BAB I PENDAHULUAN Analisis Situasi Pendidikan adalah usaha

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru
merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan
terus-menerus. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan
berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh
perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar
menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
mobilitas masyarakat.
Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk
mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara
professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi
dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan
tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya
pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang
dimiliki, baik kompetensi personal, profesional maupun kemasyarakatan dalam
selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan
melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya
1
meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga
kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun
kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang profesional.
Penelitian terhadap guru bahasa Indonesia yang melakukan peer teaching
(tahun 2013) dalam rangka Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bahasa
Indonesia yang mengambil topik pembelajaran sastra, 90% melakukan
pembelajaran sastra dengan motode pembelajaran klasik, yakni siswa diminta
membaca teks bacaan, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang harus dijawab
oleh siswa terkait dengan bacaan yang dibaca. Data ini juga menunjukkan bahwa
kompetensi pedagogik guru bahasa Indonesia terutama untuk mengajarkan sastra
masih rendah. Penguasaan dan keterampilan transformasi ilmu menjadi bagian
tidak terpisahkan bagi guru untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kenyataan bahwa kompetensi pedagogik guru bahasa Indonesia terutama
dalam mengajarkan sastra masih rendah tentu berdampak pada kurang berhasilnya
pembelajaran sastra di sekolah. Hal itu dirasakan oleh para guru Sekolah Dasar
(SD) bukan saja yang mengajar di SD yang berada di wilayah pedesaan, tetapi juga
guru yang mengajar di wilayah perkotaan.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru SD di wilayah Kecamatan
Ngaliyan, Kota Semarang diketahui bahwa mereka merasa kesulitan untuk
mengajarkan sastra kepada siswa. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan mereka tentang cara mengajarkan sastra yang inovatif. Untuk
mengajarkan sastra mereka cenderung hanya memberi tugas untuk membaca dan
menjawab pertanyaan yang biasanya sudah disediakan pada buku siswa.
2
Dari penjelasan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Ngaliyan diketahui
pula bahwa di wilayahnya (yang tercatat memiliki 29 SDN) belum pernah
diselenggarakan pelatihan pembelajaran sastra yang inovatif.
Berdasarkan kenyataan di atas, sebagai bagian dari tanggung jawab dan
tugas profesionalisme dosen dalam mengemban tugas Tri Dharma Perguruan
Tinggi aspek Pengabdian pada Masyarakat, dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan
sastra Indonesia prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia akan melakukan
pelatihan Pembelajaran sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan
Multikultural bagi Guru SD se-Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Adapun latar belakang pemilihan topik tersebut diuraikan sebagai berikut.
Untuk meningkatkan minat dan kemampuan apresiasi sastra siswa idealnya
pembelajaran sastra harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan yang
“joyful” bagi siswa dan yang “feasible” bagi guru, yang lebih menentukan lagi
adalah terciptanya interaksi guru dan siswa yang bersifat”personal dan santun”
sehingga tercipta susana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan antara
guru dan siswa. Salah satu model pembelajaran sastra yang telah diujicobakan
untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra dalam bentuk penelitian oleh
dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu model proyek
apresiasi telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk meningkatkan
kemampuan apresiasi sastra siswa (Setyaningsih 2010). Dengan demikian,
pelatihan ini sekaligus merupakan penyebarluasan inovasi pembelajaran,
khususnya pembelajaran sastra.
Sementara itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki
keragaman bahasa, sosial budaya, etnis, suku, agama, dan status sosial. Hal itu
dapat dilihat dari kondisi geografis dan sosiokultural yang luas dan beragam.
3
Kondisi seperti itu oleh Watson (dalam Zulaikha 2008:61) dikatakan sebagai
masyarakat majemuk atau multikultur, yaitu masyarakat yang di dalamnya
berkembang banyak kebudayaan. Mereka terdiri atas beragam etnis yang
mempunyai budaya, bahasa, dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda.
Keragaman yang demikian sangat kondusif bagi munculnya konflik sosial dalam
berbagai dimensi kehidupan.
Terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras)
yang melanda Indonesia pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah
kebudayaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab
utama konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang
konsep kearifan budaya. Berbagai konflik sosial yang telah menimbulkan
keterpurukan di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima
dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah
orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama,
kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurangnya
perasaan atau kepekaan sosial. Oleh karena itu, untuk mencegah atau
meminimalkan konflik tersebut perlu dikembangkan pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu
menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era
globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam
budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan
disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. Konflik
antarbudaya
yang disebut juga sebagai benturan antarperadaban akan
mendominasi politik global. Ia menyebutkan bahwa terjadinya berbagai konflik
sosial dan etnis di berbagai belahan dunia antara lain disebabkan oleh perbedaan
4
kebudayaan yang semakin nyata. Untuk menghindari benturan tersebut, atau
setidaknya meminimalkan dampak dari benturan tersebut perlu adanya
pemahaman tentang keanekaragaman kebudayaan.
Berkaitan dengan hal tersebut dipandang perlu adanya pendidikan
multikultural, yakni upaya penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang
majemuk. Dengan kata lain, pendidikan multikultural merupakan upaya untuk
membangun character bulding siswa dalam hubungannya dengan diri sendiri dan
sesama, serta menumbuhkan sikap toleran siswa agar mengakui pluralisme yang
ada di dalam masyarakat lingkungannya. Pendidikan multikultural diharapkan
dapat membentuk kekenyalan dan kelenturan mental bangsa Indonesia dalam
menghadapi benturan atau konflik sosial sehingga persatuan bangsa tidak mudah
retak atau patah (Zulaikha 2008).
Mengingat
pentingnya
pendidikan multikultural,
perlu diupayakan
pengintegrasiannya melalui berbagai bidang. Amini (2004) melalui analisis
kebutuhan pendidikan multikultural berbasis kompetensi pada siswa SMP di
Mataram
menyimpulkan
bahwa
materi
pendidikan
multikultural
dapat
diintegrasikan pada semua mata pelajaran, baik melalui kegiatan sehari-hari
maupun
melalui
kegiatan
terprogram.
Lebih
lanjut
Fathurrofiq
(2004)
menyimpulkan bahwa pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia karena salah satu intinya adalah membelajarkan
entitas ‘satuan yang berwujud’ budaya dan sebagai upaya mentransformasi
kompetensi siswa. Sementara itu, Zulaikha (2008) melalui penelitiannya berhasil
mengembangkan model pembelajaran menulis kreatif dalam konteks multikultural
pada siswa SMP.
5
Berkaitan dengan pengintegrasian pendidikan multikultural tersebut,
pembelajaran sastra pun dapat digunakan sebagai sarana pengembangan
pendidikan multikultural. Hal itu disebabkan pembelajaran sastra mempunyai
fungsi yang sangat strategis, yakni fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi
praktis (Jabrohim, Ed. 1994). Fungsi ideologis, yang merupakan fungsi utama
pengajaran sastra, ialah sebagai salah satu sarana untuk pembinaan jiwa Pancasila.
Fungsi kultural pengajaran sastra ialah memindahkan kebudayaan dari suatu
generasi kepada generasi berikutnya. Fungsi praktis pengajaran sastra memiliki
pengertian bahwa pengajaran sastra membekali bahan-bahan yang mungkin
berguna bagi siswa untuk melanjutkan studi atau bekal terjun di tengah kancah
masyarakat. Lebih lanjut, Rahmanto (1988:12) menyatakan bahwa pengajaran
sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat
manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan
pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4)
menunjang pembentukan watak.
Keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah disebabkan oleh banyak
faktor, di antaranya, kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca siswa, dan iklim
bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, “tujuan penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik siswa sehingga
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif,
terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif,
serta sehat jasmani dan rohani.”
Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan
yang diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan
6
dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial
masyarakat (Aminuddin 2000:46). Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya
Aminuddin menyatakan “pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seharusnya
diorientasikan pada model literacy-based instruction”. Dengan orientasi yang
demikian, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta
kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada
pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah
pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra
seharusnya memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi
kehidupan sosial budaya yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi nilainilai multikultural yang pada akhirnya nilai-nilai itu dapat menjadi bagian dari
kehidupannya.
Pembelajaran sastra yang multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim
belajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai
multikultural. Salah satu model pembelajaran sastra yang menampakkan ciri
tersebut adalah model proyek apresiasi melalui analisis wacana secara kritis.
Melalui analisis wacana secara kritis, siswa pada akhirnya diharapkan
terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalam menanggapi berbagai fenomena dan
makna yang terdapat di dalam karya sastra sebagai produk budaya bangsa. Agar
kegiatan analisis wacana sastra dapat dilakukan secara intens, perlu diupayakan
kondisi yang memungkinkan siswa bertukar pengalaman dan bekerja sama dengan
siswa yang lain dalam suatu kerja kelompok, sesuai dengan salah satu prinsip
pembelajaran kontekstual, yaitu cooperative learning. Pengondisian tersebut salah
7
satunya berupa penyelesaian suatu proyek, yang disebut proyek apresiasi. Proyek
merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat
penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam
serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang
penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di
dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi
yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka
waktu tertentu.
Proyek apresiasi memungkinkan siswa bekerja sama dalam kelompok
untuk mengapresiasi sastra melalui berbagai sudut pandang dan menuangkan hasil
apresiasinya dalam berbagai bentuk. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran
sastra
menjadi
lebih
bermakna,
khususnya
bagi
penanaman
nilai-nilai
multikultural.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Mengacu pada uraian terdahulu, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut. Para guru SD di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang belum mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang model-model pembelajaran
sastra yang inovatif, padahal pengetahuan dan keterampilan melaksanakan model
pembelajaran inovatif dalam pembelajaran sastra akan membuat pembelajaran
menarik, menyenangkan, dan dapat memberikan pengalaman berapresiasi secara
intens.
