BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segala upaya untuk mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan kemajuan IPTEK. Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21. Tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor bidang kelautan dan pesisir yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Sehingga tidak salah jika Indonesia dikatakan negara kepulauan yang merupakan gugusan yang terpanjang dan terbesar didunia, luas lautanya 5 juta km2 merupakan sumberdaya laut yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia karna laut-laut Di Indonesia kaya akan ikan. Keadaan ini memberikan kesempatan yang besar bagi masyarakat yang khususnya berada didaerah pesisir dan pulaupulau untuk memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya yang ada dilaut. Kawasan pesisir merupakan bagian dari daerah yang menjadi batas antara wilayah laut dengan daratan. Kawasan ini sangat kompleks dengan berbagai isu dan permasalahan yang memerlukan penanganan yang komprehensif dengan strategi khusus dan terpadu. Selama ini kawasan pesisir belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah, dalam pengelolaannya. Sehingga belakangan ini baru dirasakan berbagai permasalahan yang muncul tentang kawasan pesisir. Salah satu konsep penanganan kawasan pesisir yang dikembangkan adalah konsep Integrated Coastal Zone Management, yaitu pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dengan memperhatikan segala aspek terkait di pesisir yang meliputi antara lain aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Melalui aplikasi konsep tersebut diharapkan dapat diatasi berbagai permasalahan yang muncul belakangan ini dalam pengelolaan kawasan pesisir. (http://hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php?dw.8). Tidak salah jika dikatakan bahwa Di Indonesia sektor kelautan perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan dalam pangan, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya (Mulyadi, 2005:13). Sehingga secara proporsional 2 bila dikaitkan dengan luas wilayah dan juga potensi yang terkandung didalamnya dan banyaknya kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pengolahan sumber daya laut. Ini membuktikan laut kita yang kaya akan ikan dan beranekaragam biota laut lainnya, dengan demikian laut dimanfaatkan seefektif mungkin sebagai mata pencaharian nelayan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemanfaatan lingkungan laut sesungguhnya merupakan serangkaian upaya yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat dengan menggunakan sejumlah potensi untuk memenuhi sejumlah kebutuhan. (Naping, 2007:2). Potensi sumber daya daerah pesisir dan pulau-pulau yang berada di laut Indonesia terutama di Sulawesi Selatan, selain menjadi tumpuan hidup masyarakat nelayan, dapat pula menjadi wadah ekonomi bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini tidak lepas dari kekayaan sumber daya alam yang terdapat di laut Indonesia, yang tersebar pada 17.508 Pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 juta km dengan luas 31 juta km (Hadelia, 2005:1). Namun untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut biotik maupun abiotik masyarakat nelayan tidaklah mudah nelayan harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan mengatasi rintanganrintangan alam yang ganas, cuaca yang sewaktu-waktu bisa berubah 3 tergantung pada keadaan angin muson sehingga nelayan diharuskan selalu hati-hati (Poelinggomang, 2002:17) dan bagaimana cara mereka memanfaatkan sebaik mungkin semua hasil yang di dapatkan sehingga sebisa mungkin hasil tersebut tidak ada yang terbuang percuma ini dilakukan masyarakat baik pesisir maupun pulau untuk meningkatkan penghasilan mereka semaksimal mungkin. Laut yang luas dan kaya akan sumber daya baik biotik maupun abiotik yang tersebar hampir disemua daerah terutama di Sulawesi Selatan termasuk pulau-pulaunya baik itu pulau besar maupun pulau kecil. Salah satunya yaitu pulau terdapar di Sulawesi Selatan yaitu Pulau Saugi. Laut yang berada Di Pulau Saugi yang kaya akan sumber daya biotik maupun abiotik di manfaatkan oleh masyarakat pulau tersebut sebagai mata pencaharian hidup karena sebagian besar dari mereka adalah nelayan. Sehingga untuk menagkap ikan teknologi penangkapan yang digunakan merupakan salah satu bentuk upaya pemanfaatan sumber daya perikanan khususnya sumber daya ikan yang ada dilaut. Dalam perkembangan teknologi alat tangkap (koentjaranngrat, 1990:33) mengatakan bahwa mata pencaharian nelayan lebih banyak tergantung pada perkembangan teknologi. Dengan demikian dibutuhkan alat tangkap yang mempunyai nilai dan mutu yang berkualitas tinggi serta tidak merusak ekosistem laut namun 4 teknologi alat tangkap yang dibutuhkan tidak harus canggih dan modern. Hal inilah yang dilakukan oleh salah satu masyarakat yang ada Pulau Saugi, dari pengamatan memperlihatkan beraneka ragam jenis alat tangkap. Dengan berbekal pengtahuan dan pengalaman yang di milikinya dengan berbagi pengalaman dengan masyarakat lainnya yang ada di Pulau Saugi sehingga masyarakat Pulau Saugi berinisiatif untuk membuat teknologi penangkapan mereka sendiri. Walaupun alat tangkap yang mereka kembangkan masih sederhana namun alat tangkap ini dapat menghasilkan lumayan dalam sekali mereka melaut. Alat tangkap yang mereka kembangkan adalah masyarakat Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng (troll). Sehingga nelayan yang selama ini masih menggunakan bom dan bius dapat beralih ke alat tangkap yang mereka sebut dengan Renreng (troll). Dikarenakan selain penggunaanya dilarang oleh pemerintah penggunaan bom dan bius juga dapat merusak trumbu karang tempat bermainnya ikan sehingga dapat mempercepat berkurangnya sumber daya hayati yang ada di laut. Jika pada tahun 1960-1970 an mereka menggunakan Sikuyu, Rawe, Nambe, Pukat Juku, dan Pekang cumi, dan tahun 1970 mereka menggunakan Panyangkara walaupun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi sering mengalami perubahan namun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi tetap yang ramah lingkungan. Saat ini 1970-2011 masyarakat Pulau Saugi menggunakan alat tanggkap yang mereka sebut dengan Renreng (troll). 5 Bentuk Renreng dimasukkan kedalam kategori troll, namun jenis troll ini merupakan alat tangkap penggabungan antara troll dengan panyungkara yaitu sebuah pukat yang ditarik oleh perahu bermesin, disebut penggabungan sebab bentuk Renreng mirip dengan troll sedangkan ukurannya mengikuti panyangkara. Renreng merupakan alat tangkap yang dioperasikan oleh 1-2 orang. Renreng masuk ke Pulau Saugi sekitar tahun 1985-1988. Perkembangan renreng di Pulau Saugi termasuk sangatlah pesat hanya selang beberapa tahun sejak pertama masuknya ke pulau saugi kini hampir keseluruhan masyarakat pulau Saugi menggunakan alat tangkap tersebut. Mekipun sebagian besar masyarakat Pulau Saugi menggunakan Renreng sebagai alat tangkap namun ada juga yang tidak beralih menggunakan Renreng dengan berbagai alasan. Ada yang mengatakan pukat lebih menguntungkan, namun ada juga yang mengatakan karena mereka tidak mampu untuk membeli Renreng dan alat lainya yang digunakan untuk mengoprasikan Renreng. B. Rumusan Masalah Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu masalah yang banyak menarik para ahli di Indonesia. Di karenakan sektor ini telah banyak memberikan lapangan kerja bagi sejumlah penduduk di Indonesia yang berada di daerah pesisir dan pulau-pulau. Tak dapat dipungkiri bahwa mahluk hidup yang ada dilautan memberikan produk barang dan jasa yang 6 amat penting bagi keberadaan manusia dikarenakan sebagian besar protein hewan yang dikonsumsi manusia berasal dari laut. Adanya beraneka macam hasil laut tidak luput dari peran nelayan dan transportasi yang mereka gunakan. Ketersediaan alat tangkap yang memadaipun dapat menjadi salah satu faktor penunjang dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hasil laut yang bermutu. Begitu banyak jenis alat tangkap yang digunakan nelayan untuk melaut baik itu yang di perbolehkan oleh pemerintah ataupun yang dilarang. Walaupun sejumlah masyarakat menggantungkan hidupnya dari melaut namun keberhasilan mereka dalam melakukan penagkapan tidak terlepas dari alat tangkap yang mereka gunakan. Adapun fokus penulisan dari penelitian ini yaitu: Renreng Dalam Komunitas Nelayan Di Pulau Saugi (Suatu Kajian Antropologi) Adapun rincian masalah penelitian tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Pulau Saugi tentang manfaat praktik tehnik Renreng sebagai alat tangkap Ikan? 2. Bagaimana praktek teknologi Renreng dalam komunitas nelayan Di Pulau Saugi? 3. Bagaimana dampak sosial ekonomi pengoprasian teknologi Renreng? 7 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah 1. Mengngkapkan pengetahuan masyarakat Pulau Saugi terhadap pemanfaatan Renreng, 2. Untuk mendeskripsikan praktek Renreng dalam komunitas nelayan yang ada di Pulau Saugi. 3. Menjelaskan dampak sosial ekonomi yang diakibatkan dari penggunaan Renreng Di Pulau Saugi. D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan kelak memberikan manfaat ganda. Disatu sisi, secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengetahui sampai mana sebenarnya pengetahuan nelayan di pulau Saugi tentang pemanfaatan alat tangkap yang mereka sebut dengan Renreng, bagaimana masyarakat Pulau Saugi mengetahui praktek Renreng dalam koumunitas mereka, serta dampak sosial ekonomi yang terjadi karena penggunaan Renreng Di Pulau Saugi Di sisi lain, dan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak yang terkait, khususnya pemerintah daerah setempat, agar perhatian pemerintah tidak hanya tertuju pada dampak yang disebabkan oleh Renreng tapi juga seberapa besar manfaat dari Renreng bagi masyarakat Pulau Saugi. 8 E. Kerangka Konseptual Kebudayaan menurut W.A Haviland kebudayaan sebagai seperangkat peraturan atau norma yang diiliki bersama oleh para anggota asyarakat. Yang apa bila dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan prilaku yang dipandang layak dan dapat diterima. (Suhartini dkk, 2003:160). Kebudayaan berkembang dalam masyarkat, karena tidak mungkin ada kebudayaan tanpa manusia. masyarakat menurut Linton di kemukakan sebagai berikut: “masyarakat adalah kelompok individu yang teratur , dan kebudayaan pada akhirnya tidak lebih dari pada respon berulang-ulang secara teratur dari anggota suatu masyarakat. Karena itulah , maka individu menjadi titik tolak yang paling dasar untuk segala kajian dan penelitian mengenai konfigurasi yang lebih luas. Maka dapatla dikatakan bahwa kebutuhan individu itulah yang memberi alasan-alasan bagi tingkah lakunya melalui tingkah lakunya itu, bertanggung jawab bagi terselenggaranya masyarakat dan kebudayaan” (linton dalam anugerah 1997:9). Kebudayaan yang menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya atau msyarakatnya. Masyarakat (society) merupakan suatu kelompok manusia yang mendiami tempat tertentu yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu dengan yang lainnya dan yang memiliki tradisi kebudayaan bersama. Demikian pula masyarakat nelayan di wilayah pulau, yang mana penduduknya mengarahkan perhatian kehidupannya dilaut. Yang di dalam masyarkatnya berkembang 9 kebudayaan yang seiring dengan perkembangan yang dilksanakan. Perkembangan semacam ini adalah perkembangan yang alamiah dan dapat dijumpai diseluruh tanah air, dimana dalam perkembangan masyarakat terutama pada masyarakat nelayan merupakan salah satu dari proses yang disebut dengan inovasi pada bidang teknologi dimana mereka mengembangkan teknologi penangkapan yang sudah ada sehingga dapat mengahasilkan lebih banyak dari alat tangkap sebelumnya. Namun pengetahuan juga merupakan sesuatu yang abstrak, yang ada didalam fikiran manusia, tentang segala sesuatu gejala, peristiwa, atau fenomena baik itu bersifat alamiah, sosial, maupun perorangan (Rahmatullah, 2002). Setiap individu maupun masyarakat, pasti memiliki pengetahuan masing-masing. Demikian pula dengan masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sangat membutuhkan pengetahuan, sebagai modal dalam mengelola sumber daya alam yang mereka miliki, serta menjadi acuan bagaimana mereka harus bertindak. Sistem teknologi nelayan yang masi sederhana menurut (Arifin Sallatang dalam otman 1992:2) dalam penelitiannya tentang masyarakat nelayan menyatakan bahwa: Alat-alat penangkap ikan di daerah Sulawesi Selatan, sangat beranekaragam. Namun pada umumnya masih berkisar pada bentuk-bentuk yang tradisional, walaupun telah ada pengembangan teknologi tradisional yang ada saat ini, namun masih sangat terbatas. 