BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Secara geografis

advertisement
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Benua Asia dan
Australia, di antara dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Berdasarkan
data dari Profil Kesehatan Tahun 2014, dilaporkan bahwa pada tahun 2013, secara
administratif wilayah Indonesia terbagi atas 33 provinsi, 497 kabupaten/kota (399
kabupaten dan 98 kota), 6.994 kecamatan, 8.309 kelurahan dan 72.944 desa. Hasil
estimasi jumlah penduduk pada tahun 2013 sebesar 248.422.956 jiwa, yang terdiri atas
jumlah penduduk laki-laki sebesar 125.058.484 jiwa dan jumlah penduduk perempuan.
Sebanyak 123.364.472 jiwa. Jumlah penduduk di Indonesia meningkat dengan relatif
cepat. Diperlukan kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar
kelahiran dapat dikendalikan dan kesejahteraan penduduk makin meningkat.
Penyebaran penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta belum merata. Hal ini
dapat dilihat dari kepadatan penduduk setiap kabupaten/kota yang tidak sama.
Kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kota Yogyakarta sebesar
12.313 jiwa/km2 sedangkan kepadatan terendah di Kabupaten Gunungkidul dengan
kepadatan penduduk 489 jiwa/km2. Jumlah penduduk dan luas wilayah merupakan
indikator penting dalam hal penyebaran penduduk (Pusat Data dan Informasi
Kemenkes.,2013).
Tingginya laju pertumbuhan penduduk dibeberapa bagian dunia menyebabkan
jumlah penduduk meningkat dengan cepat. Menurut Bagoes (2004) dalam perencanaan
pembangunan data kependudukan memegang peran yang penting. Semakin lengkap dan
akurat data kependudukan yang tersedia makin mudah dan tepat rencana pembangunan
itu dibuat. Beberapa aspek yang mempengaruhi kondisi sanitasi dan permukiman di
berbagai daerah terutama di kota-kota besar, antara lain:
1. Sanitasi
a. Pengertian Sanitasi
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan lingkungan,
yaitu perilaku yang disengaja untuk membudayakan hidup bersih untuk
mencegah manusia tersentuh langsung dengan kotoran dan bahan buangan
berbahaya lainnya, dengan harapan dapat menjaga dan meningkatkan
8
kesehatan manusia. Sanitasi adalah cara pengawasan masyarakat yang
menitikberatkan kepada pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan
yang mungkin mempengaruhi kesehatan manusia.
1) Menurut World Health Organization (WHO)
Pengertian Sanitasi secara umum mengacu pada penyediaan fasilitas dan
layanan untuk pembuangan urine dan tinja yang aman. Sanitasi yang tidak
memadai adalah penyebab utama penyakit di seluruh dunia dan sanitasi
diketahui memiliki dampak positif bagi kesehatan baik di lingkungan
rumah
tangga
dan
di
masyarakat
(www.who.int/topics/sanitation/en,
2015).
Sanitasi
pada
juga
umumnya
bermakna
kemampuan menjaga kondisi higienis, melalui layanan pengumpulan
sampah dan pembuangan air limbah.
2) Menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2015)
Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan
yang baik di bidang kesehatan, terutama kesehatan masyarakat. Sanitasi
lingkungan adalah cara menyehatkan lingkungan hidup manusia terutama
lingkungan fisik, yaitu tanah, air, dan udara.
3) Di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 22
disebutkan
bahwa
kesehatan
lingkungan
diselenggarakan
untuk
mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan
melalui peningkatan sanitasi lingkungan, baik yang menyangkut tempat
maupun terhadap bentuk atau wujud substantifnya yang berupa fisik,
kimia, atau biologis termasuk perubahan perilaku
Sanitasi lingkungan merupakan pencegahan penyakit dengan jalan
pengawasan tidak hanya terhadap lingkungan fisik manusia saja tetapi juga
pengawasan terhadap lingkungan biologis, sosial dan ekonomi yang dapat
mempengaruhi kesehatan manusia.
Kualitas lingkungan yang sehat adalah keadaan lingkungan yang bebas
dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup manusia,
melalui pemukiman antara lain rumah tinggal dan asrama atau yang
sejenisnya, melalui lingkungan kerja antrara perkantoran dan kawasan industri
9
atau sejenis. Upaya yang harus dilakukan dalam menjaga dan memelihara
kesehatan lingkungan obyek sanitasi meliputi seluruh tempat kita tinggal atau
bekerja seperti: dapur, restoran, taman, publik area, ruang kantor, rumah
b. Ruang lingkup sanitasi
Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan
lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada
pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia. Upaya sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan
kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air
limbah, pengendalian vektor dan binatang pengganggu serta penyehatan
makanan dan minuman. Ruang lingkup sanitasi, meliputi :
1) Air limbah domestic, yaitu : Black water : air buangan jamban (urine,
tinja, dan air gelontoran) dan Grey water : air buangan mandi dan cuci
2) Pengelolaan persampahan: kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah
3) Drainase lingkungan atau tersier, yaitu : sistem saluran awal yang
melayani kawasan kota tertentu, seperti kompleks perumahan, area pasar,
perkantoran, areal industri, dan perkantoran.
4) Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS), meliputi : aspek non-teknis dari
sanitasi: meliputi promosi kesehatan, perubahan perilaku, dan sanitasi di
rumah tangga (5 pilar Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
2. Penyehatan Permukiman
Permukiman merupakan suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Berdasarkan dari deretan lima kebutuhan hidup manusia
pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan kesehatan, nampak bahwa
permukiman menempati posisi yang sentral, dengan demikian peningkatan
permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Rumah menjadi tempat yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Tidak dapat dihindari bahwa
laju pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan perumahan juga
meningkat. Rumah sebagai wadah aktivitas sebuah keluarga yang merupakan
satuan sistem sosial terkecil dalam negara maka kualitas kehidupan keluarga
menjadi sangat penting bagi kualitas suatu bangsa (Santosa, 2011). Ruang dimana
10
keluarga
beraktivitas
harus
dapat
memberikan
suasana
kondusif
bagi
pembentukan generasi-generasi bangsa yang berkualitas, yang salah satunya
adalah rumah dan lingkungannya.
a. Pengertian Rumah
1) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 rumah adalah struktur
fisik yang terdiri dari bangunan ruangan, halaman serta area sekitarnya
yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga.
2) Menurut WHO rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk
berlindung dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan
rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga maupun
individu (www.who.int/topics,2015)
3) Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No 829/Menkes/SK/VII/1999
rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga (Departemen Kesehatan, 1999)
Berdasarkan berbagai pengertian maka dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa pengertian rumah adalah suatu bangunan yang digunakan manusia
untuk berlindung dari berbagai kondisi lingkungan, untuk berinteraksi dengan
orang-orang terdekatnya dalam hal ini untuk membina keluarga.