Berdasarkan hal tersebut, masalah yang menjadi fokus dalam pengabdian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “ Model pembelajaran sastra yang
8
bagaimanakah yang dapat diimplementasikan oleh guru untuk
meningkatkan
kemampuan apresiasi sastra siswa ?”
C. Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini secara umum bertujuan untuk Meningkatkan kemampuan guru
bahasa Indonesia dalam merancang dan menerapkan pembelajaran sastra dengan
model proyek apresiasi berwawasan multikultural.
D. Manfaat Kegiatan
Kegiatan ini diharapkan bermanfaat bagi guru untuk SD di Kecamatan
Ngaliyan, Kota Semarang dalam mengembangkan kompetensi pedagogiknya,
terutama dalam mengajarkan sastra pada siswa.
Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini juga menjadi salah satu
implementasi bagi LPTK dalam hal ini Universitas Negeri Semarang khususnya
sebagai lembaga ilmiah yang dituntut melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat yang sesuai dengan corak lembaga. Salah satu tanggung jawab LPTK
adalah memperhatikan guru di lapangan dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Guru perlu diberi bekal agar dapat mengelola pembelajaran secara baik. Salah satu
bekal tersebut adalah berupa keterampilan mengelola pembelajaran dengan model
proyek apresiasi berwawasan multikultural.
Di samping itu, kegiatan ini juga akan menjaga hubungan baik antara
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan para guru SD di lapangan. Secara
teknis, kegiatan ini dapat lebih memperkenalkan kiprah lembaga dalam kaitannya
dengan pengembangan profesionalitas guru.
Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini diharapkan menjadi salah
satu implementasi bagi pengabdi untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi.
9
Bagi pengabdi, kegiatan ini juga dapat digunakan untuk lebih menyamakan antara
hal-hal yang sifatnya teoretis di bangku perkuliahan dengan kondisi riil di
lapangan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Apresiasi Sastra
Secara leksikal kata apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian
pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan, penilaian, dan pernyatan
yang memberikan penilaian. Dalam konteks yang lebih luas, apresiasi
mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2)
pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan
pengarang.
Sejalan dengan rumusan pengertian di atas, apresiasi sastra adalah
pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan
kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Atau
dengan kata lain apresiasi sastra adalah adalah kegiatan meggauli karya sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan,
kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra
(Effendi 1973:18). Dari pendapat itu juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi
sastra dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa
akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguhsungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya,
sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya.
Sebagai suatu proses, kegiatan apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni
(1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (2) aspek evaluatif.
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya
memahami unnsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan
yang bersifat objektif tersebut berhubungan dengan unsur-unsur yang secara
11
internal terkandung dalam suatu teks sastra, atau unsur intrinsik, dan unsur-unsur
di luar teks sastra itu sendiri, atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang bersifat
objektif itu misalnya aspek tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam
hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat. Sedangkan unsur ekstrinsik
antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan, maupun latar
sosial-budaya yang menunjang kehadiran sastra.
Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam
upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca. Selain
itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang
bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang
mengandung ketaksaan makna, dapat berupa unsur signifikan tertentu.
Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan terhadap penilaian baikburuk, indah tidak indah, sesuai-tidak serta sejumlah ragam penilaian utama yang
tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki
oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam unsur ini
masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespons
karya sastra yang telah dibaca sampai pada tahap pemahaman dan penghayatan,
sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses apresiasi dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan
tingkat menghasilkan. Tingkat menggemari ditandai oleh adanya rasa tertarik
terhadap karya sastra serta berkeinginan membacanya. Dalam tingkat menikmati,
sseorang mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai
tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan untuk menyatakan
12
pendapatnya tentang karya yang telah dinikmati. Adapun tingkat menghasilkan
ditandai oleh adanya keinginan untuk menghasilkan karya sastra.
B. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural
Secara etimologis, multikuturalisme dibentuk dari kata multi (banyak),
kultur (budaya), dan isme (paham). Secara hakiki, di dalam kata tersebut
terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya
dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap
individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup
bersama (Mahfud 2009:xx). Berdasarkan pengertian tersebut, multikulturalisme
dapat dibapahmi sebagai sebuah paham menekankan pada kesederajatan dan
kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya
yang lain.
Menurut Andersen dan Cusher (dalam Mahfud 2009:173), pendidikan
multikultural adalah pendidikan mengenai kebudayaan. Sejalan dengan pengertian
tersebut, el Ma’hady (2004) menjelaskan bahwa secara sederhana pendidikan
multikultural adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau, bahkan
dunia secara keseluruhan.
Adapun Hernandez (dalam Mahfud 2009:176) memandang pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya,
ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan kata lain, ruang
pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu
13
memberikan nilai-nilai multikultural dengan cara saling menghargai dan
menghormati atas realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis
sosiobudaya yang melingkupinya (Mahfud 2009:176).
Secara lebih konkret Zaenuddin (2009) menyebutkan bahwa pendidikan
multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran
terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Penanaman kesadaran multikultural tersebut didasarkan pada sikap toleransi dalam
beragama, memahami keragaman bahasa, membangun sikap sensitif gender,
membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan, dan perbedaan status social,
membangun sikap anti diskriminasi etnis dan rasial, menghargai perbedaan
kemampuan fisik, dan menghargai perbedaan usia. Dengan demikian, secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultral adalah pendidikan yang
memanusiakan manusia.
Pendidikan multikultural mempunyai ciri sebagaimana dikatakan Maksum
yang dikutip Mahfud (2009:187) yaitu (1) tujuannya membentuk manusia budaya
dan
menciptakan
masyarakat
berbudaya
(berperadaban),
(2)
materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (kultural), (3) metodenya demokratis yang menghargai aspekaspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis
(multikulturalis), dan (4) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah
laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya
lainnya.
Untuk dapat memahami multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas,
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang
relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam
14
kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara
para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme
sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam
memperjuangkan ideologi ini.
Selanjutnya, multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi
terwujudnya masyarakat multikultural karena multikulturalisme sebagai sebuah
ideologi akan mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan
dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun
terdiri atas beraneka ragam latar belakang kebudayaan.
Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang
besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di
atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme
dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini, prinsip “bhineka
tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan terwujud.
Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi
inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk
mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana
yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan
bangsa, diperlukan upaya-upaya konkret untuk mewujudkannya. Pemahaman akan
pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia perlu disebarluaskan
kepada masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan pendidikan multikultural yang
dapat mengantarkan
bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran, dan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pendidikan multikultural diharapkan akan
15
dicapai suatu kehidupan masyarakat
yang damai, harmonis, dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945.
C. Nilai-nilai Pendidikan Multikultural yang Perlu Dikembangkan
Tilaar (2004:16) mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah konsep
pembudayaan. Oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan,
masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui pendidikan. Melalui
pendidikan, pengakuan terhadap keragaman etnis dan budaya merupakan nilainilai multikultural harus dikembangkan. Hal itu berarti proses pendidikan,
termasuk di dalam proses pembelajaran hendaknya disemangati oleh nilai-nilai
multikultural.
Sejalan dengan pengertian multikulturalisme dan pendidikan multikultural
sebagaimana telah diungkapkan, beberapa nilai yang relevan dengan pembelajaran
berwawasan multikultural antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan
antarteman ( gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, etnis dan budaya); (2)
menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing;
(3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) membangun
kehidupan atas dasar kerja sama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antarsuku bangsa dan
antarbangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga
kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial, dan
nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10)
mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan
hidup; (12) menyelenggarakan 'proyek budaya' dengan cara pemahaman dan
sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia,
16
lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda Pancasila,
bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di daerah;
dan sebagainya (http://waraskamdi.com).
Dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, nilai-nilai multikultural yang
dapat dieksplorasi siswa melalui karya sastra merupakan perwujudan nilai-nilai
pribadi (konsep diri) dan sosial yang antara lain meliputi (1) ketaatan, (2)
penghargaan, (3) toleransi, (4) tanggung jawab, (5) kebersamaan/kerja sama, (6)
keadilan, (7) kejujuran, (8) kerendahan hati, (9) cinta dan kasih sayang, (10)
kesederhanaan, (11) kebebasan, dan (12) persatuan. Nilai-nilai tersebut bersifat
universal tetapi di balik keuniversalannya terdapat keberagaman dalam bahasa dan
budaya etnik yang berbeda. Dengan demikian, tema nilai-nilai itu dapat ditemukan
kesamaan dan perbedaannya (multikultural) sebagai landasan menuju persatuan
dalam keragaman.
D. Model Proyek Apresiasi Sastra sebagai Upaya Penanaman Nilai-nilai
Multikultural
Proyek merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan
saat penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam
serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang
penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di
dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi
yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka
waktu tertentu.
Penerapan proyek apresiasi didasari oleh beberapa alasan, yaitu:
17
(1) Apresiasi adalah sebuah proses. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses
apresiasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat
menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan. Melalui proyek
apresiasi, siswa dimungkinkan melewati tingkatan-tingkatan apresiasi tersebut
dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, yakni memperoduksi.
(2) Penyelesaian proyek apresiasi oleh sekelompok siswa akan memberikan
peluang kepada siswa untuk belajar secara kooperatif sesuai dengan konsep
contextual teaching learning (CTL).