10 Kondisi alat tangkap yang digunakan memberikan gambaran bahwa tingkat sosial ekonomi nelayan yang berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan alat tangkap yang mereka gunakan berkaitan erat dengan ekonomi mereka. F. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif yang bertujuan mencari pengertian tentang sejarah berkembangnya suatu daerah. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitaif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksut untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti prilaku, presepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang dialamai dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2006). 2. Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini berlangsung pada bulan juni 2010 sampai agustus 2010 bertempat di Pulau Saugi desa Mattiro Baji, kecamatan Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep. Adapun lokasi dipilih berdasarkan bahwa ditempat itu 11 ditemukan masalah dalam latar belakang yakni karena pulau saugi merupakan pegoprasian alat tangkap yang disebut Renreng. 3. Teknik pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yakni : a) Observasi, yakni mengumpulkan data dengan mengamati secara langsung apa yang terjadi di lokasi penelitian. (Alwasilah 2003:211) mendefinisikan observasi penelitian sebagai pengamatan sintematis dan terenrencana yang di amati untuk memperoleh data yang dikontrol validitas dan reabilitasnya. Teknik ini bertumpu pada indra yang dimiliki seperti penglihatan, penciuman, peraba serta pendengaran sehingga dapat diperoleh data bagai mana aspek fisik dari Pulau Saugi, juga melihat aktivitas nelayan Renreng yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan, pola interaksi antara sesama nelayan Renreng dan juga siapa yang bertugas untuk mengolah hasil tangkapan. b) Wawancara mendalam, dengan komunikasi langsung antara peneliti dan informan seperti menanyakan secara langsung siapa yang pertama kali memperkenalkan Renreng pada masyarakat Pulau Saugi, biota laut apa saja yang ditangkap menggunakan Renreng, dimana sajakah biasanya nelayan Renreng melakukan penangkapan, 12 berapa modal awal yang mereka keluarkan dalam pembuatan alat tangkap Renreng, c) Study literatur, yakni membaca beberapa buku yang relevan dengan penelitian. Dalam study literatur ditemukan beberapa data sekunder tentang kondisi geografis secara umum, teori-teori yang dapat dijadikan pegangan dalam melihat fenomena sosial budaya yang ada serta beberapa konsep yang menunjang penulisan laporan seperti konsep kebudayaan, masyarakat nelayan ataupun komunitas nelayan. 4. Teknik penentuan informan. Informan yang diteliti digolongkan kedalam dua golongan yakni: a) Informan Kunci yakni orang yang mengetahui dengan jelas kondisi daerah penelitian dan mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang dapat memberikan informasi mengenai masalah yang akan diteliti. Biasanya yang bertindak sebagai informan ahli adalah kepala desa, orang-orang yang memiliki peran penting di Pulau Saugi ataupun tokoh masyarakat yang disegani dalam masyarakat, dalam penelitian ini informan kunci peneliti ialah Sekdes yang ada Di Pulau Saugi. b) Informan biasa, yakni orang yang mengetahui tentang masalah yang akan diteliti. Yakni orang yang menggantungkan hidupnya dari Renreng. 13 5. Jenis dan Analisis data a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti (informan). b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga, instansi, tertentu misalnya kantor kelurahan atau sektor lainnya yang mendukungpenulisan dan sektor analisis data. Adapun, dalam menganalisis data diperlukan beberapa tahap yakni : 1. Memilih-milih diantara data yang menunjang dan tidak menunjang sesuai dengan fokus penelitian. 2. Memeriksa data dalam catatan lapangan sehingga dapat diketahui informasi yang telah diperoleh selama berada dilapangan. 3. Data yang diperoleh, baik pernyataan langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan fokus penelitian. 4. Keabsahan data melalui triangulasi, dimana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan informan yang lain (Moleong, dalam Muswirah 2010:14) 14 G. Struktur Penulisan Mengenai struktur penulisan, direncanakan terdiri dari 5 bab, yakni Bab I : berisikan Pendahuluan yang berisikan latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, Bab II : mencakup Tinjauan Pustaka, Bab II : merupakan Gambaran umum lokasi yang menerangkan secara umum kondisi-kondisi geografis dan social lokasi penelitian, Bab IV : merupakan bab Pembahasan yang terdiri dari sub-sub yang memuat penjelasan mengenai fokus penelitian. Bagian akhir adalah bab V : Penutup merupakan Penutup yang didalamnya terdiri dari kesimpulan dan saran penulis mengenai hasil dari penelitian yang telah diuraikan. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebudayaan Banyak para ahli antropologi yang mengemukakan tentang pengertian kebudayaan menurut Edward B Tylor kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan , kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yan diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (soekanto, 2001:11). Sedangkan pengertian kebudayaan Menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadika miliknya dengan cara belajar. (Suhartini dkk, 2003:160) Dari beberapa pengertian para ahli diatas tentang kebudayaan, secara terperinci Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud yaitu: 1. Kebudayaan sebagai kompleks ide atau gagasan yang bersifat abstrak. Karena hanya terdapat dalam alam pikiran manusia. Gagasan atau ide itu sangat penting dan mendasar karena melalui ide atau gagasan inilah yang terbentuk wujud-wujud budaya lainnya. 2. Kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku atau perbuatan manusia. 16 3. Kebudayaan sebagai kompleks hasil perbutan manusia, yang pada umumnya berwujud benda-benda, sehingga disebut kebudayaan material. Selain dari wujud-wujud dari kebayaan menurut Koentjaraningrat, ada juga pembagian unsur-unsur kebudayaan menurut kluchkhohn yang di tuangkan dalam karyanya yang berjudul “Universal Categories of Cultural” yang secara garis besar membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh yaitu: 1. Sistem Kepercayaan atau Religi Terdapat beberapa unsur yang sifatnya universal dalam sistem religi atau kepercayaan ini merupakan Kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang lebih tinggi dari pada manusia, berbagai hal yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut. 2. Sistem Organisasi Sosial Dalam setiap kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam organisasi berdasarkan adat istiadat dan aturan-aturan mengenai mengenai kesatuan kelompok sosial. 3. Sistem Mata Pencaharian Hidup 4. Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup Teknologi Teknologi tradisional muncul sebagai akibat dari cara-cara manusia melaksanakan mata pencaharian hidupnya. 17 5. Bahasa Bahasa merupakan alat yang dipakai untuk berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Tanpa bahasa kita tidak dapat meneruskan atau menerima keterangan-keterangan secara simbolis. 6. Kesenian Kesenian sebagai ekspresi dari hasrat manusia akan keindahan dapat dinikmati. 7. Sistem Pengetahuan Dalam pembahasan unsur kebudayaan yang menyangkut sistem pengetahuan masyarakat tradisional, perlu dibicarakan tentang tulisan, karena melalui huruf banyak hal yang dapat diabstraksikan. (Suhartini dkk, 2003:166) B. Komunitas Nelayan dan Masyarakat Nelayan Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir. Ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi. Sebagai berikut : Dari segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir. Atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian mereka. 18 Dari segi cara hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada saat untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak. Seperti saat berlayar. Membangun rumah atau tanggul penahan gelombang di sekitar desa. Dari segi ketrampilan. Meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua. Bukan yang dipelajari secara professional. Dilihat dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka. (http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/pengertian-nelayan.html). 19 Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari sabang sampai merauke. Aktifitas ekonomi tersebut tidak terlepas dari interaksi individu serta kelompok inter etnis tersebut. Dalam intern masyarakat. (Geertz dalam hamzah 2008:192) mencatat indonesia terdiri kurang lebih 300 etnik. (suku bangsa) dengan kebudayaanya sendiri-sendiri, dengan 250 bahasa daerah yang berbeda. Dilihat dari letak geografis, letak kepulauan nusantara (indonesia) sangat strategis dalam dalam konteks perdagangan antara dunia barat dan timur. Pada berbagai wilayah tersebut laut merupakan penghubung antara pulau-pulau tersebut disamping sebagai tempat utama kegiatan penagkapan ikan serta hasil laut lainnya oleh nelayan. (Kusumastanto dalam hamzah 2008:1992) mencatat di indonesia terdapat 42 kota 181 kabupaten terletak dikawasan psisir sumber daya ikan sebagai bahan konsumsi 90% berasal dari wilayah pesisir. Sementara syam dalam (Suhartini dalam Hamzah 2008:1992) memperkirakan luas wilayah maritim Indonesia mencapai 5,8 juta Km² dan dapat menjadi potensi sumber daya kelautan sebagai salah satu tumpuan harapan masa depan tidak salah jika di Indonesia terdapat banyak komunitas nelayan yang tesebar hampir sepanjang garis pantai dan daerah pulau-pulau. 20 Winahyu dan Santiasi (dalam Hamzah, 2008:192) menambahkan dengan membandingkan masyarakat desa pesisir dengan masyarakat lain, nelayan merupakan lapisan yang paling miskin, dibanding dengan komunitas di luar pesisir. Pendapat yang diperoleh nelayan sifatnya harian dan jumlahnya tidak bisa ditentukan tergantung dari musim dan area penagkapan. Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang amat tergantung pada kehidupan laut guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Riset yng dilakukan para ahli menunjukan keanekaragaman hayati karena kelompok atau jenis-jenis dasar flora dan fauna (phyla) yang jauh lebih kaya dibandingkan daratan. Hampir separuh phyla hewan hanya ada di laut. Koentjaraningrat bukunya yang berjudul Beberapa Pokok Antropologi Sosial mengemukakan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia yang tiap tahun makin cepat, dapat menjadikan sumber makanan didalam sumber darat suatu ketika akan mencapai batas kemungkinanya. Tidak mengherankan apabila umat manusia akan mulai dengan mencari makanannya secara lebih intensif didalam sumber yang masi amat kaya itu ialah, lautan. (Anugerah, 1997:9) Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa lautan menjadi sangat penting bagi manusia, karena itu diperlukan manusia yang mampu mengelola laut ini, yang dapat tertujukan pada nelayan. sebagai mana pengertian nelayan sendiri ialah orang yang hidup dengan mengelolah 21 lautan dengan melakukan usaha menagkap ikan dan merupakan mata pencaharian hidup mereka. Nelayan juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang sehariharinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, laut maupun permukaan perairan. Nelayan memanfaatkan lingkungan laut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya mempunyai budaya yang berbeda dengan mereka yang bertani. Hal ini pula yang membedakan dalam mengantisipasi lingkungan dimana ia berada, mereka memiliki sifat-sifat dasar mata pencaharian dan lingkungan kelautan yang berfungsi untuk mengatur segala aktifitas kenelayanan. Hal ini dapat terwujud pada perikanan, tangkapan, pengetahuan, etos kerja, pandangan hidup, organisasi kerja, dan lain-lain dalam rangka mengelola lingkungan laut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan) Sedangkan masyarakat nelayan sendiri adalah suatu masyarakat yang dalam mempertahankan hidupnya selalu bergantung pada sumber daya yang ada dalam laut, terutama yang ada disekitar lingkungan masyarakat tersebut. Dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat nelayan melakukan dengan cara yang amat sederhana. Lanjut Lampe mengenai masyarakat nelayan, (dalam tesisnya yang berjudul “Strategi-strategi Adaptif yang Digunakan Nelayan dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya”. 1989 : 1 ) mengemukakan bahwa masyarakat nelayan adalah mereka yang mempunyai mata 22 pencaharian hidup dengan memanfaatkan sumber laut seperti ikan dan bibit laut lainnya (kecuali rumput laut) yang mengandung nilai ekonomi (dapat dikonsumsi dan dipasarkan), baik secara terus menerus maupun secara musiman dengan menggunakan sesama berupa dan alat-alat penangkapan (Hasan dalam Amral 2005 : 11). Lebih jauh lagi dilihat tentang nelayan yang dikemukakan oleh Sawe (dalam “Propil Masyarakat Bajoe” 1985) bahwa sebagai penduduk desa pantai dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan adalah pelautpelaut yang ulung serta memiliki keterampilan dalam mengelola sumber kekayaan laut dengan hanya mempergunakan peralatan yang relatif sederhana sebagai warisan budaya mereka. Merujuk pada beberapa pengertian tersebut maka dapat diartikan juga bahwa nelayan adalah orang-orang yang menggantungkan hidup menagkap ikan atau mencari dan menggali sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat di laut. Dengan ini tampaknya lebih mudah kita memahami apa dan bagaimana nelayan tersebut ditegaskan bahwa masyarakat nelayan adalah salah satu potret dan profil masyarakat pantai yang mencerminkan kehidupan nelayan dimana benda-benda dan peralatan serta pengetahuan yang mereka miliki adalah banyak berkaitan dengan laut. Sehingga dengan demikian benda-benda, peralatan dan pengetahuan tersebut merupakan warisan budaya yang sangat menunjang profesi 23 mereka sebagai nelayan. Ada juga merupakan tiruan-tiruan dan masukan dari luar. Masyarakat nelayan sangat tergantung pada lingkungan laut. Mereka mengelola lingkungan laut menurut pola budaya yang dimiliki di dalam masyarakatnya. Dapat pula dikatakan bahwa tingkah laku individu untuk mengelola lingkungan laut ini, merupakan manifestasi dari konsep budaya yang ada dalam masyarakat. Sifat-sifat dasar yang mereka miliki merupakan strategi adaptif nelayan dalam menghadapi lingkungan laut yang penuh resiko dan bahaya yang dapat mendatangkan bencana bagi nelayan. C. Sistem Pengetahuan Pada komunitas Laut Pengetahuan pada masyarakat nelayan berkaitan dengan aktivitas pelayaran, masyarakat bahari mutlak membutuhkan pengetahuan- pengetahuan tentang musim, kondisi cuaca dan suhu, kondisi dasar, dan tanda-tanda alam lainnya untuk menentukan waktu-waktu mulai melakukan pelayaran, kelancaran, keberhasilan, dan keselamatannya. Masyarakat bahari, khususnya nelayan dan pelayar di nusantara ini mempunyai pengetahuan tentang dua musim utama yaitu musim barat dan musim timur, yng menentukan waktu-waktu intensif atau sepinya aktifitas pemanfaatan sumberdaya laut dan pelayaran. (lampe 33:2007). 24 D. Teknologi Perikanan Laut Masyarakat Nelayan Pengenalan suatu perspektif antropologis terhadap studi kebudayaan masyarakat nelayan di dorong oleh muncul berbagai perspekif dalam disiplin antropologi secara luas. Sampai saat ini para ahli antropologi khususnya di Amerika Serikat, telah memperlihatkan kecenderungan yang kuat antara determinisme budaya, Asahitaro Nishimura, A Premilinary Rapport and Current Trend in Marine Antropologhy, (1973) hal : 4 (Syarifuddin dalam Amral 2005 : 25) yang menurut pandangan mereka, kebudayaan seharusnya dijelaskan menurut istilah dalam kebudayaan itu sendiri. Fenomena itu, khususnya yang menyangkut sistem dari teknik penangkapan ikan. Sistem dari teknik penangkapan ikan, dalam hal ini tidak dapat dijelaskan secara lebih baik dan tanpa memahami hubungan yang saling berkaitan antara alam dengan setting budaya. Aspek-aspek teknologi dan material dari kebudayaan nelayan, seperti alat penangkapan ikan, perahu, dan lain sebagainya. Dikondisikan atau ditentukan oleh keadaan laut, endapan laut, kedalaman laut, dan kondisikondisi lain untuk tujuan memperluas tingkat subsistensi ekonomi. Meskipun terdapat pengaruh yang kuat dari kondisi alam itu, bagaimanapun menangkap ikan adalah hal yang utama dan merupakan aktifitas produksi yang paling penting bagi kelangsungan hidup masyarakat nelayan, namun dalam melakukan penangkapan nelayan 25 haruslah memperhatikan kelangsungan ekosistem trumbu karang dan segala biota yang ada di dalam laut. Walaupun di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara atau di Afrika, Nelayan di negara-negara maju tersebut biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi canggih. Namun masih banyak Nelayan juga yang menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan. Ini dikarenakan nelayan harus lebih menyeleksi lagi alat tangkap yang akan nelayan gunakan dalam melakukan penangkapan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan) Teknologi dari pada sebagai fakta yang digunakan secara berbeda dan membawa aturan sosial berbeda terhadap lingkungan. Meskipun konsep adaptasi lingkungan ditekan pada teknologi budaya, prosedur-prosedurnya harus memperhitungkan kompleksitas dan tingkat dari kebudayaan, (dikutip dari Ashitaro Nishimura dalam Andi Hartati Amral 2005:26). Fenomena yang tampak dari hubungan antara kebudayaan dan lingkungan, memperlihatkan keragaman yang mencolok diantara berbagai komunitas meskipun memiliki mata pencaharian yang sama yaitu sebagai nelayan namun jenis-jenis teknologi alat tangkap yang mereka gunakan itu beraneka ragam. Dalam pemilihan jenis-jenis teknologi nelayan tertentu erat kaitannya dengan faktor-faktor ekologi atau lingkungan alam sekitarnya, baik yang 26 menyangkut pola iklim, maupun medan penangkapan dan jenis populasi ikan yang ada diperairan tersebut, yang memungkinkan nelayan dapat menerima teknologi dari luar yang sesuai dengan lingkungan alamnya dan tidak merusak kelangsungan ekosistem bawah laut. menurut Wiyono (2005:15), telah dilakukan evaluasi dampak pengoperasian alat penangkap ikan minimal harus mampu menjawab tiga dampak utama, yaitu : (1) dampak terhadap lingkungan, (2). dampak terhadap kelimpahan sumberdaya dan (3) dampak terhadap target sumberdaya ikan. Namun aktivitas penangkapan di indonesia telah mendekati kondisi kritis akibat tekanan penangkapan dan tingginya kompetisi antar alat tangkap dan yang akan menyebabkan menipisnya stok sumber daya ikan. Sehingga nelayan akan melakukan modifikasi alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal termasuk menggunakan teknologi alat tangkap yang merusak (destruktif fishing). Atau tidak ramah lingkungan. Jika ini dibiarkan akan mengancam kelangsungan ekosistem bawah laut apabila alat tangkap yang merusak tersebut tetap digunakan dalam proses penagkapan. Sehingga dilakukan Pembatasan alat tangkap yang dapat dikatakan merusak ekosistem, hal ini dikarenakan seringnya terjadi penyala gunaan alat tangkap yang dilarang seperti senapan tombak, jebakan ikan dan jaring pukat pantai, troll, racun, boms dsb memikili 27 potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang berfungsi buat kelangsungan ekosistem karang tempat ikan berkembang biak, ataupun ekosistem yang ada dibawah laut. (Krisis ekologi =http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis-ekologi-laut-danlingkungan.html). Untuk Masyarakat menjaga nelayan kelangsungan mengembangkan ekosistem bawa kemampuannya laut dalam memodifikasi alat tangkap guna memperoleh sumberdaya yang ada dilaut, seperti ikan, tiram udang dan sebagainya. Hal inilah yang dilakukan oleh masyarakat Di Pulau Saugi, mereka memodifikasi alat tangkap troll menjadi alat tangkap yang tidak merusak karang selain itu mereka juga mengembangkan tehnik-tehnik alat pengangkutan air, mulai dari batang kayu kerakit, rakit ke sampan dan hingga saat ini sampai ke perahu. namun teknologi pengangkutan tersebut tidak berhenti sampai disitu setiap saat mengalami perubahan, terutama dengan adanya motorisasi dan peralatan tangkap yang diperkenalkan oleh pemerintah maupun swasta (Lanca, 1986 : 9). E. Dampak Sosial dan Teknologi Dalam upanya peanfaatan lingkungan laut, teknologi sebagai wujud dan fungsi kebudayaan memegang peranan pentig, mengklasifikasikan sifat hubungan antara kelompok manusia yang secara spesifik berbeda dengan keompok manusia lain disebabkan pola pemanfaatan teknoogi, 28 disamping perbedaan sistem ekononi dan sistem kepercayaan (religion) yang dianut. Memahami fenomena penerapan teknologi bagi masyarakat nelayan. Fenomena penerapan teknologi didalam pemanfaatan lingkungan adalah suatu fenomena yang tidak lepas dari fenomena sosial budaya, bahka munculnya teknologi, mulai dari tingkat yang paling sederhana sampai pada taraf yang kompleks seperti yang tampak saat ini adalah akumulasi dari suatu tingkat perkembangan sosial budaya, Pembangunan teknologi bagi pemanfaatan lingkungan memiliki umpan balik (feedback),baik dalam konteks ekologis maupun pada tataran sosial budaya. Penggunaan teknologi dalamposisi relatif berkonsekuensi terhadap peningkatan kondisi sosial ekonomi, namun pada sisi lain. Penggunaan teknologi berkonsekuensi pula pada kondisi ekologis, konsekuensi terterhadap aspek fisik biologis yang di khawatirkan terjadi adalah ancaman bagi kelestarian (sustainability) ekosistem pesisir itu sendiri. Saat ini telah menggejalah fenomena tingkat pencemaran lingkungan laut, gejala tangkap lebih (overfising), degradasi fisik habitat (Mamar dalam Naping, 2007 : 2). Penggunaan berbagai macam teknologi dalam konteks pemanfaatan lingkungan, menyebabkan terjadinya unsur-unsur sosial dalam bentukperubahan pranata sosial ekonomi, organisasi dan kelompokkelompok sosial, pola-pola hubungan sosial dan peranan status sosial. 