BAB I PENDAHULUAN A. Analisis Situasi Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah. Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat. Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, profesional maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan. Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya 1 meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang profesional. Penelitian terhadap guru bahasa Indonesia yang melakukan peer teaching (tahun 2013) dalam rangka Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bahasa Indonesia yang mengambil topik pembelajaran sastra, 90% melakukan pembelajaran sastra dengan motode pembelajaran klasik, yakni siswa diminta membaca teks bacaan, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa terkait dengan bacaan yang dibaca. Data ini juga menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik guru bahasa Indonesia terutama untuk mengajarkan sastra masih rendah. Penguasaan dan keterampilan transformasi ilmu menjadi bagian tidak terpisahkan bagi guru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kenyataan bahwa kompetensi pedagogik guru bahasa Indonesia terutama dalam mengajarkan sastra masih rendah tentu berdampak pada kurang berhasilnya pembelajaran sastra di sekolah. Hal itu dirasakan oleh para guru Sekolah Dasar (SD) bukan saja yang mengajar di SD yang berada di wilayah pedesaan, tetapi juga guru yang mengajar di wilayah perkotaan. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru SD di wilayah Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang diketahui bahwa mereka merasa kesulitan untuk mengajarkan sastra kepada siswa. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka tentang cara mengajarkan sastra yang inovatif. Untuk mengajarkan sastra mereka cenderung hanya memberi tugas untuk membaca dan menjawab pertanyaan yang biasanya sudah disediakan pada buku siswa. 2 Dari penjelasan Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Ngaliyan diketahui pula bahwa di wilayahnya (yang tercatat memiliki 29 SDN) belum pernah diselenggarakan pelatihan pembelajaran sastra yang inovatif. Berdasarkan kenyataan di atas, sebagai bagian dari tanggung jawab dan tugas profesionalisme dosen dalam mengemban tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi aspek Pengabdian pada Masyarakat, dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia akan melakukan pelatihan Pembelajaran sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural bagi Guru SD se-Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Adapun latar belakang pemilihan topik tersebut diuraikan sebagai berikut. Untuk meningkatkan minat dan kemampuan apresiasi sastra siswa idealnya pembelajaran sastra harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan yang “joyful” bagi siswa dan yang “feasible” bagi guru, yang lebih menentukan lagi adalah terciptanya interaksi guru dan siswa yang bersifat”personal dan santun” sehingga tercipta susana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan antara guru dan siswa. Salah satu model pembelajaran sastra yang telah diujicobakan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra dalam bentuk penelitian oleh dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu model proyek apresiasi telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra siswa (Setyaningsih 2010). Dengan demikian, pelatihan ini sekaligus merupakan penyebarluasan inovasi pembelajaran, khususnya pembelajaran sastra. Sementara itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki keragaman bahasa, sosial budaya, etnis, suku, agama, dan status sosial. Hal itu dapat dilihat dari kondisi geografis dan sosiokultural yang luas dan beragam. 3 Kondisi seperti itu oleh Watson (dalam Zulaikha 2008:61) dikatakan sebagai masyarakat majemuk atau multikultur, yaitu masyarakat yang di dalamnya berkembang banyak kebudayaan. Mereka terdiri atas beragam etnis yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama atau keyakinan yang berbeda-beda. Keragaman yang demikian sangat kondusif bagi munculnya konflik sosial dalam berbagai dimensi kehidupan. Terjadinya konflik sosial yang bernuansa SARA (suku, agama, dan ras) yang melanda Indonesia pada dasawarsa terakhir berkaitan erat dengan masalah kebudayaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu penyebab utama konflik ini adalah akibat lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Berbagai konflik sosial yang telah menimbulkan keterpurukan di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemauan untuk menerima dan menghargai perbedaan, ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain, melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi sesama, kurangnya kesetiakawanan sosial, dan tumbuhnya sikap egois serta kurangnya perasaan atau kepekaan sosial. Oleh karena itu, untuk mencegah atau meminimalkan konflik tersebut perlu dikembangkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dihindarkan. Konflik antarbudaya yang disebut juga sebagai benturan antarperadaban akan mendominasi politik global. Ia menyebutkan bahwa terjadinya berbagai konflik sosial dan etnis di berbagai belahan dunia antara lain disebabkan oleh perbedaan 4 kebudayaan yang semakin nyata. Untuk menghindari benturan tersebut, atau setidaknya meminimalkan dampak dari benturan tersebut perlu adanya pemahaman tentang keanekaragaman kebudayaan. Berkaitan dengan hal tersebut dipandang perlu adanya pendidikan multikultural, yakni upaya penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Dengan kata lain, pendidikan multikultural merupakan upaya untuk membangun character bulding siswa dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesama, serta menumbuhkan sikap toleran siswa agar mengakui pluralisme yang ada di dalam masyarakat lingkungannya. Pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk kekenyalan dan kelenturan mental bangsa Indonesia dalam menghadapi benturan atau konflik sosial sehingga persatuan bangsa tidak mudah retak atau patah (Zulaikha 2008). Mengingat pentingnya pendidikan multikultural, perlu diupayakan pengintegrasiannya melalui berbagai bidang. Amini (2004) melalui analisis kebutuhan pendidikan multikultural berbasis kompetensi pada siswa SMP di Mataram menyimpulkan bahwa materi pendidikan multikultural dapat diintegrasikan pada semua mata pelajaran, baik melalui kegiatan sehari-hari maupun melalui kegiatan terprogram. Lebih lanjut Fathurrofiq (2004) menyimpulkan bahwa pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena salah satu intinya adalah membelajarkan entitas ‘satuan yang berwujud’ budaya dan sebagai upaya mentransformasi kompetensi siswa. Sementara itu, Zulaikha (2008) melalui penelitiannya berhasil mengembangkan model pembelajaran menulis kreatif dalam konteks multikultural pada siswa SMP. 5 Berkaitan dengan pengintegrasian pendidikan multikultural tersebut, pembelajaran sastra pun dapat digunakan sebagai sarana pengembangan pendidikan multikultural. Hal itu disebabkan pembelajaran sastra mempunyai fungsi yang sangat strategis, yakni fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis (Jabrohim, Ed. 1994). Fungsi ideologis, yang merupakan fungsi utama pengajaran sastra, ialah sebagai salah satu sarana untuk pembinaan jiwa Pancasila. Fungsi kultural pengajaran sastra ialah memindahkan kebudayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Fungsi praktis pengajaran sastra memiliki pengertian bahwa pengajaran sastra membekali bahan-bahan yang mungkin berguna bagi siswa untuk melanjutkan studi atau bekal terjun di tengah kancah masyarakat. Lebih lanjut, Rahmanto (1988:12) menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak. Keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, kurikulum, sarana dan prasarana, minat baca siswa, dan iklim bersastra pada umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, “tujuan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik siswa sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani.” Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnya merupakan pendidikan yang diorientasikan pada pembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan 6 dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat (Aminuddin 2000:46). Untuk mencapai tujuan itu, selanjutnya Aminuddin menyatakan “pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seharusnya diorientasikan pada model literacy-based instruction”. Dengan orientasi yang demikian, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia selain ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknya serta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknya juga diorientasikan pada pengembangan keberwacanaan dalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialah pembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam hal demikian, materi pembelajaran sastra seharusnya memanfaatkan wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupan sosial budaya yang memungkinkan siswa dapat mengeksplorasi nilainilai multikultural yang pada akhirnya nilai-nilai itu dapat menjadi bagian dari kehidupannya. Pembelajaran sastra yang multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim belajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai multikultural. Salah satu model pembelajaran sastra yang menampakkan ciri tersebut adalah model proyek apresiasi melalui analisis wacana secara kritis. Melalui analisis wacana secara kritis, siswa pada akhirnya diharapkan terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalam menanggapi berbagai fenomena dan makna yang terdapat di dalam karya sastra sebagai produk budaya bangsa. Agar kegiatan analisis wacana sastra dapat dilakukan secara intens, perlu diupayakan kondisi yang memungkinkan siswa bertukar pengalaman dan bekerja sama dengan siswa yang lain dalam suatu kerja kelompok, sesuai dengan salah satu prinsip pembelajaran kontekstual, yaitu cooperative learning. Pengondisian tersebut salah 7 satunya berupa penyelesaian suatu proyek, yang disebut proyek apresiasi. Proyek merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka waktu tertentu. Proyek apresiasi memungkinkan siswa bekerja sama dalam kelompok untuk mengapresiasi sastra melalui berbagai sudut pandang dan menuangkan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran sastra menjadi lebih bermakna, khususnya bagi penanaman nilai-nilai multikultural. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Mengacu pada uraian terdahulu, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. Para guru SD di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang model-model pembelajaran sastra yang inovatif, padahal pengetahuan dan keterampilan melaksanakan model pembelajaran inovatif dalam pembelajaran sastra akan membuat pembelajaran menarik, menyenangkan, dan dapat memberikan pengalaman berapresiasi secara intens. Berdasarkan hal tersebut, masalah yang menjadi fokus dalam pengabdian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “ Model pembelajaran sastra yang 8 bagaimanakah yang dapat diimplementasikan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan apresiasi sastra siswa ?” C. Tujuan Kegiatan Kegiatan ini secara umum bertujuan untuk Meningkatkan kemampuan guru bahasa Indonesia dalam merancang dan menerapkan pembelajaran sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural. D. Manfaat Kegiatan Kegiatan ini diharapkan bermanfaat bagi guru untuk SD di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang dalam mengembangkan kompetensi pedagogiknya, terutama dalam mengajarkan sastra pada siswa. Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini juga menjadi salah satu implementasi bagi LPTK dalam hal ini Universitas Negeri Semarang khususnya sebagai lembaga ilmiah yang dituntut melaksanakan pengabdian kepada masyarakat yang sesuai dengan corak lembaga. Salah satu tanggung jawab LPTK adalah memperhatikan guru di lapangan dalam mengelola pembelajaran di kelas. Guru perlu diberi bekal agar dapat mengelola pembelajaran secara baik. Salah satu bekal tersebut adalah berupa keterampilan mengelola pembelajaran dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Di samping itu, kegiatan ini juga akan menjaga hubungan baik antara Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan para guru SD di lapangan. Secara teknis, kegiatan ini dapat lebih memperkenalkan kiprah lembaga dalam kaitannya dengan pengembangan profesionalitas guru. Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini diharapkan menjadi salah satu implementasi bagi pengabdi untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi. 9 Bagi pengabdi, kegiatan ini juga dapat digunakan untuk lebih menyamakan antara hal-hal yang sifatnya teoretis di bangku perkuliahan dengan kondisi riil di lapangan. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apresiasi Sastra Secara leksikal kata apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat; pertimbangan, penilaian, dan pernyatan yang memberikan penilaian. Dalam konteks yang lebih luas, apresiasi mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sejalan dengan rumusan pengertian di atas, apresiasi sastra adalah pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Atau dengan kata lain apresiasi sastra adalah adalah kegiatan meggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi 1973:18). Dari pendapat itu juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi sastra dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguhsungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya. Sebagai suatu proses, kegiatan apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (2) aspek evaluatif. Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unnsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut berhubungan dengan unsur-unsur yang secara 11 internal terkandung dalam suatu teks sastra, atau unsur intrinsik, dan unsur-unsur di luar teks sastra itu sendiri, atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang bersifat objektif itu misalnya aspek tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat. Sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan, maupun latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran sastra. Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna, dapat berupa unsur signifikan tertentu. Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan terhadap penilaian baikburuk, indah tidak indah, sesuai-tidak serta sejumlah ragam penilaian utama yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam unsur ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespons karya sastra yang telah dibaca sampai pada tahap pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses apresiasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan. Tingkat menggemari ditandai oleh adanya rasa tertarik terhadap karya sastra serta berkeinginan membacanya. Dalam tingkat menikmati, sseorang mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan untuk menyatakan 12 pendapatnya tentang karya yang telah dinikmati. Adapun tingkat menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan untuk menghasilkan karya sastra. B. Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural Secara etimologis, multikuturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (paham). Secara hakiki, di dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama (Mahfud 2009:xx). Berdasarkan pengertian tersebut, multikulturalisme dapat dibapahmi sebagai sebuah paham menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain. Menurut Andersen dan Cusher (dalam Mahfud 2009:173), pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai kebudayaan. Sejalan dengan pengertian tersebut, el Ma’hady (2004) menjelaskan bahwa secara sederhana pendidikan multikultural adalah pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau, bahkan dunia secara keseluruhan. Adapun Hernandez (dalam Mahfud 2009:176) memandang pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan kata lain, ruang pendidikan sebagai media transformasi ilmu pengetahuan hendaknya mampu 13 memberikan nilai-nilai multikultural dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam, baik latar belakang maupun basis sosiobudaya yang melingkupinya (Mahfud 2009:176). Secara lebih konkret Zaenuddin (2009) menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Penanaman kesadaran multikultural tersebut didasarkan pada sikap toleransi dalam beragama, memahami keragaman bahasa, membangun sikap sensitif gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan, dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis dan rasial, menghargai perbedaan kemampuan fisik, dan menghargai perbedaan usia. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultral adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan multikultural mempunyai ciri sebagaimana dikatakan Maksum yang dikutip Mahfud (2009:187) yaitu (1) tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban), (2) materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural), (3) metodenya demokratis yang menghargai aspekaspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis), dan (4) evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya. Untuk dapat memahami multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam 14 kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Selanjutnya, multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dengan demikian, multikulturalisme diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis meskipun terdiri atas beraneka ragam latar belakang kebudayaan. Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini, prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai. Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, diperlukan upaya-upaya konkret untuk mewujudkannya. Pemahaman akan pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia perlu disebarluaskan kepada masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan pendidikan multikultural yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan masyarakat. Melalui pendidikan multikultural diharapkan akan 15 dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. C. Nilai-nilai Pendidikan Multikultural yang Perlu Dikembangkan Tilaar (2004:16) mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah konsep pembudayaan. Oleh karena proses pendidikan adalah proses pembudayaan, masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui pendidikan. Melalui pendidikan, pengakuan terhadap keragaman etnis dan budaya merupakan nilainilai multikultural harus dikembangkan. Hal itu berarti proses pendidikan, termasuk di dalam proses pembelajaran hendaknya disemangati oleh nilai-nilai multikultural. Sejalan dengan pengertian multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagaimana telah diungkapkan, beberapa nilai yang relevan dengan pembelajaran berwawasan multikultural antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antarteman ( gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, etnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerja sama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antarsuku bangsa dan antarbangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial, dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan 'proyek budaya' dengan cara pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia, 16 lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-pucak budaya di daerah; dan sebagainya (http://waraskamdi.com). Dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, nilai-nilai multikultural yang dapat dieksplorasi siswa melalui karya sastra merupakan perwujudan nilai-nilai pribadi (konsep diri) dan sosial yang antara lain meliputi (1) ketaatan, (2) penghargaan, (3) toleransi, (4) tanggung jawab, (5) kebersamaan/kerja sama, (6) keadilan, (7) kejujuran, (8) kerendahan hati, (9) cinta dan kasih sayang, (10) kesederhanaan, (11) kebebasan, dan (12) persatuan. Nilai-nilai tersebut bersifat universal tetapi di balik keuniversalannya terdapat keberagaman dalam bahasa dan budaya etnik yang berbeda. Dengan demikian, tema nilai-nilai itu dapat ditemukan kesamaan dan perbedaannya (multikultural) sebagai landasan menuju persatuan dalam keragaman. D. Model Proyek Apresiasi Sastra sebagai Upaya Penanaman Nilai-nilai Multikultural Proyek merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka waktu tertentu. Penerapan proyek apresiasi didasari oleh beberapa alasan, yaitu: 17 (1) Apresiasi adalah sebuah proses. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses apresiasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan. Melalui proyek apresiasi, siswa dimungkinkan melewati tingkatan-tingkatan apresiasi tersebut dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, yakni memperoduksi. (2) Penyelesaian proyek apresiasi oleh sekelompok siswa akan memberikan peluang kepada siswa untuk belajar secara kooperatif sesuai dengan konsep contextual teaching learning (CTL). (3) Keragaman kegiatan dalam proyek apresiasi memungkinkan siswa mendapat berbagai pengalaman berapresiasi dari berbagai sudut pandang dan merealisasikan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk. (4) Melalui proyek apresiasi, siswa dapat melakukan kegiatan apresiasi secara integratif melalui serangkaian kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, pembelajaran sastra berwawasan multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim belajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai multikultural. Jika dikaitkan dengan model pembelajaran apresiasi yang disarankan, berarti isi teks-teks sastra yang dijadikan bahan apresiasi sastra hendaknya dipilih dengan mempertimbangkan nilai-nilai multikultural yang ada di dalamnya, seperti nilai keragaman, perdamaian, demokrasi, dan keadilan. Guru pun hendaknya menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam suasana demokratis, saling menghormati, saling toleransi, dan saling memahami satu dengan yang lain dalam suasana menyenangkan. Sementara gaya pembelajaran akan lebih demokratis, terbuka, dan fleksibel dan 18 menempatkan peserta didik sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang setara, serta menempatkan peserta didik dengan berbagai gaya belajar secara adil. Di dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Metode pembelajaran juga beragam (ceramah interaktif, pembelajaran aktif, pembelajaran kolaboratif, diskusi kelompok, bermain peran, keteladanan, dan sebagainya). Evaluasi dilakukan beberapa kali dan dengan berbagai cara sehingga memungkinkan hasilnya fair, adil, dan seimbang. Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan model proyek apresiasi sastra berwawasan multikultural yaitu (1) strategi kegiatan belajar bersama-sama (cooperative learning) yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (concept attainment), strategi analisis nilai (value analysis) dan strategi analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural Adapun model proyek apresiasi berwawasan multikultural selengkapnya adalah sebagai berikut. 1) Tujuan Pelaksanaan model proyek apresiasi berwawasan multikultural dirancang berdasarkan model pembelajaran kooperatif dan model stratta dengan pengorganisasian pertemuan model kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas 19 proyek apresiasi yang dieklektikkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah melibatkan siswa dalam (1) memberikan respon terhadap masalah multikultural yang terdapat di dalam karya sastra dikaitkan dengan masalah di dalam kehidupan yang mereka rasakan perlu mendapat pemecahan berdasarkan pengalaman mereka dengan melibatkan proses berbagi ide dan pendapat serta saling tukar pengalaman melalui proses saling berargumentasi, (2) melakukan proses apresiasi yang meliputi tahapan penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi, dan (3) bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (tugas), yaitu berupa penyelesaian proyek apresiasi. 2) Syntax Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) penjelajahan, membaca beberapa cerita untuk menentukan satu cerita yang isinya memuat nilainilai kultural yang akan diapresiasi, kemudian membaca cerita pilihan kelompok secara intensif (situasi bermasalah, eksplorasi, perumusan tugas belajar), (2) interpretasi, menafsirkan cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang ( kegiatan belajar), dan (3) rekreasi, menemukan keindahan karya yang dibaca (rekreasi) dan nilai multikultural yang ada di dalamnya, serta melakukan penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi (rekreasi) dalam wujud menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk, memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, mengubah cerita menjadi teks drama, atau mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (kegiatan belajar, analisis kemajuan). Secara konkret, teknis pelaksanaan proses apresiasi adalah sebagai berikut: (1) memilih beberapa cerita yang akan dibaca, (2) menentukan satu cerita yang akan diapresiasi, (3) membaca secara intensif cerita yang sudah ditentukan, (4) 20 menginterpretasi cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang, (5) mendiskusikan hasil interpretasi, (6) menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk, (7) memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, (8) mengubah cerita menjadi teks drama, dan (9) mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (10) merefleksi proses dan hasil pembelajaran. (3) Sistem Sosial Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat demokratis yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral pembelajaran. Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal guru. Dengan demikian suasana kelas akan terasa tak begitu berstruktur. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan. (4) Prinsip Pengelolaan/Reaksi Guru berfungsi sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam kerangka ini guru membimbing dan mengarahkan kelompok melalui tahap pemecahan masalah, pengelolaan kelas, pemaknaan secara perseorangan, dan penyelesaian proyek. (5) Sistem Pendukung Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok dan proyek apresiasi. Perpustakaan diusahakan memiliki sumber informasi yang komprehensif dengan alat bantu mengajar yang memadai. (6) Dampak Instruksional dan Pengiring 21 Dampak instruksional model ini adalah (1) pandangan konstruktivis tentang pengetahuan, (2) penelitian yang berdisiplin, (3) proses dan keteraturan kelompok yang efektif. Adapun dampak pengiringnya adalah (1) kehangatan dan keterikatan antarmanusia, kemerdekaan sebagai pelajar, (3) menghormati hak asasi manusia, (4) toleransi dalam berdialog, dan (4) kesadaran akan perlunya kerja sama dalam kelompok. Contoh Penerapannya Secara konkret, teknis pelaksanaan model proyek apresiasi adalah sebagai berikut. Langkah pertama adalah memilih beberapa cerita yang akan dibaca. Dalam pelaksanaannya, guru memilihkan beberapa cerita yang mengandung nilai multikultural. Beberapa cerita yang dipilih hendaknya memiliki tema yang beragam sesuai dengan karakteristik siswa. Langkah pertama diikuti oleh langkah kedua, siswa diminta memilih salah satu di antara cerita yang ada sesuai dengan minat mereka. Pemilihan cerita dengan mempertimbangkan aspek multikultural yang ada di dalamnya, misalnya digambarkan tokoh-tokoh yang hidup di dalam lingkungan masyarakat yang beragam. Cerita yang menggambarkan interaksi anggota masyarakat di dalam situasi yang memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dan tokohtokohnya menyikapi dengan cara yang berbeda-beda. Cara penyikapan tokoh itulah yang sangat potensial untuk diangkat di dalam pembelajaran untuk didiskusikan agar dicapai pemahaman tentang nilai-nilai multikultural. Langkah ketiga, siswa ditugasi membaca cerita yang sudah dipilih secara intensif. Pembacaan dilakukan di luar jam pelajaran agar siswa memiliki keleluasaan untuk menuntaskan pembacaannya. 22 Langkah keempat, wacana cerita tersebut “dihadirkan” di dalam kelas. Siswa atau guru membacakan bagian yang menarik dari cerita tersebut, dan siswa lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Langkah ini berlanjut dengan kegiatan tanya jawab untuk memperoleh gambaran umum tentang cerita tersebut. Langkah kelima, siswa dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok. Dengan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh guru, setiap kelompok membuat penafsiran terhadap cerita yang sudah dibaca. Fokus perhatian terutama diarahkan pada penafsiran tentang tokoh, alur, dan latar cerita yang bermuara pada penafsiran tentang nilai-nilai multikultural dalam cerita. Langkah keenam, setiap kelompok menyajikan hasil penafsiran kelompoknya di kelas dan ditanggapi oleh anggota kelompok lain secara perorangan. Langkah ini dipandu oleh guru. Dalam hal ini guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan siswa. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat yang “salah” atau pendapat yang “benar”—lebih-lebih benar atau salah menurut versi guru. Guru sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan guru dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara. Langkah ini diakhiri dengan menemukan hubungan antara nilai-nilai multikultural dalam cerita dengan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Langkah ketujuh, setiap kelompok ditugasi menuliskan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk, misalnya paparan tentang unsur intrinsiknya, nilai-nilai 23 multikultural yang ada di dalam novel, mengubah bagian yang menarik menjadi puisi dan drama, dan melengkapinya dengan resensi dan biografi pengarang. Langkah kedelapan, tiap kelompok memajang hasil apresiasi di dalam majalah dinding. Dalam hal ini setiap kelompok diberi kebebasan untuk berkreasi agar majalah dinding yang dibuat menjadi menarik. Hasilnya dinilai oleh kelompok lain dan ditentukan yang terbaik. Langkah kesembilan, setiap kelompok mengubah bagian cerita yang menarik menjadi naskah drama, kemudian mengadakan latihan pementasan. Langkah kesepuluh, setiap kelompok mementaskan drama sesuai dengan naskah drama yang sudah ditulis dan dinilai oleh kelompok lain untuk ditentukan yang terbaik. Langkah kesebelas siswa dipandu guru merefleksi proses dan hasil pembelajaran. Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis) wacana sastra. Dalam penerapan model proyek apresiasi pada pembelajaran sastra, guru berkewajiban menciptakan situasi yang kondusif. Situasi dan kondisi yang 24 kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikap reseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif, yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidak bersifat indoktrinatif. Guru juga berkewajiban menciptakan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan produktif, yaitu kegiatan yang memungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampu menghasilkan wacana sastra. 25 BAB III METODE PELAKSANAAN A. Khalayak Sasaran Yang menjadi khalayak sasaran pada kegiatan ini adalah guru SD seKecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Dalam hal ini dibatasi setiap satu sekolah satu guru. Diharapkan guru yang dilibatkan dalam pelatihan ini akan dapat menyebarluaskan kepada teman-teman guru di sekolah masing-masing. B. Metode Penerapan Iptek Bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah pendidikan kepada masyarakat yang berupa pelatihan pembelajaran sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural bagi guru SD se-Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini bervariasi yaitu metode penyuluhan yang meliputi metode ceramah, diskusi (tanya jawab), dan metode langsung. Metode penyuluhan digunakan dalam rangka memberikan pengetahuan tentang konsep model proyek apresiasi sedangkan metode langsung digunakan untuk memberikan keterampilan dalam menyusun perangkat pembelajaran dan menerapkan model proyek apresiasi berwawasan multikultural dan mempraktikkannya dalam bentuk peerteaching. Secara berurutan, ada tiga tahap yang akan dilaksanakan dalam pengabdian kepada masyarakat ini, yaitu tahap penjajagan, tahap pelatihan, dan tahap evaluasi. Tahap penjajagan berarti pelaksana mencari tahu hal-hal apa saja yang dibutuhkan oleh guru SD terkait dengan pembelajaran apresaisi sastra. Yang dimaksud hal-hal di sini mencakupi konsep pembelajaran sastra, pemilihan materi pembelajaran sastra, pemilihan model pembelajaran sastra, pembuatan rancangan pembelajaran apresaisi sastra, dan penerapan pembelajaran sastra. Dari bagian26 bagian tersebut, melalui langkah penjajagan pelaksana akan mengetahui aspek apa yang paling kurang pada khalayak sasaran, metode apa yang diinginkan oleh khalayak sasaran, dan kapan waktu yang tepat dilaksanakannnya pelatihan. Tahap pelatihan dilaksanakan setelah ada kesepakatan dengan khalayak sasaran, terutama perihal waktu pelaksanaan. Dalam pelatihan tersebut kegiatan yang dilaksanakan meliputi penyampaian materi tentang pembelajaran sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural, penyusunan perangkat pembelajaran dengan menerapkan model proyek apresiasi berwawasan multikultural, dan praktik pembelajaran dalam bentuk peerteaching dengan didampingi dan dipantau oleh instruktur. Proses evaluasi dilaksanakan secara bertahap, yaitu mulai dari pemberian materi, penyusunan perangkat pembelajaran sampai praktik pembelajaran. Model evaluasi yang digunakan adalah evaluasi pendampingan, dalam arti instruktur akan memberi masukan-masukan pada peserta tentang perangkat pembelajaran yang dibuat dan pada saat pelaksanaan peerteaching. C. Keterkaitan Kegiatan ini merupakan implementasi Tri Dharma Prguruan tinggi ketiga, yakni pengabdian kepada masyarakat dengan sasaran guru SD se- Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Paling tidak kegiatan ini berkaitan dengan dua instansi formal, yaitu Unnes melalui LP2M Unnes dan Dinas Pendidikan Kecamatan Ngaliyan. Operasional kegiatan dilakukan oleh Tim Pengabdian dan Dinas Pendidikan Kecamatan Ngaliyan. Tim Pengabdi Unnes bertugas mempersiapkan panduan pelatihan, materi pelatihan, sertifikat, dan instruktur pelatihan. Dinas Pendidikan Kecamatan Ngaliyan bertugas mempersiapkan peserta pelatihan, tempat penyelenggaraan pelatihan, dan teknis lainnya. 27 Kegiatan ini juga sekaligus merupakan kegiatan sinergis antara Unnes dan Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan tersebut, kegiatan ini mempunyai keselarasan dan kesamaan tujuan, yaitu memberikan bekal dan meningkatkan kualitas kompetensi guru, khususnya dalam hal pembelajaran kreatif dan inovatif melalui model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh LPMP dan Dinas Pendidikan selama ini dipandang masih kurang, dalam pengertian tidak bisa menjangkau seluruh guru SD yang ada di Kecamatan Ngaliyan. Karena itu, kehadiran program ini akan sangat bermanfaat untuk menunjang kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan LPMP dan Dinas Pendidikan sebelumnya. 28 BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN A. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dengan topik “Pelatihan Pembelajaran sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural bagi Guru SD seKecamatan Ngaliyan, Kota Semarang” dilaksanakan dengan mengikuti langkahlangkah sebagai berikut. 1. Orientasi Pendahuluan Sebelum kegiatan pengabdian kepada masyarakat dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan orientasi pendahuluan. Orientasi pendahuluan berupa komunikasi dengan beberapa guru SD di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Kegiatan orientasi pendahuluan ini dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan materi dan bentuk kegiatan yang mereka inginkan. Berdasarkan komunikasi tersebut diperoleh informasi bahwa mereka memerlukan informasi tentang strategi mengajarkan sastra yang inovatif. Kemudian Tim Pengabdi menawarkan diadakannya pelatihan pembelajaran sastra kreatif dan inovatif terhadap para guru SD di Kecamatan Ngaliyan. Tawaran tersebut ternyata mendapatkan sambutan yang positif. 2. Koordinasi dengan Instansi Terkait Koordinasi pertama dilakukan dengan Kepala UPTD Kec. Ngaliyan, Kota Semarang. Berdasarkan hasil diskusi diputuskan bahwa Kepala UPTD Kecamatan Ngaliyan ditunjuk sebagai koordinator lapangan (korlap). Tugas utama korlap adalah mengumpulkan calon peserta dan mempersiapkan pelatihan. Dalam koordinasi tersebut disepakati bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan berbentuk pelatihan. Topik pelatihan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan di 29 lapangan, yaitu pembelajaran kreatif dan inovatif melalui model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Disepakati pula bahwa pelatihan akan dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan, yaitu pertemuan pertama penyampaian materi secara teoretis tentang pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif , pertemuan kedua digunakan untuk melakukan simulasi dan presentasi. 3. Perencanaan Setelah kegiatan orientasi dan koordinasi dengan instansi terkait dilaksanakan, disusunlah rencana kegiatan sebagai berikut: (1) Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural dilaksanakan di UPTD Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang; (2) Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural dilaksanakan di UPTD Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang; (2) Peserta kegiatan adalah 37 orang guru yang masing-masing mewakili satu sekolah; (3) Kegiatan direncanakan pada hari Kamis dan Jumat, 30—31 Oktober 2014; (4) narasumber yang akan menyampaikan materi tentang pembelajaran kreatif dan inovatif adalah Dr. Subyantoro, M.Hum., sedangkan materi tentang Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural akan disampaikan oleh Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. Adapun narasumber yang akan mendampingi peserta pada saat simulasi pembelajaran adalah Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. dan Dra. Suprapti, M.Pd. 30 4. Pelaksanaan Pelatihan Tim pelaksana Pengabdian kepada Masyarakat pada kegiatan ini adalah Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. sebagai Ketua dan Dra. Suprapti, M.Pd. sebagai Anggota. Tim pelaksana bertugas mengatur pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan menyusun laporan. Tim pelaksana sekaligus bertindak sebagai instruktur pelatihan. Kegiatan Pelatihan pembelajaran kreatif dan inovatif dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural bagi Guru SD se-Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang dilaksanakan dalam dua hari, yaitu tanggal 30—31 Oktober 2014. Hari pertama, yaitu tanggal 30 Oktober 2014 dilaksanakan pemberian materi secara teoretis tentang pembelajaran kreatif dan inovatif dan pembelajaran sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural. Kegiatan hari pertama diakhiri dengan penjelasan tentang cara membuat rancangan pembelajaran. Selanjutnya, peserta pelatihan ditugasi mengembangkan rancangan pembelajaran dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Tugas tersebut harus dikerjakan peserta di rumah masing-masing. Dengan demikian mereka dapat mencari referensi sebagai sumber rujukan dan bahan serta alat pembelajaran yang diperlukan. Berikutnya, pada hari kedua dilaksanakan simulasi pembelajaran. Pada kegiatan ini ditunjuk seorang peserta yang bertindak sebagai guru, tiga orang peserta sebagai pengamat, dan selebihnya sebagai siswa. Setelah proses simulasi selesai, dilaksanakan diskusi untuk membahas hasil simulasi. Selanjutnya, kegiatan diakhiri dengan penyimpulan terhadap hasil simulasi. Adapun jadwal kegiatan pelatihan secara keseluruhan tersebut adalah sebagai berikut. 