(3) Keragaman kegiatan dalam proyek apresiasi memungkinkan siswa mendapat
berbagai pengalaman berapresiasi dari berbagai sudut pandang dan
merealisasikan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk.
(4) Melalui proyek apresiasi, siswa dapat melakukan kegiatan apresiasi secara
integratif melalui serangkaian kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis.
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, pembelajaran
sastra berwawasan multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim belajar, proses
belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai multikultural.
Jika dikaitkan dengan model pembelajaran apresiasi yang disarankan,
berarti isi teks-teks sastra yang dijadikan bahan apresiasi sastra hendaknya dipilih
dengan mempertimbangkan nilai-nilai multikultural yang ada di dalamnya, seperti
nilai keragaman, perdamaian, demokrasi, dan keadilan. Guru pun hendaknya
menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi satu
dengan lainnya dalam suasana demokratis, saling menghormati, saling toleransi,
dan saling memahami satu dengan yang lain dalam suasana menyenangkan.
Sementara gaya pembelajaran akan lebih demokratis, terbuka, dan fleksibel dan
18
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang
setara, serta menempatkan peserta didik dengan berbagai gaya belajar secara adil.
Di dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menerapkan strategi pembelajaran
kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para
siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam sehingga mereka akan saling
belajar segi-segi positif dari temannya. Metode pembelajaran juga beragam
(ceramah interaktif, pembelajaran aktif, pembelajaran kolaboratif, diskusi
kelompok, bermain peran, keteladanan, dan sebagainya). Evaluasi dilakukan
beberapa kali dan dengan berbagai cara sehingga memungkinkan hasilnya fair,
adil, dan seimbang.
Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan model proyek
apresiasi sastra berwawasan multikultural yaitu (1) strategi kegiatan belajar
bersama-sama (cooperative learning) yang dipadukan dengan strategi pencapaian
konsep (concept attainment), strategi analisis nilai (value analysis) dan strategi
analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan
secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran
berbasis multikultural.
Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural
Adapun model proyek apresiasi berwawasan multikultural selengkapnya
adalah sebagai berikut.
1) Tujuan
Pelaksanaan model proyek apresiasi berwawasan multikultural dirancang
berdasarkan
model
pembelajaran
kooperatif
dan
model
stratta
dengan
pengorganisasian pertemuan model kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas
19
proyek apresiasi yang dieklektikkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah melibatkan
siswa dalam (1) memberikan respon terhadap masalah multikultural yang terdapat
di dalam karya sastra dikaitkan dengan masalah di dalam kehidupan yang mereka
rasakan perlu mendapat pemecahan berdasarkan pengalaman mereka dengan
melibatkan proses berbagi ide dan pendapat serta saling tukar pengalaman melalui
proses saling berargumentasi, (2) melakukan proses apresiasi yang meliputi
tahapan penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi, dan (3) bekerja sama dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan (tugas), yaitu berupa penyelesaian proyek
apresiasi.
2) Syntax
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) penjelajahan,
membaca beberapa cerita untuk menentukan satu cerita yang isinya memuat nilainilai kultural yang akan diapresiasi, kemudian membaca cerita pilihan kelompok
secara intensif (situasi bermasalah, eksplorasi, perumusan tugas belajar), (2)
interpretasi, menafsirkan cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang (
kegiatan belajar), dan (3) rekreasi, menemukan keindahan karya yang dibaca
(rekreasi) dan nilai multikultural yang ada di dalamnya, serta melakukan
penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi (rekreasi) dalam wujud menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk,
memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, mengubah cerita menjadi teks
drama, atau mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (kegiatan
belajar, analisis kemajuan).
Secara konkret, teknis pelaksanaan proses apresiasi adalah sebagai berikut:
(1) memilih beberapa cerita yang akan dibaca, (2) menentukan satu cerita yang
akan diapresiasi, (3) membaca secara intensif cerita yang sudah ditentukan, (4)
20
menginterpretasi cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang, (5)
mendiskusikan hasil interpretasi, (6) menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai
bentuk, (7) memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, (8) mengubah
cerita menjadi teks drama, dan (9) mementaskan drama berdasarkan teks yang
sudah ditulis (10) merefleksi proses dan hasil pembelajaran.
(3) Sistem Sosial
Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat
demokratis yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan oleh
pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral
pembelajaran. Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari
pengarahan minimal guru. Dengan demikian suasana kelas akan terasa tak begitu
berstruktur. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan.
(4) Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Guru berfungsi sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang
bersahabat. Dalam kerangka ini guru membimbing dan mengarahkan kelompok
melalui tahap pemecahan masalah, pengelolaan kelas, pemaknaan secara
perseorangan, dan penyelesaian proyek.
(5) Sistem Pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah
segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk dapat menggali berbagai
informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah
kelompok dan proyek apresiasi. Perpustakaan diusahakan memiliki sumber
informasi yang komprehensif dengan alat bantu mengajar yang memadai.
(6) Dampak Instruksional dan Pengiring
21
Dampak instruksional model ini adalah (1) pandangan konstruktivis
tentang pengetahuan, (2) penelitian yang berdisiplin, (3) proses dan keteraturan
kelompok yang efektif. Adapun dampak pengiringnya adalah (1) kehangatan dan
keterikatan antarmanusia, kemerdekaan sebagai pelajar, (3) menghormati hak asasi
manusia, (4) toleransi dalam berdialog, dan (4) kesadaran akan perlunya kerja
sama dalam kelompok.
Contoh Penerapannya
Secara konkret, teknis pelaksanaan model proyek apresiasi adalah sebagai
berikut.
Langkah pertama adalah memilih beberapa cerita yang akan dibaca. Dalam
pelaksanaannya, guru memilihkan beberapa cerita yang mengandung nilai
multikultural. Beberapa cerita yang dipilih hendaknya memiliki tema yang
beragam sesuai dengan karakteristik siswa.
Langkah pertama diikuti oleh langkah kedua, siswa diminta memilih salah
satu di antara cerita yang ada sesuai dengan minat mereka. Pemilihan cerita
dengan mempertimbangkan aspek multikultural yang ada di dalamnya, misalnya
digambarkan tokoh-tokoh yang hidup di dalam lingkungan masyarakat yang
beragam. Cerita yang menggambarkan interaksi anggota masyarakat di dalam
situasi yang memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dan tokohtokohnya menyikapi dengan cara yang berbeda-beda. Cara penyikapan tokoh
itulah yang sangat potensial untuk diangkat di dalam pembelajaran untuk
didiskusikan agar dicapai pemahaman tentang nilai-nilai multikultural.
Langkah ketiga, siswa ditugasi membaca cerita yang sudah dipilih secara
intensif. Pembacaan dilakukan di luar jam pelajaran agar siswa memiliki
keleluasaan untuk menuntaskan pembacaannya.
22
Langkah keempat, wacana cerita tersebut “dihadirkan” di dalam kelas.
Siswa atau guru membacakan bagian yang menarik dari cerita tersebut, dan siswa
lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Langkah ini berlanjut dengan kegiatan
tanya jawab untuk memperoleh gambaran umum tentang cerita tersebut.
Langkah kelima,
siswa dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok.
Dengan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh guru, setiap kelompok
membuat penafsiran terhadap cerita yang sudah dibaca. Fokus perhatian terutama
diarahkan pada penafsiran tentang tokoh, alur, dan latar cerita yang bermuara pada
penafsiran tentang nilai-nilai multikultural dalam cerita.
Langkah
keenam,
setiap
kelompok
menyajikan
hasil
penafsiran
kelompoknya di kelas dan ditanggapi oleh anggota kelompok lain secara
perorangan. Langkah ini dipandu oleh guru. Dalam hal ini guru harus memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni
mendiskusikan hasil pemaknaan siswa. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan
berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru. Dalam konteks ini, tidak ada
pendapat yang “salah” atau pendapat yang “benar”—lebih-lebih benar atau salah
menurut versi guru. Guru sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa
untuk
berpendapat
mengemukakan
hasil
pemaknaannya
masing-masing.
Kedudukan guru dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator
agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan
memiliki keterampilan berbicara. Langkah ini diakhiri dengan menemukan
hubungan antara nilai-nilai multikultural dalam cerita dengan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari.
Langkah ketujuh, setiap kelompok ditugasi menuliskan hasil apresiasinya
dalam berbagai bentuk, misalnya paparan tentang unsur intrinsiknya, nilai-nilai
23
multikultural yang ada di dalam novel, mengubah bagian yang menarik menjadi
puisi dan drama, dan melengkapinya dengan resensi dan biografi pengarang.
Langkah kedelapan, tiap kelompok memajang hasil apresiasi di dalam
majalah dinding. Dalam hal ini setiap kelompok diberi kebebasan untuk berkreasi
agar majalah dinding yang dibuat menjadi menarik. Hasilnya dinilai oleh
kelompok lain dan ditentukan yang terbaik.
Langkah kesembilan, setiap kelompok mengubah bagian cerita yang
menarik menjadi naskah drama, kemudian mengadakan latihan pementasan.
Langkah kesepuluh, setiap kelompok mementaskan drama sesuai dengan
naskah drama yang sudah ditulis dan dinilai oleh kelompok lain untuk ditentukan
yang terbaik.
Langkah kesebelas siswa dipandu guru merefleksi proses dan hasil
pembelajaran.
Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan
mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra,
(3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra.
Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai
gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang
siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh.
Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan
pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan
menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis)
wacana sastra.
Dalam penerapan model proyek apresiasi pada pembelajaran sastra, guru
berkewajiban menciptakan situasi yang kondusif. Situasi dan kondisi yang
24
kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikap
reseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam proses pembelajaran. Selain itu,
guru berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif,
yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidak bersifat indoktrinatif.