Rumah tidak hanya dilihat sebagai alat instrumental akan tetapi juga
kaitannya dengan hubungan struktural di atas suatu kawasan. Makna dan
fungsi rumah akan mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai perumahan
yang sehat dalam suatu lingkungan permukiman yang tertata baik. Perumahan
adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan
dasar fisik lingkungan, misalnya: penyediaan air minum, pembuangan
sampah, listrik, telepon, jalan yang memungkinkan lingkungan permukiman
berfungsi sebagaimana mestinya dan sarana lingkungan yaitu fasilitas
penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya seperti fasilitas taman bermain, olah
raga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan, keamanan serta fasilitas
umum lainnya.
11
Rumah lebih bersifat kompleks dalam mengakomodasi berbagai konsep
dalam diri manusia dan kehidupannya. Hal ini seperti yang diungkapkan
Hayward (1996) dalam Santosa (2011) tentang beberapa konsep rumah
sebagai:
1) Simbol yang menunjukkan jati diri, pencerminan tata nilai selera pribadi
penghuninya
2) Wadah keakraban, rasa memiliki, rasa kebersamaan, kehangatan, kasih
dan rasa aman
3) Tempat menyendiri , menyepi, tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari
tekanan dan kehidupan yang menjadi rutinitasnya
4) Akar dan kesinambungan, rumah merupakan tempat kembali pada akar
dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam proses ke masa depan
5) Wadah kegiatan utama sehari-hari
6) Pusat jaringan sosial
7) Struktur fisik
b. Permasalahan perumahan
Pada masyarakat modern permasalahan rumah dan perumahan menjadi
masalah yang cukup serius. Saat ini permasalahan perumahan sangat erat
berkaitan dengan masalah sosial ekonomi di perkotaan. Urbanisasi secara
besar semakin menunjukkan pola perubahan dari masyarakat agraris pedesaan
menjadi masyarakat Industrialis perkotaan. Suatu rumah yang dihuni banyak
penghuni akan menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan akan menjadi
sumber penyakit yang potensial terhadap penyakit infeksi. Selain itu juga akan
menuntut ketersediaan fasilitas untuk sarana sanitasi dan penyediaan udara
yang lebih banyak. Penambahan fasilitas pada kondisi demikian tidak bisa
ditambahkan begitu saja.
Kondisi di atas jelas menimbulkan permasalahan lingkungan, khususnya
pusat kota (inner-city) dimana akan tercipta kawasan dan lingkungan kumuh
(sick districts and neighborhoods) yang dapat diindikasikan dengan
munculnya permukiman kumuh dan liar (slum dan squatters), kematian dan
kerusakan kawasan bersejarah, kesemrawutan dan kemacetan lalulintas (traffic
congestion), kerusakan kawasan tepian air, bantaran sungai dan tepian laut,
12
kekacauan ruang-ruang publik (public domain, public space, public easement),
lingkungan pedestrian, isi dan arti komunitas, ketidaksinambungan ekologi
kota serta ketidak seragaman morfologi dan tipologi kota.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa pemanfaatan
ruang haruslah disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor
dalam kerangka pengendalian program-program pembangunan perkotaan
jangka panjang. Dua hal pokok yang menjadi azas pemanfaatan ruang di
perkotaan Indonesia yakni yang pertama, adanya tiga unsur penting manusia
beserta aktivitasnya, lingkungan alam sebagai tempat dan pemanfaatan ruang
oleh manusia dilingkungan alam tersebut. Ketiga unsur ini merupakan satu
kesatuan yang saling berkaitan dan berada dalam keseimbangan sehingga
aktivitas
manusia
dalam
pemenuhan
kebutuhan
hidupnya
harus
memperhatikan daya dukung lingkungannya yang berorientasi pada kehidupan
yang berkelanjutan. Kedua, proses pemanfaatan ruang harus bersifat terbuka,
berkeadilan,
memiliki
perlindungan
hukum
dan
mampu
memenuhi
kepentingan semua pihak secara terpadu, berdayaguna dan serasi.
Paradigma baru perancangan kota tersebut harus mempertimbangkan
aspek globalisasi, desentralisasi, demokratisasi dan sistem pemerintahan.
Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut diharapkan di satu sisi,
pengambil kebijakan dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat menjadi Good
Urban
Governance
yang
berarti
aparat
dapat
merespon
berbagai
permasalahan pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan akuntabel
bersama-sama unsur masyarakat. Mekanisme Good Governance akan
memproses “co-guiding, co-steering dan co-managing”
dari ketiga
stakeholder utama, yaitu Pemerintah Daerah, sektor swasta dan masyarakat.
Kondisi ini akan membentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas
kebijakan-kebijakan publik dan lingkungannya (Soesilowati, 2007).
c. Persyaratan Rumah Sehat
1) Rumusan yang dikeluarkan oleh American Public Health Association
(APHA.,1980), dalam Dewi (2011) syarat rumah sehat harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:
13
a) Memenuhi
kebutuhan
fisiologis.
Antara
lain,
pencahayaan,
penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan
yang mengganggu.
b) Memenuhi kebutuhan psikologis, antara lain, privacy yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.
c) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah yaitu dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air
limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan
hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya
makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan
penghawaan yang cukup.
d) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain
persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi yang tidak mudah roboh,
tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya
jatuh tergelincir.
2) Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 menjelaskan tentang ketentuan persyaratan
kesehatan rumah tinggal sebagai berikut:
a) Bahan-bahan Bangunan
Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain:
(1) Debu total kurang dari 150 mg per meter persegi;
(2) Asbestos kurang dari 0,5 serat per kubik, per 24 jam;
(3) Timbal (Pb) kurang dari 300 mg per kg bahan;
(4) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
b) Komponen dan penataan ruangan
(1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;
(2) Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar
cuci kedap air dan mudah dibersihkan;
14
(3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan;
(4) Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir;
(5) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya;
(6) Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.
c) Pencahayaan
Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung
dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan
minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
d) Kualitas udara
(1) Suhu udara nyaman, antara 18 – 30 ˚C
(2) Kelembaban udara, antara 40 – 70 %
(3) Gas SO2 ≤ 0,10 ppm per 24 jam
(4) Pertukaran udara 5 kali 3 per menit untuk setiap penghuni
(5) Gas CO ≤ 9,0 ppm per 8 jam
(6) Gas formaldehid ≤ 120 mg per meter kubik
e) Ventilasi
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas
lantai.
f) Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam
rumah.
g) Penyediaan air
(1) Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal
60 liter per orang setiap hari;
(2) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih
dan atau air minum
h) Pembuangan limbah
(1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber
air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan
tanah;
15
(2) Limbah
padat
harus
dikelola
dengan
baik
agar
tidak
menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air
tanah.
i) Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 meter persegi, dan dianjurkan tidak
untuk lebih dari 2 orang dalam 1 kamar tidur, kecuali anak usia
kurang dari 5 tahun
3. Kesehatan Masyarakat
Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks yang
berkaitan dengan masalah-masalah lain diluar kesehatan sendiri. Banyak faktor
yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan
masyarakat. Empat faktor menurut Hendrik L.Blum (2000) tersebut antara lain
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan atau genetik yang
berpengaruh satu sama lainnya.
