Memahami Teologi Bencana Written by Administrator Memahami Teologi Bencana Oleh Khamami Zada Bencana demi bencana terus saja melanda bangsa Indonesia. Dari bencana tsunami, banjir, hingga busung lapar yang terus melanda masyarakat kita, menunjukkan bahwa bangsa kita sedang diuji oleh Tuhan. Namun ironisnya, bencana yang melanda bangsa kita seringkali memunculkan spekulasi-spekulasi teologis di masyarakat. Ada spekulasi teologis yang meyakini bahwa semua bencana yang terjadi ini akibat perbuatan maksiat yang dilakukan masyarakat Indonesia dan tidak mengindahkan titah ilahi. Dengan nada sinis, banyak orang berpendapat bahwa bencana yang terus-menerus terjadi melanda bangsa Indonesia akibat kelalaian kita terhadap Tuhan, sehingga Dia mengirimkan azabnya kepada umat manusia yang tidak mau mematuhi perintah Tuhan. Apakah betul semua bencana; gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, dan busung lapar merupakan azab Tuhan akibat perbuatan maksiat yang telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia? Tentu saja konsepsi teologis seperti ini tidak bisa menjelaskan sepenuhnya tentang adanya keterkaiatan bencana dengan azab, meskipun konsepsi ini pernah terjadi pada masa Nabi Nuh yang mengazab umatnya dengan banjir, Nabi Luth yang menghancurkan umatnya dengan hujan batu, dan Nabi Musa yang menghukum Fir'aun dan pengikutnya diterjang gelombang laut. Itulah sejarah Nabi-nabi yang menghukum umatnya dengan kebinasaan akibat mereka tidak mau mengikuti seruan para Nabi. Tapi sekarang ini sudah tidak ada Nabi yang menyampaikan dakwah. Pun Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam sejarahnya tidak pernah menghukum umatnya yang menolak dakwahnya, malahan Nabi Saw mendoakan semua umatnya, meskipun mereka memusuhi, dan bermaksud mencelakakan Nabi. Dalam kisah-kisah sejarah Nabi disebutkan bahwa umatnya 1/2 Memahami Teologi Bencana Written by Administrator yang bermaksud membunuhnya pun didoakan oleh Nabi Saw agar mendapatkan hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. Kasih sayang Nabi Muhammad Saw begitu besar kepada umatnya sehingga mukjizat yang dimilikinya bukan untuk membinasakan umatnya, melainkan memberikan daya tarik bagi dakwah. Inilah yang mendasari bahwa bencana yang terjadi di Nusantara ini bukanlah akibat kemaksiatan yang dilakukan masyarakat Indonesia. Jadi, teologi yang selama ini berkembang di masyarakat lebih cenderung menyalahkan diri mereka sendiri yang tidak diimbangi dengan pertimbangan rasional tentang apa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya bencana dan bagaimana melakukan pencegahan terhadap banyaknya korban atas setiap bencana. Memang, introspeksi (muhasabah) dalam ajaran agama adalah sesuatu yang sangat dianjurkan, tetapi instrospeksi itu harus diimbangi dengan pertimbangan rasional agar tidak cenderung menyalahkan diri sendiri, yang berakibat pada proses recovery sosial tidak berjalan dengan baik. Karena itulah, teologi yang mesti dibangun setelah sekian banyak bencana yang terjadi adalah teologi rekonstruktif, yang mencoba memahami gejala alam sebagai sesuatu yang berjalan di dalam hukum alam sekaligus mencoba memahami apa kehendak Tuhan. Kombinasi antara pertimbangan rasional dengan teologis inilah yang nantinya akan melahirkan sikap instrospeksi terhadap apa yang terjadi sekaligus mencari jalan keluar atas terjadinya masalah. Inilah yang seharusnya menjadi pijakan dalam memahami peristiwa demi peristiwa yang melahirkan rasa pedih, penderitaan, dan kesedihan akibat bencana yang amat dahsyat. Maka, teologi sekarang ini mesti dibangun kembali (rekonstruksi) dalam konteks yang lebih komperehensif sehingga dapat menjawab problem umat manusia dalam bingkai yang lebih manusiawi dan konstruktif. Rumusan teologis seperti ini dapat menjadi rancangan bagi masa depan umat manusia yang terhindar dari malapetaka dan bencana. Dalam konteks bangsa Indonesia yang telah dilanda berbagai bencana; gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan busung lapar, teologi rekonstruksi juga menyediakan argumen-argumen teologis untuk bangkit kembali dari keterpurukan untuk menatap masa depan yang baru. Bukankah masa depan mereka tidak akan diserahkan kepada orang-orang lain? Sebab, masa depan mereka justru sangat ditentukan oleh kegigihan untuk bangkit, melupakan masa lalu demi menyongsong masa depan. 2/2