DIKTAT MATA KULIAH SISTEM PEMERINTAHAN LOKAL Oleh : Aan Eko Widiarto, SH, M.Hum Malang 2009 DAFTAR ISI Daftar Isi 1 BAB I PENDAHULUAN DAN KONTRAK BELAJAR 3 1.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 3 1.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 3 1.3 Materi 3 1.3.1 Urgensi Sistem Pemerintahan Lokal 3 1.3.2 Penjelasan Silabi dan SAP 4 1.3. 3 Kontrak Belajar 13 BAB II PILIHAN BENTUK NEGARA 14 2.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 14 2.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 14 2.3 Materi 14 2.3.1 Cita Negara Persatuan 14 2.3.2 Bentuk Negara Kesatuan/Unitary 16 2.3.3 Negara Kesatuan dengan Asas Desentralisasi 17 BAB III PERUBAHAN POLITIK HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN DAERAH 25 3.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 25 3.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 25 3.3 Materi 25 2.3.1 Perubahan Politik Hukum Pengaturan Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945 2.3.2 Paradigma Otonomi Daerah 25 34 BAB IV PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN PASAL 18 UUD NRI 1945 36 4.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 36 4.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 36 4.3 Materi 36 4.3.1 Prinsip-Prinsip Pemerintahan Daerah Pasal 18 UUD NRI 1945 36 4.3.2 Pengaturan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004 BAB V PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH 38 50 5.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 50 5.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 50 1 5.3 Materi 50 5.3.1 Ajaran Rumah Tangga Daerah 50 5.3.2 Teori Residu 50 5.3.3 Asas Keadilan dan Pola Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah 5.3.4 Asas Penghargaan terhadap Pluralistik 52 53 5.3.5 Implementasi Pembagian Kewenangan dan Instrumen Pelaksananya BAB VI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH 53 55 6.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 55 6.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 55 6.3 Materi 55 6.3.1 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Politik 55 6.3.2 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Ekonomi 55 6.3.3 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Sosial Budaya 56 6.3.4 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Hukum 56 6.3.5 Perubahan ke Depan 56 BAB VII SISTEM PEMERINTAHAN DESA 58 7.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum 58 7.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus 58 7.3 Materi 58 7.3.1 Perubahan Politik Hukum Regulasi Pemerintahan Desa 7.3.2 Hubungan Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah 58 62 7.3.3 Penghargaan Terhadap Keanekaragaman Pemerintahan Adat 63 7.3.4 Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Perwakilan Desa 63 7.3.5 Pertanggung Jawaban Kepala Desa 64 2 BAB I PENDAHULUAN DAN KONTRAK BELAJAR 1.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat dapat menjelaskan pentingnya Sistem Pemerintahan Lokal dan dapat menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran Sistem Pemerintahan Lokal. 1.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus a. Mahasiswa dapat memahami urgensi/pentingnya Sistem Pemerintahan Lokal; b. Mahasiswa dapat memahami Silabi dan SAP; c. Mahasiswa dapat menyepakati Kontrak Belajar. 1.3 Materi 1.3.1 Urgensi Sistem Pemerintahan Lokal Perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai implikasi yuridis amandemen UUD 1945 menuntut perubahan paradigma dan pemahaman komprehensif mahasiswa hukum terhadap tata pemerintahan lokal. Alih-alih setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakibatkan berubahnya struktur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengaturan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, dan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya menjadi tidak berlaku. Pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diarahkan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip 3 demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga dalam rangka efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Kemampuan mahasiswa untuk memahami perubahan tata pemerintahan daerah baik dari aspek paradigma, teori hingga praktek pemerintahannya menjadi sangat penting melalui mata kuliah Sistem Pemerintahan Lokal. Sistem Pemerintahan Lokal merupakan mata kuliah yang memandang pemerintahan daerah dari aspek hukum, asas, teori, serta konsep-konsep tata pemerintahan daerah atau struktur ketatapemerintahan daerah. Setelah menempuh mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami asas, teori dan hukum tata pemerintahan untuk menganalisis problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. 1.3.2 Penjelasan Silabi dan SAP A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : SISTEM PEMERINTAHAN LOKAL STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS :2 B. DESKRIPSI MATA KULIAH Sistem Pemerintahan Lokal merupakan mata kuliah yang memandang pemerintahan daerah dari aspek hukum, asas, teori, serta konsep-konsep tata pemerintahan daerah atau struktur ketatapemerintahan daerah. C. KOMPETENSI MATA KULIAH Mahasiswa mampu memahami asas, teori dan hukum tata pemerintahan untuk menganalisis problematika penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. D. LEVEL KOMPETENSI 1. LEVEL KOMPETENSI I : PENDAHULUAN DAN KONTRAK BELAJAR a. Urgensi Sistem Pemerintahan Lokal; b. Penjelasan Silabi dan SAP; c. Kontrak Belajar. 2. LEVEL KOMPETENSI II : PILIHAN BENTUK NEGARA a. Cita Negara Persatuan b. Bentuk Negara Kesatuan c. Negara Kesatuan dengan asas desentralisasi 3. LEVEL KOMPETENSI III: PERUBAHAN POLITIK HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN DAERAH a. Era UUD 1945 periode I b. Era Konstitusi RIS c. Era Konstitusi Sementara 4 d. Era UUD 1945 pasca Dekrit hingga tahun 1966 e. Era Orde Baru - masa konsolidasi 1966-1970 - masa stabilisasi 1979 – 1980 (Perumusan Politik Hukum) - masa pertumbuhan 1980 – 1990 - masa pemerataan & globalisasi 1990-1998 f. Perumusan Politik Hk dalam TAP XV/MPR/1998 g. Amandemen UUD 1945: 1. Perumusan Paradigma bernegara. 2. Pengaturan Pradigma Otonomi Daerah: - Pemilihan KDH secara langsung. - Pemilihan Umum DPRD dengan sistem proporsional Terbuka. - Sistem Pemerintahan soft bicameral. - Jaminan Hak-hak masyarakat adat/daerah dalam Konstitusi. - Jaminan prinsip keadilan dalam pengelolaan Sumber Daya Nasional. - Jaminan terhadap sistem hukum lokal. 3. Dua kamar parlemen Indonesia. 4. LEVEL KOMPETENSI IV: PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH PASAL 18 UUD 1945 a. Prinsip pembagian daerah. b. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas musyawarah. c. Prinsip penghargaan terhadap hak asal usul bersifat istimewa. d. Bentuk susunan pemerintahan asli (Self Bestrlschf & Volk Gemenschf). e. Pemerintahan otonomi dan administrasi belaka. f. Pengaturan pemerintahan daerah dalam UU 22/1999 dan 32/2004. 5. LEVEL KOMPETENSI V: PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT- DAERAH a. Ajaran Rumah Tangga Daerah b. Teori Residu c. Asas Keadilan dan Pola Perimbangan Keuangan PusatDaerah d. Asas Penghargaan terhadap Pluralistik e. Implementasi Pembagian Kewenangan dan Instrumen Pelaksanannya. 6. LEVEL KOMPETENSI VI: IMPLIKASI OTONOMI DAERAH a. Implikasi otonomi daerah di bidang politik. b. Implikasi otonomi daerah di bidang ekonomi. c. Implikasi otonomi daerah di bidang sosial budaya. d. Implikasi otonomi daerah di bidang hukum. 7. LEVEL KOMPETENSI VII: SISTEM PEMERINTAHAN DESA a. Perubahan politik hukum dalam Pemerintahan Desa. b. Hubungan Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah. c. Penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. d. Hubungan Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa. e. Pertanggung jawaban Kepala Desa. f. Akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. 5 E. 1. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI I PENDAHULUAN DAN KONTRAK BELAJAR Waktu: Minggu I / Pertemuan ke-1 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Urgensi Sistem Pemerintahan Lokal; b. Penjelasan Silabi dan SAP; c. Kontrak Belajar. TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Pengenalan tujuan, maksud dan metode perkuliahan b. Ruang lingkup perkuliahan INDIKATOR HASIL BELAJAR : a. Mahasiswa dapat menjelaskan pentingnya Sistem Pemerintahan Lokal. b. Mahasiswa dapat menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran Pemerintahan Lokal. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi; c. Penugasan pengumpulan Pemerintahan Lokal. bahan/materi sebagai referensi kuliah Sistem Sistem EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur I (T1) BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 6 E. 2. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI II PILIHAN BENTUK NEGARA Waktu: Minggu II/ Pertemuan ke-2 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Cita Negara Persatuan b. Bentuk Negara Kesatuan c. Negara Kesatuan dengan asas desentralisasi TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Mahasiswa memahami cita negara persatuan dan bentuk negara kesatuan; b. Mahasiswa memahami kerangka negara kesatuan yang menggunakan asas desentralisasi. INDIKATOR HASIL BELAJAR : a. Mahasiswa dapat menjelaskan cita negara persatuan dan bentuk negara kesatuan; b. Mahasiswa dapat menjelaskan kerangka negara kesatuan yang menggunakan asas desentralisasi. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi. EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur I (T1). BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 7 E. 3. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI III PERUBAHAN POLITIK HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN DAERAH Waktu: Minggu III, IV dan V/ Pertemuan ke-3 hingga ke 5 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Era UUD 1945 periode I b. Era Konstitusi RIS c. Era Konstitusi Sementara d. Era UUD 1945 pasca Dekrit hingga tahun 1966 e. Era Orde Baru: 1. masa konsolidasi 1966-1970 2. masa stabilisasi 1979 – 1980 (Perumusan Politik Hukum) 3. masa pertumbuhan 1980 – 1990 4. masa pemerataan dan globalisasi 1990-1998 f. Perumusan Politik Hk dalam TAP XV/MPR/1998 g. Amandemen UUD 1945: h. Perumusan Paradigma bernegara. 1. Pengaturan Pradigma Otonomi Daerah: - Pemilihan KDH secara langsung. - Pemilihan Umum DPRD dengan sistem proporsional Terbuka. - Sistem Pemerintahan soft bicameral. - Jaminan Hak-hak masyarakat adat/daerah dalam Konstitusi. - Jaminan prinsip keadilan dalam pengelolaan Sumber Daya Nasional. - Jaminan terhadap sistem hukum lokal. 2. Dua kamar parlemen Indonesia. TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Mahasiswa mampu memahami perubahan politik hukum pengaturan pemerintahan daerah sejak tahun 1945 hingga saat ini; b. Mahasiswa mampu memahami paradigma otonomi daerah. INDIKATOR HASIL BELAJAR: a. Mahasiswa dapat perubahan politik hukum pengaturan pemerintahan daerah sejak tahun 1945 hingga saat ini; b. Mahasiswa dapat menjelaskan paradigma otonomi daerah. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi. EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur I (T1). 8 BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 E. 4. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI IV PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH PASAL 18 UUD 1945 DAN PENJELASANNYA (SEBELUM DIAMANDEMEN) Waktu: Minggu VI, VII/ Pertemuan ke- 6, 7 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Pasal 18 yang singkat dan multi tafsir. b. Prinsip pembagian daerah. c. Prinsip penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas musyawarah. d. Prinsip penghargaan terhadap hak asal usul bersifat istimewa e. Bentuk susunan pemerintahan asli (Self Bestrlschf & Volk Gemenschf). f. Pemerintahan otonomi dan administrasi belaka. g. Pengaturan pemerintahan daerah dalam UU 22/1999 dan 32/2004. TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Mahasiswa dapat memahami prinsip-prinsip pemerintahan daerah pasal 18 uud 1945 dan penjelasannya (sebelum diamandemen); b. Mahasiswa dapat membedakan pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004. INDIKATOR HASIL BELAJAR: a. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip pemerintahan daerah pasal 18 uud 1945 dan penjelasannya (sebelum diamandemen); b. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi 9 EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur II (T2). BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 E. 5. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI V PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT- DAERAH Waktu: Minggu VIII dan IX/ Pertemuan ke-8 dan ke-9 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Ajaran Rumah Tangga Daerah b. Teori Residu c. Asas Keadilan dan Pola Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah d. Asas Penghargaan terhadap Pluralistik e. Implementasi Pembagian Kewenangan dan Instrumen Pelaksanannya. TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Mahasiswa dapat memahami teori pembagian kewenangan pusat dan daerah; b. Mahasiswa memahami implementasi pembagian kewenangan dan instrumen pelaksanannya. INDIKATOR HASIL BELAJAR: a. Mahasiswa dapat menjelaskan teori pembagian kewenangan pusat dan daerah; b. Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi pembagian kewenangan dan instrumen pelaksanannya. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur II (T2). 10 BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 E. 6. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI VI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH Waktu: Minggu X/ Pertemuan ke-10 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Implikasi otonomi daerah di bidang politik. b. Implikasi otonomi daerah di bidang ekonomi. c. Implikasi otonomi daerah di bidang sosial budaya. d. Implikasi otonomi daerah di bidang hukum. TUJUAN PEMBELAJARAN : Mahasiswa dapat memahami implikasi otonomi daerah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. INDIKATOR HASIL BELAJAR: Mahasiswa dapat menjelaskan implikasi otonomi daerah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur II (T2). 11 BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 E. 7. Mata Kuliah: Sistem Pemerintahan Lokal LEVEL KOMPETENSI VII SISTEM PEMERINTAHAN DESA Waktu: Minggu XI dan XII / Pertemuan ke-11 dan ke-12 SUB-SUB KOMPETENSI : a. Perubahan politik hukum regulasi pemerintahan Desa. b. Hubungan Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah. c. Penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. d. Hubungan Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa. e. Pertanggung jawaban Kepala Desa. f. Akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. TUJUAN PEMBELAJARAN : a. Mahasiswa dapat memahami perubahan politik hukum regulasi pemerintahan Desa. b. Mahasiswa dapat memahami sistem pemerintahan desa. c. Mahasiswa dapat memahami penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. d. Mahasiswa dapat memahami akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. INDIKATOR HASIL BELAJAR a. Mahasiswa dapat menjelaskan perubahan politik hukum regulasi pemerintahan Desa. b. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem pemerintahan desa. c. Mahasiswa dapat menjelaskan penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. d. Mahasiswa dapat menjelaskan akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. METODE PEMBELAJARAN : a. Ceramah; b. Diskusi. 12 EVALUASI : Keaktifan mahasiswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu komponen penilaian Tugas Terstruktur II (T2). BAHAN PUSTAKA: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dadang Solihin, Kamus Istilah Otonomi Daerah, ISMEE, Jakarta, 2002 Dadang Juliantara, Pembaharuan Desa, Lappera, Yogyakarta, 2003 HAW Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 Indra J Piliang, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 2003 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Fisipol UGM, Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Yogyakarta, 1993 R. Herlambang Perdana, Penindasan atas nama Otonomi, Pustaka Pelajar-LBH Surabaya, Yogyakarta, 2001 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Fokus Media, 2003 Taliziduhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta, 1981 1.3. 3 Kontrak Belajar Dalam kontrek belajar ini diharapkan adanya kesepakatan antara Dosen dengan Mahasiswa tentang : -Metode Pembelajaran; - Materi Pembelajaran; - Etika Pembelajaran; dan - Waktu Pembelajaran. 13 BAB II PILIHAN BENTUK NEGARA 2.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat memahami cita negara persatuan dan bentuk negara kesatuan, serta dapat memahami kerangka negara kesatuan yang menggunakan asas desentralisasi. 2.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus a. Mahasiswa dapat memahami cita negara persatuan dan bentuk negara kesatuan; b. Mahasiswa dapat memahami kerangka negara kesatuan yang menggunakan asas desentralisasi. 2.3 Materi 2.3.1 Cita Negara Persatuan “Cita Negara”terjemah dr “Staatsidee”. Supomo: “dasar pengertian negara” atau “aliran pikiran negara”. Oppenheim (ahli HTN dan HAN): “hakekat yang paling dalam dari negara” sebagai ”kekuatan yang menbentuk negara-negara” Bierens De Haan: negara adalah produk dari pertumbuhan paguyuban masyarakat dalam memenuhi kehendaknya mengorganisasikan diri ke dalamnya. Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Imanuel Kant, dll): (berangkat dari gambaran manusia sebagai individu yang terlepas dari hubungan masyarakat mengadakan perjanjian membentuk dan menunjuk penguasa yang membawa mereka terikat dalam suatu paguyuban. 