Renreng Dalam Komunitas Nelayan Di Pulau Saugi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala upaya untuk mewujudkan negara yang maju dan mandiri
serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai
tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan
oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan
kemajuan IPTEK. Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling
fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang
menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan
perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21.
Tantangan
dan
pemanfaatan
peluang
tersebut,
diperlukan
peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas
tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor
bidang kelautan dan pesisir yang didefinisikan sebagai sektor perikanan,
pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut,
bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Sehingga tidak salah jika Indonesia
dikatakan negara kepulauan yang merupakan gugusan yang terpanjang dan
terbesar didunia, luas lautanya 5 juta km2 merupakan sumberdaya laut yang
dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia karna laut-laut
Di Indonesia kaya akan ikan. Keadaan ini memberikan kesempatan yang
besar bagi masyarakat yang khususnya berada didaerah pesisir dan pulaupulau untuk memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya yang ada dilaut.
Kawasan pesisir merupakan bagian dari daerah yang menjadi batas
antara wilayah laut dengan daratan. Kawasan ini sangat kompleks dengan
berbagai isu dan permasalahan yang memerlukan penanganan yang
komprehensif dengan strategi khusus dan terpadu. Selama ini kawasan
pesisir belum mendapat perhatian yang cukup serius dari pemerintah, dalam
pengelolaannya. Sehingga belakangan ini baru dirasakan berbagai
permasalahan yang muncul tentang kawasan pesisir. Salah satu konsep
penanganan kawasan pesisir yang dikembangkan adalah konsep Integrated
Coastal Zone Management, yaitu pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu dengan memperhatikan segala aspek terkait di pesisir yang meliputi
antara lain aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi. Melalui
aplikasi konsep tersebut diharapkan dapat diatasi berbagai permasalahan
yang muncul belakangan ini dalam pengelolaan kawasan pesisir.
(http://hukum.bunghatta.ac.id/tulisan.php?dw.8).
Tidak salah jika dikatakan bahwa Di Indonesia sektor kelautan
perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memiliki peranan
dalam pangan, perolehan devisa dan penyediaan lapangan kerja bagi
masyarakat sekitarnya (Mulyadi, 2005:13). Sehingga secara proporsional
2
bila dikaitkan dengan luas wilayah dan juga potensi yang terkandung
didalamnya dan banyaknya kelompok masyarakat yang menggantungkan
hidupnya pada pengolahan sumber daya laut.
Ini membuktikan laut kita yang kaya akan ikan dan beranekaragam
biota laut lainnya, dengan demikian laut dimanfaatkan seefektif mungkin
sebagai mata pencaharian nelayan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pemanfaatan lingkungan laut sesungguhnya merupakan serangkaian upaya
yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat dengan
menggunakan sejumlah potensi untuk memenuhi sejumlah kebutuhan.
(Naping, 2007:2).
Potensi sumber daya daerah pesisir dan pulau-pulau yang berada di
laut Indonesia terutama di Sulawesi Selatan, selain menjadi tumpuan hidup
masyarakat nelayan, dapat pula menjadi wadah ekonomi bagi masyarakat
untuk meningkatkan pendapatan mereka. Hal ini tidak lepas dari kekayaan
sumber daya alam yang terdapat di laut Indonesia, yang tersebar pada
17.508 Pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 juta km dengan luas 31
juta km (Hadelia, 2005:1).
Namun untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut biotik
maupun abiotik masyarakat nelayan tidaklah mudah nelayan harus
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan mengatasi rintanganrintangan alam yang ganas, cuaca yang sewaktu-waktu bisa berubah
3
tergantung pada keadaan angin muson sehingga nelayan diharuskan selalu
hati-hati
(Poelinggomang,
2002:17)
dan
bagaimana
cara
mereka
memanfaatkan sebaik mungkin semua hasil yang di dapatkan sehingga
sebisa mungkin hasil tersebut tidak ada yang terbuang percuma ini
dilakukan masyarakat baik pesisir maupun pulau untuk meningkatkan
penghasilan mereka semaksimal mungkin.
Laut yang luas dan kaya akan sumber daya baik biotik maupun
abiotik yang tersebar hampir disemua daerah terutama di Sulawesi Selatan
termasuk pulau-pulaunya baik itu pulau besar maupun pulau kecil. Salah
satunya yaitu pulau terdapar di Sulawesi Selatan yaitu Pulau Saugi. Laut
yang berada Di Pulau Saugi yang kaya akan sumber daya biotik maupun
abiotik di manfaatkan oleh masyarakat pulau tersebut sebagai mata
pencaharian hidup karena sebagian besar dari mereka adalah nelayan.
Sehingga untuk menagkap ikan teknologi penangkapan yang digunakan
merupakan salah satu bentuk upaya pemanfaatan sumber daya perikanan
khususnya sumber daya ikan yang ada dilaut. Dalam perkembangan
teknologi alat tangkap (koentjaranngrat, 1990:33) mengatakan bahwa mata
pencaharian nelayan lebih banyak tergantung pada perkembangan
teknologi.
Dengan demikian dibutuhkan alat tangkap yang mempunyai nilai
dan mutu yang berkualitas tinggi serta tidak merusak ekosistem laut namun
4
teknologi alat tangkap yang dibutuhkan tidak harus canggih dan modern.
Hal inilah yang dilakukan oleh salah satu masyarakat yang ada Pulau Saugi,
dari pengamatan memperlihatkan beraneka ragam jenis alat tangkap.
Dengan berbekal pengtahuan dan pengalaman yang di milikinya dengan
berbagi pengalaman dengan masyarakat lainnya yang ada di Pulau Saugi
sehingga masyarakat Pulau Saugi berinisiatif untuk membuat teknologi
penangkapan mereka sendiri. Walaupun alat tangkap yang mereka
kembangkan masih sederhana namun alat tangkap ini dapat menghasilkan
lumayan dalam sekali mereka melaut. Alat tangkap yang mereka
kembangkan adalah masyarakat Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng
(troll). Sehingga nelayan yang selama ini masih menggunakan bom dan
bius dapat beralih ke alat tangkap yang mereka sebut dengan Renreng
(troll). Dikarenakan selain penggunaanya dilarang oleh pemerintah
penggunaan bom dan bius juga dapat merusak trumbu karang tempat
bermainnya ikan sehingga dapat mempercepat berkurangnya sumber daya
hayati yang ada di laut.
Jika pada tahun 1960-1970 an mereka menggunakan Sikuyu, Rawe,
Nambe, Pukat Juku, dan Pekang cumi, dan tahun 1970 mereka
menggunakan Panyangkara walaupun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi
sering mengalami perubahan namun alat tangkap Masyarakat Pulau Saugi
tetap yang ramah lingkungan. Saat ini 1970-2011 masyarakat Pulau Saugi
menggunakan alat tanggkap yang mereka sebut dengan Renreng (troll).
5
Bentuk Renreng dimasukkan kedalam kategori troll, namun jenis troll ini
merupakan alat tangkap penggabungan antara troll dengan panyungkara
yaitu sebuah pukat yang ditarik oleh perahu bermesin, disebut
penggabungan sebab bentuk Renreng mirip dengan troll sedangkan
ukurannya mengikuti panyangkara.
Renreng merupakan alat tangkap yang dioperasikan oleh 1-2 orang.
Renreng masuk ke Pulau Saugi sekitar tahun 1985-1988. Perkembangan
renreng di Pulau Saugi termasuk sangatlah pesat hanya selang beberapa
tahun sejak pertama masuknya ke pulau saugi kini hampir keseluruhan
masyarakat pulau Saugi menggunakan alat tangkap tersebut. Mekipun
sebagian besar masyarakat Pulau Saugi menggunakan Renreng sebagai alat
tangkap namun ada juga yang tidak beralih menggunakan Renreng dengan
berbagai alasan. Ada yang mengatakan pukat lebih menguntungkan, namun
ada juga yang mengatakan karena mereka tidak mampu untuk membeli
Renreng dan alat lainya yang digunakan untuk mengoprasikan Renreng.
B. Rumusan Masalah
Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu masalah yang
banyak menarik para ahli di Indonesia. Di karenakan sektor ini telah banyak
memberikan lapangan kerja bagi sejumlah penduduk di Indonesia yang
berada di daerah pesisir dan pulau-pulau. Tak dapat dipungkiri bahwa
mahluk hidup yang ada dilautan memberikan produk barang dan jasa yang
6
amat penting bagi keberadaan manusia dikarenakan sebagian besar protein
hewan yang dikonsumsi manusia berasal dari laut.
Adanya beraneka macam hasil laut tidak luput dari peran nelayan
dan transportasi yang mereka gunakan. Ketersediaan alat tangkap yang
memadaipun dapat menjadi salah satu faktor penunjang dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan hasil laut yang bermutu. Begitu banyak jenis
alat tangkap yang digunakan nelayan untuk melaut baik itu yang di
perbolehkan oleh pemerintah ataupun yang dilarang. Walaupun sejumlah
masyarakat menggantungkan hidupnya dari melaut namun keberhasilan
mereka dalam melakukan penagkapan tidak terlepas dari alat tangkap yang
mereka gunakan. Adapun fokus penulisan dari penelitian ini yaitu:
Renreng Dalam Komunitas Nelayan Di Pulau Saugi
(Suatu Kajian Antropologi)
Adapun rincian masalah penelitian tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Pulau Saugi tentang manfaat
praktik tehnik Renreng sebagai alat tangkap Ikan?
2. Bagaimana praktek teknologi Renreng dalam komunitas nelayan
Di Pulau Saugi?
3. Bagaimana dampak sosial ekonomi pengoprasian teknologi
Renreng?
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah
1. Mengngkapkan pengetahuan masyarakat Pulau Saugi terhadap
pemanfaatan Renreng,
2. Untuk mendeskripsikan praktek Renreng dalam komunitas
nelayan yang ada di Pulau Saugi.
3. Menjelaskan dampak sosial ekonomi yang diakibatkan dari
penggunaan Renreng Di Pulau Saugi.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan kelak memberikan manfaat ganda. Disatu
sisi, secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengetahui sampai
mana sebenarnya pengetahuan nelayan di pulau Saugi tentang pemanfaatan
alat tangkap yang mereka sebut dengan Renreng, bagaimana masyarakat
Pulau Saugi mengetahui praktek Renreng dalam koumunitas mereka, serta
dampak sosial ekonomi yang terjadi karena penggunaan Renreng Di Pulau
Saugi Di sisi lain, dan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi kepada pihak-pihak yang terkait, khususnya
pemerintah daerah setempat, agar perhatian pemerintah tidak hanya tertuju
pada dampak yang disebabkan oleh Renreng tapi juga seberapa besar
manfaat dari Renreng bagi masyarakat Pulau Saugi.
8
E. Kerangka Konseptual
Kebudayaan
menurut
W.A
Haviland
kebudayaan
sebagai
seperangkat peraturan atau norma yang diiliki bersama oleh para anggota
asyarakat. Yang apa bila dilaksanakan oleh para anggotanya akan
melahirkan prilaku yang dipandang layak dan dapat diterima. (Suhartini
dkk, 2003:160). Kebudayaan berkembang dalam masyarkat, karena tidak
mungkin ada kebudayaan tanpa manusia. masyarakat menurut Linton di
kemukakan sebagai berikut:
“masyarakat adalah kelompok individu yang teratur , dan
kebudayaan pada akhirnya tidak lebih dari pada respon
berulang-ulang secara teratur dari anggota suatu
masyarakat. Karena itulah , maka individu menjadi titik
tolak yang paling dasar untuk segala kajian dan penelitian
mengenai konfigurasi yang lebih luas. Maka dapatla
dikatakan bahwa kebutuhan individu itulah yang memberi
alasan-alasan bagi tingkah lakunya melalui tingkah
lakunya itu, bertanggung jawab bagi terselenggaranya
masyarakat dan kebudayaan” (linton dalam anugerah
1997:9).
Kebudayaan yang menyebabkan perbuatan para individu dapat
dipahami oleh kelompoknya atau msyarakatnya. Masyarakat (society)
merupakan suatu kelompok manusia yang mendiami tempat tertentu yang
demi kelangsungan hidupnya saling tergantung satu dengan yang lainnya
dan yang memiliki tradisi kebudayaan bersama. Demikian pula masyarakat
nelayan di wilayah pulau, yang mana penduduknya mengarahkan perhatian
kehidupannya
dilaut.
Yang
di
dalam
masyarkatnya
berkembang
9
kebudayaan yang seiring dengan perkembangan yang dilksanakan.
Perkembangan semacam ini adalah perkembangan yang alamiah dan dapat
dijumpai diseluruh tanah air, dimana dalam perkembangan masyarakat
terutama pada masyarakat nelayan merupakan salah satu dari proses yang
disebut
dengan
inovasi
pada
bidang
teknologi
dimana
mereka
mengembangkan teknologi penangkapan yang sudah ada sehingga dapat
mengahasilkan lebih banyak dari alat tangkap sebelumnya.
Namun pengetahuan juga merupakan sesuatu yang abstrak, yang
ada didalam fikiran manusia, tentang segala sesuatu gejala, peristiwa, atau
fenomena
baik
itu
bersifat
alamiah,
sosial,
maupun
perorangan
(Rahmatullah, 2002). Setiap individu maupun masyarakat, pasti memiliki
pengetahuan masing-masing. Demikian pula dengan masyarakat nelayan.
