Nama : Ika Mustikawati Tanggal Praktikum : 28 Maret 2016 NIM : 1506358 Judul Praktikum : Pemeriksaan mikroorganisme pada makanan kaleng normal Tanggal Laporan : 6 April 2016 dan rusak VI. PEMBAHASAN Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai (Rahmawati, 2009, hlm. 53). Dalam proses pengalengan biasanya dilakukan penambahan medium. Di Indonesia dikenal tiga macam medium pengalengan, yaitu larutan garam brine, minyak atau minyak yang ditambah dengan cabai dan bumbu lainnya, serta saus tomat. Penambahan medium bertujuan untuk memberikan penampilan dan rasa yang spesifik pada produk akhir, sebagai media pengantar panas sehingga memperpendek waktu. proses mendapatkan derajat keasaman yang lebih tinggi, dan mengurangi terjadinya karat pada bagian dalam kaleng (Nurhasni, 2012). Pada dasarnya produk makanan kaleng itu sudah dinyatakan aman namun bukan mustahil jika kemungkinan masih terjadi kontaminasi bakteri. Mutu makanan atau minuman kaleng tergantung pada kesegaran bahan mentah, cara pengalengan, peralatan dan kecakapan serta pengetahuan pelaksanapelaksana teknis, sanitasi dan higienisnya pabrik dan lingkungan. Kesegaran bahan mentah sangat penting dalam industri makanan (wulandari dkk., 2009). Daging dan ikan yang memiliki kandungan nutrisi seperti protein dan lemak yang tinggi memungkinkan mudahnya bakteri untuk tumbuh. Maka dari itu banyak produk daging dan ikan yang dikalengkan contohnya saja seperti bahan yang kami amati yaitu ikan sarden dan kornet yang terbuat dari daging sapi. Selain itu juga proses pengalengan bukan hanya dipakai dalam makanan tetapi minuman juga banyak yang dikalengkan seperti bahan yang kami amati yaitu produk sari buah yeos. Buahbuahan yang memiliki pH rendah memang lebih aman karena kebanyakan bakteri hidup di pH netral. Selain karena mikroorganisme semua produk dapat mengalami pembusukan jika dibiarkan di udara terbuka karena terjdinya reaksi kimia yang terkandung dalam bahan dengan oksigen disekitarnya. Enzim yang terkandung dalam bahan pangan juga dapat mempengaruhi perubahan sensori seperti aroma, warna, tekstur dsb. Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain, baubauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer. Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga terhadap cahaya (Nurhasni, 2012). Maka dari itu pengalengan adalah solusi terbaik untuk mengawetkan makanan. Pengalengan dengan cara hermetis dapat menjadikan makanan atau minuman tahan maksimal selama 2 tahun, dapat dilihat dari kemasan tanggal pembuatan hingga tanggal kadaluarsanya berjarak 2 tahun. Namun seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya proses pengalengan itu tidak sepenuhnya sempurna. Adapun ciri-ciri rusaknya makanan kaleng menurut Winarno dalam (Nurhasni, 2012) adalah : a) Proses pembuatan tidak benar. b) Kebocoran wadah karena penutupan kurang baik, atau karena bahan baku dibiarkan terlalu lama kontak dengan udara pada waktu persiapan. c) Kebusukkan tidak selalu dapat dideteksi dari penampakan wadah, sebab itu tak pasti terjadi perubahan bentuk. d) Keadaan terlipatnya sambungan-sambungan kaleng. e) Kontaminasi bakteriologis air pencuci atau air pendingin. f) Peralatan pengalengan bekerja kurang baik. Kerusakan pada kaleng ini dapat dilihat dari kenampakan luar kaleng. Jika kaleng mengembung mungkin bisa disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan CO2 dan H2. Kaleng yang penyok juga merupakan tanda bahwa produk makan kaleng itu rusak karena kaleng yang penyok bisa terjadi benturan, jatuh atau tertindih. Kondisi ini dapat menyebabkan kaleng bocor dan udara dapat masuk maka akan sangat mungkin terjadinya kontaminasi (Nurhasni, 2012). Cara pengalengan, peralatan dan kecakapan serta pengetahuan pelaksanapelaksana teknis, sanitasi dan higienisnya pabrik juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi mutu makanan atau minuman kaleng (wulandari dkk., 2009). Cara pengalengan yang baik pada proses pengalengan dapat menghasilkan produk pengalengan yang baik pula. Misalnya dengan menutup kaleng serapat mungkin sehingga tidak akan terdapat kebocoran, lalu proses pengalengan ini pun harus dilakukan dengan hati-hati dan aseptis. Peralatan yang digunakan, sanitasi dan lingkungan pabrik juga harus sehigienis mungkin karena mungkin saja dapat terjadi kontaminasi dari peralatan, air, atau udara di sekitar