pengelolaan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran

advertisement
ARTIKEL
PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI PENDENGARAN PADA SDR. DS
DENGAN SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RSJ DR. SOEROJO MAGELANG
Oleh:
HESTI TRI PURWANI
0131716
AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
PENDENGARAN PADA SDR. DS DENGAN SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RSJ
DR. SOEROJO MAGELANG
Hesti Tri Purwani1, Ana Puji Astuti2, Mukhamad Musta’in3
123
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran
[email protected]
ABSTRAK
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien memersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa perasaan curiga,
ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak
nyata. Tujuan dari penulisan ini yaitu menggambarkan pengelolaan asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di RSJ. Prof. Dr. Soerojo
Magelang.
Metode yang digunakan adalah melakukan pengelolaan asuhan keperawatan selama 2
hari pada Sdr. DS dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan
demonstrasi. Tindakan yang dilakukan yaitu membantu klien dalam mengenali halusinasinya,
membantu klien dalam mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan harian.
Hasil pengelolaan didapatkan klien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan
menghardik yang sudah diajarkan oleh perawat ruangan sebelumnya, klien mampu melakukan
cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan harian.
Saran bagi RSJ. Prof. dr. Soerojo Magelang diharapkan untuk memberikan pelayanan
kesehatan jiwa yang lebih baik lagi, serta menyediakan fasilitas sarana dan prasarana yang lebih
lengkap dalam proses pengelolaan klien dengan gangguan jiwa.
Kata kunci: gangguan persepsi sensori: halusinasi, bercakap-cakap, kegiatan harian
Kepustakaan: 22 (2007-2015)
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa
seseorang yang terus tumbuh berkembang
dan mempertahankan keselarasan dalam
pengendalian diri, serta terbebas dari stress
yang serius, (Rosdahi 1999 dalam
Kusumawati, 2010). Menurut UndangUndang Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996
dalam Dalami (2010) kesehatan jiwa adalah
kondisi yang memungkinkan perkembangan
fisik, intelektual, emosional, secara optimal
dari seseorang, dan perkembangan ini
berjalan selaras dengan orang lain.
Menurut Yosep (2014) masalah
kesehatan jiwa yang sering muncul sering
diartikan sebagai gangguan jiwa. Gangguan
jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan
yang tidak normal, baik yang berhubungan
dengan fisik, maupun mental. Keabnormalan
tersebut terlihat dalam berbagai macam
gejala yang terpenting diantaranya seperti:
rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan- perbuatan yang terpaksa
(convulsive), histeria, rasa lemah, dan tidak
mampu mencapai tujuan, takut, pikiranpikiran buruk dan sebagainya.
Prevalensi gangguan jiwa berat di
Indonesia terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.
Proporsi rumah tangga yang pernah
memasung anggota rumah tangga gangguan
jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada
penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%),
serta pada kelompok penduduk dengan
kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%).
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Prevalensi gangguan mental emosional pada
penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi
dengan prevalensi gangguan mental
emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta,
dan Nusa Tenggara Timur, Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas, 2013).
Dari data Profil Kesehatan Jawa
Tengah (2014), jumlah kunjungan gangguan
jiwa tahun 2014 di Provinsi Jawa Tengah
sebanyak 260.247. Kunjungan gangguan jiwa
di rumah sakit sebesar 49,57%, hampir sama
dengan kunjungan gangguan jiwa di
puskesmas dan sarkes lain (50,43%).
Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak
semua rumah sakit umum mempunyai
pelayanan klinik jiwa karena belum tersedia
tenaga medis jiwa dan tidak banyak kasus
jiwa di masyarakat yang berobat di sarana
pelayanan kesehatan.
Berdasarkan data dari rekam medis
di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang, selama 3
tahun terakhir yaitu pada tahun 2013 sampai
2015 angka kejadian gangguan jiwa
mengalami peningkatan seperti pada tabel
dibawah ini:
Tabel: Distribusi Frekuensi Klien Skizofrenia
di RSJ Prof. Dr. Magelang Tahun 2013-2015.
No
Tahun
2013
Pasien jiwa
berdasarkan jenis
kelamin
Laki- Perem Jum
laki
puan
lah
2539 1471
4010
1
58,38%
2
2014
837
348
1185
17,25%
3
2015
1036
638
1674
24,37%
4412
2457
6869
100%
Jumlah
Presen
tase
Dari data diatas dapat disimpulkan
bahwa gangguan jiwa skizofrenia paling
banyak terjadi pada laki-laki. Menurut
penulis hal tersebut terjadi karena laki-laki
sebagai kepala rumah tangga yang
bertanggung jawab atas keluarganya
seringkali mengalami stress terhadap
pekerjaannya. Menurut penelitian Erlina, dkk
(2010) menyatakan kaum laki-laki lebih
mudah terkena gangguan jiwa daripada
perempuan karena laki-laki yang menjadi
penopang utama rumah tangga sehingga
lebih besar mengalami tekanan hidup, dan
perempuan lebih bisa menerima situasi
keadaan hidup dibanding laki-laki.
