I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman rempah yang penting di Indonesia. Pada tahun 2000 Ekspor lada secara nasional menempati urutan ke-enam setelah tanaman karet, kelapa sawit, kopi, kakao dan kelapa, dengan total produksi mencapai 69.087 ton atau senilai dengan US$ 221 juta. Daerah persebaran tanaman lada di Indonesia tersebar di 25 propinsi, namun daerah yang merupakan sentra produksi lada adalah di Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur (Setiyono, 2003). Pada tanaman lada faktor utama yang menjadi penyebab penurunan produksi adalah adanya serangan jamur P. capsici Leon. yang mengakibatkan penyakit Busuk Pangkal Batang Lada (BPBL). Kerusakan yang disebabkan oleh penyakit ini dapat menurunkan produktivitas antara 25 – 50% per tahun atau setara dengan 40 milyar rupiah per tahun, penyakit busuk pangkal batang bahkan dapat menyebabkan tanaman mati (Balittro, 1997 dalam Setiyono, 2003). P. capsici menyerang tiga bagian utama tanaman lada, yaitu akar, pangkal batang, dan daun (Anonim, 2003; Stivers, 2006; & Uchida, 2006). Beberapa teknik pengendalian 2 penyakit BPBL telah direkomendasikan, diantaranya adalah penanaman varietas tahan, perbaikan drainase, pemberian mulsa, dan penggunaan fungisida sintetis (Semangun, 2000). Namun sampai saat ini pengendalian dengan berbagai teknik tersebut belum mencapai hasil yang memuaskan dan penyakit masih terus berkembang dalam taraf yang mengkhawatirkan. Pengendalian penyakit dengan pemberdayaan agensia hayati dan penggunaan fungisida nabati semakin mendapat tempat dalam upaya mengendalikan penyakit tanaman karena beberapa pertimbangan ekonomis dan ekologis yang dimilikinya. Penggunaan fungisida nabati diyakini lebih ramah terhadap lingkungan karena sifatnya yang mudah terurai, tidak meninggalkan residu zat kimia berbahaya, dan bahan bakunya yang relatif mudah dan murah untuk didapatkan, serta teknik aplikasinya yang tidak rumit untuk dipahami dan dilaksanakan oleh petani secara umum. Penggunaan agensia hayati dalam mengendalikan penyakit tanaman juga dinilai memiliki prospek yang cerah. Jamur Trichoderma spp. telah dikenal luas sebagai jamur saprofit tanah yang dapat menjadi musuh alami beberapa jenis patogen tanaman. Mekanisme antagonis Trichoderma spp. dapat berupa persaingan ruang hidup, parasitisme, antibiosis dan lisis (Trianto & Sumantri, 2003). Di Indonesia telah dikenal beragam spesies Trichoderma spp., antara lain T. piluliferum, T. polysporum, T. hamatum, T. koningii, T. aureoviride, T. harzianum, T. longibrachiatum. T. psudokoningii, dan T. viride (Rifai, 1969) dalam Mayasari (2008). 3 Belum berhasilnya upaya pengendalian penyakit yang dilakukan selama ini diduga karena pengendalian-pengendalian tersebut tidak dilakukan secara terpadu (Thurston, 1992; & Campbell, 1989). Meskipun penelitian mengenai pengendalian penyakit tanaman telah banyak dilakukan, kebanyakan penelitian tersebut masih bersifat parsial. Penelitian ini bermaksud untuk mengkombinasikan agensia hayati (Trichoderma spp.) dengan fungisida nabati. Kedua teknik pengendalian ini bila dikombinasikan dengan benar akan menimbulkan efek pengendalian yang sinergis (Desai, 2002). Kombinasi T. harzianum strain tahan fungisida nabati serbuk daun cengkeh dengan serbuk daun cengkeh diketahui memiliki kemampuan untuk mengendalikan penyakit BPBL secara nyata (Destiana, 2008). Oleh karena itu perlu dilakukan pembuatan formulasi kedua bahan aktif tersebut dalam satu kemasan yang masih dapat mempertahankan efektifitas keduanya. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengkaji formulasi dan masa simpan T. harzianum dalam menghambat jamur patogen P. capsici Leon. penyebab penyakit busuk pangkal batang lada secara in vitro. C. Kerangka Pemikiran Penyakit BPBL adalah penyakit tular tanah yang berbahaya dan telah diketahui sulit untuk dikendalikan (Erwin, 1983). Beragam teknik pengendalian yang telah dilakukan seperti penggunaan varietas tahan, pemberian mulsa, hingga 4 penggunaan metalaksil belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Bahkan sampai saat ini belum ditemukan satupun varietas lada yang tahan terhadap penyakit BPBL (Sitepu & Prayitno, 1979; Asnawi & Hasanah, 1997; Lestari et al., 2000). Pemberian mulsa yang telah banyak dilakukan pada dasarnya merupakan tindakan parsial untuk mencegah terjadinya kontak antara inokulum P. capsici dengan perakaran atau pangkal batang tanaman lada. Penggunaan fungisida kimia sintetik seperti metalaksil juga bukanlah jalan keluar yang bijak untuk mengendalikan penyakit mengingat besarnya biaya aplikasi yang diperlukan, selain itu juga telah banyak laporan yang menyebutkan bahwa metalaksil mendorong terbentuknya ras tahan patogen (Erwin, 1983). Selain itu penggunaan fungisida kimia untuk pengendalian penyakit BPBL dapat menimbulkan dampak negatif bagi petani pengguna, lingkungan, dan organisme bukan sasaran (Thurston, 1992; Campbell, 1989) yang justru mungkin berperan sebagai agensia hayati. Hal – hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab belum berhasilnya tindakan pengendalian yang dilakukan. Mengingat hal tersebut tampaknya pengendalian penyakit BPBL harus dilakukan dengan tindakan pengendalian yang bersifat terpadu. Pengendalian dengan menggunakan fungisida kimia sintetik tidak lagi menjadi pilihan dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya. Pengendalian terpadu ini harus lebih ditekankan pada penggunaan bahan-bahan alami, beberapa diantaranya adalah agensia hayati (Trichoderma spp.) dan fungisida nabati. 5 Beberapa tanaman yang ada di Indonesia telah diketahui memiliki kemampuan untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan jamur P. capsici penyebab penyakit BPBL. Ginting et al. (1999), melaporkan bahwa jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma longa), kencur (Kaemferia galanga), cabai jawa (Piper retrofractum), cengkeh (Eugenia aromatica), serei (Cymbopogon citratus), brotowali (Tinospora crispa), dan temu hitam (Curcuma aeroginosa) secara efektif menekan diameter koloni P. capsici secara in vitro. Manohara et al. (2005), juga telah melaporkan bahwa tepung daun cengkeh (E. aromatica) dapat menekan pertumbuhan P. capsici secara in vitro. Hasil yang senada juga diperoleh oleh Tombe et al. (1994), ketika tepung tersebut diujikan di lapang terhadap Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Demikian pula dengan T. harzianum yang merupakan salah satu agensia hayati dan memiliki kemampuan antagonisme yang dapat mengendalikan beragam patogen tular tanah tanaman, termasuk di dalamnya adalah jamur P. capsici penyebab penyakit Busuk Pangkal Batang Lada (BPBL) (Malajezuk, 1983). T. harzianum dapat menyebabkan Phytophthora menjadi steril dan tidak memiliki organ seksual (Brasier, 1971). T. harzianum yang dikombinasikan dengan serbuk daun cengkeh secara nyata dapat menekan pertumbuhan patogen P. capsici secara in vitro (Mayasari, 2008). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Emilda dan Istianto (2008), yang menyatakan bahwa Trichoderma yang diberi perlakuan minyak atsiri daun 6 cengkeh tidak mengalami penghambatan pertumbuhan dan masih memiliki kemampuan antagonisme yang dapat mengendalikan patogen tumbuhan. Sebelum digunakan, T. harzianum agensia hayati yang dikombinasikan dengan serbuk daun cengkeh dalam bentuk formulasi akan mengalami masa penyimpanan. Dalam masa penyimpanan tersebut, perlu diketahui pengaruh metode penyimpanan yang digunakan terhadap viabilitas dan aktivitas antagonistik T. harzianum dalam menghambat jamur patogen P. capsici agar aplikasi yang dilakukan efektif dan efisien. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian mengenai pengkajian formulasi dan masa simpan T. harzianum terhadap populasi dan aktivitas antagonistiknya dalam menghambat jamur patogen P. capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang lada. D. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah formulasi & masa simpan akan berpengaruh terhadap populasi dan aktivitas antagonistik T. harzianum dalam menghambat P. capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang lada secara in vitro.