logika saintifik : kseptisisme

advertisement
MAKALAH LOGIKA SAINTIFIK
SKEPTISISME
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi 2J1
Yang di pimpin oleh :
Drs. Masduqi Affandi, M. Pd. I
Disusun oleh :
Ni’matul Qulub (B0210070)
FAKULTAS DAKWAH
PRODI PSIKOLOGI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA TAHUN 2011- 2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Syukur dan puji yang tidak terhingga kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
dengan kemurahan – Nya jua, dapatlah kami menyerahkan makalah ini.
Maksud saya yang terutama dalam menyerahkan makalah ini ialah untuk bahan
pegangan atau tambahan literatur bagi para mahasiswa dan masyarakat. Pada masa sekarang
ini amatlah terasa banyak sumber – sumber yang bisa menjadi pelajaran. Akan tetapi banyak
yang salah mempergunakannya.
Terima kasih yang sebanyak – banyaknya dan mudah – mudahan Allah SWT tetap
memberikan taufiq dan hidayah kepada kita sekalian, Amin....
Wassalam,
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................
a) Pengertian Skeptisisme.............................................................................
b) Munculnya skeptisisme..............................................................................
c) Jenis-jenis skeptisisme...............................................................................
d) Teori-teori skeptisisme...............................................................................
e) Hubungan skeptisisme dengan ilmu...........................................................
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP......................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Kelekatan tanpa syarat antara pikiran dan kenyataan, dan hal itu tentu saja perlu
ditekankan. Adanya pengetahuan merupakan suatu hal yang pokok dan tak dapat
direduksikan. Pikiran ada, dan adanya pikiran merupakan kesaksian bagi dirinya sendiri
mengenai keterbukaannya terhadap ada. Tidak ada keraguan atau penyangkalan terhadap
keterbukaan ini yang dapat dipertahankan.
Menurut seorang skeptik absolut, pikiran manusia tidak dapat mencapai kebenaran
objektif. Sebab justru usahanya untuk menyatakan keyakinannya sendiri melibatkan
penyangkalan terhadap keyakinannya itu.
2. Rumusan masalah
a. Apa pengertian skeptisisme ?
b. Bagaimana munculnya skeptisisme ?
c. Apa jenis-jenis skeptisisme ?
d. Apa teari-teori skeptisisme ?
e. Apa hubungannya skeptisisme dengan ilmu ?
3. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan skeptisisme.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Skeptisisme
Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani “skeptesthai” yang berarti menguji,
menyelidiki, mempertimbangkan. Ia merupakan pandangan filosofis yang mengatakan
bahwa mustahil bagi manusia untuk mengetahui segala sesuatu secara absolut. Kaum
skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena memiliki sikap tidak puas dan
masih
mencari
kebenaran.
Sikap
tersebut
didorong
oleh
menyebarnya
rasa
ketidaksepakatan yang tiada akhir terhadap sebuah isu fundamental. Jadi skeptisisme
sangat erat kaitannya dengan sikap keragu-raguan terhadap segala sesuatu.[1]
Istilah “skeptisisme” berasal dari kata yunani yaitu skeptomai yang secara harfiah
pertama-tama berarti “saya meragukan.” Para filsuf Yunani Kuno di buat bertanya-tanya
oleh adanya beberapa gejalah pengalaman keindraan, seperti ilusi, mimpi, halusinasi yang
kadang sulit dibedakan dari persepsi keindraan kita yang “normal” terhadap benda-benda
fisik.[2]
Sejak zaman klasik hingga sekarang, para skeptis telah mengembangkan argumen
untuk meruntuhkan pendapat para filosuf dogmatis, scientist, dan para teolog. Di zaman
klasik
misalnya,
kaum
skeptis
menentang
klaim
pengetahuan
Platonisme,
Aristotelianisme, dan Stoikisme. Di era renaissance, mereka menentang Scholasticism dan
Calvinism. Setelah zaman Descartes, skeptisisme menyerang Cartesianism. Pada era
berikutnya, serangan skeptisisme ditujukan pada Kantianisme dan Hegelianisme. Pada
abad pencerahan, skeptisisme diartikan menjadi sebuah sikap ketidakpercayaan –
khususnya dalam masalah agama–, yang pada gilirannya, kaum skeptis disamakan dengan
ateis.[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa skeptisisme merupakan
penalaran pikiran yang tidak bisa nyata dalam imajinasi kita hanya bisa di lihat dari
mimpi, halusinasi kesadaran kita, dll.
