Tanggung Jawab Politik GPIB Dalam Perspektif Teologi Politik

advertisement
B A B II
TEOLOGI POLITIK:
LANDASAN TEORI
Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hampir
dengan sendirinya orang berasumsi bahwa agama dan negara itu satu. Dalam dokrin
Islam dikenal yang disebut din wa dawla, yaitu bahwa Islam bukan sekedar agama
melainkan juga negara. Pemahaman ini begitu melekat dalam diri orang Indonesia,
sehingga orang menjadi heran apabila ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya
konsep negara Islam tidak terdapat dalam Al Qur‟an.
Yewangoe1 sebagaimana mengutip Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam
mengemukakan bahwa sistem negara Islam baru terjadi di era para khafila, yaitu para
pengganti nabi Muhamad. Dalam sejarah lahirnya UUD 1945 partai Islam mencoba
untuk mencantumkan syariat sebagai dasar Negara, tetapi hal tersebut mendapat
tantangan dari masyarakat di Indonesia bagian timur.
Ucapan Bung Karno di dalam pidato lahirnya pancasila, mengatakan bahwa
Indonesia hendaknya menjadi Negara yang ber-Tuhan.2 Masing-masing agama
mengamalkan ajarannya untuk dapat menciptakan hidup rukun dan sejahtera serta
memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sehingga kemerdekaan yang dicapai dapat
berarti dan bermakna bagi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu
berkaitan dengan inti pembahasan tesis ini, penulis akan memberikan penjelasan teoritik
menyangkut 3 [tiga] pokok bahasan, yaitu:
1
Andreas A. Yewangoe Teologi Politik, (Makasar: Yayasan Oase Intim, 2013),125.
Panitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Sekretariat Negara republik Indonesia 1998), 101 .
2
10
[a]. Hubungan Gereja dan Negara, [b]. Teologi politik dan faktor-faktor pendukung. [c].
Peranan dan Fungsi Gereja di Indonesia.
1. Hubungan Gereja dan Negara
Di kalangan gereja-gereja lebih santer dikemukakan pendapat bahwa relasi agama
(gereja) dan negara mestinya dipisahkan (de scheding van kerk en staat). Artinya
urusan-urusan agama sebaiknya diselesaikan oleh agama itu sendiri tanpa campur
tangan negara. Tetapi dilain pihak perlu dipahami bahwa pluralisme agama-agama di
Indonesia menyebabkan negara harus ikut berperan dalam menciptakan hidup rukun
antar pemeluk agama. Agama mayoritas tidak boleh menekan yang minoritas tetapi
sebaliknya mereka saling mendukung dalam mencapai kesejahteraan bersama. Di
sinilah akan diuji sampai sejauh mana kenetralan negara dalam menyelesaikan
persoalan agama dalam suatu negara demokasi seperti Indonesia.
Dalam pandangan Wogaman gereja mula-mula menunjukan sikap yang ambivalen
terhadap pemerintahan. Disatu pihak pemerintah dianggap berasal dari Allah (jika ia
melakukan kebaikan), dan dipihak lain pemerintah dianggap sebagai iblis (jika
melakukan ketidakbenaran/jahat).3
Terhadap masalah ini Wogaman mencoba
menawarkan beberapa pikiran dasar yang merupakan “theological entry points” untuk
membangun etika politik Kristen. Pertama, Allah merupakan pemerintahan tertinggi, di
mana kekuatan dan kekuasaan yang paling tinggi hanya pada Allah, maka dalam
konteks kemanusiaan dan kekuasaan/kekuatan dunia tidak ada yang disebut dengan
kekuasan/kekuasaan absolute. Sebab bagi Wogaman dalam kehidupan ini kita perlu
memiliki kekuasaan tertinggi namun semua kekuasaan itu harus tunduk pada satu
pemerintahan, yaitu pemerintahan Allah (Roma 13). Kedua, Transendensi Allah.
3
J Philip Wogaman, Christian Prespectives on Politics, (Louisville John Knox Press 2000), 36.
11
Maksud pokok ini adalah bahwa dengan keberadaan Allah yang transenden itu,
maka setinggi apapun manusia itu berkuasa ia tetap tidak sama dengan Allah. Ketiga,
keterbatasan manusia. Sama dengan halnya Alkitab, dari sudut pandang antropologi
juga memperlihatkan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Hidup
manusia sama singkat di dunia ini, kepandaian manusiapun sangat terbatas bahkan
kekuasaan yang diraihpun akan lenyap. Dalam keterbatasan seperti itu, seharusnya
manusia mempunyai kesadaran akan keterbatasannya untuk tidak saling menghakimi
dan menjahtuhkan satu sama lain dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan untuk
memperoleh kekuasaan. Keempat, dokrin tentang penciptaan alam semesta dan manusia
menjadi sangat melekat di hati orang Yahudi agar bersikap takut, tunduk dan taat pada
Allah. Dalam teologi Yahudi, pemerintah haruslah dilihat dari konteks perjanjian antara
Yehweh dan umat-Nya di mana Ia sendiri menjadi Allah mereka dan mereka menjadi
umat-Nya. Kelima, dokrin tentang dosa, salib dan anugerah.
Dokrin tentang dosa mula-mula telah menempatkan manusia di dalam
ketidakberdayaan. Dalam konteks ini Thomas Bobbes mempertanyakan apakah ada
kemungkinan manusia mencapai kemajuan melalui proses politis untuk mencapai
kekuasaan. Apakah tidak berbahaya bila manusia dalam kondisi kejahatannya diberi
kekusaan apalagi kekuasaan absolute bila ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya.
Keenam, eskatologi dan ekklesiologi. Dokrin eskatologi dalam prespektif Kristen
merujuk pada keyakinan akan berakhirnya sejarah yang dalam istilah teologis disebut
sebagai penggenapan, di mana semua kekuasaan manusia akan berakhir oleh kekuasaan
yang tertinggi yaitu kekuasaan Allah. Namun orang-orang Kristen masih berada di
tengah dunia dan selaku gereja di tengah dunia, dirinya melakukan perjumpaan dengan
segala konsekuensi-konsekuensi politis yang mengitarinya. Namun justru disinilah letak
12
panggilan orang Kristen selaku komunitas iman bersama dengan saudara-saudaranya
yang lain (yang tidak seiman) tetap melaksanakan panggilan politisnya tanpa harus
menarik diri hanya karena semata-mata ia orang beriman.4
Hubungan gereja dan pemerintah (politik) bagi Wogaman memiliki beberapa
model antara lain:

Model Teokrasi

Model Erasionisme

“Pemisahan” secara Damai

Pemisahan yang tidak bersahabat yang mengakibatkan Permusuhan
1.1. Model Teokrasi
Pada model teokrasi menurut Wogaman, Negara berada di bawah kekuasaan
pemimpin-pemimpin atau lembaga-lembaga agama guna kepentingan keagamaan
contohnya dapat kita lihat sebagian besar pada masyarakat primitife, dalam masyarakat
Ibrani zaman dahulu dan pada wilayah-wilayah muslim pada masa yang berbeda
(contohnya Iran). Bentuk ini dapat juga ditemukan dalam bentuk katolisisme modern
seperti dibebarapa kota zaman Vatikan II5.
Ia selanjutnya menjelaskan bahwa teokrasi telah merupakan komitmen orang atas
usaha yang tidak biasa terhadap pandangan politik tertentu. Jika salah satu pandangan
agama
benar,
maka
mengapa
tidak
memasukkan
kekuasaan
negara
untuk
mendukungnya? Sedikit para teolog yang berpikir bahwa mungkin dengan cara
demikian mengusahakan orang lain untuk beriman. Tetapi kekuasaan negara sedikitnya
dapat menghambat kompetensi dan menciptakan kondisi nyata yang lebih menolong.
