Menanggapi isu mie instan dan penyebab kanker serta bocornya usus oleh F.G. Winarno, Mantan Presiden Codex Dunia Menanggapi permintaan konfirmasi beberapa pihak yang ditujukan pada saya terkait beredarnya rumor melalui email mengenai keamanan pangan mi instan, dalam posisi saya sebagai Ketua Dewan Pakar PIPIMM (Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman) dan mantan President Codex sedunia (Chairman of Codex Alumentarius Commision FAO/WHO) mendorong saya untuk memberikan tanggapan terhadap beberapa rumor tersebut sebagai berikut: • Rumor memasak mi instan tidak boleh dengan bumbunya karena pemanasan di atas 120 C akan berpotensi menjadi karsinogen pembawa kanker . Mie instan kering, merupakan produk setengah matang. Disebut instan karena sangat cepat disajikan setelah dipanaskan pada suhu air mendidih (±100°C biasanya sekitar 85°C) dalam waktu kurang dari lima menit. Jadi suhunya bukan 120°C seperti yang disampaikan penulis di milis, dimana suhu tersebut baru dapat dicapai bila menggunakan pressure cooker atau retort (strerilisator) untuk sterilisasi dalam proses pengalengan pangan. Jadi penggunaan suhu 120°C seperti yang tertulis sangat tidak akurat. Pada sisi lain, proses terjadinya karsinogen dan timbulnya kanker merupakan suatu isue besar dibidang kedokteran. Isue tersebut merupakan suatu hal yang sangat kompleks untuk diteliti artinya diperlukan keahlian khusus serta memerlukan hasil analisa dan bukti ilmiah yang sangat mendetail dan kompleks. • Rumor bahwa makan mi instan menyebabkan usus lengket dan bocor. Untuk menentukan penyebab suatu penyakit seseorang bukan suatu hal sederhana tetapi diperlukan kajian yang ilmiah dan mendalam. Dalam hal ini tentu saja tidak cukup orang awam yang menyimpulkan. Bahkan sering diperlukan beberapa orang ahli dan masih harus didukung analisis laboratorium yang cukup kompleks dan canggih. • Hal penting yang perlu saya kemukakan guna menghindari kesalahan persepsi di masyarakat akibat berbagai rumor tersebut yaitu bahwa untuk suatu jenis pangan yang diperdagangkan secara nasional maupun internasional diperlukan suatu persyaratan, yaitu harus memenuhi Standard Pangan. Indonesia telah memiliki SNI (Standard Nasional Indonesia) yang proses penyusunannya mengacu pada Standard Pangan International yang disebut Codex Standard. Standard tersebut terutama menekankan persyaratan keamanan, bukan saja pada produk akhirnya, tetapi setiap komponen yang digunakan dalam proses produksi harus aman dan tidak boleh melebihi dosis maksimum yang disyaratkan. Untuk itu diperlukan lembaga dunia yang netral yang disebut JECFA (Joint Experts Committee on Food Additive and Contammint). Jadi seluruh jenis bumbu dan ingredent serta dosisnya, sudah diteliti dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi manusia. Kalau ada resiko kanker atau penyakit lainnya, sejak awal pasti sudah ditolak. Demikian tanggapan saya, semoga berguna serta dapat menjawab pertanyaan dan keraguan masyarakat. Terimakasih F.G. Winarno