu juga akan menuntut ketersediaan fasilitas untuk sarana sanitasi dan penyediaan udara yang lebih banyak. Penambahan fasilitas pada kondisi demikian tidak bisa ditambahkan begitu saja. Kondisi di atas jelas menimbulkan permasalahan lingkungan, khususnya pusat kota (inner-city) dimana akan tercipta kawasan dan lingkungan kumuh (sick districts and neighborhoods) yang dapat diindikasikan dengan munculnya permukiman kumuh dan liar (slum dan squatters), kematian dan kerusakan kawasan bersejarah, kesemrawutan dan kemacetan lalulintas (traffic congestion), kerusakan kawasan tepian air, bantaran sungai dan tepian laut, 12 kekacauan ruang-ruang publik (public domain, public space, public easement), lingkungan pedestrian, isi dan arti komunitas, ketidaksinambungan ekologi kota serta ketidak seragaman morfologi dan tipologi kota. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang haruslah disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam kerangka pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka panjang. Dua hal pokok yang menjadi azas pemanfaatan ruang di perkotaan Indonesia yakni yang pertama, adanya tiga unsur penting manusia beserta aktivitasnya, lingkungan alam sebagai tempat dan pemanfaatan ruang oleh manusia dilingkungan alam tersebut. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan berada dalam keseimbangan sehingga aktivitas manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya harus memperhatikan daya dukung lingkungannya yang berorientasi pada kehidupan yang berkelanjutan. Kedua, proses pemanfaatan ruang harus bersifat terbuka, berkeadilan, memiliki perlindungan hukum dan mampu memenuhi kepentingan semua pihak secara terpadu, berdayaguna dan serasi. Paradigma baru perancangan kota tersebut harus mempertimbangkan aspek globalisasi, desentralisasi, demokratisasi dan sistem pemerintahan. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut diharapkan di satu sisi, pengambil kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat menjadi Good Urban Governance yang berarti aparat dapat merespon berbagai permasalahan pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan akuntabel bersama-sama unsur masyarakat. Mekanisme Good Governance akan memproses “co-guiding, co-steering dan co-managing” dari ketiga stakeholder utama, yaitu Pemerintah Daerah, sektor swasta dan masyarakat. Kondisi ini akan membentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik dan lingkungannya (Soesilowati, 2007). c. Persyaratan Rumah Sehat 1) Rumusan yang dikeluarkan oleh American Public Health Association (APHA.,1980), dalam Dewi (2011) syarat rumah sehat harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 13 a) Memenuhi kebutuhan fisiologis. Antara lain, pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu. b) Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain, privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah. c) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah yaitu dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup. d) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir. 2) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 menjelaskan tentang ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal sebagai berikut: a) Bahan-bahan Bangunan Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain: (1) Debu total kurang dari 150 mg per meter persegi; (2) Asbestos kurang dari 0,5 serat per kubik, per 24 jam; (3) Timbal (Pb) kurang dari 300 mg per kg bahan; (4) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen. b) Komponen dan penataan ruangan (1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan; (2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan; 14 (3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan; (4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir; (5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya; (6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. c) Pencahayaan Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata. d) Kualitas udara (1) Suhu udara nyaman, antara 18 – 30 ˚C (2) Kelembaban udara, antara 40 – 70 % (3) Gas SO2 ≤ 0,10 ppm per 24 jam (4) Pertukaran udara 5 kali 3 per menit untuk setiap penghuni (5) Gas CO ≤ 9,0 ppm per 8 jam (6) Gas formaldehid ≤ 120 mg per meter kubik e) Ventilasi Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. f) Vektor penyakit Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. g) Penyediaan air (1) Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter per orang setiap hari; (2) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan atau air minum h) Pembuangan limbah (1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah; 15 (2) Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah. i) Kepadatan hunian Luas kamar tidur minimal 8 meter persegi, dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang dalam 1 kamar tidur, kecuali anak usia kurang dari 5 tahun 3. Kesehatan Masyarakat Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks yang berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar kesehatan sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Empat faktor menurut Hendrik L.Blum (2000) tersebut antara lain lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan atau genetik yang berpengaruh satu sama lainnya. Faktor terbesar yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan. Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup lingkungan yang paling dekat dengan kegiatan manusia adalah rumah, dimana rumah sebagai tempat tinggal dan segala aktifitas manusia. Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan dibidang kesehatan, harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Kementerian Kesehatan dalam Profil Kesehatan Indonesia (2013) menyatakan upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sektor terkait lainnya seperti sektor penididikan, sektor ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan kesehatan. Kebijakan pembangunan 16 kesehatan menurut Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Profil Kesehatan Indonesia (2013) Tahun 2015-2019, meliputi : a. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan Lanjut Usia yang Berkualitas b. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat c. Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan d. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang Berkualitas e. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas f. Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan Kualitas Farmasi dan Alat Kesehatan g. Meningkatkan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan h. Meningkatkan Ketersediaan, Persebaran, dan Mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan i. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat j. Menguatkan Manajemen, Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi k. Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan l. Mengembangkan dan Meningkatkan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 4. Penyakit Berbasis Lingkungan Penyakit berbasis lingkungan dapat terjadi karena adanya interaksi antara host (pejamu), agent (penyebab penyakit) dan lingkungan. Segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment). Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antara ketiga komponen tersebut. Model ini lebih dikenal dengan segitiga epidemiologi (epidemiologi triangle). Agent adalah kuman atau virus yang hidup bebas di lingkungan dengan kondisi yang tidak baik (Soemirat.,2003). Host adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agent. Faktor endogen host meliputi usia, jenis 17 kelamin, ras, agama, kebiasaan, pekerjaan, genetik, penyakit sebelumnya dan status imunitas. Environment atau lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh dan bukan bagian dari agent maupun host, tetapi mampu mempromosikan paparan agent dan interaksinya dengan host. Unsur lingkungan memegang peran yang cukup penting dalam menentukan terjadinya suatu penyakit, sifat karakteristik individu sebagai penjamu dan ikut memegang peranan dalam proses kejadian penyakit. Pola penyakit di DIY dapat dipantau melalui Sistem Survailans Terpadu Penyakit (STP) di Puskesmas selain dari hasil pemantauan kunjungan pasien di Puskesmas (2013). Hasil pemantauan melalui Surveilans Terpadu Penyakit (STP) di tingkat Puskesmas diamati setiap bulan berdasarkan laporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disampaikan kepada Dinas Kesehatan DIY untuk dilakukan pengolahan dan pengamatan secara terus menerus terhadap penyakit yang berpotensi menyebabkan terjadinya wabah. Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas selama beberapa tahun terakhir adalah ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis, Asma, Pneumonia), dan diare. Sementara untuk Balita, pola penyakit masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. Penyakit–penyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan malaria, masih memiliki potensi untuk meningkat kembali (re-emerging) mengingat kondisi perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, budaya) masyarakat yang kurang mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum tereliminasinya berbagai penyakit tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik perilaku maupun lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis seperti DBD sampai saat ini masih tetap menjadi ancaman. Jenis-jenis penyakit berbasis lingkungan, antara lain: a. Demam Berdarah 1) Penyebab Penyakit Demam Berdarah Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut Ditjen P2PL (2013), penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat 18 infeksi virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), kasus DBD ini cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas sejak tahun 1968. Keadaan ini sangat berhubungan dengan mobilitas penduduk, juga disebabkan hubungan tranportasi yang semakin lancar serta virus Dengue dan nyamuk penularnya yang semakin tersebar luas di seluruh wilayah di Indonesia. Selain itu, tempat bagi nyamuk untuk bersarang semakin bertambah disebabkan produksi sampah yang meningkat oleh karena kepadatan penduduk. Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, family Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue (DD) Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 2) Gejala Penyakit Demam Berdarah a) Mendadak panas tinggi selama 2 - 7 hari, tampak lemah lesu suhu badan antara 38oC sampai 40oC atau lebih b) Tampak binti-bintik merah pada kulit dan jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang c) Kadang-kadang perdarahan di hidung (mimisan) d) Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah e) Tes Torniquet positif f) Adanya perdarahan yang petekia, akimosis atau purpura g) Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lumbung h) Bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin Berkeringat Perdarahan selaput lendir mukosa, gastrointestinal, tempat suntikan atau ditempat lainnya i) Hematemesis atau melena j) Trombositopenia ( =100.000 per mm3) 19 alat cerna k) Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan munculnya satu atau lebih dari: (1) Kenaikan nilai 20% hematokrit atau lebih tergantung umur dan jenis kelamin (2) Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20% atau lebih sesudah pengobatan (3) Tanda-tanda pembesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipoproteinaemia 3) Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Penyebab adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus, diketahui empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air atau wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan, sedangkan Ae.albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali 20 b. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 1) Penyebab Penyakit ISPA Istilah Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau lebih dikenal dengan ISPA meliputi saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah dan organ adneksanya (Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan atau P2PL,2013). ISPA mengandung tiga unsur, yaitu : infeksi, saluran pernafasan dan akut. Batasan ISPA menurut Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) sebagai berikut: a) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh dan berkembang biak sehingga dapat menimbulkan gejala penyakit b) Saluran pernafasan yaitu organ yang dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adeksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. c) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batasan ini diambil untuk menunjukkan proses akut. Infeksi Saluran Pernafasan Akut dapat disebabkan oleh bakteri dan virus namun sebagian besar kasus ISPA ini disebabkan oleh virus. Bakteri penyebab ISPA antara lain genus: Streptococcus, Staphylococcus, Pnemococcus, Hemofillus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus antara lain: Influenza, para influenza, campak, mikoplasma, koronavirus, miksovirus, adenovirus, pokirnavirus dan herpesvirus. 2) Klasifikasi Penyakit ISPA a) Berdasarkan lokasi anatomi (1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas yaitu menyerang hidung sampai epiglotis beserta organ adeksanya (2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah yaitu menyerang saluran pernafasan mulai dari bawah epiglotis sampai alveoli paru b) Berdasarkan Daftar Tabulasi Dasar (DTD) Daftar Tabulasi Dasar berdasrkan International Calssification of Disease (ICD) dan dipakai pada penyusunan laporan kesakitan pada puskesmas dan Rumah sakit. Diagnosa ISPA pada DTD merupakan 21 gabungan klasifiaksi anatomi dan etiologi ISPA, antara lain: difteri, batuk rejan, radang tenggorokan, streptococcus, influenza, pnemonia, laringitis dan bronkhitis. c) Berdasarkan Derajad Keparahan (1) ISPA ringan Penatalaksanaannya cukup dengan tindakan penunjang dan tanpa pengobatan anti mikroba (2) ISPA sedang Penatalaksanaannya memerlukan pengobatan anti mikroba tetapi tidak perlu dirawat di rumah sakit atau puskesmas (3) ISPA berat Penatalaksanaannya memerlukan perawatan di rumah sakit atau puskesmas d) Klasifikasi pneumonia (1) Pneumonia Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu (alveoli) (2) Bukan Pneumonia Mencakup kelompok penderita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya dinding dada kedalam, seperti batuk pilek biasa (Commond Cold), pharingitis dan tonsilitis e) Berdasarkan Umur (1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi dalam dua jenis, yaitu pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam. Bukan pneumonia apabila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat (2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas pneumonia berat, pneumonia ringan dan bukan pneumonia. 22 Pneumonia berat apabila disertai nafas sesak, yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas. Pneumonia ringan didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali per menit atau lebih. Bukan pneumonia apabila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dana ada nafas cepat. 