Masyarakat nelayan sangat membutuhkan pengetahuan, sebagai modal
dalam mengelola sumber daya alam yang mereka miliki, serta menjadi
acuan bagaimana mereka harus bertindak.
Sistem teknologi nelayan yang masi sederhana menurut (Arifin
Sallatang dalam otman 1992:2) dalam penelitiannya tentang masyarakat
nelayan menyatakan bahwa:
Alat-alat penangkap ikan di daerah Sulawesi Selatan, sangat
beranekaragam. Namun pada umumnya masih berkisar pada
bentuk-bentuk yang tradisional, walaupun telah ada
pengembangan teknologi tradisional yang ada saat ini,
namun masih sangat terbatas.
10
Kondisi alat tangkap yang digunakan memberikan gambaran
bahwa tingkat sosial ekonomi nelayan yang berada di bawah garis
kemiskinan. Hal ini disebabkan alat tangkap yang mereka gunakan
berkaitan erat dengan ekonomi mereka.
F.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif yang
bertujuan mencari pengertian tentang sejarah berkembangnya suatu
daerah.
1.
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitaif yang bersifat
deskriptif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksut untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
seperti prilaku, presepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistic dan
dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang dialamai dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
(Maleong, 2006).
2.
Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan juni 2010 sampai agustus 2010
bertempat di Pulau Saugi desa Mattiro Baji, kecamatan Tupabbiring Utara,
Kabupaten Pangkep. Adapun lokasi dipilih berdasarkan bahwa ditempat itu
11
ditemukan masalah dalam latar belakang yakni karena pulau saugi
merupakan pegoprasian alat tangkap yang disebut Renreng.
3.
Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yakni :
a) Observasi, yakni mengumpulkan data dengan mengamati secara
langsung apa yang terjadi di lokasi penelitian. (Alwasilah 2003:211)
mendefinisikan observasi penelitian sebagai pengamatan sintematis
dan terenrencana yang di amati untuk memperoleh data yang
dikontrol validitas dan reabilitasnya. Teknik ini bertumpu pada indra
yang dimiliki seperti penglihatan, penciuman, peraba serta
pendengaran sehingga dapat diperoleh data bagai mana aspek fisik
dari Pulau Saugi, juga melihat aktivitas nelayan Renreng yang
berkaitan dengan kegiatan penangkapan, pola interaksi antara
sesama nelayan Renreng dan juga siapa yang bertugas untuk
mengolah hasil tangkapan.
b) Wawancara mendalam, dengan komunikasi langsung antara peneliti
dan informan seperti menanyakan secara langsung siapa yang
pertama kali memperkenalkan Renreng pada masyarakat Pulau
Saugi, biota laut apa saja yang ditangkap menggunakan Renreng,
dimana sajakah biasanya nelayan Renreng melakukan penangkapan,
12
berapa modal awal yang mereka keluarkan dalam pembuatan alat
tangkap Renreng,
c) Study literatur, yakni membaca beberapa buku yang relevan dengan
penelitian. Dalam study literatur ditemukan beberapa data sekunder
tentang kondisi geografis secara umum, teori-teori yang dapat
dijadikan pegangan dalam melihat fenomena sosial budaya yang ada
serta beberapa konsep yang menunjang penulisan laporan seperti
konsep kebudayaan, masyarakat nelayan ataupun komunitas nelayan.
4.
Teknik penentuan informan.
Informan yang diteliti digolongkan kedalam dua golongan yakni:
a) Informan Kunci yakni orang yang mengetahui dengan jelas kondisi
daerah penelitian dan mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang
dapat memberikan informasi mengenai masalah yang akan diteliti.
Biasanya yang bertindak sebagai informan ahli adalah kepala desa,
orang-orang yang memiliki peran penting di Pulau Saugi ataupun
tokoh masyarakat yang disegani dalam masyarakat, dalam penelitian
ini informan kunci peneliti ialah Sekdes yang ada Di Pulau Saugi.
b) Informan biasa, yakni orang yang mengetahui tentang masalah yang
akan diteliti. Yakni orang yang menggantungkan hidupnya dari
Renreng.
13
5.
Jenis dan Analisis data
a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek yang
diteliti (informan).
b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari lembaga, instansi,
tertentu
misalnya kantor kelurahan atau sektor lainnya yang
mendukungpenulisan dan sektor analisis data.
Adapun, dalam menganalisis data diperlukan beberapa tahap yakni :
1. Memilih-milih diantara data yang menunjang dan tidak menunjang
sesuai dengan fokus penelitian.
2. Memeriksa data dalam catatan lapangan sehingga dapat diketahui
informasi yang telah diperoleh selama berada dilapangan.
3. Data yang diperoleh, baik pernyataan langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan fokus penelitian.
4. Keabsahan data melalui triangulasi, dimana yang dilakukan dalam
proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu
dengan informan yang lain (Moleong, dalam Muswirah 2010:14)
14
G. Struktur Penulisan
Mengenai struktur penulisan, direncanakan terdiri dari 5 bab, yakni
Bab I
: berisikan Pendahuluan yang berisikan latar belakang,
masalah penelitian, tujuan penelitian,
Bab II
: mencakup Tinjauan Pustaka,
Bab II
: merupakan Gambaran umum lokasi yang menerangkan
secara umum kondisi-kondisi geografis dan social lokasi penelitian,
Bab IV
: merupakan bab Pembahasan yang terdiri dari sub-sub yang
memuat penjelasan mengenai fokus penelitian. Bagian akhir adalah
bab V
: Penutup merupakan Penutup yang didalamnya terdiri dari
kesimpulan dan saran penulis mengenai hasil dari penelitian yang telah
diuraikan.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebudayaan
Banyak para ahli antropologi yang mengemukakan tentang
pengertian kebudayaan menurut Edward B Tylor kebudayaan sebagai
keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan , kesenian,
hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yan diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (soekanto, 2001:11). Sedangkan
pengertian kebudayaan Menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan
sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadika miliknya dengan cara
belajar. (Suhartini dkk, 2003:160)
Dari beberapa pengertian para ahli diatas tentang kebudayaan, secara
terperinci Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud yaitu:
1. Kebudayaan sebagai kompleks ide atau gagasan yang bersifat
abstrak. Karena hanya terdapat dalam alam pikiran manusia.
Gagasan atau ide itu sangat penting dan mendasar karena melalui ide
atau gagasan inilah yang terbentuk wujud-wujud budaya lainnya.
2. Kebudayaan sebagai kompleks tingkah laku atau perbuatan manusia.
16
3. Kebudayaan sebagai kompleks hasil perbutan manusia, yang pada
umumnya berwujud benda-benda, sehingga disebut kebudayaan
material.
Selain dari wujud-wujud dari kebayaan menurut Koentjaraningrat,
ada juga pembagian unsur-unsur kebudayaan menurut kluchkhohn yang
di tuangkan dalam karyanya yang berjudul “Universal Categories of
Cultural” yang secara garis besar membagi unsur kebudayaan menjadi
tujuh yaitu:
1. Sistem Kepercayaan atau Religi
Terdapat beberapa unsur yang sifatnya universal dalam sistem
religi atau kepercayaan ini merupakan Kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang lebih tinggi dari pada manusia, berbagai hal
yang dilakukan manusia untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut.
2. Sistem Organisasi Sosial
Dalam setiap kehidupan masyarakat terdapat berbagai macam
organisasi berdasarkan adat istiadat dan aturan-aturan mengenai
mengenai kesatuan kelompok sosial.
3. Sistem Mata Pencaharian Hidup
4. Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup Teknologi
Teknologi tradisional muncul sebagai akibat dari cara-cara
manusia melaksanakan mata pencaharian hidupnya.
17
5. Bahasa
Bahasa merupakan alat yang dipakai untuk berkomunikasi antara
yang satu dengan yang lain. Tanpa bahasa kita tidak dapat
meneruskan
atau
menerima
keterangan-keterangan
secara
simbolis.
6. Kesenian
Kesenian sebagai ekspresi dari hasrat manusia akan keindahan
dapat dinikmati.
7. Sistem Pengetahuan
Dalam pembahasan unsur kebudayaan yang menyangkut sistem
pengetahuan masyarakat tradisional, perlu dibicarakan tentang
tulisan, karena melalui huruf
banyak hal yang dapat
diabstraksikan. (Suhartini dkk, 2003:166)
B. Komunitas Nelayan dan Masyarakat Nelayan
Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata
pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir. Ciri komunitas
nelayan dapat dilihat dari berbagai segi. Sebagai berikut :
 Dari segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang
segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan
pesisir. Atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai
mata pencaharian mereka.
18
 Dari segi cara hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas
gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong
menolong terasa sangat penting pada saat untuk mengatasi
keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan
pengerahan tenaga yang banyak. Seperti saat berlayar.
Membangun rumah atau tanggul penahan gelombang di
sekitar desa.
 Dari segi ketrampilan. Meskipun pekerjaan nelayan adalah
pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya
memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan mereka bekerja
sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang
tua. Bukan yang dipelajari secara professional.
Dilihat dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri
atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen
adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau secara
transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan
terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana,
sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi
angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga
hasil
laut
di
daerah
mereka.
(http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/pengertian-nelayan.html).
19
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku
bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun
pulau-pulau kecil yang membentang dari sabang sampai merauke.
Aktifitas ekonomi tersebut tidak terlepas dari interaksi individu serta
kelompok inter etnis tersebut. Dalam intern masyarakat. (Geertz dalam
hamzah 2008:192) mencatat indonesia terdiri kurang lebih 300 etnik.
(suku bangsa) dengan kebudayaanya sendiri-sendiri, dengan 250 bahasa
daerah yang berbeda.
Dilihat dari letak geografis, letak kepulauan nusantara (indonesia)
sangat strategis dalam dalam konteks perdagangan antara dunia barat dan
timur. Pada berbagai wilayah tersebut laut merupakan penghubung antara
pulau-pulau
tersebut
disamping
sebagai
tempat
utama
kegiatan
penagkapan ikan serta hasil laut lainnya oleh nelayan. (Kusumastanto
dalam hamzah 2008:1992) mencatat di indonesia terdapat 42 kota 181
kabupaten terletak dikawasan psisir sumber daya ikan sebagai bahan
konsumsi 90% berasal dari wilayah pesisir. Sementara syam dalam
(Suhartini dalam Hamzah 2008:1992) memperkirakan luas wilayah
maritim Indonesia mencapai 5,8 juta Km² dan dapat menjadi potensi
sumber daya kelautan sebagai salah satu tumpuan harapan masa depan
tidak salah jika di Indonesia terdapat banyak komunitas nelayan yang
tesebar hampir sepanjang garis pantai dan daerah pulau-pulau.
20
Winahyu dan Santiasi (dalam Hamzah, 2008:192) menambahkan
dengan membandingkan masyarakat desa pesisir dengan masyarakat lain,
nelayan merupakan lapisan yang paling miskin, dibanding dengan
komunitas di luar pesisir. Pendapat yang diperoleh nelayan sifatnya harian
dan jumlahnya tidak bisa ditentukan tergantung dari musim dan area
penagkapan.
Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang amat tergantung pada
kehidupan laut guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Riset yng
dilakukan para ahli menunjukan keanekaragaman hayati karena kelompok
atau jenis-jenis dasar flora dan fauna (phyla) yang jauh lebih kaya
dibandingkan daratan. Hampir separuh phyla hewan hanya ada di laut.
Koentjaraningrat
bukunya
yang
berjudul
Beberapa
Pokok
Antropologi Sosial mengemukakan bahwa dengan bertambahnya jumlah
penduduk dunia yang tiap tahun makin cepat, dapat menjadikan sumber
makanan didalam sumber darat suatu ketika akan mencapai batas
kemungkinanya. Tidak mengherankan apabila umat manusia akan mulai
dengan mencari makanannya secara lebih intensif didalam sumber yang
masi amat kaya itu ialah, lautan. (Anugerah, 1997:9)
Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa lautan menjadi sangat
penting bagi manusia, karena itu diperlukan manusia yang mampu
mengelola laut ini, yang dapat tertujukan pada nelayan. sebagai mana
pengertian nelayan sendiri ialah orang yang hidup dengan mengelolah
21
lautan dengan melakukan usaha menagkap ikan dan merupakan mata
pencaharian hidup mereka.
Nelayan juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang sehariharinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar,
laut maupun permukaan perairan. Nelayan memanfaatkan lingkungan laut
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya mempunyai budaya yang
berbeda dengan mereka yang bertani. Hal ini pula yang membedakan
dalam mengantisipasi lingkungan dimana ia berada, mereka memiliki
sifat-sifat dasar mata pencaharian dan lingkungan kelautan yang berfungsi
untuk mengatur segala aktifitas kenelayanan. Hal ini dapat terwujud pada
perikanan, tangkapan, pengetahuan, etos kerja, pandangan hidup,
organisasi kerja, dan lain-lain dalam rangka mengelola lingkungan laut.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan)
Sedangkan masyarakat nelayan sendiri adalah suatu masyarakat yang
dalam mempertahankan hidupnya selalu bergantung pada sumber daya
yang ada dalam laut, terutama yang ada disekitar lingkungan masyarakat
tersebut. Dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat nelayan
melakukan dengan cara yang amat sederhana.