Faktor terbesar yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan.
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup lingkungan yang paling dekat
dengan kegiatan manusia adalah rumah, dimana rumah sebagai tempat tinggal dan
segala aktifitas manusia.
Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian
yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan dibidang kesehatan,
harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Kementerian Kesehatan dalam
Profil Kesehatan Indonesia (2013) menyatakan upaya pembangunan di bidang
kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan
yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja,
namun sektor terkait lainnya seperti sektor penididikan, sektor ekonomi, sektor
sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Untuk
mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk
sebagai sasaran program pembangunan kesehatan. Kebijakan pembangunan
16
kesehatan menurut Kementerian Kesehatan yang tertuang dalam Profil Kesehatan
Indonesia (2013) Tahun 2015-2019, meliputi :
a. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan
Lanjut Usia yang Berkualitas
b. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat
c. Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
d. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang Berkualitas
e. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas
f. Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan Kualitas
Farmasi dan Alat Kesehatan
g. Meningkatkan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan
h. Meningkatkan Ketersediaan, Persebaran, dan Mutu Sumber Daya Manusia
Kesehatan
i. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
j. Menguatkan Manajemen, Penelitian Pengembangan dan Sistem Informasi
k. Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang
Kesehatan
l. Mengembangkan dan Meningkatkan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa
Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
4. Penyakit Berbasis Lingkungan
Penyakit berbasis lingkungan dapat terjadi karena adanya interaksi antara
host (pejamu), agent (penyebab penyakit) dan lingkungan. Segitiga epidemiologi
menggambarkan interaksi tiga komponen penyakit yaitu manusia (host), penyebab
(agent) dan lingkungan (environment). Penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidak seimbangan antara ketiga komponen tersebut. Model ini lebih dikenal
dengan segitiga epidemiologi (epidemiologi triangle).
Agent adalah kuman atau virus yang hidup bebas di lingkungan dengan
kondisi yang tidak baik (Soemirat.,2003). Host adalah manusia atau organisme
yang rentan oleh pengaruh agent. Faktor endogen host meliputi usia, jenis
17
kelamin, ras, agama, kebiasaan, pekerjaan, genetik, penyakit sebelumnya dan
status imunitas.
Environment atau lingkungan adalah kondisi atau faktor yang
berpengaruh dan bukan bagian dari agent maupun host, tetapi mampu
mempromosikan paparan agent dan interaksinya dengan host. Unsur lingkungan
memegang peran yang cukup penting dalam menentukan terjadinya suatu
penyakit, sifat karakteristik individu sebagai penjamu dan ikut memegang peranan
dalam proses kejadian penyakit.
Pola penyakit di DIY dapat dipantau melalui Sistem Survailans Terpadu
Penyakit (STP) di Puskesmas selain dari hasil pemantauan kunjungan pasien di
Puskesmas (2013). Hasil pemantauan melalui Surveilans Terpadu Penyakit (STP)
di tingkat Puskesmas diamati setiap bulan berdasarkan laporan dari Puskesmas ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang selanjutnya disampaikan kepada Dinas
Kesehatan DIY untuk dilakukan pengolahan dan pengamatan secara terus
menerus terhadap penyakit yang berpotensi menyebabkan terjadinya wabah.
Penyakit menular yang selalu masuk dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas
selama beberapa tahun terakhir adalah ISPA, penyakit saluran nafas (Bronchitis,
Asma, Pneumonia), dan diare. Sementara untuk Balita, pola penyakit masih
didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi.
Penyakit–penyakit yang sudah menurun seperti tuberkulosa paru dan
malaria, masih memiliki potensi untuk meningkat kembali (re-emerging)
mengingat kondisi perilaku dan lingkungan (fisik, ekonomi, sosial, budaya)
masyarakat yang kurang mendukung. Kondisi tergambar dari masih belum
tereliminasinya berbagai penyakit tersebut dan masih tingginya faktor risiko baik
perilaku maupun lingkungn di masyarakat. Di sisi lain penyakit endemis seperti
DBD sampai saat ini masih tetap menjadi ancaman. Jenis-jenis penyakit berbasis
lingkungan, antara lain:
a. Demam Berdarah
1) Penyebab Penyakit Demam Berdarah
Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut Ditjen P2PL
(2013), penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akibat
18
infeksi virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), kasus DBD ini cenderung
meningkat dan penyebarannya semakin luas sejak tahun 1968. Keadaan ini
sangat berhubungan dengan mobilitas penduduk, juga disebabkan
hubungan tranportasi yang semakin lancar serta virus Dengue dan nyamuk
penularnya yang semakin tersebar luas di seluruh wilayah di Indonesia.
Selain itu, tempat bagi nyamuk untuk bersarang semakin bertambah
disebabkan produksi sampah yang meningkat oleh karena kepadatan
penduduk.
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, family
Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
yang terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue penyebab Demam Dengue
(DD) Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome
(DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus,famili Flaviviride, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4
2) Gejala Penyakit Demam Berdarah
a) Mendadak panas tinggi selama 2 - 7 hari, tampak lemah lesu suhu
badan antara 38oC sampai 40oC atau lebih
b) Tampak binti-bintik merah pada kulit dan jika kulit direnggangkan
bintik merah itu tidak hilang
c) Kadang-kadang perdarahan di hidung (mimisan)
d) Mungkin terjadi muntah darah atau berak darah
e) Tes Torniquet positif
f) Adanya perdarahan yang petekia, akimosis atau purpura
g) Kadang-kadang nyeri ulu hati, karena terjadi perdarahan di lumbung
h) Bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin
Berkeringat
Perdarahan
selaput
lendir
mukosa,
gastrointestinal, tempat suntikan atau ditempat lainnya
i) Hematemesis atau melena
j) Trombositopenia ( =100.000 per mm3)
19
alat
cerna
k) Pembesaran plasma yang erat hubungannya dengan kenaikan
permeabilitas dinding pembuluh darah, yang ditandai dengan
munculnya satu atau lebih dari:
(1) Kenaikan nilai 20% hematokrit atau lebih tergantung umur dan
jenis kelamin
(2) Menurunnya nilai hematokrit dari nilai dasar 20% atau lebih
sesudah pengobatan
(3) Tanda-tanda pembesaran plasma yaitu efusi pleura, asites, hipoproteinaemia
3) Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyebab adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus, diketahui
empat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus
Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai
penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes
aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor
sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium
pradewasanya
mempunyai
habitat
perkembangbiakan
di
tempat
penampungan air atau wadah yang berada di permukiman dengan air yang
relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang
biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi,
ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan
sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di
wilayah perkotaan, sedangkan Ae.albopictus lebih banyak ditemukan di
penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon,
potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan
pedesaan,namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan di luar rumah. Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat
anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, disamping
itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah
sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap
darah beberapa kali
20
b. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
1) Penyebab Penyakit ISPA
Istilah Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau lebih dikenal dengan ISPA
meliputi saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah
dan organ adneksanya (Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan atau P2PL,2013). ISPA mengandung tiga unsur, yaitu :
infeksi, saluran pernafasan dan akut. Batasan ISPA menurut Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) sebagai
berikut:
a) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh
dan berkembang biak sehingga dapat menimbulkan gejala penyakit
b) Saluran pernafasan yaitu organ yang dimulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adeksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura.
c) Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batasan ini diambil untuk menunjukkan proses akut.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut dapat disebabkan oleh bakteri dan virus
namun sebagian besar kasus ISPA ini disebabkan oleh virus. Bakteri
penyebab ISPA antara lain genus: Streptococcus, Staphylococcus,
Pnemococcus, Hemofillus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus antara
lain: Influenza, para influenza, campak, mikoplasma, koronavirus,
miksovirus, adenovirus, pokirnavirus dan herpesvirus.
2) Klasifikasi Penyakit ISPA
a) Berdasarkan lokasi anatomi
(1) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian atas yaitu menyerang
hidung sampai epiglotis beserta organ adeksanya
(2) Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian bawah yaitu menyerang
saluran pernafasan mulai dari bawah epiglotis sampai alveoli paru
b) Berdasarkan Daftar Tabulasi Dasar (DTD)
Daftar Tabulasi Dasar berdasrkan International Calssification of
Disease (ICD) dan dipakai pada penyusunan laporan kesakitan pada
puskesmas dan Rumah sakit. Diagnosa ISPA pada DTD merupakan
21
gabungan klasifiaksi anatomi dan etiologi ISPA, antara lain: difteri,
batuk rejan, radang tenggorokan, streptococcus, influenza, pnemonia,
laringitis dan bronkhitis.
c) Berdasarkan Derajad Keparahan
(1) ISPA ringan
Penatalaksanaannya cukup dengan tindakan penunjang dan tanpa
pengobatan anti mikroba
(2) ISPA sedang
Penatalaksanaannya memerlukan pengobatan anti mikroba tetapi
tidak perlu dirawat di rumah sakit atau puskesmas
(3) ISPA berat
Penatalaksanaannya memerlukan perawatan di rumah sakit atau
puskesmas
d) Klasifikasi pneumonia
(1) Pneumonia
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paruparu (alveoli)
(2) Bukan Pneumonia
Mencakup
kelompok
penderita
dengan
batuk
yang
tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak
menunjukkan adanya dinding dada kedalam, seperti batuk pilek
biasa (Commond Cold), pharingitis dan tonsilitis
e) Berdasarkan Umur
(1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi dalam dua jenis, yaitu
pneumonia berat dan bukan pneumonia. Pneumonia berat ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60
kali per menit atau lebih atau adanya tarikan kuat pada dinding
dada bagian bawah ke dalam. Bukan pneumonia apabila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas
cepat
(2) Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas
pneumonia berat, pneumonia ringan dan bukan pneumonia.
22
Pneumonia berat apabila disertai nafas sesak, yaitu adanya tarikan
dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik
nafas. Pneumonia ringan didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur, yaitu
40 kali per menit atau lebih. Bukan pneumonia apabila tidak
ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dana ada nafas
cepat.
3) Penyebaran Penyakit ISPA
Penyakit ISPA banyak menyebar didaerah tropis terutama didaerah
perkotaan dengan kondisi sanitasi yang buruk. Banyak terjadi kasus pada
musim pancaroba, yaitu antara bulan Oktober sampai November dan
antara bulan Maret sampai April. Frekuensi penularannya dapat mencapai
tiga atau enam kali dalam satu tahun. Penyakit ISPA dapat menyerang
semua orang dan semua golongan umur, akan tetapi usia muda lebih
rentan terkena penularan penyakit ini.
Seorang penderita penyakit ISPA akan menularkan kuman penyakit ke
orang lain melalui udara pernafasan atau percikan ludah penderita. Kuman
yang ada di udara akan terhirup oleh orang-orang yang ada di sekitarnya
dan masuk kedalam saluran pernafasan kemudian akan menyebar ke
seluruh tubuh. Apabila orang yang terinfeksi ini rentan maka akan terkena
ISPA ditambah jika kelembaban dan suhu kamar tinggi yang merupakan
faktor pemicu pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri, virus dan
jamur penyebab ISPA. Menurut Ditjen P2PL (2015) faktor risiko angka
kesakitan penyakit ISPA adalah kesehatan lingkungan kurang memadai
(pencahayaan, kelembaban dan suhu), kepadatan penghuni, gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, status sosial
ekonomi, defisiensi vitamin A, status imunisasi, penyakit kronis.
c. Diare
1) Penyebab Penyakit Diare
Diare adalah penyakit yang terjadi akibat perubahan konsistensi feses
selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita
Diare apabila feses lebih berair dari biasanya atau buang air besar lebih
23
dari tiga kali atau bila buang air besar yang berair tapi tidak berdarah
dalam 24 jam (Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013).
Penularan dapat melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh
bakteri yang terdapat dalam muntahan maupun feses penderita. Walaupun
telah sembuh dari penyakit dalam kurun waktu 7-14 hari, bakteri
penyebab masih terdapat dalam feses penderita dan berpotensi untuk
menularkannya kepada orang lain. Selain itu penularan juga bisa oleh
perantara binatang seperti lalat.
Penyakit diare disebabkan oleh beberapa mikroorganisme pathogen,
antara lain: Vibrio cholerae, Shigella sp, Escherichia coli, Amuba, Virus
dan Keracunan (bisa disebabkan oleh bakteri seperti Clostridium
batulinum maupun oleh bahan kimia yang terkandung dalam makanan).