3) Penyebaran Penyakit ISPA Penyakit ISPA banyak menyebar didaerah tropis terutama didaerah perkotaan dengan kondisi sanitasi yang buruk. Banyak terjadi kasus pada musim pancaroba, yaitu antara bulan Oktober sampai November dan antara bulan Maret sampai April. Frekuensi penularannya dapat mencapai tiga atau enam kali dalam satu tahun. Penyakit ISPA dapat menyerang semua orang dan semua golongan umur, akan tetapi usia muda lebih rentan terkena penularan penyakit ini. Seorang penderita penyakit ISPA akan menularkan kuman penyakit ke orang lain melalui udara pernafasan atau percikan ludah penderita. Kuman yang ada di udara akan terhirup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan masuk kedalam saluran pernafasan kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh. Apabila orang yang terinfeksi ini rentan maka akan terkena ISPA ditambah jika kelembaban dan suhu kamar tinggi yang merupakan faktor pemicu pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri, virus dan jamur penyebab ISPA. Menurut Ditjen P2PL (2015) faktor risiko angka kesakitan penyakit ISPA adalah kesehatan lingkungan kurang memadai (pencahayaan, kelembaban dan suhu), kepadatan penghuni, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, status sosial ekonomi, defisiensi vitamin A, status imunisasi, penyakit kronis. c. Diare 1) Penyebab Penyakit Diare Diare adalah penyakit yang terjadi akibat perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita Diare apabila feses lebih berair dari biasanya atau buang air besar lebih 23 dari tiga kali atau bila buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam 24 jam (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013). Penularan dapat melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat dalam muntahan maupun feses penderita. Walaupun telah sembuh dari penyakit dalam kurun waktu 7-14 hari, bakteri penyebab masih terdapat dalam feses penderita dan berpotensi untuk menularkannya kepada orang lain. Selain itu penularan juga bisa oleh perantara binatang seperti lalat. Penyakit diare disebabkan oleh beberapa mikroorganisme pathogen, antara lain: Vibrio cholerae, Shigella sp, Escherichia coli, Amuba, Virus dan Keracunan (bisa disebabkan oleh bakteri seperti Clostridium batulinum maupun oleh bahan kimia yang terkandung dalam makanan). 2) Gejala penyakit Diare Diare adalah buang air besar dengan tinja cair atau padat dengan frekuensi buang air besar encer lebih dari 3 kali/hari. Berdasarkan lama waktu terjadinya Diare, maka Diare dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Diare akut jika berlangsung kurang dari atau sama dengan 15 hari sedangkan Diare kronik jika berlangsung lebih dari 15 hari Gejala penyakit Diare muncul secara mendadak. Diare berair, kram perut dan rasa sakit mulai terjadi 6-15 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Rasa mual yang mungkin menyertai Diare tetapi jarang terjadi muntah. pada kasus Diare berat, kejadian buang air besar yang sangat sering menyebabkan tubuh kehilangan banyak cairan dan elektrolit sehingga terjadi dehidrasi. Jika tidak segera ditangani, penderita akan masuk kedalam keadaan syok dan meninggal dunia beberapa jam atau beberapa hari setelah terjadinya infeksi d. Tuberculossis (TBC) 1) Penyebab Penyakit TBC Pengertian penyakit TBC adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang bersifat menular biasa menyerang saluran pernafasan atau paru-paru, penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di dunia, penyakit TBC merupakan penyakit penyebab kematian kedua setelah 24 HIV/AIDS. Menurut data dari WHO pada tahun 2011 diperkirakan terdapat 8,7 orang yang terinfeksi TBC dan ada sekitar 1,4 penderita TBC diantaranya mengalami kematian. Kasus ini 95% lebih banyak terjadi di negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Penyebab penyakit TBC diakibatkan adanya infeksi dari kuman (bakteri) yang bernama Mycobacterium tuberculosis dan biasanya menyerang paruparu. Selain itu bakteri penyebab TBC ini juga menyerang organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, bahkan bisa menyerang otak. Penyakit TBC adalah jenis penyakit yang mudah menular, media penularannya bisa melalui cairan di dalam saluran nafas yang keluar ketika penderita batuk atau bersin kemudian terhirup oleh orang lain yang berada di lingkungan sekitar penderita TBC tersebut. Bakteri penyebab TBC akan tertidur dan tidak akan menyerang terhadap orang yang mempunyai tubuh sehat dengan asupan gizi cukup dan daya tahan tubuh yang baik. Bakteri TBC lebih mudah menular dan menyerang terhadap orang-orang yang mengalami kekurangan gizi dan daya tahan tubuh yang buruk. TBC bisa juga menginfeksi orang yang tinggal di lingkungan dengan udara buruk dan mengandung banyak kuman TBC. Gizi buruk dan lingkungan yang buruk bisa menyebabkan kuman (bakteri) TBC yang tertidur pulas di dalam tubuh menjadi aktif. Serangan infeksi kuman TBC seringkali muncul tanpa disertai tanda-tanda atau gejala khas apapun, biasanya indikasi yang muncul cuma batuk-batuk ringan dan hali ini sering dianggap remeh dan tidak dihiraukan oleh calon penderita. Seorang penderita infeksi TBC paru-paru dapat dengan mudah menularkan kuman (bakteri) TBC kepada orang lain di lingkungan sekitarnya baik itu di rumah, sekolah atau tempat kerja (kantor). Jika sudah menjadi kuman yang aktif di dalam tubuh, kuman TBC akan terus merusak jaringan paru-paru hinggga menimbulkan tanda-tanda dan gejala yang khas ketika penyakitnya sudah dalam keadaan cukup parah. 