dengan realitas lain dan tidak memisahkannya ke sebuah kawasan tersendiri. Intelektualisme yang berlebihan akan merusak iman, tetapi agar Tuhan tidak dijadikan alatTuhan untuk egoisme kita sendiri, Paramendukung Filosof pengalaman keagamaan harus disertai penilaian akurat tentang kandungannya. Aquinas mendefinisikan Tuhan dengan cara merujuk pada definisi yang Tuhan berikan sendiri kepada Musa: "Aku adalah Aku." Aristoteles pernah mengatakan bahwa Tuhan adalah Wujud Wajib; Aquinas kemudian mengaitkan Tuhan para filosof dengan Tuhan Alkitab dengan menyebut Tuhan, "Dia Yang Ada" (Qui est). Ditegaskannya secara mutlak bahwa Tuhan bukan sekadar wujud lain seperti diri kita sendiri. Definisi Tuhan sebagai Wujud Itu Sendiri sudah memadai "karena tidak merujuk pada bentuk tertentu kecuali wujud itu sendiri (esse seipsum)." 36 Adalah keliru untuk menyalahkan Aquinas atas pandangan rasionalistis tentang Tuhan yang kemudian berkembang di Barat. Namun sayangnya, Aquinas menimbulkan kesan bahwa Tuhan bisa didiskusikan dengan cara yang sama seperti kita mendiskusikan ide-ide filsafat atau fenomena alam. Dia mengawali diskusi tentang Tuhan dengan pembuktian eksistensi Tuhan berdasarkan filsafat alam. Ini menyiratkan bahwa kita dapat mengetahui Tuhan dengan cara yang sama, seperti realitas-realitas duniawi. Aquinas menyusun lima "dalil" eksistensi Tuhan yang akan menjadi sangat penting di dunia Katolik dan juga akan dipakai oleh orang Protestan: 1. 2. Argumen Aristoteles tentang Penggerak yang Tak Digerakkan. "Dalil" serupa yang mengemukakan bahwa tak mungkin ada rangkaian sebab yang tak terbatas: pasti ada sebuah titik awal. 3. Argumen tentang sifat ketergantungan yang mengharuskan adanya satu Wujud Wajib, seperti diuraikan oleh Ibn Sina. 4. Argumen Aristoteles dalam Philosophy yang menyatakan bahwa hierarki kesempurnaan di dunia ini mengimplikasikan adanya Kesempurnaan yang paling baik di atas segalanya. 5. Argumen tentang rancangan alam, keteraturan dan adanya tujuan dalam apa yang kita lihat di alam semesta tidak mungkin hanya Sejarah Tuhan implisit menyatakan bahwa "Tuhan" hanyalah sebuah wujud yang lain, satu simpul lain dalam rantai eksistensi. Dia adalah Wujud Tertinggi, Wujud Wajib, dan Wujud yang Paling Sempurna. Benar bahwa penggunaan istilah-istilah, seperti "Sebab Pertama" atau "Wujud Wajib" menyiratkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu seperti wujud-wujud yang kita ketahui, melainkan merupakan sumber atau syarat bagi keberadaan wujud-wujud yang lain itu. Inilah yang sangat ditekankan oleh Aquinas. Meskipun demikian, para pembaca Summa tidak selalu berhasil menangkap pembedaan penting ini dan berbicara tentang Tuhan seakan-akan dia sekadar merupakan Wujud Tertinggi dari semua wujud lain. Ini bersifat reduktif dan bisa membuat Wujud Super ini menjadi berhala, yang dibentuk dalam citra kita sendiri dan dengan mudah beralih menjadi suatu Super-Ego yang melangit. Barangkali bukan tidak akurat untuk mengatakan bahwa banyak orang di Barat memandang Tuhan sebagai Wujud yang seperti ini. Upaya pengaitan Tuhan dengan arus Aristotelianisme baru ini penting dilakukan di Eropa. Para faylasuf juga telah memperingatkan bahwa ide tentang Tuhan harus terus diperbarui menurut perkembangan zaman. Dalam setiap generasi, gagasan dan pengalaman tentang Tuhan harus senantiasa diperbarui. Akan tetapi, kebanyakan kaum Muslim telah—dapat dikatakan demikian—berpuas diri dan merasa bahwa Aristoteles tidak banyak berkontribusi pada kajian tentang Tuhan, meskipun dia tetap sangat berpehgaruh dalam bidang lain, seperti ilmu alam. Kita telah melihat bahwa bahasan Aristoteles tentang hakikat Tuhan telah dinamai meta ta physica ("Setelah Physics") oleh editor