2) Gejala penyakit Diare
Diare adalah buang air besar dengan tinja cair atau padat dengan frekuensi
buang air besar encer lebih dari 3 kali/hari. Berdasarkan lama waktu
terjadinya Diare, maka Diare dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Diare
akut jika berlangsung kurang dari atau sama dengan 15 hari sedangkan
Diare kronik jika berlangsung lebih dari 15 hari
Gejala penyakit Diare muncul secara mendadak. Diare berair, kram perut
dan rasa sakit mulai terjadi 6-15 jam setelah mengkonsumsi makanan
yang terkontaminasi. Rasa mual yang mungkin menyertai Diare tetapi
jarang terjadi muntah. pada kasus Diare berat, kejadian buang air besar
yang sangat sering menyebabkan tubuh kehilangan banyak cairan dan
elektrolit sehingga terjadi dehidrasi. Jika tidak segera ditangani, penderita
akan masuk kedalam keadaan syok dan meninggal dunia beberapa jam
atau beberapa hari setelah terjadinya infeksi
d. Tuberculossis (TBC)
1) Penyebab Penyakit TBC
Pengertian penyakit TBC adalah salah satu jenis penyakit infeksi yang
bersifat menular biasa menyerang saluran pernafasan atau paru-paru,
penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Di dunia,
penyakit TBC merupakan penyakit penyebab kematian kedua setelah
24
HIV/AIDS. Menurut data dari WHO pada tahun 2011 diperkirakan
terdapat 8,7 orang yang terinfeksi TBC dan ada sekitar 1,4 penderita TBC
diantaranya mengalami kematian. Kasus ini 95% lebih banyak terjadi di
negara-negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Penyebab penyakit TBC diakibatkan adanya infeksi dari kuman (bakteri)
yang bernama Mycobacterium tuberculosis dan biasanya menyerang paruparu. Selain itu bakteri penyebab TBC ini juga menyerang organ tubuh
lainnya seperti kelenjar getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang,
bahkan bisa menyerang otak. Penyakit TBC adalah jenis penyakit yang
mudah menular, media penularannya bisa melalui cairan di dalam saluran
nafas yang keluar ketika penderita batuk atau bersin kemudian terhirup
oleh orang lain yang berada di lingkungan sekitar penderita TBC tersebut.
Bakteri penyebab TBC akan tertidur dan tidak akan menyerang terhadap
orang yang mempunyai tubuh sehat dengan asupan gizi cukup dan daya
tahan tubuh yang baik. Bakteri TBC lebih mudah menular dan menyerang
terhadap orang-orang yang mengalami kekurangan gizi dan daya tahan
tubuh yang buruk. TBC bisa juga menginfeksi orang yang tinggal di
lingkungan dengan udara buruk dan mengandung banyak kuman TBC.
Gizi buruk dan lingkungan yang buruk bisa menyebabkan kuman (bakteri)
TBC yang tertidur pulas di dalam tubuh menjadi aktif.
Serangan infeksi kuman TBC seringkali muncul tanpa disertai tanda-tanda
atau gejala khas apapun, biasanya indikasi yang muncul cuma batuk-batuk
ringan dan hali ini sering dianggap remeh dan tidak dihiraukan oleh calon
penderita. Seorang penderita infeksi TBC paru-paru dapat dengan mudah
menularkan kuman (bakteri) TBC kepada orang lain di lingkungan
sekitarnya baik itu di rumah, sekolah atau tempat kerja (kantor). Jika sudah
menjadi kuman yang aktif di dalam tubuh, kuman TBC akan terus
merusak jaringan paru-paru hinggga menimbulkan tanda-tanda dan gejala
yang khas ketika penyakitnya sudah dalam keadaan cukup parah.
2) Gejala
Ciri-ciri gejala awal orang yang terkena infeksi penyakit TBC bisa
dikenali dari tanda-tanda kondisi pada fisik penderitanya, yaitu salah
25
satunya penderita akan mengalami demam yang tidak terlalu tinggi dan
berlangsung lama, demam biasanya dialami pada malam hari disertai
dengan keluarnya keringat. Kadang-kadang derita demam disertai dengan
influenza yang bersifat timbul sementara kemudian hilang lagi. Berikut ini
adalah gejala penyakit TBC paru-paru yang bisa kita kenali sejak dini :
a) Ketika penderita batuk atau berdahak biasanya disertai keluarnya
darah.
b) Penderita mengalami sesak napas dan nyeri pada bagian dada.
c) Penderita mengalami deman (meriang panas dingin) lebih dari
sebulan
d) Penderita berkeringat pada waktu malam hari tanpa penyebab yang
jelas.
e) Badan penderita lemah dan lesu
f) Penderita mengalami penurunan berat badan dikarenakan hilangnya
nafsu makan
g) Urine penderita berubah warna menjadi kemerahan atau keruh. Ciri
gejala ini muncul pada kondisi selanjutnya
5. Lingkungan
a. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap
proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam
lingkungan tersebut. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan
biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang
hidup, misalnya tanah, pepohonan. Sementara lingkungan abiotik mencakup
benda-benda tidak hidup seperti rumah, gedung, dan tiang listrik.
Dalam
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
26
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antar keduanya. Menurut Pramudya Sunu (2001), daya dukung
lingkungan pada adalah daya dukung lingkungan adalah kemampuan atau
kapasitas ekosistem untuk mendukung kehidupan organisme secara sehat
sekaligus
mempertahankan
produktivitas,
kemampuan
adaptasi
dan
kemampuan memperbaiki diri. Daya dukung lingkungan diartikan sebagai
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia. Daya dukung
lingkungan hidup terbagi menjadi 2 komponen, yaitu kapasitas penyediaan
(supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity).
Carrying capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian
kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara
optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat
pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme
secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan.
Berkurangnya daya dukung lingkungan akan berakibat pula terhadap
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia.
b. Hubungan Kondisi lingkungan dan Kejadian Penyakit
Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan juga mempunyai peran yang cukup
strategis terhadap terjadinya suatu penyakit. Karakteristik lingkungan yang
dapat dijadikan indikator untuk hal tersebut, antara lain :
1) Kepadatan penghuni
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan penuh sesak (overcrowded). Hal ini tidak
sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga
bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain.
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan
27
hunian untuk seluruh perumahan bisa dinyatakan dalam m² per orang.
Luas kamar tidur minimal 8 m² dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2
orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak dibawah usia lima tahun
2) Pencahayaan
Syarat utama dari sebuah rumah sehat antara lain memiliki pencahayaan
yang cukup untuk ruangan di dalamnya baik melalui pencahayaan alami
maupun buatan. Sebaiknya cahaya matahari dibiarkan bebas masuk
ruangan pada pagi hari melalui jendela, pintu, tirai dan atap menggunakan
genteng kaca atau plastik.
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah
penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan
yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah dan dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya adalah 60 lux dan tidak
menyilaukan, misalnya melalui jendela atau genteng kaca. Cahaya
matahari ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri- bakteri
patogen di dalam rumah, menerangi ruangan, mengusir serangga dan tikus.
3) Kelembaban
Kelembaban selain berpengaruh terhadap keadaan rasa nyaman pada
manusia juga berpengaruh pada pertumbuhan mikroba pathogen.
