Banjir dan Respons Teologis: Analisis Faktor Dominan yang Memengaruhinya Sucipto Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Abstrak: Bencana alam seperti banjir tidak hanya berkaitan dengan faktor alam. Penyebab langsung banjir barangkali benar faktor alam, tetapi di sebaliknya terdapat peran besar manusia. Di sini agama atau keyakinan memegang peran penting. Demikian pula, ketika banjir terjadi, sikap dan respons manusia acap dilandaskan pada keyakinan dan agamanya. Di dalam artikel ini, berbagai respons keagamaan tersebut didiskusikan. Pada akhirnya, respons manusia terhadap bencana tidak terlepas bagaimana dia memandang agamanya. Pascabencana, pandangan terhadap agama juga menentukan apakah manusia mampu bertahan menghadapi bencana atau sebaliknya menjadi rentan karena cara pandangnya terhadap agama. Kata Kunci: Respons teologis, bencana alam, teologi lingkungan. A. Pendahuluan Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi banjir dengan persentase sebanyak 60 persen, disusul longsor, gempa bumi, dan tsunami.1 Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 248 SUCIPTO pecahnya bendungan sungai. Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang.2 Di Provinsi Jambi selama 2010 tercatat dari awal tahun telah terjadi sedikitnya lima kali banjir yang dirasakan masyarakat yang bermukim di pinggiran Sungai Batanghari, dari wilayah perbukitan Kerinci hingga muara Sungai Batanghari tertimpa banjir selama enam bulan yang silih berganti dan menyisakan banyak kerugian material. Kini banjir menjadi langganan tahunan bagi masyarakat yang hidup di daerah aliran Sungai Batanghari. Pada Januari 2010 banjir melanda Provinsi Jambi dengan menenggelamkan 5.864 rumah di Kota Jambi yang tergenang selama dua pekan, terutama rumah warga yang berada di bantaran Sungai Batanghari.3 Para ahli berpendapat, salah satu penyebab terjadinya banjir di daerah dataran rendah baik itu perkotaan maupun dataran rendah lain adalah adanya penggundulan hutan di daerah hulu sungai. Penyebab lainnya adalah buruknya sistem drainase, berkurangnya daerah resapan air karena adanya permukiman, dan lain-lain.4 Sementara itu, fungsi agama membantu manusia dalam kebingungan dunia dan menawarkan jawaban tentang berbagai permasalahan, juga memberikan kekuatan moral.5 Agama sebagai tempat pelibur lara dan tempat berkeluh kesah dalam kesulitan hidup. Dalam menghadapi bencana, agama menempatkan posisinya di garda depan. Namun dalam kenyataannya, agama juga dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melegitimasi bahwa bencana adalah kehendak Tuhan—sikap fatalistik yang kemudian digerakkan untuk menjustifikasi kebenaran yang subjektif. B. Tinjauan Teologis terhadap Bencana Tinjauan teologis memahami bahwa selain Tuhan adalah makhluk. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 249 Karena bencana adalah makhluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana identik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan, atau kematian justru disikapi dengan ungkapan hamdalah, dilanjutkan dengan innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu bahwa Dialah yang paling berhak atas semua bencana. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan, termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan.6 Oleh karena itu, pada tataran tertentu, bencana yang menimpa dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik. Tetapi bencana pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman dengan Tuhan. Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Dalam tinjauan teologis, bencana atau musibah yang menimpa umat manusia adalah kehendak mutlak Tuhan yang sering disebut dengan istilah takdir. Memang kata “takdir” sering kali diasosiasikan dengan nada sumir, peyoratif, dengan konotasi negatif. Pada hakikatnya, harus disadari bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap hamba-Nya. Hal ini ditegaskan dalam sejumlah firman-Nya. Semua yang terjadi dan menimpa manusia merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan hukum alam atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah sunatullâh. Dan Tuhan hanya menjalankan hukum alam tersebut. Di sinilah ada ruang ikhtiar (baca: usaha) manusia untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya suatu bencana.7 Tak dapat dimungkiri memang Tuhan punya hukum-Nya sendiri. Tetapi, seperti ditegaskan dalam sejumlah referensi agama, manusia diberikan ruang gerak untuk mengubah kehidupannya, untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, menghindari kemungkinan terjadinya bencana, dan Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 250 SUCIPTO mengantisipasi hal terburuk yang mungkin menimpanya. Dalam realitas sosial, munculnya sejumlah bencana tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, serangkaian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta semburan lumpur panas menunjukkan kecerobohan individu-individu terkait peristiwa tersebut. Dari kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa sejumlah bencana yang menimpa bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu masyarakat negeri ini. Selagi individuindividu masyarakat negeri ini tidak mengubah sikap serta tingkah lakunya menuju arah yang lebih baik, sejumlah musibah lainnya siap menanti kita. Sebuah refleksi kultural masa lalu, orang tua sering kali melarang dengan dogmatisasi pamali melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, kita akan memercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni makhluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya menyugesti cara pandang di masa kini bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Secara perlahan tapi pasti itu dapat menimbulkan ketidakseimbangan kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 251 memuliakan alam. Bahkan sebagian di antaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak marah dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanaman rusak, dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai “Tuhan”. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis.8 Manusia justru ingin menaklukkan alam dan menjinakkan alam. Walhasil perilaku mengeksploitasi alam demi kepentingan dan keuntungan serta laju pembangunan cenderung merusak eksistensi alam yang seharusnya diposisikan sebagai mitra kemanusiaan yang berhak diperlakukan secara manusiawi. Era yang biasa disebut era globalisasi ini, di mana alam semesta dipandang sebagai small village (kampung kecil), memang tidak lagi menjadikan alam sebagai “Tuhan”, tetapi secara radikal dijadikan sebagai “budak” pelayan hasrat manusia. Bencana sebagai salah satu elemen kehidupan di muka bumi adalah bentuk “protes” dan “rintihan” alam kepada Tuhan bahwa posisi manusia sebagai khalifah telah terdistorsi. Banjir bandang, tsunami, kebakaran, longsor beserta segala bentuk bencana kemanusiaan adalah cara Tuhan memediasi ekspresi alam guna menyapa kelalaian manusia pada tugas dan fungsinya sebagai khalifah atau agen of universe (agen alam semesta). Manusia sebagai agen of universe adalah sebuah paradigma terhadap alam beserta seluruh makhluk, baik yang nampak maupun yang tidak, sebagai sesuatu yang interdependensi (saling ketergantungan), memiliki nilai dan manfaat bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Manusia sebagai ciptaan adalah makhluk yang paling mulia di antara semua ciptaan Tuhan. Amanah yang diembannya sangat besar dalam memelihara harmonisasi alam semesta. Paradigma ini secara ontologis melampaui eksistensi manusia sebagai agen of social (agen masyarakat), karena Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 252 SUCIPTO pengabdiannya terbatas hanya pada ranah sosial kemasyarakatan. Sedangkan manusia sebagai agen alam semesta dituntut memadukan aspek kasih sayang Tuhan dengan statusnya sebagai khalifah dalam mengabdi pada segala ciptaan, mengabdi untuk semua. Bencana memang sesuatu yang niscaya bagi alur sejarah kehidupan manusia, sebagaimana niscayanya