31 Kamis, 30 Oktober 2014 08.00 - 09.00 Pendaftaran ulang peserta 09.00 - 09.15 Pembukaan 09.15 - 10.45 Sesi I Pembicara : Dr. Subyantoro, M.Hum. Topik : Pembelajaran Kreatif dan Inovatif 10.45 – 11.00 Istirahat 11.00 – 12.30 Sesi II Pembicara : Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. Topik : Pembelajaran Sastra dengan Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural 12.30—12.45 Penugasan Jumat, 31 Oktober 2014 08.00 - 08.30 Pendaftaran ulang peserta 08.30 - 11.00 Sesi III Pendamping : Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. Dra. Suprapti, M.Pd. Topik 11.00 - 11.15 : Simulasi Pembelajaran Penutupan B. Hasil dan Pembahasan Evaluasi dilaksanakan selama dan setelah kegiatan pelatihan berlangsung. Ada tiga ranah yang dievaluasi, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau perilaku. Bentuk evaluasi berupa tes tertulis, tes perbuatan, dan observasi atau pengamatan. Tes tertulis digunakan untuk mengetahui keberterimaan materi. Tes perbuatan digunakan 32 untuk mengevaluasi keterampilan guru dalam menerapkan teori tentang pembelajaran apresiasi sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural yang telah diberikan. Observasi atau pengamatan digunakan untuk menilai minat dan motivasi guru dalam mengikuti pelatihan serta dalam mengaplikasikannya untuk pembelajaran sastra. Selama kegiatan berlangsung, evaluasi dilaksanakan dengan jalan melakukan observasi terhadap aktivitas peserta selama mengikuti pelatihan. Berdasarkan hasil observasi atau pengamatan, selama proses pelatihan berlangsung peserta sangat antusias mendengarkan penjelasan narasumber. Demikian juga pada saat sesi tanya jawab, banyak di antara peserta yang menggunakan kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang belum diketahui. Pada saat kegiatan simulasi, para peserta terlibat secara aktif dan kreatif serta patuh mengikuti serangakian kegiatan pelatihan mulai dari pembukaan sampai penutup. Berdasarkan tingkat kehadiran peserta pelatihan diketahui bahwa peserta hadir secara lengkap mulai pembukaan sampai penutupan. Tugas membuat rancangan pembelajaran dan praktik simulasi dapat diselesaikan dengan baik. Di akhir kegiatan pelatihan, dilaksanakan tes tertulis untuk mengetahui penguasaan peserta terhadap materi pelatihan. Hasil tes menunjukkan bahwa mereka telah menguasai konsep tentang model pembelajaran yang dilatihkan. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa mereka sudah dapat menerapkan model tersebut dalam pembelajaran sastra. Evaluasi juga dilakukan terhadap rancangan pembelajaran yang sudah dibuat oleh peserta. Hasilnya, 50% rancangan dalam kategori baik, 27% rancangan dalam kategori cukup, dan 23% dalam kategori kurang. Meskipun belum maksimal, hal tersebut sudah menggambarkan keberhasilan pelatihan ini mengingat sebelum 33 mengikuti pelatihan, mereka menyatakan belum pernah sekali pun merancang pembelajaran dengan model proyek apresiasi. 34 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan laporan pelaksanaan kegiatan serta hasil dan pembahasan kegiatan dapat ditarik simpulan bahwa kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini telah dapat memberikan motivasi dan bekal pada para guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran secara kreatif dan inovatif, khususnya dalam mengajarkan sastra dengan model proyek apresiasi berwawasan multikultural. Meskipun bekal yang diberikan sebagian besar bersifat teoretis dengan praktik simulasi dalam waktu terbatas, motivasi dan antusiasme untuk mencoba menerapkan model tersebut sangat besar. B. Saran Untuk menyempurnaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat selanjutnya, perlu diperhatikan hal-hal berikut. 1. Penentuan khalayak sasaran perlu dipertimbangkan masak-masak akan manfaat dan tingkat kepentingannya. Hal ini dimaksudkan supaya kegiatan yang dilaksanakan tidak sia-sia. 2. Tindak lanjut dari kegiatan pelatihan ini lebih penting karena adanya bimbingan secara langsung kepada peserta. Dengan demikian, peserta tidak saja memperoleh pengetahuan yang berisifat kognitif, tetapi juga memiliki keterampilan mengajar yang kreatif dan inovatif yang memadai. 3. Perlu disediakan waktu pelatihan yang cukup agar peserta dapat memperoleh keterampilan merancang pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan baik. 35 DAFTAR PUSTAKA Amini, Ernie Isis Aisyah. 2004. “Analisis Kebutuhan Pendidikan Multilkultural Berbasis Kompetensi pada Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di Kota Mataram”. Disertasi. Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja, Mataram. Aminuddin. 2000. “Pembelajaran Sastra sebagai Proses Pemberwacanaan dan Pemahaman Perubahan Ideologi”. Dalam Sudiro Satoto dan Zainuddin Fananie (Eds.). Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan (hlm. 45—55). Surakarta: University Muhamadiyah Press–HISKI Komisariat Surakarta. Effendi, S. 1974. Bimbingan Apresiasi Puisi. Ende Flores: Nusa Indah. El-Ma’hady, Muhaimin. 2004. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”. Makalah Seminar Integrasi Sosial dan Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hak asasi Manusia, Departemen Kehakiman RI. Fathurrofiq. 2004. “Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang Multikultural dalam Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Studi Budaya”. Prosiding Seminar Internasional. Yogyakarta: Universitas Gajahmada. Jabrohim (Ed.) 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kerja sama Pustaka Pelajar dan FPBS IKIP Muhammadiyah. Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Cet.3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rahman, A. Dkk. 1981. Kemampuan Apresiasi Sastra Murid SMA Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Setyaningsih, Nas Haryati. 2010. “Pengembangan Model Proyek Apresiasi Sastra Berwawasan Multikultural”. Laporan Penelitian. Unnes Semarang. Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Waraskamdi. 2009. “Bagaimana Mengembangkan pembelajaran Berbasis Multikultural?” http://waraskamdi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=27& Itemid=6.Diunduh tgl 2 November 2009. 36 Zainuddin. 2009. “HAM dan Pendidikan Multikultural”. http://www.fajar.co.id/index .php? Option=new&id=72172. Diunduh tanggal 2 November 2009. Zulaikha, Ida. 2008. “Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri Sosial bagi Peningkatan Kemampuan Menulis Kreatif dalam Konteks Multikultural Siswa SMP”. Disertasi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. 37 38 39 40 41 42 LAMPIRAN 2 IDENTITAS PELAKSANA KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT A. Ketua Pelaksana 1. Nama Lengkap dan Gelar Akademik : Dra. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd. 2. Tempat dan tanggal lahir : Wonosobo, 13 November 1957 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Fakultas/Jurusan/Program Studi : FBS/Bahasa dan Sastra Indonesia/PBSI 5. Pangkat/Golongan/NIDN : Pembina Tingkat I/IVb/0013115705 6. Bidang Keahlian : Pengajaran Sastra 7. Kedudukan dalam Tim : Ketua 8. Alamat Kantor : Gedung B1, Kampus Unnes Sekaran, Gunungpati, Semarang B. Anggota Pelaksana 1. Nama Lengkap dan Gelar Akademik : Dra. Suprapti, M.Pd. 2. Tempat dan Tanggal Lahir : Tulungagung, 29 Juli 1950 3. Jenis Kelamin : Perempuan 4. Fakultas/Jurusan/Program Studi : FBS/Bahasa dan Sastra Indonesia/PBSI 5. Pangkat/Golongan/NIDN : Pembina/IVb/0029075002 6. Bidang Keahlian : Pendidikan Bahasa 7. Kedudukan dalam Tim : Anggota 8. Alamat Kantor : Gedung B1 Kampus Unnes Sekaran, Gunungpati, Semarang 43 LAMPIRAN 3 MATERI IPTEK YANG DITERAPKAN MODEL PROYEK APRESIASI SEBAGAI SALAH SATU MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF DALAM PEMBELAJARAN SASTRA 1. Pengertian Pembelajaran Inovatif Dalam pembelajaran, ketika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa dalam konteks dan situasi yang kompleks, artinya guru telah memberi kesempatan kepada siswa berlatih berkomunikasi dengan menggunakan berbagai ragam keterampilan berbahasa secara terintegrasi dengan literasi tingkat tinggi. Laporan penelitian yang lain mengindikasikan bahwa guru yang memberi pengalaman kepada siswa dengan pembelajaran terintegrasi (terpadu) melalui lingkungan mahir literasi (literate environment) ternyata dapat meningkatkan kualitas berbahasa mereka. Hal itu terjadi karena siswa menggunakan proses-proses yang saling berkaitan dengan antara membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan untuk berkomunikasi secara alamiah (authentic communication). Lingkungan yang kaya bahan bacaan akan memberi kesempatan kepada siswa untuk bereksperimen dengan media tulis, siswa berkomunikasi aktif reseptif (membaca) dan produktif (menulis) (Graves, 2001). Berdasarkan ilustrasi tersebut, program atau upaya pembelajaran yang sifatnya memperbaiki program pembelajaran sebelumnya yang tidak memuaskan, hasilnya dapat digolongkan inovatif karena mencoba untuk memecahkan masalah 44 yang belum terpecahkan dan lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa. Dari ilustrasi di atas dapat dirumuskan secara garis besar bahwa program pembelajaran inovatif adalah program pembelajaran yang langsung memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi oleh kelas berdasarkan kondisi kelas. Pada gilirannya program pembelajaran tersebut akan memberi sumbangan terhadap usaha peningkatan mutu sekolah secara keseluruhan. 