BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakikatnya, surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan bagi Hakim di dalam sidang pengadilan. Betapa pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila tidak memenuhi persyaratan tertentu maka batal demi hukum (vide Pasal 143 ayat (3) KUHAP), dikutip selengkapnya pasal 143 KUHAP, yang menegaskan sebagai berikut: 1) Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi: a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jeniskelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b) Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. 3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. 4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau Penasihat Hukumnya dan Penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Di dalam sidang pengadilan, fokus pemeriksaan harus tetap mengarah pada pembuktiaan surat dakwaan. Apabila tidak terbukti, maka terdakwa dibebaskan dan apabila terbukti sebagai tindak pidana maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Dengan demikian, terdakwa 1 hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana (Andi Hamzah, 1985:168) Perlu diingat, selain ketentua KUHAP maka bagi Penuntut Umum hendaknya memperhatikan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung R.I, 1985. Di dalam buku pedoman tersebut dijelaskan pengertianpengertian dari cermat, jelas, dan lengkap, seperti yang disyaratkan oleh pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Sebuah surat dakwaan harus cermat, Penuntut Umum dalam mempersiapkan artinya ketelitian Jaksa surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan. Misalnya, adakah pengaduan dalam hal delik aduan, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut, apakah tindak pidana tersebut belum/sudah kadaluwarsa, apakah tindak pidana itu tidak nebis in idem, surat dakwaan juga harus Jelas, yaitu Penuntut Umum harus mempu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwaan sekaligus memadukan dengan uraian pernuatan materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, selain itu harus lengkap,adalah uraian dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditemukan undang-undang secara lengkap. 2 Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengailan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (pasal 1 butir 7 KUHAP). Dari rumusan pasal itu secara singkat proses penuntutan dan tuntutan pidana sebagai berikut: 1) Pelimpahan perkara pidana yang disertai surat dakwaan ke pengadilan yang berwenang 2) Pemeriksaan di siding pengadilan 3) Tuntutan Pidana 4) Putusan Hakim Telah dijelaskan bahwa surat dakwaan merupakan dasar dalam pemeriksaan di siding pengadilan. Hal itu membawa konsekuensi pemeriksaan tuntutan pidana, dan Putusan Hakim harus berdasar kepada yang termaktub dalam surat dakwaan. Pemeriksaan di sidang pengadilan, meliputi pemeriksaan saksi-saksi, ahli, terdakwa, barang bukti, dan pembuktian. Dalam proses pembuktian, hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh Hakim ketua sidang kepada saksi. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan 3 surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan minta keterangan seperlunya tentang hal itu (vide pasal 181 KUHAP). Penuntut Umum harus bersikap aktif, korektif, dan professional dalam acara pembuktian. Dengan demikian kebenaran meteriil tercapai dan sekaligus dakwaan dapat dibuktikan. Oleh karena dalam mempertahankan dan membuktikan surat dakwaan, selain kemampuan berdiskusi dan meyakinkan, hakim juga harus berlandaskan pada etika profesi hukum Jadi, dalam mempertahankan dan membuktikan dakwaan tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, membabi buta, tanpa mengindahkan norma-norma hukum, kesopanan, dan kesusilaan dan sebagainya. Tanpa mengurangi arti penting hukum acara pembuktian (secara teknis yuridis Penuntut Umum tentu menguasai), kiranya aktualisasi penegakan prinsip-prinsip, etika, moral, intergritas kepribadian, dan disiplin, merupakan faktor utama yang melandasi penerapan, pelayanan, dan penegakan hukum. Jaksa Agung dalam salah satu butir perintah harian pada tanggal 22 Juli 1966 menegaskan bahwa tingkatkan keimanan dan ketakwaan terhadapTuhan yang Maha Esa sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pelaksanaan tugas Penuntut Umum. Semua putusan pengadilan yang bukan putusan pemidanaan, maka harusnya disertai dengan perintah supaya terdakwa yang 4 ditahan harus secepatnya dikeluarkan dari tahanan untuk kepentingan hukum dan terdakwa. Salah satu jenis putusan yang menarik untuk di teliti adalah dimana dalam putusan yang penulis teliti yaitu Putusan Nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks, hakim dalam pertimbangannya menyatakan oleh karena penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa di hadapan persidangan sebanyak 20 kali pemanggilan sehingga memutuskan putusan yang menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, yang menurut penulis dalam perkara tersebut terjadi sebuah ketidak laziman dalam proses perkara pidana. B. Rumusan Masalah Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum hakim sehingga menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima? 2. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan hakim yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 5 1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim sehingga menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. 2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan hakim yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Adapun kegunaan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Dari segi teoritis Dapat dijadikan sebagai bahan kajian hukum pidana dan sebagai referensi bagi yang ingin menulis mengenai permasalahan putusan dalam perkara pidana. 2. Dari segi praktis Diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi pihak yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan tentang tindak pidanakhususnya mengenai proses penjatuhan putusan . 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jaksa dan Wewenang Kejaksaan Jaksa yang kita kenal dewasa ini bukan merupkan hal yang baru bagi Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa Sangsekerta “Adhyaksa”, yang baik dahulu maupun sekarang tidak pernah tidak dihubungkan dengan bidang penegakan hukum, namun dalam hubungannya yang agak berbeda dengan yang masa kini Kata Adhyaksa menurut W.F. Stutterheim (Djoko Prakoso 1988:16.), menyatakan bahwa: Pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama budha maupun syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan disekitar istana. Disamping itu juga bertugas sebagai hakim dan dengan demikian ia berada dibawah perintah dan pengawasan mahapati”. Sedangkan menurut Th Pigeaud kamus Jawa moderen Belanda, Adhyaksa sebagai Rechter vab instructie bijde landraad, yang kalau dihubungkan dengan jabatan dunia modern sekarang dapat disejajarkan dengan hakim komisaris. Sedangkan pengertian jaksa menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah pejabat di bidang hukum yang bertugas menyampaikan dakwaan atau tuduhan di dalam proses pengadilan terhadap orang yang diduga melanggar hukum. Tetapi sebenarnya defenisi jaksa berdasarkan kamus besar Bahasa Indonedia, tidaklah terlalu sempurna karena kata jaksa hanya dilihat dari satu fungsi saja yaitu sebagai pembawa dakwaan atau tuduhan ke pengadilan, tetapi sebenarnya kata jaksa yang dikenal dalam ilmu hukum itu sangat 7 terlalu luas kalau ditinjau dari fungsi dan tugasnya, karena disamping tugasnya dalam bidang hukum juga memiliki tugas non hukum seperti di bidang ketertiban umum. Dari arti kata yang diungkapkan jelas bahwa sejak dahulu jaksa merupakan suatu jabatan yang mempunyai kewenangan luas. Fungsinya senantiasa dihubungkan dengan fungsi yudikatif bahkan pada masanya dihubungkan dengan fungsi keagamaan. Khususnya yang menyangkut bidang keagamaan ini sangat menarik jika dihubungkan dengan tugas dan kewenangan yang ditegaskan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 pada Pasal 1 ayat (1) dan (2) yang menegaskan bahwa jaksa sebagai pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang (UU) untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan dan penetapan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tetapi tugas dan wewenang kejaksaan dalam bidang keagamaan sebenarnya juga ditegaskan dalam UU tersebut mengenai fungsi dan wewenang kejaksaan dalam bidang keagamaan yaitu dalam Pasal 30 ayat (3) huruf d yaitu pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara, walaupun sebenarnya tugas jaksa dalam bidang keagamaan sudah tidak seperti dahulu karena pada masa dulu jaksa aktif dalam kegiatan kegerejaan dan kuil-kuil secara fungsional. Sedangkan menurut Zainal Abidin Farid dan Amier Syariffudin, (Djoko Prakoso, 1988:17), menegaskan bahwa: 8 Dahulu kata Adhyaksa tidaklah sama tugasnya dengan tugas utama sebagai penuntut umum dewasa ini. Lembaga penuntut umum seperti sekarang tidak bertugas sebagai hakim seperti Adhyaksa dahulu, tetapi keduanya mempunyai persamaan tugas yaitu penyidikan perkara, penuntutan dan melakukan tugas sebagai “Hakim Komisaris” atau pada umumnya berada dalam lembaga yudikatuf sebagai pilar penegakan hukum. Di dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa : 1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh putusan hukum tetap. 