pabrik yang tercemar. Menurut Depkes RI dalam (Tahaku, 2012) menyatakan bahwa hygiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci pring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan. Maka diusahakan perusahaan pabrik itu terlebih dahulu mengutamakan kebersihan. Menjadi pelaksana teknis merupakan hal wajib untuk mengetahui proses pengalengan yang baik itu seperti apa, kecakapan dan pengetahuannya di bidang ini harus luas dan mumpuni. Dengan adanya pelaksanapelaksana teknis yang dapat diandalkan maka proses pengalengan ini akan berjalan lebih baik lagi. Dalam praktikum kali ini kami mencoba mengamati apakah masih terdapat bakteri dalam produk makanan atau minuman yang dikalengkan. Dapat dilihat berdasarkan hasil pengamatan ternyata benar saja setelah diinkubasi selama 2 hari di setiap media yang ditambahkan sampel masih ada koloni bakteri yang hidup. Sampel sarden kaleng normal dan rusak yang diamati oleh kelompok 1b dan 2b yang diinkubasi di suhu 30oC dan 50oC ternyata jumlah koloninya berbeda. Pada suhu 50oC koloni bakteri yang terdapat di media lebih sedikit dibandingkan dengan yang di suhu 30oC. Demikian juga kelompk 3b dan 4b yang meneliti sampel kornet yang diinkubasi pada suhu yang berbeda pula, ternyata bakteri yang tumbuh jumlahnya pun berbeda. Pada suhu 50oC dalam sampel kornet sama sekali tidak terdapat bakteri. Sedangkan di suhu 30oC bakteri yang tumbuh yang menggunakan sampel kornet kaleng normal lebih banyak dibandingkan dengan kornet kaleng yang rusak. Sama dengan kelompok 5b yang mengamati sampel sari buah yeo’s yang diinkubasi pada suhu 30oC jumlah koloni bakteri dikaleng normal lebih banyak dibanding dengan kaleng yang rusak. Berbeda dengan kelompok 6b yang juga mengamati sari buah yeo’s yang diinkubasi di suhu 50oC pada kaleng normal tidak terdapat bakteri yang tumbuh dan pada kaleng rusak terdapat 4 bakteri. Faktor yang mempengaruhi jumlah koloni bakteri tersebut diantaranya adalah : 1. Suhu Suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan suatu spesies bakteri. Bakteri dapat digolongkan menjadi 3 kelompok berdasarkan suhu yaitu psikrofilik, mesofilik, dan termofilik. Sebagian besar bakteri adalah mesofilik dengan suhu optimal untuk berbagai bentuk yang hidup bebas sebesar 30oC. Suhu selain berpengaruh pada laju pertumbuhan juga dapat membunuh mikroorganisme jika terlalu ekstrim. E. coli dapat tumbuh pada range temperatur 7°C-50°C dengan suhu optimum untuk pertumbuhannnya adalah 37°C (Tahaku, 2012). Seperti pada hasil pengamatan kebanyakan pada suhu 50oC bakteri yang ada lebih sedikit atau bahkan tidak ada. Jika memang sama sekali tidak terdapat bakteri pada produk makanan kaleng itu dikarenakan tidak ada bakteri yang tahan dalam suhu yang terlalu ekstrim. 2. Ketersediaan Oksigen Pertumbuhan bakteri juga dipengaruhi oleh gas-gas utama salah satunya adalah oksigen. Berdasarkan kebutuhan terhadap oksigen, bakteri dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu aerobik (bakteri memerlukan oksigen), anaerobik (bakteri tidak memerlukan oksigen), anaerob fakultatif (bakteri dapat tumbuh pada keadaan aerob dan anaerob), dan anaerob obligat (bakteri dapat tumbuh dengan baik pada keadaan sedikit oksigen) (Tahaku, 2012). Pada makanan kaleng oksigen mungkin tidak ada karena proses pengalengan menggunakan prinsip exhausting (penghampaan udara). Jadi kemungkinan bakteri yang mungin hanya bisa tumbuh adalah bakteri anaerob dan fakultatif anaerob. Jadi jenis bakteri yang hidup akan lebih sedikit dan tentunya seperti hasil pengamatan bakteri yang diamati pada praktikum kali ini jumlahnya lebih sedikit. 3. Lingkungan Lingkungan sekitar yang terkandung udara dan merupakan sumber utama kontaminasi dapat mempengaruhi makanan atau minuman yang ada di sekitarnya. Karena mikroorganisme itu tidak dapat dilihat bukan berarti lingkungan itu terhindar dari mikroba, bakteri itu terdapat dimana saja dan bisa menyebar melalui apa saja misalnya udara, manusia, benda dsb. Jika kaleng makanan atau minuman sudah dibuka bakteri dapat secara langsung menyerang. Bukan hanya bakteri yang menjadi sumber kontaminasi ternyata ada hal lain yang dapat mengkontaminasi makananan. Menurut Depkes dalam (Tahaku, 2012) menyebutkan bahwa produk makanan ataupun minuman setidaknya harus menggunakan alat pelindung diri seperti celemek dan tutup kepala hal ini untuk