Guru juga berkewajiban menciptakan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan
produktif, yaitu kegiatan yang memungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampu
menghasilkan wacana sastra.
25
BAB III
METODE PELAKSANAAN
A. Khalayak Sasaran
Yang menjadi khalayak sasaran pada kegiatan ini adalah guru SD seKecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Dalam hal ini dibatasi setiap satu sekolah
satu guru. Diharapkan guru yang dilibatkan dalam pelatihan ini akan dapat
menyebarluaskan kepada teman-teman guru di sekolah masing-masing.
B. Metode Penerapan Iptek
Bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah pendidikan
kepada masyarakat yang berupa pelatihan pembelajaran sastra dengan model
proyek apresiasi berwawasan multikultural bagi guru SD se-Kecamatan Ngaliyan,
Kota Semarang. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini bervariasi yaitu
metode penyuluhan yang meliputi metode ceramah, diskusi (tanya jawab), dan
metode langsung. Metode penyuluhan digunakan dalam rangka memberikan
pengetahuan tentang konsep model proyek apresiasi sedangkan metode langsung
digunakan
untuk
memberikan
keterampilan
dalam
menyusun
perangkat
pembelajaran dan menerapkan model proyek apresiasi berwawasan multikultural
dan mempraktikkannya dalam bentuk peerteaching.
Secara berurutan, ada tiga tahap yang akan dilaksanakan dalam pengabdian
kepada masyarakat ini, yaitu tahap penjajagan, tahap pelatihan, dan tahap evaluasi.
Tahap penjajagan berarti pelaksana mencari tahu hal-hal apa saja yang
dibutuhkan oleh guru SD terkait dengan pembelajaran apresaisi sastra.
Yang
dimaksud hal-hal di sini mencakupi konsep pembelajaran sastra, pemilihan materi
pembelajaran sastra, pemilihan model pembelajaran sastra, pembuatan rancangan
pembelajaran apresaisi sastra, dan penerapan pembelajaran sastra. Dari bagian26
bagian tersebut, melalui langkah penjajagan pelaksana akan mengetahui aspek apa
yang paling kurang pada khalayak sasaran, metode apa yang diinginkan oleh
khalayak sasaran, dan kapan waktu yang tepat dilaksanakannnya pelatihan.
Tahap pelatihan dilaksanakan setelah ada kesepakatan dengan khalayak
sasaran, terutama perihal waktu pelaksanaan. Dalam pelatihan tersebut kegiatan
yang dilaksanakan meliputi penyampaian materi tentang pembelajaran sastra
dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural, penyusunan perangkat
pembelajaran
dengan
menerapkan
model
proyek
apresiasi
berwawasan
multikultural, dan praktik pembelajaran dalam bentuk peerteaching dengan
didampingi dan dipantau oleh instruktur.
Proses evaluasi dilaksanakan secara bertahap, yaitu mulai dari pemberian
materi, penyusunan perangkat pembelajaran sampai praktik pembelajaran. Model
evaluasi yang digunakan adalah evaluasi pendampingan, dalam arti instruktur akan
memberi masukan-masukan pada peserta tentang perangkat pembelajaran yang
dibuat dan pada saat pelaksanaan peerteaching.
C. Keterkaitan
Kegiatan ini merupakan implementasi Tri Dharma Prguruan tinggi ketiga,
yakni pengabdian kepada masyarakat dengan sasaran guru SD se- Kecamatan
Ngaliyan, Kota Semarang. Paling tidak kegiatan ini berkaitan dengan dua instansi
formal, yaitu Unnes melalui LP2M Unnes dan Dinas Pendidikan Kecamatan
Ngaliyan. Operasional kegiatan dilakukan oleh Tim Pengabdian dan Dinas
Pendidikan Kecamatan Ngaliyan. Tim Pengabdi Unnes bertugas mempersiapkan
panduan pelatihan, materi pelatihan, sertifikat, dan instruktur pelatihan. Dinas
Pendidikan Kecamatan Ngaliyan bertugas mempersiapkan peserta pelatihan,
tempat penyelenggaraan pelatihan, dan teknis lainnya.
27
Kegiatan ini juga sekaligus merupakan kegiatan sinergis antara Unnes dan
Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan tersebut, kegiatan ini mempunyai
keselarasan dan kesamaan tujuan, yaitu memberikan bekal dan meningkatkan
kualitas kompetensi guru, khususnya dalam hal pembelajaran kreatif dan inovatif
melalui model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Kegiatan-kegiatan yang
sudah dilaksanakan oleh LPMP dan Dinas Pendidikan selama ini dipandang masih kurang,
dalam pengertian tidak bisa menjangkau seluruh guru SD yang ada di Kecamatan
Ngaliyan. Karena itu, kehadiran program ini akan sangat bermanfaat untuk menunjang
kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan LPMP dan Dinas Pendidikan sebelumnya.
28
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN
A. Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dengan topik “Pelatihan Pembelajaran
sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural bagi Guru SD seKecamatan Ngaliyan, Kota Semarang” dilaksanakan dengan mengikuti langkahlangkah sebagai berikut.
1.
Orientasi Pendahuluan
Sebelum kegiatan pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan, terlebih dahulu
dilakukan orientasi pendahuluan. Orientasi pendahuluan berupa komunikasi dengan
beberapa guru SD di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Kegiatan orientasi
pendahuluan ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan materi
dan bentuk kegiatan yang mereka inginkan.
Berdasarkan
komunikasi
tersebut
diperoleh
informasi
bahwa
mereka
memerlukan informasi tentang strategi mengajarkan sastra yang inovatif. Kemudian
Tim Pengabdi menawarkan diadakannya pelatihan pembelajaran sastra kreatif dan
inovatif terhadap para guru SD di Kecamatan Ngaliyan. Tawaran tersebut ternyata
mendapatkan sambutan yang positif.
2.
Koordinasi dengan Instansi Terkait
Koordinasi pertama dilakukan dengan Kepala UPTD Kec. Ngaliyan, Kota
Semarang. Berdasarkan hasil diskusi diputuskan bahwa Kepala UPTD Kecamatan
Ngaliyan ditunjuk sebagai koordinator lapangan (korlap). Tugas utama korlap adalah
mengumpulkan calon peserta dan mempersiapkan pelatihan.
Dalam koordinasi tersebut disepakati bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan
berbentuk pelatihan. Topik pelatihan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan di
29
lapangan, yaitu pembelajaran kreatif dan inovatif melalui model proyek apresiasi
berwawasan multikultural. Disepakati pula bahwa pelatihan akan dilaksanakan
sebanyak dua kali pertemuan, yaitu pertemuan pertama penyampaian materi secara
teoretis tentang pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif , pertemuan kedua
digunakan untuk melakukan simulasi dan presentasi.
3. Perencanaan
Setelah kegiatan orientasi dan koordinasi dengan instansi terkait dilaksanakan,
disusunlah rencana kegiatan sebagai berikut:
(1) Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek Apresiasi
Berwawasan Multikultural dilaksanakan di UPTD Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang;
(2) Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek Apresiasi
Berwawasan Multikultural dilaksanakan di UPTD Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang;
(2) Peserta kegiatan adalah 37 orang guru yang masing-masing mewakili satu
sekolah;
(3) Kegiatan direncanakan pada hari Kamis dan Jumat, 30—31 Oktober 2014;
(4) narasumber yang akan menyampaikan materi tentang pembelajaran kreatif dan
inovatif adalah Dr. Subyantoro, M.Hum., sedangkan materi tentang Model
Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural akan disampaikan oleh Dra. Nas
Haryati Setyaningsih, M.Pd. Adapun narasumber yang akan mendampingi
peserta pada saat simulasi pembelajaran adalah Dra. Nas Haryati Setyaningsih,
M.Pd. dan Dra. Suprapti, M.Pd.
30
4. Pelaksanaan Pelatihan
Tim pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat pada kegiatan ini adalah Dra.
Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. sebagai Ketua dan Dra. Suprapti, M.Pd. sebagai
Anggota. Tim pelaksana bertugas mengatur pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada
masyarakat mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan menyusun laporan. Tim
pelaksana sekaligus bertindak sebagai instruktur pelatihan.
Kegiatan Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek
Apresiasi Berwawasan Multikultural bagi Guru SD se-Kecamatan Ngaliyan Kota
Semarang dilaksanakan dalam dua hari, yaitu tanggal 30—31 Oktober 2014. Hari
pertama, yaitu tanggal 30 Oktober 2014 dilaksanakan pemberian materi secara teoretis
tentang pembelajaran kreatif dan inovatif dan pembelajaran sastra dengan Model
Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural. Kegiatan hari pertama diakhiri dengan
penjelasan tentang cara membuat rancangan pembelajaran.
Selanjutnya,
peserta
pelatihan
ditugasi
mengembangkan
rancangan
pembelajaran dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Tugas tersebut
harus dikerjakan peserta di rumah masing-masing. Dengan demikian mereka dapat
mencari referensi sebagai sumber rujukan dan bahan serta alat pembelajaran yang
diperlukan.
Berikutnya, pada hari kedua dilaksanakan simulasi pembelajaran. Pada kegiatan
ini ditunjuk seorang peserta yang bertindak sebagai guru, tiga orang peserta sebagai
pengamat, dan selebihnya sebagai siswa.
Setelah proses simulasi selesai, dilaksanakan diskusi untuk membahas hasil
simulasi. Selanjutnya, kegiatan diakhiri dengan penyimpulan terhadap hasil simulasi.
Adapun jadwal kegiatan pelatihan secara keseluruhan tersebut adalah sebagai
berikut.