Lanjut Lampe mengenai masyarakat nelayan, (dalam tesisnya yang
berjudul “Strategi-strategi Adaptif yang Digunakan Nelayan dalam
Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya”. 1989 : 1 ) mengemukakan
bahwa masyarakat nelayan adalah mereka yang mempunyai mata
22
pencaharian hidup dengan memanfaatkan sumber laut seperti ikan dan
bibit laut lainnya (kecuali rumput laut) yang mengandung nilai ekonomi
(dapat dikonsumsi dan dipasarkan), baik secara terus menerus maupun
secara musiman dengan menggunakan sesama berupa dan alat-alat
penangkapan (Hasan dalam Amral 2005 : 11).
Lebih jauh lagi dilihat tentang nelayan yang dikemukakan oleh Sawe
(dalam “Propil Masyarakat Bajoe” 1985) bahwa sebagai penduduk desa
pantai dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan adalah pelautpelaut yang ulung serta memiliki keterampilan dalam mengelola sumber
kekayaan laut dengan hanya mempergunakan peralatan yang relatif
sederhana sebagai warisan budaya mereka.
Merujuk pada beberapa pengertian tersebut maka dapat diartikan
juga bahwa nelayan adalah orang-orang yang menggantungkan hidup
menagkap ikan atau mencari dan menggali sumber-sumber kekayaan alam
yang terdapat di laut. Dengan ini tampaknya lebih mudah kita memahami
apa dan bagaimana nelayan tersebut ditegaskan bahwa masyarakat
nelayan adalah salah satu potret dan profil masyarakat pantai yang
mencerminkan kehidupan nelayan dimana benda-benda dan peralatan
serta pengetahuan yang mereka miliki adalah banyak berkaitan dengan
laut. Sehingga dengan demikian benda-benda, peralatan dan pengetahuan
tersebut merupakan warisan budaya yang sangat menunjang profesi
23
mereka sebagai nelayan. Ada juga merupakan tiruan-tiruan dan masukan
dari luar.
Masyarakat nelayan sangat tergantung pada lingkungan laut. Mereka
mengelola lingkungan laut menurut pola budaya yang dimiliki di dalam
masyarakatnya. Dapat pula dikatakan bahwa tingkah laku individu untuk
mengelola lingkungan laut ini, merupakan manifestasi dari konsep budaya
yang ada dalam masyarakat. Sifat-sifat dasar yang mereka miliki
merupakan strategi adaptif nelayan dalam menghadapi lingkungan laut
yang penuh resiko dan bahaya yang dapat mendatangkan bencana bagi
nelayan.
C. Sistem Pengetahuan Pada komunitas Laut
Pengetahuan pada masyarakat nelayan berkaitan dengan aktivitas
pelayaran, masyarakat bahari
mutlak membutuhkan pengetahuan-
pengetahuan tentang musim, kondisi cuaca dan suhu, kondisi dasar, dan
tanda-tanda alam lainnya untuk menentukan waktu-waktu mulai
melakukan pelayaran, kelancaran, keberhasilan, dan keselamatannya.
Masyarakat bahari, khususnya nelayan dan pelayar di nusantara ini
mempunyai pengetahuan tentang dua musim utama yaitu musim barat dan
musim timur, yng menentukan waktu-waktu intensif atau sepinya aktifitas
pemanfaatan sumberdaya laut dan pelayaran. (lampe 33:2007).
24
D. Teknologi Perikanan Laut Masyarakat Nelayan
Pengenalan suatu perspektif antropologis terhadap studi kebudayaan
masyarakat nelayan di dorong oleh muncul berbagai perspekif dalam
disiplin antropologi secara luas. Sampai saat ini para ahli antropologi
khususnya di Amerika Serikat, telah memperlihatkan kecenderungan yang
kuat antara determinisme budaya, Asahitaro Nishimura, A Premilinary
Rapport and Current Trend in Marine Antropologhy, (1973) hal : 4
(Syarifuddin dalam Amral 2005 : 25) yang menurut pandangan mereka,
kebudayaan seharusnya dijelaskan menurut istilah dalam kebudayaan itu
sendiri. Fenomena itu, khususnya yang menyangkut sistem dari teknik
penangkapan ikan. Sistem dari teknik penangkapan ikan, dalam hal ini
tidak dapat dijelaskan secara lebih baik dan tanpa memahami hubungan
yang saling berkaitan antara alam dengan setting budaya.
Aspek-aspek teknologi dan material dari kebudayaan nelayan, seperti
alat penangkapan ikan, perahu, dan lain sebagainya. Dikondisikan atau
ditentukan oleh keadaan laut, endapan laut, kedalaman laut, dan kondisikondisi lain untuk tujuan memperluas tingkat subsistensi ekonomi.
Meskipun terdapat pengaruh yang kuat dari kondisi alam itu,
bagaimanapun menangkap ikan adalah hal yang utama dan merupakan
aktifitas produksi yang paling penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat nelayan, namun dalam melakukan penangkapan nelayan
25
haruslah memperhatikan kelangsungan ekosistem trumbu karang dan
segala biota yang ada di dalam laut.
Walaupun di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara
atau di Afrika, Nelayan di negara-negara
maju tersebut biasanya
menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi
teknologi
canggih.
Namun
masih
banyak
Nelayan
juga
yang
menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan. Ini
dikarenakan nelayan harus lebih menyeleksi lagi alat tangkap yang akan
nelayan
gunakan
dalam
melakukan
penangkapan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan)
Teknologi dari pada sebagai fakta yang digunakan secara berbeda dan
membawa aturan sosial berbeda terhadap lingkungan. Meskipun konsep
adaptasi lingkungan ditekan pada teknologi budaya, prosedur-prosedurnya
harus memperhitungkan kompleksitas dan tingkat dari kebudayaan,
(dikutip dari Ashitaro Nishimura dalam Andi Hartati Amral 2005:26).
Fenomena yang tampak dari hubungan antara kebudayaan dan lingkungan,
memperlihatkan keragaman yang mencolok diantara berbagai komunitas
meskipun memiliki mata pencaharian yang sama yaitu sebagai nelayan
namun jenis-jenis teknologi alat tangkap yang mereka gunakan itu
beraneka ragam.
Dalam pemilihan jenis-jenis teknologi nelayan tertentu erat kaitannya
dengan faktor-faktor ekologi atau lingkungan alam sekitarnya, baik yang
26
menyangkut pola iklim, maupun medan penangkapan dan jenis populasi
ikan yang ada diperairan tersebut, yang memungkinkan nelayan dapat
menerima teknologi dari luar yang sesuai dengan lingkungan alamnya dan
tidak merusak kelangsungan ekosistem bawah laut.
menurut Wiyono (2005:15), telah dilakukan evaluasi dampak
pengoperasian alat penangkap ikan minimal harus mampu menjawab tiga
dampak utama, yaitu : (1) dampak terhadap lingkungan, (2). dampak
terhadap kelimpahan sumberdaya dan (3) dampak terhadap target
sumberdaya ikan.
Namun aktivitas penangkapan di indonesia telah mendekati kondisi
kritis akibat tekanan penangkapan dan tingginya kompetisi antar alat
tangkap dan yang akan menyebabkan menipisnya stok sumber daya ikan.
Sehingga nelayan akan melakukan modifikasi alat tangkap untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal termasuk menggunakan
teknologi alat tangkap yang merusak (destruktif fishing). Atau tidak ramah
lingkungan.
Jika ini dibiarkan akan mengancam kelangsungan ekosistem bawah laut
apabila alat tangkap yang merusak tersebut tetap digunakan dalam proses
penagkapan. Sehingga dilakukan Pembatasan alat tangkap yang dapat
dikatakan merusak ekosistem, hal ini dikarenakan seringnya terjadi
penyala gunaan alat tangkap yang dilarang seperti senapan tombak,
jebakan ikan dan jaring pukat pantai, troll, racun, boms dsb memikili
27
potensi lebih untuk merusak karang, ikan karang, dan spesies kunci yang
berfungsi buat kelangsungan ekosistem karang tempat ikan berkembang
biak, ataupun ekosistem yang ada dibawah laut. (Krisis ekologi
=http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis-ekologi-laut-danlingkungan.html).
Untuk
Masyarakat
menjaga
nelayan
kelangsungan
mengembangkan
ekosistem
bawa
kemampuannya
laut
dalam
memodifikasi alat tangkap guna memperoleh sumberdaya yang ada dilaut,
seperti ikan, tiram udang dan sebagainya. Hal inilah yang dilakukan oleh
masyarakat Di Pulau Saugi, mereka memodifikasi alat tangkap troll
menjadi alat tangkap yang tidak merusak karang selain itu mereka juga
mengembangkan tehnik-tehnik alat pengangkutan air, mulai dari batang
kayu kerakit, rakit ke sampan dan hingga saat ini sampai ke perahu.
namun teknologi pengangkutan tersebut tidak berhenti sampai disitu setiap
saat mengalami perubahan, terutama dengan adanya motorisasi dan
peralatan tangkap yang diperkenalkan oleh pemerintah maupun swasta
(Lanca, 1986 : 9).
E. Dampak Sosial dan Teknologi
Dalam upanya peanfaatan lingkungan laut, teknologi sebagai wujud
dan fungsi kebudayaan memegang peranan pentig, mengklasifikasikan
sifat hubungan antara kelompok manusia yang secara spesifik berbeda
dengan keompok manusia lain disebabkan pola pemanfaatan teknoogi,
28
disamping perbedaan sistem ekononi dan sistem kepercayaan (religion)
yang dianut.
Memahami fenomena penerapan teknologi bagi masyarakat
nelayan. Fenomena penerapan teknologi didalam pemanfaatan lingkungan
adalah suatu fenomena yang tidak lepas dari fenomena sosial budaya,
bahka munculnya teknologi, mulai dari tingkat yang paling sederhana
sampai pada taraf yang kompleks seperti yang tampak saat ini adalah
akumulasi dari suatu tingkat perkembangan sosial budaya,
Pembangunan teknologi bagi pemanfaatan lingkungan memiliki
umpan balik (feedback),baik dalam konteks ekologis maupun pada tataran
sosial budaya. Penggunaan teknologi dalamposisi relatif berkonsekuensi
terhadap peningkatan kondisi sosial ekonomi, namun pada sisi lain.
Penggunaan teknologi berkonsekuensi pula pada kondisi ekologis,
konsekuensi terterhadap aspek fisik biologis yang di khawatirkan terjadi
adalah ancaman bagi kelestarian (sustainability) ekosistem pesisir itu
sendiri. Saat ini telah menggejalah fenomena tingkat pencemaran
lingkungan laut, gejala tangkap lebih (overfising), degradasi fisik habitat
(Mamar dalam Naping, 2007 : 2).
Penggunaan berbagai macam teknologi dalam konteks pemanfaatan
lingkungan,
menyebabkan
terjadinya
unsur-unsur
sosial
dalam
bentukperubahan pranata sosial ekonomi, organisasi dan kelompokkelompok sosial, pola-pola hubungan sosial dan peranan status sosial.
29
Komunitas nelayan renreng di Pangkep sesuai dengan perkembangan
kebudayaan yang dimiliki, menerima inovasi-inovasi baru, baik berupa
hasil cipta tokah masyarakat yang kreatif (indegenousknowledge) maupun
adopsi dari luar, berkonsekuensi pada terjadinya stabilitas dinamik
masyarakat nelayan, perubahan struktur masyarakat nelayan merupakan
hasil transformasi budaya yang ada akan menyebabkan transformasi sosial
ekonomi (Abu Hamid dalam Naping, 2007 : 3).
Studi tentang pemanfaatan teknologi bagi masyarakat nelayan
renreng di Pangkep menjadi penting di pandang dari upaya pemahaman
utuh tentang kaitan antara teknologi, lingkungan alam dan kebudayaan
masyarakat nelayan, dengan fokus kajian bagaimana fungsi teknologi bagi
pemanfaatan lingkungan laut pada komunitas nelayan ( Naping, 2007 : 3 )
30
BAB III
GAMBARAN KHUSUS LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis
Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) merupakan salah satu
kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Daerahnya berada di
pesisir Barat Sulawesi Selatan dengan ketinggian antara 0 hingga 1.000
meter di atas permukaan laut. Kabupaten ini mencapai luas wilayah sekitar
1.122,29 Km2 yang secara adminstratif terbagi menjadi 12 kecamatan, 66
desa, dan 36 kelurahan. Di seluruh wilayah itu tersebar penduduk yang
mendiami wilayah pangkep sekitar 279.887 jiwa.
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) dicirikan dengan
wilayah perairannya lebih luas dibandingkan daratannya yakni dengan
perbandingan 1 berbanding 17. Kabupaten Pangkep memiliki 117 pulau dan
hanya 80 diantara yang berpenghuni, terbagi dalam 3 kecamatan yaitu
Kecamatan Tuppabiring, Kecamatan Liukang Kalmas dan Liukang
Tangaya.
