Eksperimentasi Pemikiran Islam Kaum Muda Muhammadiyah : Zuly Qodir Sejak bediri tahun 1912 hingga sekarang, baru kali ini ada perkumpulan yang disebut Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). JIMM beberapa waktu lalu mengadakan workshop dengan tema “Tadarus Pemikiran Islam : Kembali ke Al-Quran Menafsir Makna Zaman, Malang 18-20 Nopember 2003. Padahal kita tahu, Muhammadiyah dianggap sebagai “gudangnya intelektual” di tanah air ini. Workshop JIMM ini menarik ketika sebagian besar energi kita tersedot untuk mengurusi masalah hingar-bingar politik dalam negeri menuju Pemilu 2004. Dimana tak terkecuali Muhammadiyah sebagai gerakan Islam terbesar kedua setelah NU, sebagian kecil juga terseret ke arus politik praktis sekalipun dengan bersembunyi di balik jargon high politics. Lebih-lebih setelah sebelumnya generasi muda NU mengadakan Muktamar Pemikiran Islam yang diselenggarakan 3-5 Oktober di Situbondo. Dengan penyelenggraaan dua pertemuan di dua ormas Islam terbesar di negeri ini, terang saja mengundang pertanyaan, ada apa dengan kaum muda di NU dan Muhammadiyah. Apakah mereka ingin “melepaskan diri dari hegemoni kaum tua”, atau ada masalah yang lebih serius sehingga kedua generasi muda ini menggeliat mengadakan pertemuan yang tidak pernah terjadi atau malahan tidak terpikirkan sebelumnya oleh generasi tua? Untuk keperluan tulisan ini, saya akan memfokuskan pada pertemuan yang dilakukan JIMM di Universitas Muhammadiyah Malang tersebut. Buat saya ini merupakan pertemuan (workshop) yang bisa dibilang mengaggetkan, dan mungkin juga prospektif bagi kaum muda Muhamamdiyah di tanah air. Pertemuan semacam ini merupakan pertemuan yang “langka” di Muhammadiyah, apalagi ketika nyaris seluruh perhatian umat terfokus pada urusan politik praktis yang lebih berorientasi pada sharing power dan bargaining position. Gerakan kultural Jika dalam tubuh Muhammadiyah dikenal istilah low politics dan high politics, sebenarnya arah yang lebih kuat tumbuh dan berkembang, tidak lain adalah arah low politics—sekurangkurangnya—setiap menjelang rotasi pergantian kepemimpinan nasional atau pergantian presiden. Lebih-lebih sejak tumbangnya rezim orde baru yang otoriter dan diktator, arus low politics dalam Muhammadiyah semakin mengental dan mengerucut dalam tubuh Partai Amanat Nasional (PAN). PAN dengan Muhammadiyah hampir-hampir tidak bisa dipisahkan, sekalipun masih dapat dibedakan. Ini bisa dimengerti sebab PAN diketui oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M. Amien Rais, yang kemudian mengundurkan diri, serta didukung oleh banyak fungsionaris Muhammadiyah, baik di tingkat pusat maupun tingkat ranting, sebuah kepengurusan terendah dalam Muhammadiyah. Memang ada peraturan warga Muhammadiyah yang sedang menjabat di Muhammadiyah tidak diperbolehkan untuk duduk dalam kepengurusan PAN, karena akan tumpang tindih jabatan. Namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Tidak jarang warga Muhammadiyah sedang duduk sebagai ketua pimpinan baik di tingkat wilayah, daerah, cabang maupun ranting sekaligus sebagai pengurus inti PAN. Artinya, sebagai warga Muhammadiyah sekaligus sebagai pengurus PAN. Dengan melihat pelbagai fakta di lapangan seperti itu, hemat saya wajar jika anak-anak muda Muhammadiyah yang lebih beraliran non politik (high politics) hadir untuk lebih memposisikan dirinya sebagai kelompok yang lebih bersifat kultural. Kaum muda Muhammadiyah ini bergerak dalam level pemberdayaan intelektual, bukan pada pemberdayaan politik praktis. Mungkin saja, gerakan kultural anak muda Muhammadiyah ini berdampak pada gerakan politik, tetapi tertap fokusnya adalah pemberdayaan kapasitas intelektual, sebagai perimbangan dan kontrol gerakan politik praktis dalam Muhammadiyah. Mengapa kaum muda Muhammadiyah memilih gerakan kultural? Agaknya dipengaruhi dengan terjadinya segmentasi yang terjadi di tubuh Muhammadiyah yang semakin tajam antara kubu Muhammadiyah politik dan kubu Muhammadiyah non politik. Kaum muda Muhammadiyah ini hendak memberikan semacam perlawanan kultural terhadap kaum konservatif dalam tubuh organisasi yang disebut sebagai organisasi Islam modernis. Kaum muda Muhammadiyah ini melakukan kritik atas diri sendiri untuk menemukan “wajah Muhammadiyah” yang lebih genuine sebagai gerakan “pembaruan pemikiran Islam” bukan sebagai gerakan pembaruan politik Indonesia. Disitulah, hemat saya gerakan kultural kaum muda Muhammadiyah pada saatnya nanti akan tumbuh menjadi “kultur hibrid” yang lahir di tengah pergolakan politik praktis dan pemikiran Islam kontemporer. Eksperimentasi Pemikiran Dengan memfokuskan pada gerakan kultural, kaum muda Muhammadiyah ini sesungguhnya tengah berupaya melakukan sebuah eksperimentasi pemikiran dalam Muhammadiyah dan Islam Indonesia. Jika selama ini pemikiran, khususnya