31
Kamis, 30 Oktober 2014
08.00 - 09.00
Pendaftaran ulang peserta
09.00 - 09.15
Pembukaan
09.15 - 10.45
Sesi I
Pembicara
: Dr. Subyantoro, M.Hum.
Topik
: Pembelajaran Kreatif dan Inovatif
10.45 – 11.00
Istirahat
11.00 – 12.30
Sesi II
Pembicara
: Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd.
Topik
: Pembelajaran Sastra dengan Model Proyek
Apresiasi Berwawasan Multikultural
12.30—12.45
Penugasan
Jumat, 31 Oktober 2014
08.00 - 08.30
Pendaftaran ulang peserta
08.30 - 11.00
Sesi III
Pendamping
: Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd.
Dra. Suprapti, M.Pd.
Topik
11.00 - 11.15
: Simulasi Pembelajaran
Penutupan
B. Hasil dan Pembahasan
Evaluasi dilaksanakan selama dan setelah kegiatan pelatihan berlangsung. Ada
tiga ranah yang dievaluasi, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau perilaku.
Bentuk evaluasi berupa tes tertulis, tes perbuatan, dan observasi atau pengamatan. Tes
tertulis digunakan untuk mengetahui keberterimaan materi. Tes perbuatan digunakan
32
untuk mengevaluasi keterampilan guru dalam menerapkan teori tentang pembelajaran
apresiasi sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural yang telah
diberikan. Observasi atau pengamatan digunakan untuk menilai minat dan motivasi
guru dalam mengikuti pelatihan serta dalam mengaplikasikannya untuk pembelajaran
sastra.
Selama kegiatan berlangsung, evaluasi dilaksanakan dengan jalan melakukan
observasi terhadap aktivitas peserta selama mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil
observasi atau pengamatan, selama proses pelatihan berlangsung peserta sangat antusias
mendengarkan penjelasan narasumber. Demikian juga pada saat sesi tanya jawab,
banyak di antara peserta yang menggunakan kesempatan untuk menanyakan hal-hal
yang belum diketahui. Pada saat kegiatan simulasi, para peserta terlibat secara aktif dan
kreatif serta patuh mengikuti serangakian kegiatan pelatihan mulai dari pembukaan
sampai penutup. Berdasarkan tingkat kehadiran peserta pelatihan diketahui bahwa
peserta hadir secara lengkap mulai pembukaan sampai penutupan. Tugas membuat
rancangan pembelajaran dan praktik simulasi dapat diselesaikan dengan baik.
Di akhir kegiatan pelatihan, dilaksanakan tes tertulis untuk mengetahui
penguasaan peserta terhadap materi pelatihan. Hasil tes menunjukkan bahwa mereka
telah menguasai konsep tentang model pembelajaran yang dilatihkan. Hasil simulasi
juga menunjukkan bahwa mereka sudah dapat menerapkan model tersebut dalam
pembelajaran sastra.
Evaluasi juga dilakukan terhadap rancangan pembelajaran yang sudah dibuat
oleh peserta. Hasilnya, 50% rancangan dalam kategori baik, 27% rancangan dalam
kategori cukup, dan 23% dalam kategori kurang. Meskipun belum maksimal, hal
tersebut sudah menggambarkan keberhasilan pelatihan ini mengingat sebelum
33
mengikuti pelatihan, mereka menyatakan belum pernah sekali pun merancang
pembelajaran dengan model proyek apresiasi.
34
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan laporan pelaksanaan kegiatan serta hasil dan pembahasan kegiatan
dapat ditarik simpulan bahwa kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini telah dapat
memberikan motivasi dan bekal pada para guru dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran secara kreatif dan inovatif, khususnya dalam mengajarkan sastra dengan
model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Meskipun bekal yang diberikan
sebagian besar bersifat teoretis dengan praktik simulasi dalam waktu terbatas, motivasi
dan antusiasme untuk mencoba menerapkan model tersebut sangat besar.
B. Saran
Untuk menyempurnaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat selanjutnya,
perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1. Penentuan khalayak sasaran perlu dipertimbangkan masak-masak akan
manfaat dan tingkat kepentingannya. Hal ini dimaksudkan supaya kegiatan
yang dilaksanakan tidak sia-sia.
2. Tindak lanjut dari kegiatan pelatihan ini lebih penting karena adanya
bimbingan secara langsung kepada peserta. Dengan demikian, peserta tidak
saja memperoleh pengetahuan yang berisifat kognitif, tetapi juga memiliki
keterampilan mengajar yang kreatif dan inovatif yang memadai.
3. Perlu disediakan waktu pelatihan yang cukup agar peserta dapat
memperoleh keterampilan merancang pembelajaran yang kreatif dan
inovatif dengan baik.
35
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ernie Isis Aisyah. 2004. “Analisis Kebutuhan Pendidikan Multilkultural
Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di
Kota Mataram”. Disertasi. Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja,
Mataram.
Aminuddin. 2000. “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan
Pemahaman Perubahan Ideologi”. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie
(Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 45—55). Surakarta:
University Muhamadiyah Press–HISKI Komisariat Surakarta.
Effendi, S. 1974. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores: Nusa Indah.
El-Ma’hady, Muhaimin. 2004. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”.
Makalah Seminar Integrasi Sosial dan Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hak asasi Manusia, Departemen
Kehakiman RI.
Fathurrofiq. 2004. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang Multikultural
dalam Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Studi Budaya”. Prosiding
Seminar Internasional. Yogyakarta: Universitas Gajahmada.
Jabrohim (Ed.) 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar
dan FPBS IKIP Muhammadiyah.
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Cet.3. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rahman, A. Dkk. 1981. Kemampuan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Timur.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Setyaningsih, Nas Haryati. 2010. “Pengembangan Model Proyek Apresiasi Sastra
Berwawasan Multikultural”. Laporan Penelitian. Unnes Semarang.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Waraskamdi. 2009. “Bagaimana Mengembangkan pembelajaran Berbasis
Multikultural?”
http://waraskamdi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27&
Itemid=6.Diunduh tgl 2 November 2009.
36
Zainuddin.
2009.
“HAM
dan
Pendidikan
Multikultural”.
http://www.fajar.co.id/index .php? Option=new&id=72172. Diunduh tanggal
2 November 2009.
Zulaikha, Ida. 2008. “Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri Sosial bagi
Peningkatan Kemampuan Menulis Kreatif dalam Konteks Multikultural
Siswa SMP”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
37
38
39
40
41
42
LAMPIRAN 2
IDENTITAS
PELAKSANA KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
A. Ketua Pelaksana
1. Nama Lengkap dan Gelar Akademik : Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd.
2. Tempat dan tanggal lahir
: Wonosobo, 13 November 1957
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Fakultas/Jurusan/Program Studi
: FBS/Bahasa dan Sastra Indonesia/PBSI
5. Pangkat/Golongan/NIDN
: Pembina Tingkat I/IVb/0013115705
6. Bidang Keahlian
: Pengajaran Sastra
7. Kedudukan dalam Tim
: Ketua
8. Alamat Kantor
: Gedung B1, Kampus Unnes Sekaran,
Gunungpati, Semarang
B. Anggota Pelaksana
1. Nama Lengkap dan Gelar Akademik : Dra. Suprapti, M.Pd.
2. Tempat dan Tanggal Lahir
: Tulungagung, 29 Juli 1950
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Fakultas/Jurusan/Program Studi
: FBS/Bahasa dan Sastra Indonesia/PBSI
5. Pangkat/Golongan/NIDN
: Pembina/IVb/0029075002
6. Bidang Keahlian
: Pendidikan Bahasa
7. Kedudukan dalam Tim
: Anggota
8. Alamat Kantor
: Gedung B1 Kampus Unnes Sekaran,
Gunungpati, Semarang
43
LAMPIRAN 3
MATERI IPTEK YANG DITERAPKAN
MODEL PROYEK APRESIASI SEBAGAI SALAH SATU
MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DALAM PEMBELAJARAN SASTRA
1.
Pengertian Pembelajaran Inovatif
Dalam pembelajaran, ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan keterampilan berbahasa dalam konteks dan situasi yang
kompleks, artinya guru telah memberi kesempatan kepada siswa berlatih
berkomunikasi dengan menggunakan berbagai ragam keterampilan berbahasa
secara terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Laporan penelitian yang lain
mengindikasikan bahwa guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan
pembelajaran terintegrasi (terpadu) melalui lingkungan mahir literasi (literate
environment) ternyata dapat meningkatkan kualitas berbahasa mereka. Hal itu
terjadi karena siswa menggunakan proses-proses yang saling berkaitan dengan
antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk berkomunikasi
secara alamiah (authentic communication). Lingkungan yang kaya bahan bacaan
akan memberi kesempatan kepada siswa untuk bereksperimen dengan media tulis,
siswa berkomunikasi aktif reseptif (membaca) dan produktif (menulis) (Graves,
2001).
Berdasarkan ilustrasi tersebut, program atau upaya pembelajaran yang
sifatnya memperbaiki program pembelajaran sebelumnya yang tidak memuaskan,
hasilnya dapat digolongkan inovatif karena mencoba untuk memecahkan masalah
44
yang belum terpecahkan dan lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan
prestasi belajar siswa.
Dari ilustrasi di atas dapat dirumuskan secara garis besar bahwa program
pembelajaran inovatif adalah program pembelajaran yang langsung memecahkan
permasalahan yang sedang dihadapi oleh kelas berdasarkan kondisi kelas. Pada
gilirannya program pembelajaran tersebut akan memberi sumbangan terhadap
usaha peningkatan mutu sekolah secara keseluruhan.
2.