29 Komunitas nelayan renreng di Pangkep sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang dimiliki, menerima inovasi-inovasi baru, baik berupa hasil cipta tokah masyarakat yang kreatif (indegenousknowledge) maupun adopsi dari luar, berkonsekuensi pada terjadinya stabilitas dinamik masyarakat nelayan, perubahan struktur masyarakat nelayan merupakan hasil transformasi budaya yang ada akan menyebabkan transformasi sosial ekonomi (Abu Hamid dalam Naping, 2007 : 3). Studi tentang pemanfaatan teknologi bagi masyarakat nelayan renreng di Pangkep menjadi penting di pandang dari upaya pemahaman utuh tentang kaitan antara teknologi, lingkungan alam dan kebudayaan masyarakat nelayan, dengan fokus kajian bagaimana fungsi teknologi bagi pemanfaatan lingkungan laut pada komunitas nelayan ( Naping, 2007 : 3 ) 30 BAB III GAMBARAN KHUSUS LOKASI PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Daerahnya berada di pesisir Barat Sulawesi Selatan dengan ketinggian antara 0 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini mencapai luas wilayah sekitar 1.122,29 Km2 yang secara adminstratif terbagi menjadi 12 kecamatan, 66 desa, dan 36 kelurahan. Di seluruh wilayah itu tersebar penduduk yang mendiami wilayah pangkep sekitar 279.887 jiwa. Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dicirikan dengan wilayah perairannya lebih luas dibandingkan daratannya yakni dengan perbandingan 1 berbanding 17. Kabupaten Pangkep memiliki 117 pulau dan hanya 80 diantara yang berpenghuni, terbagi dalam 3 kecamatan yaitu Kecamatan Tuppabiring, Kecamatan Liukang Kalmas dan Liukang Tangaya. Sedangkan Letak geografis Kabupaten Pangkep yaitu terletak pada posisi 110o BT sampai dengan 113o dan 4o,40 LS sampai dengan 8o LS atau terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan. Suhu udara di Kabupaten Pangkep berada pada kisaran 21oC - 31oC atau rata-rata 26,40oC, dengan curah hujan maksimal pada tahun 2000 rata-rata mencapai 666/153 karena hujan dengan 31 kelembaban udara yang merata, sementara keadaan angin berada pada kecepatan laut sampai sedang. (www.kmb-sulsel.net/index.php?option=com_content.id). Salah satu kecamatan desa yang ada di kabupaten ini adalah Desa Mattiro Baji. Desa Mattiro Baji terletak di kecamatan Tupabbiring utara. Sebagai sebuah desa, Mattiro baji memiliki berbatas dengan wilayah lainnya. Adapun batas-batas wilayah dari Desa Mattiro Baji, kecamatan Tupabbiring utara yaitu: a. Sebelah Utara Desa Mattiro Bombang b. Sebelah Selatan Desa Mattiro Ulung c. Sebelah Timur Kelurahan Pundata Baji d. Sebelah Barat Desa Mattiro Kanja. Desa Mattiro Baji merupakan desa yang berbentuk kepulauan, dimana didalam wilayahnya terdiri dari 4 pulau-pulau kecil. Dari ke empat pulau tersebut, 3 pulau diantaranya yakni pulau Satando, Pulau Saugi, Pulau Sapuli dihuni oleh beberapa keluarga, dan 1 pulau lainnya yakni pulau Camba-Cambayya tidak dihuni oleh manusia, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi melepaskan penat yang bisa diakses oleh siapa saja yang menginginkan. Salah satu kecamatan desa yang ada di kabupaten ini adalah Desa Mattiro Baji. Desa Mattiro Baji terletak di kecamatan Tupabbiring utara. 32 Sebagai sebuah desa, Mattiro baji memiliki berbatas dengan wilayah lainnya. Adapun batas-batas wilayah dari Desa Mattiro Baji, kecamatan Tupabbiring utara yaitu: a. Sebelah Utara Desa Mattiro b. Bombang Sebelah Selatan Desa Mattiro Ulung c. Sebelah Timur Kelurahan Pundata Baji d. Sebelah Barat Desa Mattiro Kanja. Desa Mattiro Baji merupakan desa yang berbentuk kepulauan, dimana didalam wilayahnya terdiri dari 4 pulau-pulau kecil. Dari ke empat pulau tersebut, 3 pulau diantaranya yakni pulau Satando, Pulau Saugi, Pulau Sapuli dihuni oleh beberapa keluarga, dan 1 pulau lainnya yakni pulau Camba-Cambayya tidak dihuni oleh manusia, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi melepaskan penat yang bisa diakses oleh siapa saja yang menginginkan. Pulau Satando, dengan luas wilayah 1,5 hektar merupakan pulau paling luas diantara kedua pulau lainnya. Pulau ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 549 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 134 kk dengan rincian 277 laki-laki dan 272 perempuan yang terbagi atas 2 RT. Dua pulau lainnya, yakni sapuli dengan luas wilayah 700 m2 yang dihuni oleh 474 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 122, terdiri dari 239 laki-laki 235 perempuan, dan yang terakhir Pulau Saugi dengan luas 900 m2. (Sumber data: Profil Desa Mattiro Baji). 33 Salah satu pulau yang masuk kedalam wilayah administratif desa mattiro baji, yakni Pulau Saugi merupakan tempat dari dilaksanakannya penelitian ini. Pulau ini berbatas dengan : a. Sebelah Utara Pulau Sapuli b. Sebelah Selatan Pulau Camba-Cambayya c. Sebelah Timur Macini Baji d. Sebelah Barat Pulau Satando. B. Sejarah Pulau Menurut Nama Pulau Saugi diambil dari nama orang yang pertama yang mendiami pulau ini. Awalnya, pulau ini dihuni oleh seorang pria yang bernama Ma’ugi. Ma’ugi adalah seorang tahanan yang melakukan pelarian dari daerah Bone hingga tiba di pulau ini. Ma’ugi datang bersama saudaranya yang bernama Lakandra, Lakandra lah yang pertama kali menemukan Pulau Karanrang. Awal mula terbentuknya struktur pemerintahan di Pulau Saugi masih bergelar Gallarang yang dimulai pada tahun 1930-1967. Yang dipimpin oleh Gallarang yang berbeda-beda, pada tahun 1930-1937 dipimpin oleh Pak Mangunjungi, pada tahun 1937-1967 dijabat oleh Syamsuddin. Kemudian pada tahun 1968 terbentuklah suatu desa yang namanya Desa Satanggi yang pada waktu itu dijabat oleh Pak Mahmud selama setahun. Pak mahmud digantikan oleh Mursyiddin yang menjabat dari Tahun 1969-1972. 34 Sekitar tahun 1973-1977 nama desanya kembali berubah menjadi Desa Mattiro Buluk dan pemerintahannya bergelar kepala Wanua kepala pemerintahannya Ahmad Padaung, dan itu kembali bergelar Gallarang dengan gelar Puang Taula, setelah tahun 1977 desa kembali dimekarkan dengan nama Desa Mattiro Kanja’ yang kepala pemerintahannya bernama Taslim. Taslim menjabat dari tahun 1978-1992. Setelah itu tahun 1992 kembali mekar menjadi Desa Mattiro Baji, dengan kepala pemerintahannya Taslim, Taslim menjabat dari tahun 19921994. Setelah kepemimpinan Taslim berakhir dia digantikan oleh Mukhlis beliau menjabat dari tahun 1994-2002. 2002-2007 dijabat oleh Andi Nasrum Raup. Namun pada tahun 2007-2008 hanya ada penjabat kepala desa oleh Pak Annas Setelah itu pada tahun 2008-2014 nantinya dijabat oleh H. Muslimin. C. Demografi 1. Kependudukan Pulau saugi yang luas wilayahnya sekitar 900 m2, dengan jumlah penduduk 427 jiwa terdiri dari 2 RT dengan rincian: 122 kepala keluarga ,laki-laki 199 jiwa dan wanita 228 jiwa. Walaupun jumlah kepala keluarga yang ada pulau saugi banyak, namun di pulau saugi hanya terdapat 89 rumah. 35 2. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan pada masyarakat Pulau Saugi masih tergolong rendah. Data tahun 2011 menunjukan bahwa jumlah warga yang tamat Sekolah Dasar sebanyak 300 orang, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 16 orang. Kondisi ini bisa dianggap memprihatinkan karena sebenarnya di pulau ini terdapat sekolah menengah pertama, meskipun hanya berstatus sebagai sekolah terbuka. Sedikit lebih banyak, Penduduk yang tamat Sekolah Menengah Atas di pulau ini sebanyak sekitar 40 orang, dengan rincian laki-laki dan perempuan yang hampir imbang. Sedangkan S1 dipulau ini sebanyak 9 orang saja. Rendahnya tingkat pendidikan dipulau ini dikarenakan sarana dan prasarana yang tidak mendukung. Di saugi sendiri, tidak terdapat SMA, apalagi perguruan tinggi dan SMA yang terdekat terletak di kota pangkep, yang harus ditempuh dengan 15 menit perjalanan air, dan 30 menit perjalanan darat, sedangkan masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi yang bermutu harus Ke Makassar sekitar 2 jam ditempuh dari Pulau Saugi menuju kota. Dari data diatas, dapat diperlihatkan bahwa perhatian masyarakat terhadap pendidikan masih rendah. Bagi masyarakat saugi, mencari uang masih lebih utama dibandingkan dengan belajar di bangku sekolah. Anakanak lebih utama diajarkan berenang dari pada membaca dan menulis. 36 Kondisi seperti ini di dukung pula dengan berbagai permasalahan lainnya, mulai dari minimnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan, hingga sulitnya transportasi menuju sekolah. 3. Mata Pencaharian dan Kondisi Ekonomi Karena berbentuk kepulauan, maka hampir seluruh penduduk menggantungkan hidup dari laut. Sebagian besar penduduk adalah nelayan renreng yang biasanya bersama istri dan anak-anaknya memiliki sambilan mengolah kotoran. Hanya sebagian kecil yakni sekitar 9 orang yang menggantungkan hidupnya pada birokrasi negara, yakni 8 orang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan 1 orang lainnya berprofesi sebagai pegawai honorer. Nelayan di pulau saugi sangat tergantung pada alat tangkap renreng sebagai alat tangkap utama mereka. Sejak kehadirannya, Renreng memang smembawa pengaruh yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat. Masuknya renreng menjadikan kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Saugi sangatlah berbeda. Saat ini, kondisi ekonomi masyarakat pulau saugi jauh lebih mapan dibandingkan dahulu. Renreng meningkatkan jumlah hasil tangkapan ikan, yang secara otomatis menambah pundi-pundi keuangan mereka. Menurut pengakuan dari beberapa informan, dulu sebelum menggunakan renreng, jangankan cukup untuk kebutuhan sekunder, hasil tangkapan mereka pun terkadang tidak cukup untuk makan dan minum. 37 Terkadang mereka makan cuma sekali sehari dan terkadang pula dalam sehari mereka mengganjal perut hanya dengan air putih. Dan saat ini ekonomi keluarganya pun berangsur-angsur stabil. Tidak hanya cukup untuk kebutuhan makan dan minum, saat ini warga juga telah banyak merenovasi rumah-rumah mereka, bahkan membeli kebutuhan sekunder seperti televisi, radio, sepeda, dan yang lainnya. Kehadiran renreng juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi anak-anak dan perempuan di pulau saugi. Kehadiran kotoran, bisa dijadikan salah satu komoditi yang dijual untuk mendapatkan keuntungan. Kotoran yang dimaksud adalah biota-biota kecil (biasanya berupa udang kecil, kepiting kecil, bahkan ikan-ikan kecil) yang sebenarnya belum siap panen tetapi juga terikut ke dalam jala renreng pada saat digunakan menangkap ikan. Mereka mengolah kotoran ini dengan cara dikeringkan kemudian ditumbuk hingga halus, dan dimasukkan kedalam karung, lalu kemudian dijual kepada pengumpul. Kotoran ini biasanya dijual lagi oleh pengumpul ke pulau-pulau sekitar, ke Makassar, hingga ke Kabupaten Sidrap, sebagai makan pakan ternak. 