2. Munculnya skeptisisme
Dalam sejarah, Skeptisisme mengambil banyak bentuk dan warna. Mereka berbedabeda, baik dalam tema, lingkup maupun bobot keraguannya. Mengenai tema, pada zaman
Yunani Kuno sudah di kenal kelompok akademisi dan kelompok Pyrrhonian. Kelompok
yang pertama, dengan tokohnya seperti Arcesilaus ( 315-241 ) dan Carneades ( 214-129 ),
mengajarkan bahwa tidak ada pernyataan yang pasti mengenai apa yang sedang terjadi
selain apa yang secara langsung dialami. Ke,lompok yang kedua yang dipelopori oleh
Poleh Pyrrho dari Elis ( 360-270 ) dan kemudian diteruskan pada zaman Romawi oleh
Sextus Empiricus ( sekitar tahun 250 Masehi ) tidak menyangkal bahwa pengetahuan
mengenai apa yang tidak secara langsung dialami, dan mengenai apa yang tidak langsung
jelas dengan sendirinya, itu mungkin. Yang mereka ajarkan adalah perlunya
menangguhkan penilaian dan putusan kita terhadap ajaran tentang hakikat kenyataan.
Menurut mereka kita lebih baik hidup menurut apa yang tampak saja dan berusaha
memelihara ketenangan pikiran.[4]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa skeptisisme dalam
sejarahnya merupakan imajinasi seorang ilmuan yang merupakan ide-ide yang logis dalam
pemikirannya itu sendiri.
3. Jenis-jenis skeptisisme
Sekeptisisme hanya dibedakan berdasarkan tema keraguannya, tetapi juga
berdasarkan lingkup bidang yang diragugannya. Biasa dibedakan antara skeptisisme
mutlak/skeptisisme universal dan skeptisisme nisbi/skeptisisme partikular. Skeptisisme
mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan
untuk memberi dasar pembenaran baginya.
Jenis skeptisisme yang mengingkari sama sekali kemampuan manusia untuk tahu dan
meragukan semua jenis pengetahuan macam-macam ini dalam praktek jarang diikuti
orang,sebab dalam kenyataan mustahil untuk dihayati. Bahkan, kaum skeptik di zaman
Yunani Kuno di atas yang kadang disebut sebagai penganut skeptisisme mutlak, rupanya
masih mengecualikan proposisi mengenai apa yang tampak atau langsung dialami dari
lingkup hal yang diragukan.
Skeptisisme mutlak dalam praktek jarang diikuti orang karena memang merupakan
suatu posisi yang sulit dipertahankan. Posisi ini secara eksistensial bersifat kontradiktif
dan berlawanan dengan fakta yang eviden ( langsung tampak jelas dengan sendirinya ).
Pmengapa secara eksistensial bersifat kontradiktif ? karena, seperti yang sudah
ditunjukkan oleh Sokrates dalam wawancara polemisnya dengan kaum sofis, seorang
skeptik secara implisit ( dalam praktek ) menegaskan kebenaran dari apa yang secara
eksplisit ( dalam teori ) diingkarinya.
Skeptisisme nisbi atau skeptisisme partikular tidak meragukan segalanya secara
menyeluru. Skeptisisme semacam ini hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu
dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan
dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme semacam ini, walaupun tidak
bersifat menggugurkan diri sendiri ( self-defeating )bagaimana skeptisisme mutlak, namun
biasanya dianut karena salah paham tentang cici-ciri hakiki pengetahuan manusia dan
kebenarannya.[5]
4. Teori-teori skeptisisme
Sebagai sebuah sikap filosofis, skeptisisme memiliki beberapa ajaran yang selalu
mengalami perkembangan. Yang pertama adalah doktrin untuk meragukan kebenaran dari
setiap pengetahuan seperti yang dikemukakan oleh Heraclites dan muridnya Cratylus.