kemurahan Tuhan yang melimpahkan ilmu-Nya kepada manusia untuk melahirkan rumusan strategis menyangkut penanggulangan bencana. Karena itu, kehadiran bencana di bumi ini telah menggugat kekhalifaan umat manusia. Bencana-bencana tidak saja berdampak pada persoalan ekonomi, sosial, psikologi, dan politik, tetapi juga masalah teologi dan alam pikir masyarakat yang terkena dan yang menyaksikan bencana. Dalam beberapa kali bencana banjir yang masyarakat dapat menimbulkan beberapa pemahaman teologis, di antaranya bagi yang beraliran paham ahlus sunnah akan menganggap bencana biasanya terdiri dari tiga cara pandang. Pertama, mereka menganggap bencana alam adalah sunnatullâh, takdir. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Kedua, bencana alam adalah peringatan Allah atas dosa yang terjadi di muka bumi, persis seperti disampaikan. Ketiga, bencana alam adalah azab bagi manusia yang hidup dalam dosa dan mengabaikan ajaran agama. C. Teoretisasi Bencana Irwan Abdullah mengemukakan bahwa masyarakat dewasa ini masih terfokus pada natural disaster (bencana alam). Padahal, di luar bencana yang disebabkan fenomena alam, ada sejumlah risiko bencana yang diakibatkan faktor nonalam. Bencana yang disebabkan faktor nonalam tersebut antara lain: 1. Industrial disaster, risiko bencana yang dipicu oleh kegiatan industri yang mengeluarkan polusi maupun perubahan bentang alam seperti penambangan. Aktivitas industri seperti ini akan meningkatkan kerentanan manusia yang ujung-ujungnya Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 253 menurunkan derajat kesehatan. 2. Policy disaster, risiko bencana akibat kebijakan yang salah. Misalnya, pemberian izin pembangunan perumahan di kawasan rawan bencana yang mengakibatkan tingginya kerentanan masyarakat penghuni perumahan tersebut terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh bencana. Atau kebijakan yang sepertinya benar, seperti relokasi korban pascabencana ke daerah lain yang sesunguhnya berisiko terjadi bencana, sehingga bisa dikatakan bahwa kebijakan ini tidak lebih sebagai relokasi calon korban. 3. Communal/social disaster, bencana yang ditimbulkan oleh dinamika sosial-komunal seperti konflik sosial yang menyebabkan ratusan bahkan ribuan orang menjadi korban (pada tingkat tertinggi berupa kematian) 4. Individual disaster atau bencana akibat perilaku-perilaku individu yang berkontribusi terhadap bencana. Misalnya, orang per orang membangun rumah yang tidak sesuai dengan konteks bencana.9 Clifford Gertz di dalam The Religion of Java menjelaskan tentang makna agama yang bagi Gertz bisa didekati dengan faktor kebudayaan masyarakat. Agama bagi Gertz adalah (1) sistem simbol yang berperan (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, persuasif dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas semacam itu sehingga (5) suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik.10 Teologi lingkungan mendudukkan Tuhan-alam dan manusia pada porsi yang mutualistik, ini yang menjadi landasan epistemologi kosmis. Oleh karena itu, agama harus merumuskan kembali bebarapa hal penting yang berkaitan dengan rehabilitasi alam, antara lain, pertama, penafsiran dan pemahaman keagamaan yang literalistekstualis harus diinterpretasi ulang dengan pemahaman kontekstual transformatif. Fiman Tuhan yang berkaitan dengan alam, laut, udara, dan tanah harus direinterpretasi sehingga terjadi kesadaran dan Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 254 SUCIPTO semangat keberagamaan baru yang mendudukkan lingkungan dan alam sebagai mitra muatualistik. Kedua, institusi keagamaan harus mulai memberikan perhatian lebih terhadap isu lingkungan dan bencana banjir melalui teropong spiritualiatas baru, sehingga diharapkan institusi keagamaan mampu menjadi ujung tombak bagi pelestarian ekosistem terumbu karang. Ketiga, rohaniawan harus senantiasa dilibatkan dalam pengelolaan banjir, ini berkaitan dengan komunikasi sosial masyarakat dan budaya Indonesia yang masih paternalistik.11 