Inilah yang terjadi di Eropa post-constantinian, di mana kekristenan berubah dari status
4
5
J. Philip Wogaman ...., 163-177.
Ibid., 250.
13
minoritas menjadi suatu dominasi kebudayaan yang mendukung kekaisaran Romawi.
Kekuasaan Negara tak pasti menjamin penyebaran suatu agama, tetapi siapa yang dapat
membantah bahwa hal tersebut dapat sangat memfasilitasi penyebaran agama?
Hanya sedikit orang pada masa itu yang menyarankan keutuhan teokrasi dari
penyatuan gereja dan negara, tetapi aspek-aspek tertentu dan model teokrasi sangat
mendukung. Di Amerika Serikat berbagai usaha dilakukan oleh para penginjil yang
cemburu, menginginkan negara secara konstitusional menandatangani pengesahan
“Negara Kristen” dan memperkenalkan kembali pengenalan agama-agama di sekolahsekolah publik.
Tetapi hal ini merupakan suatu bahaya yang harus diambil oleh orang Kristen ini
merupakan suatu cara mencapai ilusi. Beberapa ilusi tersebut bersifat praktis dan politis.
Mereka yang berusaha mengontrol negara bagi tujuan agama, kadang pada akhirnya
menemukan bahwa pada akhirnya gerejalah yang digunakan untuk kepentingan politik.
Terdapat juga masalah praktis tentang bagaimana membedakan antara kebaikan
dan ketidak-baikan iman dalam suatu masyarakat di mana badan-badan keagamaan
berkuasa. Kekuasaan memiliki penghargaan atas dirinya bagaimana gereja dapat
mengatakan perbedaan antara mereka yang mengakui iman sebagai wujud ketaatan
yang murni pada agama dengan mereka yang hanya mencari penghargaan. Sebuah
negara teokrasi dapat saja berilusi bahwa apa yang mereka lakukan akan di dukung oleh
publik, tetapi dapat saja pada kenyataannya tidak demikian.
Teokrasi hadir dalam penempatan bahwa kebenaran dapat dikenal baik untuk
membuat sesuatu perbedaan utama antara mereka yang dalam kebenaran dan mereka
yang tidak. Mereka yang dalam kebenaran diizinkan untuk memerintah, sementara
mereka yang tidak secara hukum tidak bisa memerintah. Ilusi yang terjadi di sini tidak
14
hanya bahwa mereka yang tampaknya dalam kebenaran dapat saja merupakan oportunis
yang mengambil keutungan dari hak istimewa mereka untuk dapat memerintah.
Konsep akan Tuhan lebih terbuka semacam itu merupakan suatu kekuasaan yang
mendukung demokrasi, dan dapat juga menjadi alasan terkuat menolak teokrasi, karena
teokrasi telah menentukan siapa orang yang dapat dipakaioleh Tuhan dan siapa yang
tidak dapat di pakai oleh Tuhan.6
1.2. Model Erastianisme
Menurut Wogaman, untuk mengindentifikasi teokrasi secara tepat sangatlah
sukar, ini dikarenakan apa yang dianggap bahwa pemimpin agama mengontrol negara
bagi kepentingan agama, pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, pemimpin
politik mengontrol agama bagi kepentingan negara. Agama sangat dieksploitasi bagi
kepentingan-kepentingan politik, yakni digunakan untuk mengusahakan persatuan
dalam suatu komunitas masyarakat, memberi kekuasaan bagi negara, memberi suatu
sanksi atas kebijakan politik lainnya. Sebagian besar kaisar Romawi yang
memerintahkan adanya penyembahan atas diri mereka ini tidak sebanding dengan apa
yang mereka dapatkan dari jabatan mereka. Penolakan orang Kristen untuk menyembah
Kaisar telah dilihat sebagai suatu ketidak-taatan terhadap kekuasaan, dan bukan sebagai
suatu ketegasan atas kekuatan-kekuatan keagaman.
Perlu di pahami bahwa Erastianisme adalah agama yang digunakan bagi
kepentingan negara (setelah abad enam belas Erastus Thomas asal Swiss). Pendekatan
Erastian terhadap negara berusaha untukm mengotrol gereja telah diikuti oleh para
politikus dalam tujuan agama. Hal ini terbukti dalam negara yang dikontrol baik legal
maupun institusional Penyembahan Shinto di Jepang adalah lebih bersifat Erastian
6
Ibid., 253-254.
15
dibanding Teokrasi, dan dapat dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat Budha di
Asia Tenggara.7
Menurut Wogaman, tujuan politik zaman itu diabsolutkan penguasaan lembagalembaga agama oleh negara semuanya demi kepentingan politik, sampai penolakan
formal akan Tuhan yang transenden. Menurutnya, agama sipil dapat konsisten dalam
pemahaman akan Tuhan yang transenden-sebagaimana yang dikatakan oleh Abraham
Lincoln, dimana negara dipahami berada di bawah pengadilan Tuhan. Juga Robert
Bellah mengatakan, mengusahakan suatu agama sipil yang lebih baik bukanlah suatu
erastian. Walaupun kita menaruh perhatian bahwa terdapat suatu sumber dari legitimasi
transenden agama bagi negara demokrasi.8
Menurutnya juga, bahwa memahami negara berada di bawah pengawasan Tuhan
dan bukanlah manipulator dari lembaga keagamaan guna suatu tujuan temporere yang
murni: simbolisasi semacam itu dapat lebih dari penyembahan atas negara sebagai
kebaikan tertinggi, atau dapat saja menjadi, seperti Amerika, penyembahan kepada
realitas yang lebih tinggi yang mengatasi standar-standar yang berusaha dibangun oleh
republik. Ketika negara itu sendiri diperlakukan sebagai kebaikan tertinggi maka
integritas dan lembaga keagamaan itu secara fatal ditanyakan. Mereka tidak lagi
dianggap serius, di atas landasan iman yang mereka bangun. Mereka hanya menjadi
penting bagi kepentingan politis mereka.
Beberapa tingkatan Erastianisme pada kenyataan dapat dihindari, bagi gerejagereja yang ada dalam masyarakat dan pada tingkatan tertentu diperintah oleh negara.
Kenyataan tersebut berarti bahwa integritas gereja harus selalu menjadi usaha dalam
7
8
Ibid., 250.
Ibid., 255.
16
perjuangan-perjuangan teologis. Tetapi erastianisme yang sempurna, dimana negara
mengontrol gereja secara penuh, pada prinsipnya merupakan suatu pengidolaan.9
1.3. Pemisahan secara Damai
Pada model ini, Wogaman mengemukakan bahwa di beberapa negara, lembagalembaga agama
dan politik secara hukum terpisah, tetapi tanpa kebencian atau
permusuhan. Bentuk inilah yang secara esensial terjadi di Amerika Serikat. Dengan
mengabaikan panggilan untuk suatu hubungan yang lebih erat, prinsip akan tidak
dibangunnya agama dalam lembaga-lembaga negara di AS dipahami bukan sebagai
suatu yang negatif, tetapi tidak adanya keterlibatan agama dalam negara dapat dilihat
sebagai suatu usaha yang positif bagi integritas dan kemandirian badan-badan
keagamaan.10
Versi yang bersahabat dari gereja dan negara ditemukan di beberapa negara Barat
yang demokrstis. Ini merupakan bagian penting dari hukum dan tradisi di AS, di mana
kunci institusional yang dihasilkan dalam amandemen Pertama adalah “Kongres tidak
membuat hukum apapun menyangkut keberadaan agama, atau melarang kebebasan
beragama,” pernyataan ini yang merupakan landasan dan tradisi Amerika” pemisahan
agama dan negara”, yang kadang diterjemahkan dengan cara yang berbeda.11
Interpretasi Thomas Jefferson (yang dikutip Wogaman) akan pernyataan ini dapat
ditemukan dalam surat terkenal kepada Asosiasi Babtis Danburry.