14 Bagir Manan Masuknya kolonial ke bumi nusantara bukanlah masuk kewilayah/lahan yang kosong, tetapi sudah terbentuk pranatapranata sosial masyarakat. Pranata-pranata sosial sebagai bentuk pemerintahan asli Indonesia oleh pemerintah penjajah tidak dihapuskan, tetapi dibiarkan hidup berkolaborasi dengan system yang dibangun pemerintah penjajah. Sejarah cita negara bangsa Indonesia: membentuk negara dengan struktur sosial asli Indonesia namun juga modern mengikuti perkembangan dan tuntutan jaman. Penyusun UUD 1945 berpendapat “Cita Negara Indonesia” (Indonesia Staatsidee) haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia (devolksgemeenschapsidee) sendiri. Pembukaan UUD NRI 1945“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” Penjelasan umum (sekarang sudah dihapus) menjelaskan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan : “Negara begitu bunyuinya – “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan ini diterima aliran negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. 15 2.3.2 Bentuk Negara Kesatuan/Unitary Bentuk Negara 1. 2. Negara kesatuan(unitarian) : Dalam suatu negara hanya ada satu pemerintahan pusat yang berwenang mengatur seluruh wilayah yang dibagi dalam daerah-daerah Negara serikat Suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang merdeka dan berdaulat,dengan penggabungan tersebut ada penyerahan sebagian kekuasaan(limitatif)ke negara serikat. Perbedaanya • Kesatuan Kekuasaan asli negara berasal & berada pada pusat yang sebagian diserahkan kepada daerah • Serikat Kekuasaan asli negara berasal dari negara bagian yang sebagian diserahkan ke negara serikat Sistem pelaksanaan pemerintahan pada negara kesatuan • Sentralisasi dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat, dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya • Desentralisasi Daerah-daerah(daerah otonom) diberi kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus rumah tangga sendiri (urusan otonom) 16 Konteks Indonesia 1. 2. Indonesia berbentuk negara kesatuan Dasar hukumnya : Pasal 1 UUD 45,Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. **) (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **) (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **) (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **) 2.3.3 Negara Kesatuan dengan Asas Desentralisasi Asas Negara Kesatuan: sentralistik Kewenangan menjalankan kekuasaan pemerintahan ada pada pemerintah pusat Pemerintahan dalam negara merupakan satu sistem hirarkhi dari pemerintah tertinggi sampai terendah Penyelenggara dan penanggung jawab pemeritahan pada Presiden Desentralisasi – Asas Pemerintahan Penyerahan kewenangan menjalankan urusan pemerintahan dari pemerintah kepada daerah Daerah yang menerima penyerahan kewenangan menjadi daerah otonom Kewenangan yang diberikan menjadi isi otonomi daerah 17 Desentralisasi dlm NKRI Alasan filosofis desentralisasi Indonesia adalah Negara Hukum Didalam Negara Hukum terdapat pemencaran kekuasaan/kewenangan Daerah otonom merupakan bentuk pemencaran kewenangan Desentralisasi dlm NKRI Indonesia adalah negara demokrasi Demokrasi menghendaki keterlibatan rakyat dalam menjalankan pemerintahan Otonomi daerah merupakan perwujudan keterlibatan rakyat dalam pemerintahan di daerah Desentralisasi dlm NKRI Indonesia negara pluralistik Otonomi daerah merupakan perwujudan penghargaan terhadap pluralistik Desentralisasi dlm NKRI Indonesia negara kesejahteraan Otonomi daerah mempercepat pemenuhan kebutuhan masyarakat 18 DESENTRALISASI URUSAN PEMERINTAHAN BEPEKA DPR DEKONSENTRASI PRESIDEN DESENTRALISASI INSTANSI VERTIKAL DAERAH OTONOM MPR MA DELEGASI (DESENTRALISASI FUNGSIONAL) BADAN PENGELOLA, BUMN, OTORITA TUJUAN DESENTRALISASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI PEMERINTAH DAERAH PELAYANAN PUBLIK Akuntabel Efektif Efisien Ekonomis Tujuan Politis Tujuan Kesejahteraan 19 APA ITU OTONOMI LUAS ? ISI OTONOMI FILOSOFI 1.PEMDA ADA ADA RAKYAT PELAYANAN RAKYAT 1. PELAYANAN KEBUTUHAN POKOK 2. PELAYANAN PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN KARENA 2. RAKYAT MEMBERIKAN POLITICAL LEGITIMASI PADA WAKIL RAKYAT OUTPUT 1. PUBLIC GOODS 2. PUBLIC REGULATIONS Penjabaran Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI Dikirim/ditulis pada 5 March 2008 oleh Legalitas Oleh: Ichlasul Amal (Prof. DR.) 1. Secara umum ada dua jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi demokratik (Democratic decentralization). Dekonsentrasi adalah suatu proses di mana departemen pusat menyerahkan fungsi dan tugas khusus pada pejabat lapangan di daerah-daerah. Wewenang dan otoritas anggaran dan administrasi tetap berada di pemerintah pusat. Otonomi pada periode Orde Baru lebih banyak berbentuk dekonsentrasi, sedangkan pada pasca Orde Baru sekarang ini, otonomi daerah dimaksudkan berbentuk desentralisasi demokratik. Prinsip desentralisasi demokratik adalah bahwa pemerintah lokal bertanggung jawab pada warganya melalui pemilu yang teratur ataupun melalui mekanisme yang lain seperti pers bebas dan masyarakat madani (civil society) yang matang. Dalam kerangka ini otonomi daerah saat ini hanya mungkin berkembang dalam konteks tata pemerintahan nasional yang baik (national democratic governence). Dalam kriteria semacam ini, kita dapat memastikan bahwa otonomi daerah di Indonesia saat ini masih berada pada periode transisi menuju desentralisasi demokratik. Dalam kaitan ini sejumlah pakar mengingatkan bahwa otonomi yang berhasil adalah yang dapat meningkatkan efisiensi dan respon sektor publik serta dapat mengakomodasi potensi meledaknya kekuatan-kekuatan politik. Sebaliknya 20 otonomi yang gagal adalah yang mengancam stabilitas politik dan ekonomi serta mengacaukan pelaksanaan pelayanan umum. 2. Persoalan otonomi daerah dalam perpolitikan Indonesia telah ada sejak Indonesia merdeka. Tarik menarik tentang otonomi daerah antara kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi dalam setiap periode pemerintahan dan ini tercermin dalam undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah yang dihasilkannya. Sebagai contoh, ketika terjadi pergolakan daerah PRRI/PERMESTA pada pertengahan tahun 50-an, salah satu tuntutan mereka yang utama adalah peningkatan porsi otonomi daerah bagi kepentingan daerah baik dalam hal kewenangan politik maupun ekonomi. Pada awal Orde Baru, tuntutan otonomi daerah yang seluas-luasnya muncul kembali. Ini disebabkan oleh dorongan opini masyarakat pada umumnya saa itu yang berpendapat bahwa rezim sebelumnya (Orde Lama) secara politik terlalu sentralistik sementara kebutuhan ekonomi daerah diterlantarkan. Bentuk tuntutan pada waktu itu adalah agar daerah diberi “alokasi devisa otonomi” (ADO) yang berupa devisa hasil ekspor di pelabuhan-pelabuhan daerah dan pembentukan sejumlah propinsi baru. Aspek ekonomi otonomi daerah mencuat menjadi fokus kebijakan pemerintah pusat setelah “boom” minyak tahun 1973 dan penyusunan APBN didasarkan pada pinjaman luar negeri. Dalam konteks emonomi-politik semacam ini kemudian dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam salah satu pasalnya, UU ini menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada tingkat II (kabupaten dan kodya), tetapi dalam pelaksanaannya semuanya dikendalikan pusat. Karena itu secara politik UU ini dikenal sangat sentralistik, sementara penyebaran dana pembangunan ke daerah-daerah dilakukan dalam bentuk sistem pendanaan Inpres (Instruksi Presiden) yang ditentukan sepenuhnya oleh pusat. 3. Dengan kebijakan seperti itu rezim Orde Baru telah menciptakan ketergantungan yang sangat besar keuangan daerah pada pusat. Hampir 90% dari seluruh penerimaan dalam negeri dikuasai oleh pusat, sementara pembiayaan unit-unit di bawahnya 60%nya tergantung pada atau dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Dibandingkan dengan keadaan di banyak negara sedang berkembang lainnya –terlepas apakah bentuk negara tesebut negara kesatuan atau federal – ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat seperti itu agak aneh (berlebihan). Ketergantungan yang berlebihan daerah terhadap pusat yang cukup lama telah membungkam munculnya inisiatif dan kewirausahaan lokal dan menciptakan pemborosan dan tidak efisien dalam menggunakan sumber daya 21 publik. Walaupun demikian, di samping kelemahan yang berlipat-lipat dari sistem pemerintahan yang sentralistik, keuntungan yang utama sistem sentralistik Orde Baru adalah kemampuannya mengurangi kesenjangan dengan cara melaksanakan kebijakan pemerataan (equisation) antar daerah, yakni dengan melakukan kebijakan Inpres dalam pembiayaan pembangunan daerah. 4. Reformasi yang menyebabkan lengsernya kekuasaan yang monolitik, dari Suharto ke Habibie, menggeser secara ekstrim pendulum sentralisasi ke desentralisasi. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah yang dibuat secara tergesa-gesa untuk memenuhi tuntutan politik reformasi pemerintahan daerah pada dasarnya menganut prinsip “federal”. Daerah memiliki kekuasaan otonomi untuk semua fungsi pemerintahan kecuali lima hal yang masih di tangan pusat yaitu : Politik Luar Negeri, Keamanan dan Pertahanan, Moneter, Agama dan Kehakiman. Keluhan dan kritik terhadap pelaksanaan kedua UU ini sebagai manifestasi reformasi politik dan ekonomi di pusat yakni kedua UU ini dianggap sebagai bagian dari demokrasi yang “kebablasan”. Di sejumlah daerah terutama yang kaya dengan sumber alam ketidakpuasan atas pembagian hasi tambang (minyak, batubara, gas dll) dapat berbentuk tuntutan untuk “merdeka”. Ini yang terjadi di Aceh, Riau, Papua, walaupun untuk Aceh dan Papua ada elemenelemen lokal lain yang mendukung tuntutan merdeka tersebut. Untuk Papua dan Aceh yang tuntutannya untuk merdeka diikuti dengan gerakan-gerakan bersenjata, pemerintahan pusat mengakomodasinya dengan memberikan “otonomi khusus”. Fenomena seperti inilah yang menyebabkan mengapa pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang dibuat pada saat eforia reformasi dianggap sebagai penyebab timbulnya disintegrasi. Penyederhanaan pandangan atas gejala disintegrasi ini membangkitkan ingatan sejumlah orang atas terjadinya gerakan “separatis” pemberontakan daerah PRRI/PERMESTA. 