Keduanya berpendapat bahwa, “world was in such a state of flux”. Ia sama sekali tidak
permanen, sehingga kebenaran tetap tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya tidak
bisa ditemukan. Sikap yang kurang lebih sama juga dikembangkan oleh Socrates (470-399
SM). Ia berkata, “.... all that i really know is that i know nothing.” Ungkapan ini
mencerminkan sikap keraguan terhadap kebenaran suatu pengetahuan.
Teori skeptisisme yang kedua adalah tesis bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Tesis
ini dikembangkan oleh kaum skeptis akademik. Menurut mereka, informasi terbaik yang
bisa diambil hanyalah sebuah kemungkinan, dan harus dihukumi berdasarkan
kemungkinan juga. Doktrin skeptisisme seperti ini juga diperkuat oleh David Hume
(1711-1776 M). Ia melihat bahwa, asumsi yang pasti, seperti hubungan antara sebab dan
akibat, hukum-hukum alam, eksistensi Tuhan dan jiwa, semuanya berada jauh dari
kepastian. Hal itu disebabkan karena pengetahuan manusia tentang hal-hal di atas, yang
kelihatannya mengandung unsur kepastian, ternyata berdasarkan pada pengamatan dan
kebiasaan belaka, yang pada hakekatnya berlawanan dengan logika. Keterbatasan
pengamatan dan kebiasaan manusia itulah yang menjadi penghalang untuk mencapai
sebuah kepastian.
Ajaran skeptisisme yang ketiga adalah, keharusan untuk menjadikan manusia sebagai
ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Dengan menjadikan manusia
sebagai pusat ukuran dalam menjustifikasi segala sesuatu, maka tidak ada lagi
pengetahuan
yang
disepakati
secara
bersama.
Semuanya
hanya
pandangan
seseorang/individu saja. Bahkan menurut Gorgias (485-380 SM), “….nothing exists; and
if something did exist, it could not be known; and if it could be known, it could not be
communicated.” Karena yang menilai segala sesuatu adalah manusia, maka sebenarnya
pengetahuan itu tidak ada. Jikapun ada maka ia tidak bisa dipaksakan kepada orang lain.
Teori skeptisisme yang keempat adalah keharusan untuk selalu menghindarkan diri
dari kegiatan penilaian terhadap sesuatu yang terjadi. Ajaran ini bisa dilacak dari sekolah
Pyrrho (360-272 SM). Ia dan muridnya Timon (315-225 SM) dianggap sebagai bapak
skeptisisme Yunani. Menurutnya, memberikan penilaian terhadap sesuatu hanya akan
menyebabkan kesedihan dan gangguan mental. Kaum Pyrrhonis menganggap bahwa
filosuf dogmatis dan akademis dua-duanya tidak benar. Kelompok yang pertama
mengatakan bahwa sesuatu (pengetahuan) itu bisa diketahui, sedangkan kelompok yang
lain berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang bisa diketahui. Sebagai alternatif,
Pyrrhonis mengajukan sebuah sikap lain yaitu menafikan penilaian terhadap keduanya,
terkait dengan pertanyaan apakah sesuatu (pengetahuan) itu bisa diketahui atau tidak.
Sikap skeptis seperti ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Sextus Empiricus untuk
menjatuhkan argumen-argumen yang disusun oleh kaum skeptis akademis semisal
Arcesilas, Carneades, dan Aenesidemus. Sikap seperti itu, menurut Sextus, ditujukan
untuk membimbing manusia pada keadaan ataraxia; sebuah keadaan dimana manusia
mencapai ketenangan yang hakiki. Pada tahap ini, para Pyrrhonis hidup tanpa sebuah
dogma.