Sama seperti yang anda yakin bahwa agama hanya merupakan suatu
permasalahan tentang manusia dan tuhannya, yang mana ia tidak bertanggungjawab terhadap orang lain atas keyakinan dan ibadahnya, demikian juga
kekuasaan legislatif dari pemerintah dapat melakukan tindakan dan bukan
pendapat. Mengacu kepada penyataan masyarakat Amerika sebelumnya yang
menyatakan bahwa legislatif harus “tidak membuat aturan apapun menyangkut
9
Ibid., 255-256.
Ibid.
11
Ibid., 256.
10
17
keberadaan agama atau melarang bebebasan beragama”, karenanya hal itu
membangun suatu dinding pemisahan antara gereja dan negara.12
Beberapa pemimpin agama dan teolog tidak senang disebut “religius”. Teolog
Karl Barth dan Hendrik Kraemer, membedakan antara “iman Kristen” dan “agama”,
bagi mereka agama merupakan usaha manusia untuk mengenal Tuhan, sedangkan iman
merupakan respon manusia akan pemberian iman yang dihasilkan dari usaha Tuhan
menjangkau manusia lewat Yesus Kristus. Bagaimanapun bagi Barth dan Kraemer
menginginkan mereka mengatakan iman mereka sebagai orang Kristen berada di bawah
perlindungan
Amandemen
pertama.
Tetapi
negara
harus
berhati-hati
untuk
mendefenisikan agama dalam cara untuk menciptakan peluang bagi mereka yang
menyebut diri mereka religius akan mendapatkan keuntungan dari hak istimewa dari
agama.13
1.4. Pemisahan Yang Tidak Bersahabat
Dalam dua abad terakhir ini, sering dikembangkannya pemisahan yang tidak
bersahabat antara gereja dan negara. Sebagian besar negara-negara Marxisme
(contohnya Perancis) melembagakan suatu kebencian atau prasangka terhadap lembagalembaga agama.
Pada kenyataan di sebagian besar negara-negara seperti itu, lembaga-lembaga
agama, penginjil-penginjil dan lainnya disediakan beberapa pendanaan publik yang juga
disertai pula dengan kontrol publik. Tetapi sikap yang jelas dalam negara-negara
semacam ini adalah agama di toleransi hingga masyarakat menjadi dewasa menuju
suatu pandangan yang ilmiah. Pada akhir abad, 19 kelompok-kelompok agama masih
menemui kesulitan untuk menembus negara-negara Marxis.
12
13
Ibid.
Ibid., 258.
18
Mengenai beberapa tradisi nasional adalah penting untuk mengingat bahwa
praktek yang sebenarnya dapat sangat berbeda dengan teori konstitusional. Lebih jauh
lagi, apa yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan sejarah tradisinya yang unik-unik
bisa saja tidak berlaku di negara lainnya dan bahkan di situasi yang sangat berbeda,
orang kristen dapat terus mengingat bahwa martir itu telah menjadi benih bagi gereja.
Akhirnya pemisahan yang tidak bersahabat adalah berlawanan dengan apa yang
diharapkan oleh orang Kristen atas Civil society. Tingkat yang bagaimana negara harus
mendukung lembaga dan praktek-praktek agama dapat diperdebatkan. Tetapi secara
teologis dan berdasarkan prinsip demokrasi sebaiknya tidak harus ditentang.14
Mengenai hubungan gereja dan negara, Robert N. Bellah dan Phillip E, Hammond
mengemukakan bahwa hampir seluruh rentang sejarah Barat, terjadi ketegangan antara
gereja dan negara yang sangat dalam. Dalam banyak peristiwa sejarah, negara
mendominasi gereja dan mengekploitasinya, dan suatu waktu, negara dapat dikuasai
oleh gereja, bahkan menggunakannya bagi kepentingan dirinya dan menduniawikan
loyalitas spiritualitasnya ke dalam suatu bentuk nasionalisme keagamaan.15 Menurut
mereka “hingga saat ini belum ada pemecahan yang pernah menghilangkan keteganganketegangan mendasar. Kecenderungan yang telah terjadi bagi setiap pemecahan
persoalan ketegangan itu adalah memposisikan agama sebagai pelayan negara atau
negara sebagai pelayan agama”16. Sebagai reaksi atas permasalahan tersebut, kemudian
muncullah gagasan tentang pemisahan gereja dan negara disertai dengan Undang-
14
Ibid., 251-252.
Robert N. Bellah dan Philip E, Hammond, Varieties of Civil Religion, penerjemah, Imam
Khoiri, dkk, (Jogja: IRGiSoD), 26-28.
16
Ibid.
15
19
undang yang melarang suatu pembentukan agama melindungi kebebasan menjalankan
(ajaran) agama. Hal tersebut dilanjutkan dengan ide tentang kebebasan beragama.
Kekebasan agama akhirnya hanya menjadi sebuah hak untuk menyembah Tuhan apapun
yang disukai atau tidak sama sekali. Dengan implikasi bahwa agama adalah sematamata urusan pribadi yang tidak berkaitan atau tidak ada hubungannya dengan
masyarakat politik (political society)17.
Di Perancis awal hingga sekarang, liberalisme mencapai salah satu tujuannya,
yaitu pemisahan total gereja dan negara, yang berarti gereja sangat bebas dari tekanan
politik. Sebenarnya hubungan seperti ini mau menggambarkan adanya kecenderungan
orang untuk memisahkan gereja sama sekali dari negara dan memisahkan negara sama
sekali dari agama/gereja sehingga tidak ada lagi saling mempengaruhi dan kerjasama
antara gereja dan negara. Meskipun demikian, kebebasan mereka untuk melakukan
kegiatan sangat terbatas karena keuangan mereka sangat tergantung pada dukungan
perorangan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Jerman, hubungan gereja
dan negara di Jerman sangat dekat sehingga gereja-gereja diperbolehkan menarik pajak
gereja yang dibayar oleh semua anggota. Pajak itu mulai dikumpulkan melalui struktur
administrasi negara, meskipun gereja-gereja harus membayar biaya andministrasi.
Bahkan gereja-gereja diberi dukungan keaungan oleh negara untuk menunjang
pelayanan gereja di bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.18
17
Ibid., 29-30.
Wolfgang Schmidt, Agama Negara dan Bangsa: Suatu Perdebatan Baru Beberapa
Permasalahan dalam Perdebatan Eropa, dalam Soegeng Hardiyanto et al (dewan Redaksi), Agama dalam
Dialog Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Punjung tulis 60 Tahun Prof Dr Olaf Schumann
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 330-331.
18
20
2. Teologia Politik Dan Faktor-Faktor Pendukung19
Istilah “teologi politik” digunakan secara luas sejak 1960-an dan merupakan
salah satu usaha yang dilakukan oleh para teolog Katolik dan Protestan untuk mengatasi
krisis kebudayaan dengan dasar-dasar Kekristenan dalam terang abad XX. Setelah
Perang Dunia I, teologi mencapai semacam ekuilibrium, dimana ada tiga tokoh teolog
Protestan seperti K.Barth (1968); R.Bultmann (1976) dan P.Tillich (1965) mengembang
sayap-sayap refleksi teologis hingga mencapai ketinggian sekaligus kedalaman yang
menakjubkan. Sementara itu orang-orang Katolik masih mengembangkan rona
skolastisisme yang digaungkan kembali oleh Leo XIII (1879), yang menyeru agar
diadakan pembaruan teologi-filosofis Thomisme.20
Dapat jadi, orang yang mendengar untuk pertama kalinya istilah “teologi politik”
merasa bingung dengan arti dan maknanya. Kebingungan ini bukan karena istilah
“teologi politik” memberikan sebuah fenomena yang tidak familier, melainkan karena
terminologi itu mengesankan berupaya
menggabungkan 2 (dua) hal yang tidak
kompatibel, bagaikan air dan minyak.