2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim Apa yang dimaksud dengan tindakan penuntutan itu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dalam Pasal 1 ayat (7) menyatakan sebagai berikut : Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Di dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan di atur mengenai tugas dan wewenang kejaksaan yang berbunyi : (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 9 c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengawasan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan seperti yang dimaksud di atas dan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentan Kejaksaan , maka penuntut umum mempersiapkan tindakan penuntutan seperti yang dimaksud diatas, penuntut umum diberi wewenang yang walaupun wewenang tersebut dapat diinterventarisir antara lain sebagai berikut : a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan suatu tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. 10 b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12). c. Mengadakan pra penuntutan (Pasal 14 Huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal 138 ayat (1) dan (2). d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 dan Pasal 29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23). e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31). f. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau membahayakan kerena tidak mungkin disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1). B. Tinjauan Tentang Surat Dakwaan 1. Pengertian Surat Dakwaan Surat dakwaan kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan, 11 keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat gugatan / dakwaan itulah hakim akan memutuskan. Walaupun sudah banyak ahli hukum yang memberikan pengertian mengenai definisi dari surat dakwaan, namun terdapat kesulitan memberikan definisi yang benar-benar lengkap dan sempurna, disebabkan karena hukum mencakup segi-segi yang sangat kompleks. Dalam hukum acara pidana, dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana, karena hakim akan memeriksa suatu perkara berdasarkan hal yang di muat dalam surat dakwaan tersebut. Oleh karena itu, terdakwa hanya dapat di pidana jika terbukti telah melakukan delik sebagaimana yang dicantumkan dalam surat dakwaan. Terdakwa tidak dapat dipidana apabila terbukti melakukan tindak pidana namun tidak disebut dalam pidana. 2. Hal-hal yang Diuraikan dalam Surat Dakwaan Pasal 143 KUHAP menyebutkan, bahwa hal yang harus termuat dalam surat dakwaan ialah uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat delik itu dilakukan. Bagaimana cara menguraikan secara cermat dan jelas, hal tersebut tidak ditentukan oleh KUHAP. 12 Masalah ini tetap berlaku sampai kini yang telah diterima oleh yurisprudensi dan doktrin. Menurut jonkers, selain dari perbuatan yang sungguh dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana juga harus memuat unsur-unsur yuridis kejahatan yang bersangkutan. Pekerjaan ini tidaklah mudah, oleh karena itu KUHAP telah memperingatkan supaya surat dakwaan disusun secara cermat dan jelas. Perumusan dakwaan didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan di mana dapat diketemukan baik berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli, misalnya visum et repertum. Disitulah dapat ditemukan perbuatan yang sungguh dilakukan (perbuatan materil) dan bagaimana dilakukannya. Walaupun seluruh unsur delik harus dimuat dalam dakwaan, namun masih dapat dilakukan penyederhanaan secara formal semua unsur delik yang diisyaratkan dalam dakwaan. a. Syarat-syarat surat dakwaan Mengenai surat dakwaan itu ditentukan dalam pasal 143 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang berisikan sebagai berikut: “Penuntutan umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: 13 a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.” Dalam praktek syarat-syarat yang bertalian dengan formalitas (tanggal, tanda tangan, dan identitas lengkap terdakwa), disebut syarat formal. Sedangkan yang disebut dengan syarat materil adalah syarat yang bertalian dengan isi/materi dakwaan (uraian tentang tindak pidana yang didakwakan dan waktu serta tempat tindak pidana dilakukan). Pencantuman syarat formal dan syarat materil dalam penyusunan surat dakwaan sangat erat kaitannya dengan tujuan dari pada surat dakwaan itu sendiri. Tujuan surat dakwaan tiada lain ialah dalam proses pidana surat dakwaan itu adalah sebagai dasar pemeriksaan di pengadilan, dasar pembuktian dan tuntutan pidana dasar pembelaan diri bagi terdakwa dan merupakan dasar penilaian serta dasar putusan pengadilan itu. kesemuanya itu guna menemukan apa yang telah terbukti, apakah perbuatan yang terbukti tersebut dirumuskan dalam surat dakwaan, siapa yang terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut. b. Pencantuman syarat formil Sebagaimana dimaksud dengan pencantuman syarat formil dalam surat dakwaan, yakni: 14 1) Disyaratkan pencantuman nama lengkap terdakwa beserta identitas lainnya (tempat lahir, umur atau tanggal lahir dan jenis kelamin) dalam surat dakwaan adalah untuk secara konkrit atau nyata mengindividualisir orang yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan guna mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orangnya atau pelakunya (error in person) yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang diajukan. 2) Pencantuman kebangsaan terdakwa juga sangat penting karena status kebangsaan seorang terdakwa menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pengadilan dalam hubungan dengan hak-hak sebagaimana diatur dalam pasal 51 huruf b KUHAP. Hal tersebut merupakan jaminan baginya untuk mempersiapkan pembelaan dirinya. 3) Agama terdakwa harus pula dicantumkan secara jelas dalam surat dakwaan. Masalah agama tersebut erat kaitannya dengan pelaksanaan penyumpahan. Dalam sistem KUHAP yang dikenakan kewajiban untuk mengangkat sumpah adalah saksi dan ahli. 4) Pekerjaan terdakwa Pencantuman harus dicantumkan pekerjaan terdakwa secara jelas. tersebut urgensinya 15 adalah dalam seorang terdakwa didakwakan melakukan tindak pidana dalam pekerjaan, jabatan, atau kedudukannya. c. Pencantuman Syarat Materil Pasal 143 ayat 2 huruf b memuat ketentuan tentang pencantuman syarat materil, yang terdiri dari : “ Uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang didakwakan dan waktu serta tempat dilakukannya tindak pidana yang didakwakan itu.” 1). Uraian tentang tentang tindak pidana yang didakwakan. Sistem KUHAP yang berhubungan dengan syarat material nampak undang-undang pada menginginkan kita bahwa agar pembentuk perumusan tindak pidana yang didakwakan dilakukan/dirumuskan secara, cermat, jelas dan lengkap. Kekurang cermatan, ketidak jelasan atau ketidak lengkapan dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan, akan mengakibatkan dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig). Penafsiran suatu perumusan dakwaan secara jelas atau tidaklah jelas (tidak kualitatif) adalah relatif dan hendaknya ukurannya didasarkan pada keadaan konkrit, yaitu apakah keadaan itu menunjukkan terdakwa dirugikan atau tidak. 