BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Pertanian Sebagai

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Pertanian Sebagai Pakan Ternak
Limbah tanaman pangan adalah bagian tanaman pangan yang tersedia dan
dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Produksi limbah
tanaman pangan di suatu wilayah dapat diperkirakan berdasarkan luas lahan panen
dari tanaman pangan tersebut (Jayasurya, 2002). Djayanegara dan Sitorus (1983)
menyatakan bahwa sebagian besar limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai
makanan ternak, namun sampai saat ini pemanfaatan limbah pertanian sebagai
pakan ternak belum optimal. Hambatan yang sering dialami adalah kualitas yang
rendah, serat kasar tinggi, kurang disukai ternak, konversinya tidak mudah dan
produksinya berfluktuasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sentuhan
teknologi sangat diperlukan sehingga limbah dapat diubah menjadi pakan bergizi
dan sumber energi bagi ternak (Sarwono dan Arianto, 2006).
Kandungan nutrien dari limbah dan gulma tanaman pangan untuk pakan ternak
seperti batang pisang, eceng gondok, daun apu sangat baik diberikan kepada ternak.
Namun di dalam penyusunan ransum untuk ternak nonruminansia khusunya itik
belum dapat memenuhi kebutuhan yang optimal bagi ternak, dikarenakan limbah
maupun gulma tanaman pangan mempunyai kualitas yang tidak seimbang bahkan
rendah diakibatkan adanya kandungan serat kasar yang tinggi dan senyawa seperti
lignin, silika, kutin, theobromine, tannin, kafein, asam sianida, keratin, dan lainlain. Serta kandungan mineral (terutama Ca, P, Mg, Cu, Zn, Co, Mn, Fe, dab S) dan
vitamin (vitamin A dan E) rendah, dimana kesemuanya merupakan senyawa anti
nutrisi sehingga harus diolah terlebih dahlu sebelum diberikan kepada ternak non
ruminansia (Wijana, 2008)
2.2 Lignoselulosa Sebagai Faktor Pembatas Penggunaan Limbah Dan Gulma
Tanaman Pangan
Pemanfaatan sumber daya asal limbah dalam pengembangan usaha
pertanian terintegrasi baik limbah pertanian sebagai pakan ternak, maupun limbah
peternakan sebagai pupuk organik, biourine, biogas maupun biofestisida
merupakan kunci keberhasilan program usaha pertanian terintegrasi. Pemanfaatan
berbagai jenis limbah akan mengurangi biaya operasional usaha/produksi,
mengurangi resiko terjadinya pencemaran lingkungan (Hegarty, 2001) serta
meningkatkan penghasilan/laba usaha tani.
Namun pemanfaatan limbah baik limbah pertanian sebagai pakan ternak,
maupun limbah peternakan (feses dan urine) sebagai pupuk organik, biourine,
biofestisida maupun biogas sering menghadapi kendala terkait terutama dalam
proses degradasi bahan asal limbah tersebut. Tingginya kandungan serat kasar
terutama senyawa lignoselulosa merupakan faktor pembatas utama pemanfaatan
sumber daya alam asal limbah tersebut sebagai produk yang bermanfaat (Bidura,
2007). Dibawah disajikan kandungan lignoselulosa dari beberapa bahan asal
limbah.
Tabel 2.1 Kandungan senyawa lignoselulosa beberapa sumber daya alam
No Bahan Limbah1
1 Jerami Padi
2 Jerami gandum
3 Tongkol jagung
4 Kulit Kacang Tanah
5 Biji Kapas
6 Baggas Tebu
7 Limbah kertas
8 Rumput-Rumputan
9 Dedaunan
10 Feses Sapi
Sumber: 1)Howard et al., 2003,
Komposisi Lignoselulosa (%)
Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
32,1
24
18
30
50
15
45
35
15
25-30
25-30
30-40
80-95
5-20
0
33,4
30
18,9
60-70
10-20
5-10
25-40
25-50
10-30
15-20
80-85
0
15 - 20
20-25
5-10
Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman (komponen dinding
sel) yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui.
Lignoselulosa terdiri dari polimer selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa
bahan ekstraktif lain yang berikatan secara kompak dan menjadi pembangun
dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M),
dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan
dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama
(S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al., 2002)
Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2µm dan mengandung
jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih
tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder
terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-Dglukopiranosa yang berikatan melalui ikatan ß-1,4 glukosida yang disebut serat
dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan
membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang
berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al. 2002). Lapisan dinding
sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai
mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai
mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan
lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan
hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan
lignin.
Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya
hemiselulosa dan lignin.
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan di
alam hampir tidak pernah dijumpai dalam keadaan murni, tetapi berikatan dengan
senyawa/komponen lain yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk senyawa
lignoselulosa (Howard, 2003). Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa,
hemiselulosa dan pektin. Seiring dengan perkembangan dan umur tanaman, lignin
menjadi bagian dari dinding sel (Perez, 2002). Lignin secara fisik dan kimia
merupakan penyebab utama ketidakmampuan ternak mendegradasi bahan pakan.
Secara kimia, lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk ikatan
kovalen yang kompak dan kuat (Gambar 2.2), sedangkan secara fisik, lignin
bertindak sebagai penghalang proses perombakan dinding sel oleh mikroba rumen.
Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa
merupakan hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa
dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa
yang keras (Gambar 2.3).
Gambar 2.2. Hubungan antara lignin, selulosa dan hemiselulosa pada
senyawa lignoselulosa
Gambar 2.3. Tipe ikatan antara lignin dan polisakarida.
A= Bensil ester, B=Bensil ether, C=Fenil Glikosida
Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia
sangat tergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang
memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada
lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali
lignin yang ada pada bahan pakan limbah tersebut dilarutkan, dihilangkan atau
dikembangkan terlebih dahulu (Perez, 2002).
2.2.1 Selulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah
Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang terdapat pada struktur sel.
Kadar selulosa dan hemiselulosa pada tanaman pakan yang muda mencapai 40%
dari bahan kering. Bila hijauan makin tua proporsi selulosa dan hemiselulosa makin
bertambah (Tillman et al., 1998). Sellulosa merupakan suatu polisakarida yang
mempunyai formula umum seperti pati (C6H1005)n. Sebagain besar sellulosa
terdapat pada dinding sel dan bagian-bagian berkayu dari tumbuhan-tumbuhan.
Selulosa tidak dapat dicerna oleh hewan non-ruminansia kecuali nonruminansia herbivora yang mempunyai mikroba pencerna sellulosa dalam
sekumnya. Hewan ruminansia rnempunyai mikroba pencerna sellulosa didalam
rumenretikulumnya sehingga sellulosa dapat dimanfaatkan dengan baik
(Anggorodi, 1994). Komponen utama dari serat kasar yang merupakan penyusun
dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Church dan
Pond, 1988). Selulosa merupakan substansi yang tidak larut dalam air yang terdapat
di dalam dinding sel tanaman terutama dari bagian batang, tangkai dan semua
bagian yang mengandung kayu. Selulosa merupakan homopolisakarida yang
mempunyai molekul berbentuk linear, tidak bercabang dan tersusun atas 10.000
sampai 15.000 unit glukosa yang dihubungkan dengan ikatan â-1,4 glikosidik
(Nelson dan Michael, 2000). Polisakarida (selulosa maupun hemiselulosa) agar
dapat digunakan sebagai sumber energi harus dirombak terlebih dahulu menjadi
senyawa sederhana. Selulosa sebagai fraksi serat kasar akan didegradasi oleh
bakteri selulolitik selama proses fermentasi menjadi monomernya yang dapat
digunakan sebagai sumber energi. Waktu yang diperlukan mikrobia beradaptasi
dengan substrat memperlihatkan kecenderungan dengan urutan selulosa lebih
rendah dan hemiselulosa (Prayitno, 1997).
Smith dan Aidoo (1988), menyatakan bahwa selulosa terdapat hampir di
semua material berkayu. Kandungan selulosa dalam bahan berkayu ini dapat
mencapai 30-45% bahkan dapat mencapai 70-90% pada kapas. Kandungan selulosa
tersebut bervariasi tergantung dari jenis dan bagian tanaman tersebut. Selulosa dan
hemiselulosa juga merupakan penyusun jaringan tumbuhan yang tersusun dari gula
yang berbeda. Selulosa adalah polimer liner yang tersusun dari D-glukosa yang
diikat oleh β-1,4 glikosida membentuk celobiosa (Sanchez, 2009). Senyawa ini
didegradasi oleh enzim mikroba menjadi oligosakarida kemudian menjadi glukosa.