4. Sarana dan Prasarana Saugi merupakan sebuah pulau oleh karena itu jalur trasportasi utama yang menggabungkannya dengan pulau-pulau lain mereka melalui jalur laut. Alat tranportasi yang umum di gunakan adalah sebuah perahu bermesin yang biasa mereka sebut dengan (Jolloro). Jolloro digunakan 38 untuk menfasilitasi warga yang ingin menuju kota Pangkep, ataupun pulau lainnya yang ada disekitar. Berbeda dengan pulau-pulau kebanyakan, untuk sampai di pulau saugi, tidak disediakan alat transportasi umum. Masyarakat pulau yang ingin menuju pulau-pulau sekitar atau menuju kota Pangkep, biasanya menggunakan perahu sendiri ataupun menumpang kapal pengangkut karyawan di perusahaan kepiting yang ada di Pulau Saugi, kapal tersebut setiap harinya mengangkut karyawan perusahaan menuju Pulau Saugi pada subuh hari, lalu kemudian menuju daratan pangkep pada pukul 08.00 pagi, hal ini dimanfaatkan warga yang ingin ke kota Pangkep untuk menumpang. Dan yang sangat menguntungkan bagi masyarakat, yaitu siapapun yang menumpang perahu untuk menyeberang tidak dikenakan tarif sama sekali. Semua sekolah dasar (SD) di Pulau Saugi berstatus dan semua Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah berstatus negri. Kondisinya tidak memilliki banguan fisik sehingga murid yang ingin belajar kelasnya harus digabungkan dengan SD setempat. Menurut pengakuan aparat desa, hal ini terjadi dikarenakan keterbatasan lahan. Di pulau Saugi, tidak ada lagi tanah atau lahan kosong yang cukup untuk membangun sekolah. Selain sarana pendidikan, pulau ini pun memiliki Sarana Ibadah. Karena semua penduduk memeluk agama islam, maka sarana ibadah yang dibangun dipulau ini adalah sebuah mesjid. Mesjid ini terletak di bagian tengah pulau dengan ukuran kira-kira 12m X 8 m, dan di bangun secara 39 permanen. Ornamen di dalam mesjid kental dengan nuansa islam karena terdapat tulisan-tulisan kaligrafi arab yang melambangkan Allah dan Nabi Muhammad. Kondisi mesjid pun senantiasa bersih, dan saat ini lantai mesjid pun sudah dibuat beubin agar tampak lebih mewah. Selain tempat ibadah mesjid ini juga digunakan berbagai kegiatan lainnya seperti aktifitas pemuda, tepat disamping mesjid, terdapat sebuah lapangan multifungsi yang digunakan sebagai sarana olahraga. Lapangan ini terkadang digunakan sebagai areal bermain bola kaki untuk anak-anak, arena permainan bulu tangkis dan takrau untuk para remaja, atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Sarana penunjang lainnya, yaitu MCK yang ada merupakan bantuan dari PNPM Mandiri yang di ketuai oleh Dg Sangkala dengan jumlah sarana MCK nya yaitu 6 unit yang menyebar di beberapa tempat yakni : 1 unit di tengah, 3 unit sebelah utara , 1 unit sebelah barat , 1 unit sebelah selatan , setiap 1 unit MCK terdapat 2 bilik kamar mandi dan 1 buah sumur. Berdasarkan hasil observasi saya walaupun ada beberapa warga yang sudah menggunakan fasilitas wc umum dan telah di sosialisasikan, namun masih banyak warga setempat yang memilih buang hajat di laut di karenakan mereka belum terbiasa menggunakan fasilitas MCK. Walaupun Pulau saugi merupakan pulau kecil, namun Di Pulau ini air bersih tidak susah diperoleh. Masyarakat menggunakan air payau untuk aktifitas mencuci, mandi maupun untuk di konsumsi. Kualitas air yang ada memang masih merupakan air payau, namun dengan intensitas garam yang 40 sudah sedikit jika dibandingkan dengan air payau yang ada di pulau lain di sekitar Pulau Saugi. Hal ini dikarenakan masyarakat saugi menanam pohon sukun di bebarapa titik, terutama di dekat beberapa tempatyang mereka yakini sebagai mata air. Pengetahuan local mereka membuat mereka meyakini bahwa akar-akar dari pohon sukun mampu menyaring dan menetralisir garam-garaman yang ada, hingga air yang sampai di sumursumur mereka mengandung garam yang lebih sedikit. Meskipun jarak pulau saugi dengan kota pangkep tidak begitu jauh, hanya sekitar 15 menit ditempuh dengan jalur laut, namun tetap saja, pasokan listrik untuk daerah ini masih sangat terbatas. Pasokan listrik didapatkan dari genset milik pemerintah yang dibatasi penggunaannya. Genset hanya dinyalakan 4 jam dalam sehari yakni mulai pukul dari pukul 18.00 petang hari hingga pukul 22.00 malam. Namun, warga yang memiliki taraf ekonomi yang berlebih kebanyakan memiliki genset pribadi yang mereka pergunakan untuk membantu aktifitas sehari-hari mereka. Dilihat dari segi fisik jalan yang ada di Pulau Saugi hampir semua depan rumah warga sudah di Pavin block sehingga di sekitar rumah warga kelihatan lebih rapi dan nyaman buat dilalui. D. Kondisi Sosial Budaya 1. Sistem Religi Seluruh penduduk pulau saugi tercatat di kantor desa memeluk agama Islam. Agama islam sendiri hadir seiring dengan hadirnya ma’ugi, 41 orang pertama yang tinggal dan mendiami pulai ini. Masyarakat saugi juga mengenal adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap hal-hal gaib, dan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Akibatnya, di masyarakat terdapat larangan-larangan, ataupun pemali-pemali yang berlaku. Laranganlarangannya misalnya seperti mendatangi salah satu tempat dimana ditempat tersebut terdapat batu berbentuk segitiga, karena diyakni, di batu tersebut terdapat kekuatan gaib, yang apabila disentuh atau berpindah tempat, maka akan mendatangkan bahaya bagi yang menyentuh ataupun memindahkan tempatnya. Namun secara berangsur-angsur, kini kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib ataupun roh nenek moyang perlahan memudar bahkan suatu saat menurut tokoh adat, bisa menghilang. Hal ini disebabkan karena kemajuan ikmu pengetahuan dan perkembangan ilmu agama islam yang sangat pesat. Masyarakat mulai mengenal konsep syirik yang berarti mengakui adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT, yang apabila dipercayai atau bahkan dilakukan, akan mendapatkan ganjaran dosa besar. 2. Sistem kekerabatan Masyarakat Pulau Saugi dalam memilih jodoh tidaklah harus dari sesama warga pulau walaupun kewajiban dari mereka menikah dengan orang didalam Pulau namun tetap saja berbeda suku atau budaya, pola 42 menetap setelah menikah cenderung patrikal namun itupun sangat tergantung dari kemampuan dan kekayaan sang pengantinnya bahkan jika orang tuanya mampu membelikan mereka rumah maka anak tersebut akan tinggal terpisah dari orang tuanya dengan menempati rumah baru mereka namun jika orang tuanya tidak mampu membelikan rumah maka mereka akan tetap tinggal di rumah orang tuanya. Namun sebagian besar anak-anak mereka yang sudah menikah lebih memilih tinggal dirumah orang tuanya dibandingkan mendirikan rumah sendiri, hal ini dikarenakan wilayah pulau yang sempit sedangkan jumlah penduduknya selalu bertambah. 43 BAB IV HASIL PENENILITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Masuknya Renreng Di Pulau Saugi Sebelum masuknya renreng Di Pulau Saugi kehidupan ekonomi masyarakat pulau saugi sangatlah memprihatinkan. Hal ini dikarenakan alat tangkap yang mereka gunakan sebelumnya yakni panyungkara’ tidak bisa menangkap banyak ikan. Karena ketidak puasan terhadap alat tangkap panyungkara’lah maka kemudian masyarakat mengubah atau memodifikasi alat tangkap mereka menjadi alat tangkap yang bernama renreng. Renreng masuk kedalam kehidupan masyarakat pulau saugi pada tahun 1980’an. Secara drastis, Renreng kemudian mengubah taraf kehidupan masyarakat menjadi meningkat dengan pesat. Sebenarnya alat tangkap Renreng bukanlah alat tangkap baru pada masyarakat Pulau Saugi. Renreng merupakan alat tangkap inovasi dari panyungkara, panyungkara merupakan pukat yang ditarik oleh perahu mesin dan masyarakat setempat menyebutnya dengan jolloro. Ide membuat alat tangkap Renreng sebenarnya diadopsi oleh masyarakat Pulau Saugi dari nelayan-nelayan yang ada di Kalimantan. Hal ini dingkapkan oleh salah satu informan saya yang benama Dg Tiru (58 tahun) : 44 “Itu alat tangkap renreng yang pertama kali yang bawa kemari itu keluarganya pak desa yang namanya H. Muh.Hajar (Punggawa). dia itu ABK kapal pengangkut kayu di Kalimantan.”(kutipan wawancara 11maret 20011) Ide membuat Renreng dibawa oleh seorang warga Pulau Saugi yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) pada kapal pengangkut kayu Kalimantan-Malaysia. Beliau yang sering pulang pergi Kalimantan melihat kehidupan nelayan Kalimantan memiliki taraf hidupnya lebih baik dari masyarakat saugi, karena hasil tangkapan mereka yang lebih banyak. Tertarik dengan itu, akhirnya si ABK itupun kemudian belajar dari para nelayan Kalimantan bagaimana cara membuat alat tangkap Renreng. Setelah pulang kembali ke pulau Saugi, si ABK tersebut tidak ingin menyia-nyiakan ilmu yang di dapatnya di Kalimantan. Beliau mencoba membuat alat tangkap, menguji coba di lautan sekitar pangkep, hingga beliau melihat bahwa hasil Renreng lebih banyak dari pada Panyungkara’. Akhirnya, si ABK ini memperkenalkan kepada orang lain, mula-mula dari keluarga dekatnya, keluarga besar, hingga masyarakat saugi secara umum. Proses perkembangan dan penerimaan renreng oleh masyarakat setempat tidak terlalu sulit, hingga lambat laun semakin banyak masyarakat yang menggunakan Renreng. Seperti yang diungkapkan Abdul Samat (50 tahun) : 45 ”Itu waktu nagunakan mi H. Muh.Hajar (Punggawa). itu renreng banyak tongmi yang gunakan juga disini karna bisa banyak menghasilkan tanggapan di bandingkan alat tangkap yang lain.” ( kutipan wawancara 11 maret 2011) Selain Abdul Samad, hal yang hampir sama di ungkapkan oleh Dg Jiro: Waktu pertama kali masuki renreng di Pulau Saugi cepatji berkembang karna bisa lebih banyak na dapat dari alat tangkapan yang lain. Penggunaannya juga tidak jie na susah, karena beda sedikitjie sama panyungkara cra pakainya. Makanya masyarakat cepatjie menyesuaikan diri (kutipan wawancara 11 maret 2011) Melalui kedua informan tersebut, dapat dilihat bahwa kehadiran Renreng yang menghasilkan tangkapan yang lebih banyak, serta penggunaannya yang lebih mudah dari pada alat tangkap sebelumnya (panyungkara’), hingga masyarakat sebenarnya telah familiar dengan kehadiran alat tangkap baru ini, mengakibatkan renreng masuk dengan mudah kedalam kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan Renreng maka hasil yang di tangkap bertambah, hingga secara otomatis, kehidupan ekonomi masyarakat pun menjadi lebih baik. Melihat hal tersebut, maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar masyarakat pulau saugi mengoprasikan renreng hingga sekarang. Perkembangan Renreng termasuk sanagat pesat. Hanya berselang beberapa tahun sejak Renreng masuk ke pulau saugi kini hampir secara keseluruhan masyarakat Pulau Saugi menggunakan alat tersebut. Ditunjang dengan masuknya perusahaan yang mengelolah kepiting di pulau ini 46 sehingga masyarakat tidak perlu memasyarkan terlalu jauh dan masyarakatpun tidak perlu memasarkan terlalu jauh dan harga yang ditawarkan pun lebih tinggi. B. Sistem Pengetahuan Tentang Tehnik Renreng 1. Renreng Renreng adalah suatu alat tangkap yang terbuat dari tali yang di dibentuk menjadi sebuah jaring yang di atasnya terdapat beberapa besi yang berbentuk seperti rantai yang disusun dan disambung dengan beberpa pelampung, alat tangkap ini juga dilengkapi dengan dua papan yang berfungsi untuk membuat alat tangkap ini menjadi lebih mengembang pada saat di tarik oleh kapal yang masyarakat saugi menyebutnya dengan jolloro. Renreng diletakkan pada bagian belakang kapal agar mempermudah nelayan untuk menurunkan Renreng kelaut, Renreng di oprasikan dengan menggunakan perahu bermesin, Renreng diturunkan kelaut secara bertahap selain itu alat tangkap ini juga ditarik pada bagian belakang kapal (baca: kapal dalam keadaan berjalan) menelusuri permukaan dasar perairan yang dilaluinya. 2. Tekhnik Penggunaan Renreng Renreng adalah salah satu alat tangkap yang digunakan pada masyarakat Pulau Saugi, alat tangkap ini memeliki pengaruh besar dalam pemenuhan kebutuhan hidup komunitas nelayan yang ada di Pulau Saugi. Untuk memiliki satu unit alat tangkap ini lengkap dengan perahu 47 bermesinnya masyarakat nelayan mengeluarkan uang yang tidaklah sedikit karena alat tangkap ini harganya mahal. Harga alat tangkap yang mahal tidaklah mengurangi minat masyarakat Pulau Saugi unutuk memiliki alat tangkap Renreng, dikarenakan hampir semua masyarakat nelayan Di Pulau Saugi yang menggantungkan hidupnya dari laut memiliki alat tangkap ini, walaupun dalam mengoprasian Renreng tidaklah terlalu rumit tetapi harus melaui beberapa tahap sebelum menggunakannya. Renreng termasuk alat tangkap yang tahan lama walaupun jika terkena karang akan robek namun alat tangkap ini bisa di perbaiki untuk di gunakan kembali, walaupun Renreng termasuk dalam kategori troll mini namun ukuran Renreng tidaklah sebsesar troll dalam pngoprasiannya Renreng hanya membutuhkan 1 sampai 2 orang. 