Makna “musibah” dalam kacamata teologi Islam tidaklah sesederhana dari yang selama ini dipahami. Ada sebagian umat yang merasa bahwa pemberian penghargaan, kenaikan jabatan adalah juga sebuah “musibah”. Biasanya, orang yang berpedoman demikian akan semakin tunduk kepada Allah ketika mendapatkan penghargaan.12 Dari sinilah bisa dipahami bahwa sudah sewajarnya jika Nabi bersabda bahwa manusia yang paling sering mendapatkan musibah dan cobaan berat adalah para nabi, kemudian para wali, dan seterusnya (H.R. Bukhori). Musibah yang diujicobakan kepada para nabi tersebut tentu bukan saja berupa fisik, melainkan mental dan keimanan. Dari pemahaman ini, Ibnu Taymiyah seperti dinukil Ibrahim Khalifah dalam salah satu kajian Tafsirnya berpendapat bahwa sangat mungkin para nabi berkurang imannya bahkan murtad walaupun pada kenyataannya hal tersebut tidak pernah ada dalam sejarah. Perkembangan kehidupan materialisme mampu menyingkirkan pemahaman-pemahaman “unik” tentang musibah tadi. Manusia sekarang ini pun telah lebih jauh menyederhanakan makna dan “falsafah” atas pengertian “musibah”. Manusia tidak lagi berpengertian bahwa sebenarnya musibah tidak sesederhana “segala bencana yang di luar kehendak manusia”. Akibatnya, sepertinya ada dua pilihan bagi kita: menerima sepenuhnya sebagai sebuah kecelakaan alam murni atau mengaitkannya dengan kehendak Sang Kuasa. Pilihan pertama sudah jelas, ia lebih banyak “diimani” masyarakat Barat. Pilihan kedua adalah pilihan yang hingga kini Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 255 masih dipegang umat Islam. Hanya saja, pilihan kedua ini masih berupa pemahaman yang global dan masih banyak umat Islam yang belum dapat memahami penjabaran-penjabaran dari teologi ini. Ketika beberapa musibah menimpa kita akhir-akhir ini, banyak kolumnis dan penceramah yang menukil-nukil surat al-Syu’arâ ayat 30 tanpa penjelasan yang memadai. Realitas ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan pemahaman yang keliru seperti yang selama ini terjadi dalam teologi Islam, khususnya yang berkenaan dengan sifat irâda. Bagaimanapun yang utama untuk diyakini oleh umat adalah bahwa Allah tidak akan pernah berkehendak buruk kepada hamba-hamba-Nya. Intinya, telah muncul rumusan teologi tentang bencana alam (tidak murni buatan manusia seperti tragedi Poso dan Maluku) yang pada akhirnya tetap terjebak di dalam dua perangkap teologis yang mengharukan: mengambinghitamkan korban bencana sendiri atau menyalahkan Tuhan yang dianggap sebagai pihak yang tak pandang ampun dan tak kenal belas kasihan terhadap hamba-Nya. Kedua kecenderungan itu rupanya juga bagian dari pandangan teologi masyarakat kita yang cenderung fatalistik.13 Ketika rumusan teologis yang dikemukakan mengasumsikan bahwa bencana seperti tsunami Aceh adalah refleksi dari kemurkaan Tuhan, di situ secara eksplisit sudah terkandung nada-nada yang menyudutkan dan menyalahkan rakyat Aceh yang kini menjadi korban (blaming the victims). Sebaliknya, ketika bencana ini dianggap sebagai “ujian” Tuhan untuk umat manusia yang Dia cintai, sebagaimana yang dikatakan sejumlah kutipan kitab suci, secara implisit kita juga sedang terlibat dalam proses menyalahkan Tuhan (blaming God). Kedua kecenderungan tadi tentu bukanlah rumusan teologis yang bisa dianggap elegan dan ideal tentang bencana alam.14 Hanya saja, persoalannya tidaklah segampang yang kita kira. Sebagaimana dikemukakan Ulil Abshar-Abdalla, godaan bagi agama (diwakili oleh pemuka agama ataupun pengkhotbah) ataupun ilmu pengetahuan untuk menjelaskan sejumlah misteri yang terkandung di dalam dunia ini teramat besar. Karena itu, sejumlah misteri dan Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 256 SUCIPTO absurditas yang terkandung di dalam pelbagai peristiwa di dunia ini coba diterangkan baik oleh agama maupun ilmu pengetahuan.15 Secara psikologis, manusia tidak pernah betah menjalankan hidup dengan menyisakan sejumlah misteri karena misteri adalah kegelapan. Dan kegelapan pada hakikatnya