menghindari kontaminasi terhadap makanan dan minuman, sebab rambut, kulit dan bagian-bagian tubuh lainnya menjadi sumber pencemaran dari tubuh manusia. Maka diharapkan juga bagi para praktikan untuk bekerja secara aseptis, agar mendapatkan hasil pengamatan yang sesuai harapan. Kelompok 4 yang meneliti sampel kornet yang diinkubasi pada suhu 50oC yang kemudian dari hasil pengamatan mereka sama sekali tidak ada bakteri yang hidup/tumbuh, ternyata bukan hanya suhu yang dapat menyebabkan itu terjadi melainkan kondisi lingkungan yang terhindar dari bakteri. Kelompok 4 pengamatannya dilakukan di laminar air flow yang mana dengan alat ini ditiupkan udara steril yang terbebas dari debu, kuman, bakteri dan berbagai macam mikroorganisme lainnya. Dalam laminar air flow ini juga terdapat sinar UV untuk tetap menjaga kebersihan ruang kerja yang dapat dinyalakan saat sebelum laminar air flow ini digunakan. 4. Pengenceran Perhitungan koloni bakteri dapat dihitung menggunakan metode standar plate count, cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 30-300 (Nurhasni, 2012). Kelompok 5 yang menggunakan sampel sari buah yeo’s yang diinkubasi pada suhu 30oC ketika diamati langsung jumlah koloni bakteri dikaleng normal lebih banyak daripada kaleng yang rusak. Pada kaleng yang normal jumlah bakterinya adalah 76 dan pada kaleng rusak ada 109, maka dapat dihitung dengan metode SPC. Jika dihitung melalui metode standar plate count bakteri yang normal akan lebih sedikit karena tidak dikalikan dengan faktor pengenceran seperti pada kaleng rusak. Pada saat praktikumnya sampel kaleng normal diambil langsung tanpa proses pengenceran. Ada beberapa bakteri anaerob yang mungkin dapat hidup di produk makanan yang dikalengkan misalnya bacillus perfringens, staphylococcus aerus, dan clostridium botulinum. Bahaya utama pada makanan kaleng adalah tumbuhnya bakteri clostridium botulinum yang dapat menyebabkan keracunan. Tanda-tandanya berupa: tenggorakan menjadi kaku, mata berkunang-kunang, kejang-kejang dan bisa menyebabkan kematian. Bakteri tersebut dapat menghasilkan racun botulin dan membentuk spora yang tahan panas. Pemanasan selama 4 menit pada suhu 120oC atau 10 menit pada suhu 115oC sudah cukup untuk membunuh semua strain C. botulinum (A-C). Karena sifatnya yang tahan panas, jika proses pengalengan dilakukan secara tidak benar, bakteri tersebut dapat aktif kembali selama penyimpanan. Maka dari bahan mentah menjadi produk olahan harus melalui proses pengolahan yang baik dan benar serta tetap selalu jaga kebersihan (Nurhasni, 2012). Makanan itu akan aman jika tidak melebihi batas maksimum cemaran mikroba. VII. KESIMPULAN 1) Makanan atau minuman yang dikalengkan lebih aman dari bakteri namun bukan tidak mungkin jika masih saja terdapat bakteri didalam makanan atau minuman kaleng tersebut. Jenis mikroba yang mungkin ada pada makanan kaleng adalah bakteri anaerob misalnya bacillus perfringens, staphylococcus aerus, dan clostridium botulinum yang dapat hidup tanpa oksigen. Bakteri clostridium botulinum adalah jenis bakteri yang sangat berbahaya yang dapat menghasilkan racun botulin dan jika termakan manusia akan kercunan. 2) Bisa juga bakteri yang dapat dihitung di cawan bukan hanya bakteri yang memang asalnya dari makanan kaleng itu mungkin saja bakteri lain masuk ketika kaleng dibuka atau terjadi kontaminasi saat praktikum. Asalkan jumlah bakteri yang terdapat pada makanan atau minuman itu tidak melebihi batas maksimum cemaran mikroba maka pangan tersebut layak untuk dikonsumsi. 3) Produk makanan kaleng yang rusak dapat ditandai dengan mengembungnya kaleng atau penampakan luar kaleng yang sudah jelek/penyok. DAFTAR PUSTAKA Nurhasni. (2012). Uji Cemaran Bakteri pada produk ikan kaleng (Sardines) dalam kemasan yang berbeda di supermarket Kota Gorontalo. Gorontalo: UNG Press. Rahmawati, F. (2009). Pengawetan Makanan dan Permasalahannya. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Tahaku, N. (2012). Hygiene Sanitasi Pengolahan dan Uji Keberadaan Bakteri Escherichia coli Pada Es Buah Yang Dijajakan Dipasar Jajan Kota Gorontalo. (Skripsi). Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan. Universitas Negeri Gorontalo. Wulandari, D. dkk. (2009). Kualitas Mutu Bahan Mentah Dan Produk Akhir Pada Unit Pengalengan Ikan Sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan, 2 (1), hlm. 41-49.