Sedangkan Letak geografis Kabupaten Pangkep yaitu terletak pada
posisi 110o BT sampai dengan 113o dan 4o,40 LS sampai dengan 8o LS atau
terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan. Suhu udara di Kabupaten Pangkep
berada pada kisaran 21oC - 31oC atau rata-rata 26,40oC, dengan curah hujan
maksimal pada tahun 2000 rata-rata mencapai 666/153 karena hujan dengan
31
kelembaban udara yang merata, sementara keadaan angin berada pada
kecepatan laut sampai sedang.
(www.kmb-sulsel.net/index.php?option=com_content.id).
Salah satu kecamatan desa yang ada di kabupaten ini adalah Desa
Mattiro Baji. Desa Mattiro Baji terletak di kecamatan Tupabbiring utara.
Sebagai sebuah desa, Mattiro baji memiliki berbatas dengan wilayah
lainnya. Adapun batas-batas wilayah dari Desa Mattiro Baji, kecamatan
Tupabbiring utara yaitu:
a. Sebelah Utara Desa Mattiro Bombang
b. Sebelah Selatan Desa Mattiro Ulung
c. Sebelah Timur Kelurahan Pundata Baji
d. Sebelah Barat Desa Mattiro Kanja.
Desa Mattiro Baji merupakan desa yang berbentuk kepulauan,
dimana didalam wilayahnya terdiri dari 4 pulau-pulau kecil. Dari ke empat
pulau tersebut, 3 pulau diantaranya yakni pulau Satando, Pulau Saugi, Pulau
Sapuli dihuni oleh beberapa keluarga, dan 1 pulau lainnya yakni pulau
Camba-Cambayya
tidak
dihuni
oleh
manusia,
melainkan
hanya
dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi melepaskan penat yang bisa diakses
oleh siapa saja yang menginginkan.
Salah satu kecamatan desa yang ada di kabupaten ini adalah Desa
Mattiro Baji. Desa Mattiro Baji terletak di kecamatan Tupabbiring utara.
32
Sebagai sebuah desa, Mattiro baji memiliki berbatas dengan wilayah
lainnya. Adapun batas-batas wilayah dari Desa Mattiro Baji, kecamatan
Tupabbiring utara yaitu:
a. Sebelah Utara Desa Mattiro
b. Bombang Sebelah Selatan Desa Mattiro Ulung
c. Sebelah Timur Kelurahan Pundata Baji
d. Sebelah Barat Desa Mattiro Kanja.
Desa Mattiro Baji merupakan desa yang berbentuk kepulauan,
dimana didalam wilayahnya terdiri dari 4 pulau-pulau kecil. Dari ke empat
pulau tersebut, 3 pulau diantaranya yakni pulau Satando, Pulau Saugi, Pulau
Sapuli dihuni oleh beberapa keluarga, dan 1 pulau lainnya yakni pulau
Camba-Cambayya
tidak
dihuni
oleh
manusia,
melainkan
hanya
dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi melepaskan penat yang bisa diakses
oleh siapa saja yang menginginkan.
Pulau Satando, dengan luas wilayah 1,5 hektar merupakan pulau
paling luas diantara kedua pulau lainnya. Pulau ini memiliki jumlah
penduduk sebanyak 549 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
sebanyak 134 kk dengan rincian 277 laki-laki dan 272 perempuan yang
terbagi atas 2 RT. Dua pulau lainnya, yakni sapuli dengan luas wilayah 700
m2 yang dihuni oleh 474 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK)
sebanyak 122, terdiri dari 239 laki-laki 235 perempuan, dan yang terakhir
Pulau Saugi dengan luas 900 m2. (Sumber data: Profil Desa Mattiro Baji).
33
Salah satu pulau yang masuk kedalam wilayah administratif desa
mattiro baji, yakni Pulau Saugi merupakan tempat dari dilaksanakannya
penelitian ini. Pulau ini berbatas dengan :
a. Sebelah Utara Pulau Sapuli
b. Sebelah Selatan Pulau Camba-Cambayya
c. Sebelah Timur Macini Baji
d. Sebelah Barat Pulau Satando.
B. Sejarah Pulau
Menurut Nama Pulau Saugi diambil dari nama orang yang pertama
yang mendiami pulau ini. Awalnya, pulau ini dihuni oleh seorang pria yang
bernama Ma’ugi. Ma’ugi adalah seorang tahanan yang melakukan pelarian
dari daerah Bone hingga tiba di pulau ini. Ma’ugi datang bersama
saudaranya yang bernama Lakandra, Lakandra lah yang pertama kali
menemukan
Pulau
Karanrang.
Awal
mula
terbentuknya
struktur
pemerintahan di Pulau Saugi masih bergelar Gallarang yang dimulai pada
tahun 1930-1967. Yang dipimpin oleh Gallarang yang berbeda-beda, pada
tahun 1930-1937 dipimpin oleh Pak Mangunjungi, pada tahun 1937-1967
dijabat oleh Syamsuddin. Kemudian pada tahun 1968 terbentuklah suatu
desa yang namanya Desa Satanggi yang pada waktu itu dijabat oleh Pak
Mahmud selama setahun. Pak mahmud digantikan oleh Mursyiddin yang
menjabat dari Tahun 1969-1972.
34
Sekitar tahun 1973-1977 nama desanya kembali berubah menjadi
Desa Mattiro Buluk dan pemerintahannya bergelar kepala Wanua kepala
pemerintahannya Ahmad Padaung, dan itu kembali bergelar Gallarang
dengan gelar Puang Taula, setelah tahun 1977 desa kembali dimekarkan
dengan nama Desa Mattiro Kanja’ yang kepala pemerintahannya bernama
Taslim. Taslim menjabat dari tahun 1978-1992.
Setelah itu tahun 1992 kembali mekar menjadi Desa Mattiro Baji,
dengan kepala pemerintahannya Taslim, Taslim menjabat dari tahun 19921994. Setelah kepemimpinan Taslim berakhir dia digantikan oleh Mukhlis
beliau menjabat dari tahun 1994-2002. 2002-2007 dijabat oleh Andi
Nasrum Raup. Namun pada tahun 2007-2008 hanya ada penjabat kepala
desa oleh Pak Annas Setelah itu pada tahun 2008-2014 nantinya dijabat
oleh H. Muslimin.
C. Demografi
1. Kependudukan
Pulau saugi yang luas wilayahnya sekitar 900 m2, dengan jumlah
penduduk 427 jiwa terdiri dari 2 RT dengan rincian: 122 kepala keluarga
,laki-laki 199 jiwa dan wanita 228 jiwa. Walaupun jumlah kepala keluarga
yang ada pulau saugi banyak, namun di pulau saugi hanya terdapat 89
rumah.
35
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan pada masyarakat Pulau Saugi masih tergolong
rendah. Data tahun 2011 menunjukan bahwa jumlah warga yang tamat
Sekolah Dasar sebanyak 300 orang, Sekolah Menengah Pertama sebanyak
16 orang. Kondisi ini bisa dianggap memprihatinkan karena sebenarnya di
pulau ini terdapat sekolah menengah pertama, meskipun hanya berstatus
sebagai sekolah terbuka.
Sedikit lebih banyak, Penduduk yang tamat Sekolah Menengah Atas
di pulau ini sebanyak sekitar 40 orang, dengan rincian laki-laki dan
perempuan yang hampir imbang. Sedangkan S1 dipulau ini sebanyak 9
orang saja. Rendahnya tingkat pendidikan dipulau ini dikarenakan sarana
dan prasarana yang tidak mendukung. Di saugi sendiri, tidak terdapat SMA,
apalagi perguruan tinggi dan SMA yang terdekat terletak di kota pangkep,
yang harus ditempuh dengan 15 menit perjalanan air, dan 30 menit
perjalanan darat, sedangkan masyarakat yang ingin menyekolahkan
anaknya sampai perguruan tinggi yang bermutu harus Ke Makassar sekitar
2 jam ditempuh dari Pulau Saugi menuju kota.
Dari data diatas, dapat diperlihatkan bahwa perhatian masyarakat
terhadap pendidikan masih rendah. Bagi masyarakat saugi, mencari uang
masih lebih utama dibandingkan dengan belajar di bangku sekolah. Anakanak lebih utama diajarkan berenang dari pada membaca dan menulis.
36
Kondisi seperti ini di dukung pula dengan berbagai permasalahan lainnya,
mulai
dari
minimnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
pentingnya
pendidikan, hingga sulitnya transportasi menuju sekolah.
3. Mata Pencaharian dan Kondisi Ekonomi
Karena berbentuk kepulauan, maka hampir seluruh penduduk
menggantungkan hidup dari laut. Sebagian besar penduduk adalah nelayan
renreng yang biasanya bersama istri dan anak-anaknya memiliki sambilan
mengolah kotoran. Hanya sebagian kecil yakni sekitar 9 orang yang
menggantungkan hidupnya pada birokrasi negara, yakni 8 orang berprofesi
sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan 1 orang lainnya berprofesi sebagai
pegawai honorer.
Nelayan di pulau saugi sangat tergantung pada alat tangkap renreng
sebagai alat tangkap utama mereka. Sejak kehadirannya, Renreng memang
smembawa pengaruh yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat.
Masuknya renreng menjadikan kehidupan ekonomi masyarakat Pulau
Saugi sangatlah berbeda. Saat ini, kondisi ekonomi masyarakat pulau saugi
jauh lebih mapan dibandingkan dahulu. Renreng meningkatkan jumlah hasil
tangkapan ikan, yang secara otomatis menambah pundi-pundi keuangan
mereka. Menurut pengakuan dari beberapa informan, dulu sebelum
menggunakan renreng, jangankan cukup untuk kebutuhan sekunder, hasil
tangkapan mereka pun terkadang tidak cukup untuk makan dan minum.
37
Terkadang mereka makan cuma sekali sehari dan terkadang pula dalam
sehari mereka mengganjal perut hanya dengan air putih. Dan saat ini
ekonomi keluarganya pun berangsur-angsur stabil. Tidak hanya cukup
untuk kebutuhan makan dan minum, saat ini warga juga telah banyak
merenovasi rumah-rumah mereka, bahkan membeli kebutuhan sekunder
seperti televisi, radio, sepeda, dan yang lainnya.
Kehadiran renreng juga membuka lapangan pekerjaan baru bagi
anak-anak dan perempuan di pulau saugi. Kehadiran kotoran, bisa dijadikan
salah satu komoditi yang dijual untuk mendapatkan keuntungan. Kotoran
yang dimaksud adalah biota-biota kecil (biasanya berupa udang kecil,
kepiting kecil, bahkan ikan-ikan kecil) yang sebenarnya belum siap panen
tetapi juga terikut ke dalam jala renreng pada saat digunakan menangkap
ikan. Mereka mengolah kotoran ini dengan cara dikeringkan kemudian
ditumbuk hingga halus, dan dimasukkan kedalam karung, lalu kemudian
dijual kepada pengumpul. Kotoran ini biasanya dijual lagi oleh pengumpul
ke pulau-pulau sekitar, ke Makassar, hingga ke Kabupaten Sidrap, sebagai
makan pakan ternak.
4. Sarana dan Prasarana
Saugi
merupakan sebuah pulau oleh karena itu jalur trasportasi
utama yang menggabungkannya dengan pulau-pulau lain mereka melalui
jalur laut. Alat tranportasi yang umum di gunakan adalah sebuah perahu
bermesin yang biasa mereka sebut dengan (Jolloro). Jolloro digunakan
38
untuk menfasilitasi warga yang ingin menuju kota Pangkep, ataupun pulau
lainnya yang ada disekitar. Berbeda dengan pulau-pulau kebanyakan, untuk
sampai di pulau saugi, tidak disediakan alat transportasi umum. Masyarakat
pulau yang ingin menuju pulau-pulau sekitar atau menuju kota Pangkep,
biasanya menggunakan perahu sendiri ataupun menumpang kapal
pengangkut karyawan di perusahaan kepiting yang ada di Pulau Saugi,
kapal tersebut setiap harinya mengangkut karyawan perusahaan menuju
Pulau Saugi pada subuh hari, lalu kemudian menuju daratan pangkep pada
pukul 08.00 pagi, hal ini dimanfaatkan warga yang ingin ke kota Pangkep
untuk menumpang. Dan yang sangat menguntungkan bagi masyarakat,
yaitu siapapun yang menumpang perahu untuk menyeberang tidak
dikenakan tarif sama sekali.
Semua sekolah dasar (SD) di Pulau Saugi berstatus dan semua
Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah berstatus negri. Kondisinya tidak
memilliki banguan fisik sehingga murid yang ingin belajar kelasnya harus
digabungkan dengan SD setempat. Menurut pengakuan aparat desa, hal ini
terjadi dikarenakan keterbatasan lahan. Di pulau Saugi, tidak ada lagi tanah
atau lahan kosong yang cukup untuk membangun sekolah.
Selain sarana pendidikan, pulau ini pun memiliki Sarana Ibadah.