Dikalangan para teolog, teologi politik yang dicetuskan oleh Johann Babtist
Metz
21
sering dikualifikasikan dengan ungkapan Teologi Politik Baru. Kualifikasi ini
dibutuhkan, sebab memang sudah ada teologi politik lama sejak zaman Yunani Kuno.
Pada Stoa kita telah menemukan pembagian teologi ke dalam tiga kelompok: teologi
mitis, teologi naturalis, dan teologi politik. Di dalam era Romawi kuno teologi politik
dipakai sebagai legitimasi kekuasaan negara. Teologi politik adalah teologi publik yang
mendasarkan kekuasaan absolut dan infalibel negara. Pandangan tentang legitimasi
19
John B. Cobb,Jr, Process Theology as Political Theology, (Philadelphia: Manchester
University, 1982), 8-25.
20
A.Eddy Kristiyanto, Teologi Politik, (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa 2003), 1-2.
21
Dikutip oleh Paulus Budi Kleden, dalam buku yang berjudul Teologi Terlibat, 67.
21
teologis atas politik negara masih diwakili oleh filsuf seperti Thomas Hobbes, yang
berangkat dari anggapan bahwa manusia dari alamnya memiliki kecenderungan untuk
menghancurkan orang lain, sebab itu dibutuhkan dominasi negara yang mesti
dilegitimasikan secara teologis demi terciptanya sebuah kondisi yang baik di dalam
kehidupan bersama.
Kleden mengutip pendapat Metz dengan menyebut teologia politik adalah
keseluruhan konstruksi pengetahuan, sistem nilai dan tatanan masyarakat yang
menentukan kehidupan bersama manusia.22 Teologi politik tidak mempunyai maksud
lain selain mengungkapkan relefansi politis dari iman. Yang dimaksudkan ialah,
bukanlah iman itu mempunyai satu dimensi politis, yang mesti dibedakan dari dimensi
personal. Seluruh iman itu bersifat politis, juga aspek personal dari iman adalah sebuah
ungkapan dari ciri politis iman. Yang personal, yang bersifat individual senantiasa
mengungkapkan dirinya dalam kebersamaan dan membutuhkan perlindungan dan
pengakuan dari dunia politik.
Karena itu teologi sebagai pembicaraan tentang iman mesti menyadari tendensitendensi
dan
mengungkapkan
kekuatan-kekuatan
masyarakat,
untuk
dapat
mempertahankan aspek personal dari iman. Teologi seperti ini hendak menjawab
tantangan yang dilemparkan oleh kritik agama sebegai kritik idiologi dari sudut
marxisme. Untuk itu teologi politik harus menyadari implikasi-implikasi sosial politis
dari pengertian-pengertiannya. Metz mengingatkan setiap teologi untuk bertanya “siapa
berbicara, kapan dan dimana, untuk siapa dan dengan maksud apa Allah?” berbicara.23
Teologi perlu membongkar kesadaran akan kepentingan yang melatarinya dan
mempertanggungjawabannya. Bagi Metz semua yang mungkin secara teknis dapat
22
23
Ibid., 69.
Paulus Budi Kleden, mengutip artikel JB.Metz yang berjudul Politische Theologie, 394
22
diperbolehkan secara etis. Dengan demikian tidak ada lagi ruang untuk segala
kemungkinan lain, untuk semua ideal dan alternatif lainnya. Karena itu tugas pertama
dari teologi politik yang hendak memantau dan mendampingi secara kritis sebuah
masyarakat adalah menunjukan keterbukaan manusia kepada masa depan dan serentak
menyingkapkan ketakmestian dan keterbatasan dunia nyata.
Teologi mesti menjadi teologi yang berorientasi ke masa depan, namun oreintasi
ini sekaligus bersifat kritis terhadap diktator pada masa sekarang. Di sini teologi mesti
menjadi sebuah eskatologi, menjadi sebuah teologi harapan. Dimensi eskatologi dari
teologi bukannya hendak mengembalikan teologi kepada pembicaraan tentang dunia
akhirat, melainkan menanamkan kesaradan bahwa yang ada ini belum yang semestinya.
Pada latar kesadaran akan status “belum” dari yang ada, yang ada sekarang akan tampil
sebagai yang mesti di ubah. Di bawah cahaya dari “yang masih akan datang”, yang ada
sekarang akan kehilangan kemutlakannya. Kritik atas yang ada dan penghadiran diri
“yang akan datang” itu dilakukan dalam praktek perubahan itu sendiri. Dengan
demikian maka tidak ada sesuatu yang mutlak tetapi semuanya berada dalam proses
untuk mencapai kesempurnaan.24
Tiga tokoh dalam teologi politik Jerman yakni Johann Baptist Metz, Jurgen
Moltmann dan Dorothe Solle menyampaikan pemikirannya tentang teologi politik yang
di kutip oleh John B.Cobb,Jr mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun
enampuluhan Metz berkonsentrasi pada bagaimana hubungan manusia dalam dunia,
karena
manusia menyatu dengan dunia maka ia tidak bisa dipisahkan dari
keberadaannya di tengah lingkungan dan masyarakat. Setiap pengalaman dunia
24
Ibid.,71.
23
berlangsung dalam cakrawala eksistensi manusia bersama, bukan hanya dalam masalah
“pribadi” tetapi dalam “politik” menyangkut eksistensi sosial di masyarakat.
Jadi setiap pengalaman tentang sejarah manusia terjadi dalam konteks dunia
dimana manusia itu berada. Sehingga berbicara tentang teologi, harus dimuali dari
dunia. Teologia dunia harus dimualai dari kreatifitas, harapan, militan, yang berbasis
kepada dunia dan masyarakat untuk mengalami perubahan. Metz pada tahun 1961-1967
menulis sekumpulan esei yang berjudul “Teologia Dunia” dan artikel yang berjudul
“Gereja dan Dunia dalam terang teologi politik”. Tulisannya itu menimbulkan banyak
diskusi dan perdebatan.
Sesuadah tahun 1969 ia menerbitkan sebuah buku untuk menjawab perdebatan.
Dalam pikirannya itu ia mengidentisikasikan tiga hal yang berkaitan dengan teologi
politik. Yang pertama, adalah tugas seorang „hermeneutik‟ teologis dalam konteks
sosial kontemporer. Ini disebut juga hermeneutika politik. Kedua, teologi politik baru
harus menjadi „kritis korektif terhadap kecenderungan prifatisasi tertentu dalam teologi
terkini, ketiga, karena teologi dan gereja benar-benar memiliki kepentingan politik yang
sangat besar maka teologi politik harus memiliki fungsi penting dalam gereja‟. Jurgen
Moltmann pada tahun 1971 menerbitkan sebuah esei tentang „teologi politik‟ dimana
dia mengungkapkan pikirannya bahwa orang kristen dewasa ini harus mengungkapkan
kebebasannya berdasarkan tradisi mereka sendiri, tetapi itu belum tercapai dalam
hubungannya dengan dunia politik.
Disamping itu ia melihat teologia politik sebagai teologia untuk mengkritik diri
sendiri (hermeneutis), kritik itu akan membuat kita sadar akan lingkungan sosial dan
konteks dimana kita berada. Ketika kita menyadari akan setting sosial dimana kita
berada maka kita akan mengembangkan suatu hermeneutik politik. Kita akan berpindah
24
dari eksistensialisme dan interpretasi teks tradisionil ke hermeneutik politik tradisi
yakni pemahaman kepada sebuah eksegesis representasi keagamaan tradisional dalam
arti praktis.
