BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hasil Belajar Geografi Guru mempunyai tanggung jawab dalam mengantarkan siswa memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh siswa salah satu rangkaian dalam proses pembelajaran. Menurut Suprijono (2009:3) belajar merupakan serangkaian proses dalam menemukan dan mencari sendiri pengetahuan dan pengalaman. Baik pengetahuan yang telah diperoleh dari guru maupun diperoleh sendiri, sehingga ada perubahan setelah siswa memperoleh pengetahuan. Keberhasilan seorang guru dalam mengajar dilihat dari hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa diperoleh setelah mengikuti kegiatan belajarmengajar. Guru mempunyai peranan penting dalam meningkatkan hasil belajar. Guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar-mengajar berperan dalam memilih model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hamalik (2007:135) menyimpulkan bahwa hasil belajar merupakan pernyataan dari kemampuan siswa dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang telah diberikan melalui proses pembelajaran. Kemampuan diperoleh dari nilai akhir setelah siswa mengikuti proses pembelajaran. Sehingga guru mengetahui kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan 15 16 belajar mengajar yang telah dilaksanakan dengan pilihan model pembelajarannya. Purwanto (2014:19) menyimpulkan bahwa penilaian hasil belajar adalah kegiatan membandingkan objek yang dinilai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh guru dan dipahami oleh siswa. Penilaian dilakukan secara subjektif terhadap seluruh siswa. Selain itu dalam penilaian harus mengutamakan keobjektifan, sehingga siswa harus diperlakukan secara adil. Penilaian ini diharapkan dapat mengetahui kemampuan siswa setelah memperoleh perlakuan. Sumaatmaja (1997) dalam Astina (2010:1) geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan, kewilayahan, dalam konteks keruangan. Fenomena yang terjadi di permukaan bumi yang menjadi pembahasan dalam geografi akan dibahas melalui pendekatan geografi. Pendekatan geografi berfungsi guna memberikan solusi dari setiap fenomena yang ada di permukaan bumi. Pendekatan ini membawa pengaruh yang positif dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat khususnya sesuai dengan pokok permasalahan. Bintarto (1997) dalam Astina (2010:2) geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di permukaan bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di permukaan bumi, secara fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi, regional untuk kepentingan program, proses, dan keberhasilan pembangunan. Gejala di permukaan bumi yang dapat berubah sewaktu-waktu 17 dengan mengaitkan dengan manusia sebagai sumber permasalahan, sehingga melalui pendekatan geografi dapat mempermudah menyelesaikan permasalahan dalam lingkungan sekitar baik lingkungan pedesaan dan perkotaan. Siswa satu dengan yang lainnya pasti akan memperoleh hasil belajar yang berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan ekstern. a. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, faktor ini meliputi. 1) Jasmaniah meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh. 2) Psikologis meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3) Kelelahan meliputi kelelahan jasmani dan rohani. b. Faktor ekstern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar. 1) Keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. 2) Sekolah meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, 18 waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. 3) Masyarakat meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. Hasil belajar dapat dinilai setelah siswa mengikuti tes tulis aspek kognitif meskipun terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi. Guru telah memberikan yang terbaik untuk siswa dalam proses belajar mengajar terutama dalam pemilihan model pembelajaran. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakter siswa lebih mudah dalam meningkatkan perubahan tingkah laku siswa. Perbedaan hasil belajar siswa dapat diamati setelah siswa memperoleh perlakuan dan selanjutnya diberi tes. Tes dibuat sesuai dengan tingkat kesulitan mulai dari yang paling sederhana hingga yang kompleks. Pembuatan tes sesuai dengan prinsip taksonomi Bloom yang telah direvisi. Gunawan (2008:17) terdapat tiga klasifikasi umum atau ranah yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor. Taksonomi Bloom ranah kognitif yang telah direvisi Anderson dan Krathwohl (2001:66-88) meliputi: 1) mengingat (Remember) atau C1 meliputi usaha mendapatkan kembali pengetahuan dari ingatan yang telah lampau, baik yang baru maupun yang lama. Mengingat dapat berperan penting dalam pembelajaran pemecahan masalah yang kompleks. Contoh kata kerja: menyebutkan, menjelaskan, menghafal, mengurutkan, dan mengaitkan, 2) memahami (Understand) atau C2 meliputi aktifitas menglasifikasikan dan membandingkan dari informasi yang diterima 19 dan kemampuan menjabarkan suatu materi. Contoh kata kerja: menjelaskan, mengategorikan, mencirikan, membandingkan, menguraikan, dan menerangkan, 3) mengaplikasikan (Apply) atau C3 meliuti proses kognitif memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk menyelesaikan permasalahan. Contoh kata kerja: menerapkan, menghitung, menggali, menyusun, dan melatih, 4) menganalisis (Analyze) atau C4 meliputi memecahkan permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dalam menyelesaikan masalah. Contoh kata kerja: menganalisis, memecahkan, menyeleksi, menegaskan, menyimpulkan, dan mengaitkan, 5) mengevaluasi (Evaluate) atau C5 meliputi proses kognitif memberikan penilaian berdasar kriteria dan standar yang telah ditentukan. Contoh kata kerja: membandingkan, menilai, memprediksi, memerinci, dan memproyeksikan, 6) menciptakan (Create) atau C6 meliputi proses kogitif meletakkan unsur-unsur secara bersama-sama serta mengarahkan siswa dalam menciptakan produk-produk baru yang berbeda dari sebelumnya. Contoh kata kerja: mengategorikan, mengombinasikan, merancang, menggeneralisasikan, dan memproduksi. Hasil belajar geografi adalah skor yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes akhir pada mata pelajaran geografi yang meliputi indikator hasil belajar kognitif yaitu mengaplikasikan, menganalisis, dan mengevaluasi. Ranah kognitif yang digunakan dalam penelitian ini hanya meliputi mengaplikasikan (apply) atau C3, menganalisis (analyze) atau C4, dan mengevaluasi (evaluate) atau C5. 20 2. Model Pembelajaran Guru dalam menyampaikan materi dengan berbagai cara guna memudahkan siswa dalam memahami materi yang akan disampaikan. Cara tersebut dapat disesuaikan dengan kemampuan siswa dalam menerima penjelasan guru. Terdapat berbagai cara dalam menyampaikan materi kepada siswa dengan berbagai model pembelajaran. Menurut Rusman (2013: 133) bahwa model pembelajaran dapat dijadikan sebagai pola dalam proses pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam menyampaikan materi secara efektif dan efisien guna tercapainya tujuan pendidikan. Model pembelajaran juga dapat membantu guru dalam menyususn materi yang akan disampaikan kepada siswa. a. Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah atau problem based learning merupakan kegiatan belajar yang berpusat pada siswa (student center) (Etherington, 2011: 37). Siswa dituntut aktif dalam kegiatan belajar mengajar serta dapat meningkatkan hasil belajar. Keaktifan siswa dalam berkelompok membantu siswa dalam bekerjasama serta peningkatan hasil belajar diperoleh melalui permasalahan di dunia nyata secara kontekstual. Sumarmi (2012:148) menyimpulkan pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus terhadap keaktifan siswa dengan mengarahkan siswa menjadi mandiri yang terlibat langsung secara aktif dalam pembelajaran berkelompok. 21 Model pembelajaran berbasis masalah dapat mengubah cara belajar siswa. Siswa menjadi aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan guru sebagai fasilitator. Menurut Sujarwo (2011:152) menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang berlandaskan paradigma konstruktif yang mementingkan siswa dan berorientasi pada proses belajar siswa. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa akan meningkatkan motivasi siswa dalam menggali atau mencari solusi dari permasalahan yang disajikan. Siswa akan lebih bertanggung jawab, karena dipercaya dapat belajar secara mandiri. Masalah yang disajikan oleh siswa atau guru secara kontekstual dan nyata akan meningkatkan pemahaman tersendiri. Ibrahim dan Nur, 2000 dalam (Rusman, 2013:241) pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Belajar dalam pendekatan model pembelajaran berbasis masalah lebih di arahkan pada permasalahan yang ada di sekitarnya sehingga siswa akan berinteraksi secara langsung. Siswa secara mandiri dan berkelompok memperoleh pengalaman-pengalaman yang beragam dari masalah di sekitarnya. Ngalimun (2014:90) melalui pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata 22 pada kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan pemahaman yang kompleks dan meningkatkan hasil belajar. Siswa diarahkan terhadap masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan yang disajikan sesuai dengan permasalahan yang ada di lingkungan siswa sehingga pembelajaran bersifat kontekstual. Pembelajaran ini menekankan pada pemahaman siswa dengan situasi dan kondisi yang dialami. Pembelajaran yang berpusat pada siswa lebih bermakna dan bermanfaat dalam meningkatkan aktifitas dan kemampuan berpikir kritis. Siswa dapat menemukan solusi dengan pemahaman dari permasalahan yang dihadapi. Siswa tidak hanya belajar mengenai materi dan aplikasi bayangan tetapi sesuai dengan kondisi lingkungan siswa. Pengertian model pembelajaran berbasis masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang berfokus pada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis secara mandiri yang terlibat langsung dalam kelompok melalui permasalahan nyata dan kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar. Johnson (2007) dalam Sumarmi (2012:149) mengemukakan tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 1) tahap orientasi siswa pada masalah, 2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, 3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, 4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, 5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Tahapan tersebut dapat meningkatkan ketrampilan dan keaktifan siswa, juga memotivasi dalam 23 pembelajaran sekaligus baik untuk pembelajaran sepanjang hayat (long life learning). Tahapan pembelajaran berbasis masalah menurut Shoimin (2014:131) dijelaskan sebagai berikut. 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan masalah yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Memotivasi siswa yang terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2) Guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. 3) Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai beserta referensireferensi yang mendukung jawaban dari setiap permasalahan, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan, pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah. 4) Guru membantu siswa dalam merencanakan serta menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu siswa berbagi tugas dengan temannya. 5) Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Siswa bersama guru menyimpulkan tentang permasalahan yang telah disajikan dalam kelas, sehingga apabila setiap kelompok mempunyai permasalahan yang berbeda diharapkan semua siswa yang berbeda kelompok mengetahui masalah yang disajikan oleh guru. 24 Tahapan pembelajaran berbasis masalah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut. Tabel 2.1 Tahap (fase) dalam Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap (Fase) Tahap 1 Mengorientasikan siswa masalah Aktivitas Guru pada Tahap 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar Tahap 3 Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi siswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih Membantu siswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi Mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, dan mencari untuk penjelasan dan pemecahan Membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Tahap 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Membantu siswa melakukan refleksi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang digunakan selama berlangsungnya pemecahan masalah Sumber: Arends (2004) dalam Ngalimun (2014:96) b. Ceramah Metode ini termasuk dalam metode tradisional dalam menyampaikan materi di kelas. Penyampaian materi yang dilakukan guru biasanya melalui penuturan lisan atau penjelasan langsung. Guru menyampaikan materi yang telah ada di buku kemudian menjelaskan kepada siswa secara langsung. Guru menyampaikan secara monolog atau searah sehingga pembelajaran berpusat pada guru. Siswa sebagai penerima materi yang bersifat pasif. Guru setelah memberikan ceramah atau penyampaian materi juga ada penugasan individu. Penugasan ini dilakukan setelah semua materi 25 disampaikan ke siswa. Siswa mengerjakan tugas dari guru secara individu. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak ada interaksi antar teman, siswa yang pandai akan semakin pandai sedang siswa yang tidak bisa semakin tidak bisa. Kelebihan metode ceramah menurut Gulo (2002:137) adalah: a) Hemat dalam penggunaan waktu dan alat. Materi yang banyak dapat disampaikan dengan waktu yang singkat. Alat termasuk didalamnya media pembelajaran sangat sederhana, bahkan tanpa menggunakan media proses pembelajaran menggunakan ceramah dapat berlangsung. b) Dapat membangkitkan minat dan antusias siswa. Minat dan antusisas siswa akan muncul dari kepribadian seorang guru. Guru yang mempunyai kepribadian menarik dan berwibawa akan berdampak pada antusias siswa yang tinggi. Kepribadian seorang guru juga tercermin dalam penampilan didalam kelas. Penampilan menjadi sarana komunikasi dengan siswa secara langsung, karena penampilan yang bagus dan sopan dapat memancarkan diri dalam menyampaikan materi. c) Membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan mendengarkan. Mendengarkan materi yang disampaikan oleh guru dengan baik, sehingga melatih siswa untuk konsentrasi dalam menerima materi tersebut. d) Merangsang kemampuan siswa untuk mencari informasi dari berbagai sumber. Guru menyampaikan materi di kelas secara sistematis. Pembelajaran ceramah akan meningkatkan keingintahuan siswa untuk memahami materi yang telah disampaiakan oleh guru. Beberapa materi yang menarik 26 menindaklanjuti siswa untuk mencari materi tersebut diberbagai sumber belajar. e) Mampu menyampaikan pengetahuan yang belum pernah diketahui siswa. Kemampuan akan optimal apabila terdapat tanya jawab antara siswa dan guru. Guru menyampaikan materi sesuai dengan bahan ajar secara sistematis. Materi tersebut belum pernah diketahui siswa sehingga siswa merasa menerima materi dengan mudah karena pembahasan dari guru. Kelemahan-kelemahan metode ceramah menurut Gulo (2002:140) antara lainnya adalah: a) Ceramah cenderung pada pola strategis ekspositorik yang berpusat pada guru. Guru mengalami kesulitan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menerima materi yang telah disampaikan. Siswa yang tidak mendengarkan secara serius akan menimbulkan perbedaan pendapat antara penyampaian guru dengan materi yang diterima siswa. b) Metode ceramah cenderung menempatkan posisi siswa sebagai pendengar dan pencatat. c) Keterbatasan kemampuan pada tingkat rendah. Ceramah hanya dapat mengembangkan kemampuan siswa pada tingkat pengetahuan dan pemahaman. d) Proses ceramah berlangsung menurut kecepatan bicara dan logat bahasa yang dipakai oleh guru. Kecepatan bicara guru dalam metode ceramah mempunyai pengaruh besar dalam menyampaikan materi. Guru yang terlalu cepat dalam menyampaikan materi akan menyulitkan siswa dalam menerima dan merespon materi, sedangkan 27 guru yang terlalu lambat bicaranya mengakibatkan kelas menjadi hening dan ngantuk atau bahkan siswa enggan untuk mendengarkan. Metode ceramah dilandasi oleh teori behaviorisme yang menyatakan adanya perubahan tingkah laku. Slameto (2010:2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Perubahan yang terjadi sebagai hasil setelah siswa belajar melalui metode ceramah. Teori behaviorisme menjadikan siswa pasif dan hanya menerima materi dari guru. Menurut Suyono (2012:70) menyatakan bahwa kedudukan siswa sebagai individu yang pasif yang selalu membutuhkan seorang guru untuk memberikan motivasi belajar dan penguatan dalam proses belajar-mengajar. Motivasi dalam belajar tidak tumbuh dari hati nurani siswa, akan tetapi dari guru. Penguatan materi berasal dari guru, sehingga siswa dianggap tidak mempunyai pengetahuan sebelumnya. Langkah-langkah metode ceramah dalam penelitian ini meliputi: 1) Tahap persiapan, a) merumuskan tujuan yang ingin dicapai, b) Menentukan pokok-pokok materi yang akan disampaikan, c) Mempersiapkan media atau alat bantu, 2) Tahap pelaksanaan: a) Pembukaan, b) Penyajian atau penyampaian materi, c) Penutupan. Penelitian ini menggunakan pengertian pembelajaran ceramah adalah cara yang digunakan guru dalam memberikan materi dengan membaca dan menjelaskan kepada siswa serta penugasan. 