3. Pengetahuan Tentang Harga Penentuan harga alat tangkap pada setiap unitnya biasanya dipengaruhi oleh harga bahan penunjang dalam pembuatan alat tangkap ini, jika bahan yang digunakan harganya mahal maka harga Renreng juga mengalami kenaikan. Harga bahan dan ongkos pembuatan ditentukan oleh pembuat alat tangkap Renreng, harga Renreng tergantung dari ukurang renreng yang di inginkan oleh nelayan. 48 4. Lokasi Penagkapan Setiap kali melakukan aktifitas melaut keberhasilan nelayan dalam penangkapan tidak hanya ditunjang oleh alat tangkap yang memadai namun juga lokasi penagkapan yang strategis. Berada dilaut lepas dan menatap langit saat cahaya bulan yang penuh menembus kegelapan dan membentuk bayangan dipermukaan air, sungguh merupakan saat-saat yang mengaharukan. Semua itu mengingatkan dan menyadarkan manusia akan sumber daya yang ada di laut. Namun sumber daya ini tidaklah melimpah seperti ini jika kita tidak menjaga kelestariannya yaitu dengan menggunakan alat-alat tangkap yang ramah lingkungan dan tidak merusak. Sama halnya Di pulau Saugi nelayan mengembangkan teknologi pengkapan yang nelayan Di Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng. Walaupun alat tangkap ini mirip dengan troll namun masyarakat saugi beranggapan kalau alat tangkap ini tidak merusak, walaupun dikatakan tidak merusak karang namun ada wilayahwilayah tertentu dimana alat tangkap renreng tidak boleh digunakan hal ini dikarenakan disana terdapat gugusan karang yang menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Lokasi DPL ini terdapat disebelah barat Pulau Saugi, tempat ini telah dijadikan pemerintah sebagai tempat berkembang biaknya Flora dan Fauna laut dan ada sanksi buat yang melanggar peraturan tersebut dikarenakan sudah ada perdes yang mengatur mengenai perlindungan wilayah ini. Selain 49 wilayah-wilayah penagkapan yang dilarang dan telah diatur oleh perdes ada juga wilayah pengkapan renreng yang dilarang oleh anggota masyarakat itu sendiri pelarangan ini telah menjadi kesepakatan antar anggota masyarakat Di Pulau Saugi. Area penagkapan ini hanya di khususkan utuk alat tangkap jaring kepiting dan rawe dan jika alat tangkap Renreng sampai melewati wilayah renreng pasti akan nyangkut dialat tangkap tersebut. 5. Biota Yang Bernilai Ekonomi Sejak masuknya perusahaan kepiting di Pulau Saugi ini menjadikan renreng sebagai alat tangkap yang dapat menghasilkan kepiting yang jauh lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain yang juga digunakan dipulau ini. Selain kepiting alat tangkap ini juga dapat menghasilkan ikan, kerangkerang kecil dan masi banyak lagi. Kalau lagi beruntung terkadang juga alat tangkap ini menghasilkan gurita. Semua hasil yang didapatkan misalkan kepiting yang tertangkap biasanya langsung dijual di perusahaan kepiting yang ada Di Pulau Saugi, gurita biasanya dijual ke pemancing rawe atau mereka gunakan sendiri untuk memancing, ikan-ikan yang dapat dikonsumsi biasanya mereka konsumsi sendiri atau mereka jual ke masyarakat lain, sedangkan sisanya yang tidak dapat dikonsumsi yang biasa mesyarakat Di Pulau Saugi biasa menyebutnya dengan kotoran, Seperti yang terlihat (pada gambar 01) berikut: 50 Gambar 01 : kotoran menurut masyarakat Pulau Saugi Tidaklah mereka buang, dikarenakan kotoran ini juga berguna bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Di Pulau Saugi kotoran ini jemur dulu setelah kering barulah Di Pulau Saugi membawanya kepenampungan untuk dijual. Kotoran ini nantinya oleh pengepul dijual lagi, kotoran ini bisanya digunakan sebagai pakan ternak. C. Sarana Dan Alat Tangkap 1. Sarana Tangkap Dalam melakukan aktifitas melautnya nelayan membutuhkan lampu jika melaut pada malam hari, jaring yang mereka sebut dengan Renreng, beberapa meter tali buat mengikat Renreng, dan mesin untuk menjalankan perahu. Namun yang paling penting dari semuanya yaitu perahu yang digunakan untuk melaut. Perahu yang nelayan Di Pulau Saugi gunakan mereka sebut dengan jolloro’. Tidak seperti jolloro’ yang biasa 51 terlihat di perairan Makassar, jolloro’ di nelayan Pulau Saugi memiliki kamar dengan bagian belakang tidak runcing (lihat gambar 02). Sarana seperti ini, di dapatkan dari pulau sendiri. Beberapa orang atau warga, telah memilih menjadi pembuat perahu, walaupun di Pulau Saugi sudah ada yang pandai membuat perahu namun ada juga warga yang memesan perahunya pada pembuat perahu dari pulau seberang (Satando) hal ini di karenakan bahan-bahan untuk membuat perahu lebih mudah didapatkan dari Pulau Satando. Kayu ulin dengan mudah di dapatkan Di Pulau Satando dikarenakan di pulau ini sering datang kapal-kapal dari Kalimantan yang khusus membawa kayu ulin buat dijual. Itulah yang menjadi suatu alasan kenapa Pulau Satando menjadi salah satu pulau pembuat kapal Jolloro. Kapal ini biasanya berfungsi untuk menarik alat tangkap yang masyarakat Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng. Namun tidak semuanya kapal jolloro yang ada di Pulau Saugi di buat di Pulau Satando walaupun bahan baku utama yaitu kayu ulin mudah didapatkan di Pulau Satando namun tidak jarang juga masyarakat Pulau Saugi mempercayakan kapalnya di buat di Pulau Saugi ini. Hal ini dikarenakan di Pulau Saugi sendiri masih ada beberapa orang yang pandai membuat perahu dan kualitas perahu yang dia buat tidak kalah dengan perahu Jolloro buatan Pulau Satando. Seperti yang di ungkapkan Abdul Hamit 52 tahun : 52 “Biasanya masyarakat disini bikin perahunaya di Pulau Satando tpi ada tongji juga yang bikin perahunya disni karna bagus tongji juga cara pembuatan perahunya disini, sama cara pembuatannya dengan yang ada di satando, sealain itu gampang na liatki yang punya perahu sampai dimanami perahunya jadi kalo disini dibikin perahunya.” (Kutipan wawancara 10 agustus 2010) . Walaupun bahan kayu yang digunakan untuk membuat kapal lebih mudah di dapatkan di Pulau Satando namun tidak jarang masyarakat membuat kapalnya di Pulau Saugi, dikarenakan mereka beranggapan lebih dekat jika alat tangkap yang mereka inginkan dan dapat selalu di lihat bagaimana perkembangan pembuatan kapal yang mereka, seperti jika bahan pembutannya kurang. Seperti yang dikatakan Dg. Jiro 50 tahun: “Itu kapal yang di biking di pulau satando kayunya itu langsungki dari kalimantan di bawa, na kalo moki biking kapal di sini itu kayu yang di beli di pulau satando mau lagi di bawa ke sini” (kutipan wawancara 6 agustus 2010). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat nelayan yang pembuatan perahunya di lakukan di pulau Satando lebih memikirkan sisi praktisnya hal ini disebabkan bahan yang akan digunakan tidak perlu lagi di bawa ke Pulau Saugi. Tetapi tidak banyak juga yang memilih pembuatan perahunya di Pulau Saugi saja mereka beranggapan bahwa akan sulit buat mengontrol apabila terjadi kesalahan dalam pembuatan perahu yang mereka punya. Jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan perahu tersebut yaitu kayu ulin, kayu ulin dipilih untuk digunakan sebab kayu ini merupakan salah satu kayu yang 53 berkualitas bagus walaupun harga kayu ini mahal tapi tetapi tidak sebanding dengan kualitas kapal yang didapatnya yaitu kapal yang kuat tidak akan mudah pecah jika terkena ombak, tidak mudah lapuk oleh air asin. Menurut Dg. Sangkala 30 tahun : “itu perahuku saya lamanya mi tidak rusak-rusak sudah 10 tahun mi itu paling catnya ji ku ganti tiap tahun biar kelihatan tambah baru.” (kutipan wawancara 12 maret 2011) Pembuatan 1 unit perahu Dengan harga berkisar Rp 30.000.000,00 dengan rincian (lihat rincian pada tabel 01). Dengan ukuran perahu lebar 1,5 meter panjang 9 meter dengan waktu pembuatan kurang lebih sebulan namun jika yang pembuat perahu memiliki banyak pesanan maka yang akan memesan berikutnya harus rela menunggu sampai beberapa bulan agar sampai perahunya mulai di buatkan. Bentuk satu unit kapal bisa (lihat di gambar 02) Jenis Bahan Kayu ulin Mesin 260 pk Karpet Cat Harga Satuan 2 kubik x @ 10.000.000 1 unit x @ 65.000.000 10 mtr x @ 9.000 Jumlah Total 20.000.000 6.500.000 90.000 5.000.000 31.590.000 Table 01 harga kapal (jolloro) 54 Gambar 02: Jolloro’ sebagai sarana tangkap nelayan Pulau Saugi Gambar : Jolloro’ sebagai sarana tangkap nelayan Pulau Saugi Rincian diatas sudah termasuk ongkos kerja, bahan kayu ulinnya di dapatkan dari Pulau Satando, kayu yang ada di Pulau Satando ini langsung di datangkan langsung dari Pulau Kalimantan, sedangkan cat, karpet dan 55 mesin perahunya di dapatkannya dari Kota Pangkep, karena transportasi di Pulau Saugi tidak sama dengan pulau-pulau lain yang ada kapal khusus buat mengangkut masyarakat yang ingin menyebrang sehingga untuk mendapatkan bahan-bahan penunjang dalam pembuatan perahu jolloronya. tersebut mereka harus menyebrang kedaratan dengan menggunakan perahu mereka sendiri ataupun hanya sekedar menumpang kapal yang biasa mengangkut para pekerja pabrik pengolahan kepiting ada di Pulau Saugi yang tiap hari menuju ke Pangkep, hal ini di karenakan transportasi menuju Pulau Saugi tidak seperti pulau-pulau lain yang lancar. 2. Alat Tangkap Sebagian besar nelayan Pulau Saugi adalah nelayan renreng, mata pencaharian utama mereka dari Renreng, sehingga selain menggunakan kapal yang biasa nelayan sebut dengan jolloro masyarat Pulau Saugi juga sangat membutuhkan alat untuk menangkap. Alat tangkap yang masyarakat Pulau Saugi gunakan tersebut bentuknya seperti troll namun ukuran dan cara pengoprasiannya yang sangat berbeda dengan troll, alat tangkap itu biasa para nelayan Saugi sebut dengan renreng. Renreng merupakan alat tangkap yang paling sering digunakan untuk menangkap berbagai macam binatang laut, pengoperasian alat tangkap ini pun sangatlah sederhana, renreng inipun digerakkan hanya oleh satu sampai dua orang saja. Jika yang turun melaut dua orang maka yang satu bertugas sebagai juru mudi kapal dan yang satu bertugas untuk 56 menurunkan renreng, namun jika yang turun melaut hanya satu orang saja maka orang tersebutlah yang pegang kendali semuanya mulai dari mengoperasikan kapalnya sampai dengan menurunkan alat tangkapnya, walaupun bentuknya hampir menyerupai troll namun cara pengoperasian troll yang selain menggunakan mesin buat memutar jaring yang ukurannya sangatlah besar di butuhkan juga beberapa orang untuk menggerakkan mesinnya. Dalam pembuatan renreng biasanya tergantung dari kesepakatan antara yang membuat dengan nelayan, ada dua pilihan yang pertama: jika bahanya disiapkan oleh nelayan, maka nelayan hanya berkewajiban membayar ongkos kerja alat tangkapnya saja dengan ongkos kerja Rp150.000.