2) Gejala Ciri-ciri gejala awal orang yang terkena infeksi penyakit TBC bisa dikenali dari tanda-tanda kondisi pada fisik penderitanya, yaitu salah 25 satunya penderita akan mengalami demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama, demam biasanya dialami pada malam hari disertai dengan keluarnya keringat. Kadang-kadang derita demam disertai dengan influenza yang bersifat timbul sementara kemudian hilang lagi. Berikut ini adalah gejala penyakit TBC paru-paru yang bisa kita kenali sejak dini : a) Ketika penderita batuk atau berdahak biasanya disertai keluarnya darah. b) Penderita mengalami sesak napas dan nyeri pada bagian dada. c) Penderita mengalami deman (meriang panas dingin) lebih dari sebulan d) Penderita berkeringat pada waktu malam hari tanpa penyebab yang jelas. e) Badan penderita lemah dan lesu f) Penderita mengalami penurunan berat badan dikarenakan hilangnya nafsu makan g) Urine penderita berubah warna menjadi kemerahan atau keruh. Ciri gejala ini muncul pada kondisi selanjutnya 5. Lingkungan a. Pengertian Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup, misalnya tanah, pepohonan. Sementara lingkungan abiotik mencakup benda-benda tidak hidup seperti rumah, gedung, dan tiang listrik. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, 26 kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Menurut Pramudya Sunu (2001), daya dukung lingkungan pada adalah daya dukung lingkungan adalah kemampuan atau kapasitas ekosistem untuk mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus mempertahankan produktivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan memperbaiki diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Berkurangnya daya dukung lingkungan akan berakibat pula terhadap kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. b. Hubungan Kondisi lingkungan dan Kejadian Penyakit Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan juga mempunyai peran yang cukup strategis terhadap terjadinya suatu penyakit. Karakteristik lingkungan yang dapat dijadikan indikator untuk hal tersebut, antara lain : 1) Kepadatan penghuni Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan penuh sesak (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan 27 hunian untuk seluruh perumahan bisa dinyatakan dalam m² per orang. Luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak dibawah usia lima tahun 2) Pencahayaan Syarat utama dari sebuah rumah sehat antara lain memiliki pencahayaan yang cukup untuk ruangan di dalamnya baik melalui pencahayaan alami maupun buatan. Sebaiknya cahaya matahari dibiarkan bebas masuk ruangan pada pagi hari melalui jendela, pintu, tirai dan atap menggunakan genteng kaca atau plastik. Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah dan dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya adalah 60 lux dan tidak menyilaukan, misalnya melalui jendela atau genteng kaca. Cahaya matahari ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri- bakteri patogen di dalam rumah, menerangi ruangan, mengusir serangga dan tikus. 3) Kelembaban Kelembaban selain berpengaruh terhadap keadaan rasa nyaman pada manusia juga berpengaruh pada pertumbuhan mikroba pathogen. Kelembaban udara berdasarkan persyaratan kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 menyatakan bahwa kelembaban rumah tinggal berkisar antara 40-70%, hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban di dalam rumah akan mempengaruhi berkembangbiaknya mikroorganisme. Kelembaban di rumah dapat disebabkan oleh air yang naik dari tanah (rising damp) kemudian merembes ke dinding (percolating damp) dan bocor melalui atap (roof leaks), kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan lantai dan dinding selalu basah. 4) Ketinggian Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan, setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5˚C. Ketinggian berkaitan dengan kelembaban juga dengan kerapatan Oksigen. 28 6. Valuasi Ekonomi Ilmu ekonomi menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,2015) adalah suatu studi tentang bagaimana masyarakat menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk memproduksi komoditi yang berguna dan mendistribusikanya pada orang lain. Tujuan Ilmu Ekonomi adalah bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya yang terbatas sehingga mencapai hasil yang dikehendaki. Ekonomi adalah suatu sikap untuk memilih hal yang menjadi kebutuhan prioritas dan kebutuhan alternatif. Valuasi ekonomi sumber daya alam berperan penting dalam menyediakan informasi ini untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Champ et al (2001) dalam Fauzi (2014) kebijakan publik harus mencerminkan pemahaman terkait dengan nilai barang publik, apalagi hal yang menyangkut dengan sumber daya alam dan lingkungan karena nilai publik dari sumber daya alam sering tidak tercermin dalam nilai pasar. Valuasi ekonomi harus menjadi bagian penting dalam kebijakan publik karena valuasi ekonomi akan menjadi sumber informasi yang sangat vital dalam melakukan analisis biaya manfaat kebijakan publik yang lebih komprehensif. The Mosby Medical Encyclopedia dalam Olsen (1999) menyatakan ekonomi kesehatan adalah studi mengenai permintaan dan penawaran dari sumber daya yang terlibat dalam perawatan kesehatan dan dampak perawatan kesehatan pada masyarakat. Analisis manfaat dan biaya adalah salah satu cabang ilmu ekonomi yang digunakan untuk melakukan evaluasi agar penggunaan sumbersumber ekonomi dapat dilakukan secara efisien, mengingat banyak program yang harus dilakukan dan dana yang tersedia terbatas. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional Triwulan I tahun 2013, persentase pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan lebih rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan. Kondisi ini mencerminkan ciri dari suatu negara berkembang. Pengeluaran untuk non makanan sebesar 49,34% dan pengeluaran untuk makanan sebesar 50,66%. Pengeluaran makanan terbesar untuk makanan jadi, padi-padian dan tembakau/sirih. Pengeluaran non makanan terbesar untuk perumahan dan fasilitas 29 rumah tangga, barang dan jasa serta barang-barang tahan lama. Biaya kesehatan per kapita sebulan hanya sebesar 3,44% dari total pengeluaran per kapita sebulan. Nilai ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap pengeluaran untuk tembakau dan sirih sebesar 6,24% (Profil Kesehatan Indonesia, 2014). Menurut Fauzi (2014) sumber daya alam dan lingkungan menyediakan berbagai layanan barang dan jasa yang sangat bernilai bagi manusia. Hanley,et al., (2000) dalam Fauzi (2014) menyebutkan bahwa keterkaitan antara sumber daya alam dan lingkungan dengan aspek ekonomi dan kebutuhan manusia memiliki ciri empat peran, yaitu: a. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam menyuplai input energi dan material untuk proses produksi seperti minyak, bijih besi dan kayu b. Peran lingkungan sebagai penyerap sisa produksi dan konsumsi seperti limbah domestik atau emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak c. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai sumber langsung dan perbaikan kualitas hidup manusia, seperti halnya ketika kita menikmati keindahan alam pegunungan atau menyaksikan keanekaragaman hayati flora dan fauna d. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai penyedia dukungan kehidupan dasar (basic life support) seperti pengaturan iklim global, daur ulang nutrien dan sejenisnya Dalam perspektif ekonomi, tujuan dari kegiatan ekonomi adalah meningkatkan kesejahteraan atau lebih luas lagi apa yang disebut well being yang bukan saja melihat aspek kesejahteraan dari sisi peningkatan pendapat, tetapi juga terkait dengan aspek lain seperti kesehatan, ketentraman, kepuasan yang diperoleh dari nilai-nilai estetika. Dalam penilaian sumber daya alam dan lingkungan baik dalam penilaian untuk menentukan nilai keberadaan dan nilai pasif lainnya maupun penilaian expost seperti menghitung nilai ekonomi kerusakan lingkungan sering melibatkan jasa lingkungan yang tidak terpasarkan. Penggunaan pendekatan pasar melalui penggunaan harga komoditas yang terpasarkan dalam konteks ini menjadi tidak tepat karena jasa lingkungan tidak memiliki harga pasar. Untuk mengatasi 30 masalah ini, metode valuasi nonpasar yang dikenal dengan stated preference method (SP) atau metode preferensi yang dinyatakan dapat digunakan untuk menentukan nilai ekonomi tersebut. Metode pendekatan yang termasuk dalam pendekatan SP, yaitu Contingent Valuation Method (CVM) dan Choice Experiment (CE). Metode CVM merupakan metode penilaian ekonomi secara langsung melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang (Willingness to Pay atau WTP), sedangkan CE merupakan metode tidak langsung penilaian ekonomi dimana pendugaan WTP dilakukan melalui tawaran pilihan yang setiap pilihan memiliki variabel karakteristik, harga atau biaya. Metode CVM merupakan pendekatan yang paling populer, karena merupakan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomi bagi orang yang tidak mengalami secara langsung atas perubahan suatu kebijakan (Whitehead and Blomquist, 2006 dalam Fauzi, 2014). Secara umum analisis CVM melibatkan tiga tahapan utama (Pearce et al., 2006), yaitu: a. Identifikasi barang dan jasa yang akan dievaluasi Pada tahap ini merupakan tahapan yang krusial dalam analisis CVM. Pada tahapan ini seorang peneliti terlebih dahulu harus memiliki konsep yang jelas tentang apa yang akan dievaluasi, perubahan kualitas dan kuantitas apa yang menjadi concern kebijakan serta jenis barang dan jasa nonpasar apa yang akan divaluasi b. Konstruksi skenario hipotetik Metode CVM mengandalkan tehnik survei, maka pada tahapan ini akan sangat tergantung dari konteks yang dianalisis. Nilai yang diduga akan sangat bergantung dari berbagai skenario yang disodorkan dan pertanyaan yang diajukan. Pada tahap ini jenis pertanyaan dan skenario yang diajukan akan sangat berpengaruh terhadap outcome yang akan dihasilkan pada analisis CVM. Pada tahap ini terdapat tiga elemen dasar, yaitu : 1) Deskripsi perubahan kebijakan yang akan dievaluasi Memberikan informasi yang berarti pada responden tentang dampak dari skenario kebijakan yang disodorkan. Deskripsi kebijakan paling tidak harus memuat dua skenario dasar, yaitu kondisi saat ini yang akan 31 dijadikan reference point (baseline) dan skenario target dari kebijakan yang diusulkan dengan komponen atribut yang ditawarkan 2) Deskripsi pasar yang akan dikembangkan Mengacu pada konteks kebiajkan dan kelembagaan yang diperlukan, misalnya lembaga yang bertanggung jawab menyediakan barang dan jasa, kelayakan teknis dan ekonomis dari kebijakan yang ditawarkan. Hal yang juga menjadi pertimbangan pada elemen ini terkait waktu yang tepat, antara lain: kapan kebijakan tersebut dijalankan, kapan pembayaran harus dilakukan, untuk berapa lama 3) Deskripsi metode pembayaran Responden harus memberikan informasi yang jelas apakah pembayaran akan dilakukan melalui tarif masuk, pajak atau penambahan harga pada barang dan jasa c. Elisitasi nilai moneter Metode elisitasi adalah tehnik mengekstrak informasi kesanggupan membayar dari responden dengan menanyakan besaran pembayaran melalui format tertentu. Setiap metode elisitasi memerlukan penanganan data tersendiri dan tehnik perhitungan WTP yang juga spesifik. Kebanyakan metode CVM menggunakan tehnik yang relatif mudah dijawab oleh responden. Analisis CVM mengandalkan tehnik elisitasi untuk menentukan nilai WTP, maka semakin kompleks elisitasi semakin kompleks pula analisisnya. B. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang sanitasi sudah banyak dilakukan oleh peneliti lain,maka dalam penelitian kali ini penulis meninjau penilaian sanitasi permukiman dari segi valuasi ekonomi. Adapun penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Barno Suud dan Prananda Navitas (2015) dengan hasil Faktor-faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh, antara lain : laju pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, kondisi pelayanan air bersih, kondisi sanitasi lingkungan, kondisi persampahan, kondisi saluran air hujan, kondisi jalan ruang terbuka, keterbatasan dana untuk membeli rumah, tingkat pendapatan masyarakat, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, keterbatasan lahan permukiman, 32 harga lahan permukiman, program-program pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam memelihara lingkungan 2. Penelitian yang dilakukan oleh Professor Jan Abel Olsen, Mr Richard D Smith, Mr Anthony Harris (1999) dengan hasil analisis biaya dan manfaat memiliki dasar teori ekonomi yang cukup kuat atau biasa disebut dengan ekonomi kesejahteraan, perhitungan ekonomi yang dilakukan tidak hanya sekedar teori tetapi juga memberikan gambaran bagaimana memberikan kesempatan untuk mengambil suatu keputusan yang logis dan terstruktur tentang biaya dan manfaat yang termasuk dalam penilaian secara ekonomi dan bagaimana seharusnya pengukurannya dilakukan 3. Penelitian yang dilakukan oleh Soedjajadi Keman (2005) dengan hasil Penduduk yang tinggal di daerah pemukiman kumuh mempunyai faktor risiko kejadian penyakit menular dan kecelakaan dalam rumah yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di lingkungan pemukiman yang lebih baik 4. Penelitian yang dilakukan oleh Owoeye, J.O and Adedeji, Y.M.D (2013) dengan hasil temuan di lapangan menegaskan bahwa kondisi lingkungan yang kumuh menunjukkan bahwa kesehatan individunya dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, bangunan dan lingkungan dimana dia tinggal 5. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Naveed (2014) dengan hasil kondisi social ekonomi masyarakat di Kota Sialkot tidak begitu baik, ukuran rumah tangga lebih besar dari biasanya, tingkat pendidikan daerah penelitian sangat rendah, kepadatan penghuni lebih dari enpat orang dalam satu rumah, pendapatan rata-rata bulanan terlalu rendah untuk membiayai rumah tangga dan memberikan fasilitas sanitasi yang baik sehingga status kesehatan pada permukiman di daerah kumuh sangat rendah. 6. Penelitian yang dilakukan oleh L.Indah Murwani dan J.Dwijoko (2002) dengan hasil masyarakat mempunyai kemauan untuk membayar upaya memelihara lingkungan melalui dana yang ditarik dari setiap liter BBM yang dikonsumsi untuk melakukan perjalanan (transportasi) 7. Penelitian yang dilakukan Oleh Corburn dan Hilderbrand dengan hasil lingkungan fisik dan sosial di perkotaan kumuh cenderung berinteraksi untuk menghasilkan 33 kesehatan yang buruk bagi perempuan, penelitian lebih lanjut diperlukan dengan memperhatikan tentang isu lingkungan 8. Penelitian yang dilakukan oleh Abha Laksmi Singh dan Zahir Abbas (2014) dengan hasil enam indikator sarana sanitasi yang baik, antara lain: jamban dalam rumah, saluran dari WC ke septic tank, lubang septic tank yang di semen, drainase air, sistem pembuangan limbah cair (rumah tangga), pembuangan sampah 9. Penelitian yang dilakukan oleh Adane Kobede dan Measne Gebreslassie (2014) dengan hasil sebanyak 80% responden menyatakan kesanggupannya untuk membayar dan ikut serta dalam sistem asuransi kesehatan berbasis masyarakat. Nilai WTP rata-rata sebesar 187,4 Birr/rumah tangga/tahun 10. Penelitian yang dilakukan oleh Selfia Ladiyance dan Lia Yuliana (2014) dengan hasil perkiraan nilai WTP Rp.4.325/bulan, variabel yang mempengaruhi kesediaan membayar antara lain: pengetahuan tentang pencemaran sungai, status kepemilikan rumah, pendidikan terakhir dan pendapatan rumah tangga 11. Penelitian yang dilakukan oleh Alexander.F, Gabriel.F and Olusegun.O (2012) dengan hasil mayoritas responden tidak membuang limbah mereka dengan baik dalam ke lingkungan, hal ini berdampak buruk terhadap lingkungan perumahan di wilayah studi sehingga menggambarkan kondisi wilayah di daerah penelitian sebagai daerah permukiman kumuh 12. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsin,M, Safdar,S, Asghar,F dan Jamal, F (2013) dengan hasil telah ditemukan fakta pencemaran air tanah secara siginifikan setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, sekitar 36% warga telah tertular penyakit yang disebabkan oleh kondisi air yang kurang memenuhi syarat sehingga untuk menyelamatkan warga setempat pemerintah perlu menyediakan air minum yang aman dengan melakukan pemantauan berkala untuk kualitas air 13. Penelitian yang dilakukan oleh Truman, P dan Kwame, N (2012) dengan hasil costconsequence analyses (CCA) memberikan transparansi yang lebih besar daripada cost-utility analyses (CUA) dalam melaporkan hasil dari intervensi kesehatan masyarakat 14. Penelitian yang dilakukan oleh Wasonga,J , Olang,CO and Kioli,F (2014) dengan hasil bahwa program sekolah mungkin tidak meningkatkan kesenjangan antara pengetahuan, sikap, dan praktek akan tetapi baik untuk generasi mendatang. 34 Masalah sosial budaya yang menghambat transformasi kebersihan, program- program kesehatan harus menemukan cara-cara inovatif untuk menjembatani kesenjangan ini dalam rangka untuk membawa perubahan dalam rumah tangga melalui budaya intervensi sensitif 15. Penelitian yang dilakukan oleh Suharjito dan Andreas Wibowo (2014) dengan hasil WTP berkisar antara Rp.57.552 (0,57% dari nilai tanggungan) dan Rp.61.970 (0,62% dari nilai tanggungan). Hal ini berarti bahwa kesediaan membayar pekerja konstruksi diatas premi personal accident yang berlaku saat ini (0,25%-0,40%) C. Kerangka Berpikir Kejadian penyakit terutama penyakit yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya kondisi lingkungan dan sarana sanitasi yang ada di sekitar permukiman. Terdapat tiga parameter kunci (fisik, lingkungan, sosial ekonomi) yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui problem sanitasi di suatu wilayah (Astono, 2010). Penelitian dapat dilakukan dengan pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan antara lain pengukuran, wawancara, dan identifikasi penyediaan sarana dan prasarana sanitasi (air bersih dan air limbah, sampah dan jaringan drainase) serta pengamatan kualitas lingkungan fisik. Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana yang terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan tersedianya pelayanan sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Bab 1 pasal 1 pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis. Definisi tersebut memberi arti yang luas pada kata kesehatan. Berdasarkan definisi tersebut, seseorang belum dianggap sehat sekalipun ia tidak berpenyakit jiwa ataupun raga, orang tersebut masih harus dinyatakan sehat secara sosial. Hal ini dianggap perlu karena penyakit yang diderita oleh seseorang atau sekelompok masyarakat umumnya ditentukan sekali oleh perilakunya atau keadaan sosial budayanya yang tidak sehat. Demikian pula halnya apabila masyarakat tidak mempunyai perilaku yang menunjang kesehatan, misalnya tidak terbiasa dengan kebersihan, tidak hidup di dalam rumah yang sehat, tidak terbiasa mengamankan buangannya yang berbahaya, dan lain sebagainya. 35 Kebiasaan-kebiasaan tersebut didasari oleh ketidakmampuan secara materiil, pengetahuan maupun sosial budaya. Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan masih terdapat 37 penyakit tradisional yang berhubungan dengan air minum dan sanitasi lingkungan yang kurang layak (Profil Kesehatan, 2013) meliputi : Waterborn disease (penyakit yang ditularkan langsung melalui air) seperti diare, typhus, disentri, hepatitis A dan E (diare merupakan penyebab kematian kedua pada balita di Indonesia setelah ISPA), Water washed disease (penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air untuk keperluan sehari-hari) seperti scabies, infeksi kulit dan selaput lendir, trakhoma, lepra, frambosia, dan lainnya, Water based disease (penyakit yang bibitnya sebagian dari siklus kehidupannya berhubungan dengan air) antara lain schistomasis, Water related vectors (penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit yang sebagian atau seluruh perindukannya berada di air) seperti malaria, demam berdarah, filariasis, dan lainnya, Water related disease (penyakit yang ditularkan oleh vektor yang sebagian atau seluruh kehidupannya berkaitan dengan sampah) seperti diare dan lainnya. Adapun kerangka berpikir yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. LINGKUNGAN Abiotik (Air, tanah, udara) Biotik (tumbuhan, hewan, manusia) Culture (Perilaku manusia) KONDISI SANITASI PERMUKIMAN 1. 2. 3. Penilaian rumah (komponen rumah, sarana sanitasi) Pengukuran lingkungan fisik (Pencahayaan, Kelembaban, Suhu, Kebisingan) Kepadatan Penghuni KESEHATAN MASYARAKAT Penyakit Berbasis Lingkungan (Diare, ISPA,DBD, Penyakit Kulit, TBC) Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian 36 VALUASI EKONOMI (Penghasilan, WTPATP) D. Perumusan Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kondisi sanitasi permukiman di Kota Yogyakarta kategori rendah. Kondisi sanitasi permukiman dikategorikan rendah apabila persentase rumah sehat < 60 % 2. Kondisi ekonomi masyarakat di permukiman Kota Yogyakarta kategori rendah. Kondisi ekonomi masyarakat dikegorikan rendah apabila rata-rata penghasilan keluarga < Rp.1.500.000,- /bulan 3. Kondisi ekonomi dan sanitasi permukiman berhubungan dengan kesehatan masyarakat di Kota Yogyakarta. Indikator kondisi kesehatan yang baik apabila kejadian penyakit berbasis lingkungan yang terjadi rendah dan begitu juga sebaliknya. Penyakit berbasis lingkungan yang dimaksud, antara lain: Diare, ISPA,DBD, Penyakit Kulit, TBC. 37