5. Pandangan bahwa UU tentang otonomi daerah akan menimbulkan gerakangerakan disintegrasi menjadi pandangan yang dominan di antara para pakar dan praktisi politik. Pedebatan tentang apakah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 perlu diamandemen atau tidak, menimbulkan dua kubu yang pro dan kontra. Yang pro tidak perlu diamandemen didukung oleh asosiasi kabupaten dan kota terutama dari daerah-daerah yang kaya sumber alam, karena mereka merasa mendapat subsidi DAU dari pusat yang cukup dan memperoleh dana perimbangan keuangan yang dapat mereka belanjakan sekehendak mereka. Kelompok yang kontra dan menuntut dilakukannya amandemen terdiri dari asosiasi gubernur yang merasa bahwa dengan UU No. 22 Tahun 1999 22 menekankan otonomi lebih pada kabupaten dan kota, sementara mereka kurang memiliki wewenang koordinasi atas unit otonomi di bawahnya (kabupaten, kota) bahkan tidak bisa intervensi bila terjadi permasalahan di wilayah otoritasnya. Kelompok ini juga didukung oleh deparetmen-departemen pusat terutama Departemen Dalam Negeri yang akses kontrolnya sangat berkurang dengan adanya UU No.22 Tahun 1999. 6. Bagi partai politik dan birokrat pemerintahan di pusat pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 membuat organ-organ di bawahnya lebih independen dan sering tidak mau mengikuti arahan dari pusatnya terutama untuk partai yang anggotanya duduk di DPRD yang sering membuat kebijakan tanpa konsultasi pada DPD-nya, terutama dalam pembuatan APBD dan dalam pemilihan kepala daerah. Itulah sebabnya DPR pusat secara cepat menyetuui amandemen UU No.22 Tahun 1999 terutama yang mengyangkut pemilihan secara langsung kepala daerah (Pilkada). Sementara birokrasi pusat menginginkan wewenang koordinasi dan pengawasan gubernur dan pusat pada kabupaten dan kota lebih besar. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 akhirnya diganti denagn UU No. 32 Tahun 2004 dan UU NO. 33 Tahun 2004 yang orang mengatakan bahwa elemen resentralisasinya sangat kuat dalam UU ini. Dalam hal anggaran, anggaran dekonsentrasi semakin besar yang berarti fungsi koordinasi dan pengawasan gubernur atas unit-unit pemerintahan di bawahnya semakin besar, demikian juga dana departemen pusat yang dilewatkan melalui dana dekonsentrasi juga bertambah besar. Gubernur menjadi katalisator pusat dalam menghadapi kabupaten dan kota. 7. Apa yang bisa menjadi pelajaran dari otonomi daerah sejak reformasi yaitu UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 33 Tahun 2004. Adakah otonomi daerah telah mencapai tujuannya yaitu mampu meningkatkan pelayanan pada masyarakat dan menambah kesejahteraan masyarakat. Ini sulit dijawab, kalaupun jawabannya ya, maka hal itu sangat sporadik dan individual. Bahkan menurut hasil studi tentang desentralisasi di sejumlah negara menunjukkan bahwa pengaruh desentralisasi/ otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi sangat rendah. Lalu, apa yang perlu diperhitungkan dan diantisipasi dalam menyusun aturan dan UU tentang otonomi daerah di masa depan agar tidak mengarah ke disintegrasi bangsa. (Perlu diketahui bahwa disintegrasi bisa terjadi di negara yang berbentuk federal maupun yang berbentuk kesatuan). Satu hal penting yang perlu dirancang dengan seksama untuk menjada kohesi (intgrasi) daerah adalah skema equalisasi (equalization scheme) yang dapat mengurangi dan bahkan menghapuskan 23 disparatis antar daerah. Skema equalisasi ini pada jaman rezim Orde Baru pernah dilaksanakan walau tidak sepenuhnya selalu berhasil. Kebijakan membuat skema seperti ini harus diartikan secata luas dan dikaitkan dengan kebijakan politik yang mendasar agar kebijkan tersebut dapat menjadi bagian dari mekanisme resolusi konflik yang dipilih oleh pemerintah. Baru-baru ini presiden SBY menyatakan dalam pidatonya di muka sidang paripurna DPD bahwa di masa datang akan diatur jumlah DAU untuk daerah yang tidak menerima dana perimbangan keuangan akan diperbesar sementara DAU untuk daerah yang menerima perimbangan keuangan akan diperbesar. Ini adalah contoh dari pelaksanaan skema equalisasi, tetapi sejauh mana kebijakan ini bisa direalisasikan tanpa menimbulkan gejolak, marilah kita tunggu bersama. 24 BAB III PERUBAHAN POLITIK HUKUM PENGATURAN PEMERINTAHAN DAERAH 3.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat memahami perubahan politik hukum pengaturan pemerintahan daerah sejak tahun 1945 hingga saat ini, dan mampu memahami paradigma otonomi daerah. 3.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus c. Mahasiswa dapat memahami perubahan politik hukum pengaturan pemerintahan daerah sejak tahun 1945 hingga saat ini; d. Mahasiswa dapat menjelaskan paradigma otonomi daerah. 3.3 Materi 2.3.1 Perubahan Politik Hukum Pengaturan Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945 Pengaturan Otonomi Daerah Akibat dari perubahan setting politik: UU No 1 Tahun 1945 UU No 22 Tahun 1948 UU No 1 Tahun 1957 UU No 18 Tahun 1965 UU No 19 Tahun 1965 UU No 5 Tahun 1974 UU No 5 Tahun 1979 UU No 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004 25 KEBIJAKAN DESENTRALISASI DARI WAKTU KE WAKTU 32/2004 UU 22 / 1999 desentralisasi dominan UU 5 / 1974 dekonsentrasi dominan UU 18 / 1965 desentralisasi dominan PENPRES 6 / 1959 dekonsentrasi dominan UU 1 / 1957 desentralisasi dominan UU 22 / 1948 desentralisasi dominan UU 1 / 1945 dekonsentrasi dominan DESENTRALISATIE WET 1903 dekonsentrasi dominan Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam Pasal 18 UUD 1945 1. Pembagian Daerah di Indonesia atas besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa. 2. karena negara Indonesia itu suatu ”eenheidstaat” (negara kesatuan), maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat ”staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom (streek dan locale rechstgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka ; 26 Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1948 1. Daerah-daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: a. Daerah otonom (biasa), dan b. Daerah istimewa 2. tiga tingkatan dalam setiap jenis daerah, yakni: a. provinsi, yang berada dibawah pengawasan presiden b. kabupaten/kota besar, dibawah pengawasan provinsi dan c. desa/kota kecil, dibawah pengawasan kabupate/kota besar 3. Tiap daerah mempunyai dua macam kekuasaan, yaitu: a. otonomi, ialah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya, b. Medebewind (sementara), ialah hak menjalankan peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak atasan itu. Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1957 Undang-undang ini dibentuk dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 UUDS RI. Berdasar ketentuan Undang-undang ini wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dar atas ke bawah adalah: 1. Daerah Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya 2. Daerah Tingkat I termasuk Kotapraja 3. Daerah Tingkat III 27 Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 1. Pemerintahan Daerah Tingkat I dan II terdiri dari kepala daerah termasuk kepala daerah istimewa Yogyakarta (dibantu oleh Badan Pemerintahan Harian-BPH) dan DPRD 2. pengawasan dan pelaksanaan pemerintahan daerah berada dalam satu tangan yaitu Kepala Daerah. Kedudukan Kepala Daerah disini sangat kuat, karena ia tak hanya menjadi kepala eksekutif tetapi juga menjadi kepala legislatif. 3. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah dibantu oleh suatu Badan Pemerintah Harian (BPH). Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 18 Tahun 1965 Undang-undang No. 18 Tahun 1965 ini merupakan gabungan dari segala pokok-pokok (unsur-unsur) pemerintahan daerah yang diatur dalam peraturan yang ada sebelumnya. Undangundang ini mengatur: 1. Pembagian Negara Kesatuan RI dalam daerah-daerah dan tersusun dalam tiga tingkatan antara lain sebagai berikut: • provinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat I; • Kabupaten dan/atau Kotamadaya sebagai Daerah ingkat II; • Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III 2. Pemerintah daerah terdiri dari: • Kepala daerah • Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 28 Politik hukum Otoda TAP MPR No. IV/1973 Melancarkan pelaksanaan pembangunan Membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa Kerasian pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Pelaksanaan bersama dengan dekonsentrasi. Pengarahan-pengarahan pelaksanaan otonomi daerah: Harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa Harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar negara kesatuan. Harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. 