16 Yang dimaksud dengan dakwaan yang jelas adalah, jaksa penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian material (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat terdakwa. Harun M.Husein memberikan penjelasan mengenai perumusan unsur-unsur delik dalam surat dakwaan : “Dalam hal ini harus diperhatikan, jangan memadukan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain yang unsur-unsurnya berbeda satu sama lain, atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada uraian sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada dakwaan pertama) sedangkan unsur-unsurnya berbeda.” Yang dimaksud dengan dakwaan yang lengkap adalah, uraian surat dakwaan harus mencukup semua unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang secara lengkap. Apabila unsur delik dalam surat dakwaan tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materialnya, akan mengakibatkan perbuatan yang sebagaimana didakwakan bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang. Hakim berpegang teguh kepada surat dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dan akan menuntut agar 17 semua bagian dalam surat dakwaan yang telah diajukan tersebut dapat dibuktikan. 2). Perumusan waktu dan tempat tindak pidana. Dalam rangka merumuskan surat dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, maka dalam merumuskan waktu dan tempat tindak pidana yang didakwakan harus pula dilkakukan secara cermat, jelas dan lengkap. Pencantuman waktu dilakukannya tindak pidana erat kaitannya dengan Pasal 1 dan 2 KUHP, yang berkaitan dengan asas legalitas, prinsip tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan, serta terhadap asas berlaku surut dari suatu perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai delik tersebut, faktor waktu yang berhubungan dengan ketentuan tentang daluwarsa (veryaring) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 82 KUHP, serta faktor waktu erat kaitannya dengan persyaratan yang ditentukan dalam suatu tindak pidana, seperti pencurian disaat malam (Pasal 363 KUHP). Pencantuman tempat dilakukannya tindak pidana berhubungan kompetensi relatif pengadilan, keberlakuan Hukum Indonesia terhadap terdakwa, kejahatan yang diisyaratkan harus dilakukan ditempat tertentu, kewenangan 18 penuntut umum untuk melakukan penuntutan, tempat terjadinya tindak pidana dalam hubungannya dengan teori-teori locus delictie. Kekeliruan dalam merumuskan waktu dan tempat pidana dalam surat dakwaan dapat menyebabkan surat dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima, atau surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum karena waktu dan tempat yang dirumuskan tidak jelas, atau dapat pula terdakwa dibebaskan karena alibi yang dikemukakan. Apabila waktu dan tempat terjadinya delik serta delik yang didakwakan tidak disebutkan, maka menjadikan dakwaan batal, sebagaimana seperti yang diatur dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yang berbunyi : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.” 3. Bentuk – Bentuk Surat Dakwaan Sama halnya dengan merumuskan tindak pidana dalam surat dakwaan maka pemilihan bentuk surat dakwaan pun harus dilakukan dengan cermat. Bentuk-bentuk Surat dakwaan adalah sebagai berikut : a. Surat Dakwaan Tunggal Bentuk Surat Dakwaan Tunggal ini dipergunakan apabila suatu delik tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku 19 hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan, penyusunan Surat Dakwaan tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana lain sebagai penggantinya, maupun kemungkinan untuk mengakumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana yang satu dengan lainnya dalam surat dakwaan. Penyusunan Surat Dakwaan tunggal ini dapat dikatakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya dan sederhana pula pada pembuktian dan penerapan hukumnya. Pada Umumnya surat dakwaan tunggal dipergunakan dalam perkara yang diperiksa menurut hukum acara pemeriksaan singkat. b. Surat Dakwaan Alternatif Merupakan surat dakwaan yang tersusun dari beberapa tindak pidana yang didakwakan, yang antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain saling mengecualikan. Guna menghindari peluang lolosnya terdakwa, maka digunakan bentuk surat dakwaan alternatif tersebut. Sebaliknya, surat dakwaan ini mengandung unsur negatif, yaitu dapat menimbulkan keraguan bagi terdakwa untuk membela diri. Sebagaimana pula yang dijelaskan menurut pendapat Van Bemmelemen, yang menyatakan surat dakwaan alternatif disusun dalam hal : 20 1) Penuntut Umum tidak mengetahui dengan pasti perbuatan mana dari ketentuan pidana dari ketentuan pidana yang didakwakan akan terbukti nantinya, membujuk melakukan atau melakukan perbuatan. 2) Penuntut Umum meragukan ketentuan pidana yang mana akan diterapkan oleh hakim atas perbuatannya yang menurut pertimbangannya telah nyata terbukti. c. Surat Dakwaan Subsidiair Bentuk dakwaan subsidiair ini digunakan apabila suatu akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan demikian dapat menimbulkan keraguan pada penuntut umum, baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai pasal yang dilanggarnya. Walaupun dalam dakwaan tersebut terdapat beberapa tindak pidana, namun yang dibuktikan hanya salah satu dari tindak pidana yang didakwakan itu. Jika ditinjau dari sudut sistem pembuktiannya, maka pembuktian surat dakwaan subsidiair dilakukan secara berurut dengan dimulai pada dakwaan di dakwakan yang dipandang terbukti. Dalam hal ini pembuat dakwaan bermaksud agar hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan subsidairnya. d. Surat Dakwaan Kumulatif 21 Banyak istilah yang digunakan untuk menamakan surat dakwaan ini, ada yang menggunakan istilah surat dakwaan kumulatif atau istilah dakwaan berangkai dan sebagainya. Maksud dari semua istilah tersebut adalah sama, yaitu ingin memberikan gambaran bahwa dalam dakwaan itu terdapat beberapa tindak pidana yang didakwakan dan kesemuanya harus dibuktikan. Bentuk Surat dakwaan ini secara formal hampir sama dengan dakwaan alternatif dan subsidiair, karena tersusun dari beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis. Namun perbedaan terletak pada sistem pembuktiannya, bahwa dalam dakwaan kumulatif seluruh dakwaan harus dibuktikan, sedangkan pada dakwaan alternatif maupun dakwaan subsidiair hanya satu dakwaan saja yang hendak dibuktikan. Bentuk dakwaan kumulatif ini dalam hubungannya dengan apa yang dinamakan samenloop/concursus (perbarengan) atau deelneming (penyertaan). Yang pada pokoknya dakwaan kumulatif ini dipergunakan dalam hal kita menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana. Jadi bentuk dakwaan seperti itu dipergunakan dalam hal terjadinya tindak pidana secara kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun pelakunya. e. Surat Dakwaan Gabungan / Kombinasi 22 Dalam perkembangan praktek penyusunan surat dakwaan dewasa ini, dikenal bentuk surat dakwaan yang disebut surat dakwaan kombinasi/gabungan. Dakwaan ini disebut dengan istilah dakwaan kombinasi, dikarenakan dalam dakwaan ini terdapat perpaduan antara dakwaan subsidiair dengan dakwaan alternatif. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi dari tindak pidana yang yang didakwakan. Pembuktian dakwaan kombinasi ini dilakukan terhadap setiap lapisan dakwaan, jadi setiap lapisan dakwaan harus ada tindak pidana yang dibuktikan. Pembuktian pada masing-masing lapisan dakwaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan bentuk lapisannya, apabila lapisan tersebut bersifat subsidiair, maka pembuktian dilakukan secara berurut mulai dari lapisan teratas sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Hakim harus memeriksa terlebih dahulu dakwaan subsidiair yang terdapat dalam dakwaan pertama (kesatu) yang mencantumkan ancaman pidana lebih berat sebelum beralih ke dakwaan selanjutnya (dakwaan kedua). Sama halnya dengan dakwaan yang bersifat kumulasi, maka penyusunan dakwaan kombinasi ini sangat diperlukan ketelitian, karena apabila kumulasinya tidak jelas sifat baik 23 mengenai tindak pidananya maupun mengenai pelakunya akan menyebabkan dakwaan batal demi hukum. C. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim 1. Pengertian Putusan Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Banyaknya definisi mengenai putusan ini disebabkan Indonesia mengadopsi peraturan perundang-undangan dari Belanda beserta istilah-istilah hukumnya, diterjemahkan oleh ahli bahasa, dan bukan oleh ahli hukum. Hal ini mengakibatkan ketidakcermatan penggunaan istilah-istilah hukum pada saat sekarang. Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda. 24 2. Jenis-jenis Putusan dalam Perkara Pidana a. Putusan Sela 1) Putusan yang Menyatakan tidak Berwenang Mengadili Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan), eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP). 2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang rumusannya sebagai berikut : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) batal demi hukum”. 25 Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor : 808/Pid/1984 tanggal 6-61985 yang menyatakan: “Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”. 3) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan tidak dapat Diterima Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangan cermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena: 1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada. 2) Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili (nebis in idem), dan 3) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring). b. Putusan Akhir 1) Putusan Pemidanaan pada Terdakwa Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan 26 memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Sebagai hakim ia berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu hukum yang setimpal dan adil. Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil hakim harus memperhatikan : 1. Sifat tindak pidana, 2. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana, 3. Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana, 4. Pribadi terdakwa, 5. Sebab-sebab melakukan tindak pidana, 6. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan, dan 7. Kepentingan umum 2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan : 1) Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana, 27 2) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara lain: a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP), b) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP), c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP), d) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP), dan e) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). 3). Putusan Bebas Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Pada penjelasan pasal tersebut, untuk menghindari penafsiran yang kurang tepat, yaitu yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. 28 D. Tindak Pidana Penganiayaan 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan UU tidak memberi penjelasan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan”, dan tidak dijelaskan isi penganiayaan itu yang bagaimana, tetapi yang dirumuskan hanya disebutkan akibatnya, namun dalam ilmu pengetahuan ((Soeharto RM, (1993 : 36)) penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) rasa sakit atau merusak kesehatan orang lain” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ((W.J.S. Poerwadarminta, (1987 : 48)) bahwa “penganiayaan” diartikan sebagai perlakuan yang sewenang-wenang (penindasan, penyiksaan, dsb) dan menyangkut perasaan dan batiniah. Menurut M.H Tirtaamidjaja ((Leden Marpaung, (2005:5)) memberikan definisi tentang penganiayaan adalah Tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dianggap penganiayaan kalau perbuatan tersebut dilakukan untuk menambah keselamatan badan. Dalam konteks histories ((Tongat, penganiayaan diartikan sebagai (2006 : 70)) istilah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada tubuh”. 29 Sementara dalam ilmu pengetahuan atau doktrin ((Tongat, (2006 : 70)), bahwa penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain”. Melihat batasan tersebut terlihat, bahwa dalam kedua batasan tersebut baik dalam konteks historis maupun dalam konteks doktrin, penganiayaan mempunyai makna yang secara substansial tidak berbeda. Adanya perspektif yang sama dari dua konteks diatas menunjukkan, bahwa secara umum istilah penganiayaan memang sudah diketahui maknanya oleh masyarakat pada umumnya. Atas dasar itu, dapat dimengerti kiranya apabila Menteri Kehakiman Belanda waktu itu hanya merumuskan sebagai penganiayaan saja terhadap rumusan dalam Pasal 351 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( selanjutnya disingkat KUHPidana). Sementara itu dalam praktek hukum sendiri pada awalnya juga menganut pandangan dalam doktrin seperti tersebut di atas. Praktek hukum dalam masalah penganiayaan tersebut dapat dilihat dalam yurisprudensi yang berkembang pada saat itu, yaitu Arrest Hooge Raad tanggal 25 Juni 1894 ((Tongat, (2006 : 70-71)) yang mengatakan “Penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat tuduhan.” 30 Namun demikian, dalam perkembangannya batasan tentang penganiayaan dalam doktrin yang kemudian juga dianut dalam praktek hukum sebagaimana terlihat dalam Arrest Hoge Raad tanggal 25 April 1894 kurang menjamin adanya keadilan. Pandangan di atas ternyata mengandung kelemahan yang cukup mendasar, di mana penganiayaan mempunyai pengertian yang sangat luas. (Tongat, 2006 : 71) Berdasarkan penjelasan di atas, setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya harus diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh, namun pelakunya tidak dapat dipidana karena dipandang perbuatan itu sifat melawan hukumnya adalah mendatangkan manfaat mendidik. Sebagai contoh dapat dikemukakan oleh Tongat (2006 : 71) : Seorang guru yang memukul muridnya, karena sang murid misalnya nakal, tidak mau belajar. Orang tua memukul pantat anaknya, karena sang anak bandel, nakal. Sang dokter yang melukai (sebagian) tubuh pasiennya dalam operasi, oleh karena untuk menyembuhkan penyakitnya. Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan Arrest Hoge Raad tanggal 25 April 1894 tersebut, yaitu Arrest Hoge Raad tanggal 10 Februari 1902 (Soenarto 31 Soedibroto, 1994:212) yang secara substansial berbunyi “Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan.” Berdasarkan yurisprudensi tersimpul, bahwa tidak setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan. Yurispridensi di atas, terlihat bahwa terhadap perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan, apabila perbuatan tersebut ternyata dilakukan karena suatu tujuan yang patut. Artinya, sepanjang perbuatan tersebut mempunyai tujuan yang patut, maka sekalipun perbuatan yang dilakukan dengan sengaja itu menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh, tidak dapat dikategorikan sebagai penganiayaan. Berdasarkan putusan pengadilan tinggi / Arrest Hoge Raad dan ajaran / doktrin di atas, maka menurut Adami Chazawi (2001:12) : penganiayaan dapat diartikan sebagai “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak.” Dalam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan 32 martabat manusia, Res.PBB No.39/46 Tahun 1984, penganiayaan (www.unicef.org/indonesia) didefenisikan sebagai : perbuatan apapun yang mengakibatkan sakit berat atau penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan sengaja di bebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh darinya atau orang ketiga informasi atau suatu pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang dia atau orang ketiga telah melakukannya atau disangka melakukannya, termasuk juga tindakan mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau karena alasan apapun yang didasarkan pada diskriminasi macam apapun, apabila sakit atau penderitaan tersebut dibebankan oleh atau atas anjuran atau atas persetujuan diam-diam seorang petugas pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu kedudukan resmi. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 (2000 : 5) tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan : penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminas, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan pesetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik. Sedangkan menurut Pasal 351 ayat (4) KUHPidana, disamakan dengan penganiayaan yaitu merusak kesehatan orang. Dalam KUHPidana, tindak pidana penganiayaan dikelompokkan sebagai 33 bagian dari kejahatan terhadap tubuh orang dan diatur secara tersendiri dalam Pasal 351 dan Pasal 358 KUHPidana. Penganiayaan berat adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dengan niat ditujukan pada melukai berat seseorang. Luka berat disini harus dimaksud oleh sipembuat, apabila tidak dimaksuad dan luka berat tersebut hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu bukan merupakan penganaiayaan berat melainkan menganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat. Penganiayaan yang oleh undang-undang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 KUHPidana dimana dalam Pasal 354 KUHPidana tersebut Tindak pidana penganiayaan berat terdiri dari dua macam yaitu: Tindak pidana penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) dan tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian, 2.Jenis Penganiayaan Menurut R. Soesilo (1996:24-42 48), bahwa penganiayaan dikategorikan dalam 6 (enam) jenis sebagaimana dimaksud di atas, akan tetapi yang menjadi perbedaan dimana bahwa, R . Soesilo tidak mengenal adanya penganiayaan berkualifikasi melainkan menurutnya bahwa salah satu dari jenis penganiayaan yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 358 KUHP yang menegaskan bahwa: Barangsiapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan atau perkelahian yang, ditakukan oleh beberapa orang, maka 34 selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan yang khusus dihukum. 1e. Penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya menjadikan ada orang mendapat luka berat saja. 2e. Penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun, jika penyerangan atau perkelahian itu menjadikan ada orang mati. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan jenis penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351-358 KUHP sebagai berikut: 1. Pasal 351 KUHP Dalam Pasal 351 KUHP, terdiri atas 5 (lima) ayat dan oleh (R. Soesilo,1996:245) menegaskan bahwa, penganiayaan ini disebut sebagai penganiayaan biasa. Secara terinci menguraikan sebagai berikut: Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa, diancam hukuman lebih berat, apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati, tentang luka berat lihat Pasal 90 KUHP luka berat atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh sipembuat. Apabila luka berat itu, dimaksud dikenakan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat), sedangkan jika kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu masuk pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Lain lagi halnya dengan seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang hati-hati menumbruk orang sehingga mati. Perbuatan ini bukanlah suatu penganiayaan, berakibat matinya orang (Pasal 351 alenia 3 KUHP), oleh karena sopir tidak ada pikiran (maksud) sama sekali untuk menganiaya Pun tidak masuk pembunuhan (Pasal 338 KUHP), karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh sopir. Peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP (karena salahnya menyebabkan matinya orang lain). Selanjutnya menjelaskan pula bahwa dalam hal percobaan melakukan penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan tidak dapat 35 dihukum sedangkan melakukan percobaan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353, 354 dan 355 KUHP tetap dihukum. Rumusan Pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat pada tubuh, yaitu: Penyakit atau luka ta’boleh diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan tidak lagi memakai salah satu pancaindra; kudung (rompong), lumpuh berubah pikiran (akal) lebih dari 4 (empat) minggu lamanya menggugurkan atau membunuh hak dari kandungan ibu. R. Soesilo (1996:98), merumuskan yang dimaksud dengan luka berat atau luka parah secara terinci sebagai berikut: 1. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut (tabib yang bisa menerangkan hal ini) itu bukan luka berat 2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan, kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak termasuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat; 3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindra, pancaindra (penglihatan, pencium, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit. Orang yang menjadi buta satu mata atau tuli satu telinga belum masuk dalam pengertian ini, karena dengan mata dengan telinga yang lain ia masih dapat melihat dan mendengar; 4. Kudung (romping) dalam teks bahasa Belandanya Verminking, cacat, sehingga jelek rupanya, karena ada sesuatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya romping, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau kakinya putus dan sebagainya. Begitu juga kapan sembuhnya suatu penyakit apa lagi penyakit jiwa, dimana 36 bahwa proses penyembuhan sebagai suatu proses lama, sehingga tidak mungkin bagi seseorang dapat dengan pasti mengetahui kapan kesembuhan itu terjadi karena mungkin dikatakan, sembuh akan tetapi esok atau lusa dapat kumat atau kambuh lagi. Sehubungan dengan penjelasan tentang luka berat dalam Pasal 90 KUHP, sebagaimana yang diuraikan oleh R. Soesilo, yang menyatakan bahwa, apabila dari salah satu pancaindra seperti mata atau telinga yang buta atau tuli belum dikategorikan sebagai luka berat, karena masih terdapat satu mata dan telinga yang dapat melihat dan mendengar, oleh penulis dalam hal tersebut tidak sependapat dengan alasan, jika hal tersebut terjadi pada seseorang dalam hal sebagaimana orang tersebut telah menderita cacat seumur hidup karena tidak dapat menggunakan pancaindranya sebagaimana layaknya orang normal, meskipun masih terdapat salah satu pancaindranya yang dapat melihat dan mendengar. 2. Pasal 352 KUHP Rumusan Pasal 352 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat yang rumusannya berbunyi sebagai berikut: 1. Selain dari apa yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan me|akukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,. Hukuman ini boleh ditambah 37 sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya; 2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. R. Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, rumusan Pasal 352 KUHP di atas merupakan peristiwa pidana yang disebut penganiayaan ringan dan masuk kejahatan ringan. Adapun syarat utama sehingga dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan, yaitu: a. Penganiayaan yang tidak menjadikan sakit (ziek bukan pijn); atau b. Penganiayaan yang tidak menjadikan korban terhalang melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Handoko Tjonroputrnato (1972:21), merumuskan bahwa, yang dimaksud dengan penganiayaan ringan, yaitu luka atau penyakit yang tidak berakibat atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Pada umumnya penganiayaan ringan dilakukan oleh tersangka terhadap diri korbannya dengan mempergunakan tangan seperti meninju, menampar, menempeleng, menggores dengan kuku dan lain sebagainya dan atau memakai alat, akan tetapi tidak menjadikan sakit atau terhalangnya pekerjaan atau jabatan korban sehari-hari. 38 3. Pasal 353 KUHP Rumusan Pasal 353 KUHP terdiri atas 3 (tiga) ayat yang rumusan pasalnya menegaskan sebagai berikut: 1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun; 2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun; 3. Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. R. Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, apabila penganiayaan itu dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu, masuk dalam pasal ini dan diancam dengan hukuman yang lebih berat dari Pasal 351 serta jika penganiayaan itu berakibat luka berat atau mati, dihukum lebih berat. Percobaan melakukan penganiayaan ini dihukum. Pengertian direncanakan lebih dahulu (R. Soesilo,1996;241) dalam Pasal 340 KUHP bahwa yang dimaksud: Direncanakan lebih dahulu (Voorbedachte rade), yaitu antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan, yaitu masih ada tempo gogi sipembuat untuk dengan tenang memikirkan misalnya dengan cari bagaimanakah pembunuhan itu dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya untuk membunuh, itu akan tetapi tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan mempergunakan racun hampir semua merupakan moord. 