28 3. Lingkungan Pedesaan dan Perkotaan Lingkungan sebagai tempat tinggal makhluk hidup guna berlangsungnya kehidupan. Menurut Suwarto (2012:9) lingkungan adalah segala sesuatu yang melengkapi organisme dalam mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan. Lingkungan pedesaan dan perkotaan mempunyai perbedaan besar dalam kehidupan manusia sehingga terjadi interaksi. Lingkungan pedesaan dengan bentang alam berupa persawahan dengan mata pencaharian sebagai petani. Kondisi sosial masyarakat pedesaan masih memegang teguh goyong royong. Lingkungan perkotaan dengan karakteristik wilayah berupa gedung sebagai pusat kegiatan. Kondisi sosial masyarakat perkotaan bersifat individualis. a. Pedesaan Desa identik dengan tempat tinggal petani dengan segala aktivitas pertaniannya. Desa mempunyai lahan yang begitu luas untuk wilayah pertanian dan tidak padat penduduk. (Bintarto, 1983:11) menyatakan desa sebagai suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil perpaduan itu diwujudkan dalam kenampakkan fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur-unsurnya dan juga dalam hubungan dengan daerah lain. Secara umum desa merupakan unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak jauh dari kota. William (1953) dalam Asy’ari (1993:95) mendefinisikan bahwa desa adalah organisasi kehidupan sosial dengan batasan wilayah tertentu. 29 Organisasi sosial menyatakan bahwa desa harus berpenduduk dengan berbagai organisasi-organisasi yang diciptakan oleh masyarakatnya. Masyarakat di setiap wilayah mempunyai budaya dan kebiasaan tersendiri, oleh karena itu batasan wilayah ini yang akan membedakan dengan wilayah lain. Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1979 desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk, sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan mempunyai hak otonomi dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Karakteristik desa akan memberikan gambaran tentang kondisi suatu desa. Menurut Direktorat Jendral Pembangunan Desa ciri-ciri desa sebagai berikut: 1) Perbandingan lahan dengan manusia (man land ratio) cukup besar, 2) lapangan kerja yang dominan adalah agraris, 3) hubungan kekerabatan kuat, 4) sifat-sifat masyarakatnya masih memegang teguh pada tradisi yang berlaku, 5) Gotong royong kuat, dan 6) hubungan antar warga akrab. Penelitian ini menggunakan pengertian lingkungan pedesaan adalah tempat kehidupan masyarakat dengan segala aktivitasnya dengan mata pencaharian sebagai petani. b. Perkotaan Kota dapat diartikan sebagai suatu jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi, diwarnai dengan 30 strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis. Hal yang membedakan desa dengan kota adalah masyarakat agraris, sedang kota non agraris (Bintarto, 1983). Menurut menteri dalam negeri Republik Indonesia No 4/1980 kota adalah wilayah yang mempunyai batas administrasi dan mempunyai ciri non agraris. Karakteristik kota akan memberikan gambaran tentang kondisi suatu kota dengan ciri-ciri. Menurut Direktorat Jendral Pembangunan Desa sebagai berikut: 1) terdapat tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan, super market, pusat perdagangan, 2) terdapatnya pusat-pusat kegiatan, sehingga banyak tempat parkir, 3) tempat rekreasi dan olah raga, 4) pelapisan sosial ekonomi yang tajam, 5) sifat individualistik, 6) adanya heterogenitas kehidupan, 7) hubungan bersifat kepentingan, dan 8) adanya segregasi keruangan, sehingga dapat menimbulkan pengelompokkan. Pengertian yang digunakan dalam penelitian ini lingkungan perkotaan adalah tempat kehidupan dengan batas administrasi wilayah dengan ciri non agraris dengan strata ekonomi yang heterogen. Interaksi antara lingkungan pedesaan dan perkotaan akan mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Pengaruh sosial di lingkungan yang akan berdampak dalam kehidupan dalam bersosialisasi. Sosialisasi menjadi hal utama dalam masyarakat baik di pedesaan dan perkotaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari salah satunya terdapat perbedaan hasil belajar antara lingkungan pedesaan dan perkotaan. 