Pemecahan selulosa merupakan pemecahan polimer anhidrosa menjadi molekulmolekul yang lebih kecil. Melalui hidrolisis tersebut dihasilkan oligosakarida,
trisakarida dan disakarida seperti selotriosa, selobiosa serta monomer-monomer
glukosa atau pemecahan lainnya (alkohol, aldiehid, asam-asam dan keton) dan pada
akhirnya menghasilkan CO2 dan air (Hardjo et al, 1989).
2.2.2 Hemiselulosa sebagai faktor pembatas penggunaan limbah
Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat
molekul rendah. Komposisi hemiselulosa 15-30% dari berat kering bahan
lignoselulosa (Perez et al., 2002). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis
dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa,
xilosa dan arabinosa (Gambar 2.4). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa
membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa
juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan
struktur yang kuat.
Gambar 2.4. Bangun molekul hemiselulosa
Morrison (1986) mendapatkan bahwa hemiselulosa lebih erat terikat dengan
lignin dibandingkan dengan selulosa, sehingga selulosa lebih mudah dicerna
dibandingkan dengan hemiselulosa. Jung (1989) melaporkan bahwa perubahan
kecernaan selulosa dan hemiselulosa diakibatkan oleh keberadaan lignin yang
berubah-ubah. Dikatakan pula bahwa kandungan lignin pada rumput lebih tinggi
dibandingkan dengan legum.
Hemiselulosa rantainya pendek dibandingkan selulosa dan merupakan
polimer campuran dari berbagal senyawa gula, seperti xilosa, arabinosa, dan
galaktosa. Selulosa alami umumnya kuat dan tidak mudah dihidrolisis karena rantai
glukosanya dilapisi oleh hemiselulosa dan di dalam jaringan kayu selulosa
terbenam dalam lignin membentuk bahan yang kita kenal sebagai lignoselulosa.
2.2.3 Lignin sebagai faktor pembatas penggunaan limbah
Lignin adalah salah satu komponen penyusun tanaman yang bersama
dengan sellulosa dan bahan-bahan serat Iainnya membentuk bagian struktural dan
sel tumbuhan. Pada batang tanaman, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat
komponen penyusun Iainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak. Kalau
dianologikan dengan bangunan, lignin dan serat-serat tanaman itu mirip seperti
beton dengan batang-batang besi penguat di dalamnya, yang memegang serat serat
yang berfungsi seperti batang besi, sehingga membentuk struktur yang kuat.
Berbeda dengan sellulosa yang terutama terbentuk dari gugus karbohidrat, lignin
terbentuk dan gugus aromatik yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang
terdiri dari 2-3 karbon. Pada proses pirolisa lignin, dihasilkan senyawa kimia
aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Young, 1986).
Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui
unit-unit penilpropan yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan
yang berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang
kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam
jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang
memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan
patogen. Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga
membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida
dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama
terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk selama
proses lignifikasi jaringan tanaman. Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril
selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin yang
melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil
dan ikatan eter (Gambar 2.6).
Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol
Sinapil Alkohol
Model Kerangka C
Gambar 2.5 Satuan penyusun lignin (Steffen, 2003)
Gambar 2.6. Bangun struktur lignin
Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding
sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding
sekunder. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel tanaman dapat
dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan lignin-
karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus
mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan
hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam
mencegah hidrolisis polimer selulosa. Kadar lignin akan bertambah dengan
bertambahnya umur tanaman. Tanaman pakan mengandung selulosa 20-30%,
hemisellulosa 14-20% dan pektin kurang dari 10% serta lignin 2-12% (Young,
1986).
2.3 Degradasi Senyawa Ligoselulosa
Lignoselulosa merupakan senyawa yang terdiri dari selulosa, hemiselosa
dan lignin. Degradasi lignoselulosa secara sempurna dapat menyediakan nutrien
yang optimal untuk ternak (Perez et al ,2002). Degradasi lignoselulosa terdiri dari
degradasi senyawa selulosa, degradasi senyawa hemiselulosa, degradasi senyawa
lignin.
2.3.1 Degradasi senyawa selulosa
Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer hidroglukosa
menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan oligo, tri atau
disakarida seperti selobiosa, selotriosa, monomer glukosa, CO2 dan H2O. Degradasi
selulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba), fisik maupun
kemis (Tillman, 1987). Sejumlah mikroba mampu menghidrolisis selulosa sampai
taraf tertentu (Mudita et al.,2014).