39 Tirtaamidjaja, (1955:174) menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan direncanakan lebih dahulu, sebagai berikut: Direncanakan lebih dahulu, terdapat kalau orang mengambil keputusan untuk melakukan perbuatan pidana itu dengan dipikirkan tenang-tenang, dan dalam pada itu telah memikirkan arti dan akibat-akibat perbuatan itu. Tidaklah cukup bahwa, direncanakan lebih dahulu itu ada pada pembentukan sengaja untuk membunuh itu tetapi juga harus terdapat pada pelaksanaan sengaja itu. 4. Pasal 354 KUHP Rumusan Pasal 354 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat, yaitu yang rumusan pasalnya menegaskan sebagai berikut: 1. Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum, karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selamalamanya 8 (delapan) tahun; 2. Jika penganiayaan itu menjadikan kematian orangnya, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun. R. Soesilo (1996:246) secara terinci menguraikan bahwa rumusan pasal tersebut di atas dinamakan dengan penganiayaan berat. Supaya dapat dikenakan dengan pasal ini, maka niat sipembuat harus ditujukan pada melukai berat, artinya luka berat harus dimaksud oleh sipembuat, apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang berakibat luka berat (Pasal 351 alenia 2 KUHP). 40 Selanjutnya bahwa percobaan melakukan penganiayaan ini di pidana 5. Pasal 355 KUHP Rumusan Pasal 355 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat yang pasalnya menegaskan sebagai berikut: 1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun; 2. Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun. R. Soesilo (1996:247) menyatakan bahwa, yang masuk dalam pasal ini ialah penganiayaan dalam Pasal 354 KUHP yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu. Percobaan melakukan penganiayaan ini dihukum. 6. Pasal 356 KUHP Rumusan Pasal 356 KUHP terdiri atas 1 (satu) ayat, yang dibagi dalam 3 (tiga) sub pasal, yang rumusan pasalnya menegaskan sebagai berikut: Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan Pasal 355 dapat ditambah 1/3 (sepertiganya) 1e. Jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, isterinya (suaminya) atau anaknya 2e. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan yang sah 41 3e. Jika kejahatan itu dengan memakai bahan yang merusak kejiwaan atau kesehatan orang. Pada pasal ini merupakan suatu klausula (tambahan) yang mengatur tentang perbuatan penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang tertentu (dikualifikasi) dengan memakai cara tertentu dalam melakukan perbuatan penganiayaan, penambahan hukuman tersebut dilakukan menurut hemat penulis, karena kedudukan orangorang tersebut sangat penting dalam kedudukan suatu keluarga dan atau dalam pemerintahan, demikian pula bahwa dengan menggunakan bahan yang merusak jiwa, atau merupakan suatu hal yang sulit untuk melakukan pengobatan terhadap korban dimana pada dasarnya dalam hal tersebut korban akan menderita luka dalam. 7. Pasal 357 KUHP Dalam rumusan Pasal 357 KUHP mengatur tentang dapatnya dijatuhkan hukuman pencabutan hak, yang tersebut dalam Pasal 35 KUHP Ke-1 sampai Ke-4. Pencabutan hak tersebut hanya berlaku dalam perbuatan yang ditentukan dalam Pasal 353 dan Pasal 355 KUHP, yang dapat dijatuhkan secara bersamaan dengan hukuman pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 353 dan Pasal 355 KUHP, adapun hak yang dimaksud, yaitu: a. Hak mendapat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan; b. Hak masuk pada kekuasaan bersenjata (balatentara); 42 c. Hak menjadi penasehat atau penguasa alamat (wali yang diakui sah oleh negara), dan membeli wali menjadi wali pengawasawas, menjadi curator atau menjadi curator pengawas-awas atas orang lain daripada anaknya sendiri; d. Hak melakukan pekerjaan yang ditentukan. 8. Pasal 358 KUHP Rumusan Pasal 358 KUHP terdiri atas 1 (satu) ayat yang dibagi dalam dua sub pasal yang rumusan pasalnya sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan yang khusus dihukum. le. Penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya menjadikan ada orang mendapat luka berat saja. 2e. Penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun, jika penyerangan atau perkelahian itu menjadi ada orang mati. R. Soesilo (1996:248) menegaskan bahwa, pasal ini diterapkan atau dipergunakan apabila penganiayaan, yaitu: a. Pasal ini dipakai dalam hal terjadi suatu perkelahian atau penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari dua), dimana ada akibat orang luka parah (lihat Pasal 90 KUHP) atau mati, akan tetapi tidak dapat diketahui siapakah orang banyak itu yang telah melukai parah atau membunuh orang tersebut. Jika perkelahian itu tidak rnengakibatkan luka parah atau mati, orang tidak dapat dikenakan pasal ini. b. Apabila dalam perkelahiaan atau penyerangan itu dapat dibuktikan (diketahui) siapakah diantara banyak orang yang telah rnenyebabkan luka parah atau mati itu, maka orang-orang 43 itu selain dituntut menurut pasal ini, dikenakan pula ketentuanketentuan tentang penganiayaan atau pembunuhan yang ia lakukan; c. Orang-orang yang terpaksa turut serta dalam perkelahian atau penyerangan itu untuk memisah atau melindunggi golongan yang lemah, tidak dapat dikatakan turut serta dalam perkelahian atau penyerangan dan tidak dikenakan pasal ini. 44 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis melakukan penelitian di Makassar tepatnya pada Pengadilan Negeri Makassar dengan alasan Negeri Makassar telah 120/Pid.B/2008/PN.Mks, menangani dimana dalam bahwa di Pengadilan perkara amar dengan putusan nomor tersebut menyatakan penuntutan penunutut umum tidak dapat diterima, selain itu dalam salah satu pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa penuntut umum tidak pernah menghadapkan terdakwa dipersidangan hingga 20 kali. B. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah: 1. Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak Pengadilan Negeri Makassar yaitu Hakum, serta pihak kejaksaan . 2. Data Sekunder Data ini penulis peroleh dengan cara mempelajari dokumen yang berhubungan dengan objek kajian. C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 45 1. Penelitian kepustakaan Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan pustaka yang relevan dengan penelitian berupa literatur-literatur, karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dokumentasi dari berbagai instansi yang terkait dengan penelitian ini, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori dari hasil pemikiran para ahli hal ini dilihat relevansinya dengan fakta yang terjadi di lapangan. 2. Penelitian lapangan Untuk mengumpulkan data penelitian lapangan Penulis menggunakan dua cara yaitu: a. Pengamatan yaitu mengamati dan mempelajari secara langsung dengan mencatat hal-hal yang penting yang berkaitan dengan data yang relevan. b. Wawancara yaitu mendatangi responden dengan melakukan tanya jawab langsung, tipe pertanyaan teratur dan terstruktur. D. Analisis Data Dari kedua jenis data tersebut, baik data primer maupun data sekunder, selanjutnya dianalisis secara kualitatif, kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif, yaitu dengan menjelaskan dan menguraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Penuntut umum Tidak Dapat Diterima. MenyatakanTuntutan Menyikapi pedoman hakim dalam memberikan putusan pidana seperti yang tertera dalam Pasal 10 KUHP, maka seorang hakim mempunyai kewajiban yang tertera dalam Pasal 28 UU No.4 Th. 2004 Jo UU 48 Th. 2009 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga melihat unsur-unsur yang terdapat pada pasal yang dikenakan. Hakim dituntut harus dapat melihat dan mendengar dengan jeli dan peka dalam menjalankan persidangan seperti yang tercantum dalam Pasal 183, 184 KUHAP dan Pasal 28 UU No. 4 Th. 2004. Hakim selain harus menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal yang didakwakan , juga harus menguraikan unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, yaitu sebagai berikut: a) Pembuktian. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menerangkan bahwa: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang terbukti melakukannya. Ketentuan ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi 47 seseorang. Maka hakim dalam hukum acara pidana berkewajiban menetapkan: 1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti menurut pemeriksaan pengadilan. 