Ajaran skeptisisme yang kelima adalah, untuk membangun sebuah pengetahuan,
diperlukan sikap ragu yang kuat terhadap segala sesuatu. Teori ini dikemukakan oleh
filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650 M). Ia berpendapat bahwa jika manusia selalu
meragukan (kebenaran) sesuatu, maka di saat bersamaan, ia akan menemukan sesuatu
yang tidak diragukan. Sikap seperti ini juga digunakan untuk meragukan kebenaran semua
keyakinan, yang dengannya akan ditemukan sebuah kebenaran yang pasti. Metode inilah
yang terkenal dengan sebutan cogito ergo sum (saya berfikir, maka saya ada).
Ajaran skeptisisme yang keenam adalah “pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada.”
Pandangan ini dikembangkan oleh filosuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900 M)
yang diamini tokoh-tokoh postmodernisme lainnya semisal Martin Heideger, Michel
Foucault, Jacques Derrida, Jean-Francois Lyotard, dan Richard Rorty. Mereka melihat
bahwa ilmu pengetahuan, sebagai aktivitas manusia, harus dijustifikasi berdasarkan pada
peranannya untuk kehidupan dan bukan pada standar “benar” atau “salah”, karena
menurut mereka, standar untuk menilai sebuah ilmu pengetahuan itu tidak ada. Pandangan
seperti ini juga diikuti oleh seorang filosuf Prancis Jean-Paul Sartre (1905-1980 M), dan
filosuf Amerika George Santayana (1863-1952 M). Menurutnya, semua keyakinan –
sebagai manifestasi dari pengetahuan obyektif– bersifat irrasional. Dari sini terlihat bahwa
obyektivitas sebuah pengetahuan itu telah mati.[6]
5. Hubungan skeptisisme dengan ilmu
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap
hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal
sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu
yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan apa-apa yang mungkin untuk
diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan dan pengkajian. Domain
penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah mana saja manusia dapat
menggapai pengetahuandan keyakinan. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak
memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan
ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan
beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan
terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti
dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan
beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas
ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah
kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang
proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana
awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsurunsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru
dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.
Berikut ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada
dan kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum
sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk;
1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu.
2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia.
Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut;
A. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan
akal.
B. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan,
pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang
mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya. Dalam banyak kasus di
sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal
telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi
tersebut satu persatu menjadi batal.
C. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam
beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan
tertolak.
Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat
manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan
karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah
logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta
sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan
yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat
jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya
itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya
dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan
mengetahui
realitas
dan
kenyataan
eksternal
itu
sebagaimana
adanya.
Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek eksternal itu
diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja pikiran kita telah ikut
campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan tersebut dimana hal ini sebagaimana
kaca mata yang berwarna telah ikut berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita
saksikan. Oleh karena itu, mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang
sebagaimana hakikatnya.
Keraguan bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan
dasar-dasar pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi
dan jawaban.
Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan
keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat
manusia bersumber dari indra dan empirisitas.
2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan
rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahankesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada
argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu
banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal.
3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama
lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis
keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni
akal dan rasio.
4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan
keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan
makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil.
5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan
yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada
kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki.
6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini
bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial
mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena
sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam
aksioma-aksioma tidak valid.
7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata
dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang
disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita
bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta
apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka.
8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang
tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian,
bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu
penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan
kontemplasi.
9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin
bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas
kesalahan dan kekeliruan akal itu.
10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu
proposisi yakni "kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan".
Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang
terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak
mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individuindividu dan objek-objek eksternal.
11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan
dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai
persepsi-persepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam.
12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap
suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui.
13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan
sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua
orang tidak bisa mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi
"pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin
mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri".
14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal
ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau
mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil.
Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena
itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan.
15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain
hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri
kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan bahwa "satu-satunya
realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain adalah persepsi itu sendiri.
16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan
terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan.
17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil
terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh
manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma
bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.
Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan
landansan.
2. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam
wacana filsafat.
3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan
membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan-pendahuluan, demikianlah
seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal
yang tak mungkin.
4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan.
5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indraindra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan
indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada
persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat,
perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain
di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut
berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan.
6. Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab ('illah) tidaklah tersembunyi,
karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan
tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya.
7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi.
8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan.
9. Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya mengetahui keberadaan A itu", dengan
demikian, selain "saya" dan persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat
dibuktikan keberadaanya.
10. Tidak terdapat perbedaan antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana
"kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula "kualitas kedua"
seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki.
11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya
bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu.
12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata.
Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya.
13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa
saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat
ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.[7]
FOOTNOTE
[1] Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition,
Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006), hlm. 47.
[2] http://www.iep.utm.edu/skepanci/,
[3] J. Sudarminta, Epistimologi Dasar, ( Yogyakarta : Kanisiur Cempaka, Cetakan ke 9,
2005 ), hlm 47
[4] Ibid, hlm. 48-49
[5] http://www.philosophyonline.co.uk/tok/scepticism8.htm
[6] Dr. P. Hardono Hadi, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, ( Yogyakarta : Kanisiur
Cempaka, Cetakan ke 7, 2005 ), hlm 19
[7] Ibid, hlm. 25
BAB III
KESIMPULAN
Skeptisisme merupakan penalaran pikiran yang tidak bisa nyata dalam imajinasi kita
hanya bisa di lihat dari mimpi, halusinasi kesadaran kita, dll. Skeptisisme dalam
sejarahnya merupakan imajinasi seorang ilmuan yang merupakan ide-ide yang logis dalam
pemikirannya itu sendiri.
Skeptisisme hanya dibedakan berdasarkan tema keraguannya, tetapi juga berdasarkan
lingkup
bidang
yang
diragugannya.
Biasa
dibedakan
antara
skeptisisme
mutlak/skeptisisme universal dan skeptisisme nisbi/skeptisisme partikular. Skeptisisme
mutlak atau universal secara mutlak mengingkari kemungkinan manusia untuk tahu dan
untuk memberi dasar pembenaran baginya.
Skeptisisme nisbi atau skeptisisme partikular tidak meragukan segalanya secara
menyeluru. Skeptisisme semacam ini hanya meragukan kemampuan manusia untuk tahu
dengan pasti dan memberi dasar pembenaran yang tidak diragukan lagi untuk pengetahuan
dalam bidang-bidang tertentu saja. Paham skeptisisme semacam ini, walaupun tidak
bersifat menggugurkan diri sendiri ( self-defeating )bagaimana skeptisisme mutlak, namun
biasanya dianut karena salah paham tentang cici-ciri hakiki pengetahuan manusia dan
kebenarannya.
Teori skeptisisme. Yang pertama adalah doktrin untuk meragukan kebenaran dari
setiap pengetahuan seperti yang dikemukakan oleh Heraclites dan muridnya Cratylus.
skeptisisme yang kedua adalah tesis bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Tesis ini
dikembangkan oleh kaum skeptis akademik. Ajaran skeptisisme yang ketiga adalah,
keharusan untuk menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu (man is the measure
of all things). Teori skeptisisme yang keempat adalah keharusan untuk selalu
menghindarkan diri dari kegiatan penilaian terhadap sesuatu yang terjadi. Ajaran ini bisa
dilacak dari sekolah Pyrrho (360-272 SM). Ia dan muridnya Timon (315-225 SM)
dianggap sebagai bapak skeptisisme Yunani. Ajaran skeptisisme yang kelima adalah,
untuk membangun sebuah pengetahuan, diperlukan sikap ragu yang kuat terhadap segala
sesuatu. Teori ini dikemukakan oleh filosuf Prancis Rene Descartes (1596-1650 M).
Ajaran skeptisisme yang keenam adalah “pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada.”
Pandangan ini dikembangkan oleh filosuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900 M).
DAFTAR PUSTAKA
Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition, Volume 9,
(MacMillan Reference USA, 2006)
http://www.iep.utm.edu/skepanci/,
J. Sudarminta, Epistimologi Dasar, ( Yogyakarta : Kanisiur Cempaka, Cetakan ke 9, 2005 )
http://www.philosophyonline.co.uk/tok/scepticism8.htm
Dr. P. Hardono Hadi, Epistimologi Filsafat Pengetahuan, ( Yogyakarta : Kanisiur Cempaka,
Cetakan ke 7, 2005 )
Download