karya-karyanya: Tuhan menurut pandangan Aristoteles juga lebih merupakan kelanjutan realitas fisik daripada sebuah realitas dari tatanan yang sama sekali berbeda. Oleh karena itu, dalam Dunia Islam, diskusi paling mutakhir tentang Tuhan mencampurkan filsafat dengan mistisisme. Akal saja tidak bisa mencapai pemahaman religius tentang realitas yang kita sebut "Tuhan", tetapi pengalaman religius perlu dilengkapi dengan daya pikir kritis dan disiplin filsafat jika tidak ingin sekadar menjadi emosi yang melantur, berlebihan, atau bahkan berbahaya. Tokoh Fransiskan yang sezaman dengan Aquinas, Bonaventura Tuhan Para Filosof dan menjadikan "trinitarianisme alamiah" ini sebagai titik berangkat dalam karyanya Journey of the Mind to God. Secara kukuh dia percaya bahwa Trinitas dapat dibuktikan oleh akal alamiah, tetapi menghindar dari bahaya keangkuhan rasionalis dengan menekankan pentingnya pengalaman keagamaan sebagai komponen esensial bagi gagasan tentang Tuhan. Dia menyebut Francis dari Assisi, pendiri ordonya, sebagai teladan utama bagi kehidupan kristiani. Dengan memperhatikan riwayat hidupnya, seorang teolog, seperti Bonaventura dapat menemukan bukti kebenaran doktrin-doktrin gereja. Penyair Tuscan, Dante Alighieri (1265-1321) juga menemukan bahwa seorang manusia biasa—dalam kasus Dante, perempuan Florentina, Beatrice Portinari— dapat menjadi epifani ilahi. Pendekatan personalistik kepada Tuhan ini dipengaruhi oleh Agustinus. Bonaventura juga menerapkan Dalil Ontologis Anselm tentang eksistensi Tuhan dalam pembahasannya mengenai Francis sebagai sebuah epifani. Dia menyatakan bahwa dalam kehidupan ini Francis telah mencapai kesempurnaan yang tampaknya melampaui batas manusiawi sehingga adalah mungkin bagi kita, selama masih hidup di dunia ini, untuk "melihat dan memahami bahwa yang 'terbaik' adalah ... sesuatu yang tak mungkin dibayangkan ada yang lebih baik daripadanya." 37 Kenyataan bahwa kita dapat membentuk konsep seperti "yang terbaik" itu membuktikan bahwa Kesempurnaan Tertinggi Tuhan itu pasti ada. Jika kita menyelami diri kita sendiri, seperti yang dianjurkan oleh Plato maupun Agustinus, kita akan menemukan citra Tuhan terpantul di dalam "alam batin kita sendiri."38 Introspeksi ini sangatlah penting. Tentu saja tetap penting untuk terlibat dalam liturgi Gereja, namun orang Kristen pertama-tama harus menyelami dirinya sendiri, di mana dia akan "dibawa melampaui akal" dan mendapat penampakan akan Tuhan yang mentransendensi ungkapan manusiawi kita yang terbatas.39 Bonaventura dan Aquinas memandang pengalaman keagamaan sebagai hal yang mendasar. Mereka setia kepada tradisi falsafah, karena baik dalam Yudaisme maupun Islam, para filosof sering juga merupakan ahli mistik yang sangat sadar akan keterbatasan akal dalam memecahkan persoalan teologis. Mereka telah mengembangkan dalil-dalil rasional tentang eksistensi Tuhan untuk mendialogkan iman mereka dengan kajian ilmiah dan mengaitkannya dengan pengalaman yang lebih umum. Mereka secara pribadi tidak meragukan eksistensi Tuhan, dan banyak di antara mereka yang betul-betul 279 Sejarah Tuhan menyadari keterbatasan dari apa-apa yang telah mereka capai. Dalildalil ini memang tidak dirancang untuk meyakinkan orang-orang yang tidak beriman, karena pada masa itu belum ada ateis dalam pengertian modern kita. Oleh karena itu, teologi natural ini bukan merupakan pengantar kepada pengalaman religius, melainkan sebuah penyandingan: para faylasuf itu tidak percaya bahwa Anda harus meyakinkan diri secara rasional tentang eksistensi Tuhan sebelum dapat memperoleh pengalaman mistik. Justru sebaliknya, di dunia Yahudi, Muslim, dan Ortodoksi Yunani, Tuhan para filosof segera digantikan oleh Tuhan kaum mistik.[] 280