2. Tujuan Pembelajaran Inovatif Pembelajaran bahasa di Indonesia juga terus mengalami perubahan yang mengarah pada inovasi, di antaranya adalah kurikulum, yakni kurikulum 1975, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Inovasi menandakan bahwa suatu bangsa itu hidup dan berkembang (Kridalaksana, 2002) seiring dengan tuntutan dan tantangan zaman. Tuntutan dan tantangan masa depan bangsa Indonesia antara lain dapat dilihat dari kualitas dan daya saing SDM yang kurang menggembirakan dibandingkan dengan Negara-negara lain (Suyanto, 2003). Seperti yang terungkap dalam catatan Human Development Report tahun 2000 versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di urutan 105 dari 108 negara. Indonesia berada jauh di bawah Filiphina (77), Thailand (76), Malaysia (61), Brunai Darussalam (32), Korea Selatan (30), dan Singapura (24). Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa-siswa kelas IV SD di Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei (Nurhadi, 2004). Semiawan (2003:574) menjelaskan bahwa para siswa di Indonesia hanya mampu memahami 30% dari materi bacaan dan mengalami kesulitan menjawab 45 soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Bahkan, tuntutan dan tantangan tersebut menjadi sangat penting berkaitan dengan fenomena persyaratan tenaga kerja yang tercantum pada iklan mencari tenaga kerja, khususnya iklan perusahaan besar internasional maupun multinasional. Nur (2004) mengelompokkan persyaratan itu atas affective & sosial skill dan thingking skill. Untuk itu, peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing tinggi merupakan kebijakan yang perlu diprioritaskan, terutama pendidik, sehingga pendidikan kita dapat membekali anak didik dan mencetak lulusan yang kompeten dalam memecahkan masalah dalam dunia global. Upaya membekali anak didik dan mencetak lulusan yang berdaya saing tinggi inilah yang menjadi tujuan pembelajaran inovatif. 3. Karakteristik Strategi Pembelajaran inovatif Sastra Indonesia Strategi PAIKEM merupakan ruh pembelajaran inovatif, yakni strategi pembelajaran yang memiliki karakter: aktif, integratif, komunikatif, efektif, dan menyenangkan. 3.1 Pembelajaran Aktif Pembelajaran yang berpusat pada siswa. Guru tidak mendominasi dan tidak menjadi penyampai materi dengan ceramah, tetapi lebih berperan sebagai motivator, fasilitator, pendamping, dan pembimbing bagi siswa. Sementara itu, siswa memiliki perbedaan satu sama lain dalam minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Siswa tertentu lebih mudah belajar dengan dengar baca (auditif), dengan melihat (visual), atau dengan cara kinestetika (gerak). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai karakteristik siswa. 46 KBM perlu menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Sebagai subjek dalam pembelajaran, berarti siswalah yang harus aktif menggali informasi, membangun konsep, menemukan dan memecahkan masalah, mengasah keterampilan, dan membiasakan sikap positif, Permasalahannya adalah bagaimana seorang guru bisa membuat siswa aktif? Beberapa cara yang dapat dikembangkan untuk membuat siswa aktif, di antaranya adalah sebagai berikut. 1) Penciptaan setting kelas yang merangsang siswa aktif. Ada 10 setting kelas yang memungkinkan siswa belajar secara aktif, yakni (1) kelas bentuk U atau setengah lingkaran, (2) kelas gaya-tim, (3) kelas gaya meja konverensi, (4) kelas gaya lingkaran, (5) kelas gaya kelompok pada kelompok, (6) kelas gaya ruang kerja, (7) kelas gaya pengelompokan berpencar, (8) kelas gaya formasi tanda pangkat, (9) kelas gaya auditorium, dan (10) kelas gaya tradisional/seminar. Setting kelas akan sangat mempengaruhi aktivitas siswa. Kelas gaya tradisional (10) kurang baik untuk membangkitkan aktivitas siswa karena secara psikologis siswa ditempatkan pada kedudukan siap untuk menerima informasi. Kelas gaya ini hanya cocok untuk membuka dan menutup pelajaran, tetapi kurang tepat untuk aktivitas belajar. (Silberman, 2004) 2) Merangsang partisipasi siswa secara penuh. Ada sepuluh cara meminta siswa untuk berpartisipasi, yakni (1) diskusi terbuka, (2) kartu jawab, (3) jajak-pendapat, (4) diskusi subkelompok, (5) mitra belajar, (6) penyemangat, (7) panel, (8) ruang terbuka (fishbowl), (9) permainan, (10) memanggil pembicara selanjutnya (Silberman, 2004). 3.2 Pembelajaran Integratif 47 Bahasa merupakan alat komunikasi yang terdiri atas berbagai unsur, baik secara struktural maupun fungsional. Secara struktural bahasa terdiri atas bagianbagian seperti fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraph, dan wacana. Secara fungsional bahasa untuk berkomunikasi secara reseptif (keterampilan mendengarkan dan membaca), secara produktif (keterampilan berbicara, menulis). Berbagai unsure kebahasaan dan keterampilan berbahasa tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam konteks komunikatif. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa memerlukan tema sebagai upaya penciptaan konteks yang dapat mengintegrasikan berbagai komponen kebahasaan dan keterampilan berbahasa dalam rangka mendukung proses komunikasi. Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara secara terintegrasi sebagaiana layaknya komunikasi yang terjadi di masyarakat. Selain itu, pendekatan terpadu/integratif juga menyarankan agar pembelajaran bahasa Indonesia didasarkan pada wawasan whole language, yaitu cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang (siswa dan guru) yang terlibat dalam pembelajaran. Whole Language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan yang membelajarkan bahasa secara utuh dan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan secara terpadu. Dengan konsep itu, dalam jangka panjang, target penguasaan kemahirwacanaan itu dapat tercapai. Unsur-unsur kebahasaan (fonem, kata, frasa, klausa, dan kalimat) dibelajarkan secara utuh dalam konteks keterampilan berbahasa sebagai hal yang dapat membantu memperlancar berbahasa. Penerapannya dapat menggunakan komponen-komponen whole language, yaitu 48 reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing. Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua menekankan bahwa melalui pembelajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Prinsip ketiga mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa lisan dan tulis. Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa Indonesia agar dihindari. 3.3 Pembelajaran Komunikatif Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa adalah suatu pendekatan yang bertujuan mengembangkan kompetensi komunikatif pada empat aspek keterampilan berbahasa, mencakup menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut saling ketergantungan. Kompetensi komunikatif 49 adalah konsep yang diperkenalkan oleh Dell Hymes (1970). Ide asli Hymes adalah bahwa pemakai bahasa mempunyai lebih dari hanya kompetensi gramatika untuk dapat berkomunikasi secara efektif dalam bahasa bersangkutan; pengguna bahasa juga harus tahu bagaimana bahasa tersebut digunakan oleh anggota komunitas bahasa untuk mencapai tujuan mereka. Orwig (1999) membagi kompetensi komunikatif atas aspek linguistik dan aspek pragmatik. Aspek linguistik kompetensi komunikatif adalah hal-hal kebahasaan yang berkaitan dengan pencapaian pengetahuan fungsional yang terdapat dalam pikiran tentang unsur dan struktur bahasa yang mencakup kompetensi fonologi, kompetensi gramatika, kompetensi leksikal, dan kompetensi wacana. Kompetensi fonologi mencakup konsonan, vokal, pola intonasi, pola ritme, pola tekanan suara, dan sebagainya. Kompetensi gramatika gramatika adalah kemampuan mengenal dan mengucapkan struktur bahasa dan menggunakannya secara efektif dalam komunikasi. Kompetensi leksikal adalah kemampuan mengenal dan menggunakan katakata dalam suatu bahasa seperti yang digunakan oleh penutur bahasa. Kompetensi leksikal mencakup pemahaman berbagai keterkaitan di antara jenis-jenis kata dan kolokasi umum kata. Kompetensi wacana mengacu kepada dua kemampuan yang berbeda. Pertama adalah kompetensi wacana tekstual yang mengacu kepada kemampuan memahami dan membentuk monolog atau teks tulis dari berbagai "genre", seperti narasi, teks prosedural, teks ekspositori, teks persuasi, deskripsi, dan lain-lain. Genre wacana tesebut mempunyai karakteristik berbeda, tetapi di dalam setiap genre terdapat beberapa unsur yang ikut membantu teks menjadi koheren, dan 50 unsur-unsur lain yang digunakan untuk lebih menjelaskan perbedaan poin-poin penting. Belajar bahasa melibatkan pembelajaran tentang bagaimana menghubungkan sedemikian rupa berbagai jenis wacana sehingga pendengar atau pembaca dapat memahami apa yang terjadi dan mengerti dengan hal-hal yang penting. Banyak penulis menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada interaksi dalam percakapan, sehingga kompetensi wacana dapat juga berarti kemampuan berpartisipasi secara aktif di dalam percakapan. Dalam pembelajaran bahasa, interaksi dianggap bagian dari kompetensi interaksi. Dalam aspek pragmatik terdapat kompetensi fungsional, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi interaksi, dan kompetensi budaya. Kompetensi fungsional adalah kemampuan mencapai tujuan komunikasi dalan suatu bahasa. Terdapat beberapa jenis tujuan dalam menggunakan bahasa. Misalnya, menyapa adalah salah satu tujuan menggunakan bahasa. Kita dapat saja menyebutkan dalam bahasa Indonesia Selamat pagi, Apa kabar, atau Pagi, tergantung kepada siapa kita berbicara. Kompetensi sosiolinguistik adalah kemampuan menginterpretasi makna sosial ragam pilihan kebahasaan dan menggunakan bahasa dengan makna sosial yang tepat untuk situasi sosial tertentu. Sosiolinguistik merupakan disiplin yang sangat luas dan istilah kompetensi sosiolinguistik dapat berlaku lebih luas daripada yang dipaparkan di sini. Buku ajar ini terbatas pada pengenalan dan penggunaan ragam bahasa yang tepat. Kompetensi interaksional melibatkan pengetahuan dan penggunaan kaidahkaidah interaksi yang hampir semuanya tak tertulis untuk berinteraksi di dalam berbagai situasi komunikasi dalam komunitas dan budaya bahasa yang ada. Hal ini 51 mencakup di antaranya mengetahui cara memulai dan mengatur percakapan dan menegosiasi makna dengan orang lain. Hal ini termasuk juga mengetahui bahasa tubuh, kontak pandangan, dan jarak dengan orang lain yang cocok untuk digunakan dalam bertindak sesuai dengan situasi. Kompetensi budaya adalah kemampuan memahami tingkah laku dari sudut pandang anggota masyarakat budaya tersebut dan bertingkah laku dengan cara yang dapat dimengerti oleh anggota budaya sesuai dengan cara yang diinginkan. Karena itu, kompetensi budaya melibatkan pemahaman semua aspek budaya, terutama struktur sosial, nilai dan kepercayaan masyarakat, dan cara sesuatu dilakukan. Contohnya, tidak mungkin kita dapat berbicara bahasa Arab, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dsb. dengan benar tanpa memahami struktur sosial masyarakat bersangkutan, karena struktur tersebut tercermin di dalam kata dan istilah yang harus digunakan pada saat berbicara dengan atau tentang orang lain. Kompetensi komunikatif belakangan ini sudah semakin disempurnakan. Aspek yang terlibat di dalamnya tidak saja aspek pragmatik, seperti kompetensi interaksi, sosiolinguistik, dan budaya, tetapi juga mencakup kompetensi linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. 3.4 Pembelajaran Efektif Pengelolaan KBM di kelas dan di luar kelas meliputi pengelolaan tempat belajar/ruang kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan materi pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, dan pengelolaan strategi dan evaluasi kegiatan pembelajaran. Dalam mengelola kegiatan pembelajaran, guru perlu merencanakan tugas dan alat belajar yang menantang, pemberian umpan balik, dan penyediaan program penilaian yang memungkinkan semua siswa mampu ‘unjuk kemampuan/mendemonstrasikan 52 kinerja (performance)’ sebagai hasil belajar. Inti dari penyediaan tugas menantang ini adalah penyediaan seperangkat pertanyaan yang mendorong siswa bernalar atau melakukan kegiatan ilmiah. Untuk mengemas pembelajaran secara efektif, banyak strategi yang dapat dilakukan oleh guru,di antaranya adalah (1) strategi pelibatan belajar secara langsung, (2) strategi mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap (PKS) secara aktif, (3) strategi menjadikan kegiatan belajar tidak terlupakan (Silberman, 2004). Strategi pelibatan belajar secara langsung dapat dilakukan dengan cara mengajak anak untuk berbagi pengetahuan secara aktif, bertukar pendapat dalam kelompok, dan bertangung jawab terhadap mata pelajaran. Strategi mendapatkan pengetahuan secara aktif dalam kegiatan belajar dalam satu kelas penuh dapat dilakukan dengan teknik (1) pikiran yang penuh tanya selalu ingin mengetahui, teknik tim pendengar, teknik membuat catatat dengan arahan, teknik belajar ala permainan binggo, pengajaran sinergis, pengajaran terarah, mempraktikkan materi yang diajarkan, bermain peran, berdebat, dan menjadi kritikus. Kegiatan pembelajaran kelompok dapat dilakukan dengan teknik debat aktif, rapat dewan kota, keputusan terbuka, memperbanyak anggota dewan panel, argumentasi dan argumentasi tandingan, membaca keras, keras, dan pengadilan oleh majelis hakim. 3.5 Pembelajaran Menyenangkan Betapapun beratnya sebuah beban pikiran bila dikerjakan dengan hati riang gembira akan terasa ringan. Belajar, menyerap informasi, mengkonstruksi konsep, memecahkan masalah, berhitung, menulis, dan segala bentuk pelajaran lain adalah sebuah beban pikiran yang menjadi tanggungan otak kiri. Bila tidak diimbangi 53 dengan keceriaan, kegembiraan, kesenangan pada otak kanan akan mengakibatkan beban otak kiri semakin bertambah. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang terlalu memeras konsentrasi otak kiri mesti diimbangi dengan keceriaan dan kegembiraan pada otak kanan untuk mengurangi beban psikologis. Berbagai upaya untuk membalut proses pembelajaran dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan perlu diupayakan agar kelas tidak menjadi “penjara psikologis” bagi siswa. Guru perlu menciptakan strategi pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai permainan dan petualangan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Misalnya, untuk membentuk kelompok belajar dapat dilakukan dengan berbagai cara yang menyenangkan sekaligus memberikan jiwa bagi kelompok yang terbentuk. Cara-cara tersebut misalnya menghitung kepala “mlinjo dompol …”, sebut kegemaran, kartu misteri, pemilihan raja/ratu sejagat, dan lain-lain. Upaya menciptakan suasana gembira dalam kelas juga dapat dilakukan dengan menghubungkan materi dengan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan. Misalnya, ketika siswa akan belajar puisi tentang kerusakan alam, siswa dapat diajak mendendangkan lagu ”Rumput yang Bergoyang” oleh Ebit G. Ade; jika puisi semangat anak muda, siswa diajak mendendangkan puisi ”Ekspresikan” oleh Bondan Prakoso, liriknya: ”Hai Kau jadikanlah dirimu seperti yang Kau mau, hai Kau ekspresikanlah seperti yang Kau mau...”. Kemudian syair lagu tersebut dijadikan pintu masuk mengenalkan puisi. Penciptaan suasana pembelajaran yang menyenangkan seperti itu akan menjadikan siswa antusias dan mudah dalam memahami materi. 4. Model Proyek Apresiasi Sastra sebagai Upaya Penanaman Nilai-nilai Multikultural 54 Proyek merupakan rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas. Pekerjaan di dalam proyek direalisasikan dalam serangkaian kegiatan terencana untuk menghasilkan suatu produk yang penyelesaiannya melibatkan banyak pihak. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa proyek apresiasi adalah rencana pekerjaan yang direalisasikan di dalam serangkaian kegiatan apresiasi dengan sasaran produk berupa hasil apresiasi yang dalam penyelesaiannya melibatkan beberapa individu (siswa) dalam jangka waktu tertentu. Penerapan proyek apresiasi didasari oleh beberapa alasan, yaitu: (5) Apresiasi adalah sebuah proses. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, proses apresiasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tingkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan. Melalui proyek apresiasi, siswa dimungkinkan melewati tingkatan-tingkatan apresiasi tersebut dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, yakni memperoduksi. (6) Penyelesaian proyek apresiasi oleh sekelompok siswa akan memberikan peluang kepada siswa untuk belajar secara kooperatif sesuai dengan konsep contextual teaching learning (CTL). (7) Keragaman kegiatan dalam proyek apresiasi memungkinkan siswa mendapat berbagai pengalaman berapresiasi dari berbagai sudut pandang dan merealisasikan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk. (8) Melalui proyek apresiasi, siswa dapat melakukan kegiatan apresiasi secara integratif melalui serangkaian kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, pembelajaran sastra berwawasan multikultural ditandai oleh adanya materi, iklim belajar, proses belajar mengajar, dan evaluasi yang disemangati oleh nilai-nilai multikultural. 55 Jika dikaitkan dengan model pembelajaran apresiasi yang disarankan, berarti isi teks-teks sastra yang dijadikan bahan apresiasi sastra hendaknya dipilih dengan mempertimbangkan nilai-nilai multikultural yang ada di dalamnya, seperti nilai keragaman, perdamaian, demokrasi, dan keadilan. Guru pun hendaknya menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat berinteraksi satu dengan lainnya dalam suasana demokratis, saling menghormati, saling toleransi, dan saling memahami satu dengan yang lain dalam suasana menyenangkan. Sementara gaya pembelajaran akan lebih demokratis, terbuka, dan fleksibel dan menempatkan peserta didik sebagai subjek yang memiliki status dan hak yang setara, serta menempatkan peserta didik dengan berbagai gaya belajar secara adil. Di dalam proses pembelajaran, guru hendaknya menerapkan strategi pembelajaran kooperatif (cooperative teaching strategies) dalam pergaulan sosial dengan para siswa yang memiliki berbagai sifat yang beragam sehingga mereka akan saling belajar segi-segi positif dari temannya. Metode pembelajaran juga beragam (ceramah interaktif, pembelajaran aktif, pembelajaran kolaboratif, diskusi kelompok, bermain peran, keteladanan, dan sebagainya). Evaluasi dilakukan beberapa kali dan dengan berbagai cara sehingga memungkinkan hasilnya fair, adil, dan seimbang. Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan model proyek apresiasi sastra berwawasan multikultural yaitu (1) strategi kegiatan belajar bersama-sama (cooperative learning) yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (concept attainment), strategi analisis nilai (value analysis) dan strategi analisis sosial (social investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan 56 secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Model Proyek Apresiasi Berwawasan Multikultural Adapun model proyek apresiasi berwawasan multikultural selengkapnya adalah sebagai berikut. 