Karena semua penduduk memeluk agama islam, maka sarana ibadah yang
dibangun dipulau ini adalah sebuah mesjid. Mesjid ini terletak di bagian
tengah pulau dengan ukuran kira-kira 12m X 8 m, dan di bangun secara
39
permanen. Ornamen di dalam mesjid kental dengan nuansa islam karena
terdapat tulisan-tulisan kaligrafi arab yang melambangkan Allah dan Nabi
Muhammad. Kondisi mesjid pun senantiasa bersih, dan saat ini lantai
mesjid pun sudah dibuat beubin agar tampak lebih mewah. Selain tempat
ibadah mesjid ini juga digunakan berbagai kegiatan lainnya seperti aktifitas
pemuda, tepat disamping mesjid, terdapat sebuah lapangan multifungsi
yang digunakan sebagai sarana olahraga. Lapangan ini terkadang digunakan
sebagai areal bermain bola kaki untuk anak-anak, arena permainan bulu
tangkis dan takrau untuk para remaja, atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Sarana penunjang lainnya, yaitu MCK yang ada merupakan bantuan
dari PNPM Mandiri yang di ketuai oleh Dg Sangkala dengan jumlah sarana
MCK nya yaitu 6 unit yang menyebar di beberapa tempat yakni : 1 unit di
tengah, 3 unit sebelah utara , 1 unit sebelah barat , 1 unit sebelah selatan ,
setiap 1 unit MCK terdapat 2 bilik kamar mandi dan 1 buah sumur.
Berdasarkan hasil observasi saya walaupun ada beberapa warga yang sudah
menggunakan fasilitas wc umum dan telah di sosialisasikan, namun masih
banyak warga setempat yang memilih buang hajat di laut di karenakan
mereka belum terbiasa menggunakan fasilitas MCK.
Walaupun Pulau saugi merupakan pulau kecil, namun Di Pulau ini
air bersih tidak susah diperoleh. Masyarakat menggunakan air payau untuk
aktifitas mencuci, mandi maupun untuk di konsumsi. Kualitas air yang ada
memang masih merupakan air payau, namun dengan intensitas garam yang
40
sudah sedikit jika dibandingkan dengan air payau yang ada di pulau lain di
sekitar Pulau Saugi. Hal ini dikarenakan masyarakat saugi menanam pohon
sukun di bebarapa titik, terutama di dekat beberapa tempatyang mereka
yakini sebagai mata air. Pengetahuan local mereka membuat mereka
meyakini bahwa akar-akar dari pohon sukun mampu menyaring dan
menetralisir garam-garaman yang ada, hingga air yang sampai di sumursumur mereka mengandung garam yang lebih sedikit.
Meskipun jarak pulau saugi dengan kota pangkep tidak begitu jauh,
hanya sekitar 15 menit ditempuh dengan jalur laut, namun tetap saja,
pasokan listrik untuk daerah ini masih sangat terbatas. Pasokan listrik
didapatkan dari genset milik pemerintah yang dibatasi penggunaannya.
Genset hanya dinyalakan 4 jam dalam sehari yakni mulai pukul dari pukul
18.00 petang hari hingga pukul 22.00 malam. Namun, warga yang memiliki
taraf ekonomi yang berlebih kebanyakan memiliki genset pribadi yang
mereka pergunakan untuk membantu aktifitas sehari-hari mereka.
Dilihat dari segi fisik jalan yang ada di Pulau Saugi hampir semua
depan rumah warga sudah di Pavin block sehingga di sekitar rumah warga
kelihatan lebih rapi dan nyaman buat dilalui.
D. Kondisi Sosial Budaya
1. Sistem Religi
Seluruh penduduk pulau saugi tercatat di kantor desa memeluk
agama Islam. Agama islam sendiri hadir seiring dengan hadirnya ma’ugi,
41
orang pertama yang tinggal dan mendiami pulai ini. Masyarakat saugi juga
mengenal adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap hal-hal gaib, dan
kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Akibatnya, di masyarakat
terdapat larangan-larangan, ataupun pemali-pemali yang berlaku. Laranganlarangannya misalnya seperti mendatangi salah satu tempat dimana
ditempat tersebut terdapat batu berbentuk segitiga, karena diyakni, di batu
tersebut terdapat kekuatan gaib, yang apabila disentuh atau berpindah
tempat, maka akan mendatangkan bahaya bagi yang menyentuh ataupun
memindahkan tempatnya.
Namun
secara
berangsur-angsur,
kini
kondisi
di
lapangan
memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib
ataupun roh nenek moyang perlahan memudar bahkan suatu saat menurut
tokoh adat, bisa menghilang. Hal ini disebabkan karena kemajuan ikmu
pengetahuan dan perkembangan ilmu agama islam yang sangat pesat.
Masyarakat mulai mengenal konsep syirik yang berarti mengakui adanya
kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT, yang apabila dipercayai atau
bahkan dilakukan, akan mendapatkan ganjaran dosa besar.
2. Sistem kekerabatan
Masyarakat Pulau Saugi dalam memilih jodoh tidaklah harus dari
sesama warga pulau walaupun kewajiban dari mereka menikah dengan
orang didalam Pulau namun tetap saja berbeda suku atau budaya, pola
42
menetap setelah menikah cenderung patrikal namun itupun sangat
tergantung dari kemampuan dan kekayaan sang pengantinnya bahkan jika
orang tuanya mampu membelikan mereka rumah maka anak tersebut akan
tinggal terpisah dari orang tuanya dengan menempati rumah baru mereka
namun jika orang tuanya tidak mampu membelikan rumah maka mereka
akan tetap tinggal di rumah orang tuanya. Namun sebagian besar anak-anak
mereka yang sudah menikah lebih memilih tinggal dirumah orang tuanya
dibandingkan mendirikan rumah sendiri, hal ini dikarenakan wilayah pulau
yang sempit sedangkan jumlah penduduknya selalu bertambah.
43
BAB IV
HASIL PENENILITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Renreng Di Pulau Saugi
Sebelum masuknya renreng Di Pulau Saugi kehidupan ekonomi
masyarakat pulau saugi sangatlah memprihatinkan. Hal ini dikarenakan alat
tangkap yang mereka gunakan sebelumnya yakni panyungkara’ tidak bisa
menangkap banyak ikan. Karena ketidak puasan terhadap alat tangkap
panyungkara’lah maka kemudian masyarakat mengubah atau memodifikasi
alat tangkap mereka menjadi alat tangkap yang bernama renreng.
Renreng masuk kedalam kehidupan masyarakat pulau saugi pada
tahun 1980’an. Secara drastis, Renreng kemudian mengubah taraf
kehidupan masyarakat menjadi meningkat dengan pesat. Sebenarnya alat
tangkap Renreng bukanlah alat tangkap baru pada masyarakat Pulau Saugi.
Renreng merupakan alat tangkap inovasi dari panyungkara, panyungkara
merupakan pukat yang ditarik oleh perahu mesin dan masyarakat setempat
menyebutnya dengan jolloro.
Ide membuat alat tangkap Renreng sebenarnya diadopsi oleh
masyarakat Pulau Saugi dari nelayan-nelayan yang ada di Kalimantan. Hal
ini dingkapkan oleh salah satu informan saya yang benama Dg Tiru (58
tahun) :
44
“Itu alat tangkap renreng yang pertama kali yang bawa
kemari itu keluarganya pak desa yang namanya H.
Muh.Hajar (Punggawa). dia itu ABK kapal pengangkut
kayu di Kalimantan.”(kutipan wawancara 11maret
20011)
Ide membuat Renreng dibawa oleh seorang warga Pulau Saugi yang
bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) pada kapal pengangkut kayu
Kalimantan-Malaysia. Beliau yang sering pulang pergi Kalimantan melihat
kehidupan nelayan Kalimantan memiliki taraf hidupnya lebih baik dari
masyarakat saugi, karena hasil tangkapan mereka yang lebih banyak.
Tertarik dengan itu, akhirnya si ABK itupun kemudian belajar dari para
nelayan Kalimantan bagaimana cara membuat alat tangkap Renreng.
Setelah pulang kembali ke pulau Saugi, si ABK tersebut tidak ingin
menyia-nyiakan ilmu yang di dapatnya di Kalimantan. Beliau mencoba
membuat alat tangkap, menguji coba di lautan sekitar pangkep, hingga
beliau melihat bahwa hasil Renreng lebih banyak dari pada Panyungkara’.
Akhirnya, si ABK ini memperkenalkan kepada orang lain, mula-mula dari
keluarga dekatnya, keluarga besar, hingga masyarakat saugi secara umum.
Proses perkembangan dan penerimaan renreng oleh masyarakat
setempat tidak terlalu sulit, hingga lambat laun semakin banyak masyarakat
yang menggunakan Renreng. Seperti yang diungkapkan Abdul Samat (50
tahun) :
45
”Itu waktu nagunakan mi H. Muh.Hajar (Punggawa). itu
renreng banyak tongmi yang gunakan juga disini karna
bisa banyak menghasilkan tanggapan di bandingkan alat
tangkap yang lain.” ( kutipan wawancara 11 maret 2011)
Selain Abdul Samad, hal yang hampir sama di ungkapkan oleh
Dg Jiro:
Waktu pertama kali masuki renreng di Pulau Saugi cepatji
berkembang karna bisa lebih banyak na dapat dari alat
tangkapan yang lain. Penggunaannya juga tidak jie na
susah, karena beda sedikitjie sama panyungkara cra
pakainya. Makanya masyarakat cepatjie menyesuaikan diri
(kutipan wawancara 11 maret 2011)
Melalui kedua informan tersebut, dapat dilihat bahwa kehadiran
Renreng yang menghasilkan tangkapan yang lebih banyak, serta
penggunaannya yang lebih mudah dari pada alat tangkap sebelumnya
(panyungkara’), hingga masyarakat sebenarnya telah familiar dengan
kehadiran alat tangkap baru ini, mengakibatkan renreng masuk dengan
mudah kedalam kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan Renreng
maka hasil yang di tangkap bertambah, hingga secara otomatis, kehidupan
ekonomi masyarakat pun menjadi lebih baik. Melihat hal tersebut, maka
tidak mengherankan bahwa sebagian besar masyarakat pulau saugi
mengoprasikan renreng hingga sekarang.
Perkembangan Renreng termasuk sanagat pesat. Hanya berselang
beberapa tahun sejak Renreng masuk ke pulau saugi kini hampir secara
keseluruhan masyarakat Pulau Saugi menggunakan alat tersebut. Ditunjang
dengan masuknya perusahaan yang mengelolah kepiting di pulau ini
46
sehingga
masyarakat
tidak
perlu
memasyarkan
terlalu
jauh
dan
masyarakatpun tidak perlu memasarkan terlalu jauh dan harga yang
ditawarkan pun lebih tinggi.
B. Sistem Pengetahuan Tentang Tehnik Renreng
1. Renreng
Renreng adalah suatu alat tangkap yang terbuat dari tali yang di
dibentuk menjadi sebuah jaring yang di atasnya terdapat beberapa besi yang
berbentuk seperti rantai yang disusun dan disambung dengan beberpa
pelampung, alat tangkap ini juga dilengkapi dengan dua papan yang
berfungsi untuk membuat alat tangkap ini menjadi lebih mengembang pada
saat di tarik oleh kapal yang masyarakat saugi menyebutnya dengan jolloro.
Renreng diletakkan pada bagian belakang kapal agar mempermudah
nelayan untuk menurunkan Renreng kelaut, Renreng di oprasikan dengan
menggunakan perahu bermesin, Renreng diturunkan kelaut secara bertahap
selain itu alat tangkap ini juga ditarik pada bagian belakang kapal (baca:
kapal dalam keadaan berjalan) menelusuri permukaan dasar perairan yang
dilaluinya.
2. Tekhnik Penggunaan Renreng
Renreng adalah salah satu alat tangkap yang digunakan pada
masyarakat Pulau Saugi, alat tangkap ini memeliki pengaruh besar dalam
pemenuhan kebutuhan hidup komunitas nelayan yang ada di Pulau Saugi.
Untuk memiliki satu unit alat tangkap ini lengkap dengan perahu
47
bermesinnya masyarakat nelayan mengeluarkan uang yang tidaklah sedikit
karena alat tangkap ini harganya mahal.
Harga alat tangkap yang mahal tidaklah mengurangi minat
masyarakat Pulau Saugi unutuk memiliki alat tangkap Renreng,
dikarenakan hampir semua masyarakat nelayan Di Pulau Saugi yang
menggantungkan hidupnya dari laut memiliki alat tangkap ini, walaupun
dalam mengoprasian Renreng tidaklah terlalu rumit tetapi harus melaui
beberapa tahap sebelum menggunakannya.
Renreng termasuk alat tangkap yang tahan lama walaupun jika terkena
karang akan robek namun alat tangkap ini bisa di perbaiki untuk di gunakan
kembali, walaupun Renreng termasuk dalam kategori troll mini namun
ukuran Renreng tidaklah sebsesar troll dalam pngoprasiannya Renreng
hanya membutuhkan 1 sampai 2 orang.
3. Pengetahuan Tentang Harga
Penentuan harga alat tangkap pada setiap unitnya biasanya
dipengaruhi oleh harga bahan penunjang dalam pembuatan alat tangkap ini,
jika bahan yang digunakan harganya mahal maka harga Renreng juga
mengalami kenaikan. Harga bahan dan ongkos pembuatan ditentukan oleh
pembuat alat tangkap Renreng, harga Renreng tergantung dari ukurang
renreng yang di inginkan oleh nelayan.
