KAJIAN PENYAKIT BUSUK CABANG LADA SEPTOBASIDIUM DI KALIMANTAN BARAT Iman Suswanto & Tris Haris Ramadhan Staf Pengajar di Fakultas Pertanian Untan-Pontianak [email protected] 1. PENDAHULUAN Di Indonesia, lada (Piper nigrum L.) sudah diekspor ke Eropa sejak abad ke 12. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, 2/3 dari total keuntungan perdagangan disumbang dari lada. Lada dikenal sabagai raja rempah-rempah (“king of spices”) yaitu kelompok komoditas rempah yang paling banyak diperdagangkan. Di pasar internasional lada Indonesia terkenal dengan sebutan Lampung Black Pepper (lada hitam) dan Muntok White Pepper (lada putih). Kedua jenis lada ini digunakan sebagai standar perdagangan lada dunia. Sampai saat ini, lada masih menduduki peranan penting dalam perekonomian nasional. Lada menjadi tumpuan ekonomi tidak kurang dari 312.619 kepala keluarga masyarakat petani. Sentra lada tersebar di beberapa daerah selain Lampung dan Bangka juga ditemui di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, serta Sulawesi Selatan dan SulawesTenggara. Sumbangan devisa komoditas perkebunan ini menempati urutan keempat setelah minyak sawit, karet, dan kopi. Sebagai gambaran pada tahun 2004, ekspor Indonesia sebanyak 45.760 ton menghasilkan devisa sebesar US$ 49.566 juta (International Pepper Community, 2005). Sejak tahun 2004, survai penyakit lada di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Sambas dijumpai penyakit baru yang sangat destruktif. Penyakit menyebabkan sebagian besar pertanaman mati (puso) ditandai dengan matinya cabangcabang produktif dan hanya meninggalkan batang utama. Masyarakat setempat menyebut “penyakit ganggang pirang” karena tanaman sakit diselimuti miselium jamur berwarna kecoklatan. Saat ini penyakit telah dilaporkan dari beberapa kabupaten seperti Bengkayang, Sanggau, dan Sintang (Disbun Kalimantan Barat , 2008). Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan gejala, tanda penyakit, dan hubungan parasitisme patogen-inang pada lada _________________ Seminar Hasil Pemantauan Daerah Sebar OPT/OPTK Balai Karantina Kelas 1 Pontianak, Kubu Raya, 6 Oktober 2011 1 2. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian berupa: 1) Respons ketahanan tanaman pada fase tumbuh berbeda. Penelitian dilakukan di daerah endemis penyakit busuk cabang di Desa Galing, Sijang dan Trigadu, Kabupaten Sambas. Masing-masing desa dipilih 3 kebun lada dengan menentukan kelompok tanaman lada yang terdiri atas a) tanaman belum menghasilkan (kurang dari 1 tahun), b) masa primordia atau mulai berbuah (umur 3 tahun), dan c) tanaman sudah berproduksi (umur 5 tahun atau lebih). Petak pengamatan dipilih sebanyak 15 tanaman untuk pengamatan intensitas penyakit dan tempat terjadinya infeksi. Pengukuran intensitas penyakit dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: nilai 0 = tanaman sehat; 1 = 1-10% bagian permukaan tanaman terserang patogen; 3 = 11-30% bagian permukaan tanaman terserang patogen; 5 = 31-50% bagian permukaan tanaman terserang patogen; 7 = 51-75% permukaan tanaman terserang patogen; dan 9 = lebih dari 76 % terserang patogen. 2) Kegiatan deskripsi gejala dan hubungan parasitisme dilakukan pengamatan di lapangan dan pengamatan mikroskopis morfologi isolat Septobasidium sp. dan gejala serta tanda penyakit yang diperoleh di lapangan. Identifikasi yang dilakukan di lapangan maupun hasil isolasi pada media PDA dengan mengamati sifat-sita makroskopik dan mikroskopik isolat meliputi warna koloni, bentuk hifa, modifikasi hifa serta sporanya. Identifikasi didasarkan pada karakterisasi jamur yang dikemukakan oleh Gomez & Kisimova-Horovitz (2001), Henk (2005), Couch (1930), dan Lu & Guo (2009). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Respons ketahanan tanaman pada fase tumbuh berbeda Hasil pengamatan penyakit pada tanaman lada seperti yang tercantum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penyakit dapat dijumpai sejak pembibitan sampai tanaman produktif, baik yang ditanam menggunakan tanjar tanaman hidup (naungan) maupun pada tanjar kayu (tanpa naungan). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit dapat menginfeksi tanaman muda sampai dewasa. Meskipun demikian, gejala yang lebih parah cenderung terjadi pada tanaman yang lebih tua. Hal yang sama juga terjadi pada pertanaman lada yang mati, cenderung lebih banyak pada tanaman yang sudah menghasilkan dibandingkan dengan tanaman belum menghasilkan. Umumnya tanaman 2 yang menderita puso terjadi pada pertanaman lada yang umurnya lebih dari 5 tahun. Dalam kasus tertentu seperti yang lerlihat pada Tabel 3, tanaman lada pada stadia primordia atau baru mulai berproduksi dapat menunjukkan keparahan yang tinggi mencapai lebih dari 80%. Hal ini terjadi karena pertanaman berdekatan dengan sumber inokulum. Berdasarkan pengamatan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa intensitas penyakit pada tanaman tua lebih tinggi dari tanaman muda. Hal ini terjadi karena patogen terus berkembang dan menyebar dari satu cabang ke cabang lainnya, sehingga sebagian besar permukaan tanaman tertutup oleh miselium jamur. Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa sejak infeksi sampai menyebabkan kematian lada memerlukan waktu kurang lebih 5 tahun. Hal ini berarti kematian tanaman akibat penyakit ini jarang terjadi pada tanaman yang belum menghasilkan. Oleh karena itu, perlindungan tanaman muda dapat menunda terjadinya kematian tanaman. Menurut Couch (1930) dan Gomez & Kisimova-Horovitz (2001), dari semua spesimen Septobasidium sp. yang telah diuji baik yang berasal dari iklim sedang/temperit maupun tropika bersifat tahunan dan spesiman mampu bertahan bukan hanya semusim, melainkan bertahun-tahun dan jamur akan mati bersama dengan inangnya. Tabel 1. Keparahan penyakit busuk cabang pada beberapa stadia pertumbuhan dan pemberian naungan pada pertanaman lada di Kabupaten Sambas Stadia Pertumbuhan Tanaman muda (kurang dari 1 tahun) Fase Produksi Awal (± umur 3 tahun) Intensitas Penyakit (%) Naungan Tanpa naungan 0 0 0,12 0 81,57* 44,28 3,85 91,70* 43,25 4,65 Tanaman Produktif (± umur 5 tahun) 13,15 28,67 49,33 51,55 76,24 57,48 Keterangan: * Tanaman hasil peremajaan pada kebun yang terserang parah Uraian di muka dapat digunakan sebagai penjelasan mekanisme kematian tanaman akibat infeksi patogen busuk cabang. Septobasidum sp. yang hidup pada lada bersifat parasit fakultatif yaitu jamur bertahan dalam kurun waktu lama sebagai saprofit 3 dan hanya dalam kondisi tertentu bersifat parasitik. Kematian tanaman yang diawali dengan gejala die back yaitu rontoknya cabang muda secara bertahap diduga disebabkan oleh terkurasnya energi tanaman sebagai respons ketahanan dari serangan patogen. 2. Gejala dan Hubungan Parasitisme Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala tanaman sakit berupa mati dan runtuhnya percabangan secara bertahap. Bagian ruas lada (node) terdapat rekahan-rekahan akibat pertumbuhan sekunder, diduga menjadi jalan masuknya patogen. Pada tanaman sakit dengan mudah dapat dijumpai tanda penyakit berupa lapisan miselium yang menyelimuti bagian batang, cabang, daun maupun buah lada. Tempat terjadinya infeksi lebih sering terjadi pada ruas batang utama yang menghasilkan akar samping (sulur panjat) dibandingkan dengan batang tanpa akar samping. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya eksudat akar yang merangsang perkecambahan basidiospora dan sumber energi bagi pertumbuhan jamur. Terjadinya infeksi pada bagian ruas batang juga dapat disebabkan oleh proses infeksi Septobasidium sp. yang hanya dapat terjadi melalui luka alami. Menurut Semangun (2008), menyatakan bahwa S. bogoriense yang dijumpai pada cabang dan ranting teh dikenal dengan jamur dadap kelabu, tidak memarasit tanaman, tetapi memarasit kutu perisai. Pengamatan isplat jamur menunjukkan bahwa jamur bersifat patogen karena mampu memparasit tumbuhan. Miselium jamur yang membungkus cabang tanaman dengan mudah dapat dipisahkan sehingga diperoleh jalinan miselium utuh dan cabang lada. Hal ini berarti miselium jamur tidak membentuk stroma (gabungan sel tanaman dan miselium jamur sebagai tempat penghasil spora). Perlekatan miselium jamur pada cabang lada dilakukan dengan cara membungkus. Hal ini berbeda dengan kebanyakan patogen tumbuhan misalnya Marasmius scandens penyebab penyakit sarang laba-laba pada lada, miselium jamur sama-sama menempel pada cabang lada, tetapi miselium melekat erat pada cabang sehingga sukar dipisahkan dengan jaringan tanaman karena jamur membentuk