Selolusa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman, dibangun
oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan 1,4. Ikatan-ikatan ini membentuk
mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang mudah
dihidrolisis disebut bagian amorf selulosa. Selulosa merupakan subtansi yang
utama dalam proses enzimatis Kecepatan degradasi enzimatis juga dipengaruhi
oleh struktur selulosa. Degradasi selulosa berlangsung melalui hidrolisis rantai
polisakarida menjadi molekul sederhana, yang menghasilkan oligosakarida maupun
monomer glukosa atau produk degradasi sepe rti asam - asam organik maupun
alkohol (Fadilah, 2012).
Selulosa alami merupakan kristalin dan mempunyai struktur yang
kompleks. molekul selulosa dibangun dari unit-unit β glukosa. Dua molekul β glukosa dikombinasikan melalui pertalian 1.4 yang menghasilkan β-cellobiose.
Molekul selulosa merupakan polimer linier sederhana dari 1000 -10.000 unit
sellobiose yang berikatan melalui ikatan 1,4-β glukosidik (Nurmayani, 2007)
Aktivitas mikrobia selulolitik dalam mendegradasi selulosa dilakukan
secara ekstraseluler melalui dua sistem, yaitu: 1) Sistem hidrolitik, melalui produksi
enzim hidrolase yang merombak selulosa dan hemiselulosa, dan 2) Sistem oksidatif
dan sekresi lignase ekstraseluler melalui depolimerisasi lignin (Peres et al., 2002).
Lynd et al (2002) dan Beauchemin et al. (2003) disitasi oleh Mudita et al,(2014)
menyebutkan perombakan secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks
enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β -1,4-glikosidik,
rantai selulosa dan derivatnya melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah
menguraikan
polimer
selulosa
secara
random
oleh
enzim
carboxymethilcelulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah
ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin selulosa (ikatan internal α-1,4glukosida) sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (oligodekstrin). Tahap
kedua adalah penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi oleh
eksoglukanase (selodektrinase dan selobiohydrolase) melalui pemotongan ujung-
ujung rantai individu selulosa (ujung pereduksi dan non-pereduksi) sehingga
menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (misal selobiosa). Tahap ketiga
(terakhir) adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim βglukosidase/glukohydrolase..
Reaksi degradasi selulosa menurunkan kadar karbon dan sebaliknya sintesa
komponen-komponen sel akan meningkatkan kadar karbon (Djuarnani, 2004).
Selulosa sebagai senyawa paling banyak di bumi tersusun atas 8 000 - 12 000 unit
glukosa yang dihubungkan oleh ikatan 1,4-β-glukosida. Ikatan l,4-β- glukosida
pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa oleh
selulase (Fikrinda, 2000)
Gambar 2.7 Struktur kimia selulosa (Taylor, 1978)
Gambar 2.8 Mekanisme degradari selulosa oleh enzim selulase
Proses perombakan secara enzimatis terjadi dengan adanya enzim selulase
sebagai agen perombak yang bersi fat spesifik untuk menghidrolisis ikatan 1,4-βglukosidik dan rantai selulosa dan derivatnya. Kompleks enzim selulase umumnya
terdiri dari tiga unit enzim utama yaitu Endo β-(1,4)-glucanase (cx) yang berperan
terutama pada bagian amorf pada rantai selulosa,
membelah selulosa dan
menghasilkan sedikit oligosakarida dengan ujung rantaiyang bebas, Ekso β-(1,4)glucanase (cl) atau cellobiosehydrolase yang ber peran pada pemecahan dibagian
kristal rantai selulosa,membelah sellobiose dari ujung rantai yang tidak tereduksi
dan β-glukosidase merupakan unit enzim yang penting untuk menghasilkan produk
glukosa dari pemecahan selobiosa (Nurmayani, 2007)
2.3.2 Degradasi senyawa hemiselulosa
Degradasi hemiselulosa merupakan hasil dari aktivitas komplek enzim
hemiselulase terdiri dari endo-β-1,4-xylanase, ekso-β-1,4-xylosidase, endoarabinase, α-L-arabinofuranosidase, endo- β-1,4-mananase, dan ekso- β-1,4mannosidase. Komponen utama dari hemiselulosa adalah xilan dan mannan.