Salah satu bentuk gangguan jiwa
yang terdapat di seluruh dunia adalah
gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia.
Prevalensi angka kejadian skizofrenia
menurut Lumbantobing (2007), meliputi
populasi umum 1%, saudara kandung
penderita skizofrenia 8%, anak yang orang
tuanya penderita skozofrenia 12%, saudara
kembar disigot penderita skizofrenia 12%,
saudara kembar monosigot penderita
skizofrenia 47%, anak yang kedua orang
tuanya menderita skizofrenia 40%. Gejala
yang umum terjadi pada penderita
skizofrenia yaitu gejala positif yang ditandai
dengan gangguan persepsi.
Gangguan persepsi diartikan sebagai
kesadaran akan suatu rangsang yang
dimengerti. Pengertian lainnya adalah
sensasi yang didapat dari proses interaksi
dan asosiasi macam-macam rangsang yang
masuk, Kusumawati (2010). Menurut (Deden
& Rusdi, 2013) gangguan persepsi adalah
ketidakmampuan
manusia
dalam
membedakan antara rangsang yang timbul
dari sumber internal (pikiran, perasaan) dan
stimulus eksternal. Salah satu yang termasuk
dalam gangguan persepsi adalah halusinasi.
Halusinasi merupakan gangguan
persepsi dimana pasien memersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar (Maramis, 2005 dalam
Prabowo, 2014). Ada beberapa jenis
halusinasi
diantaranya:
halusinasi
pendengaran
(auditorik);
halusinasi
penglihatan (visual); halusinasi penghidu
(olfaktor); halusinasi peraba (kinaestetik);
halusinasi pengecap (gustatorik) dan
halusinasi sinestetik (Yosep 2014).
Klien yang mengalami halusinasi
dapat kehilangan kontrol dirinya sehingga
bisa membahayakan dirinya, orang lain,
maupun lingkungan. Hal ini terjadi karena
halusinasi sudah sampai pada fase IV dimana
klien mengalami panik dan perilakunya
dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien
benar-benar
kehilangan
kemampuan
penilaian realitas terhadap lingkungan.
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Dalam situasi ini, klien dapat melakukan
tindakan bunuh diri (suicide), membunuh
orang lain (homicide), dan bahkan merusak
lingkungan (Muhith 2015).
METODE PENGELOLAAN
Metode yang digunakan adalah
melakukan
pengelolaan
asuhan
keperawatan selama 2 hari pada Sdr. DS
dengan teknik pengumpulan data subjektif
maupun objektif melalui wawancara,
observasi dan demonstrasi. Tindakan yang
dilakukan yaitu membantu klien dalam
mengenali halusinasinya, membantu klien
dalam mengontrol halusinasi dengan cara
bercakap-cakap dan melakukan kegiatan
harian.
HASIL
Dari hasil pengelolaan didapatkan
bahwa klien mengalami gangguan persepsi
sensori: halusinasi pendengaran.
PEMBAHASAN
Diagnosa keperawatan yang muncul
pada klien adalah gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran. Menurut penulis
gangguan persepsi adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mempersepsikan atau
mengenali rangsangan ada. Halusinasi
pendengaran adalah suatu gangguan jiwa
dimana klien mendengar suara atau bunyi
sesuatu padahal tidak ada objek yang nyata.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
Yosep (2014) gangguan persepsi adalah
ketidaksadaran akan suatu rangsang yang
dimengerti atau dengan perkataan lain
dapat disebutkan sebagai ketidakmampuan
mengingat pengalaman tentang bendabenda dan kejadian-kejadian yang ada pada
saat itu. Halusinasi adalah suatu persepsi
yang salah tanpa dijumpai adanya rangsang
dari luar. Halusinasi pendengaran paling
sering dijumpai dapat berupa bunyi
mendenging atau suara bising yang tidak
mempunyai arti. Suara tersebut bahkan
mungkin datang dari tubuhnya sendiri.
Menurut penulis diagnosa gangguan
persepsi sensori: halusinasi pendengaran
ditegakkan karena terdapat data yang
menunjukkan pasien mendengar suara
wanita yang membisikkannya untuk menolak
cintanya, klien tidak bisa mengambil
keputusan sendiri dan harus dibantu, apabila
halusinasi itu muncul klien hanya
membiarkannya saja dan kadang-kadang
dengan cara menghardik, klien terlihat
gelisah ditandai dengan lebih sering
menunduk dan menoleh ketika berinteraksi.