Solle tidak memberikan kepada kita suatu penjelasan yang penting tentang telogi
politik tetapi dia menawarkan sesuatu yang sangat eksplesit yang berfokus kepada
hermeneutik. Dia menyatakan bahwa teologi politik paling baik dipahami sebagai
„interpretasi politik injil‟. Solle, seperti Metz dan Bultmann, menyatakan bahwa dasar
dari teologi politik adalah kritis baik dalam gereja maupun struktur dalam masyarakat.
Akhirnya akan melibatkan otokritik, dan pengakuan tentang bagaimana seseorang
terikat dalam dosa masyarakat dan memiliki kecenderungan yang mengarah pada
tindakan yang jahat.
Dari ketiga tokoh teologi politik di atas menurut John B.Cobb.Jr mereka juga
mempunyai kesamaan. Ketiganya melihat teologi politik sebagai suatu hermeneutik,
yaitu kritik terhadap gereja dan teologi serta realitas sosial dalam masyarakat. Beberapa
pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah apakah semua teologi harus menjadi teologi
politik? dan apakah politik menjadi satu-satunya sumber bagi pekerjaan teologis? serta
apakah hanya ada keselamatan pribadi tanpa keselamatan sosial. Menurut Solle bahwa
sudah waktunya sekarang seluruh teologi harus menjadi teologi politik. Sebab tidak ada
keselamatan pribadi.
Melalui prinsip hermeneutis dapat membimbing kita memahami arti kehidupan
bagi semua orang. Ini bukan berarti bahwa persoalan individu di abaikan atau
dikesampingkan, tetapi pertanyaannya bagaimana persoalan individu berkaitan dengan
kondisi sosial dalam konteks dimana kita berada. Sebab pada prinsipnya manusia
sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dan berkaitan dengan manusia yang lain.
25
Jadi tidak ada keselamatan sendiri-sendiri. Subjektivitas dimasukkan ke dalam proses
sosial dengan tujuan bukan untuk mencari pemahaman diri sendiri saja, melainkan
percaya dan memahami bahwa keselamatan itu berada dalam dunia. Pandangan
keutuhan keselamatan bagi semua secara konsisten berakar pada keyakinan bahwa
semua realitas dunia yang ada adalah kenyataan sosial.
2.1.
Teologia Politik dan Kritik Atas Ketidakadilan
Pertanyaan tentang kebutuhan masyarakat akan pentingnya agama muncul
kembali selama jaman Renaisance dan Pencerahan. Klem kekiristenan sebagai agama
negara dianggap sebagai salah satu hambatan pada abad XVII. Masyarakat pada saat itu
menginginkan adanya suatu agama yang memenuhi kebutuhan komunitas manusia akan
suatu agama politis, atau yang disebut Russeau agama sipil. Para pemimpin dari
Restorasi Katolik menekankan pentingnya agama bagi masyarakat untuk menghadapi
arus sekularisasi di jaman Pencerahan dan Renaisace. Walaupun pada mulanya argumen
ini digunakan untuk mendukung suatu bentuk aliran konservatif gereja katolik namun
bagi mereka yang memilki aliran sosial yang positif yang dapat diterima oleh
masyarakat.
Pada abad ke-20, pembahasan tentang teologia politik dikemukakan oleh Carl
Schmitt yang menggunakan istilah tersebut sebagai suatu judul buku tahun 1922. Ia
mengemukakan pendapat dengan melihat monarki sebagai sesuatu yang berhubungan
dengan konsep ketuhanan yakni pemerintahan teokrasi yang bertentangan dengan
demokrasi. Thesis Scmitt menghasilkan perdebatan yang membawa koreksi bagi gereja
dan orang Kristen. Gereja harus dapat melihat masalah-masalah sosial dan politik
sebagai tanggung jawabnya, dan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara
26
saja. Hal tersebut menjadi koreksi gereja karena kekuasaan Hitler menjadi sesuatu yang
menakutkan bagi keberadaan umat manusia di masa mendatang.
Kekejaman dan ketidak adilan meraja lela tanpa ada perlawanan. Seakan-akan Hitler
menjadi Allah di dunia ini bagi sesamanya.
Solle menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Di balik Ketaatan Semata”.
Pemikirannya tentang teologia politik dituangkan dalam buku ini. Ia menunjukkan
bagaimana hubungan yang erat dari iman dengan ketaatan yang buta terhadap Tuhan,
yang dipicu oleh ketaatan teologia Kristen kepada peraturan-peraturan yang
dimanifestasikan pada Hitler di Jerman.25 Solle tidak menyediakan suatu daftar yang
memadai dari bentuk-bentuk asli dari teologi politik, tetapi dia lebih menekankan
kepada hermeneutik politik. Artinya teologi politik harus dipahami sebagai „interpretasi
politik dari Injil‟. Bagi Solle, seperti juga Metz dan Molmann, teologi politis pada
dasarnya merupakan teologi kritis. Kritik terhadap teologi dan gereja dalam menyikapi
struktur masyarakat yang tidak adil. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana
seseorang terikat dengan dosa masyarakat yang kecenderungannya melakukan
perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Sebuah tindakan kritik terhadap masyarakat
yang membiarkan kaum kapitalis atau para penjaga kamp konsentrasi yang selalu ada di
sekitar kita.
Metz melihat bahwa penderitaan Yesus adalah bagian dari tindakan politik. Dan
gereja harus benar-benar kritis terhadap situasi politik yang terjadi. Ia mengambil
contoh penindasan Israel kepada bangsa Palestina. Dalam hal ini penilaian kita bukan
pada masalah aktualnya namun pada implikasinya terhadap peran dan fungsi gereja
dalam menegakskan keadilan. Banyak dari mereka yang kehilangan, harta benda,
25
Ibid.,17-19.
27
tempat tinggal dan keluarga. Gereja harus bertindak atas sebuah komitmen tanpa syarat
untuk mencapai keadilan, kebebasan dan kedamain bagi semua.
Satu hal yang sangat penting dari teologi politik menurut Whitehead sebagai
seorang pemikir kristen adalah „kebebasan‟ merupakan suatu keharusan. Jika tidak ada
kebebasan, keberanian tidak ada gunanya. Ia mengemukakan bahwa kebebasan dan
persamaan menjadi satu karena hal yang terpenting dari „persamaan‟ adalah kebebasan.
Dengan kebebasan setiap orang akan memperjuangkan haknya tanpa ada perbedaan dan
diskriminasi. Dan sebaliknya tidak ada gunanya kalau seseorang itu bebas tapi masih
ada perbedaan, dalam hubungannya dengan hak wanita, ras, atau agama.26 Metz ingin
semua orang memahami sepenuhnya tentang diri mereka sebagai subyek yang bebas.
Sama halnya dengan Whitehead yang berfokus pada kesadaran akan kebebasan.
Komitmen Whitehead memperjuangkan kebebasan dengan mengatakan bahwa
Allah ada bersama orang-orang yang tertindas, dan kita dipanggil untuk bersolidaritas
dengan mereka. Ia mengambil contoh tentang struktur pendidikan yang memihak
kepada orang kaya menyebabkan orang miskin akan terus tergusur dan tidak
memperoleh tempat untuk menikmati pendidikan yang lebih baik. Ada juga penindasan
dan perlakuan yang tidak adil kepada masyarakat kulit hitam di Amerika Latin.