Kelembaban
udara
berdasarkan
persyaratan
kesehatan
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 menyatakan bahwa kelembaban rumah tinggal
berkisar antara 40-70%, hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban di
dalam rumah akan mempengaruhi berkembangbiaknya mikroorganisme.
Kelembaban di rumah dapat disebabkan oleh air yang naik dari tanah
(rising damp) kemudian merembes ke dinding (percolating damp) dan
bocor melalui atap (roof leaks), kelembaban yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan lantai dan dinding selalu basah.
4) Ketinggian
Ketinggian
secara
umum
mempengaruhi
kelembaban
dan
suhu
lingkungan, setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan
permukaan laut sebesar 0,5˚C. Ketinggian berkaitan dengan kelembaban
juga dengan kerapatan Oksigen.
28
6. Valuasi Ekonomi
Ilmu ekonomi menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI,2015) adalah suatu studi tentang bagaimana
masyarakat menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk memproduksi
komoditi yang berguna dan mendistribusikanya pada orang lain. Tujuan Ilmu
Ekonomi adalah bagaimana memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya yang
terbatas sehingga mencapai hasil yang dikehendaki. Ekonomi adalah suatu sikap
untuk memilih hal yang menjadi kebutuhan prioritas dan kebutuhan alternatif.
Valuasi
ekonomi
sumber
daya
alam
berperan
penting
dalam
menyediakan informasi ini untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait
dengan kebijakan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Champ et al (2001) dalam
Fauzi (2014) kebijakan publik harus mencerminkan pemahaman terkait dengan
nilai barang publik, apalagi hal yang menyangkut dengan sumber daya alam dan
lingkungan karena nilai publik dari sumber daya alam sering tidak tercermin
dalam nilai pasar. Valuasi ekonomi harus menjadi bagian penting dalam kebijakan
publik karena valuasi ekonomi akan menjadi sumber informasi yang sangat vital
dalam melakukan analisis biaya manfaat kebijakan publik yang lebih
komprehensif.
The Mosby Medical Encyclopedia dalam Olsen (1999) menyatakan
ekonomi kesehatan adalah studi mengenai permintaan dan penawaran dari sumber
daya yang terlibat dalam perawatan kesehatan dan dampak perawatan kesehatan
pada masyarakat. Analisis manfaat dan biaya adalah salah satu cabang ilmu
ekonomi yang digunakan untuk melakukan evaluasi agar penggunaan sumbersumber ekonomi dapat dilakukan secara efisien, mengingat banyak program yang
harus dilakukan dan dana yang tersedia terbatas.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional Triwulan I tahun 2013,
persentase pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan
lebih rendah jika dibandingkan dengan pengeluaran untuk makanan. Kondisi ini
mencerminkan ciri dari suatu negara berkembang. Pengeluaran untuk non
makanan sebesar 49,34% dan pengeluaran untuk makanan sebesar 50,66%.
Pengeluaran
makanan
terbesar
untuk
makanan
jadi,
padi-padian
dan
tembakau/sirih. Pengeluaran non makanan terbesar untuk perumahan dan fasilitas
29
rumah tangga, barang dan jasa serta barang-barang tahan lama. Biaya kesehatan
per kapita sebulan hanya sebesar 3,44% dari total pengeluaran per kapita sebulan.
Nilai ini masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan terhadap
pengeluaran untuk tembakau dan sirih sebesar 6,24% (Profil Kesehatan Indonesia,
2014).
Menurut Fauzi (2014) sumber daya alam dan lingkungan menyediakan
berbagai layanan barang dan jasa yang sangat bernilai bagi manusia. Hanley,et al.,
(2000) dalam Fauzi (2014) menyebutkan bahwa keterkaitan antara sumber daya
alam dan lingkungan dengan aspek ekonomi dan kebutuhan manusia memiliki ciri
empat peran, yaitu:
a. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan dalam menyuplai input energi dan
material untuk proses produksi seperti minyak, bijih besi dan kayu
b. Peran lingkungan sebagai penyerap sisa produksi dan konsumsi seperti limbah
domestik atau emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak
c. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai sumber langsung dan
perbaikan kualitas hidup manusia, seperti halnya ketika kita menikmati
keindahan alam pegunungan atau menyaksikan keanekaragaman hayati flora
dan fauna
d. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan sebagai penyedia dukungan
kehidupan dasar (basic life support) seperti pengaturan iklim global, daur
ulang nutrien dan sejenisnya
Dalam perspektif ekonomi, tujuan dari kegiatan ekonomi adalah
meningkatkan kesejahteraan atau lebih luas lagi apa yang disebut well being yang
bukan saja melihat aspek kesejahteraan dari sisi peningkatan pendapat, tetapi juga
terkait dengan aspek lain seperti kesehatan, ketentraman, kepuasan yang diperoleh
dari nilai-nilai estetika.
Dalam penilaian sumber daya alam dan lingkungan baik dalam penilaian
untuk menentukan nilai keberadaan dan nilai pasif lainnya maupun penilaian expost seperti menghitung nilai ekonomi kerusakan lingkungan sering melibatkan
jasa lingkungan yang tidak terpasarkan. Penggunaan pendekatan pasar melalui
penggunaan harga komoditas yang terpasarkan dalam konteks ini menjadi tidak
tepat karena jasa lingkungan tidak memiliki harga pasar. Untuk mengatasi
30
masalah ini, metode valuasi nonpasar yang dikenal dengan stated preference
method (SP) atau metode preferensi yang dinyatakan dapat digunakan untuk
menentukan nilai ekonomi tersebut. Metode pendekatan yang termasuk dalam
pendekatan SP, yaitu Contingent Valuation Method (CVM) dan Choice
Experiment (CE).