31 B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian relevan yang dapat mendukung penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Arnyana, 2006 penelitian berjudul ”Pengaruh Penerapan Model Belajar Berdasarkan Masalah dan Model Pengajaran Langsung dipandu Strategi Kooperatif terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa SMA”. Hasil dari penelitian mendapatkan kesimpulan bahwa model belajar berdasarkan masalah dapat meningkatkan hasil belajar lebih baik dibandingkan dengan pengajaran langsung, strategi kooperatif GI dapat meningkatkan hasil belajar lebih baik dibandingkan dengan strategi kooperatif STAD, dan interaksi model belajar berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif GI memberikan pengaruh paling baik dalam meningkatkan hasil belajar, diikuti berturut-turut oleh interaksi model belajar berdasarkan masalah dengan strategi kooperatif STAD, dan interaksi model pengajaran langsung dengan strategi kooperatif GI. 2. Fachrurazi, 2011 penelitian berjudul ”Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar”. Hasil dari penelitian mendapat kesimpulan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemapuan berpikir kritis dan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar matematika menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran ceramah ditinaju dari faktor pembelajaran dan level sekolah. Selain itu, berdasarkan data angket memperlihatkan bahwa 32 siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran berbasis masalah sebagian besar bersikap positif terhadap pembelajaran matematika. 3. Purwandari, 2014 penelitian berjudul ”Pengaruh Model Pembelajaran ProbPro-BL terhadap Jiwa Wirausaha Siswa SMK melalui Produksi Eksterior. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan model Prob-Pro BL melalui kegiatan observasi bahan galian, mengukur, dan menentukan berat jenis bahan, mengukur dan menentukan volume rongga beton, menghitung dan menentukan perbandingan campuran beton non pasir (no-fines concrete), dan produksi eksterior berbahan agregat Sungai Logawa berupa kerikil kerisik dan tengu dapat mempengaruhi jiwa wirausaha. Model pembelajaran Prob-Pro BL dapat memberikan pengetahuan kewirausahaan serta mempengaruhi jiwa wirausaha siswa melalui permasalahan nyata di lapangan, yang dilanjutkan dengan proyek membuat eksterior beton tempel dinding menggunakan teknologi no-finesi concrete. 4. Agustina, 2012 dengan judul ”Pengaruh Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Mahasiswa Universitas Kanjuruhan Malang pada Matakuliah Hidrologi”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara nilai rata-rata kelas eksperimen dan kontrol baik pada kemampuan berpikir kritis maupun kreatif. Berdasarkan hasil uji-t kemampuan berpikir kritis pada p-level adalah 0,011 dan kemampuan berpikir kreatif diperoleh sigifikansi pada p-level adalah 0,002. Kedua data p-level tersebut lebih kecil dari signifikansi yaitu 0,05 (p < 0,05). Jadi kesimpulannya ”ada pengaruh model PBM terhadap 33 kemampuan berpikir kritis dan kreatif”. Hasil uji lanjut untuk mengetahui besar pengaruh model PBM terhadap kemampuan berpikir kritis diperoleh nilai yang me-nunjukkan 12% sedangkan kemampuan berpikir kreatif diperoleh nilai 20,7%. 5. Mariam, 2013 dengan judul ”Perbedaan Hasil Belajar pada Sub-Konsep Insekta antara Siswa di Pedesaan dengan Siswa di Pusat Kota Bekasi (Studi Deskriptif terhadap Siswa SMA Kelas X di Bekasi pada Tahun Pelajaran 2006/2007)”. Hasil pengujian dengan memakai uji-t menghasilkan nilai t hitung sebesar 1,816, sedangkan nilai t tabel pada tingkat kepercayaan 95% dengan db = 78 melalui interpolasi menghasilkan nilai 1,667, kriteria pengujian hipotesanya terima H1, jika nilai t hitung > t tabel. Dari hasil di atas, nilai t hitung (1,816) > t tabel (1,667), hal ini berarti tolak H0 dan terima H1. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan hasil belajar pada sub-konsep insekta antara siswa di pedesaan dengan siswa di pusat kota Bekasi pada kelas X SMA pada tahun pelajaran 2006/2007. 6. Pradnyana, 2013 dengan judul ”Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama: terdapat perbedaan motivasi belajar yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran ceramah (F=58,671 dan Sig.=0,000; p<0,05), kedua: terdapat perbedaan prestasi belajar matematika yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran ceramah (F=15,438 34 dan Sig.= 0,000; p<0,05), ketiga: secara simultan terdapat perbedaan motivasi belajar dan prestasi belajar matematika yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mengikuti pembelajaran ceramah (F=35,359 dan Sig.=0,000; p<0,05). 