Degradasi sempurna dari xilan membutuhkan enzim-enzim yang bekerja secara
sinergis, seperti endo-1,4-β-xilanase, 1,4-β-xilosidase, α-glukuronidase, α-Larabinofuranosidase, asetil, furoloil, p-kumaril-esterase dan asetil-esterase
(Coughlan and Hazlewood, 1993; Olempska-Beer, 2004). Enzim endo-1,4-βxilanase bertugas menghidrolisis ikatan β-1,4 dalam rantai silan menghasilkan
silooligomer pendek yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi unit silosa tunggal
oleh β-silosidase. Enzim α-D-glukorosidase menghidrolisis ikatan α-1,2-glikosidik
dari asam 4-O-metil-D-glukoronik rantai samping silan. Asetil esterase
menghidrolisis substitusi asetil pada silosa dan feruloil esterase yang
menghidrolisis ikatan ester antara substitusi arabinosa dan asam ferulik. Feruloil
esterase dapat melepaskan hemiselulosa dari lignin dan sehingga lebih mudah
didegradasi oleh hemiselulase lain. Sedangkan degradasi sempurna dari mannan
membutuhkan adanya kompleks enzim mananase yang terdiri dari; endo-β-Dmananase, ekso-β-D-mananase, α-D-manosidase, dan D-glukosidase (Howard,
2003). β-D-mananase menghidrolisis bagian tengah rantai manan, galaktomanan
dan glukomanan, sedangkan β-D-glukosidase menghidrolisisi rantai sampingnya.
Aktivitas hidrolisis dari kompleks enzim tergantung pada tipe enzim dan struktur
manan sebagai substrat.
Hemiselulase dihasilkan oleh berbagai mikrobia seperti Trichoderma,
Aspergillus, Bacillus sp, Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus,
Penicillium, Aureobasidium, Fusarium, Chaetomium, Phanerochaete, Rhizomucor,
Humicola, Talaromyces, Clostridium sp, dan lain-lain yang dapat diisolasi dari
berbagai sumber seperti sel tubuh hewan (seperti rayang, keong, siput), rumen,
maupun sampah/limbah organik (Ohara et al., 1998; Chandel et al., 2007). Hasil
penelitian Lee et al. (1985) menunjukkan Clostridium acetobutylicum strain ATCC
824
menghasilkan
xylanase,
xilopiranosidase,
dan
arabinofuranosidase,
sedangkan strain NRRL B527 menghasilkan xilanase terbanyak. Bacillus sp dan B.
pumilus PU 4-2 yang diisolasi dari perut rayap C. formosanus dan usus rayap
Termitidae dapat menghasilkan enzim silanase. Hasil penelitian Purwadaria et al.
(2004) menunjukkan B. pumilus PU 4-2 menghasilkan xilanase dengan aktivitas 3,0
U/ml dengan masa inkubasi optimum 36 jam dan aktivitas spesifik 67,5 U/mg.
Beberapa jenis bakteri rumen, kolon dan caecum ruminansia (F.
succinogenes, B. fibrisolvens, R. Albus) dan fungi rumen mampu menghasilkan
enzim silanase. Akin dan Borneman (1990) menyebutkan jamur rumen mampu
menghasilkan enzim silanase lebih tinggi daripada jamur anaerob lainnya, namun
produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh keberadaan gula, jika terdapat gula
maka produksi silanase akan terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma
reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan β-xylosidase yang mempunyai
ukuran lebih besar namun kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya.
Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocllimastix frontalis
mempunyai aktivitas lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase
dari jamur anaerobik lainnya. Peres et al. (2002) juga mengungkapkan silanase
bakteri pada umumnya lebih stabil pada pengaruh temperatur dari pada jamur.
Enzim silanase termofilik dapat dihasilkan oleh kelompok bakteri Actinomycetes
dan Thermonospora. Enzim silanase Actinobacteria bekerja aktif pada kisaran pH
6,0 – 7,0, sedangkan silanase jamur bekerja optimal pada pH 4,5 – 5,5. Jamur lain
juga mampu menghasilkan silanase. Aspergillus niger yang ditumbuhkan pada
media 50% dedak padi mampu menghasilkan enzim xylanase ekstraseluler
(Riyanto et al., 2000). Penicillium oxalicum juga dapat menghasilkan silanase yang
mampu aktif pada suhu tinggi dan pH basa (Muthezilan et al., 2007).
2.3.3 Degradasi senyawa lignin
Ikatan lignin pada pinsipnya tidak berikatan linear tetapi merupakan
senyawa kompleks. Lignin merupakan senyawa polimer yang sulit didegradasi dan
hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin secara efektif.
Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tidak spesifik karena
lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul tinggi. Degradasi lignin dari
komplek lignoselulolitik merupakan respon dari aktivitas tiga (3) kelompok utama
enzim ekstraseluler yaitu lignin-peroksidase/Li-P, mangan-peroksidase/Mn-P, dan
lakase/Lac (Perez et al., 2002).
Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, Li-P, Ligninase) merupakan enzim
lignolitik pertama yang berhasil ditemukan (Hammel, 1997) yang diisolasi dari
beberapa kapang pelapuk putih (white rot fungus) dari kelas Basidiomycetes,
seperti P. chrysosporium, Phlebia radiata, T. versicolor. Enzim Li-P bertugas
mengkatalisis oksidasi sebuah elektron dari cincin aromatik lignin dan akhirnya
membentuk kation-kation radikal. Senyawa radikal ini secara spontan atau bertahap
melepaskan ikatan antar molekul dan beberapa diantaranya melepaskan inti pada
cincin aromatik (Perez, 2002). Oksidasi substruktur lignin yang dikatalisis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan
menghasilkan radikal kation aril yang kemudian mengalami berbagai reaksi
postenzymatic. Li-P memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin. Pemotongan ikatan
pada Cα-Cβ merupakan jalur utama perombakan lignin (Hammel, 1997).
Disamping itu, Li-P juga merupakan oksidan yang kuat yang mempunyai
kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik, dan senyawa
aromatik polisiklik. Li-P adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung
heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, yang mempunyai potensial redoks
yang sangat besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic, 1993).
Enzim Mangan-Peroksidase/Mn-P (EC. 1.11.1.13, Mn-P) ditemukan tidak
lama setelah ditemukannya Li-P dari Phanerochaete chrysosporium oleh Kuwahara
Tahun 1984 (Suparjo, 2008). Enzim Mn-P merupakan heme peroksidase
ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya (Steffen,
2003). Enzim Mn-P mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ dan H2O2 sebagai katalis
untuk menghasilkan gugus peroksida (Camarero et al., 1994). Mn3+ yang dihasilkan
dapat berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi. Hal ini
didukung pula oleh aktivitas kation radikal dari veratril alkohol dan enzim
penghasil H2O2. Proses ini diakhiri dengan bergabungnya O2 ke dalam struktur
lignin (De Jong et al., 1994). Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi
yang akhirnya melepaskan CO2 (Suparjo, 2008).
Enzim Lakase/Lac berperanan mengoksidasi gugus fenol menjadi kuinon
(Arora dan Sandhu, 1985). Ishihara (1980) menyatakan lakase adalah enzim
pengoksidasi melalui proses demitilasi yang mengubah gugus metoksi menjadi
methanol. Disamping itu terdapat kelompok enzim fenoloksidase (lakase dan
tirosinase) yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi
kuinon dan memberi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan pkresol (Crawford, 1981). Perez et al., 2002 menyatakan laccase mereduksi O2
menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal
bebas. Dengan adanya elektron seperti ABTS (2.2-azinobis/3-ethylbenzthiozoline-
6-sulphonate) atau HBT (Hydroxybenzotriazole), laccase mampu mengoksidasi
senyawa nonfenolik tertentu dan veratryl alkohol. Berat
molekul laccase
basidiomycetes bervariasi antara 50 – 70 kDA (Suparjo, 2008).
Lignin merupakan senyawa aromatik yang sulit didegradasi, hanya sedikit
organisme yang telah diketahui mampu mendegradasi lignin secara baik. Mikrobia
eukariotik seperti jamur di alam merupakan perombak lignin paling efisien dan
berperanan penting dalam siklus karbon. Beberapa mikrobia prokariotik seperti
bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Bakteri dari genus
Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces
memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa aromatik cincin
(aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994).
Disamping itu bakteri berperanan dalam perombakan lebih lanjut senyawa
intermediet hasil degradasi jamur (Ruttiman et al., 1991). Marti ni et al. (2003)
mengungkapkan bakteri dari genus Micrococcus (isolat SPH-9) dan Bacillus (isolat
SPH-10) yang diisolasi dari sampah domestik mampu mendegradasi lignin (lindi
hitam) masing-masing sebesar 75% dan 78%. Prihantini et al. (2011)
mengungkapkan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi lignin dan
organochlorin (lignolitik) jerami padi sampai 100% pada fermentasi hari ke-7.