48
4. Lokasi Penagkapan
Setiap kali melakukan aktifitas melaut keberhasilan nelayan dalam
penangkapan tidak hanya ditunjang oleh alat tangkap yang memadai namun
juga lokasi penagkapan yang strategis. Berada dilaut lepas dan menatap
langit saat cahaya bulan yang penuh menembus kegelapan dan membentuk
bayangan
dipermukaan
air,
sungguh
merupakan
saat-saat
yang
mengaharukan. Semua itu mengingatkan dan menyadarkan manusia akan
sumber daya yang ada di laut.
Namun sumber daya ini tidaklah melimpah seperti ini jika kita tidak
menjaga kelestariannya yaitu dengan menggunakan alat-alat tangkap yang
ramah lingkungan dan tidak merusak. Sama halnya Di pulau Saugi nelayan
mengembangkan teknologi pengkapan yang nelayan Di Pulau Saugi
menyebutnya dengan Renreng. Walaupun alat tangkap ini mirip dengan
troll namun masyarakat saugi beranggapan kalau alat tangkap ini tidak
merusak, walaupun dikatakan tidak merusak karang namun ada wilayahwilayah tertentu dimana alat tangkap renreng tidak boleh digunakan hal ini
dikarenakan disana terdapat gugusan karang yang menjadi Daerah
Perlindungan Laut (DPL).
Lokasi DPL ini terdapat disebelah barat Pulau Saugi, tempat ini telah
dijadikan pemerintah sebagai tempat berkembang biaknya Flora dan Fauna
laut dan ada sanksi buat yang melanggar peraturan tersebut dikarenakan
sudah ada perdes yang mengatur mengenai perlindungan wilayah ini. Selain
49
wilayah-wilayah penagkapan yang dilarang dan telah diatur oleh perdes ada
juga wilayah pengkapan renreng yang dilarang oleh anggota masyarakat itu
sendiri pelarangan ini telah menjadi kesepakatan antar anggota masyarakat
Di Pulau Saugi. Area penagkapan ini hanya di khususkan utuk alat tangkap
jaring kepiting dan rawe dan jika alat tangkap Renreng sampai melewati
wilayah renreng pasti akan nyangkut dialat tangkap tersebut.
5. Biota Yang Bernilai Ekonomi
Sejak masuknya perusahaan kepiting di Pulau Saugi ini menjadikan
renreng sebagai alat tangkap yang dapat menghasilkan kepiting yang jauh
lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain yang juga digunakan dipulau
ini. Selain kepiting alat tangkap ini juga dapat menghasilkan ikan, kerangkerang kecil dan masi banyak lagi. Kalau lagi beruntung terkadang juga alat
tangkap ini menghasilkan gurita.
Semua hasil yang didapatkan misalkan kepiting yang tertangkap
biasanya langsung dijual di perusahaan kepiting yang ada Di Pulau Saugi,
gurita biasanya dijual ke pemancing rawe atau mereka gunakan sendiri
untuk memancing, ikan-ikan yang dapat dikonsumsi biasanya mereka
konsumsi sendiri atau mereka jual ke masyarakat lain, sedangkan sisanya
yang tidak dapat dikonsumsi yang biasa mesyarakat Di Pulau Saugi biasa
menyebutnya dengan kotoran, Seperti yang terlihat (pada gambar 01)
berikut:
50
Gambar 01 : kotoran menurut masyarakat Pulau Saugi
Tidaklah mereka buang, dikarenakan kotoran ini juga berguna bagi
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Di Pulau Saugi kotoran ini jemur
dulu setelah kering barulah Di Pulau Saugi membawanya kepenampungan
untuk dijual. Kotoran ini nantinya oleh pengepul dijual lagi, kotoran ini
bisanya digunakan sebagai pakan ternak.
C. Sarana Dan Alat Tangkap
1. Sarana Tangkap
Dalam melakukan aktifitas melautnya nelayan membutuhkan
lampu jika melaut pada malam hari, jaring yang mereka sebut dengan
Renreng, beberapa meter tali buat mengikat Renreng, dan mesin untuk
menjalankan perahu. Namun yang paling penting dari semuanya yaitu
perahu yang digunakan untuk melaut. Perahu yang nelayan Di Pulau Saugi
gunakan mereka sebut dengan jolloro’. Tidak seperti jolloro’ yang biasa
51
terlihat di perairan Makassar, jolloro’ di nelayan Pulau Saugi memiliki
kamar dengan bagian belakang tidak runcing (lihat gambar 02). Sarana
seperti ini, di dapatkan dari pulau sendiri.
Beberapa orang atau warga, telah memilih menjadi pembuat
perahu, walaupun di Pulau Saugi sudah ada yang pandai membuat perahu
namun ada juga warga yang memesan perahunya pada pembuat perahu dari
pulau seberang (Satando) hal ini di karenakan bahan-bahan untuk membuat
perahu lebih mudah didapatkan dari Pulau Satando.
Kayu ulin dengan mudah di dapatkan Di Pulau Satando
dikarenakan di pulau ini sering datang kapal-kapal dari Kalimantan yang
khusus membawa kayu ulin buat dijual. Itulah yang menjadi suatu alasan
kenapa Pulau Satando menjadi salah satu pulau pembuat kapal Jolloro.
Kapal ini biasanya berfungsi untuk menarik alat tangkap yang masyarakat
Pulau Saugi menyebutnya dengan Renreng.
Namun tidak semuanya kapal jolloro yang ada di Pulau Saugi di
buat di Pulau Satando walaupun bahan baku utama yaitu kayu ulin mudah
didapatkan di Pulau Satando namun tidak jarang juga masyarakat Pulau
Saugi mempercayakan kapalnya di buat di Pulau Saugi ini. Hal ini
dikarenakan di Pulau Saugi sendiri masih ada beberapa orang yang pandai
membuat perahu dan kualitas perahu yang dia buat tidak kalah dengan
perahu Jolloro buatan Pulau Satando.
Seperti yang di ungkapkan Abdul Hamit 52 tahun :
52
“Biasanya masyarakat disini bikin perahunaya di Pulau
Satando tpi ada tongji juga yang bikin perahunya disni
karna bagus tongji juga cara pembuatan perahunya disini,
sama cara pembuatannya dengan yang ada di satando,
sealain itu gampang na liatki yang punya perahu sampai
dimanami perahunya jadi kalo disini dibikin perahunya.”
(Kutipan wawancara 10 agustus 2010) .
Walaupun bahan kayu yang digunakan untuk membuat kapal lebih
mudah di dapatkan di Pulau Satando namun tidak jarang masyarakat
membuat kapalnya di Pulau Saugi, dikarenakan mereka beranggapan lebih
dekat jika alat tangkap yang mereka inginkan dan dapat selalu di lihat
bagaimana perkembangan pembuatan kapal yang mereka, seperti jika bahan
pembutannya kurang. Seperti yang dikatakan Dg. Jiro 50 tahun:
“Itu kapal yang di biking di pulau satando kayunya itu
langsungki dari kalimantan di bawa, na kalo moki biking
kapal di sini itu kayu yang di beli di pulau satando mau
lagi di bawa ke sini” (kutipan wawancara 6 agustus
2010).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dikatakan bahwa
masyarakat nelayan yang pembuatan perahunya di lakukan di pulau
Satando lebih memikirkan sisi praktisnya hal ini disebabkan bahan yang
akan digunakan tidak perlu lagi di bawa ke Pulau Saugi. Tetapi tidak
banyak juga yang memilih pembuatan perahunya di Pulau Saugi saja
mereka beranggapan bahwa akan sulit buat mengontrol apabila terjadi
kesalahan dalam pembuatan perahu yang mereka punya. Jenis kayu yang
digunakan dalam pembuatan perahu tersebut yaitu kayu ulin, kayu ulin
dipilih untuk digunakan sebab kayu ini merupakan salah satu kayu yang
53
berkualitas bagus walaupun harga kayu ini mahal tapi tetapi tidak
sebanding dengan kualitas kapal yang didapatnya yaitu kapal yang kuat
tidak akan mudah pecah jika terkena ombak, tidak mudah lapuk oleh air
asin.
Menurut Dg. Sangkala 30 tahun :
“itu perahuku saya lamanya mi tidak rusak-rusak sudah
10 tahun mi itu paling catnya ji ku ganti tiap tahun biar
kelihatan tambah baru.” (kutipan wawancara 12 maret
2011)
Pembuatan 1 unit perahu Dengan harga berkisar Rp 30.000.000,00
dengan rincian (lihat rincian pada tabel 01). Dengan ukuran perahu lebar
1,5 meter panjang 9 meter dengan waktu pembuatan kurang lebih sebulan
namun jika yang pembuat perahu memiliki banyak pesanan maka yang
akan memesan berikutnya harus rela menunggu sampai beberapa bulan agar
sampai perahunya mulai di buatkan. Bentuk satu unit kapal bisa (lihat di
gambar 02)
Jenis Bahan
Kayu ulin
Mesin 260 pk
Karpet
Cat
Harga Satuan
2 kubik x @ 10.000.000
1 unit x @ 65.000.000
10 mtr x @
9.000
Jumlah
Total
20.000.000
6.500.000
90.000
5.000.000
31.590.000
Table 01 harga kapal (jolloro)
54
Gambar 02: Jolloro’ sebagai sarana tangkap nelayan Pulau Saugi
Gambar : Jolloro’ sebagai sarana tangkap nelayan Pulau Saugi
Rincian diatas sudah termasuk ongkos kerja, bahan kayu ulinnya di
dapatkan dari Pulau Satando, kayu yang ada di Pulau Satando ini langsung
di datangkan langsung dari Pulau Kalimantan, sedangkan cat, karpet dan
55
mesin perahunya di dapatkannya dari Kota Pangkep, karena transportasi di
Pulau Saugi tidak sama dengan pulau-pulau lain yang ada kapal khusus buat
mengangkut
masyarakat
yang
ingin
menyebrang
sehingga
untuk
mendapatkan bahan-bahan penunjang dalam pembuatan perahu jolloronya.
tersebut mereka harus menyebrang kedaratan dengan menggunakan perahu
mereka sendiri ataupun hanya sekedar menumpang kapal yang biasa
mengangkut para pekerja pabrik pengolahan kepiting ada di Pulau Saugi
yang tiap hari menuju ke Pangkep, hal ini di karenakan transportasi menuju
Pulau Saugi tidak seperti pulau-pulau lain yang lancar.
2. Alat Tangkap
Sebagian besar nelayan Pulau Saugi adalah nelayan renreng, mata
pencaharian utama mereka dari Renreng, sehingga selain menggunakan
kapal yang biasa nelayan sebut dengan jolloro masyarat Pulau Saugi juga
sangat membutuhkan alat untuk menangkap. Alat tangkap yang masyarakat
Pulau Saugi gunakan tersebut bentuknya seperti troll namun ukuran dan
cara pengoprasiannya yang sangat berbeda dengan troll, alat tangkap itu
biasa para nelayan Saugi sebut dengan renreng.
Renreng merupakan alat tangkap yang paling sering digunakan
untuk menangkap berbagai macam binatang laut, pengoperasian alat
tangkap ini pun sangatlah sederhana, renreng inipun digerakkan hanya oleh
satu sampai dua orang saja. Jika yang turun melaut dua orang maka yang
satu bertugas sebagai juru mudi kapal dan yang satu bertugas untuk
56
menurunkan renreng, namun jika yang turun melaut hanya satu orang saja
maka orang tersebutlah yang pegang kendali semuanya mulai dari
mengoperasikan kapalnya sampai dengan menurunkan alat tangkapnya,
walaupun bentuknya hampir menyerupai troll namun cara pengoperasian
troll yang selain menggunakan mesin buat memutar jaring yang ukurannya
sangatlah besar di butuhkan juga beberapa orang untuk menggerakkan
mesinnya.
Dalam pembuatan renreng biasanya tergantung dari kesepakatan
antara yang membuat dengan nelayan, ada dua pilihan yang pertama: jika
bahanya disiapkan oleh nelayan, maka nelayan hanya berkewajiban
membayar ongkos kerja alat tangkapnya saja dengan ongkos kerja
Rp150.000.- yang kedua: jika bahannya di siapkan oleh yang membuat alat
tangkap maka nelayan harus membayar Rp 1.000.000 sampai dengan
1.500.000 @unitnya tergantung seberapa besar renreng yang mereka
inginkan.
Masyarakat yang ingin memiliki renreng biasanya mereka yang
menyiapkan bahan-bahannya seperti yang di katakan Pak Makmun 86
tahun:
“kalo Renreng itu dibikin sekitar satu juta lebih untuk
satu unit renreng, itu renrengnya ji yang panjangnya 21
depa itu jaringnya itu napake 10 kilo kalo rantainya itu
10 kilo pelampung kurangji 8 yang kecil 1 yang besar
ongkosnya itu sekitar 150.000 tapi saya hanya kerjaji
bahannya yang siapkan itu orang yang mau di bikinkan,
tapi tergantungji juga kalo mauki terima beres ya
57
bisanya na bayarka antara Rp 1.000.000 sampai
1.500.000” (wawancara dengan Pak Makmun, pada
tanggal 14 maret 2011).