7. Mahendra, 2014 dengan judul ”Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V SD”. Hasil penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan mengenai hasil belajar IPA antara siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran ceramah. Jadi, model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD di gugus XV Kecamatan Buleleng tahun pelajaran 2013/2014. Penelitian ini mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Perbedaan tersebut terletak pada subjek penelitian yaitu siswa dan materi. Siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu Kelas XI-IPS Tahun Pelajaran 2015/2016, sedang materi yang digunakan dalam penelitian meliputi kompetensi dasar aspek kependudukan. Variabel moderator juga mempunyai perbedaan yang akan diteliti, yaitu sekolah pada lingkungan pedesaan dan perkotaan. Sekolah di lingkungan pedesaan yang diambil satu sebagai sampel dan satu dari sekolah di lingkungan perkotaan. Pengambilan sampel sekolah di lingkungan pedesaan dan perkotaan sesuai dengan indikator dalam penentuan lingkungan. 35 C. Kerangka Berpikir Paradigma dalam penelitian ini adalah pembelajaran model berbasis masalah ditinjau dari lingkungan pedesaan dan perkotaan akan lebih efektif dan berpengaruh positif dibandingkan dengan pembelajaran ceramah karena: 1. Perbedaan Hasil Belajar Geografi Kompetensi Dasar Menganalisis Aspek Kependudukan pada Siswa Kelas XI-IPS yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Ceramah Model pembelajaran berbasis masalah lebih menekankan pada keaktifan siswa dalam belajar. Siswa dituntut untuk aktif dan kreatif dalam mencari referensi berkaitan dengan informasi atau masalah yang diberikan oleh guru. Melalui informasi tersebut siswa berusaha menemukan solusi atau jawaban dari setiap permasalahan yang dapat menimbulkan masalah baru dari siswa sendiri. Rasa penasaran dari siswa memberikan pengetahuan tersendiri sehingga siswa selalu mempunyai keinginan untuk belajar dalam menemukan solusi. Model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa akan berpengaruh terhadap hasil belajar geografi. Pengalaman siswa dari rasa ingin tahu yang tinggi dapat berpengaruh terhadap kemampuan dalam berpikir kritis. Kemampuan siswa terus diasah dan dikembangkan yang akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Pembelajaran ceramah yang digunakan guru dalam proses pembelajaran berpusat pada guru. Guru menguasai kelas sehingga siswa cenderung pasif menerima materi yang disampaikan. Siswa kurang memahami secara nyata dan hanya secara abstrak atau dalam teori saja. 36 Uraian di atas dapat diduga bahwa hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada pembelajaran ceramah. 2. Perbedaan Hasil Belajar Geografi Kompetensi Dasar Menganalisis Aspek Kependudukan pada Siswa Kelas XI-IPS di Lingkungan Pedesaan yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Ceramah Lingkungan mempunyai pengaruh dalam menentukan hasil belajar siswa. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh sarana dan prasarana sekolah serta motivasi dari orang tua terhadap keberhasilan siswa. Koleksi buku di perpustakaan yang belum lengkap akan menghambat siswa dalam membaca referensi yang dibutuhkan serta keinginan siswa dalam mencari referensi lain selain pegangan siswa, sehingga siswa akan kesulitan dalam belajar dan akan berpengaruh terhadap hasil belajarnya. Lingkungan pedesaan diketahui sarana dan prasarananya tersebut apabila guru menggunakan model pembelajaran berbasis masalah siswa akan mengalami kesulitan. Siswa lebih mudah menerima pembelajaran dengan ceramah dan tanya jawab. Sehingga hasil belajar siswa di lingkungan pedesaan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah daripada pembelajaran ceramah. Pengaruh teman dalam pergaulan sehari-hari juga memberikan pengaruh besar bagi masa depan siswa. Siswa yang mempunyai teman dengan pendidikan yang ditempuh baik dapat memberikan motivasi dalam belajar, sedang siswa yang mempunyai pergaulan dengan teman yang tidak sekolah akan menghambat prestasi dan semangat sekolah. Hal ini perlu diperhatikan bagi orang tua siswa dan keluarga, karena lingkungan sosial 37 lebih mempunyai pengaruh dalam keberhasilan siswa belajar dan meraih citacita. Dukungan dan perhatian orang tua perlu ditingkatkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Uraian di atas diduga bahwa hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan di lingkungan pedesaan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah daripada ceramah. 