SIARAN PERS PERKARA IPAD DIAN

advertisement
SIARAN PERS PERKARA IPAD DIAN-RANDY
Hingga hari ini, Selasa, 16 Agustus 2011, proses persidangan atas perkara iPad dengan terdakwa
Dian dan Randy telah berjalan sebanyak 12 kali sejak sidang pertama, tanggal 31 Mei 2011. Dian
Yudha Negara (41) dan Randy Lester Samusamu (27), saat ini menjadi terdakwa dalam
perkara penjualan 8 unit iPad-1 yang tidak memiliki buku panduan berbahasa Indonesia.
Keduanya ditangkap pada Rabu, 24 November 2010 di Citywalk Sudirman, Jl. KH. Mas Mansyur
Jakarta Pusat, dengan cara dijebak oleh 7 (tujuh) orang petugas kepolisian dari Satuan Unit
Industri dan Perdagangan, Reskrimsus Polda Metro Jaya, yang menyamar sebagai konsumen dan
meminta keduanya untuk menyediakan 10 unit iPad1 3G 64GB.
Digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat, agenda sidang hari ini
adalah Pembacaan Tuntutan. Tim Jaksa, dipimpin oleh Endang Rahmawati. SH sebagai
Jaksa Penuntut Umum, Romy Rozali. SH, dan Roland. S. Hutahaean. SH. Kedua
terdakwa dituntut atas :
: Pasal 8 ayat 1 huruf j jo pasal 62 ayat 1 UU RI No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
1.
Dakwaan Primer
2.
Dakwaan Subsider: Pasal 32 ayat 1 jo pasal 52 UU RI No. 36/1999 tentang
Telekomunikasi.
Pemidanaan yang diajukan pada kedua terdakwa tersebut, dilakukan secara sewenang-wenang,
tanpa ada dasar aturan yang mengaturnya (asas legalitas) sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Jelas bahwa pemidanaan keduanya melanggar dan mengkerdilkan
asas legalitas yang seharusnya tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bukan itu saja,
tindakan tersebut merupakan pelanggaran dan pengabaian HAM yang melekat pada diri kedua
terdakwa.
Sungguh mengejutkan mendengar Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan yang
sangat memberatkan bagi keduanya. Agaknya, Jaksa Penuntut Umum mengesampingkan
hati nurani, menutup mata, serta telinga pada nilai-nilai kebenaran yang ada dan telah nyata
terungkap dan atau terbuktikan dalam pemeriksaan persidangan. Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum tersebut tak hanya mengoyak-ngoyak serta menciderai rasa keadilan
masyarakat namun juga mencabik-cabik rasa keadilan berdasarkan Undang-undang
RI.
Pelanggaran Hukum Acara Pidana terhadap kedua terdakwa, telah dimulai sejak proses
penyidikan; yakni proses penangkapan, penggeledahan, BAP, pelimpahan berkas. Banyak hal
yang wajib dipenuhi sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, namun diabaikan dan atau
dilanggar. Pengabaian serta pelanggaran hukum acara pidana berarti merupakan pelanggaran
dan pengkebirian hak hukum atas kedua terdakwa. Hak hukum, notabene merupakan hak asasi
dari kedua terdakwa, sebagaimana yang telah dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD RI tahun
1945 jo UU RI No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dari pelanggaran-pelanggaran
tersebut, seharusnya perkara ini sejak awal dihentikan pada saat tingkat pemeriksaan penyidikan
(dinyatakan SP-3), karena tidak layak diajukan ke persidangan dan atau dinyatakan tidak dapat
diterima.
Dalam kenyataannya, Dian dan Randy malah ditahan di Rumah Tahanan Salemba selama 65
(enam puluh lima) hari terhitung sejak tanggal 03 Mei 2011. Hingga penangguhan penahanan
mereka dikabulkan oleh Majelis Hakim pada tanggal 05 Juli 2011, kedua keluarga terdakwa tidak
pernah menerima salinan surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Tinggi.
Padahal, seharusnya Kejaksaan Tinggi wajib menyampaikan salinan Surat Perintah penahanan
dari keduanya, sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Acara Pidana. Ketiadaan salinan
surat perintah penahanan tersebut, merupakan pelanggaran serta pemberangusan hak, bukan
hanya atas diri kedua terdakwa, namun juga keluarganya.