Tujuan Pembelajaran Inovatif
Pembelajaran bahasa di Indonesia juga terus mengalami perubahan yang
mengarah pada inovasi, di antaranya adalah kurikulum, yakni kurikulum 1975,
1994, 2004, 2006, dan 2013. Inovasi menandakan bahwa suatu bangsa itu hidup
dan berkembang (Kridalaksana, 2002) seiring dengan tuntutan dan tantangan
zaman. Tuntutan dan tantangan masa depan bangsa Indonesia antara lain dapat
dilihat dari kualitas dan daya saing SDM yang kurang menggembirakan
dibandingkan dengan Negara-negara lain (Suyanto, 2003). Seperti yang terungkap
dalam catatan Human Development Report tahun 2000 versi UNDP, peringkat
HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia
berada di urutan 105 dari 108 negara. Indonesia berada jauh di bawah Filiphina
(77), Thailand (76), Malaysia (61), Brunai Darussalam (32), Korea Selatan (30),
dan Singapura (24).
Dalam
pembelajaran
bahasa
Indonesia,
International
Educational
Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa-siswa kelas
IV SD di Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei (Nurhadi,
2004). Semiawan (2003:574) menjelaskan bahwa para siswa di Indonesia hanya
mampu memahami 30% dari materi bacaan dan mengalami kesulitan menjawab
45
soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Bahkan, tuntutan dan
tantangan tersebut menjadi sangat penting berkaitan dengan fenomena persyaratan
tenaga kerja yang tercantum pada iklan mencari tenaga kerja, khususnya iklan
perusahaan
besar
internasional
maupun
multinasional.
Nur
(2004)
mengelompokkan persyaratan itu atas affective & sosial skill dan thingking skill.
Untuk itu, peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing tinggi merupakan
kebijakan yang perlu diprioritaskan, terutama pendidik, sehingga pendidikan kita
dapat membekali anak didik dan mencetak lulusan yang kompeten dalam
memecahkan masalah dalam dunia global. Upaya membekali anak didik dan
mencetak lulusan yang berdaya saing tinggi inilah yang menjadi tujuan
pembelajaran inovatif.
3.
Karakteristik Strategi Pembelajaran inovatif Sastra Indonesia
Strategi PAIKEM merupakan ruh pembelajaran inovatif, yakni strategi
pembelajaran yang memiliki karakter: aktif, integratif, komunikatif, efektif, dan
menyenangkan.
3.1 Pembelajaran Aktif
Pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru tidak mendominasi dan tidak
menjadi penyampai materi dengan ceramah, tetapi lebih berperan sebagai
motivator, fasilitator, pendamping, dan pembimbing bagi siswa. Sementara itu,
siswa memiliki perbedaan satu sama lain dalam minat, kemampuan, kesenangan,
pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar
baca (auditif), dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh
karena itu, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu
belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karakteristik siswa.
46
KBM perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Sebagai subjek
dalam pembelajaran, berarti siswalah yang harus aktif menggali informasi,
membangun
konsep,
menemukan
dan
memecahkan
masalah,
mengasah
keterampilan, dan membiasakan sikap positif,
Permasalahannya adalah bagaimana seorang guru bisa membuat siswa
aktif? Beberapa cara yang dapat dikembangkan untuk membuat siswa aktif, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1) Penciptaan setting kelas yang merangsang siswa aktif. Ada 10 setting kelas yang
memungkinkan siswa belajar secara aktif, yakni (1) kelas bentuk U atau setengah
lingkaran, (2) kelas gaya-tim, (3) kelas gaya meja konverensi, (4) kelas gaya
lingkaran, (5) kelas gaya kelompok pada kelompok, (6) kelas gaya ruang kerja, (7)
kelas gaya pengelompokan berpencar, (8) kelas gaya formasi tanda pangkat, (9)
kelas gaya auditorium, dan (10) kelas gaya tradisional/seminar. Setting kelas akan
sangat mempengaruhi aktivitas siswa. Kelas gaya tradisional (10) kurang baik untuk
membangkitkan aktivitas siswa karena secara psikologis siswa ditempatkan pada
kedudukan siap untuk menerima informasi. Kelas gaya ini hanya cocok untuk
membuka dan menutup pelajaran, tetapi kurang tepat untuk aktivitas belajar.
(Silberman, 2004)
2) Merangsang partisipasi siswa secara penuh. Ada sepuluh cara meminta siswa untuk
berpartisipasi, yakni (1) diskusi terbuka, (2) kartu jawab, (3) jajak-pendapat, (4)
diskusi subkelompok, (5) mitra belajar, (6) penyemangat, (7) panel, (8) ruang
terbuka (fishbowl), (9) permainan, (10) memanggil pembicara selanjutnya
(Silberman, 2004).
3.2 Pembelajaran Integratif
47
Bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas berbagai unsur, baik
secara struktural maupun fungsional. Secara struktural bahasa terdiri atas bagianbagian seperti fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraph, dan wacana.
Secara fungsional bahasa untuk berkomunikasi secara reseptif (keterampilan
mendengarkan dan membaca), secara produktif (keterampilan berbicara, menulis).
Berbagai unsure kebahasaan dan keterampilan berbahasa tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan dalam konteks komunikatif. Oleh karena itu, pembelajaran
bahasa memerlukan tema sebagai upaya penciptaan konteks yang dapat
mengintegrasikan berbagai komponen kebahasaan dan keterampilan berbahasa
dalam rangka mendukung proses komunikasi.
Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh
tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa yang digunakan sebagai sarana
berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara secara terintegrasi
sebagaiana layaknya komunikasi yang terjadi di masyarakat. Selain itu,
pendekatan terpadu/integratif juga menyarankan agar pembelajaran bahasa
Indonesia didasarkan pada wawasan whole language, yaitu cara untuk menyatukan
pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang (siswa
dan guru) yang terlibat dalam pembelajaran. Whole Language dimulai dengan
menumbuhkan lingkungan yang membelajarkan bahasa secara utuh dan
keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan
secara terpadu. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan
kemahirwacanaan itu dapat tercapai. Unsur-unsur kebahasaan (fonem, kata, frasa,
klausa, dan kalimat) dibelajarkan secara utuh dalam konteks keterampilan
berbahasa sebagai hal yang dapat membantu memperlancar berbahasa.
Penerapannya dapat menggunakan komponen-komponen whole language, yaitu
48
reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guided
reading, guided writing, independent reading, dan independent writing.
Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah
keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan
pada kemampuan berbahasa praktis dan interaksi yang produktif antara guru
dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan
berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful).
Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang
tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa
bahasa Indonesia yang sangat linguistis.
Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pembelajaran bahasa Indonesia,
siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa
Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam
bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai
sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan.
Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat
pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan.
Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru
sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia
agar dihindari.
3.3 Pembelajaran Komunikatif
Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa adalah suatu
pendekatan yang bertujuan mengembangkan kompetensi komunikatif pada empat
aspek keterampilan berbahasa, mencakup menyimak, berbicara, membaca, dan
menulis. Keempat aspek tersebut saling ketergantungan. Kompetensi komunikatif
49
adalah konsep yang diperkenalkan oleh Dell Hymes (1970). Ide asli Hymes adalah
bahwa pemakai bahasa mempunyai lebih dari hanya kompetensi gramatika untuk
dapat berkomunikasi secara efektif dalam bahasa bersangkutan; pengguna bahasa
juga harus tahu bagaimana bahasa tersebut digunakan oleh anggota komunitas
bahasa untuk mencapai tujuan mereka.
Orwig (1999) membagi kompetensi komunikatif atas aspek linguistik dan
aspek pragmatik. Aspek linguistik kompetensi komunikatif adalah hal-hal
kebahasaan yang berkaitan dengan pencapaian pengetahuan fungsional yang
terdapat dalam pikiran tentang unsur dan struktur bahasa yang mencakup
kompetensi fonologi, kompetensi gramatika, kompetensi leksikal, dan kompetensi
wacana.
Kompetensi fonologi mencakup konsonan, vokal, pola intonasi, pola ritme,
pola tekanan suara, dan sebagainya. Kompetensi gramatika gramatika adalah
kemampuan mengenal dan mengucapkan struktur bahasa dan menggunakannya
secara efektif dalam komunikasi.
Kompetensi leksikal adalah kemampuan mengenal dan menggunakan katakata dalam suatu bahasa seperti yang digunakan oleh penutur bahasa. Kompetensi
leksikal mencakup pemahaman berbagai keterkaitan di antara jenis-jenis kata dan
kolokasi umum kata.
Kompetensi wacana mengacu kepada dua kemampuan yang berbeda.
Pertama adalah kompetensi wacana tekstual yang mengacu kepada kemampuan
memahami dan membentuk monolog atau teks tulis dari berbagai "genre", seperti
narasi, teks prosedural, teks ekspositori, teks persuasi, deskripsi, dan lain-lain.
Genre wacana tesebut mempunyai karakteristik berbeda, tetapi di dalam setiap
genre terdapat beberapa unsur yang ikut membantu teks menjadi koheren, dan
50
unsur-unsur lain yang digunakan untuk lebih menjelaskan perbedaan poin-poin
penting.
Belajar
bahasa
melibatkan
pembelajaran
tentang
bagaimana
menghubungkan sedemikian rupa berbagai jenis wacana sehingga pendengar atau
pembaca dapat memahami apa yang terjadi dan mengerti dengan hal-hal yang
penting. Banyak penulis menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada
interaksi dalam percakapan, sehingga kompetensi wacana dapat juga berarti
kemampuan berpartisipasi secara aktif di dalam percakapan. Dalam pembelajaran
bahasa, interaksi dianggap bagian dari kompetensi interaksi.