Metode CVM merupakan metode penilaian ekonomi secara langsung
melalui pertanyaan kemauan membayar seseorang (Willingness to Pay atau
WTP), sedangkan CE merupakan metode tidak langsung penilaian ekonomi
dimana pendugaan WTP dilakukan melalui tawaran pilihan yang setiap pilihan
memiliki variabel karakteristik, harga atau biaya. Metode CVM merupakan
pendekatan yang paling populer, karena merupakan satu-satunya metode yang
dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomi bagi orang yang tidak mengalami
secara langsung atas perubahan suatu kebijakan (Whitehead and Blomquist, 2006
dalam Fauzi, 2014). Secara umum analisis CVM melibatkan tiga tahapan utama
(Pearce et al., 2006), yaitu:
a. Identifikasi barang dan jasa yang akan dievaluasi
Pada tahap ini merupakan tahapan yang krusial dalam analisis CVM. Pada
tahapan ini seorang peneliti terlebih dahulu harus memiliki konsep yang jelas
tentang apa yang akan dievaluasi, perubahan kualitas dan kuantitas apa yang
menjadi concern kebijakan serta jenis barang dan jasa nonpasar apa yang akan
divaluasi
b. Konstruksi skenario hipotetik
Metode CVM mengandalkan tehnik survei, maka pada tahapan ini akan sangat
tergantung dari konteks yang dianalisis. Nilai yang diduga akan sangat
bergantung dari berbagai skenario yang disodorkan dan pertanyaan yang
diajukan. Pada tahap ini jenis pertanyaan dan skenario yang diajukan akan
sangat berpengaruh terhadap outcome yang akan dihasilkan pada analisis
CVM. Pada tahap ini terdapat tiga elemen dasar, yaitu :
1) Deskripsi perubahan kebijakan yang akan dievaluasi
Memberikan informasi yang berarti pada responden tentang dampak dari
skenario kebijakan yang disodorkan. Deskripsi kebijakan paling tidak
harus memuat dua skenario dasar, yaitu kondisi saat ini yang akan
31
dijadikan reference point (baseline) dan skenario target dari kebijakan
yang diusulkan dengan komponen atribut yang ditawarkan
2) Deskripsi pasar yang akan dikembangkan
Mengacu pada konteks kebiajkan dan kelembagaan yang diperlukan,
misalnya lembaga yang bertanggung jawab menyediakan barang dan jasa,
kelayakan teknis dan ekonomis dari kebijakan yang ditawarkan. Hal yang
juga menjadi pertimbangan pada elemen ini terkait waktu yang tepat,
antara lain: kapan kebijakan tersebut dijalankan, kapan pembayaran harus
dilakukan, untuk berapa lama
3) Deskripsi metode pembayaran
Responden harus memberikan informasi yang jelas apakah pembayaran
akan dilakukan melalui tarif masuk, pajak atau penambahan harga pada
barang dan jasa
c. Elisitasi nilai moneter
Metode elisitasi adalah tehnik mengekstrak informasi kesanggupan membayar
dari responden dengan menanyakan besaran pembayaran melalui format
tertentu. Setiap metode elisitasi memerlukan penanganan data tersendiri dan
tehnik perhitungan WTP yang juga spesifik.
Kebanyakan metode CVM menggunakan tehnik yang relatif mudah dijawab oleh
responden. Analisis CVM mengandalkan tehnik elisitasi untuk menentukan nilai WTP,
maka semakin kompleks elisitasi semakin kompleks pula analisisnya.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang sanitasi sudah banyak dilakukan oleh peneliti lain,maka dalam
penelitian kali ini penulis meninjau penilaian sanitasi permukiman dari segi valuasi
ekonomi. Adapun penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Barno Suud dan Prananda Navitas (2015) dengan
hasil Faktor-faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh, antara lain : laju
pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, kondisi pelayanan air bersih, kondisi
sanitasi lingkungan, kondisi persampahan, kondisi saluran air hujan, kondisi jalan
ruang terbuka, keterbatasan dana untuk membeli rumah, tingkat pendapatan
masyarakat, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, keterbatasan lahan permukiman,
32
harga
lahan
permukiman,
program-program
pemerintah
dalam
mengatasi
permasalahan lingkungan dan kesadaran masyarakat dalam memelihara lingkungan
2. Penelitian yang dilakukan oleh Professor Jan Abel Olsen, Mr Richard D Smith, Mr
Anthony Harris (1999) dengan hasil analisis biaya dan manfaat memiliki dasar teori
ekonomi yang cukup kuat atau biasa disebut dengan ekonomi kesejahteraan,
perhitungan ekonomi yang dilakukan tidak hanya sekedar teori tetapi juga
memberikan gambaran bagaimana memberikan kesempatan untuk mengambil suatu
keputusan yang logis dan terstruktur tentang biaya dan manfaat yang termasuk
dalam penilaian secara ekonomi dan bagaimana seharusnya pengukurannya
dilakukan
3. Penelitian yang dilakukan oleh Soedjajadi Keman (2005) dengan hasil Penduduk
yang tinggal di daerah pemukiman
kumuh mempunyai faktor risiko kejadian
penyakit menular dan kecelakaan dalam rumah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang tinggal di lingkungan pemukiman yang lebih baik
4. Penelitian yang dilakukan oleh Owoeye, J.O and Adedeji, Y.M.D (2013) dengan
hasil temuan di lapangan menegaskan bahwa kondisi lingkungan yang kumuh
menunjukkan bahwa kesehatan individunya dipengaruhi oleh
kondisi sosial
ekonomi, bangunan dan lingkungan dimana dia tinggal
5. Penelitian yang dilakukan oleh Anwar dan Naveed (2014) dengan hasil kondisi
social ekonomi masyarakat di Kota Sialkot tidak begitu baik, ukuran rumah tangga
lebih besar dari biasanya, tingkat pendidikan daerah penelitian sangat rendah,
kepadatan penghuni lebih dari enpat orang dalam satu rumah, pendapatan rata-rata
bulanan terlalu rendah untuk membiayai rumah tangga dan memberikan fasilitas
sanitasi yang baik sehingga status kesehatan pada permukiman di daerah kumuh
sangat rendah.