haustorium yang masuk ke dalam jaringan tanaman. Kematian jaringan (busuk) dibalik jalinan miselium Septobasidum sp. diduga disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh patogen. Dengan demikian Septobasidum sp. merupakan patogen nekrotof yaitu kelompok patogen yang memperoleh nutrisi setelah mematikan sel tanaman inang. Patogen mengabsorpsi nutrisi menggunakan haustorium 4 seperti yang terlihat pada Gambar 3d. Menurut Couch (1930), jamur tumbuh dan menyelimuti hampir sebagian besar permukaan tanaman. Pengamatan irisan jaringan terinfeksi dengan mikrotom tidak pernah dijumpai adanya penetrasi jamur ke dalam jaringan tanaman, bahkan pada jaringan yang paling luar sekalipun. Lebih lanjut dikatakan pengerokan bagian tanaman yang diselimuti miselium jamur, akan kembali memperlihatkan warna normal kembali setelah 4 minggu. Hasil pengamatan morfologi isolat patogen yang ditumbuhkan pada PDA menunjukkan ciri-ciri miselium bersekat warna hyalin-kecoklatan, modifikasi miselium berupa haustorium berbentuk gelendong, jamur membentuk probasidium bulat-oval dan basidium dengan basidiospora yang dapat bertunas meski masih menempel pada basidium. Berdasarkan pengamatan morfologi isolat jamur maka dapat disimpulkan patogen adalah Septobasidium sp. Jamur termasuk dalam famili Septobasidiaceae. yang memiliki ciri basidium bersekat melintang dan probasidium berdinding tebal sehingga jamur ini memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi lingkungan ekstrim (Gomez & Kisimova-Horovitz, 2001 dan Lu & Guo, 2009). Lebih lanjut Couch (1930), genus Septobasidium merupakan kelompok jamur yang hidupnya bersimbiosis dengan kutu sisik (scale insect, Coccoidea). Jamur memiliki hubungan yang kompleks, dapat bersifat parasit dengan individu serangga atau bersifat mutualistik dari perspektif populasi serangga. Genus ini beranggotakan lebih dari 175 spesies. Spesies dari genus ini dapat diketahui berdasarkan variasi morfologi haustorium, jumlah dan bentuk basidium, ada tidaknya probasidium, ada tidaknya jaringan hifa pilar, jumlah lapisan miselium dalam koloni dan warna koloni. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Penyakit dapat menginfeksi sejak pertanaman di pembibitan sampai tanaman berproduksi. Infeksi dapat terjadi di semua bagian baik di batang, cabang, ranting, daun maupun buah. 2. Penyakit busuk cabang merupakan penyakit penting karena penyebaran yang sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian tanaman. 5 3. Penularan penyakit menggunakan basidiospora yang mempunyai ciri-ciri infeksi melalui luka alami yang terdapat pada ruas, iklim mikro yang paling ideal berada di cabang sekunder, dan penularan tidak berkorelasi dengan serangga Coccoidea. 4. Patogen dikenal dengan Septobasidium sp. memiliki ciri hifa bersekat, warna kecoklatan, dijumpai modifikasi hifa berupa probasidium, basidium menghasilkan basidiospora silindris, dan haustorium berbentuk gelendong. b. Saran Perlu kajian lebih lanjut mengenai kemampuan bertahan, kemampuan sporulasi dan kisaran inang untuk tujuan pengendalian penyakit busuk cabang. DAFTAR PUSTAKA Couch, J.F., 1930. The Biological Relationship between Septobasidium retiforme (B.& C.) Pat. and Aspidiotus osborni New. and Ckll. Paper presented at the International Botanical Congress, Cambridge, England, August 19, 1930 Dinas Perkebunan Kalimantan Barat (Disbun Kalimantan Barat), 2008. Pembangunan Perkebunan di Kalimatan Barat. Disampaikan Dalam Work Shop Ketahanan Pangan HKTI, 24 Mei 2008 di Pontianak. Gomez, L. & L. Kisimova-Horovitz., 2001. A new species of septobasidium from CostaRica AcademiaNacionlad e ciencias.U nited States Henk, D.A., 2005. New Species of Septobasidium from Southern Costa Rica and the Southeastern United States. Depertement of Biology. Duke University. Durham, North Corolina. International Paper Community, 2005. Indonesian Country Paper for the 35th Pepper Exporters Meeting. Yogyakarta, 27 September 2004. Lu, C. & L. Gou, 2009. Two new specieso f Septobasidium (Septobasidiaceae) from China. Institut of Micobiology, Chinese Academy of Sciences Beijing, China. Semangun, H., 2008. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indoneisa 2nd Eds.. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 835 p. 6 7