Rincian harga untuk satu unit renreng dengan jumlah piss atau lubang
jaring sebanyak 500 lubang, dengan panjang tali 21 depa serta berukuran
2,5 sebagai berikut:
JENIS SATUAN
Tali (bahan renreng)
Tali (pengikat/penarik renreng)
Rantai
Pelampung
HARGA SATUAN
10 (kilo) x @ 5000
30 (kilo) x @ 39.000
10 (kilo) x @ 20.000
8 (ukuran kecil) x @ 2.000
1 (ukuran besar) x @ 5.000
Besi pembeberat papan renreng 2 x 75.000
Papan renreng
2 x 100.000
Ongkos kerja
Jumlah
TOTAL
40.000
390.000
200.000
16.000
5.000
150.000
200.000
150.000
1.151.000
Tabel 02: Rincian harga renreng (berdasarkanwawancara dengan Dg makmun
Dibenarkan oleh Dg Masiro) .
Namun ada juga nelayan yang dalam pembuatan renreng mereka
lebih mengutamakan unsur kekeluargaan yaitu orang-orang yang sudah
mereka kenal baik, walaupun terkadang hasil kerja mereka tidaklah sebagus
yang sudah ahli dan bahan yang mereka gunakan juga bukanlah bahan yang
berkualitas yaitu bahan-bahan yang masih layak di pakai untuk pembuatan
renreng. Tapi lumayan bisa digunakan untuk mencari uang untuk ditabung
agar bisa membuat renreng yang berkualitas lebih baik, hanya memberikan
si pembuat renreng kopi, makan, dan rokok dalam membayar upah
58
pembuatannya pun tidak sebesar jika yang membuat renreng orang-orang
yang sudah ahli yaitu hanya sebesar Rp 50.000.3. Perbedaan renreng (inovasi dari panyungkara) dan trawl
Renreng adalah alat tangkap inovasi dari panyungkara sebenarnya
dari cara pengoperasian dan bentuk hampir sama tetapi yang sedikit
berbeda yaitu dari segi bentuk alat tangkapnya kalau panyungkara
menggunakan balok kayu yang disambung pada ke dua papan yang ada
sedangkan renreng papan yang di gunakannya tidak di ikatkan lagi pada
balok kayu tapi langsung di ikatkan pada tali yang terhubung dengan jaring
Renreng. Perbedaan bentuk antara panyungkara dengan Renreng (troll
mini)
dapat
dilihat
pada
(gambar
03).
Gambar: Panyngkara
59
Gambar: Renreng
Salah satu dari keistimewaan panyungkara yaitu jika arus dasar
laut kencang maka alat tangkap ini tetap mengembang pada dasar lautan,
walaupun arus kencang hal ini dikarenakan adanya balok kayu yang bisa
tetap menahan agar gerak jaringnya tetap stabil. Saat ini panyungkara tidak
lagi di gunakan oleh masayarakat Pulau Saugi karena panyungkara hanya
cocok digunakan untuk menangkap taripang, karena fungsinya sebagai alat
tangkap taripang maka masyarakat pulau beranggapan alat tangkap tersebut
tidak cocok jika digunakan untuk menangkap kepiting dan lain-lain,
sehingga alat tangkap ini sedikit di modifikasi sehingga cocok digunakan
untuk menangkap selain taripang, karena tujuan utama penangkapan saat ini
yang ada di Pulau Saugi adalah kepiting, udang, gurita dan binatang laut
yang kecil-kecil.
60
Lain halnya dengan troll, adalah alat tangkap yang berupa jaring
besar yang ditarik oleh kapal yang terdapat berapa orang di atasnya.
Penggunaan troll tidaklah sesederhana jika menggunakan renreng, selain
itu
penggunaan
rereng
pada
daerah
penangkapan
juga
dapat
membedakannya dengan troll (trawl). Menurut salah seorang informan,
perbedaan tersebut sebagai berikut;
“Untuk menarik renreng cukup satu orang. Dia menarik
naik pelan-pelan ke atas perahu sambil menyusun jaring
agar tidak kusut dan dapat digunakan kembali.
Sedangkan troll butuh mesin untuk menarik jaringnya”
(wawancara dengan Dg. Masiro 40 tahun pada tanggal 5
Agustus 2010).
Selain Dg. Masiro, hal yang hampir sama di ungkapkan oleh Sahari 20
tahun:
Troll ka itu besarki mesin yang tariki itu alat tangkapnya
naik di perahua banyak orang lagi yang putarki itu mesin
baru pake gulunganki jdi itu dilarangki tpi kalo Renreng
tanganta ji yang tariki baru kalo kena I karang robeki
atau dak bisaki tariki ka dua orang jiki yang
tareki.”(pada tanggal 07 agustus 2010).
Pandangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Saugi cukup
faham perbedaan antara renreng dan troll. Alasan ini diperkuat dengan
sarana tangkap yang digunakan, dimana troll menggunakan kapal
sedangkan renreng hanya menggunakan perahu atau masyarakat setempat
menamakannya dengan (jolloro). Pengoperasian renreng juga sangatlah
sederhana hanya dioperasikan oleh 1-2 orang diatas perahu.
61
D. Musim Dan Rute Penangkapan
Area penangkapan renreng telah beberapa kali berpindah hal ini
disebabkan selain musim dan hasil tangkapan yang tidak menentu juga
disebabkan oleh melonjaknya harga bahan bakar minyak di pasaran.
Menurut penduduk setempat dahulu daerah pengoperasian renreng jauh
dari pulau bahkan menghampiri perairan Makassar karena disana terdapat
banyak tangkapan. Namun Pada tahun 2006 masyarakat pulau tidaklah lagi
mau mengambil resiko yang besar sehingga area pengoperasian pun
berubah pada tahun-tahun walaupun harga bahan bakar melonjak namun
minyak tanah masih disubsidi oleh pemerintah sehingga ini dalam
pengoperasian perahu nelayan untuk melakukan penangkapan hanya
menggunakan minyak tanah walaupun dengan resiko mesin mereka akan
cepat rusak namun masyarakat Pulau Saugi menyiasatinya dengan di
campur sedikit oli sehingga kerusakan pada mesin dapat sedikit bisa di
tanggulangi.
Pada sekitar tahun 2006 nelayan renreng mengoperasikan alat
tangkapnya disekitar sebelah selatan Pulau Saugi yaitu Gusun Lompoa
penagkapan di area ini biasanya. Sedangkan pada musim barat
pengoperasian berada di sekitar utara Pulau Saugi yaitu Gusung
Pamarrung. Perbedaan pengoperasian ini berdasarkan musim karena pada
musim barat angin yang bertiup pada daerah Gusung Lompoa. Sangat
kencang. Sehingga mereka beralih ke Gusun Pamarrung.
62
Setelah harga minyak tanah melonjak dikarenakan tidak adanya
lagi subsidi dari pemerintah maka nelayan kembali menggunakan solar
sebagai bahan bakar alat tangkapnya, dan wilayah pengoperasiannya pun
berubah dikarenakan jika nelayan menangkap terlalu jauh mereka khawatir
biaya operasional mereka tidak akan tertutupi. Area itu tidak lagi di
gunakan selain tempat tersebut jauh nelayan juga takut hasil yang mereka
dapatkan akan tidak sebanding dengan biaya operasional yang mereka
keluarkan saat penangkapan dikarenakan harga bahan bakar minyak yang
melonjak.
Dalam pengoperasian renreng saat ini yaitu lokasi yang masyarakat
Saugi sebut dengan muaraia, walauapun lokasinya agak jauh namun ini
banyak terdapat kepiting terutama pada malam hari. namun pada bulan
purnama lokasi penangkapan berubah para nelayan hanya menangkap di
sekitar area Saugi saja yaitu dengan melewati rute mulai dari perairan saugi
melewati Satando memutar dengan melewati perairan Camba kembali
keperairan saugi. Lihat (gambar 04)
63
Gambar : Rute penagkapan alat tangkap Renreng
Nelayan Pulau Saugi tidak melakukan penangkapan di miraia pada
bulan purnama dan lebih memilih wilayah di sekitar Saugi saja dikarenakan
hasil yang di dapatkan di muaraia pada bulan purnama akan lebih sedikit
dibandingkan jika bukan purnama, sehingga nelayan akan mengalami
kerugian jika tetap menagkap di muaraia. Walaupun penagkapan pada
bulan purnama pindah di wilayah sekitar Pulau Saugi namun demikian
64
wilayah ini tidak hanya digunakan pada bulan purnama saja tetapi juga pada
hari-hari biasanya. Di karenakan sealain para nelayan dapat melakukan
penagkapannya sebanyak dua kali yaitu pada pagi dan malam hari. Selain
itu waktu tempuh dan jaraknya terbilang cukup dekat sehingga dapat
menekan biaya oprasional mereka dalam penangkapan.
E. Pengoprasian Renreng
Renreng sebagai teknologi tangkap utama pada masyarakat Saugi
tentunya dianggap dapat memenuhi pendapatan keluarga dikarenakan
sebagian besar pemenuhan kebutuhan hidup nelayan di dapatkan dari
renreng, sehingga dapat dikatakan bahwa ma’Renreng merupakan mata
pencaharian utama masyarakat Pulau Saugi. Dalam pengoperasiannya,
renreng sangat bergantung pada pemiliknya, atau nelayan itu sendiri.
Beberapa diantaranya memilih waktu siang, meski pada kebanyakan
dioperasikan pada malam hari. Perbedaan waktu penangkapan keduanya
tidaklah jauh. Mereka hanya menganggap bahwa pada siang hari, lebih baik
menangkap ikan ketimbang menarik renreng tanpa menghasilkan
(mendapatkan kepiting). Alasan ini yang menjadi dasar mereka menangkap
pada malam hari.
Karena tujuan utama penangkapan dari renreng ini yaitu kepiting,
udang,
gurita
jadi
nelayan
renreng
lebih
memilih
melakukan
penangkapannya pada malam sebab kepiting, udang, kebanyakan baru
keluar dari tempat persembunyiannya pada malam hari, hal inilah yang
65
menjadi salah satu faktor kenapa nelayan lebih memilih untuk
mengoperasikan Renrengnya pada malam hari sebab hasil yang di dapatkan
akan jauh berbeda dibandingkan jika nelayan menangkap pagi hari.
Jika nelayan renreng melakukan penangkapannya pada malam hari
maka nelayan renreng akan berangkat pada pukul 17.00 wita dan akan
kembali pada pukul 03.00 tetapi kalau hasil yang diperolehnya pada putaran
pertama sedikit maka nelayan akan memutuskan untuk kembali pukul 00.00
wita.
Namun tidak jarang juga nelayan renreng menagkap pada pagi hari,
kalau nelayan menangkap pada pagi hari maka nelayan akan berangkat
pada pukul 07.30 wita terkadang aktifitas penangkapan pada pagi hari
nelayan tidak mendapatkan hasil (kepiting, udang, dan gurita) sama sekali,
walaupun nelayan yang melakukan penangkapannya pada pagi hari
seringkali harus kecewa sebab nelayan renreng tidak mendapatkan hasil
sama sekali. Namun nelayan renreng tidak lantas berkecil hati dengan apa
yang mereka dapatkan pada pagi itu dan kalau pun ada hasil yang di
dapatkan biasanya itu hanyalah faktor keberuntungan dikarenakan kepiting
bersembunyi pada pagi hari.
Walaupun demikian namun nelayan masih tetap melakukan
penangkapan pada pagi hari, walaupun mereka tau dengan pasti pada pagi
hari dalam penangkapannya tidak mendapatkan kepiting, udang. Nelayan
renreng beranggapan hal tersebut pasti akan terjadi, kalaupun masalah itu
66
terjadi nelayan renreng masih bisa menghasilkan ikan pada pagi hari dan
beranggapan walaupun mereka tidak mendapatkan kepiting sama sekali
tetapi setidaknya masih bisa mendapatkan hasil dari pada tinggal dirumah
tanpa melakukan apa-apa. Hasil yang mereka dapatkan seperti ikan dan
binatang-binatang kecil yang bisa mereka sebut dengan kotoran, kotoran ini
masih juga memiliki nilai jual walaupun harganya tidak sama jika nelayan
mendapatkan kepiting atau udang.
1. Tahap Pertama; Persiapan.
Sebelum turun melaut bisanya para nelayan mengecek segala
sesuatu yang menyangkut aktifitas mereka dalam penangkapan mereka
mulai dari mengecek mesin, mempersiapkan bekal mereka, membeli bahan
bakar buat turun melaut juga tidak lupa membersihkan segala peralatannya
yang akan mereka gunakan mulai dari kapal sampai alat tangkap yang akan
nelayan gunakan. Lihat (gambar 05)
67
Gambar
05:
kegiatan
nelayan
sedang
membersihkan
kapalnya
Gambar : kegiatan nelayan yangsedang membersihkan alat tangkapnya
Setelah semuanya bersih barulah nelayan saugi mempersiapkan alat
tangkap mereka misalnya memperkirakan seberapa panjang tali yang akan
mereka gunakan untuk menarik renreng, mempersiapkan alat tangkapnya
misalkan menaruh Renreng pada tempat yang dapat mempermudah nelayan
dalam dalam proses penurunan alat tangkap mereka nantinya, menaruh
papan yang masyarakat saugi biasa menyebutnya dengan papan kaset papan
yang akan digunakan ini diikatkan pada sisi kiri dan kanan bagian belakang
kapal, sedangkan Renrengnya mereka letakkan pada bagian belakang kapal.
Seperti pada (gambar 06)
68
Gambar 06: tahapan persiapan penempatan alat tangkap renreng.