1) Tujuan Pelaksanaan model proyek apresiasi berwawasan multikultural dirancang berdasarkan model pembelajaran kooperatif dan model stratta dengan pengorganisasian pertemuan model kerja kelompok untuk menyelesaikan tugas proyek apresiasi yang dieklektikkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah melibatkan siswa dalam (1) memberikan respon terhadap masalah multikultural yang terdapat di dalam karya sastra dikaitkan dengan masalah di dalam kehidupan yang mereka rasakan perlu mendapat pemecahan berdasarkan pengalaman mereka dengan melibatkan proses berbagi ide dan pendapat serta saling tukar pengalaman melalui proses saling berargumentasi, (2) melakukan proses apresiasi yang meliputi tahapan penjelajahan, interpretasi, dan rekreasi, dan (3) bekerja sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan (tugas), yaitu berupa penyelesaian proyek apresiasi. 2) Syntax Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) penjelajahan, membaca beberapa cerita untuk menentukan satu cerita yang isinya memuat nilainilai kultural yang akan diapresiasi, kemudian membaca cerita pilihan kelompok secara intensif (situasi bermasalah, eksplorasi, perumusan tugas belajar), (2) interpretasi, menafsirkan cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang ( kegiatan belajar), dan (3) rekreasi, menemukan keindahan karya yang dibaca 57 (rekreasi) dan nilai multikultural yang ada di dalamnya, serta melakukan penciptaan kembali sesuai dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi (rekreasi) dalam wujud menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk, memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, mengubah cerita menjadi teks drama, dan mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (kegiatan belajar, analisis kemajuan). Secara konkret, teknis pelaksanaan proses apresiasi adalah sebagai berikut: (1) memilih beberapa cerita yang akan dibaca, (2) menentukan satu cerita yang akan diapresiasi, (3) membaca secara intensif cerita yang sudah ditentukan, (4) menginterpretasi cerita yang sudah dibaca dari berbagai sudut pandang, (5) mendiskusikan hasil interpretasi, (6) menuliskan hasil interpretasi dalam berbagai bentuk, (7) memajang hasil interpretasi dalam majalah dinding, (8) mengubah cerita menjadi teks drama, dan (9) mementaskan drama berdasarkan teks yang sudah ditulis (10) merefleksi proses dan hasil pembelajaran. (3) Sistem Sosial Sistem sosial yang berlaku dan berlangsung dalam model ini bersifat demokratis yang ditandai oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan oleh pengalaman kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral pembelajaran. Kegiatan kelompok yang terjadi sedapat mungkin bertolak dari pengarahan minimal guru. Dengan demikian suasana kelas akan terasa tak begitu berstruktur. Iklim kelas ditandai oleh proses interaksi yang bersifat kesepakatan. (4) Prinsip Pengelolaan/Reaksi Guru berfungsi sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam kerangka ini guru membimbing dan mengarahkan kelompok 58 melalui tahap pemecahan masalah, pengelolaan kelas, pemaknaan secara perseorangan, dan penyelesaian proyek. (5) Sistem Pendukung Sarana pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan model ini adalah segala sesuatu yang menyentuh kebutuhan siswa untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk melakukan proses pemecahan masalah kelompok dan proyek apresiasi. Perpustakaan diusahakan memiliki sumber informasi yang komprehensif dengan alat bantu mengajar yang memadai. (6) Dampak Instruksional dan Pengiring Dampak instruksional model ini adalah (1) pandangan konstruktivis tentang pengetahuan, (2) penelitian yang berdisiplin, (3) proses dan keteraturan kelompok yang efektif. Adapun dampak pengiringnya adalah (1) kehangatan dan keterikatan antarmanusia, kemerdekaan sebagai pelajar, (3) menghormati hak asasi manusia, (4) toleransi dalam berdialog, dan (4) kesadaran akan perlunya kerja sama dalam kelompok. Contoh Penerapannya Secara konkret, teknis pelaksanaan model proyek apresiasi adalah sebagai berikut. Langkah pertama adalah memilih beberapa cerita yang akan dibaca. Dalam pelaksanaannya, guru memilihkan beberapa cerita yang mengandung nilai multikultural. Beberapa cerita yang dipilih hendaknya memiliki tema yang beragam sesuai dengan karakteristik siswa. Langkah pertama diikuti oleh langkah kedua, siswa diminta memilih salah satu di antara cerita yang ada sesuai dengan minat mereka. Pemilihan cerita dengan mempertimbangkan aspek multikultural yang ada di dalamnya, misalnya 59 digambarkan tokoh-tokoh yang hidup di dalam lingkungan masyarakat yang beragam. Cerita yang menggambarkan interaksi anggota masyarakat di dalam situasi yang memungkinkan munculnya berbagai konflik kepentingan dan tokohtokohnya menyikapi dengan cara yang berbeda-beda. Cara penyikapan tokoh itulah yang sangat potensial untuk diangkat di dalam pembelajaran untuk didiskusikan agar dicapai pemahaman tentang nilai-nilai multikultural. Langkah ketiga, siswa ditugasi membaca cerita yang sudah dipilih secara intensif. Pembacaan dilakukan di luar jam pelajaran agar siswa memiliki keleluasaan untuk menuntaskan pembacaannya. Langkah keempat, wacana cerita tersebut “dihadirkan” di dalam kelas. Siswa atau guru membacakan bagian yang menarik dari cerita tersebut, dan siswa lain menyimak dengan sebaik-baiknya. Langkah ini berlanjut dengan kegiatan tanya jawab untuk memperoleh gambaran umum tentang cerita tersebut. Langkah kelima, siswa dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok. Dengan panduan pertanyaan yang sudah disiapkan oleh guru, setiap kelompok membuat penafsiran terhadap cerita yang sudah dibaca. Fokus perhatian terutama diarahkan pada penafsiran tentang tokoh, alur, dan latar cerita yang bermuara pada penafsiran tentang nilai-nilai multikultural dalam cerita. Langkah keenam, setiap kelompok menyajikan hasil penafsiran kelompoknya di kelas dan ditanggapi oleh anggota kelompok lain secara perorangan. Langkah ini dipandu oleh guru. Dalam hal ini guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikan hasil pemaknaan siswa. Dalam berdiskusi, prinsip “kebebasan berpendapat” hendaknya menjadi perhatian guru. Dalam konteks ini, tidak ada pendapat yang “salah” atau pendapat yang “benar”—lebih-lebih benar atau salah 60 menurut versi guru. Guru sejauh mungkin memberikan kebebasan bagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasil pemaknaannya masing-masing. Kedudukan guru dalam hal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agar pembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswa diharapkan memiliki keterampilan berbicara. Langkah ini diakhiri dengan menemukan hubungan antara nilai-nilai multikultural dalam cerita dengan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Langkah ketujuh, setiap kelompok ditugasi menuliskan hasil apresiasinya dalam berbagai bentuk, misalnya paparan tentang unsur intrinsiknya, nilai-nilai multikultural yang ada di dalam novel, mengubah bagian yang menarik menjadi puisi dan drama, dan melengkapinya dengan resensi dan biografi pengarang. Langkah kedelapan, tiap kelompok memajang hasil apresiasi di dalam majalah dinding. Dalam hal ini setiap kelompok diberi kebebasan untuk berkreasi agar majalah dinding yang dibuat menjadi menarik. Hasilnya dinilai oleh kelompok lain dan ditentukan yang terbaik. Langkah kesembilan, setiap kelompok mengubah bagian cerita yang menarik menjadi naskah drama, kemudian mengadakan latihan pementasan. Langkah kesepuluh, setiap kelompok mementaskan drama sesuai dengan naskah drama yang sudah ditulis dan dinilai oleh kelompok lain untuk ditentukan yang terbaik. Langkah kesebelas siswa dipandu guru merefleksi proses dan hasil pembelajaran. Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswa dapat diharapkan mencapai tingkat (1) menggemari karya sastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat mereaksi karya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. 61 Dalam tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwa siswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkat menikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastra yang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkan ditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan (menulis) wacana sastra. Dalam penerapan model proyek apresiasi pada pembelajaran sastra, guru berkewajiban menciptakan situasi yang kondusif. Situasi dan kondisi yang kondusif adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikap reseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam proses pembelajaran. Selain itu, guru berkewajiban menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif, yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidak bersifat indoktrinatif. Guru juga berkewajiban menciptakan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan produktif, yaitu kegiatan yang memungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampu menghasilkan wacana sastra. 62 LAMPIRAN 4 DENAH LOKASI KEGIATAN Lokasi: Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang Kecamatan Ngaliyan terdiri dari 10 kecamatan dengan luas wilayah 3269,97 Ha yang merupakan 8,83% dari luas seluruh Kota Semarang dan memiliki penduduk pada tahun 2008 sejumlah 109.108 jiwa dengan jumlah penduduk laki sejumlah 54.534 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 54.574 jiwa. Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Ngaliyan sebagai berikut : - Sebelah Utara : Kecamatan Tugu - Sebelah Selatan : Kecamatan Mijen - Sebelah Barat : Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal - Sebelah Timur : Kecamatan Semarang Barat 63 DAFTAR PESERTA PELATIHAN NO. NAMA ASAL SEKOLAH 1 Gunardi, S.Pd. SDN Bringin 01 2 Sardi SDN Bringin 02 3 Riyanto, S.Pd. SDN Kalipancur 01 4 Suwarsi, S.Pd. SDN Kalipancur 02 5 H. Munjirin SDN Ngaliyan 01 6 Kusmiyati, S.Pd. SDN Ngaliyan 02 7 Katiyani SDN Ngaliyan 04 8 Ponijah, S.Pd. SDN Ngaliyan 05 9 Slamet R., S.Pd. SDN Ngaliyan 06 10 64