2. Apa yang telah membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas perbuatanperbuatan yang didakwakan. 3. Tindak pidana apakah yang telah dilakukan sehubungan dengan perbuatanperbuatan itu. 4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. 5. Pelaksanaan, penghambatan dan pengawasan. Bukti tersebut akan menjadi terang tindak pidana yang didakwakan dan menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa benarbenar bersalah dan sebagai pelaku serta untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. b) Jenis-Jenis Alat Bukti. Didalam KUHAP telah mengatur tentang jenis-jenis alat-alat bukti yang di atur pada Pasal 184 KUHAP yaitu: 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa 48 Alat bukti ialah apa yang merupakan alat bukti yang mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas peristiwa, sehingga dapat dilihat. Hal tersebut sebagai perwujudan dari pasal 183 KUHAP yang mana tidak akan dapat dijatuhi pidana kecuali sekurang-kurangnya dua alat bukti, sesuai dengan alat bukti maka dapat menjawab semua sangkalan yang dikemukakan oleh terdakwa dan jika berusaha mengelak. Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan mengemukankan unsur-unsurnya kejahatan yang didakwakannya menurut hukum pidana atau tidak, serta pidana apa yang setimpal dengan perbuatannya. Maka tugas hakim dalam praktek penjatuhan hukuman terhadapa tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian berpedoman pada Pasal 183 dan 184 KUHAP, Pasal 28 UU No. 4 Th. 2004 jo UU No. 48 Th. 2009 , dan melihat unsur-unsur pasal yang di dakwakan. Sehingga dalam hal ini hakim memiliki keluwesan dalam mencari kebenaran hakiki dan menjunjung tinggi keadilan. Di dalam persidangan, ada pembacaan tuntutan, keterangan saksi yang memberatkan, tanggapan dari tersangka yaitu bisa sendiri atau diwakili pengacaranya, keterangan saksi yang meringankan, dan adanya putusan hakim. Dalam hal putusan hakim, hakim memutuskan 49 berdasarkan kenyataan yang terungkap dalam persidangan seperti yang tertera dalam UU No. 4 Th. 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan berdasarkan pasal 183 dan pasal 184 KUHAP dengan pertimbangan unsur-unsur pada tututan Jaksa dan KUHP. Dalam hal ini, seorang hakim hanya dapat memberi hukuman pidana yang hanya tertera / tercantum dalam pasal 10 KUHP. Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya berpatokan pada KUHAP dan UU No. 4 Th. 2004 saja namun juga harus melihat pada unsur-unsur pidananya dalam KUHP seperti yang didakwakan Penuntut Umum dalam surat tuntutan. Tanpa mengurangi tujuan dan maksud dari pemberian sanksi yang terdapat pada konsep kedua aliran hukum pidana yang tersebut terdahulu, yang memiliki beberapa karakteristik (Nawawi, 43: 1996) sebagai berikut: a. Pertanggung jawaban (pidana) bersifat pribadi / perorangan (asas personal); b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas; tiada pidana tanpa kesalahan); c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelikasi bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringanya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaanya.. Dalam perkara 1067/Pid.B/2009/PN.Mks, hakim menjatuhkan putusan 7 ( tujuh ) tahun penjara sama seperti dengan tuntutan jaksa. Menurut Dwi Hari Sulismawati ( salah seorang hakim pada PN Makassar ) Ada hal – hal tertentu dalam pertimbangan hakim untuk 50 menjatuhkan putusan pada diri seorang terdakwa . Ada hal – hal tertentu diluar ketentuan hakim yang menjadi pertimbangan untuk memperingan putusan, yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) Adanya sikap terus terang dalam persidangan; Adanya penyesalan untuk tidak mengulanginya; Adanya tanggungjawab sebagai tulang – punggung keluarga; Sopan dalam persidangan; Belum pernah dihukum atau bukan residivis. Lebih lanjut menurut beliau Begitu juga sebaliknya, ada hal – hal yang menjadi pertimbangan hakim untuk memperberat putusan, yaitu : 1) Menunjukkan sikap berbelit – belit dalam memberi keterangan di persidangan 2) Sikap tidak sopan dan tidak menghormati persidangan 3) Sudah pernah dihukum atau dalam perkara sejenis 4) Bahwa perbuatan tersebut meresahkan masyarakat 5) Bahwa perbuatan tersebut menghilangkan nyawa orang lain. Dalam menjatuhkan putusan, seorang hakim berpegang pada asas “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“. Dan yang menjadi pertimbangan selain hal–hal yang telah disebutkan di atas, adalah fakta di persidangan yang terungkap tentang peristiwa yang terjadi dan didasarkan pada tututan dari Jaksa Penuntut Umum. Dalam putusan yang penulis telit , putusan nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks, yang dalam pertimbangan sebagai berikut : 51 Menimbang, bahwa terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum karena ia didakwa telah melakukan suatu tindak pidana dengan dakwaan sebagai berikut : Bahwa ia terdakwa ASWARUDDIN pada hari Kamis tanggal 29 Nopember 2007 sekitar pukul 01.00 wita atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan November 2007 bertempat di jalan Rappocini Raya No.186 Makassar, atau setidak tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, telah melakukan penganiayaan terhadap korban LIONARDI, dengan caracara antara lain sebagai berikut : Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, berawal ketika terdakwa datang di tempat Seluler Sinar Mentari milik saksi korban dengan tujuan mengecek HP Sony Ericson milik Terdakwa yang dititipkan kepada saksi korban untuk memperbaikinya, pada saat itu terdakwa bertemu langsung dengan saksi korban, dan saksi korban menyampaikan kepada terdakwa “ Bahwa ada yang kurang, yaitu dos HP kemudian terdakwa balik bertanya “ Untuk apa dos HP “ saksi korban menjawab “ saya tidak tahu “ lalu saksi korban menghubungi ke service Center Sony Ericson dan meminta terdakwa untuk berbicara langsung, namun terdakwa menolak, sehingga saksi korban keluar dari Counter dan menunjuk bahwa dos tersebut dibutuhkan oleh service Center Sony Ericson, namun tiba-tiba 52 terdakwa langsung menghantam dengan minju bagian muka serta kacamata yang dipakai menjadi rusak/pecah Bahwa akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi korban Lionardy mengalami rasa sakit, sebagaimana Visum Et Repertum No.072/VER/RSG/XI/2007, dengan kesimpulan luka lecet di bawah mata kiri dan luka robek pada bibir bawah kiri serta bengkak seluruh bibir bawah, akibat benturan benda keras dan tumpul. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 (1) KUHP ; Menimbang, bahwa jika memperhatikan hasil berita acara persidangan ternyata dalam perkara terdakwa sampai saat ini Penuntut Umum belum pernah membacakan dakwaan ; Menimbang, bahwa dalam perkara ini majelis telah menunda persidangan sebanyak 20 (dua puluh) kali bahkan majelis telah membuat penetapan hari sidang masing tertanggal 01 Pebruari 2008 dan tanggal 03 September 2008 namun Penuntut Umum maunpun Terdakwa tidak pernah menghadapkan Terdakwa di persidangan, sehingga sidang ditunda untuk ke 20 (dua puluh) kalinya yaitu pada tanggal 09 September 2008 namun Penuntut Umum juga tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan sehingga Majelis menunda sidang untuk ke 21 (dua puluh satu) kalinya yakni pada tanggal 23 53 September 2008 dimana Penuntut Umum tetap tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan ; Menimbang, bahwa oleh karena sudah ke dua puluh satu kalinya Penuntut persidangan Umum tidak menghadapkan tanpa alasan yang sah sehingga Terdakwa di menurut penilaian Majelis Penuntut Umum dipandang tidak serius untuk mengajukan perkara ini, sehingga untuk menjaga kepastian hukum maka perkara ini harus diputus dengan menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan biaya perkara ini dibebankan pada Negara ; Putusan tersebut diatas merupakan jenis putusan yang baru oleh karena Menurut Martiman (20: 1983) bentuk putusan pada umumnya ada tiga macam yaitu: 1. Putusan yang mengandung pembebasan (Vrijspraak) menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP. 2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP. 3. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa (veroordeling), menurut Pasal 193 KUHAP. Dan kalau kita mencermati putusan nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks, maka putusan tersebut tidak masuk kesalah satu kategori jenis putusan yang diatas olek karena putusan nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks bukan pembebasan, pemidanaan ataupun pelepasan tetapi putusan yang pada intinya menyatakan tuntutan penuntut umum. 54 Menurut Kasi Prapenunututan Kejaksaan Negeri Makassar, mestinya ketika terdakwa tidak dihadirkan oleh jaksa penuntut umum selama beberapa kali sidang, harus melakukan penghentian sementara terhadap perkara tesebut dan memerintahkan kepada JPU untuk menghadirkan bahkan menyatakan terdakwa sebagai daftar pencarian orang ( DPO ). Tetapi menurut penuls apa yang diputuskan oleh hakim tersebut apabila kita mencermati surat edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1981 Tantang terdakwa sejak semula tidak dapat diperhadapkan di persidangan, maka putusan tersebut telah sesui dengan SEMA tersebut diatas dimana ketika JPU sejak awal persidangan tidak dapat menghadirkan terdakwa dipersidangan maka yang hakim menjatuhkan putusan dengan menyatakan tuntutan penunut umum tidak dapat diterima seperti dalam putusan nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks. B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Yang Menyatakan Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat Diterima. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah mengatur hak-hak tersangka/terdakwa dan penuntut umum untuk melakukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa terhadap semua putusan pengadilan, yang berupa perlawanan, banding, kasasi maupun permohonan peninjauan kembali. 55 Dalam Bab XVII sampai dengan Bab XIX atau Pasal 233 sampai dengan Pasal 269 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, membagi upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan kedua pembagian upaya hukum yang tersebut di atas, maka kalau dihubungkan dengan Pasal 1 angka 12 memberi perumusan sebagai berikut: Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasisi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 12 tersebut di atas, maka sebenarnya kalau KUHAP konsisten dengan rumusan tersebut seharusnya dalam pasal yang mengatur tentang upaya hukum, harus juga mencantumkan upaya hukum perlawanan apakah masuk dalam upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. Dan begitu juga dengan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum yang sama sekali tidak disinggung dalam Pasal 1 angka 12, tetapi dalam rumusan pasal tentang upaya hukum luar biasa mengakui upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum yang dapat diajukan 56 oleh jaksa agung terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketidakkonsistenan KUHAP dalam merumuskan tentang upaya hukum menimbulkan persepsi yang beragam dari kalangan para praktisi hukum dan pakar hukum. Tetapi penulis tidak mau terlalu jauh larut dalam permasalahan itu, karena baik itu perlawanan maupun upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dalam praktek dan berdasarkan KUHAP keduanya diakui sebagai upaya hukum yang dapat diajukan apabila tidak menerima putusan pengadilan atas suatu perkara yang ditanganinya. Upaya hukum oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan nomor 120/Pid.B/2008/ PN.Mks, dapat berupa upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Menurut Kasi Prapenuntutan Kejari Makassar, dalam praktek ketika terdakwa sejak semula tidak hadir dipersidangan meskipun hakim menyatakn DPO terhadap terdakwa tetapi JPU tetap dapat mengajukan upaya hukum, kalau masih dalam waktu yang ditentukan maka JPU mengajukan upaya hukum biasa yaitu banding, tetapi ketika waktu banding telah lewat maka JPU dapat mengajukan PK. Tetapi menurut penulis pada dasarnya tidak sepakat kalau JPU melakukan upaya hukum terhadap perkara nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks, oleh karena sejak semula jaksa tidak ada keseriusan dalam menghadirkan terdakwa dan menangani perkara 57 tersebut terbukti dalam perkara Nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks majelis telah menunda persidangan sebanyak 20 (dua puluh) kali bahkan majelis telah membuat penetapan hari sidang masing tertanggal 01 Pebruari 2008 dan tanggal 03 September 2008 namun Penuntut Umum maunpun Terdakwa tidak pernah menghadapkan Terdakwa di persidangan, sehingga sidang ditunda untuk kalinya yaitu pada tanggal 09 September 2008 ke 20 (dua puluh) namun Penuntut Umum juga tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan sehingga Majelis menunda sidang untuk ke 21 (dua puluh satu) kalinya yakni pada tanggal 23 September 2008 dimana Penuntut Umum tetap tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan. Dan terlihat bahwa JPU tidak serius dalam menangani perkara ini. 58 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan. 1. Dalam perkara Nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks majelis telah menunda persidangan sebanyak 20 (dua puluh) kali bahkan majelis telah membuat penetapan hari sidang masing tertanggal 01 Pebruari 2008 dan tanggal 03 September 2008 namun Penuntut Umum maunpun Terdakwa tidak pernah menghadapkan Terdakwa di persidangan, sehingga sidang ditunda untuk ke 20 (dua puluh) kalinya yaitu pada tanggal 09 September 2008 namun Penuntut Umum juga tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan sehingga Majelis menunda sidang untuk ke 21 (dua puluh satu) kalinya yakni pada tanggal 23 September 2008 dimana Penuntut Umum tetap tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan, seingga hakim menjatuhkan putuan dengan menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima sesuai SEMA RI Nomor 1 Tahun 1981. 2. Upaya hukum oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan nomor 120/Pid.B/2008/ PN.Mks, dapat berupa upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Dalam praktek ketika terdakwa sejak semula tidak hadir dipersidangan meskipun hakim menyatakn DPO terhadap terdakwa tetapi JPU tetap dapat mengajukan upaya hukum, kalau masih dalam waktu yang ditentukan maka JPU 59 mengajukan upaya hukum biasa yaitu banding, tetapi ketika waktu banding telah lewat maka JPU dapat mengajukan PK. B. Saran 1. Jaksa penuntut umum dalam menangani perkara hendakanya sebelum di limpahkan ke pengadilan harus memperhatikan kelengkapan perkara mulai dari berkas, alat dan barang bukti serta terdakwanya. 2. Mestinya harus ditingkatnya koordinasi antara JPU dengan hakim sebelum persidangan. 3. Perlunya perangkat hukum yang jelas mengenai jenis putusan yang dapat di jatuhkan oleh hakim. 60 DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2005.Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta, RajaGrafindo Persada Andi Hamzah. 2005. Azas-Azas Watampone. Hukum Pidana. Jakarta: Yarsif ......................... 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Djoko Prokoso. 1988. Yogyakarta. Hukum Penitensier di Indonesia. Liberty. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Harun M. Husein. 2006. Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahannya. Jakarta: Rineka Cipta. Indriyanto Seno Adji. 2001. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji. Leden Marpaung. 1991. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberatan dan Prevensinya), Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Pembahasannya, Sinar Grafika, Jakarta. Lilik Mulyadi , 2005, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan Permasalahannya), Mandar Maju, Bandung. ------------------. 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti. R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor. R. Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. 61 Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: CV. Bandar Maju. Sianturi. 1996. Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem – Petahaem. Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Tongat, 2007. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Persperktif Pembaharuan, UMM Press.Malang Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta. ----------------------, 2002. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Yanti Gamarsih. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundring). Jakarta: Program Pasca Sarjana FH-Trisakti. W.J.S Poerwadarminta. 1985. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia 62