29 Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974 1. Politik Desentralisasi dan Dekonsentrasi UUD 1945 Pasal 18 mengharuskan pemerintah untuk melaksanakan politik desentralisasi di bidang ketatanegaraan, yang menegaskan bahwa: daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, dan akan dibagi pula dalam daerahyang lebih kecil; daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi belaka. 2. Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya. 3. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabatnya di daerah. 4. Pembagian Wilayah Dalam menjalanknpemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah-daerah otonom dan wilayah administratif 5. Daerah Otonom Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Titik berat otonomi daerah diletakan pada Daerah Tingkat II 6. keuangan Daerah: Sumber pendapatan daerah: a. Pendapatan asli daerah sendiri, yang terdiri dari: 1) hasil pajak daerah; 2) hasil retribusi daerah; 3) hasil perusahaan daerah. b. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah yang terdiri dari: 1) sumbangan dari Pemerintah Pusat; 2) sumbangan-sumbangan lain. c. Lain-lain pendapatan yang sah. Uang daerah disimpan pada kas daerah atau Bank Pembangunan Daerah. 30 Politik Hukum Dalam TAP MPR XV/MPR/1998: Azas: Otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Pengaturan, pembagian dan pemanfaatan Sumberdaya Nasional berkeadilan Perimbangan keuangan pusat dan daerah Demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan Penghargaan terhadap keanekaragaman daerah. 31 3. Pengawasan 1) Melemahnya pengawasan pusat kepada daerah (pengawasan merupakan pengikat negara kesatuan) 2) Pengawasan tunggal berbentuk represif (terhadap Peraturan Daerah)disertai hak pengajuan keberatan kepada MA 3) Penawasan era UU No.5 Tahun 1974 yang merupakan model orde baru: Umum : Daerah tidak memiliki kemandirian Prefentif : Mengacu pada rancangan perda dengan bentuk ditolak, diterima atau direvisi Represif : Terhadap Perda dengan implementasi dibulatkan, ditangguhkan atau direvisi (ditimbang ulang) 4. Implementasi • “Keterpaksaan “ model dan keinginan secepat mungkin melaksanakan politik hukum otonomi luas itulahyang sekarang justru menyebabkan rumitnya pelaksanaan otonomi daerah • Inkonsistensi kebijakan –kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah Ketentuan Pemerintahan Daerah dalam Penetapan Presiden No. 32 Tahun 2004 Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupatendan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerimtahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa • Pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pmerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan serta menjalankan otonomi seluas-luasnya (kecuali urusan pemerintah)yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,pemberdayaan, peran serta masyarakat dan peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan serta kekhususan 32 Urusan pusat meliputi: Politik luar negeri Pertaanan Keamanan Yustisi Moneter Fiskal Nasional dan Agama • Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan • Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai hak dan kewajiban Desentralisatie Wet 1903 Desentralisasi dominan UU N.1 / 1945 Dekonsentrasi dominan UU No.22 / 1948 Desentralisasi dominan UU No.1 / 1957 Desentralisasi dominan Penpres No.6 / 1959 Dekonsentrasi dominan UU No.18 / 1965 Desentralisasi dominan UU No.5 / 1974 Dekonsentrasi dominan 1. Akibat dari perubahan setting politik makro 2. Konstitusi yang multi tafsir 3. Menggambarkan kepentingan pemegang kekuasaan UU No.22 / 1999 Desentralisasi dominan Hingga saat ini Desentralisasi dominan 33 2.3.2 Paradigma Otonomi Daerah Sistem Otonomi Otonomi pusat pada daerah hanya lazim pada bentuk Negara Kesatuan Negara Federasi, tidak lazim otonomi karena negara lokal memiliki kedaulatan PEMBAGIAN KEWENANGAN Pemencaran Kewenangan merupakan gejala umum dalam sistem pemerintahan Pemusatan Kewenangan sudah tidak lagi populer dalam sistem pemerintahan DESENTRALISASI Desentralisasi merupakan salah satu asas pemencaran kewenangan pada Negara Kesatuan Desentralisasi melahirkan Daerah Otonom Kewenangan yang diberikan kepada daerah menjadi Isi Otonomi Daerah ESENSI OTONOMI Mendekatkan pengambilan keputusan dan kebijakan dengan rakyat: Demokratisasi Peningkatan pelayanan Pertumbuhan ekonomi Peningkatan kesejahteraan Kebijakan lokalistik 34 politik desentralisasi/otonomi pada NKRI : Negara Negara Negara Negara Hukum Demokrasi Pluralistik/Bhineka Kesejahteraan Otonomi adalah Dinamis: Kewenangan mana yang diotonomkan dan kewenangan mana yang tetap pada pemerintah pusat. Terjadi tarik ulur kewenangan pusat dan daerah Otonomi Dalam konteks Indonesia Merupakan tarik-ulur pengaturan: Kewenangan Pengelolaan SDN Penghargaan terhadap pluralistik Penghargaan hak masyarakat lokal 35 BAB IV PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN PASAL 18 UUD NRI 1945 4.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat memahami prinsip-prinsip pemerintahan daerah pasal 18 UUD NRI 1945 dan dapat membedakan pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004. 4.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus a. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip pemerintahan daerah Pasal 18 UUD NRI 1945; b. Mahasiswa dapat memahami dan dapat membedakan pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004. 4.3 Materi 4.3.1 Prinsip-Prinsip Pemerintahan Daerah Pasal 18 UUD NRI 1945 Prinsip kedaerahan (SEBELUM AMANDEMEN) Indonesia dibagi menjadi daerah besar dan kecil Berbeda dengan wilayah, yang merupakan lingkungan pemerintahan administrasi Daerah menunjukkan ikatan kesatuan masyarakat hukum Prinsip Permusyawaratan Penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan permusyawaratan Permusyawaratan merupakan proses pengambilan kebijakan Dalam rangka permusyawaratan dilakukan pembentukan lembaga perwakilan di daerah 36 Prinsip Penghargaan thd asal-usul daerah Pembentukan daerah dg menghormati hak asal-usul bersifat istimewa Penghargaan terhadap hak masyarakat daerah dlm penyelenggaraan pemerintahan daerah: kelembagaan, hukum, SDA Penghargaan terhadap pluralistik Pemerintahan adm di daerah 11 Pemerintahan administrasi (dekonsentrasi) hanya tercantum dalam penjelasan Pasal 18 (daerah-daerah itu bersifat otonom atau administrasi belaka) Dlm implementasi pemerintahan justru pemerintah administrasi yang lebih dominan. PEMERINTAHAN DAERAH PASCA AMANDEMEN UUD 45 NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang [Pasal 18 (1)] Gubernur, Bupati, Walikota dipilih secara demokratis [Pasal 18 (4)] PEMERINTAHAN DAERAH KEPALA PEMERINTAH DAERAH DPRD mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 (2)] Anggota DPRD dipilih melalui pemilu [Pasal 18 (3)] menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat [Pasal 18 (5)] berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 (6)] 37 4.3.2 Pengaturan Pemerintahan Daerah Berdasarkan UU 22/1999 dengan UU 32/2004 Pengaturan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Karakter ingin mempertahankan NKRI dengan semangat federalistik: Tata cara pembagian kewenangan: Daerah menjalankan urusan pemerthn luas kecuali urusan yang oleh UU ditentk sbg urusan pusat (Residu Teori) Ditentukan kewenangan pangkal Kewenangan Propinsi sempit Pertanggung jawaban Tidak ada mekanisme pertanggung jawaban daerah kpd pusat (hilangnya pertanggung jawaban vertikal – sebagai ciri neg kesatuan) Kepala Daerah bertanggung jawab kpd DPRD (dominasi DPRD – menghilangkan C & B sistem) Pengawasan Melemahnya pengawasan pusat kpd daerah (pengawasan merupakan pengikat negara kesatuan) Pengawasan tunggal berbentuk represif (terhadap Peraturan Daerah) disertai hak pengajuan keberatan kpd MA Pengawasan era UU 5/74: prepentif, represif, umum (supervisi bukan kontrol) 38 Pembagian wilayah Penyerahan pengelolaan wilayah lautan kepada daerah (12 mil kpd propinsi, 4 mil kpd kabupaten/kota) Laut termasuk wilayah kedaulatan neg Tidak lazim otonomi teritorial Laut merupakan hak lintas damai Implementasi “Keterpaksaan” model dan keinginan secepat mungkin melaksanakan politik hukum otonomi luas itulah yang sekarang justru menyebabkan rumitnya pelaksanaan otonomi daerah. Inkonsistensi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah Sistem pemerintahan Kecenderung kearah model parlementer (kedudukan eksekutif tergantung parlemen), namun tidak memenuhi asas parlementer. Inkosistensi sistem pemerintahan setiap level pemerintahan 39 LATAR BELAKANG DIBENTUKNYA UU 32/2004 a. b. c. d. e. Terjadi berbagai perubahan dalam pengaturan ketatanegaraan: a. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945; b. UU Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik; c. UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu; d. UU Nomor 22 Tahun 2003 Susduk MPR, DPR,DPD dan DPRD; e. UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara; f. UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; g. UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Penyelesaian berbagai permasalahan dalam perjalanan otonomi daerah selama berlakunya UU 22/1999, antara lain: Secara empirik telah terjadi kerancuan dan tarik menarik kewenangan antar tingkat pemerintahan dan akhirnya menghambat kinerja pemerintah secara keseluruhan. Secara empirik kurang harmonis hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota akibat implikasi dari pengaturan yang tidak jelas dan tegasnya mengenai kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Sistem kepegawaian yang sering menimbulkan ego kedaerahan yang sempit dan sulitnya mutasi pegawai negeri sipil daerah. Padahal pegawai negeri sipil merupakan alat perekat bangsa. Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang ditengarai sering menjadi sumber konflik horisontal di daerah dan merebaknya politik uang. Selama ini banyak terjadi konflik antara Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa karena terjadinya intrusi dari praktek yang tejadi ditingkat kabupaten/kota yang kemudian diadopsi di desa, akibatnya kehidupan musyawarah berubah menjadi arena kompetisi dan lain sebagainya. 40 PRINSIP-PRINSIP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan serta menjalankan otonomi seluas-luasnya (kecuali urusan pemerintah) yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peranserta masyarakat dan peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan serta kekhususan. Urusan Pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib meliputi: perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanan-pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitasi pengembangan koperasi-usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi pena-naman modal, penyelenggaraan pelayanan dasar dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Urusan pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah bersangkutan seperti; pertambangan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan pariwisata. Adapun urusan peme-rintahan yang menjadi urusan pemerintah Penyelenggaraan otonomi daerah berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harus menjamin keserasian hu-bungan antar daerah dan menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah untuk menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI. 41 Daerah mempunyai kewenangan dalam bidang sumber daya alam dan daerah yang memiliki laut diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya diwilayah laut seperti eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, pemeliharaan keamanan dan pertahanan kedaulatan negara. Terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian ada bagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat, ada bagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada provinsi dan ada bagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada kab./kota. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Yang menjadi kewajiban daerah antara lain; melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan NKRI, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, mengembangkan kehidupan demokrasi, mewujudkan keadlilan dan pemerataan, meningkatkan pelayanan dasar pendidikan, menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, mengembangan sistem jaminan sosial, menyusun perencanaan dan tata ruang daerah, mengembangkan sumberdaya produktif, melestarikan lingkungan hidup, mengelola administrasi kependudukan, melestarikan nilai sosial budaya, membentuk dan menerapkan peraturan perundangundangan sesuai dengan kewenangannya dan kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun yang menjadi hak pemerintah daerah meliputi; mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, memungut pajak daerah dan retribusi daerah, mendapatkan bagian hasil dari pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya yang berada di daerah, mendapatkan sumber-sumber lain yang sah dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD, sedangkan urusan peme-rintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban APBN. Sumber pendapatan daerah terdiri atas; PAD (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dll), dana perimbangan dan lain-lain PAD yang sah. Dana perimbangan terdiri atas; dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Dana Alokasi Umum dialokasikan berdasarkan presentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto dan DAU untuk suatu daerah memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dana Alokasi Khusus dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk kegiatan khusus atas dasar prioritas nasional. Keseluruhan belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya meme-nuhi kewajiban daerah. Perlindungan dan peningkatan kehidupan masyarakat diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yaitu asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan efektivitas. 42 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurangkurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPRD atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Gubernur menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri, Bupati dan Walikota menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Gubernur, Bupati, Walikota memberikan laporan keterangan pertanggungjawabannya kepada DPRD masing-masing dan menginformasikan laporan penyelenggaran pemerintahan daerah kepada masyarakat. Sekretaris Daerah provinsi diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul gubernur melalui Menteri Dalam Negeri. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas usul bupati/walikota. Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pemerintah melaksanaan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional ( Manajemen = penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, pengembangan kompetensi serta pengendalian jumlah). HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH SEBAGAI DAERAH OTONOM PEMERINTAH PUSAT TERGANTUNG & SUBORDINASI DAERAH OTONOM PROVINSI DAERAH OTONOM KAB / KOTA 43 GUBERNUR (WAKIL PEMERINTAH) PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH Pembinaan, Pengawasan, Supervisi, Monev Fasilitasi Kab/Kota melaksanakan Otda PELAYANAN OPTIMAL ELEMEN DASAR PEMERINTAHAN DAERAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. KEWENANGAN KELEMBAGAAN PERSONIL KEUANGAN DAERAH PERWAKILAN PELAYANAN PUBLIK PENGAWASAN 44 PENATAAN KEWENANGAN FILOSOFI OTONOMI DAERAH: EKSISTENSI PEMDA ADALAH UNTUK MENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN SECARA DEMOKRATIS SETIAP KEWENANGAN YANG DISERAHKAN KE DAERAH HARUS MAMPU MENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN DAN DEMOKRASI KESEJAHTERAAN DICAPAI MELALUI PELAYANAN PUBLIK PELAYANAN PUBLIK ADA YANG BERSIFAT PELAYANAN DASAR (BASIC SERVICES) DAN ADA YANG BERSIFAT PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN (CORE COMPETENCE) CORE COMPETENCE MERUPAKAN SINTHESIS DARI PDRB, EMPLOYMENT DAN PEMANFAATAN LAHAN PENATAAN KEWENANGAN……… PELAYANAN PUBLIK MENGHASILKAN OUTPUTS; PUBLIC GOODS DAN PUBLIC REGULATIONS PUBLIC GOODS: JALAN, JEMBATAN, SEKOLAH, RUMAH SAKIT, PASAR, TERMINAL, IRIGASI DLL PUBLIC REGULATIONS: AKTE KELAHIRAN, KTP, KK, IMB, HO, DLL PERTANYAAN: APAKAH PEMDA SUDAH MENGHASILKAN PUBLIC GOODS DAN PUBLIC REGULATIONS YANG SESUAI DENGAN KEBUTUHAN RAKYAT YAITU; PELAYANAN DASAR DAN PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN ?????? 45 PENATAAN KEWENANGAN…….. 1. 2. 3. 4. KEWENANGAN: KEWENANGAN ABSOLUT (DISTINCTIVE); HANYA DIMILIKI PUSAT; HANKAM, LUAR NEGERI, AGAMA, MONETER, PERADILAN DAN POLITIK LUAR NEGERI KEWENANGAN BERSAMA (CONCURRENT); DIKERJAKAN BERSAMA ANTARA PUSAT, PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA KEWENANGAN CONCURRENT ADA YANG BERSIFAT WAJIB (OBLIGATORY) DAN ADA YANG BERSIFAT OPTIONAL (CORE COMPETENCE) KEWENANGAN WAJIB DIIKUTI OLEH SPM PENATAAN KEWENANGAN……. KRITERIA PEMBAGIAN KEWENANGAN: 1. 2. 