2.4 Cacing Tanah Sebagai Sumber Inokulan Pendegradasi Lignoselulosa
Cacing Tanah adalah hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai
tulang belakang (invertebrata) dan digolongkan kedalam filum Annelida karena
seluruh tubuhnya tersusun atas beberapa segmen (ruas) yang berbentuk seperti
cincin (Khairuman & Khairul, 2009). Cacing tanah mengandung yaitu lemak,
kalsium, fosfor, serat kasar dan kandungan protein yang ada di tubuhnya sangat
tinggi dan banyak, setidaknya terdiri atas 9 macam asam amino esensial yaitu
arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, methionin, threonin, valin dan
4 macam asam amino nonesensial yang terdiri dari sistin, glisin, serin, tirosin.
Banyaknya asam amino esensial yang terkandung memberikan indikasi bahwa
cacing
tanah
juga mengandung berbagai jenis enzim yang sangat berguna
(Palungkun, 2010).
Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan
pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia
spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik
yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al.
(2013) juga melaporkan bahwa saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus
violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp., Alcaligans faecalis, Bacillus
sp., B. brevis, B.cereus, B lalerosporus, B. lichenoform, Corynebacterium sp., E.
cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F, aquartile, Kiebsiella sp.,
Micrococcus inteus, M. varians, Proteus rennvi, P. vulgaris, dan Pseudomonas sp.
Peranan inokulan dalam upaya menurunkan kandungan serat kasar dan
senyawa anti nutrisi pada bahan pakan penyususn ransum komplit, pemanfaatan
teknologi biofermentasi merupakan salah satu strategi yang dapat dilakukan
(Suharto,2004). Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat
sebagai hasil mikroorganisme dengan menghasilkan produk tertentu. Selama proses
fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma dan perubahan kompisisi zat
makanan seperti protein, lemak, serat kasar, karbohidrat, vitamin dan mineral
(Bidura, 2007). Terjadinya fermentasi tergantung pada jenis substrat, mikroba yang
bekerja dalam proses fermentasi dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang bersangkutan. Mikroba yang
berperan dalam proses fermentasi umumnya dari kapang, khamir dan bakteri
(Wardani, 2014).
Pemanfaatan cacing tanah dalam produksi inokulan telah menunjukkan
bahwa penggunaan 0,1–0,4% cacing tanah (Lubricus rubellus) mampu
menghasilkan inokulan dengan kandungan nutrien dan populasi mikroba yang
cukup tinggi (Putra, 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioinokulan yang
diproduksi dengan memanfaatkan cacing tanah dengan level 1-4% mampu
menghasilkan bioinokulan dengan kandungan Fosfor/P, Kalsium/Ca, Zinc/Zn,
Belerang/S, dan Protein terlarut yang berbeda tidak nyata (P>0,05) yaitu masingmasing sebesar 132,21 – 151,29 mg/l, 1155,83 – 1281 mg/l, 7,29 – 7,76 mg/l,
227,33 – 236,00 mg/l, 4,03 – 4,39% dan 0,77 – 0,84% (Tabel 2.2)
Tabel 2.2 Kandungan nutrien bioinokulan konsorsium mikroba cacing tanah
Bioinokulan1
Kandungan Nutrien Bioinokulan
Ca
Zn
S
P
mg/l
2
132,21a
149,95ab
151,29b
132,47ab
BC 4
3
4,60
SEM
Sumber : Putra, 2015
BC 1
BC 2
BC 3
mg/l
mg/l
mg/l
Protein
terlarut
%
1275,00a
1281,25a
1242,50a
1155,83a
96,97
7,29a
7,51a
7,76a
7,57a
0,22
227,33a
232,67a
232,67a
236,00a
6,30
4,03a
4,34a
4,39a
4,17a
0,14
Keterangan: Hasil analisis Lab. Analitik UNUD
1) Perlakuan yang diberikan
BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l
BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l
BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l
BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l
2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)
3) SEM = Standard Error of The Treatment Means
Dihasilkannya kandungan mineral seperti Ca, P, S dan Zn yang tinggi serta
protein terlarut yang juga tinggi dari keempat bioinokulan (Tabel 2.2), selain
disebabkan oleh bahan penyusun medium juga merupakan sumbangan dari mikroba
inokulan. Hal ini mengingat sel tubuh mikroba tersusun atas berbagai protein/asam
amino terutama asam amino mengandung sulfur (metionin, sistein dan sistin) serta
berbagai mineral pembangun tubuh (Ca, P, dan S) serta mineral fungsional seperti
Zn sehingga kandungan nutrien bioinokulan menjadi tinggi.