2. Tahap Kedua; Menurunkan Renreng
Setelah sampai di lokasi dimana nelayan renreng melakukan
aktifitas menangkapannya maka maka yang pertama-tama nelayan renreng
lakukan yaitu mengundur mesin perahu, tapi mesin perahu tersebut tidak di
matikan dengan perahu yang tapi mesin perahu yang masih jalan secara
perlahan, dengan tali utama yang terikat pada bagian depan kapal yang
panjangnya sudah diperkirakan sebelumnya namun Renreng biasanya di
operasikan pada kedalaman 10 meter,
Renreng diturunkan mulai dari bagian ujung renreng (kantong
renreng) dan bagian-bagian jarring Renreng diturunkan secara teratur dan
perlahan setelah semua jaringnya turun barulah Disusul dengan bagian
mulut renreng yang masyarakat setempat menyebutnya dengan papang
69
kaset. Papan kaset diturunkan satu persatu, namun terkadang tali utama
penghubung renreng dengan perahu yang terikat pada bagian depan kapal
tidaklah cukup, hal ini mereka ketahui jika papan Renreng (papang kaset)
masi mengapung di laut.
Jika masalah ini terjadi yaitu jika panjang tali utama pengikat
renreng tidak cukup maka nelayan harus kembali menuju ke depan kapal
untuk mengulur tali utamanya yang terikat pada bagian depan kapal seperti
pada (gambar 07), panjang tali yang di butuhkan hanya di perkirakan saja
seberapa pangjang yang akan mereka guakan. Walaupun masalah itu dapat
membuat nelayan lelah karena harus bolak-balik dari belakang ke depan
dan resiko terjatuh dari kapalpun akan besar, namun nelayan tersebut
melakukannya dengan ikhlas dan penuh kesabaran demi memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
Gambar 07 : tempat di ikatnya tali utama pengikat pada renreng
70
tali pengikatnya nelayan renreng rasa cukup jika papan yang
terdapat pada renreng sudah rapat pada dasar lautan, rapatnya papan
diketahui nelayan Renreng pada saat tali utama pada pengikat Renreng
tidak lagi bergeser dikarenakan papan yang terikat pada tali tersebut
bergerak karena ombak pada laut.
3. Tahap Ketiga; Penarikan Renreng
Setelah semuanya tahap penurunan alat tangkap selesai dan posisi
renreng di bawah laut sudah dirasa cukup barulah nelayan renreng
menjalankan kembali kapalnya dengan kecepatan yang sudah diatur
biasanya Semakin laju jalannya perahu maka posisi renreng dibawah laut
pun akan semakin bagus. Seperti pada Penangkapan di area yang sudah
mereka tentukan biasanya nelayan hanya memutar di sekitar perairan yang
sudah mereka tentukan itu, walaupun hanya memutar sekiar perairan itu
namun jarak tempuh yang nelayan Renreng lewati sekitar seratus meter
biasanya kapal nelayan Renreng berputar sebanyak tiga hingga empat kali
barulah jaring diangkat dan hasil dikeluarkan dari kantong penampungan.
setelah berputar barulah mesin kembali mereka undur agar Renreng
yang mereka gunakan bisa dengan mudah diangkat naik ke perahu. Setelah
mesin di undur nelayan renreng kemudian menarik tali utama, setelah tali
utama ditarik barulah kemudian nelayan mengangkat satu per satu papan
renreng dan diikatkan pada sisi kiri dan kanan dari bagian belakang perahu
yang mereka miliki, setelah semuanya papan naik, tahap selanjutnya jaring
71
yang sudah terisi dengan hasil tangkapan di tarik naik keatas perahu.
Tahapan pengoperasian alat tangkap sampai penarikannya bisa dilihat pada
(gambar 08) berikut
Gambar 08: Renreng saat di turunkan dari kapal
Gambar 08: Renreng saat di angkat ke atas
72
Tahap kedua dan ketiga biasanya berulang hingga tiga kali dalam
sekali operasi. Namun jika pada penarikan pertama hasil tidak memuaskan
maka mereka memutuskan untuk pulang atau kembali ke Pulau Saugi,
sebab mereka menganggap hasil tangkapan pada saat itu kurang. Keputusan
untuk kembali ini diambil untuk menghindari biaya operasional. Hal ini
dijelaskan oleh salah seorang informan sebagai berikut;
“Biasanya jika penarikan pertaa kurang, kita lebih baik
pulang karena itu tanda-tanda kurangnya pendapatan. Itu
juga karena kita bisa menghemat bahan bakar”
(wawancara dengan syaiful 17 tahun’ pada tanggal 12
maret 2011 ).
F. Dampak Masuknya Renreng Di Pulau Saugi
1. Dampak terhadap ekonomi
Renreng merupakan salah satu alat tanggkap yang berperan penting
dalam pemunuhan hidup Masyarakat Di Pulau Saugi. Hal ini dikarenakan
sebelum masyarakat Di Pulau Saugi menggunakan Renreng kehidupan
ekonomi mereka memprihatinkan, dikarenakan alat tangkap yang mereka
gunakan saat itu tidaklah efektif sebagai pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari dari masyarakat Di Pulau Saugi.
Dengan adanya Renreng yang masuk Di Pulau Saugi, dapat
memberikan perubahan besar bagi kehidupan ekonomi masyarakat Di Pulau
Saugi, dikarenakan dalam pengoprasian Renreng dapat mengkap lebih
banyak dibandingkan alat tangkap yang mereka biasa gunakan. Hasil yang
73
lebih banyak dibandingkan alat tangkap lain menjadikan Renreng begitu
cepat diterima oleh msyarakat Di Pulau Saugi.
Semua sumber daya yang ada dilaut yang dihasilkan oleh Renreng
dapat bernilai ekonomi, selain dapat dijual juga dapat dikonsumsi sebagai
lauk. Dengan masuknya renreng syarakat pulau Saugi sangat terbantu
dalam mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Seperti yang di ungkapkan
oleh sekdes pak annas 40 tahun:
“Itu dek setelah Renreng masuk di Pulau Saugi ekonomi
masyarakat yang ada disini kia meningkat yang dulunya
makan bisa senin kamis tapi sekarang alhamdulillah
bukan hanya kebutuhan dapur yang bisa tercukupi
kebutuhan kebutuhan yang lain juga bisa terpenuhi, jika
hasil yang didapatkan memadai nelayan bisa
menyisihkan sedikit buat ditabung” (wawancara tanggal
6 agustus 2010).
Dari hasil wawancara diatas menunjukan bahwa pengaruh Renreng
dalam pemenuhan kebutuhan hidup sangatlah besar. Dikarenakan Renreng
lebih banyak menagkap kepiting dibandingkan alat tangkap lainnya dan
kepiting itu sendiri merupakan salah satu komuniti yang paling dicari untuk
eksport tidak salah jika kepiting harganya lumayan tinggi dipasaran.
2. Dampak Sosial Budaya
Sealain berdampak pada ekonomi nelayan Masuknya Renreng di
pulau saugi juga membawa perubahan yang sangat besar. Pada sistem
sosial, mereka menjalin kerja sama yang didasari rasa kekeluargaan yang
mengikat mereka sehingga terbentuk suatu organisasi. Dalam kelompok
74
nelayan kita mengenal ada punggawa dan sawi. Hubungan antara punggawa
dan sawi merupakan suatu hubungan kerjasama namun dalam menjalin
hubungan sosial, seorang sawi terkadang sangat tergantung pada
punggawanya. Semua kendala yang dia hadapi baik masalah pekerjaan
maupun masalah pribadi mereka selalu meminta pertolongan kepada
punggawanya.seperti jika butuh keperluan mendadak maka mereka datang
kepada punggawa meminta pinjaman.
Punggawa merupakan pemilik modal dan sawi adalah orang yang
bekerja pada punggawa. Pada masyarakat Saugi bukan punggawa yang
mencari sawi namun sebaliknya sawilah yang mencari punggawa. Cara
terjalinnya suatu kerja sama yaitu sawi datang kepada seorang punggawa
dan menawarkan kerjasama dan punggawa menetapkan suatu kesepakatan.
Kesepakatan itu misalnya punggawa menyediakan peralatan melaut
samapai bahan bakar dan sawi harus menjual semua hasil tangkapannya
kepada punggawa dengan harga dibawah harga pasaran. Kerjasama tersebut
berlangsung hingga alat yang digunakan untuk melaut telah lunas terbayar.
Waktu itu berselang sekitar tiga sampai lima tahun atau bahkan lebih jika
sawi sering mengambil pinjaman kepada punggawanya.
Selain hubungan antara Ponggawa Sawi yang berubah pada
masyarakat nelayan Pulau Saugi sejak masuknya Renreng, kalo dulu
kepiting hanya sampingan tapi saat ini tujuan utama penagkapan adalah
kepiting.
75
BAB V
KESIMPULAN
Penggunaan Renreng pada masyarakat nelayan di Pulau Saugi sangat
membantu mereka terutama dalam aspek pendapatan nelayan. ini
dikarenakan alat tangkap Renreng dapat menghasilkan banyak
tangkapan dalam sekali melaut, hasil yang banyak dalam sekali melaut
secara langsung juga mempengaruhi pendapatan nelayan yang
menggunakan alat tangkap ini.
Dari segi tekhnik pengoprasian alat tangkap ini sangatlah sederhana
tidak serumit jika nelayan menggunakan troll. Walaupun modal yang
dikeluarkan untuk satu alat tangkap Renreng tidaklah murah namun itu
sebanding dengan hasil yang didapatkan dari alat tangkap ini dan juga
alat tangkap yang tahan lama dan dapat diperbaiki kembali.
Dengan masuknya Renreng secara tidak langsung juga di ikuti ikatan
kerja punggawa sawi, namun ikatan kerja ini biasanya tidak
berlangsung lama dengan pemanfaatan Renreng sebagai alat tangkap
tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan hasil
yang didapatkan juga cukup untuk mencicil utang-utang nelayan
terhadap pemilik modal (punggawa) .
76
DAFTAR PUSTAKA
Amral, Hartati.A 2005 ”Studi Tentang Bertahannya Teknologi Tradisional
Dalm Akatifitas Penagkapan Ikan Pada Masyarakat
Batangmata Selayar”. Makassar, UNHAS.
Anugrah, Haeril. 1997 ”Nelayan Bagang Di Kelurahan Dawi-Dawi
Sulawesi Tenggara”. Makassar, UNHAS.
Hadelia, Nur. 2005 ”Strategi Pengolahan Usaha Punggawa Studi Kasus
Nelayan
Pulau
Barrang
Caddi”.
Makassar,
Program Pasca Sarjana UNHAS.
Hamzah,awaluddin dkk. 2008 “Respon Komunitas Nelayan Terhadap
Perikanan”.(akses 14 oktober 2011).
Koentjaraningrat. 1990 “Metode-Metode Penelitian Masyarakat”. Jakarta,
Gramedia.
Kusumastanto, T. 2002 ”Reposisi Ocean polyci Dalam Pembangunan
Ekonomi Indonesia Di Era Otonomi Daerah Orasi Guru
Besar Ilmiah Tetap Ilmu Kebijakan Perekonomian Dan
Kelautan”. Bogor, FPIK-IPB.
Lampe, Munsi. 2007 “Wawasan Sosial Budaya Bahari”. Makassar,
UNHAS..
Mulyadi. 2005 “Ekonomi Kelautan”. Jakarta, Raja Grapindo Persada.
Moleong, lexy J. 2002 “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung, PT
Remaja Rosdakarya.
Naping, Hamka. 2007 “Pemanfaatan Teknologi Bagang Rambo oleh
Masyarakat Nelayan di Kabupaten Barru”. Makassar,
Balai Pelatihan Sejarah Dan Nilai Tradisional Makassar.
Muswirah, Icha H 2010 ”Peranan Peraempuan Dalam Usaha Budidaya
Rumput Laut”. Makassar, UNHAS.
Othman, Fazilah BT. 1992 “ Sistem Ekonomi Dan Inovasi Teknologi
Pengkapan ”. Makassar, UNHAS
77
Poelinggomang,
Edward. 2002 ”Makassar Abad
Kepustakaan Populer Gramedia.
XIX”
Jakarta,
Rahmatullah. 2002 ”Tesis Pengetahuan masyarakat nelayan dan Strategi
pengelolaan hutan bakau di Tongke-tongke kabupaten
Sinjai”. Makassar, UNHAS.
Suhartini A, Halim, I Hambali, A Basyit (eds). 2005 ”Model
Pemberdayaan Masyarakat”. Yogyakarta, LKIS.
Suhartini, tini dkk. 2003 ”Panduan belajar Antropologi”. Jakarta, Yudistira.
Suyono , ariyono. 1985 ”Kamus Antropologi” Jakarta, AKADEMIKA
PRESSINDO
Soekanto, Soerjono. 1990 ”Sosiologi Suatu Pengantar”.Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Wiyono, E.S. 2005 “Pengembangan Teknologi Penangkapan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Ikan” (Online), (www.berita
iptek.com, diakses 26 Agustus 2011).
http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan . (diakses 13 oktober 2011).
Krisis
ekologi
=http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis
ekologi-laut-dan-lingkungan.html, ( diakses 25 januari
2012).
http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/07/pengertian-nelayan.html,
(diakses 9 april 2012).
78
Download