6. Penelitian yang dilakukan oleh L.Indah Murwani dan J.Dwijoko (2002) dengan hasil
masyarakat mempunyai kemauan untuk membayar upaya memelihara lingkungan
melalui dana yang ditarik dari setiap liter BBM yang dikonsumsi untuk melakukan
perjalanan (transportasi)
7. Penelitian yang dilakukan Oleh Corburn dan Hilderbrand dengan hasil lingkungan
fisik dan sosial di perkotaan kumuh cenderung berinteraksi untuk menghasilkan
33
kesehatan yang buruk bagi perempuan, penelitian lebih lanjut diperlukan dengan
memperhatikan tentang isu lingkungan
8. Penelitian yang dilakukan oleh Abha Laksmi Singh dan Zahir Abbas (2014) dengan
hasil enam indikator sarana sanitasi yang baik, antara lain: jamban dalam rumah,
saluran dari WC ke septic tank, lubang septic tank yang di semen, drainase air,
sistem pembuangan limbah cair (rumah tangga), pembuangan sampah
9. Penelitian yang dilakukan oleh Adane Kobede dan Measne Gebreslassie (2014)
dengan hasil sebanyak 80% responden menyatakan kesanggupannya untuk
membayar dan ikut serta dalam sistem asuransi kesehatan berbasis masyarakat. Nilai
WTP rata-rata sebesar 187,4 Birr/rumah tangga/tahun
10. Penelitian yang dilakukan oleh Selfia Ladiyance dan Lia Yuliana (2014) dengan
hasil perkiraan nilai WTP Rp.4.325/bulan, variabel yang mempengaruhi kesediaan
membayar antara lain: pengetahuan tentang pencemaran sungai, status kepemilikan
rumah, pendidikan terakhir dan pendapatan rumah tangga
11. Penelitian yang dilakukan oleh Alexander.F, Gabriel.F and Olusegun.O (2012)
dengan hasil mayoritas responden tidak membuang limbah mereka dengan baik
dalam ke lingkungan, hal ini berdampak buruk terhadap lingkungan perumahan di
wilayah studi sehingga menggambarkan kondisi wilayah di daerah penelitian
sebagai daerah permukiman kumuh
12. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsin,M, Safdar,S, Asghar,F dan Jamal, F (2013)
dengan hasil telah ditemukan fakta pencemaran air tanah secara siginifikan setelah
dilakukan pemeriksaan laboratorium, sekitar 36% warga telah tertular penyakit yang
disebabkan oleh kondisi air yang kurang memenuhi syarat sehingga untuk
menyelamatkan warga setempat pemerintah perlu menyediakan air minum yang
aman dengan melakukan pemantauan berkala untuk kualitas air
13. Penelitian yang dilakukan oleh Truman, P dan Kwame, N (2012) dengan hasil costconsequence analyses (CCA) memberikan transparansi yang lebih besar daripada
cost-utility analyses (CUA) dalam melaporkan hasil dari intervensi kesehatan
masyarakat
14. Penelitian yang dilakukan oleh Wasonga,J , Olang,CO and Kioli,F (2014) dengan
hasil bahwa program sekolah mungkin tidak meningkatkan kesenjangan antara
pengetahuan, sikap, dan praktek akan tetapi baik untuk generasi mendatang.
34
Masalah sosial budaya yang menghambat transformasi kebersihan,
program-
program kesehatan harus menemukan cara-cara inovatif untuk menjembatani
kesenjangan ini dalam rangka untuk membawa perubahan dalam rumah tangga
melalui budaya intervensi sensitif
15. Penelitian yang dilakukan oleh Suharjito dan Andreas Wibowo (2014) dengan hasil
WTP berkisar antara Rp.57.552 (0,57% dari nilai tanggungan) dan Rp.61.970
(0,62% dari nilai tanggungan). Hal ini berarti bahwa kesediaan membayar pekerja
konstruksi diatas premi personal accident yang berlaku saat ini (0,25%-0,40%)
C. Kerangka Berpikir
Kejadian penyakit terutama penyakit yang diakibatkan oleh kondisi lingkungan
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya kondisi lingkungan dan sarana sanitasi
yang ada di sekitar permukiman. Terdapat tiga parameter kunci (fisik, lingkungan,
sosial ekonomi) yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui problem sanitasi di suatu
wilayah (Astono, 2010). Penelitian dapat dilakukan dengan
pengukuran dan
pengamatan langsung di lapangan antara lain pengukuran, wawancara, dan identifikasi
penyediaan sarana dan prasarana sanitasi (air bersih dan air limbah, sampah dan
jaringan drainase) serta pengamatan kualitas lingkungan fisik.
Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana yang
terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan
tersedianya pelayanan sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan Bab 1 pasal 1 pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.
Definisi tersebut memberi arti yang luas pada kata kesehatan. Berdasarkan definisi
tersebut, seseorang belum dianggap sehat sekalipun ia tidak berpenyakit jiwa ataupun
raga, orang tersebut masih harus dinyatakan sehat secara sosial. Hal ini dianggap perlu
karena penyakit yang diderita oleh seseorang atau sekelompok masyarakat umumnya
ditentukan sekali oleh perilakunya atau keadaan sosial budayanya yang tidak sehat.
Demikian pula halnya apabila masyarakat tidak mempunyai perilaku yang menunjang
kesehatan, misalnya tidak terbiasa dengan kebersihan, tidak hidup di dalam rumah yang
sehat, tidak terbiasa mengamankan buangannya yang berbahaya, dan lain sebagainya.
35
Kebiasaan-kebiasaan
tersebut
didasari
oleh
ketidakmampuan
secara
materiil,
pengetahuan maupun sosial budaya.
Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan masih terdapat 37 penyakit
tradisional yang berhubungan dengan air minum dan sanitasi lingkungan yang kurang
layak (Profil Kesehatan, 2013) meliputi : Waterborn disease (penyakit yang ditularkan
langsung melalui air) seperti diare, typhus, disentri, hepatitis A dan E (diare merupakan
penyebab kematian kedua pada balita di Indonesia setelah ISPA), Water washed disease
(penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air untuk keperluan sehari-hari) seperti
scabies, infeksi kulit dan selaput lendir, trakhoma, lepra, frambosia, dan lainnya, Water
based disease (penyakit yang bibitnya sebagian dari siklus kehidupannya berhubungan
dengan air) antara lain schistomasis, Water related vectors (penyakit yang ditularkan
oleh vektor penyakit yang sebagian atau seluruh perindukannya berada di air) seperti
malaria, demam berdarah, filariasis, dan lainnya, Water related disease (penyakit yang
ditularkan oleh vektor yang sebagian atau seluruh kehidupannya berkaitan dengan
sampah) seperti diare dan lainnya.
Adapun kerangka berpikir yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
2.
3.
LINGKUNGAN
Abiotik (Air, tanah, udara)
Biotik (tumbuhan, hewan,
manusia)
Culture (Perilaku manusia)
KONDISI SANITASI PERMUKIMAN
1.
2.
3.
Penilaian rumah (komponen rumah, sarana sanitasi)
Pengukuran lingkungan fisik (Pencahayaan,
Kelembaban, Suhu, Kebisingan)
Kepadatan Penghuni
KESEHATAN MASYARAKAT
Penyakit Berbasis Lingkungan
(Diare, ISPA,DBD, Penyakit Kulit,
TBC)
Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
36
VALUASI EKONOMI
(Penghasilan, WTPATP)
D. Perumusan Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kondisi sanitasi permukiman di Kota Yogyakarta kategori rendah.
Kondisi sanitasi permukiman dikategorikan rendah apabila persentase rumah sehat
< 60 %
2. Kondisi ekonomi masyarakat di permukiman Kota Yogyakarta kategori rendah.
Kondisi ekonomi masyarakat dikegorikan rendah apabila rata-rata penghasilan
keluarga < Rp.1.500.000,- /bulan
3. Kondisi ekonomi dan
sanitasi permukiman berhubungan dengan
kesehatan
masyarakat di Kota Yogyakarta.
Indikator kondisi kesehatan yang baik apabila kejadian penyakit berbasis
lingkungan yang terjadi
rendah dan begitu juga sebaliknya. Penyakit berbasis
lingkungan yang dimaksud, antara lain: Diare, ISPA,DBD, Penyakit Kulit, TBC.
37
Download