3. EKSTERNALITAS; SIAPA KENA DAMPAK DIA YANG BERWENANG MENGURUS AKUNTABILITAS; YANG BERWENANG MENGURUS ADALAH UNIT PEMERINTAHAN YANG PALING DEKAT DENGAN DAMPAK TERSEBUT EFISIENSI; BAHWA OTONOMI HARUS MENCIPTAKAN EFISIENSI DENGAN MEMPERHATIKAN ECONOMIES OF SCALE. UNTUK ITU PERLU MEMPERTIMBANGKAN CATCHMENT AREA PELAYANAN ADANYA INTER-RELASI DAN INTER-DEPENDENSI ANTAR TINGKATAN PEMERINTAHAN DALAM MELAKSANAKAN KEWENANGAN MASING-MASING 46 ANATOMI URUSAN PEMERINTAHAN URUSAN PEMERINTAHAN ABSOLUT (Mutlak urusan Pusat) - Hankam - Moneter - Yustisi - Politik Luar Negeri - Agama CONCURRENT (Urusan bersama Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota) PILIHAN/OPTIONAL (Sektor Unggulan) Contoh: pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dsb WAJIB/OBLIGATORY (Pelayanan Dasar) Contoh: kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan perhubungan SPM (Standar Pelayanan Minimal) PENATAAN KELEMBAGAAN KELEMBAGAAN ADALAH UNTUK MENGAKOMODASIKAN KEWENANGAN YANG DILAKSANAKAN OLEH DAERAH KELEMBAGAAN UNTUK MENYEDIAKAN PELAYANAN DASAR DAN PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN RIGHT SIZING DENGAN MEMPERTIMBANGKAN REINVENTING GOVERNMENT; PRIVATISASI (BOO, BOT, BTO, BOL DLL) SUSUN STRATEGI KELEMBAGAAN MASA TRANSISI AKIBAT TEKANAN BIROKRASI YANG TERLALU BANYAK KEJELASAN TUPOKSI CAMAT, KEPALA DESA, DAN HUBUNGAN KERJANYA KESEIMBANGAN ANTARA STRATEGIC APEX, MIDDLE LINE, OPERATING CORE, SUPPORT STAFF DAN TECHNO STRUCTURE; 47 PENATAAN PERSONIL TENTUKAN STANDARD KOMPETENSI UNTUK SETIAP JABATAN LAKUKAN REKRUTMEN, PROMOSI, MUTASI BERBASIS STANDARD KOMPETENSI PENGEMBANGAN PEGAWAI & TRAINING BERBASIS NEED ASSESSMENT UNTUK MEMENUHI STANDARD KOMPETENSI YANG DITETAPKAN TENTUKAN MINIMAL PERFORMANCE YANG HARUS DICAPAI PEGAWAI ADANYA KEJELASAN ANTARA POSISI PEJABAT KARIR DENGAN PEJABAT POLITIK MANAJEMEN KEPEGAWAIAN PERPADUAN ANTARA SEPARATED DAN INTEGRATED SYSTEM PNS MASIH DIANGGAP SEBAGAI ALAT PEREKAT BANGSA PENATAAN KEUANGAN DAERAH PENERAPAN PRINSIP MONEY FOLLOWS FUNCTIONS PENATAAN COST CENTRES DAN REVENUES CENTRES PENATAAN COST CENTRES DENGAN MENENTUKAN PELAYANAN DASAR DAN PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN APA YANG DILAKUKAN DAERAH DENGAN SPM DAPAT DITENTUKAN SSA DARI SETIAP PELAYANAN DASAR YANG DILAKSANAKAN AKAN TERDETEKSI BIAYA SETIAP PELAYANAN DENGAN CARA YANG SAMA DAPAT DIHITUNG BIAYA SELURUH PELAYANAN YANG MERUPAKAN “FISCAL NEED DARI DAERAH” SELANJUTNYA MENATA REVENUE CENTRES PENATAAN KEUANGAN DAERAH……. PENATAAN REVENUE CENTRES: 1. DESENTRALISASI FISKAL; PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 2. ADANYA GEJALA HORIZONTAL INEQUALITY KARENA PERBEDAAN TAX BASE ANTARA KOTA DENGAN KABUPATEN DAN PERBEDAAN SDA 3. LAKUKAN INTENSIFIKASI DAN EXTENSIFIKASI DENGAN MEMPERHATIKAN CANONS OF TAXATIONS 4. LAKUKAN PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH; CIPTAKAN KONDISI MENARIK UNTUK INVESTOR, LAKUKAN KEMITRAAN, GALI POTENSI DAERAH, BUMD, KEMBANGKAN USAHA KECIL 5. AKAN TERDETEKSI FISKAL CAPACITY 48 PENATAAN KEUANGAN DAERAH……. PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH: PERBANDINGAN ANTARA FISCAL CAPACITY DENGAN FISCAL NEED AKAN TERDETEKSI FISCAL GAP (DEFISIT FISCAL) FISCAL GAP SEBAGAI DASAR UNTUK MELAKUKAN PERIMBANGAN KEUANGAN MELALUI SUBSIDI SUBSIDI (GRANT) BERPERAN SEBAGAI EQUALIZER UNTUK MENCIPTAKAN EQUALIZATION EFFECTS DEFISIT SPECIFIC/KHUSUS AKAN MEMERLUKAN SUBSIDI KHUSUS (SPECIFIC GRANT) ATAU DAK DEFISIT UMUM MEMERLUKAN SUBSIDI UMUM (BLOCK GRANT) ATAU DAU PENATAAN PERWAKILAN HUBUNGAN EKSEKUTIF DENGAN LEGISLATIF POSISI PERANGKAT DAERAH YANG NETRAL RENCANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG HUBUNGAN CHECKS AND BALANCES ANTARA KEPALA DAERAH DENGAN DPRD KEMUNGKINAN IMPEACHMENT DPRD DAN KEPALA DAERAH ADANYA MEKANISME “RECALL” OLEH PARPOL DAN BADAN KEHORMATAN DPRD PENGGANTIAN LPJ DENGAN KETERANGAN PERTANGGUNG JAWABAN POSISI KEUANGAN DPRD PENATAAN PELAYANAN PUBLIK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 PELAYANAN DASAR MENGACU PADA SPM DENGAN SPM DAPAT DITENTUKAN: BIAYA PELAYANAN KEBUTUHAN SOTK KEBUTUHAN PERSONIL ANGGARAN KINERJA TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PEMDA KEPADA RAKYAT OBYEKTIVITAS LPJ KEPALA DAERAH KE DPRD FASILITASI PUSAT TERHADAP DAERAH PENGAWASAN DAN SUPERVISI TERHADAP DAERAH PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH 49 BAB V PEMBAGIAN KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH 5.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat memahami teori pembagian kewenangan pusat dan daerah, dan memahami implementasi pembagian kewenangan dan instrumen pelaksanannya. 5.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus c. Mahasiswa dapat menjelaskan teori pembagian kewenangan pusat dan daerah; d. Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi pembagian kewenangan dan instrumen pelaksanannya. 5.3 Materi 5.3.1 Ajaran Rumah Tangga Daerah 5.3.2 Teori Residu ANATOMI URUSAN PEMERINTAHAN URUSAN PEMERINTAHAN ABSOLUT (Mutlak urusan Pusat) - Hankam - Moneter - Yustisi - Politik Luar Negeri - Agama CONCURRENT (Urusan bersama Pusat, Provinsi, dan Kab/Kota) PILIHAN/OPTIONAL (Sektor Unggulan) Contoh: pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, kelautan dsb WAJIB/OBLIGATORY (Pelayanan Dasar) Contoh: kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan perhubungan SPM (Standar Pelayanan Minimal) 50 • Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. – Provinsi akan jadi daerah otonom. – Di provinsi akan ada DPRD yang berfungsi untuk mengelola urusan Rumah Tangga. • Ada dua jenis desentralisasi : – 1.Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah; – 2. Desentralisasi fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal pendidikan dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain. • Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dalam hal ini dekonsentralisasi terdapat macam-macam pengawasan antara lain: • Pengawasan preventif: pengawasan terhadap perda sebelum di tetapkan, maksednya sebelum perda di tetapkan harus di koreksi dulu dan mendapat persetujuan dari gubernur. • Pengawasan represif: pengawasan gubernur dalam menyelenggarakan perda-perda. • Pengawasan umum: pengawasan umum terdapat pemerintah daerah meliputi bidang-bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan, dan peralatan, pembangunan, perusahaan daerah, yayasan-yayasan dll, yang di tetapkan Menteri Dalam Negeri. Pengawasan umum dilaksanakan menteri dalam negeri pengawasan umum dilaksanakan oleh menteri dalam negeri ( Di Bantu Inspektur Jenderal) Gubernur (dibantu inspektur wilayah) dan bupati atau walikotamadya (dibantu oleh inspektur kabupaten atau kotamadya). Untuk desa, selain oleh pejabat di atas pengawasan umum dilakukan juga oleh camat. • Dekonsentrasi : – Provinsi sebagai perpanjangan dari pusat kepada daerah (sepanjang provinsi melakukan pengawasan kepada kabupaten / kota. – Provinsi tidak butuh DPRD karena langsung dari Presiden. – Provinsi punya fungsi pengawasan terhadap kabupaten / kota. TUGAS PEMBANTUAN (MEDEBEWIND) : Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan / atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten / kota dan / atau desa serta dari pemerintah kabupaten / kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 51 BAGAN TIGA JENIS HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH Asas Sifat Pemberian Kewenangan Perbedaan Kewenangan pada Pemerintah Pusat Propinsi Kabupaten/Kota Desentralisasi Penyerahan •Pengawasan •Pengendalian •Pertanggungjawaban Umum •Koordinasi •Pengawasan •Kebijaksanaan •Perencanaan •Pelaksanaan •Pembiayaan (kecuali gaji pegawai) Dekonsentrasi Pelimpahan •Kebijaksanaan •Perencanaan •Pembiayaan •Pengawasan Pengawasan •Menunjang Tugas pembantuan Pengikutsertaan (Medebewind) •Kebijaksanaan •Perencanaan •Pelaksanaan •Pembiayaan •Melengkapi •Membantu Pengawasan •Pelaksanaan •Pengawasan 5.3.3 Asas Keadilan dan Pola Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah - Perimbangan Keuangan antara pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah daerah. - Pemberian sumber keuangan negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal. - Perimbangan Keuangan antara pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. - PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. - Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah dan antar-pemerintah daerah. - Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. - Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kapada daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan yang telah ditetapkan. 52 5.3.4 Asas Penghargaan terhadap Pluralistik Otonomi Dalam konteks Indonesia Merupakan tarik-ulur pengaturan: Kewenangan Pengelolaan SDN Penghargaan terhadap pluralistik Penghargaan hak masyarakat lokal 5.3.5 Implementasi Pembagian Kewenangan dan Instrumen Pelaksanannya MENGAPA KITA MEMERLUKAN PEMERINTAH DAERAH ?? DEKONSENTRASI (PEMERINTAH WILAYAH/FIELD ADMINISTRATION) FUNCTIONAL FIELD ADMINISTRATION; KANDEP/KANWIL PEMERINTAH PUSAT INTEGRATED/UNIFIED FIELD ADMINISTRATION; KEPALA WILAYAH POWER SHARING 1. OTONOMI MATERIIL (ULTRA VIRES) 2. OTONOMI FORMIL (GENERAL COMPETENCE) DESENTRALISASI (PEMERINTAH DAERAH) 53 DESENTRALISASI URUSAN PEMERINTAHAN BEPEKA DEKONSENTRASI INSTANSI VERTIKAL DPR MPR PRESIDEN MA DELEGASI (DESENTRALISASI FUNGSIONAL) DESENTRALISASI BADAN PENGELOLA, BUMN, OTORITA DAERAH OTONOM PEMENCARAN URUSAN PEMERINTAHAN PEMERINTAH ADMINISTRATIF DEKONSENTRASI • KANWIL/KANDEP • KEPALA WILAYAH • DLL PRIVATISASI • • • • • DELEGASI DESENTRALISASI FUNGSIONAL PEMERINTAH PUSAT SWASTA MURNI BOT BOO BOL DLL • • • • DESENTRALISASI OTORITA BUMN NUSAKAMBANGAN DLL PEMERINTAH DAERAH OTONOM PROPINSI KABUPATEN KOTA 54 BAB VI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH 6.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa memahami implikasi otonomi daerah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. 6.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus Mahasiswa dapat menjelaskan implikasi otonomi daerah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. 