Judul Penulis Penerbit Tahun Halaman : Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat : Harry Hamersma : Kanisius, Yogyakarta : 2014 : 127 Harry Hamersma mengangat salahs atu tema yang selalu mewarnai diskusi filsafat di sepanjang sejarah, yakni Ketuhanan. Ketuhanan merupakan salah satu kajian filsafat karena berkaitan dengan tema manusia dan alams emesta ini. Buku Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat merupakan kumpulan bahan kuliah Teologi Metafisik di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma. Setalah mengalami pengolahan dan pendalaman selama beberapa tahun melalui diskusi kelas, bahan-bahan kuliah dipandang perlu untuk diterbitkan supaya bisa menjadi bahan pembelajaran banyak orang yang tidak sempat mengenyam kuliah teologi metafisik. Di zaman sekarang, istilah Teologi Metafisik terdengar agak asing dan aneh. Istilah ini familiar di abad pertengahan, terutama dalam pemikiran Agustinus dan Thomas Aquinas. Isi pokok dari buku ini adalah berbagai wacana atau pemikiran rasional tentang Tuhan yang berkembang dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah filsafat, penalaran filosofis tentang Tuhan ini pernah diberi nama atau istilah Teologi Kodrati (Natural Theology), teologi metafisik (Metaphysical Theology), dan Filsafat Ketuhanan (Theodicea). Titik temu dari ketiga istilah itu terletak pada penalaran manusia untuk memahami eksistensi Tuhan dan persoalan yang berkaitan dengan Tuhan. Meskipun di dalam sejarah kehidupan manusia ada orang-orang yang menolak berbicara tentang Allah, tema tentang Allah tetap menarik perhatian banyak filosof. Tema tentang Tuhan mewarnai pemikiran hampir semua tokoh filsafat Barat abad perrtengahan. Ada banyak filosof Modern juga membicarakan tema Tuhan, dengan keragaman model berpikir. Immanuel Kant, Hegel, Kiekergaard, dan Nietzsche adalah para pemikir yang mengangkat tema tentang Tuhan dalam filsafat mereka (22-29). Pembicaraan tentang Tuhan disampaikan dengan berbagai modalitas bahasa. Ada bahasa deskriptif, hukum, doktrin, sastra, kidung, performatif, dan mite digunakan untuk menjelaskan tentang Tuhan (30-43). Setiap bahasa mempunyai struktur dan cara khas dalam membahasakan eksistensi Allah. Eksistensi Allah itu tidak kelihatan (tersembunyi). Akan tetapi, pembicaraan tentang Allah yang selalu mewarnai sejarah manusia menegaskan bahwa eksistensi Allah sungguh ada. Para filosof memberi argumentasi yang kokoh tentang eksistensi Allah (44-45). Ada pembuktian eksistensi Allah dalam perspektif ontologis (Anselmus), psikologis (Newman), kosmologis dan epistemologis Resensi Buku — 213 (Agustinus dan Thomas Aquinas). Penalaran tentang Allah menghantar pada kesadaran manusia bahwa Allah jauh melampaui penalaran manusia. Agustinus, Anselmus dan Thomas membicarakan Allah dalam rangka semakin mengimani Allah. Bagi Thomas Aquinas, penjelasan tentang Allah justru menghantar pada penjelasan panjang lebar mengani yang bukan Allah (50-51). Terhadap Allah Mahakuasa yang mengatasi segala hal yang ada di alam semesta ini, manusia sampai pada kesadaran bahwa Allah itu bukan manusia, bukan semesta, bukan benda-benda, dan bukan makhluk-makhluk duniawi. Bahasa penyangkalan atau negasi ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan Allah. Fenomena lain tentang adanya Allah tampak dalam para penganut agama dan ateisme (52-53). Para penganut agama mempercayai adanya Allah. Para ateis menolak adanya Allah. Kedua kelompok ini sama-sama menyampaikan keyakinan. Kelompok agamawan meyakini Allah ada. Kelompok ateis meyakini bahwa Allah tidak ada. Keyakinan akan adanya Allah atau keyakinan bahwa Allah tidak ada merupakan sebuah pilihan. Ada ateisme yang benar-benar menentang terhadap iman akan Allah. Ateisme ini disebut sebagai anti-teisme. Ada saintisme, yaitu sebuah posisi yang hanya meyakini kebenaran ketika kebenaran itu bisa diverifikasi secara ilmiah berdasarkan ilmu-ilmu positif. Dengan demikian, pemikiran tentang Allah dianggap tidak benar karena tidak bisa diverifikasi secara ilmiah positif. Ada kelompok humanism-ateis, yang menekankan kebebasan manusia sebagai pusat hidup. Kebebasan manusia mengandaikan tiadanya Tuhan yang menjadi penghalang kebebasan itu. Albert Camus dan Jean Paul Sartre merupakan dua tokoh penganut humanism-ateis. Mereka ingin mengembalikan manusia pada dirinya sendiri yang bebas memilih dan mempertanggungjawabkan hidupnya tanpa campur tangan Tuhan. Karl Marx mengembangkan materialism-dialektis yang bertendensi ateistik. Manusia harus berjuang mengembangkan diri dan hidup sejahtera. Ketika kesejahteraan terjadi, Tuhan tidak diperlukan lagi. Agama dianggap menjadi candu bagi masyarakat yang menghambat perkembangan. Feuerbach (1804-1872) menganggap bahwa pemikiran manusia tentang Allah hanyalah proyeksi dari segala kerinduan dan kebutuhannya. Ketika kebutuhan dan kerinduan itu bisa dicapai, agama dan Allah tidak diperlukan lagi (56-57). Manusia harus menjadi tuan atas dirinya sendiri dan berjuang untuk mewujudkan marrtabatnya sebagai mannusia. Ada kelompok tengah anara penganut agama dan ateisme, yaitu kelompok agnotisme. Agnotisme adalah sebuah posisi skeptis, yang menyatakan bahwa pembicaraan tentang Allah tidak relevan karena Allah tidak mungkin dijelaskan dengan penalaran manusia. Adalah sebuah sikap sewenang-wenang ketika mengatakan bahwa orang yang tidak mau berdiskursus tentang Allah sebagai kelompok ateis. Selain para filosof yang berusaha menjelaskan eksistensi Allah, ada kelompok yang merefleksikan esensi dan sifat-sifat Allah. Pembicaraan mengenai sifat- 214 — Orientasi Baru, Vol. 23, No. 2, Oktober 2014 sifat Allah sebagai Maharahim, Mahakasih, Mahaadil, Mahabaik, Mahabenar, Mahakuasa, dan Mahasempurna membantu untuk mengenali Allah dalam sifat-sifat manusiawi. Adanya kejahatan mendorong manusia untuk semakin memahami dan menyatakan sifat-sifat Allah dalam hidup manusia. Buku Persoalan Ketuhanan dalam Wacana Filsafat membantu untuk mengenali barbagai pemikiran tentang Allah dengan modalitas bahasa yang sangat beragama. Buku ini membantu untuk menangkap beberapa pemikiran para filosof dan model-model pemikiran yang membantu memahami Allah yang diimani dengan Allah yang dimengerti. Dalam pemikiran Levinas, dalam wajah sesama tersingkap wajah Allah yang tak terbatas. Kesadaran bahwa segala penjelasan tentang Allah tidak pernah memuaskan rasa ingin tahu manusia justru menegaskan bahwa petualangan manusia untuk memahami dan menjelaskan Allah harus dilakukan secara terus-menerus. (CB. Mulyatno) Resensi Buku — 215