Dalam aspek pragmatik terdapat kompetensi fungsional, kompetensi
sosiolinguistik, kompetensi interaksi, dan kompetensi budaya. Kompetensi
fungsional adalah kemampuan mencapai tujuan komunikasi dalan suatu bahasa.
Terdapat beberapa jenis tujuan dalam menggunakan bahasa. Misalnya, menyapa
adalah salah satu tujuan menggunakan bahasa. Kita dapat saja menyebutkan dalam
bahasa Indonesia Selamat pagi, Apa kabar, atau Pagi, tergantung kepada siapa kita
berbicara.
Kompetensi sosiolinguistik adalah kemampuan menginterpretasi makna
sosial ragam pilihan kebahasaan dan menggunakan bahasa dengan makna sosial
yang tepat untuk situasi sosial tertentu.
Sosiolinguistik merupakan disiplin yang sangat luas dan istilah kompetensi
sosiolinguistik dapat berlaku lebih luas daripada yang dipaparkan di sini. Buku ajar
ini terbatas pada pengenalan dan penggunaan ragam bahasa yang tepat.
Kompetensi interaksional melibatkan pengetahuan dan penggunaan kaidahkaidah interaksi yang hampir semuanya tak tertulis untuk berinteraksi di dalam
berbagai situasi komunikasi dalam komunitas dan budaya bahasa yang ada. Hal ini
51
mencakup di antaranya mengetahui cara memulai dan mengatur percakapan dan
menegosiasi makna dengan orang lain. Hal ini termasuk juga mengetahui bahasa
tubuh, kontak pandangan, dan jarak dengan orang lain yang cocok untuk
digunakan dalam bertindak sesuai dengan situasi.
Kompetensi budaya adalah kemampuan memahami tingkah laku dari sudut
pandang anggota masyarakat budaya tersebut dan bertingkah laku dengan cara
yang dapat dimengerti oleh anggota budaya sesuai dengan cara yang diinginkan.
Karena itu, kompetensi budaya melibatkan pemahaman semua aspek budaya,
terutama struktur sosial, nilai dan kepercayaan masyarakat, dan cara sesuatu
dilakukan. Contohnya, tidak mungkin kita dapat berbicara bahasa Arab, bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, dsb. dengan benar tanpa memahami struktur sosial
masyarakat bersangkutan, karena struktur tersebut tercermin di dalam kata dan
istilah yang harus digunakan pada saat berbicara dengan atau tentang orang lain.
Kompetensi komunikatif belakangan ini sudah semakin disempurnakan.
Aspek yang terlibat di dalamnya tidak saja aspek pragmatik, seperti kompetensi
interaksi, sosiolinguistik, dan budaya, tetapi juga mencakup kompetensi linguistik,
seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
3.4 Pembelajaran Efektif
Pengelolaan KBM di kelas dan di luar kelas meliputi pengelolaan tempat
belajar/ruang kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan kegiatan pembelajaran,
pengelolaan materi pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, dan pengelolaan
strategi dan evaluasi kegiatan pembelajaran. Dalam mengelola kegiatan
pembelajaran, guru perlu merencanakan tugas dan alat belajar yang menantang,
pemberian umpan balik, dan penyediaan program penilaian yang memungkinkan
semua
siswa
mampu
‘unjuk
kemampuan/mendemonstrasikan
52
kinerja
(performance)’ sebagai hasil belajar. Inti dari penyediaan tugas menantang ini
adalah penyediaan seperangkat pertanyaan yang mendorong siswa bernalar atau
melakukan kegiatan ilmiah.
Untuk mengemas pembelajaran secara efektif, banyak strategi yang dapat
dilakukan oleh guru,di antaranya adalah (1) strategi pelibatan belajar secara
langsung, (2) strategi mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap (PKS)
secara aktif, (3) strategi menjadikan kegiatan belajar tidak terlupakan (Silberman,
2004).
Strategi pelibatan belajar secara langsung dapat dilakukan dengan cara
mengajak anak untuk berbagi pengetahuan secara aktif, bertukar pendapat dalam
kelompok, dan bertangung jawab terhadap mata pelajaran. Strategi mendapatkan
pengetahuan secara aktif dalam kegiatan belajar dalam satu kelas penuh dapat
dilakukan dengan teknik (1) pikiran yang penuh tanya selalu ingin mengetahui,
teknik tim pendengar, teknik membuat catatat dengan arahan, teknik belajar ala
permainan binggo, pengajaran sinergis, pengajaran terarah, mempraktikkan materi
yang diajarkan, bermain peran, berdebat, dan menjadi kritikus.
Kegiatan pembelajaran kelompok dapat dilakukan dengan teknik debat
aktif, rapat dewan kota, keputusan terbuka, memperbanyak anggota dewan panel,
argumentasi dan argumentasi tandingan, membaca keras, keras, dan pengadilan
oleh majelis hakim.
3.5 Pembelajaran Menyenangkan
Betapapun beratnya sebuah beban pikiran bila dikerjakan dengan hati riang
gembira akan terasa ringan. Belajar, menyerap informasi, mengkonstruksi konsep,
memecahkan masalah, berhitung, menulis, dan segala bentuk pelajaran lain adalah
sebuah beban pikiran yang menjadi tanggungan otak kiri. Bila tidak diimbangi
53
dengan keceriaan, kegembiraan, kesenangan pada otak kanan akan mengakibatkan
beban otak kiri semakin bertambah. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang terlalu
memeras konsentrasi otak kiri mesti diimbangi dengan keceriaan dan kegembiraan
pada otak kanan untuk mengurangi beban psikologis.
Berbagai upaya untuk membalut proses pembelajaran dengan berbagai
kegiatan yang menyenangkan perlu diupayakan agar kelas tidak menjadi “penjara
psikologis” bagi siswa. Guru perlu menciptakan strategi pembelajaran yang
mengintegrasikan berbagai permainan dan petualangan yang sesuai dengan
perkembangan jiwa anak. Misalnya, untuk membentuk kelompok belajar dapat
dilakukan dengan berbagai cara yang menyenangkan sekaligus memberikan jiwa
bagi kelompok yang terbentuk. Cara-cara tersebut misalnya menghitung kepala
“mlinjo dompol …”, sebut kegemaran, kartu misteri, pemilihan raja/ratu sejagat,
dan lain-lain.
Upaya menciptakan suasana gembira dalam kelas juga dapat dilakukan
dengan menghubungkan materi dengan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan.
Misalnya, ketika siswa akan belajar puisi tentang kerusakan alam, siswa dapat
diajak mendendangkan lagu ”Rumput yang Bergoyang” oleh Ebit G. Ade; jika
puisi semangat anak muda, siswa diajak mendendangkan puisi ”Ekspresikan” oleh
Bondan Prakoso, liriknya: ”Hai Kau jadikanlah dirimu seperti yang Kau mau, hai
Kau ekspresikanlah seperti yang Kau mau...”. Kemudian syair lagu tersebut
dijadikan pintu masuk mengenalkan puisi. Penciptaan suasana pembelajaran yang
menyenangkan seperti itu akan menjadikan siswa antusias dan mudah dalam
memahami materi.
4.
Model Proyek Apresiasi Sastra sebagai Upaya Penanaman Nilai-nilai
Multikultural
54
Proyek merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan
saat penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam
serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang
penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat
dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di
dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi
yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka
waktu tertentu.
Penerapan proyek apresiasi didasari oleh beberapa alasan, yaitu:
(5) Apresiasi adalah sebuah proses. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses
apresiasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat
menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan. Melalui proyek apresiasi,
siswa dimungkinkan melewati tingkatan-tingkatan apresiasi tersebut dari tingkat
terendah sampai tingkat tertinggi, yakni memperoduksi.
(6) Penyelesaian proyek apresiasi oleh sekelompok siswa akan memberikan peluang
kepada siswa untuk belajar secara kooperatif sesuai dengan konsep contextual
teaching learning (CTL).
(7) Keragaman kegiatan dalam proyek apresiasi memungkinkan siswa mendapat
berbagai pengalaman berapresiasi dari berbagai sudut pandang dan merealisasikan
hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk.
(8) Melalui proyek apresiasi, siswa dapat melakukan kegiatan apresiasi secara integratif
melalui serangkaian kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, pembelajaran
sastra berwawasan multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim belajar, proses
belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai multikultural.
55
Jika dikaitkan dengan model pembelajaran apresiasi yang disarankan,
berarti isi teks-teks sastra yang dijadikan bahan apresiasi sastra hendaknya dipilih
dengan mempertimbangkan nilai-nilai multikultural yang ada di dalamnya, seperti
nilai keragaman, perdamaian, demokrasi, dan keadilan. Guru pun hendaknya
menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi satu
dengan lainnya dalam suasana demokratis, saling menghormati, saling toleransi,
dan saling memahami satu dengan yang lain dalam suasana menyenangkan.
Sementara gaya pembelajaran akan lebih demokratis, terbuka, dan fleksibel dan
menempatkan peserta didik sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang
setara, serta menempatkan peserta didik dengan berbagai gaya belajar secara adil.
Di dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menerapkan strategi pembelajaran
kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para
siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam sehingga mereka akan saling
belajar segi-segi positif dari temannya. Metode pembelajaran juga beragam
(ceramah interaktif, pembelajaran aktif, pembelajaran kolaboratif, diskusi
kelompok, bermain peran, keteladanan, dan sebagainya). Evaluasi dilakukan
beberapa kali dan dengan berbagai cara sehingga memungkinkan hasilnya fair,
adil, dan seimbang.
Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan model proyek
apresiasi sastra berwawasan multikultural yaitu (1) strategi kegiatan belajar
bersama-sama (cooperative learning) yang dipadukan dengan strategi pencapaian
konsep (concept attainment), strategi analisis nilai (value analysis) dan strategi
analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan
56
secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran
berbasis multikultural.
Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural
Adapun model proyek apresiasi berwawasan multikultural selengkapnya adalah
sebagai berikut.
1) Tujuan
Pelaksanaan model proyek apresiasi berwawasan multikultural dirancang
berdasarkan
model
pembelajaran
kooperatif
dan
model
stratta
dengan
pengorganisasian pertemuan model kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas
proyek apresiasi yang dieklektikkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah melibatkan
siswa dalam (1) memberikan respon terhadap masalah multikultural yang terdapat
di dalam karya sastra dikaitkan dengan masalah di dalam kehidupan yang mereka
rasakan perlu mendapat pemecahan berdasarkan pengalaman mereka dengan
melibatkan proses berbagi ide dan pendapat serta saling tukar pengalaman melalui
proses saling berargumentasi, (2) melakukan proses apresiasi yang meliputi
tahapan penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi, dan (3) bekerja sama dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan (tugas), yaitu berupa penyelesaian proyek
apresiasi.
2) Syntax
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) penjelajahan,
membaca beberapa cerita untuk menentukan satu cerita yang isinya memuat nilainilai kultural yang akan diapresiasi, kemudian membaca cerita pilihan kelompok
secara intensif (situasi bermasalah, eksplorasi, perumusan tugas belajar), (2)
interpretasi, menafsirkan cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang (
kegiatan belajar), dan (3) rekreasi, menemukan keindahan karya yang dibaca
57
(rekreasi) dan nilai multikultural yang ada di dalamnya, serta melakukan
penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi (rekreasi) dalam wujud menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk,
memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, mengubah cerita menjadi teks
drama, dan mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (kegiatan
belajar, analisis kemajuan).
Secara konkret, teknis pelaksanaan proses apresiasi adalah sebagai berikut:
(1) memilih beberapa cerita yang akan dibaca, (2) menentukan satu cerita yang
akan diapresiasi, (3) membaca secara intensif cerita yang sudah ditentukan, (4)
menginterpretasi cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang, (5)
mendiskusikan hasil interpretasi, (6) menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai
bentuk, (7) memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, (8) mengubah
cerita menjadi teks drama, dan (9) mementaskan drama berdasarkan teks yang
sudah ditulis (10) merefleksi proses dan hasil pembelajaran.
(3) Sistem Sosial
Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat
demokratis yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan oleh
pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral
pembelajaran. Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari
pengarahan minimal guru. Dengan demikian suasana kelas akan terasa tak begitu
berstruktur. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan.
(4) Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Guru berfungsi sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang
bersahabat. Dalam kerangka ini guru membimbing dan mengarahkan kelompok
58
melalui tahap pemecahan masalah, pengelolaan kelas, pemaknaan secara
perseorangan, dan penyelesaian proyek.
(5) Sistem Pendukung
Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah
segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk dapat menggali berbagai
informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah
kelompok dan proyek apresiasi. Perpustakaan diusahakan memiliki sumber
informasi yang komprehensif dengan alat bantu mengajar yang memadai.
(6) Dampak Instruksional dan Pengiring
Dampak instruksional model ini adalah (1) pandangan konstruktivis
tentang pengetahuan, (2) penelitian yang berdisiplin, (3) proses dan keteraturan
kelompok yang efektif. Adapun dampak pengiringnya adalah (1) kehangatan dan
keterikatan antarmanusia, kemerdekaan sebagai pelajar, (3) menghormati hak asasi
manusia, (4) toleransi dalam berdialog, dan (4) kesadaran akan perlunya kerja
sama dalam kelompok.
Contoh Penerapannya
Secara konkret, teknis pelaksanaan model proyek apresiasi adalah sebagai
berikut.
Langkah pertama adalah memilih beberapa cerita yang akan dibaca. Dalam
pelaksanaannya, guru memilihkan beberapa cerita yang mengandung nilai
multikultural. Beberapa cerita yang dipilih hendaknya memiliki tema yang
beragam sesuai dengan karakteristik siswa.
Langkah pertama diikuti oleh langkah kedua, siswa diminta memilih salah
satu di antara cerita yang ada sesuai dengan minat mereka. Pemilihan cerita
dengan mempertimbangkan aspek multikultural yang ada di dalamnya, misalnya
59
digambarkan tokoh-tokoh yang hidup di dalam lingkungan masyarakat yang
beragam. Cerita yang menggambarkan interaksi anggota masyarakat di dalam
situasi yang memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dan tokohtokohnya menyikapi dengan cara yang berbeda-beda. Cara penyikapan tokoh
itulah yang sangat potensial untuk diangkat di dalam pembelajaran untuk
didiskusikan agar dicapai pemahaman tentang nilai-nilai multikultural.
Langkah ketiga, siswa ditugasi membaca cerita yang sudah dipilih secara
intensif. Pembacaan dilakukan di luar jam pelajaran agar siswa memiliki
keleluasaan untuk menuntaskan pembacaannya.
Langkah keempat, wacana cerita tersebut “dihadirkan” di dalam kelas.
Siswa atau guru membacakan bagian yang menarik dari cerita tersebut, dan siswa
lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Langkah ini berlanjut dengan kegiatan
tanya jawab untuk memperoleh gambaran umum tentang cerita tersebut.
Langkah kelima,
siswa dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok.
Dengan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh guru, setiap kelompok
membuat penafsiran terhadap cerita yang sudah dibaca. Fokus perhatian terutama
diarahkan pada penafsiran tentang tokoh, alur, dan latar cerita yang bermuara pada
penafsiran tentang nilai-nilai multikultural dalam cerita.
Langkah
keenam,
setiap
kelompok
menyajikan
hasil
penafsiran
kelompoknya di kelas dan ditanggapi oleh anggota kelompok lain secara
perorangan. Langkah ini dipandu oleh guru. Dalam hal ini guru harus memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni
mendiskusikan hasil pemaknaan siswa. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan
berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru. Dalam konteks ini, tidak ada
pendapat yang “salah” atau pendapat yang “benar”—lebih-lebih benar atau salah
60
menurut versi guru. Guru sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa
untuk
berpendapat
mengemukakan
hasil
pemaknaannya
masing-masing.
Kedudukan guru dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator
agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan
memiliki keterampilan berbicara. Langkah ini diakhiri dengan menemukan
hubungan antara nilai-nilai multikultural dalam cerita dengan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari.
Langkah ketujuh, setiap kelompok ditugasi menuliskan hasil apresiasinya
dalam berbagai bentuk, misalnya paparan tentang unsur intrinsiknya, nilai-nilai
multikultural yang ada di dalam novel, mengubah bagian yang menarik menjadi
puisi dan drama, dan melengkapinya dengan resensi dan biografi pengarang.
Langkah kedelapan, tiap kelompok memajang hasil apresiasi di dalam
majalah dinding. Dalam hal ini setiap kelompok diberi kebebasan untuk berkreasi
agar majalah dinding yang dibuat menjadi menarik. Hasilnya dinilai oleh
kelompok lain dan ditentukan yang terbaik.
Langkah kesembilan, setiap kelompok mengubah bagian cerita yang
menarik menjadi naskah drama, kemudian mengadakan latihan pementasan.
Langkah kesepuluh, setiap kelompok mementaskan drama sesuai dengan
naskah drama yang sudah ditulis dan dinilai oleh kelompok lain untuk ditentukan
yang terbaik.
Langkah kesebelas siswa dipandu guru merefleksi proses dan hasil
pembelajaran.
Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan
mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra,
(3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra.
61
Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai
gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang
siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh.
Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan
pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan
menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis)
wacana sastra.
Dalam penerapan model proyek apresiasi pada pembelajaran sastra, guru
berkewajiban menciptakan situasi yang kondusif. Situasi dan kondisi yang
kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikap
reseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam proses pembelajaran. Selain itu,
guru berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif,
yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidak bersifat indoktrinatif.
Guru juga berkewajiban menciptakan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan
produktif, yaitu kegiatan yang memungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampu
menghasilkan wacana sastra.
62
LAMPIRAN 4
DENAH LOKASI KEGIATAN
Lokasi: Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang
Kecamatan Ngaliyan terdiri dari 10 kecamatan dengan luas wilayah 3269,97 Ha
yang merupakan 8,83% dari luas seluruh Kota Semarang dan memiliki penduduk pada
tahun 2008 sejumlah 109.108 jiwa dengan jumlah penduduk laki sejumlah 54.534 jiwa
dan penduduk perempuan sejumlah 54.574 jiwa. Adapun batas-batas wilayah
Kecamatan Ngaliyan sebagai berikut :
- Sebelah Utara
: Kecamatan Tugu
- Sebelah Selatan
: Kecamatan Mijen
- Sebelah Barat
: Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal
- Sebelah Timur
: Kecamatan Semarang Barat
63
DAFTAR PESERTA PELATIHAN
NO.
NAMA
ASAL SEKOLAH
1
Gunardi, S.Pd.
SDN Bringin 01
2
Sardi
SDN Bringin 02
3
Riyanto, S.Pd.
SDN Kalipancur 01
4
Suwarsi, S.Pd.
SDN Kalipancur 02
5
H. Munjirin
SDN Ngaliyan 01
6
Kusmiyati, S.Pd.
SDN Ngaliyan 02
7
Katiyani
SDN Ngaliyan 04
8
Ponijah, S.Pd.
SDN Ngaliyan 05
9
Slamet R., S.Pd.
SDN Ngaliyan 06
10
64
Download