- yang kedua: jika bahannya di siapkan oleh yang membuat alat tangkap maka nelayan harus membayar Rp 1.000.000 sampai dengan 1.500.000 @unitnya tergantung seberapa besar renreng yang mereka inginkan. Masyarakat yang ingin memiliki renreng biasanya mereka yang menyiapkan bahan-bahannya seperti yang di katakan Pak Makmun 86 tahun: “kalo Renreng itu dibikin sekitar satu juta lebih untuk satu unit renreng, itu renrengnya ji yang panjangnya 21 depa itu jaringnya itu napake 10 kilo kalo rantainya itu 10 kilo pelampung kurangji 8 yang kecil 1 yang besar ongkosnya itu sekitar 150.000 tapi saya hanya kerjaji bahannya yang siapkan itu orang yang mau di bikinkan, tapi tergantungji juga kalo mauki terima beres ya 57 bisanya na bayarka antara Rp 1.000.000 sampai 1.500.000” (wawancara dengan Pak Makmun, pada tanggal 14 maret 2011). Rincian harga untuk satu unit renreng dengan jumlah piss atau lubang jaring sebanyak 500 lubang, dengan panjang tali 21 depa serta berukuran 2,5 sebagai berikut: JENIS SATUAN Tali (bahan renreng) Tali (pengikat/penarik renreng) Rantai Pelampung HARGA SATUAN 10 (kilo) x @ 5000 30 (kilo) x @ 39.000 10 (kilo) x @ 20.000 8 (ukuran kecil) x @ 2.000 1 (ukuran besar) x @ 5.000 Besi pembeberat papan renreng 2 x 75.000 Papan renreng 2 x 100.000 Ongkos kerja Jumlah TOTAL 40.000 390.000 200.000 16.000 5.000 150.000 200.000 150.000 1.151.000 Tabel 02: Rincian harga renreng (berdasarkanwawancara dengan Dg makmun Dibenarkan oleh Dg Masiro) . Namun ada juga nelayan yang dalam pembuatan renreng mereka lebih mengutamakan unsur kekeluargaan yaitu orang-orang yang sudah mereka kenal baik, walaupun terkadang hasil kerja mereka tidaklah sebagus yang sudah ahli dan bahan yang mereka gunakan juga bukanlah bahan yang berkualitas yaitu bahan-bahan yang masih layak di pakai untuk pembuatan renreng. Tapi lumayan bisa digunakan untuk mencari uang untuk ditabung agar bisa membuat renreng yang berkualitas lebih baik, hanya memberikan si pembuat renreng kopi, makan, dan rokok dalam membayar upah 58 pembuatannya pun tidak sebesar jika yang membuat renreng orang-orang yang sudah ahli yaitu hanya sebesar Rp 50.000.3. Perbedaan renreng (inovasi dari panyungkara) dan trawl Renreng adalah alat tangkap inovasi dari panyungkara sebenarnya dari cara pengoperasian dan bentuk hampir sama tetapi yang sedikit berbeda yaitu dari segi bentuk alat tangkapnya kalau panyungkara menggunakan balok kayu yang disambung pada ke dua papan yang ada sedangkan renreng papan yang di gunakannya tidak di ikatkan lagi pada balok kayu tapi langsung di ikatkan pada tali yang terhubung dengan jaring Renreng. Perbedaan bentuk antara panyungkara dengan Renreng (troll mini) dapat dilihat pada (gambar 03). Gambar: Panyngkara 59 Gambar: Renreng Salah satu dari keistimewaan panyungkara yaitu jika arus dasar laut kencang maka alat tangkap ini tetap mengembang pada dasar lautan, walaupun arus kencang hal ini dikarenakan adanya balok kayu yang bisa tetap menahan agar gerak jaringnya tetap stabil. Saat ini panyungkara tidak lagi di gunakan oleh masayarakat Pulau Saugi karena panyungkara hanya cocok digunakan untuk menangkap taripang, karena fungsinya sebagai alat tangkap taripang maka masyarakat pulau beranggapan alat tangkap tersebut tidak cocok jika digunakan untuk menangkap kepiting dan lain-lain, sehingga alat tangkap ini sedikit di modifikasi sehingga cocok digunakan untuk menangkap selain taripang, karena tujuan utama penangkapan saat ini yang ada di Pulau Saugi adalah kepiting, udang, gurita dan binatang laut yang kecil-kecil. 60 Lain halnya dengan troll, adalah alat tangkap yang berupa jaring besar yang ditarik oleh kapal yang terdapat berapa orang di atasnya. Penggunaan troll tidaklah sesederhana jika menggunakan renreng, selain itu penggunaan rereng pada daerah penangkapan juga dapat membedakannya dengan troll (trawl). Menurut salah seorang informan, perbedaan tersebut sebagai berikut; “Untuk menarik renreng cukup satu orang. Dia menarik naik pelan-pelan ke atas perahu sambil menyusun jaring agar tidak kusut dan dapat digunakan kembali. Sedangkan troll butuh mesin untuk menarik jaringnya” (wawancara dengan Dg. Masiro 40 tahun pada tanggal 5 Agustus 2010). Selain Dg. Masiro, hal yang hampir sama di ungkapkan oleh Sahari 20 tahun: Troll ka itu besarki mesin yang tariki itu alat tangkapnya naik di perahua banyak orang lagi yang putarki itu mesin baru pake gulunganki jdi itu dilarangki tpi kalo Renreng tanganta ji yang tariki baru kalo kena I karang robeki atau dak bisaki tariki ka dua orang jiki yang tareki.”(pada tanggal 07 agustus 2010). Pandangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Saugi cukup faham perbedaan antara renreng dan troll. Alasan ini diperkuat dengan sarana tangkap yang digunakan, dimana troll menggunakan kapal sedangkan renreng hanya menggunakan perahu atau masyarakat setempat menamakannya dengan (jolloro). Pengoperasian renreng juga sangatlah sederhana hanya dioperasikan oleh 1-2 orang diatas perahu. 61 D. Musim Dan Rute Penangkapan Area penangkapan renreng telah beberapa kali berpindah hal ini disebabkan selain musim dan hasil tangkapan yang tidak menentu juga disebabkan oleh melonjaknya harga bahan bakar minyak di pasaran. Menurut penduduk setempat dahulu daerah pengoperasian renreng jauh dari pulau bahkan menghampiri perairan Makassar karena disana terdapat banyak tangkapan. Namun Pada tahun 2006 masyarakat pulau tidaklah lagi mau mengambil resiko yang besar sehingga area pengoperasian pun berubah pada tahun-tahun walaupun harga bahan bakar melonjak namun minyak tanah masih disubsidi oleh pemerintah sehingga ini dalam pengoperasian perahu nelayan untuk melakukan penangkapan hanya menggunakan minyak tanah walaupun dengan resiko mesin mereka akan cepat rusak namun masyarakat Pulau Saugi menyiasatinya dengan di campur sedikit oli sehingga kerusakan pada mesin dapat sedikit bisa di tanggulangi. Pada sekitar tahun 2006 nelayan renreng mengoperasikan alat tangkapnya disekitar sebelah selatan Pulau Saugi yaitu Gusun Lompoa penagkapan di area ini biasanya. Sedangkan pada musim barat pengoperasian berada di sekitar utara Pulau Saugi yaitu Gusung Pamarrung. Perbedaan pengoperasian ini berdasarkan musim karena pada musim barat angin yang bertiup pada daerah Gusung Lompoa. Sangat kencang. Sehingga mereka beralih ke Gusun Pamarrung. 62 Setelah harga minyak tanah melonjak dikarenakan tidak adanya lagi subsidi dari pemerintah maka nelayan kembali menggunakan solar sebagai bahan bakar alat tangkapnya, dan wilayah pengoperasiannya pun berubah dikarenakan jika nelayan menangkap terlalu jauh mereka khawatir biaya operasional mereka tidak akan tertutupi. Area itu tidak lagi di gunakan selain tempat tersebut jauh nelayan juga takut hasil yang mereka dapatkan akan tidak sebanding dengan biaya operasional yang mereka keluarkan saat penangkapan dikarenakan harga bahan bakar minyak yang melonjak. Dalam pengoperasian renreng saat ini yaitu lokasi yang masyarakat Saugi sebut dengan muaraia, walauapun lokasinya agak jauh namun ini banyak terdapat kepiting terutama pada malam hari. namun pada bulan purnama lokasi penangkapan berubah para nelayan hanya menangkap di sekitar area Saugi saja yaitu dengan melewati rute mulai dari perairan saugi melewati Satando memutar dengan melewati perairan Camba kembali keperairan saugi. Lihat (gambar 04) 63 Gambar : Rute penagkapan alat tangkap Renreng Nelayan Pulau Saugi tidak melakukan penangkapan di miraia pada bulan purnama dan lebih memilih wilayah di sekitar Saugi saja dikarenakan hasil yang di dapatkan di muaraia pada bulan purnama akan lebih sedikit dibandingkan jika bukan purnama, sehingga nelayan akan mengalami kerugian jika tetap menagkap di muaraia. Walaupun penagkapan pada bulan purnama pindah di wilayah sekitar Pulau Saugi namun demikian 64 wilayah ini tidak hanya digunakan pada bulan purnama saja tetapi juga pada hari-hari biasanya. Di karenakan sealain para nelayan dapat melakukan penagkapannya sebanyak dua kali yaitu pada pagi dan malam hari. Selain itu waktu tempuh dan jaraknya terbilang cukup dekat sehingga dapat menekan biaya oprasional mereka dalam penangkapan. E. Pengoprasian Renreng Renreng sebagai teknologi tangkap utama pada masyarakat Saugi tentunya dianggap dapat memenuhi pendapatan keluarga dikarenakan sebagian besar pemenuhan kebutuhan hidup nelayan di dapatkan dari renreng, sehingga dapat dikatakan bahwa ma’Renreng merupakan mata pencaharian utama masyarakat Pulau Saugi. Dalam pengoperasiannya, renreng sangat bergantung pada pemiliknya, atau nelayan itu sendiri. Beberapa diantaranya memilih waktu siang, meski pada kebanyakan dioperasikan pada malam hari. Perbedaan waktu penangkapan keduanya tidaklah jauh. Mereka hanya menganggap bahwa pada siang hari, lebih baik menangkap ikan ketimbang menarik renreng tanpa menghasilkan (mendapatkan kepiting). Alasan ini yang menjadi dasar mereka menangkap pada malam hari. Karena tujuan utama penangkapan dari renreng ini yaitu kepiting, udang, gurita jadi nelayan renreng lebih memilih melakukan penangkapannya pada malam sebab kepiting, udang, kebanyakan baru keluar dari tempat persembunyiannya pada malam hari, hal inilah yang 65 menjadi salah satu faktor kenapa nelayan lebih memilih untuk mengoperasikan Renrengnya pada malam hari sebab hasil yang di dapatkan akan jauh berbeda dibandingkan jika nelayan menangkap pagi hari. Jika nelayan renreng melakukan penangkapannya pada malam hari maka nelayan renreng akan berangkat pada pukul 17.00 wita dan akan kembali pada pukul 03.00 tetapi kalau hasil yang diperolehnya pada putaran pertama sedikit maka nelayan akan memutuskan untuk kembali pukul 00.00 wita. Namun tidak jarang juga nelayan renreng menagkap pada pagi hari, kalau nelayan menangkap pada pagi hari maka nelayan akan berangkat pada pukul 07.30 wita terkadang aktifitas penangkapan pada pagi hari nelayan tidak mendapatkan hasil (kepiting, udang, dan gurita) sama sekali, walaupun nelayan yang melakukan penangkapannya pada pagi hari seringkali harus kecewa sebab nelayan renreng tidak mendapatkan hasil sama sekali. Namun nelayan renreng tidak lantas berkecil hati dengan apa yang mereka dapatkan pada pagi itu dan kalau pun ada hasil yang di dapatkan biasanya itu hanyalah faktor keberuntungan dikarenakan kepiting bersembunyi pada pagi hari. Walaupun demikian namun nelayan masih tetap melakukan penangkapan pada pagi hari, walaupun mereka tau dengan pasti pada pagi hari dalam penangkapannya tidak mendapatkan kepiting, udang. Nelayan renreng beranggapan hal tersebut pasti akan terjadi, kalaupun masalah itu 66 terjadi nelayan renreng masih bisa menghasilkan ikan pada pagi hari dan beranggapan walaupun mereka tidak mendapatkan kepiting sama sekali tetapi setidaknya masih bisa mendapatkan hasil dari pada tinggal dirumah tanpa melakukan apa-apa. Hasil yang mereka dapatkan seperti ikan dan binatang-binatang kecil yang bisa mereka sebut dengan kotoran, kotoran ini masih juga memiliki nilai jual walaupun harganya tidak sama jika nelayan mendapatkan kepiting atau udang. 1. Tahap Pertama; Persiapan. Sebelum turun melaut bisanya para nelayan mengecek segala sesuatu yang menyangkut aktifitas mereka dalam penangkapan mereka mulai dari mengecek mesin, mempersiapkan bekal mereka, membeli bahan bakar buat turun melaut juga tidak lupa membersihkan segala peralatannya yang akan mereka gunakan mulai dari kapal sampai alat tangkap yang akan nelayan gunakan. Lihat (gambar 05) 67 Gambar 05: kegiatan nelayan sedang membersihkan kapalnya Gambar : kegiatan nelayan yangsedang membersihkan alat tangkapnya Setelah semuanya bersih barulah nelayan saugi mempersiapkan alat tangkap mereka misalnya memperkirakan seberapa panjang tali yang akan mereka gunakan untuk menarik renreng, mempersiapkan alat tangkapnya misalkan menaruh Renreng pada tempat yang dapat mempermudah nelayan dalam dalam proses penurunan alat tangkap mereka nantinya, menaruh papan yang masyarakat saugi biasa menyebutnya dengan papan kaset papan yang akan digunakan ini diikatkan pada sisi kiri dan kanan bagian belakang kapal, sedangkan Renrengnya mereka letakkan pada bagian belakang kapal. Seperti pada (gambar 06) 68 Gambar 06: tahapan persiapan penempatan alat tangkap renreng. 