6.3 Materi 6.3.1 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Politik IMPLIKASI POLITIK Demokratisasi & partisipasi masyarakat Pelimpahan wewenang & tanggung jawab Perimbangan kekuasaan eksekutiflegislatif Menghambat disintegrasi 6.3.2 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Ekonomi IMPLIKASI EKONOMI Pemerataan akses ekonomi Penguatan sumberdaya lokal Menghilangkan ekonomi biaya tinggi Eksplorasi potensi daerah 55 6.3.3 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Sosial Budaya IMPLIKASI KONSEP Peningkatan kesejahteraan rakyat Pelayanan publik lebih baik Demokratisasi Pemerintahan efisien Keserasian Hubungan pusat-daerah Keutuhan negara kesatuan 6.3.4 Implikasi Otonomi Daerah di Bidang Hukum IMPLIKASI YURIDIS Perubahan paradigma sentralistik desentralisasi Dekonstruksi struktur & fungsi pembagian Kewenangan Pemerintah Daerah 6.3.5 Perubahan ke Depan PERUBAHAN YANG DIHARAPKAN Good Governance Pemberdayaan masyarakat lokal Penguatan lembaga lokal Pengembangan inisiatif lokal Profesionalisme Perimbangan kekuasaan eksekutif/legislatif 56 PERUBAHAN KUALITAS Transformasi aspirasi Orientasi Kerakyatan Kualitas pelaksanaan fungsi Penguatan demokratisasi Akuntabilitas publik Transparasi Mengontrol pelaksanaan otonomi daerah Mendorong partisipasi Eksekutif Peningkatan profesionalisme Perencanaan yang berkerakyatan Akuntabilitas publik Transparasi Mendorong partisipasi 57 BAB VII SISTEM PEMERINTAHAN DESA 7.1 Standar Kompetensi / Tujuan Umum Setelah mempelajari dan mendiskusikan materi ini, mahasiswa dapat : - memahami perubahan politik hukum regulasi pemerintahan Desa. - memahami sistem pemerintahan desa. - memahami penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. - memahami akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. 7.2 Kompetensi Dasar/ Tujuan Khusus e. Mahasiswa dapat menjelaskan perubahan politik hukum regulasi pemerintahan Desa. f. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem pemerintahan desa. g. Mahasiswa dapat menjelaskan penghargaan terhadap keanekaragaman pemerintahan adat. h. Mahasiswa dapat menjelaskan akses masyarakat desa terhadap pemerintah desa dan sumber daya desa. 7.3 Materi 7.3.1 Perubahan Politik Hukum Regulasi Pemerintahan Desa Keberadaan Desa Pada zaman kolonial : Ada dua bentuk pemerintahan desa yaitu: - Swapraja (bagian dari pemerintahan penjajahan berdasarkan suatu perjanjian) - Volksgemeenschappen (desa, nagari, marga, kampong, gampong, kampuang, huta, negeri, dll) Pengaturan desa: - Di Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie (IGO) Di luar Jawa diatur dalam Inlandsegemeente Ordonantie voor Buiten Gewesten (IGOB) 58 Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja: - Desa ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III Mewujudkan tata perdesaan yang lebih dinamis dan penuh daya-guna dalam rangka menyelesaikan Revolusi Nasional yang Demokratis dan Pembangunan Nasional Semesta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, terjadi penyeragaman bentuk Desa di seluruh Indonesia yang berakibat matinya karakteristik yang dimiliki oleh desadesa yang ada. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pemerintahan Desa dan segala hal terkait dengan desa, terkesan hanya bagian kecil dari Pemerintah Daerah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan Pemerintah Daerah (Desa Praja) dalam UU no.19 tahun 1965 Desa Praja berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Desa Praja berwenang mengatur dan mengawasi serta memberikan bantuan-bantuan yang perlu kepada organisasi. Desa Praja berwenang mengambil keputusankeputusan untuk kepentingan rumah tangga daerahnya dan menjalankan peraturan-peraturan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Desa Praja Desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Kebijakan mengenai desa diarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. Desa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten Desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 59 KONDISI DESA Kebijakan yang hanya bertujuan pada pertumbuhan ekonomi Politik Pengendalian Negara UU 5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa Penyeragaman, Pengawasan Pengaturan, Pengendalian Akibat yang terjadi di masyarakat EKONOMI Hilangnya sumber-sumber ekonomi masyarakat seperti hutan, tanah, dan tambang SOSIAL Hancurnya karakter dan kearifan lokal POLITIK Melemahnya kepemimpinan politik dan sikap kritis masyarakat Pergeseran Pengaturan Otonomi Daerah/Desa Konstitusi yang Multi Tafsir Pengaturan diserahkan kepada pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang (Eksekutif dan Legislatif) hasil Pemilu DILEMA OTONOMI DESA Dalam system konstitusi hasil amandemen, tidak mencantumkan pengaturan yang secara spesifik mengatur eksistensi Desa. Padahal bentuk pemerintahan desa adalah riil, otonom, dihormati warganya dan merupakan pemerintahan demokratis yang terendah. 60 DILEMA OTONOMI DESA Tiadanya tempat bagi eksistensi Desa dalam konstitusi, memberikan peluang bagi munculnya intepretasi liar untuk mengendalikan lembaga ini. Lihat pengaturan Desa dalam UU 19/1965, UU 5/1979, dan UU 22/1999 yang juga akan direvisi. Problem tatanegara Desa berada di dalam kabupaten atau berada diluar kabupaten Hubungan antar tingkatan. Ketidak jelasan letak dan kedudukan desa, merancukan hubungan antar tingkatan (desa-Kabupaten), Kades-Bupati, hubungan hukum yang kacau (PerdaPerdes) PERBANDINGAN PENGATURAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN UU 22/1999 DENGAN UU 32/2004 N 1. 2. Materi UU 22/ 1999 Pengertian Desa Tidak memasukkan batas- Memasukkan batas-batas batas wilayah sebagai wilayah sebagai pengertian pengertian desa. desa. Hanya ada di kabupaten Dapat berada di Kabupaten Keberadaan Desa 3. UU 32/2004 atau pun di Kota Kewenangan Tidak adanya urusan yang Adanya urusan yang menjadi Desa menjadi kewenangan kewenangan kabupaten/kota kabupaten/kota yang yang diserahkan diserahkan pengaturannya pengaturannya kepada desa. kepada desa. 4. 5. Pemerintahan Dilaksanakan oleh Dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Pemerintah Desa dan Desa dan Badan Badan Perwakilan Desa Permusyawaratan Desa Pemilihan Kades Tidak ada pengaturan pilkades menurut hukum Pilkades dalam kesatuan masyarakat hukum adat 61 6. 7. adat. berlaku hukum ada setempat. Masa Jabatan Tidak jelas mengatur 6 tahun dan dapat dipilih Kades apakah 5 tahun atau 10 kembali satu kali masa tahun atau lainnya. jabatan. Sekretaris desa bukan Sekretaris desa diisi dari PNS Sekdes merupakan PNS 8. BPD Mempunyai empat fungsi: Mempunyai dua fungsi: pembentukan perdes, pembentukan perdes, dan pengawasan, penyaluran aspirasi. pengayoman, dan penyaluran aspirasi. 9. 10. Pemilihan Dipilih langsung dari Ditetapkan dengan cara Anggota BPD penduduk desa musyawarah dan mufakat Masa Jabatan 6 tahun dan dapat dipilih BPD kembali satu kali masa jabatan. 11. Keuangan Desa Sumber pendapatan desa Selain sumber pendapatan dari Pemerintah, Pemprov, desa dari Pemerintah, dan Pemkab berupa Pemprov, dan Pemkab berupa bantuan. bantuan, juga berupa bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima Kabupaten/Kota. 7.3.2 Hubungan Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah Letak kedudukan pemerintahan desa Desa bukan termasuk daerah otonom, tetapi dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya disebutkan memiliki hak untuk mengatur kewenangan yang bersifat asli Desa diserahkan pengaturannya kepada Kabupaten. Desa merupakan sub system dari pemerintah daerah 62 HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DESA DENGAN PEMERINTAH DAERAH UU No. 32 tahun 2004 Pasal 200 menyebutkan : Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa Desa menjadi bagian dari aspek ketatanegaraan karena desa merupakan satuan pemerintahan otonom Desa bukan satuan pemerintahan administrasi belaka yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan atau dibentuk kembali bila diperlukan 7.3.3 Penghargaan Terhadap Keanekaragaman Pemerintahan Adat PENGHARGAAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN PEMERINTAHAN DESA Salah satu prinsip dasar pengaturan desa yaitu keanekaragaman DESA menunjukkan ciri khas atau karakteristik, asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat. Pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 7.3.4 Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Perwakilan Desa HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA UU No.32 Tahun 2004 dan PP N0.72 tahun 2005 : Pemerintahan Desa adalah pemerintah desa dan BPD Badan permusyawaratan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan peraturan Desa Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD (Badan perwakilan Desa) 63 7.3.5 Pertanggung Jawaban Kepala Desa PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA 1. 2. 3. Kepala Desa pada bertanggungjawab kepada rakyat desa yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada BPD, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya 64