Oleh karena itu gereja dan orang kristen harus terpanggil dengan sepenuh hati
untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah menuju kepada keselamatan seluruh dunia,
dengan melibatkan semua dimensi, publik dan sosial. Semua orang harus dipanggil
untuk membagi tugas dan perannya masing-masing. Mereka harus diyakinkan tentang
pengampunan Allah melalui penderitaan Yesus Kristus. Untuk memahami iman kristen
dengan cara ini merupakan suatu kemajuan yang sangat besar. Namun itu baru
26
Ibid.,146.
28
permulaan. Orang-orang Kristen setuju bahwa keselamatan mencakup seluruh dunia,
meliputi aspek manusia dan alam, semuanya berada dalam kerangka rencana
keselamatan Allah. Untuk itu Ia akan tetap menjaga dan melestarikan alam untuk
kelangsungan dan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam hubungan dengan sesama
sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Pintu harus terbuka terhadap pluralitas. Bagaimana pengalaman penderitaan
orang kulit hitam di amerika Serikat dan di Amerika Latin, bahkan para wanita di
Atlantis Utara. Selain itu juga kita tidak boleh melupakan pengalaman orang Yahudi
yang telah menderita oleh tangan orang-orang Kristen pada abad 19. Dan masih banyak
lagi yang kita lihat penindasan terhadap kaum minoritas. Kebanyakan orang di dunia
dibentuk dalam presepsi dan harapan oleh tradisi religius dari Yudaisme dan
Kekristenan. Apa yang mereka lihat sangat berbeda dengan apa yang kita lihat,
semuanya sangat berbeda dengan ajaran dan pemahaman iman Kristen itu sendiri.
Dewan gereja-gereja sedunia telah menyediakan sebuah forum untuk
menampung semua suara-suara yang sangat menyakitkan dan menyedihkan. Karena
selama ini mereka tidak didengarkan serta tidak mendapatkan tempat untuk
mengungkapkan segala penderitaan yang mereka alami. Semuanya ini dilakukan dengan
visi akan masyarakat yang adil, berpartisipasi dan berkelanjutan untuk dunia yang
diselamatkan.27
2.2.
Dimensi Politik Manusia
Moltmann membagi dimensi politik menjadi empat sebagaimana dikutip oleh
John B, Cobb Jr, antara lain:28
27
28
Ibid.,154.
Ibid., 90-91.
29
1.
Dalam dimensi kehidupan ekonomi, kebebasan berarti kepuasan kebutuhan
material manusia akan kesehatan, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Lebih
jauh dari ini adalah keadilan sosial yang dapat memberikan semua anggota
masyarakat berbagi kepuasan dan keadilan dari produk yang mereka hasilkan.
Sejauh lingkaran setan kemiskinan dihasilkan oleh eksploitasi dan dominasi kelas,
keadilan sosial hanya dapat dicapai dengan redistribusi kekuatan ekonomi. Jika
dan sejauh sosialisme, berarti kepuasan dan kebutuhan material dan keadilan
sosial dalam demokrasi material, sosialisme adalah simbol pembebasan manusia
dari lingkaran setan kemiskinan.
2.
Dalam dimensi kehidupan politik, demokarasi adalah pembebasan dari lingkaran
setan penindasan. Dengan ini, dapat dimengerti bahwa martabat manusia akan
menjadi penting apabila dia dapat menerima tanggung jawab politik. Ini termasuk
partisipasi dalam hal pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan
politik. Pada tingkatan ini demokrasi berarti penghapusan hak istimewa dan
pembentukan hak asasi manusia. Demokrasi adalah simbol pembebasan manusia
dari lingkaran setan kekerasan.
3.
Dalam dimensi kehidupan budaya, pembebasan dari lingkaran setan keterasingan
berarti identitas dalam pengakuan terhadap orang lain. Dengan ini kita
mengartikan 'emansipasi manusia dari manusia' (Marx), di mana manusia
mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan diri dalam pengakuannya terhadap
orang lain dan dalam persekutuan dengan mereka. Jika dan sejauh emansipasi
berarti personalisasi dalam sosialisasi dan menemukan identitas seseorang dalam
pengakuan terhadap orang lain. Emansipasi adalah simbol pembebasan dari
lingkaran setan keterasingan.
30
4.
Dalam hubungan masyarakat dengan alam, pembebasan dari lingkaran setan
polusi industri menandakan bahwa manusia telah berdamai dengan alam. Tidak
ada pembebasan orang dari kesulitan ekonomi, penindasan politik dan
keterasingan manusia akan berhasil yang tidak bebas dari eksploitasi alam yang
tidak manusiawi dan yang tidak memenuhi/memuaskan alam. Oleh karena itu
tahap panjang pembebasan manusia dari alam dalam 'perjuangan untuk bertahan
hidup harus diganti oleh fase pembebasan alam dari kebiadaban demi 'perdamaian
yang eksis'. Pada tingkat bahwa transisi orientasi meningkat dalam kuantitas
hidup untuk menghargai kualitas hidup, dan dengan demikian dari kepemilikan
alam dengan sukacita yang ada di dalamnya dapat mengatasi krisis ekologi.
Perdamaian dengan alam adalah simbol pembebasan manusi dari lingkaran setan
ini. Semuanya itu terjadi karena keserakahan manusia.
2.3.
Metodologi Teologia Politik
Teologi politik harus memiliki karakter atau ciri khas baik itu metode maupun
dokrin-dokrin yang tepat maupun sesuai dengan konteks dan persoalan gereja di tengah
kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan ini kita akan melihat metodologi Teologi
politik yang di jelaskan oleh John B Cobb Jr,29 dengan membandingkan pemikiran
beberapa ahli teologi politik diantaranya Metz, Moltmann dan Solle.
a). Hermeneutik Teologi.30
Ketiga teolog ini menekankan bahwa hermeneutik sebagai pusat dari teologi
politik. Sehingga lewat kajian-kajian hermeneutik politik, gereja akan memahami
tanggung jawabnya di tengah dunia yang modern dalam kerangka menjawab tantangan
iman dalam konteks di mana gereja dan orang percaya itu berada. Semua itu harus
29
30
Ibid., 44-61.
Hermeneutik Teologi berarti interpretasi atau penafsiran tentang Alkitab.
31
membutuhkan teologis proses yakni penafsiran atau interpretasi terhadap Alkitab.
Karena pembacaan Alkitab saja tidaklah cukup menjawab persoalan yang ada, harus
dilakukan penafsiran dari teks ke konteks serta aplikasinya. Masalahnya adalah bahwa
banyak orang Kristen menganggap bahwa apa yang telah di tulis dalam teks Alkitab
tidak bisa dirubah sama sekali. Itu harus diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang
tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu harus ada beberapa proses untuk dapat
memahami teks Alkitab sehingga teks-teks tersebut dapat dimengerti dan dipahami
isinya serta relefan dengan kehidupan yang terjadi. Bultman dan Solle sebagaimana
dikutip oleh John B, Cobb Jr, menawarkan studi kritis yang menekankan konteks
“sosio-historis”. Hal ini lebih menekankan kepada fungsi publik dari teks itu sendiri.
Dengan menggunakan pendekatan kritik teks, sebab pemahaman dari ketiga tokoh
tersebut bahwa tidak ada dokrin yang tidak bisa dikritik, semuanya berada dalam
proses.
Dalam pemahaman seperti itu kita dapat melihat seluruh kehidupan iman berada
dalam rencana dan kehendak Tuhan untuk masa depan. Tidak ada bagian dari
kehidupan itu sendiri yang kebal terhadap perubahan. Beberapa bagian dari kehidupan
ini mungkin tidak berubah sementara yang lain berubah dengan drastis, dan tidak ada
takdir yang menentukan apa yang akan berubah dan berapa banyak perubahannya.