Ahli Hukum Pidana yang juga mantan Hakim Agung RI dan telah didengar keterangannya
di persidangan, yakni Dr. Arbijoto SH MH, secara tegas menyatakan bahwa, penyidik yang
berperan ganda menjadi saksi merupakan perbuatan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power), sehingga menyebabkan batalnya surat dakwaan jaksa. “Anggota polisi yang melakukan
penyelidikan dan atau penyidikan seharusnya tidak boleh menjadi saksi yang keterangannya
dipakai dalam berita acara penyidikan,” seperti yang dilansir pula dari situs resmi mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqqie.
Pada tanggal 5 Juli 2011, Kementerian Perdagangan RI sendiri, melalui Direktur Standarisasi dan
Perlindungan Konsumen, Dra. Nus Nuzulia Ishak, secara resmi menyatakan bahwa iPad tidak
termasuk dalam daftar 45 produk yang wajib menyertakan buku panduan berbahasa
Indonesia. Sebelumnya telah disampaikan pula oleh Direktur Pemberdayaan Konsumen
Direktorat Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan RI, Srie
Agustina bahwa buku panduan berbahasa Indonesia untuk iPad, memang tidak diatur
dalam UU, karena itu keduanya tidak dapat dikenakan sanksi pidana.
Lebih dari itu, penyamaran yang dilakukan oleh polisi, yang berpura-pura bertindak
sebagai konsumen, tidak dapat dibenarkan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh DR.
Yusuf Sofie, anggota dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang secara resmi
diminta oleh Kementerian Perdagangan RI, untuk didengar keterangannya sebagai Ahli bidang
Perlindungan Konsumen dalam pemeriksaan persidangan perkara ini. Oleh karena itu,
berdasarkan peraturan perundang-undanganan yang berlaku di wilayah RI, maka dakwaan
primer, Pasal 8 ayat (1) huruf j jo pasal 62 ayat (1) UU RI No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen, harus dinyatakan batal demi hukum.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI juga telah menunjuk Gatot. S. Dewa Broto untuk
hadir sebagai Ahli Bidang UU Telekomunikasi, pada pemeriksaan persidangan yang ke-9, tanggal
26 Agustus 2011. Gatot, yang juga menjabat sebagai juru bicara Kementerian Komunikasi dan
Informatika RI, menegaskan dan menggaris-bawahi bahwa, “Peraturan tentang sertifikasi
dan pendaftaran produk telematika, hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha
berbadan hukum. Sehingga dengan demikian, perorangan tidak dapat mengajukan
sertifikasi bagi produk telematika. Karena tidak atau belum diatur dalam undangundang, artinya peraturan dan sanksi yang mengikutinya, memang khusus disasar
untuk produsen, pabrikan, atau distributor produk telematika.”
Dari paparan tersebut, jelas bahwa Pasal 32 ayat 1 jo pasal 52 UU RI No. 36/1999 tentang
Telekomunikasi, yang menjadi dakwaan subsider adalah keliru, tidak tepat sasaran
dan tidak dapat dikenakan terhadap keduanya.
Bukan hanya masyarakat awam saja yang turut berbicara dalam perkara ini. Beberapa pejabat
terkait juga memberikan pandangannya secara khusus, terhadap perkara ini. Jaksa Agung RI,
Basrief Arief, menyampaikan pendapatnya dalam sebuah kesempatan di Jakarta, 18 Juli silam.
Ia menghimbau kepada Jaksa Penuntut Umum agar perkara Ipad yang menyebabkan dua
terdakwa sempat ditahan, tidak terulang di kemudian hari dan mengingatkan jaksa untuk
mengedepankan hati nurani dalam mengajukan tuntutan dalam perkara iPad ini. Wakil Ketua
DPR, Pramono Anung juga menyatakan bahwa “jerat hukum yang dikenakan kepada Dian dan
Randy sangat berlebihan. Orang yang tidak memiliki akses kekuasaan, dengan mudah bisa dijerat
persoalan hukum.” tuturnya. (dikutip dari berbagai sumber).
Bahkan Pengamat Ekonomi, Faisal Basri secara khusus datang pada persidangan Dian Randy,
untuk menyampaikan pernyataan sikap, sebagai reaksi atas keprihatinannya melihat perkara ini.
Menurutnya, UU Perlindungan Konsumen yang dijerat kepada mereka terlalu berlebihan, karena
semangat UU Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi konsumen dari ulah produsen
yang mempunyai kekuatan besar. "UU ini tujuannya melindungi konsumen karena hubungan
produsen dan konsumen asimetris. Produsen itu perusahan besar. Konsumen itu punya
kedaulatan konsumen. Ini yang harus ditegakkan," tegasnya.
Mantan Ketua Ombudsman RI yang juga mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Khusus (Jampidsus), Antonius Sujata SH MH juga berpendapat serupa. Menurutnya,
perkara ini adalah perkara jadi-jadian, atau popular dengan istilah “kriminalisasi.” Karenanya
jaksa harus mengedepankan hati nurani dalam penanganan kasus ini.
Perkara ini cukup menyita perhatian, dan membuat publik bertanya-tanya, mengapa ketiadaan
buku panduan berbahasa Indonesia, dapat membuat keduanya terancam hukuman maksimal 5
tahun penjara. Berbagai opini mencuat ke permukaan. Salah satu kekhawatiran publik terhadap
perkara ini adalah: “penafsiran negatif suatu perundang-undangan oleh para penegak hukum di
negeri ini”. Jika itu terjadi, maka yang kemudian muncul adalah hilangnya keadilan, yang
seharusnya menjadi hak setiap warga negara, termasuk Dian dan Randy.
Kasus Dian-Randy, hanya merupakan salah satu puncak gunung es dari ribuan perkara sejenis
yang tidak kita ketahui. Ribuan yang lain, bersembunyi atas nama ketakutan terhadap represi
perangkat serta aparat hukum di negeri ini. Dian-Randy beruntung, karena media masa mencium
ketidakberesan dalam kasus mereka, sehingga dengan serta-merta memberitakannya. Bantuan
segera datang untuk mengawal jalannya pemeriksaan persidangan perkara ini secara
berkesinambungan. Tak hanya media, namun juga jaringan teman-teman mereka, bahkan publik
secara luas juga turut memberikan simpati dan empati kepada keduanya dalam berbagai bentuk.
Dian dan Randy, merupakan korban penerapan dan penafsiran hukum yang salah kaprah dan
sembrono oleh oknum aparat penegak hukum. Salah satu tugas dan semangat yang seharusnya
dimiliki oleh penegak hukum adalah: “melakukan penegakan hukum dengan mengedukasi
masyarakat”, bukan malah menjerumuskan seseorang atas tafsiran hukum yang bersifat negatif,
lalu kemudian dituangkan menjadi delik hukum yang menjerat. Bisa kita bayangkan, setinggi apa
potensi bahaya yang ditimbulkannya mengingat peristiwa sejenis dapat menimpa siapa saja,
bukan hanya Dian-Randy tapi juga jutaan masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, masyarakat
perlu kewaspadaan lebih agar tidak tergelincir dan terjerat dalam kekeliruan penerapan hukum.
Ini adalah salah satu dari jutaan potret buram penegakan hukum di Indonesia. Betapa peradilan
sesat menjadi pemenang dalam banyak kasus hukum yang menimpa rakyat biasa. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah: Jika keadilan memang ada, untuk siapa keadilan
tersebut?
Keadilan harus murni dan berdiri tegak, dan kita semua akan memperjuangkan keadilan tersebut
sampai titik darah penghabisan untuk menolak pendzaliman yang semena-mena. Setiap orang di
Republik ini, harus bebas dari rasa takut, bebas untuk berusaha secara benar, bebas untuk
memperoleh keamanan, serta bebas mendapatkan keadilan. Karena kita terlahir sebagai manusia
dengan hak kemerdekaan yang melekat. Tuntutan JPU hari ini, bukan saja menambah daftar
catatan hitam lemahnya keadilan di negeri ini, namun juga kado buruk bagi Ulang Tahun
Kemerdekaan RI ke 66, 17 Agustus besok. Menyitir ucapan Wiji Thukul, “Hanya satu kata,
Lawan!”
Jakarta, 16 Agustus 2011
Download