Terapi Penyakit Radang Usus (IBD): Target Baru dan Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi Penulis : Jean-Frederic Colombel Penyakit radang usus atau dikenal dengan Infalammantory Bowel Diseases (IBD) adalah jenis penyakit progresif kronis. Strategi terapi yang saat ini belum signifikan mengobati IBD. Peradangan persisten yang masih mungkin terjadi tanpa adanya gejala klinis, diyakini menjadi penyebab kerusakan usus, yang berujung pada terjadinya striktur, fistula dan abses pada penyakit Crohn (CD). Benar atau tidaknya konsep ini untuk ulseratif kolitis masih diperdebatkan. Pada penyakit kronis lainnya, seperti rheumatoid arthritis, tujuan terapi sampai sekarang telah bergeser dari hanya kontrol gejala sampai usaha pencegahan kerusakan dan kecatatan. Sebuah instrumen baru, Lemann score, sedang dikembangkan sebagai alat pengukur kerusakan struktural kumulatif yang disebabkan oleh CD dan untuk menilai dampak strategi pengobatan untuk jangka panjangnya. Untuk mencegah akumulasi kerusakan, metode yang digunakan untuk mendapatkan target penyakit dapat menggunakan metode endoskopi. Metode ini sedang diusulkan untuk dilakukan bersamaan dengan pengontrolan peradangan secara ketat berdasarkan gejala dan tanda-tanda biologis. Beberapa pertanyaan muncul terkait definisi penyembuhan penyakit mukosal dan manfaat pengobatan pasien diluar gejala klinis secara jangka panjang. Pengujian ukuran peradangan objektif sangatlah penting dilakukan sebagai bagian dari manajemen IBD. Selama masa penindaklanjutan, pengambil keputusan berdasar pada hasil penemuan yang dilakukan terus menerus, dengan tujuan mengoptimalkan pengendalian penyakit. Kemudian, muncul pernyataan yang tak terjawab mengenai implementasinya pada pasien: Alat pemonitor apa sajakah yang sebaiknya digunakan? Kapan sebaiknya digunakan? Apakah strategi pemantauan berbeda bila pasiennya berbeda? Melengkapi konsep “target ke target” sebagai langkah intervensi dini, ternyata dapat menghabiskan waktu pada pasien tinggi risiko yang akan mengakibatkan pasien mendapat sedikit kesempatan untuk didapat targetnya dan meningkatkan risiko progresi lebih lanjut serta kerusakan saluran pencernaan. Bagaimanapun, pengenalan obat anti IBD modifikasi secara dini tidak direkomendasikan bagi para pasien penderita komplikasi. Untuk mencapai target, ada beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang perlu diperhatikan bagi para penderita IBD, seperti teori farmakokinetik sangat dibutuhkan untuk optimasi terapi. Pengembangan prediksi progresi penyakit (klinikal, serologi, genitis…) wajib dilakukan untuk menghindari kekurangan atau kelebihan pengobatan. Perkembangan teori mengenai peranan sistem imun adaptif dan bawaan serta epitel and endothelium usus telah menghasilkan pengembangan baru di dunia biologis. Bagaimanapun, ada potensi respon peradangan dari pasien ke pasien yang berbeda-beda, sehingga pengobatan yang diterapkan berbeda. Ketidakpastian ini menekankan perlunya pendekatan pasien secara personal berdasarkan pendekatan “omics” yang terintegrasi dengan genetis, mikrobiota dengan data klinis dan lingkungan. Oleh karena itu, dalam peningkatan penanganan yang kompleks ini, pendidikan kepada pasien penting dilakukan agar mereka dapat andil turut dalam pengambilan keputusan. Sebagai kesimpulan, penting untuk mengetahui bahwa sebagian besar konsep baru dalam pengobatan IBD belum tervalidasi, dan penelitian prospektif untuk mengevaluasi dampak jangka panjang pada kerusakan saluran cerna masih diselidiki.