Persoalannya adalah bukan apakah akan ada perubahan? Tetapi apakah perubahan itu
merupakan perkembangan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menjawab
tantangan dan persoalan baru. Dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan di atas, para
ahli mengatakan bahwa
sudah saatnya gereja harus merubah para digma dalam
mengahadapi dunia yang terus berubah. Solle mengambil contoh tentang bagaiman
Yesus menghadapai dan mengatasi realitas sosial pada saat itu. Tidak ada sesuatu yang
32
mutlak, bagaimana kita menghadapi sistem yang menindas, dan tidak adil. Yesus
mengadakan trasformasi teologis terhadap struktur sosial, dalam kerangka Ia berpikir
dan bertindak. Cara bagaimana Yesus berpikir dan bertindak secara de facto membuka
dan mengubah struktur sosial di mana Ia berada.
Jadi melalui pemahaman ini yang mau dikatakan bahwa orang Kristen harus
terlibat dalam meluruskan kesalahan-kesalahan sosial yang menurunkan derajat
kemanusiaan. Kalau pemahaman kita berakar dari Alkitab maka kita juga harus
mengikuti apa yang Yesus lakukan yaitu keprihatinannya kepada orang yang miskin dan
tertindas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bukan apakah Yesus seorang
revolusioner? Tetapi bagaimana Ia berdiri dan melawan kekerasan, ketidak adilan dan
diskriminasi. Yang terpenting disini adalah bukan perkataan tetapi bagaimana perbuatan
dan tindakan. Semuanya ini terjadi dalam konteks dan perjalan sejarah. Oleh karena itu
kita harus memahami secara sosial historis. Berdasarkan prespektif ini kita tidak akan
meremehkan pentingnya penafsiran kitab suci, tetapi melalui hermeneutik kitab suci,
kita dapat memahami dan mengerti bahwa ada bagian-bagian yang berbeda dari Alkitab
yang di tulis dengan kepentingan-kepentingan dan maksud tertentu. Yesus, Paulus dan
Yohanes serta para nabi lain yang terdapat dalam Perjanjian Lama maupun Baru
mempunyai perjalanan sejarah tersendiri dalam konteks budaya dan masyarakat tertentu
dengan problem sosial dan masalah tersendiri. Oleh karena itu tugas teologi bukan
hanya bisa menafsirkan teks yang tertulis, tetapi harus juga dapat menemukan teks yang
relevan dalam waktu dan tempat yang berbeda serta dapat menjawab problem dan
masalah yang timbul dalam masyarakat, sesuai tantangan saman.31
b). Pendekatan Memori dan Narasi.
31
Ibid., 51.
33
H.Richard Niebuhr mengembangkan pendekatan terhadap pengakuan beberapa
cerita sebagai cara menerima dan memahami pluralisme. Ia menunjukan bahwa tidak
gampang dua masyarakat hidup bersama dan saling menerima satu sama lain. Misalnya
Protestan dan Katolik dapat tumbuh dan hidup bersama dengan benar apabila mereka
memiliki pengalaman hidup yang sama dan tidak terpisahkan satu dengan yang lain.
Konsili Trent harus menjadi bagian dari sejarah Protestan, dan Luther dan Anababtis
harus menjadi bagian dari Katolik.32
Jika demikian maka apapun yang terjadi dalam persoalan kelembagaan mereka
tetap mempunyai pengalaman yang sama tentang kekristenan secara umum. Menurut
Metz yang dikutip oleh John Cobb, Jr bahwa hanya dengan proses sejarah semua orang
dapat menemukan makna kehidupan. Semua orang mempunyai arti dan makna
pengalaman hidup. Menurut Metz masalah utama yang ada pada orang Kristen ialah
bukan pada dokrin dan ajaran tetapi pada tindakan terhadap komitmen kesetiaan. Ia
lebih menekankan kepada tindakan praksis. Bagaimana kita dapat meniru Kristus dalam
sikap dan tindakan serta perbuatan. Kristus yang menderita, mati dan bangkit semuanya
terjadi dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Manusia menjadi pusat karya dan
penyelamatan Allah. Semua orang dipanggil untuk menjadi subyek dalam hadirat Allah.
Model praksis atau tindakan dilihat lebih baik dalam hubungan interaksi dengan
masyarakat. Kita punya pengalaman yang berbeda, teori yang berbeda, pandangan dan
makna yang berbeda. Melalui semuanya itu dapat menjadi kesempatan yang berharga
untuk bertumbuh dalam kebenaran.
Pertumbuhan dalam kebenaran tidak bisa merubah keyakinan yang lama atau
menambahkan keyakinan yang baru, tetapi semuanya itu dapat terjadi apabila ada
32
Ibid., 54.
34
kompromi atau kesepakatan bersama. Pertumbuhan terjadi ketika keyakinan yang
bertentangan di ubah oleh pikiran kresatif ke dalam apa yang disebut Whitehead
kontras. Artinya, integritas dan kekuatan yang berbeda di pertahankan pada hubungan
yang saling menguntungkan. Tapi pemahaman atau perspektif
baru dapat dicapai
apabila kebenaran dari masing-masing dapat direalisasikan bersama dalam keterbatasan
masing-masing. Dalam kaitan ini masing-masing kemudian diubah oleh hubungan baru
satu sama lain tersebut, dan keseluruhan pengalaman itu akhirnya menjadi luas dan
diperkaya oleh satu dengan yang lain demi mencapai tujuan dan kepentingan bersama.
2.4. Ruang Lingkup Teologia Politik
2.4.1. Teologia Politik adalah Sebuah Koreksi Kritis.
Teologi Politik adalah sebuah koreksi kritis atas tendensi untuk membatasi
teologi pada wilayah pribadi dan personal, seperti dalam bentuk-bentuk transendental,
eksistensial dan personalis. Ada kecenderungan untuk mereduksi “inti” warta Kristen
dan praksis iman pada keputusan individu yang terpisah dari dunia, suatu rekasi
terhadap separasi antara agama dam masyarakat. Disini Teologi Politik ikut campur,
bukan dalam arti suatu identitas yang berbeda dari agama dan masyarakat, melainkan
suatu usaha sengaja untuk membangun relasi agama dan masyarakat. Dalam usaha ini,
Teologi Politik bertujuan “nationalization” sambil memperhatikan konsep teologis,
bahasa pewartaan dan spiritualitas. Teologi ini berupaya mengatasi esoterisme yang
berlebikan berkenaan dengan diskursus mengenai Allah, oposisi yang sulit didamaikan
antara kehidupan rohani pribadi dan kebebasan sosial, yang dengan jelas memperluas
jurang antara teologi dan pewartaan serta apa yang dalam kenyataan dihayati orang
Kristen.
2.4.2. Teologia Politik Sebagai Warta Eskatologis Kristen.
35
Teologi Politik merupakan usaha memformulasikan warta eskatologis Kristen
dalam kondisi masyarakat dewasa ini, seraya memperhitungkan perubahan-perubahan
struktural dalam kehidupan publik. Dengan kata lain teologi politik merupakan usaha
“keluar dari” hermeneutika yang semata-mata “pasif” dan “buta” terhadap konteks
masyarakat dewasa ini. Masyarakat dipandang sebagai sasaran sekunder aktivitas
Krsiten. Dalam teologi politik masyarakat pertama-tama diyakini sebagai medium
hakiki bagi penemuan kebenaran teologis dan pewartaan Kristen pada umumnya.33
Dengan demikian “Teologi Politik” bukan semata-mata suatu jenis “teologi
tarapan”. Ia juga tak dapat diidentikan begitu saja dengan “etika politik” atau “teologi
sosial”. Teologi politik mengklem menjadi unsur dasariah dalam keseluruhan struktur
pemikiran teologis-kritis, terdorong oleh suatu paham baru tentang relasi antara teori
dan praktek, dengan itu maka semua teologi harus menjadi “praksis” dari dirinya
sendiri. Jadi teologi politik berorientasi pada aksi. Tidakan dan sikap gereja terhadap
masalah-masalah sosial kemasyarakat dalam menyikapim isu-isu politik.