2. Tahap Kedua; Menurunkan Renreng Setelah sampai di lokasi dimana nelayan renreng melakukan aktifitas menangkapannya maka maka yang pertama-tama nelayan renreng lakukan yaitu mengundur mesin perahu, tapi mesin perahu tersebut tidak di matikan dengan perahu yang tapi mesin perahu yang masih jalan secara perlahan, dengan tali utama yang terikat pada bagian depan kapal yang panjangnya sudah diperkirakan sebelumnya namun Renreng biasanya di operasikan pada kedalaman 10 meter, Renreng diturunkan mulai dari bagian ujung renreng (kantong renreng) dan bagian-bagian jarring Renreng diturunkan secara teratur dan perlahan setelah semua jaringnya turun barulah Disusul dengan bagian mulut renreng yang masyarakat setempat menyebutnya dengan papang 69 kaset. Papan kaset diturunkan satu persatu, namun terkadang tali utama penghubung renreng dengan perahu yang terikat pada bagian depan kapal tidaklah cukup, hal ini mereka ketahui jika papan Renreng (papang kaset) masi mengapung di laut. Jika masalah ini terjadi yaitu jika panjang tali utama pengikat renreng tidak cukup maka nelayan harus kembali menuju ke depan kapal untuk mengulur tali utamanya yang terikat pada bagian depan kapal seperti pada (gambar 07), panjang tali yang di butuhkan hanya di perkirakan saja seberapa pangjang yang akan mereka guakan. Walaupun masalah itu dapat membuat nelayan lelah karena harus bolak-balik dari belakang ke depan dan resiko terjatuh dari kapalpun akan besar, namun nelayan tersebut melakukannya dengan ikhlas dan penuh kesabaran demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gambar 07 : tempat di ikatnya tali utama pengikat pada renreng 70 tali pengikatnya nelayan renreng rasa cukup jika papan yang terdapat pada renreng sudah rapat pada dasar lautan, rapatnya papan diketahui nelayan Renreng pada saat tali utama pada pengikat Renreng tidak lagi bergeser dikarenakan papan yang terikat pada tali tersebut bergerak karena ombak pada laut. 3. Tahap Ketiga; Penarikan Renreng Setelah semuanya tahap penurunan alat tangkap selesai dan posisi renreng di bawah laut sudah dirasa cukup barulah nelayan renreng menjalankan kembali kapalnya dengan kecepatan yang sudah diatur biasanya Semakin laju jalannya perahu maka posisi renreng dibawah laut pun akan semakin bagus. Seperti pada Penangkapan di area yang sudah mereka tentukan biasanya nelayan hanya memutar di sekitar perairan yang sudah mereka tentukan itu, walaupun hanya memutar sekiar perairan itu namun jarak tempuh yang nelayan Renreng lewati sekitar seratus meter biasanya kapal nelayan Renreng berputar sebanyak tiga hingga empat kali barulah jaring diangkat dan hasil dikeluarkan dari kantong penampungan. setelah berputar barulah mesin kembali mereka undur agar Renreng yang mereka gunakan bisa dengan mudah diangkat naik ke perahu. Setelah mesin di undur nelayan renreng kemudian menarik tali utama, setelah tali utama ditarik barulah kemudian nelayan mengangkat satu per satu papan renreng dan diikatkan pada sisi kiri dan kanan dari bagian belakang perahu yang mereka miliki, setelah semuanya papan naik, tahap selanjutnya jaring 71 yang sudah terisi dengan hasil tangkapan di tarik naik keatas perahu. Tahapan pengoperasian alat tangkap sampai penarikannya bisa dilihat pada (gambar 08) berikut Gambar 08: Renreng saat di turunkan dari kapal Gambar 08: Renreng saat di angkat ke atas 72 Tahap kedua dan ketiga biasanya berulang hingga tiga kali dalam sekali operasi. Namun jika pada penarikan pertama hasil tidak memuaskan maka mereka memutuskan untuk pulang atau kembali ke Pulau Saugi, sebab mereka menganggap hasil tangkapan pada saat itu kurang. Keputusan untuk kembali ini diambil untuk menghindari biaya operasional. Hal ini dijelaskan oleh salah seorang informan sebagai berikut; “Biasanya jika penarikan pertaa kurang, kita lebih baik pulang karena itu tanda-tanda kurangnya pendapatan. Itu juga karena kita bisa menghemat bahan bakar” (wawancara dengan syaiful 17 tahun’ pada tanggal 12 maret 2011 ). F. Dampak Masuknya Renreng Di Pulau Saugi 1. Dampak terhadap ekonomi Renreng merupakan salah satu alat tanggkap yang berperan penting dalam pemunuhan hidup Masyarakat Di Pulau Saugi. Hal ini dikarenakan sebelum masyarakat Di Pulau Saugi menggunakan Renreng kehidupan ekonomi mereka memprihatinkan, dikarenakan alat tangkap yang mereka gunakan saat itu tidaklah efektif sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat Di Pulau Saugi. Dengan adanya Renreng yang masuk Di Pulau Saugi, dapat memberikan perubahan besar bagi kehidupan ekonomi masyarakat Di Pulau Saugi, dikarenakan dalam pengoprasian Renreng dapat mengkap lebih banyak dibandingkan alat tangkap yang mereka biasa gunakan. Hasil yang 73 lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain menjadikan Renreng begitu cepat diterima oleh msyarakat Di Pulau Saugi. Semua sumber daya yang ada dilaut yang dihasilkan oleh Renreng dapat bernilai ekonomi, selain dapat dijual juga dapat dikonsumsi sebagai lauk. Dengan masuknya renreng syarakat pulau Saugi sangat terbantu dalam mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Seperti yang di ungkapkan oleh sekdes pak annas 40 tahun: “Itu dek setelah Renreng masuk di Pulau Saugi ekonomi masyarakat yang ada disini kia meningkat yang dulunya makan bisa senin kamis tapi sekarang alhamdulillah bukan hanya kebutuhan dapur yang bisa tercukupi kebutuhan kebutuhan yang lain juga bisa terpenuhi, jika hasil yang didapatkan memadai nelayan bisa menyisihkan sedikit buat ditabung” (wawancara tanggal 6 agustus 2010). Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa pengaruh Renreng dalam pemenuhan kebutuhan hidup sangatlah besar. Dikarenakan Renreng lebih banyak menagkap kepiting dibandingkan alat tangkap lainnya dan kepiting itu sendiri merupakan salah satu komuniti yang paling dicari untuk eksport tidak salah jika kepiting harganya lumayan tinggi dipasaran. 2. Dampak Sosial Budaya Sealain berdampak pada ekonomi nelayan Masuknya Renreng di pulau saugi juga membawa perubahan yang sangat besar. Pada sistem sosial, mereka menjalin kerja sama yang didasari rasa kekeluargaan yang mengikat mereka sehingga terbentuk suatu organisasi. Dalam kelompok 74 nelayan kita mengenal ada punggawa dan sawi. Hubungan antara punggawa dan sawi merupakan suatu hubungan kerjasama namun dalam menjalin hubungan sosial, seorang sawi terkadang sangat tergantung pada punggawanya. Semua kendala yang dia hadapi baik masalah pekerjaan maupun masalah pribadi mereka selalu meminta pertolongan kepada punggawanya.seperti jika butuh keperluan mendadak maka mereka datang kepada punggawa meminta pinjaman. Punggawa merupakan pemilik modal dan sawi adalah orang yang bekerja pada punggawa. Pada masyarakat Saugi bukan punggawa yang mencari sawi namun sebaliknya sawilah yang mencari punggawa. Cara terjalinnya suatu kerja sama yaitu sawi datang kepada seorang punggawa dan menawarkan kerjasama dan punggawa menetapkan suatu kesepakatan. Kesepakatan itu misalnya punggawa menyediakan peralatan melaut samapai bahan bakar dan sawi harus menjual semua hasil tangkapannya kepada punggawa dengan harga dibawah harga pasaran. Kerjasama tersebut berlangsung hingga alat yang digunakan untuk melaut telah lunas terbayar. Waktu itu berselang sekitar tiga sampai lima tahun atau bahkan lebih jika sawi sering mengambil pinjaman kepada punggawanya. Selain hubungan antara Ponggawa Sawi yang berubah pada masyarakat nelayan Pulau Saugi sejak masuknya Renreng, kalo dulu kepiting hanya sampingan tapi saat ini tujuan utama penagkapan adalah kepiting. 75 BAB V KESIMPULAN Penggunaan Renreng pada masyarakat nelayan di Pulau Saugi sangat membantu mereka terutama dalam aspek pendapatan nelayan. ini dikarenakan alat tangkap Renreng dapat menghasilkan banyak tangkapan dalam sekali melaut, hasil yang banyak dalam sekali melaut secara langsung juga mempengaruhi pendapatan nelayan yang menggunakan alat tangkap ini. Dari segi tekhnik pengoprasian alat tangkap ini sangatlah sederhana tidak serumit jika nelayan menggunakan troll. Walaupun modal yang dikeluarkan untuk satu alat tangkap Renreng tidaklah murah namun itu sebanding dengan hasil yang didapatkan dari alat tangkap ini dan juga alat tangkap yang tahan lama dan dapat diperbaiki kembali. Dengan masuknya Renreng secara tidak langsung juga di ikuti ikatan kerja punggawa sawi, namun ikatan kerja ini biasanya tidak berlangsung lama dengan pemanfaatan Renreng sebagai alat tangkap tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan hasil yang didapatkan juga cukup untuk mencicil utang-utang nelayan terhadap pemilik modal (punggawa) . 76 DAFTAR PUSTAKA Amral, Hartati.A 2005 ”Studi Tentang Bertahannya Teknologi Tradisional Dalm Akatifitas Penagkapan Ikan Pada Masyarakat Batangmata Selayar”. Makassar, UNHAS. Anugrah, Haeril. 1997 ”Nelayan Bagang Di Kelurahan Dawi-Dawi Sulawesi Tenggara”. Makassar, UNHAS. Hadelia, Nur. 2005 ”Strategi Pengolahan Usaha Punggawa Studi Kasus Nelayan Pulau Barrang Caddi”. Makassar, Program Pasca Sarjana UNHAS. Hamzah,awaluddin dkk. 2008 “Respon Komunitas Nelayan Terhadap Perikanan”.(akses 14 oktober 2011). Koentjaraningrat. 1990 “Metode-Metode Penelitian Masyarakat”. Jakarta, Gramedia. Kusumastanto, T. 2002 ”Reposisi Ocean polyci Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Di Era Otonomi Daerah Orasi Guru Besar Ilmiah Tetap Ilmu Kebijakan Perekonomian Dan Kelautan”. Bogor, FPIK-IPB. Lampe, Munsi. 2007 “Wawasan Sosial Budaya Bahari”. Makassar, UNHAS.. Mulyadi. 2005 “Ekonomi Kelautan”. Jakarta, Raja Grapindo Persada. Moleong, lexy J. 2002 “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung, PT Remaja Rosdakarya. Naping, Hamka. 2007 “Pemanfaatan Teknologi Bagang Rambo oleh Masyarakat Nelayan di Kabupaten Barru”. Makassar, Balai Pelatihan Sejarah Dan Nilai Tradisional Makassar. Muswirah, Icha H 2010 ”Peranan Peraempuan Dalam Usaha Budidaya Rumput Laut”. Makassar, UNHAS. Othman, Fazilah BT. 1992 “ Sistem Ekonomi Dan Inovasi Teknologi Pengkapan ”. Makassar, UNHAS 77 Poelinggomang, Edward. 2002 ”Makassar Abad Kepustakaan Populer Gramedia. XIX” Jakarta, Rahmatullah. 2002 ”Tesis Pengetahuan masyarakat nelayan dan Strategi pengelolaan hutan bakau di Tongke-tongke kabupaten Sinjai”. Makassar, UNHAS. Suhartini A, Halim, I Hambali, A Basyit (eds). 2005 ”Model Pemberdayaan Masyarakat”. Yogyakarta, LKIS. Suhartini, tini dkk. 2003 ”Panduan belajar Antropologi”. Jakarta, Yudistira. Suyono , ariyono. 1985 ”Kamus Antropologi” Jakarta, AKADEMIKA PRESSINDO Soekanto, Soerjono. 1990 ”Sosiologi Suatu Pengantar”.Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. Wiyono, E.S. 2005 “Pengembangan Teknologi Penangkapan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan” (Online), (www.berita iptek.com, diakses 26 Agustus 2011). http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan . (diakses 13 oktober 2011). Krisis ekologi =http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis ekologi-laut-dan-lingkungan.html, ( diakses 25 januari 2012). http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/pengertian-nelayan.html, (diakses 9 april 2012). 78