Dari hasil pengkajian yang didapat sudah
sesuai dengan teori menurut Carpenito
(2007)
menyatakan
bahwa
batasan
karakteristik mayor dan minor dari halusinasi
adalah karakteristik minor yaitu: halusinasi
dengar, perubahan kemampuan dalam
memecahkan
masalah,
kegelisahan,
disorientasi terhadap orang. Karakteristik
mayornya adalah (harus terdapat, satu atau
lebih) yaitu: perubahan negatif dalam jumlah
atau pola stimulus yang datang, dan tidak
akuratnya interpretasi stimulus lingkungan.
Diagnosa gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran ini dijadikan sebagai
prioritas utama karena menurut penulis saat
pengkajian data halusinasi yang paling aktual
ditemukan dan merupakan masalah yang
harus segera dilakukan penanganan karena
halusinasi dapat menimbulkan masalah yang
lain disebabkan karena keraguan seorang
individu apakah keadaan yang sedang
dialaminya nyata atau tidak. Sesuai dengan
teori Muhith (2015) yang menyebutkan
halusinasi menjadi prioritas yang harus
segera ditangani karena ketidakmampuan
untuk mempersepsikan stimulus secara riil
dapat menyulitkan kehidupan klien. Apabila
tidak segera ditangani maka pasien akan
semakin terpengaruh oleh halusinasinya
sehingga dapat berakibat fatal bahkan dapat
mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Dari pendapat penulis dengan
teori yang sudah ada ditemukan kesamaan
yang menegaskan tentang pentingnya
dilakukan
penanganan
secara
cepat
terhadap masalah halusinasi.
Berdasarkan
diagnosa
yang
ditegakkan yaitu gangguan persepsi sensori:
halusinasi
telah
disusun
rencana
keperawatan diantaranya adalah berikan SP
2 cara mengontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap dan SP 3 cara mengontrol
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
halusinasi dengan melakukan kegiatan
harian.
Tindakan
keperawatan
yang
dilakukan oleh penulis adalah tindakan yang
sesuai dengan rencana keperawatan yang
telah disusun sebelumnya dengan membina
hubungan saling percaya dengan klien, ini
dilakukan pada saat senam dan jalan santai
dengan harapan agar klien merasa
diperhatikan dan ditemani. Mengunakan
teknik komunikasi terapeutik. Untuk
membina hubungan saling percaya dengan
klien terkadang membutuhkan waktu.
Perawat harus konsisten bersikap terapeutik
kepada klien. Penulis langsung mengajarkan
SP 2 cara mengontrol halusinasi dengan
bercakap-cakap
agar
pasien
dapat
mengontrol halusinasinya dengan cara lain
selain menghardik yang sudah diajarkan oleh
perawat ruangan sebelumnya. Kemudian
klien diminta untuk mempraktekkan kembali
cara yang diajarkan agar tau apakah klien
sudah mampu atau belum mengulangi cara
yang diajarkan.
Dihari kedua sebelum penulis
mengajarkan
SP
3
maka
penulis
mengevaluasi terlebih dahulu SP 2 dengan
hasil pasien pun mampu melakukan cara
bercakap-cakap
dan
selanjutnya
mengajarkan SP 3 cara
mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan
harian (membaca koran).
EVALUASI
Setelah melakukan implementasi
keperawatan maka untuk mengetahui hasil
pencapaian maka penulis melakukan
evaluasi. Didapatkan hasil evaluasi yaitu
pasien mampu mengusir halusinasinya
dengan menghardik dan bercakap-cakap dan
pasien mampu mengontrol halusinasinya
dengan
melakukan
kegiatan
harian
(membaca).
SARAN
Untuk
masyarakat
diharapkan
mampu menerima pasien gangguan jiwa
dalam
lingkungannya,
meningkatkan
kerohanian pasien agar mempermudah
proses penyembuhan pasien tersebut. Untuk
keluarga diharapkan mampu melakukan
perawatan kepada pasien gangguan jiwa
dirumah dan juga jangan mengucilkan serta
melakukan pasung.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L J. (2007). Buku Saku Diagnosa
Keperawatan ( Terjemahan. Monika
Ester ) Jakarta : EGC.
Dalami,
E.
(2010).
Konsep
Dasar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
CV. Trans Info Medika.
Dermawan,
D.,
&
Rusdi.
(2013).
Keperawatan Jiwa, Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan
Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publising.
Kusumawati, F., & Hartono. Y. (2010). Buku
Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Lumbantobing, S. M. (2007). Skizofrenia.
Jakarta: FKUI.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan
Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CV
ANDI OFFSET.
Prabowo, E. (2014). Buku ajar Keperawatan
Jiwa. Yogjakarta: Nuha Medika.
Profil Kesehatan Jawa Tengah. (2014).
http://www.diskesjatengprov.go.id/v2
015/dokumen/prifil2014/profil_2014.
pdf. Diakses 17 Mei 2016 jam 11.17
WIB.
Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa Menurut
Riskesdas 2013. http://www.litbang.
depkes.go.id/sites/download/rkd2013
/Laporan_riskesdas_2013_final.pdf.
Diakses pada tanggal 26-4-2016 pukul
23.00 WIB.
Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Download