3.
Peranan dan Fungsi Gereja dalam Politik
Sejak awal bangsa Indonesia menyadari, bahwa keberadaannya dimungkinkan
oleh campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Alinea ketiga dari Pembukaan UUD
1945 menyatakan, bahwa atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia
menyatakan
dengan
ini
kemerdekaannya.
Kemerdekaan
yang
diproklamasikan oleh bangsa Indonesia itu disadari sebagai terjadi atas berkat dan
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut John Titaley, ini adalah pernyataan
religiusitas karena dalam kenyataan kemerdekaan itu diperjuangkan oleh bangsa
33
A.Eddy Kristiyanto, Teologi Politik, (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa, 2003), 2-3.
36
Indonesia dengan korban jiwa. Dengan mengatakan hal yang demikian, bangsa
Indonesia mau menunjukan rasa keagamaan dirinya, bahwa selain perjuangan dan
pengorbanan yang telah dilakukannya, apa yang dicapainya tidak bisa dilepaskan begitu
saja dari adanya campur tangan Tuhan yang diyakini itu.34
Gereja sebagai warga masyarakat Indonesia yang ikut berjuang mempertahankan
dan merebut kemerdekaan, tidak akan menyaia-nyiakan arti kemerdekaan itu, tetapi
harus berperan aktif dalam menciptakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Reformasi yang dialami bangsa kita seharusnya dilihat
sebagai suatu loncatan baru menuju kepada Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.
Pertanyaannya bagaimana gereja menunjukan perannya di tengah situasi bangsa yang
sedang bergejolak karena arus reformasi yang begitu deras mengancam sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara? Albert Patty35 menjelaskan ada [4] empat, peran
utama agama (gereja) dalam situasi politik di Indonesia.
1.
Agama (gereja) berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat.
Pendidikan politik itu berguna agar rakyat mampu berpartisipasi secara aktif dalam
proses politik. Berpartisipasi secara aktif berarti memiliki kemampuan untuk
bersikap kritis baik terhadap pemerintah, terhadap sikap keberagaman maupun
terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Berpartisipasi secara
aktif juga berarti memiliki kemampuan untuk melakukan reinterpretasi terhadap
fungsi negara, terhadap kecenderungan demonisme agama yang mempersetankan
kemanusiaan diri sendiri maupun kemanusiaan sesama yang berbeda. Berpartisipasi
secara aktif berarti memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap
34
John Titaley, Religiusitas Di Alinea Tiga (Salatiga: Satya Wacana University 2013), 50.
Albertus Patty, Kristen dan Situasi Politik Indonesia Kontemporer, (Editor: Einar M.Sitompul,
2004), 19-20.
35
37
negara, sikap keberagamaannya dan terhadap berbagai kondisi sosial yang
berlenggu dan menderitakan rakyat.
2.
Agama (gereja) berperan dalam mempersiapkan pemimpin-pemimpin politik masa
depan yang memiliki intelektualitas tinggi, berwawasan luas, memiliki integritas
dan spiritualitas yang tangguh. Pemimpin yang dibutuhkan pada masa sekarang dan
di masa depan adalah mereka yang bisa mengubah kultur konflik dan kekerasan
menjadi kultur persaudaraan. Pemimpin yang bangsa ini butuhkan adalah pemimpin
yang mampu mengtransenden dirinya dari ikatan-ikatan primordialisme baik agama
maupun suku bangsa. Persoalan kita sekarang adalah bahwa kita memiliki terlalu
banyak pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan diri maupun kepentingan
kelompoknya saja.
3.
Agama (gereja) berperan dalam meletakan landasan etik dalam kehidupan sosial
dan dalam kehidupan berpolitik bangsa. Landasan etik dalam kehidupan sosial
mengatur relasi horisontal yang menghargai kemajemukan bangsa. Dalam konteks
ini agen itu sendiri memainkan peranan penting dalam mempererat relasi para aktor
demokrasi baik yang berada di tengah masyarakat maupun para elit. Dalam konteks
ini agama justru harus belajar dari rakyat. Di tengah situasi konflik, rakyat telah
berhasil menciptakan suatu kultur akternatif yaitu kultur persaudaraan.
4.
Agama (gereja) bisa berperan dalam tataran spiritual. Yang dimaksud tataran
spiritual adalah kemampuan mentransenden diri. Transisi demokrasi hanya bisa
berhasil bila kita berhasil mentransenden diri kita, dan sesama kita melampawi
mentalitas korban.Transisi demokrasi bisa berhasil bila “korban-korban” saling
bekerja dan saling menyembuhkan.
38
Dengan demikian maka apabila kekristenan hanya memperhatikan kesalehan
pribadinya sendiri tanpa peduli terhadap perubahan yang terjadi maka, tindakannya itu
bisa menjadi bumerang untuk membahayakan dirinya. Reformasi yang terjadi di
Indonesia karena rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Dan gereja merasa
nyaman dengan keadaan demikian tanpa ada tindakan kritis dan koreksi terhadap
kebijakan pemerintahan Orde Baru. Ada anggapan bahwa lebih baik kita hidup dalam
pemerintahan orde baru dengan kepemimpinan Soeharto dari gereja akan berhadapan
dengan pemikian Islam yang fundamental dan radikal.
Untuk menyikapi masalah ini ada tiga sikap politik orang Kristen antara lain:36
Pertama, mereka yang apolitik, yang menganggap politik sebagai urusan duniawi yang
kotor yang tidak perlu dicampuri gereja yang dianggap sebagai lembaga yang
mengurusi sorga saja. Bagi mereka doa dan ibadah akan menyelesaikan segala sesuatu.
(contoh: aliran pietisme) Kedua, adalah kelompok yang ingin merebut kekuasaan
politik (paling sedikit mempunyai kekuatan signifikan dalam struktur pemerintahan)
agar dapat mementukan jalannya negeri ini. (Contoh: PDS). Ketiga, mereka yang
berpendapat bahwa orang Kristen di Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang
dunia yang melalui iman Kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara
positif, kritis, kreatif, dan realistis. (Contoh: PGI).
4.
Kesimpulan :
1.
Wogaman membagi hubungan gereja dan negara menjadi empat model:
a).Teokrasi. b).Erasionisme. c).“Pemisahan” secara Damai. d). Pemisahan
yang tidak bersahabat yang mengakibatkan Permusuhan.
36
Richard Daulay, Kekristenan Dan Politik, (Jakarta: Waskita Publishing, 2013), 15-16.
39
2.
Teologi politik adalah teologi publik yang mengoreksi secara kritis
dominasi negara dan struktur masyarakat yang menindas.
3.
Inti teologi politik adalah kritik terhadap gereja, teologi dan realitas sosial
yang terjadi dalam masyarakat.
4.
Teologia Politik mendasari pemikirannya kepada teologia proses, dengan
pemahaman bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak terjadi dalam dunia ini,
semuanya melewati proses menuju kepada suatu tujuan yang dikehendaki
Allah. Dan gereja sebagai tubuh Kristus harus dapat menjawab tantangan
dan pergumulannya sesuai dengan konteks dimana gereja itu berada.
5.
Ketidakadilan, diskriminasi, kehancuran alam semesta, disebabkan karena
egoisme manuisa dan struktur masyarakat yang tidak memihak kepada
kaum miskin dan minoritas.
6.
Keselamatan yang diperjuangkan bukan keselamatan “pribadi” tetapi
keselatan seluruh alam ciptaan.
40
41
Download