adalah situasi yang cenderung dibenci. Untuk itu, kegelapan itu coba diterobos dan diterangi, baik dengan penjelasan ilmu pengetahuan maupun penjelasan agama atau teologi. Tetapi sudah nyata bahwa penjelasan ilmu pengetahuan dan penjelasan agama memang berbeda. Kita bisa memahami sebuah misteri secara lebih pasti dan dapat memverifikasinya secara ilmiah dengan perangkat dan metode yang disediakan ilmu pengetahuan. Sebaliknya, penjelasan agama tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi yang tiada henti. Naifnya, kita tidak pernah kunjung bisa memverifikasi sisi kebenarannya kecuali meyakini saja. Kita sesungguhnya tidak pernah bisa menanyakan kebenaran “versi Tuhan” akan bencana Aceh, apalagi mendialogkannya secara langsung. Karena itu, para sosiolog cenderung mengatakan bahwa “kebenaran agama” tidak pernah bisa dibuktikan dan bersifat prapengalaman. Walaupun sedang berspekulasi secara liar, Dia selalu saja diimani sebagai kebenaran yang hakiki, sekalipun belum dibuktikan. Di sinilah problematisnya spekulasi-spekulasi tentang Tuhan dalam bencana alam. Pertama, seluruh manusia adalah milik Allah, maka Dia berhak mengambilnya sewaktu-waktu, dengan berbagai jalan, baik itu bencana alam, tertabrak mobil, atau kejatuhan bom seperti yang sedang melanda masyarakat Irak. Semua itu adalah bentuk “pemanggilan” Allah terhadap kita. Bentuk pemanggilan yang bermacam-macam itu sudah tidak penting bagi kita atau bagi-Nya. Bentuk-bentuk itu hanyalah hal “profan” yang, sudah barang tentu, rasional. Karena rumusannya adalah rasionalitas, maka segala macam manusia akan tunduk dalam hukum ini, yakni hukum alam. Walaupun segala bencana adalah rasional, Islam mensyariatkan kepada umatnya untuk ber-istirjâ’, yaitu ketika mendapatkan Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 257 musibah segera mengucapkan innâ lillâhi wa innâ ilayhi râji’ûn, yang berarti “sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya kami kembali”. Ucapan ini memang terlihat sederhana, namun memiliki makna teologis yang sangat mendalam, yakni mengingatkan kita untuk senantiasa bertauhid, ber-qadhâ dan ber-qadar. Yang kedua, mengenai hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang ditetapkan (qadhâ) oleh Allah yang berkenaan dengan rumusanrumusan dan teori-teori tentang alam. Hukum ini akan berlaku bagi siapa saja yang melanggarnya, baik itu kaum teis maupun ateis, orang saleh maupun durhaka, dan sebagainya. Di dalam Alquran juga dikisahkan hukuman alam yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Allah memberikan ujian, cobaan atau siksaan tidaklah melampaui nalar kemanusiaan. Artinya, jika Allah menyatakan telah memberikan hukuman melalui hukum-hukum alam, hukuman alam itu terproses melalui pelanggaran hukum akidah dan syariah yang berakibat (juga) kepada pelanggaran atas hukum alam. Dari sinilah hukuman berlaku dan hakikatnya ia bukanlah hukuman atas kedurhakaan kepada-Nya, karena semua hukuman (jazâ’, hisâb) atas kedurhakaan kepada-Nya telah diseting pada Hari Pembalasan (yawm al-jazâ’) atau Hari Penghitungan (yawm alhisâb) di mana masing-masing manusia akan menghadapinya. D. Sikap dan Respons Teologis Berdasarkan penelitian saya di Desa Sarang Burung, Muarojambi, respons teologis masyarakat dapat dibagi dalam tiga cara pandang dalam membaca dan memahami bencana banjir yang melanda desa tersebut. Pertama, mereka menganggap banjir alam adalah sunnatullah atau takdir. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Pandangan ini diwakili oleh kelompok umur di atas 40 tahun. Senyatanya kelompok masyarakat ini tergolong dalam beberapa kelompok yang pernah mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah yang berada pada masjid tua yang berada di Desa Sarang Burung. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 258 SUCIPTO Respons seperti ini adalah bentuk dokrin yang memang telah lama didapat saat mereka mengenal pendidikan dasar, sebab beberapa buku atau kitab yang digunakan dalam 35-30 tahun yang lalu masih menggunakan kurikulum dari pesantren dari tuan guru mereka. Kedua, banjir alam adalah peringatan Allah atas dosa yang terjadi di muka bumi. Pandangan seperti ini ditemukan pada kelompok masyarakat yang berumur di atas 50 tahun. Ketika ditelusuri lebih lanjut, mereka pernah mengenyam pendidikan agama di Seberang Kota Jambi, seperti di Pesantren Saadatuddarain di Tahtul Yaman dan Nurul Iman di Ulu Gedong. Ketiga, banjir alam adalah azab bagi manusia yang hidup dalam dosa dan mengabaikan ajaran agama. Tuhan bagi mereka adalah tuhan yang memiliki hukum tersendiri. Tuhan yang rahmân akan datang pada orang-orang tertentu saja, sedangkan azab dan musibah bisa datang pada semua. Pemahaman teologis yang fatalis juga mendukung mereka. Kehidupan mereka yang serba seadanya adalah merupakan kehendak Tuhan karena Tuhan tidak akan memberi kelebihan apa pun yang telah digariskan oleh Tuhan di zaman azali. Pandangan ketiga ini ditemukan pada mereka yang memang memiliki usia lebih dari 60 tahun dan pemahaman seperti ini adalah hasil dari pengkajian mereka terhadap alam dan Tuhan. Mereka menganggap hubungan alam, manusia, dan Tuhan memiliki hubungan yang berbalik dan tidak berdiri sendiri. Dalam konteks ini, mereka menganggap bahwa rezeki besarnya adalah sesuap nasi. Berapa pun banyak usaha yang dibuat untuk mendapatkan rezeki, tetap saja akan menghasilkan sesuap nasi itu. Walau dengan usaha siang malam, panas dingin, banjir atau pun tidak, rezeki akan didapat sebanyak yang telah digariskan oleh Tuhan. Banjir adalah bagian yang tak terpisahkan dari azab Tuhan. Banjir yang menjadi bencana bagi masyarakat adalah banjir yang merupakan azab Tuhan kepada manusia, karena manusia telah banyak sekali melanggar syariat. Mereka mencontohkan, seorang lelaki dan perempuan akan malu bertemu bahkan jika mereka telah Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 259 bertunangan. Pertemuan kedua pasangan tersebut hanya terjadi saat akad nikah. Saat ini pasangan yang telah bertunangan akan sering bertemu dan bahkan dapat dibawa ke mana-mana. Hal ini yang dianggap menjadi penyebab bencana dan azab dari Tuhan. Bencana yang diturunkan Tuhan berbeda dari nikmat. Bencana diturunkan kepada semua manusia, tidak memilih manusia yang taat atau tidak taat. Perasaan orang yang terkena banjir akan memiliki sikap merenung. Sedangkan nikmat Allah diberikan pada orang-orang pilihan saja. Bahkan ada yang mengatakan, banjir yang menggenangi merupakan azab yang dikirim buat manusia. Azab yang dikirim akibat kezaliman bukan hanya menimpa mereka yang zalim saja, tetapi juga melanda mereka yang tidak tahu apa-apa. Pada umumnya banjir di Desa Sarang Burng terjadi pada musim hujan. Hujan di wilayah DAS sangat tergantung pada waktu hujan, lama hujan, dan banyaknya curah hujan. Sistem DAS dapat memiliki luasan sempit ataupun luasan yang besar. Pada permulaan musim hujan, jarang terjadi banjir sebab air hujan yang turun baru mampu membasahi lapisan tanah permukaan. Akibatnya, air hujan yang menjadi aliran permukaan masih sedikit. Apabila lapisan tanah sudah mulai jenuh air, jumlah aliran permukaan bertambah banyak. Apabila aliran permukaan ini tidak ada yang menghambat, hampir semuanya mengalir ke sungai. Hambatan aliran air dapat berupa serasah hutan dan tanaman hutan. Dampak banjir antara lain rusaknya daerah pertanian dan perkebunan di wilayah bantaran sungai dan payo penduduk, tanaman mati dan gagal panen, serta timbulnya berbagai penyakit. Dampak lain, walaupun semua banjir memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri, banjir memberikan pengaruh pada tingkat kerentanan yang berbeda pada daerah dengan kondisi sosial, kesehatan, dan ekonomi tertentu. Dampak banjir yang tiba-tiba akan menyebabkan banyak kematian serta gangguan sosial besar-besaran dan kejadian luar biasa (KLB), penyakit, dan kelangkaan bahan pangan, sehingga korban banjir sangat bergantung dari bantuan luar. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 260 SUCIPTO Banjir juga memberikan dampak psikologis dan sosial pada korban. Dampak psikologis adalah adanya perubahan terhadap kejiwaan seperti perubahan perilaku, marah, kacau, dan trauma. Perubahan perasaan seperti munculnya rasa cemas akan masa depan, sedih, tertekan putus asa, tidak berdaya, dan mudah tersinggung. Perubahan dalam berpikir yang ditandai dengan mudah lupa dan sulitnya memusatkan perhatian. Dampak sosial mengakibatkan adanya kebiasaan atau kegiatan yang berubah karena adanya kehilangan, perpisahan, ataupun kematian pasangan hidup, anak, atau orang di sekeliling. E. Penutup Respons teologis masyarakat dalam menyikapi bencana banjir yang menimpa sekeliling mereka dapat dibagi pada tigas respons. Respons tersebut bisa aktif dan pasif, dipengaruhi oleh jenis banjir, ruang banjir, serta sebab dan akibat banjir. Semakin besar volume banjir yang mereka rasakan, semakin aktif respons teologis mereka. Aktif di sini dimaksudkan bahwa dalam menggambarkan banjir, mereka mendasarkan pada dogma, dokrin, dan nilai yang mereka pahami selama ini. Catatan: 1. Philip L. Fradkin, The Great Earthquake and Firestorms of 1906: How San Francisco Nearly Destroyed Itself, (US: University of California Press, 2005) hlm. iii. 2. Pernyataan Direktur Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Untung Sarosa, di Bandung. Antara New, Kamis, 4 Maret 2010. 3. Usman Syihab, Mencerdasi Bencana: Banjir, Tanah Longsor, Tsunami, Gempa Bumi, Gunung Api, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 4. 4. http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/9535-banjir-jambi-rendamribuan-rumah, 14 Januari 2010. 5. Syihab, Mencerdasi Bencana, hlm. 8-10. 6. Mustain Mahmud, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 253. 7. Affan Ramli, “Teologi Bencana”, Serambi Aceh, 10 Oktober 2007. 8. http://kolumnis.com/2008/02/03/arif-menyikapi-bencana/ 9. Tedi Sutardi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, (Jakarta: Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 BANJIR DAN RESPONS TEOLOGIS 261 Grafindo Media Pratama), hlm. 63. 10. Irwan Abdullah, “Meliput Bencana secara Kritis” LP3Y E-Newsletter, Maret 2010. 11. C. Joe Arun, Religion as Culture: Anthropological Critique of de Nobili’s Approach to Religion and Culture 12. Lukman Hakim, “Teologi Lingkungan untuk Rehabilitasi Terumbu Karang”, http://www.psmbupn.org/article/teologi-lingkungan-untukrehabilitasi-terumbu-karang.html. 13. M. Amin Syukur, Teologi Islam Terapan: Upaya Antisipatif Terhadap Hedonisme Kehidupan Modern, (Solo: Tiga Serangkai, 2003), hlm. 136. 14. Catatan diskusi “Tuhan Pacsa-Tsunami”, Freedom Institute, 11 Januari 2011. 15. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/opini/1499211.html. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011 262 SUCIPTO DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, “Meliput Bencana secara Kritis, LP3Y E-Newsletter, Maret 2010. Bungin, Burhan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Fajar Interpratama, 2007). Fradkin, Philip L., The Great Earthquake and Firestorms of 1906: How San Francisco Nearly Destroyed Itself, (US: University of California Press, 2005). Hakim, Lukman, “Teologi Lingkungan untuk Rehabilitasi Terumbu Karang”, http://www.psmbupn.org/article/teologi-lingkunganuntuk-rehabilitasi-terumbu-karang.html. Mahmud, Mustain, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2007). Minhaji, Akh, Sejarah sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implemetasi, (Yogyakarta: Suka Press, 2009). Ramli, Affan, “Teologi Bencana”, Serambi Aceh, 10 Oktober 2007. Suparlan, Supardi, “Pendekatan Budaya terhadap Agama”, http:// prasetijo.wordpress.com/2009/05/11/pendekatan-budayaterhadap agama. Sutardi, Tedi, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, (Jakarta: PT Grafindo Media Pratama). Syihab, Usman, Mencerdasi Bencana: Banjir, Tanah Longsor, Tsunami, Gempa Bumi, Gunung Api, (Jakarta: Grasindo, 2008). Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011