teologi Islam dan Muhammadiyah lebih terfokus pada masalah-masalah ritual simbolik keagamaan (keislaman), maka kaum muda Muhammadiyah ini mencoba menawarkan format pemikiran Islam yang lebih segar, lebih baru, sekalipun bisa saja masalah-masalah yang diangkat merupakan masalah lama, bahkan yang sudah akut. Sebagai gerakan kultural, maka mengemas lapangan pemikirannya dapat dipastikan akan bersifat “pembebasan” terhadap kaum tertindas, kaum dhu’afa, mustad’afin, dan kaum marjinal di tanah air. Akan berbeda jika pilihannya adalah gerakan politik, tentu pilihan isunya adalah tema-tema strukturalis, dan bahkan tema-tema elitis semisal pembagian kekuasaan, rotasi kepemimpinan dan distribusi jabatan kekuasaan publik. Disitulah yang membedakan secara tegas antara gerakan kultural kaum muda Muhammadiyah dengan gerakan politik Muhammadiyah. Gerakan kultural dapat juga dibilang sebagai sebuah gerakan “pembumian pemikiran teologi Islam” yang selama ini sangat melangit, sebab menggunakan paradigma teosentris, bukan paradigma antroposentris. Teologi teosentris lebih berorientasi pada masalah-masalah ritual yang hubungannya dengan Tuhan, sementara teologi antroposentris lebih berorientasi pada masalah-masalah sosial yang timbul di tengah masyarakat sekitar. Masalah-masalah sosial yang muncul, dan barangkali krusial, diusung dengan memakai terminologi “kemungkaran sosial” sebagai bagian dari kebejatan-kebejatan kaum beragama yang tidak mengindahkan realitas sebagai masalah yang semestinya direspon secara simultan dan segera oleh umat Islam, dan umat beragama pada umumnya. Membiarkan “kemungkaran sosial” secara tidak langsung artinya umat beragama melanggengkan dosa-dosa kolektif bergentayangan di muka bumi. Untuk mengusung “pemikiran Islam baru”, kaum muda Muhammadiyah tampaknya hendak melengkapi dirinya dengan seperangkat ilmu dan pengetahuan berkenaan dengan semangat perlunya melakukan pembongkaran terhadap teks-teks suci yang telah ditafsirkan oleh generasi sebelumnya, baik oleh para mufti atau para mujtahid Islam era keemasan dulu. Teks dijadikan semacam sasaran tembak untuk dikritisi penafsirannya sehingga tidak menjadikan tafsir atas teks sebagai “agama dan berhala” yang nyaris mtlak untuk disembah. Teks ditempatkan sebagai objek kajian kritis kaum muda Muhammadiyah untuk kemudian senantiasa dilakukan interpretasi untuk menemukan interpretasi baru yang lebih memadai. Pembongkaran teks sebenarnya sebuah upaya secara mendasar dan sistematik untuk menghentikan, sekaligus menghilangkan adanya dominasi dan hegemoni atas tafsir kitab suci. Dalam kerangka ini, maka melakukan dekonstruksi atas teks dapat juga disebut sebagai “perlawanan secara kultural” atas tradisi ijtihad keislaman yang mengalami kemandegan. Setelah dilakukan pembongkaran dominasi dan hegemoni atas teks, gerakan yang dilakukan kaum muda Muhammadiyah tampaknya hendak mengarah pada gerakan sosial yang mencerminkan secara riil sebagai gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru yang lahir dari lingkungan keislaman sebagai sebuah respon atas kemandegan pemikiran teologi yang selama ini dipahami sangat teosentris, sehingga tampak kurang humanis. Apakah eksperimentasi pemikiran Islam kaum muda Muhammadiyah ini akan berhasil, semua ditentukan ketika energi intelektual muda Muhammadiyah itu sendiri tidak terkuras habis oleh godaan-godaan politik praktis yang lebih menggiurkan. Eksperimentasi pemikiran Islam jika berhasil hemat saya akan menemukan wujudnya yang paling nyata sebagai sebuah teologi kaum mustad’afin (teologi kaum tertindas) sebuah teologi yang “membumi” ketimbang “teologi langitan”. Universitas Muhammadiyah Malang akan menjadi saksi dan bukti sejarah bagi Muhammadiyah, dimana sepanjang sejarahnya hingga kini, baru sekarang diselenggarakan pertemuan dengan tajuk Tadarus Pemikiran Islam, yang dilakukan dan diikuti kaum Muda Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Akankah obor intelektualisme Muhammadiyah kembali bersinar di bawah bendera JIMM? Ataukah peristiwa ini hanya sekedar slogan kaum muda semata? Perjalanan sejarah yang akan mencatat dan mendokumentasikan semuanya. Semoga sejarah akan berkata dikemudian hari bahwa Tadarus Pemikiran Islam di Malang memang merupakan awal kebangkitan pemikiran kaum muda Muhammadiyah, bukan sebaliknya, awal keterpurukkan dan keterjebakan kaum muda Muhammadiyah dalam formalisme slogan intelektual. Semoga saja apa yang telah dilakukan anak-anak muda Muhammadiyah mendapatkan “angin segar” dari ormas yang pernah melahirkannya, sehingga mereka mampu menumbukan horizon baru pemikiran Islam Indonesia. Zuly Qodir, Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), peserta Program Doktor Sosiologi UGM tinggal di Jogjakarta,. Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 2 2004