3. Perbedaan Hasil Belajar Geografi Kompetensi Dasar Menganalisis Aspek Kependudukan pada Siswa Kelas XI-IPS di Lingkungan Perkotaan yang Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Ceramah Hasil belajar siswa di lingkungan perkotaan dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah akan mempunyai perbedaan dibanding dengan di lingkungan pedesaan. Hal ini dipengaruhi oleh sarana dan prasarana sekolah yang sudah maju yang mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar. Keingintahuan siswa yang tinggi berpengaruh terhadap hasil belajar. Usaha siswa dalam menambah materi pelajaran di luar jam pelajaran dengan mengikuti bimbingan belajar, hal ini akan menambah pengetahuan siswa. Sehingga model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada pembelajaran ceramah. Model pembelajaran berbasis masalah meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Masalah yang disajikan sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan di lingkungan sekitarnya. Model seperti ini dapat membantu siswa dalam menemukan solusi dari permasalahan dan bisa diterapkan di lingkungan tempat tinggalnya. 38 Pembelajaran ceramah melalui tahapan menyampaian materi, penugasan, dan diskusi. Materi yang disampaikan seperti sajian dalam buku pegangan siswa beserta latihannya. Selanjutnya diskusi kelompok secara acak tanpa memperhatikan kemapuan siswa pada nilai sebelumnya. Dari uraian di atas dapat diduga bahwa hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan di lingkungan perkotaan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada ceramah. 4. Terdapat Pengaruh Interaksi antara Model Pembelajaran dengan Lingkungan Pedesaan dan Perkotaan terhadap Hasil Belajar Geografi Kompetensi Dasar Menganalisis Aspek Kependudukan pada Siswa Kelas XI-IPS Hasil belajar geografi di lingkungan perkotaan mempunyai perbedaan dibanding dengan lingkungan pedesaan. Hal ini dipengaruhi oleh sarana dan prasarana dari lingkungan sekolah tersebut. Siswa pedesaan cenderung malas untuk mencari referensi dalam menemukan jawaban. Keingintahuan yang rendah dalam menemukan solusi dari permasalahan yang disajikan guru. Pengaruh interaksi ini juga disebabkan dari lingkungan sosial siswa dalam memilih teman dalam bermain, orang tua, dan guru. Cara memilih teman dalam bergaul juga akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Perbedaan hasil belajar antara siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan ceramah terdapat pengaruh interaksi antara lingkungan pedesaan dan perkotaan terhadap hasil belajar. Interaksi ini disebabkan adanya perbedaan siswa di lingkungan pedesaan dan perkotaan berbeda dalam menerima penyampaian materi dari guru. 39 Dengan demikian diduga bahwa ada pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan lingkungan pedesaan dan perkotaan terhadap hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan. Kerangka berpikir dari penelitian ini digambarkan dalam diagram alir sebagai berikut. Kompetensi Dasar Aspek Kependudukan Pembelajaran yang spasial dan kontekstual Proses pembelajaran inovatif dan kreatif Penggunaan Model Pembelajaran Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Pembelajaran Cermah Lingkungan Pedesaan 1. 2. 3. 4. Perkotaan PBM > Ceramah Di pedesaan PBM < Ceramah Di perkotaan PBM > Ceramah Interaksi antara Model Pembelajaran dan Lingkungan Pedesaan dan Perkotaan Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 40 D. Hipotesis 1. Hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan pada siswa kelas XI-IPS yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada pembelajaran ceramah. 2. Hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan pada siswa kelas XI-IPS di lingkungan pedesaan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah daripada pembelajaran ceramah. 3. Hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan pada siswa kelas XI-IPS di lingkungan perkotaan yang menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada pembelajaran ceramah. 4. Terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dengan lingkungan pedesaan dan perkotaan terhadap hasil belajar geografi kompetensi dasar menganalisis aspek kependudukan pada siswa kelas XI-IPS.