ARTIKEL PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA Tn. N DI RUANG P7 WISMA SADEWA RSJ Prof. Dr. SOEROYO MAGELANG Oleh : LUH DE SATYANINGRUM 0121633 AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2015 PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI PENDENGARAN PADA Tn. N DI RUANG P7 WISMA SADEWA RSJ Prof. Dr. SOEROYO MAGELANG Luh De Satyaningrum1, Abdul Wakhid 2, Wulansari 3 123 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi stres kehidupan dengan wajar, mampu berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama dengan orang lain. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengelolaan gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran di RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan selama 2 hari pada Tn. N dengan membantu klien dalam mengenali halusinasinya, membantu klien dalam mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan obat. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara dan observasi. Hasil pengelolaan didapatkan implementasi dan evaluasi klien mampu mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan klien mau minum obat. Saran bagi perawat di rumah sakit untuk lebih meningkatkan asuhan keperawatan gangguan persepsi sensori : halusinasi yang diberikan kepada pasien jiwa dengan melibatkan pasien-pasien jiwa didalam kegiatan diruangan agar pasien yang mengalami halusinasi tidak larut dalam halusinasinya. Kata Kunci : halusinasi pendengaran, menghardik, minum obat Kepustakaan : (15) 2007-2014 PENDAHULUAN Menurut Keliat, dkk (2005) kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi stres kehidupan dengan wajar, mampu berperan serta dalam lingkungan hidup, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama dengan orang lain. Salah satu penyebab gangguan jiwa adalah stres, stres diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan yang terjadi semakin tinggi pula tingkat stress akan terjadi hingga menimbulkan berbagai macam penyakit. Dan begitu pula menurut Videbeck (2008) dalam Yosep (2014) kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan 1 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 2 sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional. Menurut World Health Organization ( WHO) (2001) dalam Yosep (2014) masalah gangguan jiwa sudah menjadi sangat serius yang harus segera ditangani, diperkirakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang menderita masalah mental, dan ada 450 juta orang di dunia yang mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa. Di Indonesia diperkirakan ada sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga yang menderita gangguan kesehatan jiwa, angka tersebut menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi. Faktor penyebabnya yaitu rasa cemas yang berlebihan, defresi, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, sampai skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik pemikiran kongkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan suatu masalah (Stuart, 2006 : 240). Dan menurut Hermann (2008) skizofrenia sebagai penyakit neorologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berperilaku, bahasa, emosi dan perilaku sosialnya. Salah satu gejala khas dari skizoprenia adalah berbicara sendiri seolah-olah ada lawan bicara didepannya. Selain bicara sendiri klien juga sering senyum-senyum dan berteriak sendirian seakan - akan klien melihat atau mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak nyata klien dan terjadinya gangguan persepsi (Unlhass & Mishara, 2006 dalam Suryani, didukung oleh Varcalis, Carson, Shoemaker, (2006) dalam Yosep, 2009) dan Sunardi, 2005 dalam Dalami dkk,2009). Diperkirakan lebih dari 90% klien dengan skizofrenia mengalami gangguan persepsi sensori halusinasi. Meskipun bentuk halusinasinya bervariasi tetapi sebagian besar klien skizofrenia di rumah sakit jiwa mengalami halusinasi dengar. Suara dapat berasal dari dalam diri individu atau luar dirinya. Isi suara biasanya memerintahkan sesuatu pada klien. Klien sendiri merasa yakin bahwa suara itu berasal dari Tuhan, setan, sahabat, atau musuh, biasanya suara itu muncul berupa suara yang tidak mengandung arti. Menurut Rusdi (2013) gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari dalam pikiran, perasaan, dan stimulus dari luar rangsangan. Gangguan persepsi sensori halusinasi merupakan salah satu masalah keperawatan yang dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa. Persepsi realita dapat membedakan lamunan kenyataan sehingga setiap perilaku dapat dimengerti dan dapat dipahami. Gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai terganggu atau terjadinya halusinasi. Menurut Depkes (2000) Halusinasi adalah penyerapan persepsi panca indera tanpa rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sitem panca indera terjadi pada saat kesadaran individu baik. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada ( Damaiyanti, 2008). Terjadinya halusinasi berdasarkan penelitian Suryani (2013) dengan judul proses terjadinya halusinasi sebagaimana Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 3 diungkapkan oleh penderita Skizoprenia dengan pendekatan Gollaizi diketahui bahwa terdapat lima proses individu mengalami halusinasi yaitu adanya serangkaian masalah yang dipikirkan, adanya situasi/ kondisi sebagai pencetus, terjadi secara bertahap, membutuhkan waktu lama sebelum terjadi halusinasi adanya tema pendekatan spiritual dan penggunaan koping yang konstruktif sebagai upaya pencegahan halusinasi baik secara individu maupun support keluarga. Adapun akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan. Ini diakibatkan karena pasien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal diluar kesadarannya (Prabowo , 2014). Individu yang mengalami halusinasi seringkali beranggapan bahwa halusinasi berasal dari lingkungannya, padahal rangsangan halusinasi timbul setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan perasaan, tidak berguna, putus asa, perasaan tidak berdaya. Individu cenderung mengindar dari interaksi agar dirinya terhindar dari stressor yang mengancam. Akibat lain yang ditimbulkan dari gangguan jiwa yaitu : bagi individu itu sendiri maupu masyarakat pada umumnya, orang yang mengalami gangguan jiwa akan mengalami perubahan perilaku, gangguan dalam aktivitas sehari-harinya, jika yang mengalami gangguan jiwa adalah kepala keluarga otomatis ekonomi dalam keluarga akan terganggu, dan biasanya orang yang mengalami gangguan jiwa akan dikucilkan dari kelompok masyarakat (Sunaryo, 2004) dalam Dalami, dkk (2009). Gangguan jiwa sangat berdampak negatife bagi individu dan masyarakat. Klien yang mengalami gangguan jiwa membutuhkan pengelolaan yang efektif untuk menyembuhkan fungsi-fungsi kemandirian dan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sehingga penulis tertarik untuk memberikan pengelolaan pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran. METODE PENGELOLAAN Pengkajian Pengkajian merupakan pengumpulan data subjektif dan data objektif secara sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan bagi individu, keluarga dan komunitas (Craven & Hirnle (2000) dalam Damaiyanti & Iskandar (2014 : 1). Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan masalah yang klien alami. Data yang dikaji meliputi keluhan utama, faktor predisposisi, aspek biologis, status mental, dan masalah psikososial. Tindakan Keperawatan Intervensi yang disusun pada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran adalah membina hubungan saling percaya dengan mengunakan prinsip terapeutik dengan cara menyapa nama pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, memperkenalkan nama perawat, menanyakan nama lengkap klien, membuat kontrak yang jelas, menjelaskan tujuan pertemuan, bersikap empati dan menerima pasien apa adanya. Intervensi kedua adalah mengidentifikasi waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi, mendiskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika halusinasinya muncul, hal ini dilakukan agar lebih mudah untuk meanjutkan intervensi selanjutnya. Intervensi ketiga adalah Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 4 menghardik. Menghardik adalah upaya agar klien bisa menolak dan mengabaikan halusinasinya Yosep (2014). Mendiskusikan dengan klien dosis, frekuensi dan manfaat obat atau melatih klien cara mengontrol halusinasi dengan obat intervensi ini disusun supaya klien paham dengan nama obat yang diminumnya, fungsi obat, efek samping dan dosis dari obat tersebut. Membantu klien dalam membuat jadwal kegiatan harian. Hasil Pengelolaan Implementasi pada Tn. N sesuai dengan intervensi yang direncanakan, yaitu membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi halusinasi yang meliputi (waktu, frekuensi, isi, respon klien jika halusinasi muncul), melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, melatih klien mengontrol klien dengan obat. Pembahasaan Pada Tn. N ditemukan masalah gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran sehingga penulis melakukan tindakan keperawatan, membina hubungan saling percaya dengan mengunakan prinsip terapeutik dengan cara menyapa nama pasien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, memperkenalkan nama perawat, menanyakan nama lengkap klien, membuat kontrak yang jelas, menjelaskan tujuan pertemuan, bersikap empati dan menerima pasien apa adanya Membina hubungan saling percaya dilakukan karena penulis beranggapan bahwa sebelum kita menjalin sebuah hubungan kita harus tau dengan siapa yang akan kita ajak berinteraksi, dengan begitu pula kita bisa saling mengenal dan dipercaya, dari sinilah hubungan saling percaya akan terjalin dengan baik. Dengan membina hubungan saling percaya diharapkan semua masalah yang dialami klien bisa digali dan diatasi. Setelah membina hubungan saling percaya kemudian mengindentifikasi