Tabel 2.3 Populasi mikroba dan derajat keasaman bioinokulan konsorsium
mikroba cacing tanah
POPULASI MIKROBA
PERLAKUAN /
JENIS
BIOINOKULAN
Total
bakteri
Bakteri
Bakteri
Bakteri
Selulolitik Amilolitik Proteolitik
Total
Fungi
pH
x109sel/ml
x108sel/ml
x108sel/ml
x108sel/ml
x104sel/ml
BC 1
7,77a
1,18a
6,60a
4,03a
2,92a
3,81a
BC 2
8,85a
1,35a
6,87a
4,67a
2,99a
3,64a
BC 3
8,88a
1,73a
7,37a
4,83a
3,23a
3,53a
BC 4
9,40a
1,76a
6,73a
4,97a
3,52a
3,64a
SEM
0,66
0,17
0,92
1,29
0,61
00,09
Sumber : Putra, 2015
Keterangan: Hasil analisis Lab. Nutrisi dan Makanan ternak Fakultas Peternakan
UNUD
1) Perlakuan yang diberikan (Jenis Bioinokulan yang diproduksi)
BC1 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,1 mg/l
BC2 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,2 mg/l
BC3 =Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,3 mg/l
BC4 = Bioinokulan yang diproduksi dengan level cacing tangan 0,4 mg/l
2) Hurup yang sama pada kolom sama, berbeda tidak nyata (P>0,05)
3) SEM = Standard Error of The Treatment Means
Pemanfaatan cacing tanah sebagai sumber konsorsium mikroba mampu
menghasilkan bioinokulan dengan populasi mikroba baik bakteri maupun fungi
yang cukup tinggi dan dengan derajat keasaman yang cukup rendah (Tabel 2.3).
Penggunaan cacing tanah sebanyak 0,1–0,4% (10 – 40 ml larutan cacing tanah 10%
dalam 1 liter bioinokulan) mampu menghasilkan bioinokulan dengan kandungan
total bakteri 7,77 – 9,40 x 109 koloni/ml, bakteri selulolitik 1,18 – 1,76 x 108
koloni/ml, bakteri amilolitik 6,60 – 7,37 x 108 koloni/ml, bakteri proteolitik 4,03 –
4,97 x 108 koloni/ml dan total fungi 2,92 – 3,52 x 108 koloni/ml serta dengan derajat
keasaman (pH) 3,53 – 3,81 (Tabel 2.3).
Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa semakin tinggi populasi
mikroba akan meningkatkan kemampuan degradasi lignoselulosa dari inokulan
bersangkutan (Mudita et al., “Unpublished”;). Mudita et al. (2012) menunjukkan
bahwa inokulan yang diproduksi dari 2% cairan rumen dan 0,2% rayap dengan
populasi bakteri selulolitik tertinggi yaitu 6,33 – 8,00 x 109 kol/ml mempunyai
kemampuan degradasi substrat kaya selulosa yang lebih tinggi dibandingkan
dengan inokulan yang mempunyai populasi mikroba yang lebih rendah.
Tabel 2.4 Pengaruh perlakuan terhadap populasi bakteri bioinokulan
Populasi Bakteri (...x 109 koloni/ml)1
Perlakuan2
Total Bakteri
Bakteri Selulolitik
Bakteri Silanolitik
(x 109 koloni/ml)
(x 109 koloni/ml)
(x 109 koloni/ml)
11,96a
6,33a
4,87a
BR1E1
13,27bc
6,65a
6,01a
BR2E1
12,94ab
6,43a
5,56a
BR1E2
14,01bc
7,00a
6,39a
BR2E2
13,70bc
7,03a
6,59a
BR1E3
14,23c
8,00a
6,91a
BR2E3
4
0,34
0,75
0,53
SEM
Sumber : Mudita et al. (2012)
Keterangan:
1) Hasil Analisis Lab. Biofarmaka Fakultas Farmasi Unhas
2) Perlakuan yang diberikan, yaitu:
BR1E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,1% rayap
BR2E1 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,1% rayap
BR1E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,2% rayap
BR2E2 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,2% rayap
BR1E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 10% cairan rumen dan 0,3% rayap
BR2E3 yaitu bioinokulan yang diproduksi dari 20% cairan rumen dan 0,3% rayap
3) Notasi berbeda pada kolom sama menunjukkan nilai berbeda nyata (P<0,05)
4) SEM = Standard Error of the Treatment Mean.
Download