waktu, isi, frekuensi timbulnya halusinasi hal ini dilakukan penulis karena dengan teridentifikasinya jenis dari halusinasi yang dialami klien yang meliputu (waktu, isi, dan frekuensi), maka akan lebih memudahkan bagi perawat untuk melakukan implementasi selanjutnya. Setelah penulis mengidentifikasi jenis halusinasi yang dialami klien selanjutnya membantu klien untuk mengontrol halusinasinya dengan cara menghardik yaitu : upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul atau tidak menghiraukan halusinasi yang muncul. Dengan melakukan cara menghardik, klien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi akan tetap ada namun dengan kemampuan ini klien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya Yosep (2014 : 229). Berdasarkan data hasil penelitian Anggraini (2008) yang berjudul “ Pengaruh Menghardik Terhadap Penurunan Tingkat halusinasi Dengar Pada Pasien Skizofrenia Di RSJD DR. Aminogondohutomo Semarang” penelitian tersebut membuktikan bahwa kedua cara terapi menghardik yaitu menghardik dengan menutup telinga dan menghardik dengan menutup telinga sama-sama memperoleh hasil yang diharapkan oleh peneliti yaitu ada pengaruh terhadap penurunan tingkat halusinasi dengar. Hal ini membuktikan pada hasil bivarat bahwa responden mengalami penurunan tingkat halusinasi dengar setelah dilakukan terapi menghardik dengan menutup telinga Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 5 yaitu dari kategori sedang sebanyak 26 (65%), dan kategori berat sebanyak 14 (35%), menjadi kategori ringan pada seluruh responden yaitu sebanyak 40 responden (100%). Responden mengalami penurunan tingkat halusinasi setelah dilakukan terapi menghardik dan pada hasil bivarat responden yang mengalami penurunan tingkat halusinasi dengar setelah dilakukan menghardik tanpa menutup telinga maupun dengan menutup telinga. Kedua cara menghardik tersebut boleh dilakukan oleh perawat di rumah sakit karena sama-sama dapat menurunkan frekuensi halusinasi. Akan tetapi pengaruh terapi menghardik dengan menutup telinga memberikan pengaruh lebih besar dalam penurunan tingkat halusinasi dengar, sehingga dianjurkan untuk perawat dirumah sakit agar menggunakan terapi menghardik dengan menutup telinga karena hasilnya akan lebih baik. Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara membantu klien dalam menggunakan obat dengan prinsip 6 benar meliputi (benar jenis, waktu, dosis, guna, cara, kontinuitas minum obat), tetapi tetap diawali dengan bina hubungan saling percaya dengan klien. Klien yang megalami halusinasi perlu dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program dengan bimbingan dari perawat. Klien yang mengalami gangguan jiwa yang dirawat di rumah seringkali mengalami putus obat sehingga klien akan mengalami kekambuhan. Bila klien kambuh maka untuk mencapai kondisi normal atau penyembuhannya akan menjadi lebih sulit. Agar klien patuh dalam menggunakan obat maka perlu dijelaskan pentingnya penggunaan obat, menjelaskan pada klien akibat jika klien putus oabt atau tidak mau minum obat, dan menjelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 6 benar. Kesimpulan Hasil evaluasi tindakan keperawatan kepada klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran didapatkan hasil, klien sudah tidak mendengar suara-suara, klien sudah mau bicara dengan temanya, klien mampu menyebutkan kapan klien harus minum obat, berapa jenis klien harus minum obat, dan akibat jika klien tidak minum obat Daftar Pustaka Anggraini, K. (2008). Pengaruh Menghardik Terhadap Penurunan Tingkat Halusinasi Dengar Dengan Pasien Skizofrenia Di RSJD DR. Aminogondohutomo Semarang”.http://pmb.Stikest elogorejo.ac.id/ejournal/index. php/ilmukeperawatan/artcle/v iew/176/2008. Diakses pada tanggal 23 Mei 2015 jam 10.50 WIB. Azizah, M , L. (2011). Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Carpenito, L J. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan ( edisi 10 ). (Yasmin Asih, Penerjemah). Jakarta : EGC. Damaiyanti, M., & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama. Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 6 Yogyakarta: Publishing. Gosyen Direja, A, H, S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: Yogyakarta: Nuha Medika. Fitria, N. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Edisi ke 1. Jakarta: Salemba Medika. Keliat, B, A., & Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC. Kusumawati, F., & Hartono. Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Prabowo, E. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Nuha Medika. Prabowo, E. (2014). Buku ajar Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Nuha Medika. Riyadi, S., & Purwanto, T. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Graha Ilmu. Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama. Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan JIwa. Bandung: PT Refika Aditama. Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo